Professional Documents
Culture Documents
Joko Pinurbo (jokpin) lahir 11 Mei 1962. Lulus dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (1987). Kemudian mengajar di alma
maternya. Sejak 1992 bekerja di Kelompok Gramedia. Gemar mengarang puisi sejak di
Sekolah Menengah Atas. Buku kumpulan puisi pertamanya, Celana (1999), memperoleh
Hadiah Sastra Lontar 2001; buku puisi ini kemudian terbit dalam bahasa Inggris dengan
judul Trouser Doll (2002). Ia juga menerima Sih Award 2001 untuk puisi Celana 1-
Celana 2-Celana 3. Buku puisinya Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapat
Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2002. Sebelumnya ia
dinyatakan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001. Tahun 2005 ia menerima
Khatulistiwa Literary Award untuk antologi puisi Kekasihku (2004). Buku puisinya yang
lain: Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Pacar Senja: Seratus Puisi
Pilihan (2005), Kepada Cium (2007), dan Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran
Sarung: Tiga Kumpulan Puisi (2007). Selain ke bahasa Inggris, sajak-sajaknya juga
diterjemahkan ke bahasa Jerman. Sering diundang baca puisi di berbagai forum sastra,
antara lain Festival Sastra Winternachten di Belanda (2002). Oleh pianis dan komponis
Ananda Sukarlan, sepilihan puisinya digubah menjadi komposisi musik. Sejumlah
sajaknya dipakai pula untuk iklan.
Celana, 1
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Pulang Mandi
(1999)
Mei
: Jakarta, 1998
(2000)
Pacarkecilku
untuk Anggra
Atau
(2001)
Penumpang Terakhir
(2002)
Mandi
(2003)
Masa Kecil
(2003)
Pacar Senja
(2003)
Baju Bulan
(2003)
Kepada Puisi
(2003)
Cita-cita
(2003)
Penjual Bakso
Hujan-hujan begini, penjual bakso dan anaknya
lewat depan pintu rumahku. Ting ting ting.
Seperti suara mangkok dan piring peninggalan ibuku.
(2004)
(2004)
(2004)
Celana Ibu
(2004)
Selepas Usia 60
(2004)
(2005)
Kepada Cium
(2006)
(2006)
Di Perjamuan
Aku tak akan minta anggur darahMu lagi.
Yang tahun lalu saja belum habis,
masih tersimpan di kulkas.
Maaf, aku sering lupa meminumnya,
kadang bahkan lupa rasanya.
Aku belum bisa menjadi pemabuk
yang baik dan benar, Sayang.
(2006)
Jalan Sunyi
(2007)
(2007)
Malam Pemadat
(2007)
Penjahat Berdasi
(2007)
Pembangkang
(2007)
Gaun Tidur
(2007)
Angkringan
(2007)
(2007)
Kredo Celana
(2007)
Mas
(2008)
Kredo Celana
Celana Ibu
(2004)
Kredo Celana
(2007)
Tragedi
Sedekah
“Sudahlah. Dengan dua puluh ribu rupiah ibu ini bisa beli
tiket kereta api ekspres. Beliau akan mudik dengan sukses,”
ujar seorang penyair yang oleh teman-temannya dipanggil
Plato karena nun di jidatnya terdapat sebuah tato.
(2003)
Penjual Bakso
(2004)
Penumpang Terakhir
(2002)
Kepada Puisi
(2003)
Matakata
(2004)
(2004)
(2007)
Gambar Hati Versi Penyair
(2007)
Sajak Panjang
(2007)
Pembangkang
(2007)
Puasa dan Puisi
Puasa
(2007)
Baju Bulan
(2003)
Sumber: Buku Puisi Kekasihku (2004)
Pacar Puisi
Pacar Senja
Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap. Pacar senja
berangsur lebur, luluh, menggelegak dalam gemuruh ombak.
(2003)
Pacarkecilku
untuk Anggra
(2001)
Mata Bola
(2008)
Proverbia Latina
Sumber: B.J. Marwoto dan H. Witdarmono, Proverbia Latina: Pepatah-pepatah Bahasa Latin (Penerbit
Buku Kompas, 2004)
Tribute
ke liang kuburku.
(2007)
Sajak-sajak 1980-1991
Layang-layang
(1980)
Pohon Bungur
Bunga-bunganya berceceran
dihirup angin selatan.
(1990)
Penyair Tardji
(1986)
Tengah Malam
(1989)
(1989)
Tukang Cukur
Ia menyayat-nyayat kepalaku.
Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.
(1989)
Hutan Karet
in memoriam: Sukabumi
(1990)
(1990)
Senandung Becak
(1990)
Di Kulkas: Namamu
(1991)
Ranjang Kematian
(1991)
Perjalanan Pulang
Ah padang pasir.
Panasmu ingin menghanguskan perkemahan.
Kau pikir para pengungsi mau dilumat kelaparan?
Lihatlah, sungai itu tetap saja hijau.
Kematian dienyahkan ke bukit-bukit karang,
kanak-kanak bermain terompet di lubang persembunyian.
(1991)
Kembali ia termangu.
Ia ragu membuka pintu.
Ia takut pada pintu.
Baru setelah diketuk tujuh kali,
pintu hitam membukakan diri.
“Bukankah ini rumahmu?
Apakah engkau takut atau lupa samasekali?”
“Ya, ini memang rumahku.
Saban kali aku meninggalkannya,
saban kali pula harus mengenalinya kembali.”
(1991)
Anjing
Di depan rumah saya ada sebuah rumah kosong yang dinding sampingnya berbatasan
langsung dengan gang. Dinding rumah itu tak pernah sepi dari coretan. Kemarin baru saja
dicat putih dalam rangka menyongsong 17 Agustus-an, malamnya sudah belepotan lagi
dengan berbagai macam coretan berisi umpatan. Ada coretan puitis berbunyi “asu” yang
ditulis besar-besar dengan cat semprot berwarna merah. Itu pasti kelakuan Kasbulah,
seorang remaja kampung yang hobinya mencoreti tembok rumah tetangga.
Kasbulah adalah bajingan kecil yang rajin membolos sekolah dan memalak teman-
temannya. Bahkan bapaknya, seorang guru Sekolah Dasar (merangkap tukang ojek) yang
tekun dan gigih, sering diperasnya pula. Ia suka meminta uang dengan ancaman tak akan
masuk sekolah kalau permintaannya tidak dikabulkan. Pernah permintaannya tidak
dipenuhi dan ia marah besar. Diam-diam ia menghunus spidol besar, kemudian menodai
saku belakang celana bapaknya dengan tulisan “pelit”.
Saya sedang membaca dengan seksama coretan-coretan nakal di dinding rumah kuno itu
ketika seekor anjing cerdas lewat. Melihat tulisan “asu” di tembok bercat putih itu, si
anjing mendadak berhenti, kemudian menggonggong lantang tak henti-henti dan
gonggongannya membuat orang-orang berhamburan keluar. Anjing itu melotot ke arah
saya – mungkin ia mengira sayalah yang membubuhkan kata “asu”. Segera saya tutup
pintu, takut ia menyerang saya. Aha, anjing keren itu malah tersenyum manis kepada
saya, kemudian melanjutkan perjalanannya entah ke mana.
Hampir tengah malam, Kasbulah baru pulang dari keluyuran. Dengan gaya seorang
jagoan ia berjalan gagah sambil bersiul-siul menyusuri gang gelap menuju rumahnya.
Dari arah berlawanan muncul seekor anjing besar, tinggi dan hitam. Kasbulah berlagak
tenang dan terus melangkah ke depan. Si hitam besar mencoba meruntuhkan mental
bajingan kecil itu dengan meletuskan lolongannya dan lolongannya sungguh sangat
mengerikan, seperti suara maut dari lembah kegelapan nun jauh di seberang. “Biarkan
Kasbulah berlalu, anjing tetap menggonggong,” kata si anjing dalam hati. Belum sampai
berpapasan, mental Kasbulah sudah rontok. Sambil gemetar ia segera berlari berbelok
arah, mencari jalan lain menuju rumah bapaknya. Dengan girang si hitam besar
mengejarnya. Kasbulah berhasil mencapai rumahnya saat lawannya hampir saja
menerkamnya. Sebelum Kasbulah menutup pintu rumahnya, si hitam besar berhasil
meraih saku belakang celananya dan merobek-robeknya. Ayah Kasbulah sedang duduk
manis di depan televisi, menonton siaran pertandingan sepak bola sambil merokok dan
minum kopi
Sajak-sajak 1994-1995
(1992)
Kisah Senja
(1994)
(1995)
Di Salon Kecantikan
“Aku cantik.
Aku ingin tetap mempesona.
Bahkan jika ia yang di dalam cermin
merasa tua dan sia-sia.”
(1995)
Malam Pembredelan
————————————-
Kedua sajak tersebut tidak dapat dijumpai dalam antologi dwibahasa (Indonesia dan
Perancis) yang memuat 102 sajak Sitor ini. Tampaknya buku ini memang tidak diniatkan
sebagai koleksi sajak-sajak terbaik Sitor. Ia lebih dimaksudkan untuk menghimpun sajak-
sajak Sitor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Di samping sajak-sajak
yang dapat dijumpai dalam berbagai kumpulan puisi Sitor sebelumnya, terdapat pula
sajak-sajak yang tampaknya belum pernah diterbitkan sebagai buku.
Sebagai penyair, Sitor tergolong cukup produktif. Di antara sekian banyak sajaknya,
sajak-sajak terindahnya – seperti dikemukakan Wing Kardjo dalam pengantarnya–
muncul pada periode-periode awal kepenyairannya, yaitu periode Surat Kertas Hijau
(1953), Dalam Sajak (1955), dan Wajah Tak Bernama (1955). Adalah menarik bahwa
sajak-sajak terkuat Sitor justru sajak-sajak yang digubah dalam bentuk terikat yang ketat,
yang bersumber pada pola-pola persajakan lama seperti pantun dan syair. Selain dalam
“Si Anak Hilang”, kecenderungan ini dapat dilihat, misalnya, dalam “Lagu Gadis Itali”,
“Angin Merendah”, “La Ronde”, dan tentu saja “Cathedrale de Chartres” yang memukau
itu. Sajak-sajak itu gemerlap bahasanya, segar dan lincah imajinya.
Dalam perkembangan selanjutnya Sitor banyak menulis sajak yang lebih cair bentuk dan
gaya pengungkapannya, meskipun tetap dalam kerangka estetika puisi lirik yang memang
merupakan habitatnya. Ciri lain yang juga muncul: tidak banyak lagi ditemukan sajak
yang masing-masing menampilkan kesatuan dan keutuhan yang kukuh sebagaimana
sajak-sajak yang disebutkan di atas. Yang lebih banyak muncul adalah rangkaian puisi
atau bahkan kerumunan puisi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat dalam banyak
sajaknya Sitor cenderung melakukan semacam snapshot, bukan pengolahan suatu tema
secara utuh dan tuntas. Sajak-sajak semacam ini lebih dapat dinikmati dalam
hubungannya atau rangkaiannya dengan sajak-sajak lain, dan terasa kurang gregetnya
bila dinikmati secara lepas-lepas.
Pernah, dalam satu periode, yaitu periode Zaman Baru, Sitor ikut-ikutan latah
menggubah sajak-sajak “kerakyatan” yang kualitasnya tidak mencerminkan kecerdasan
puitiknya. Atau, Sitor telah tidak memanfaatkan kecerdasan puitiknya untuk menggarap
tema yang sebenarnya tidak haram itu.
Dengan sajak ini si aku-lirik seakan telah menyelesaikan konflik batinnya, meredakan
gairah “keisengan”-nya di antara dua kutub rindu: “Harianboho” dan “Paris”. Ada
paradoks –atau mungkin ironi– di sini: di satu sisi kita bisa melihat munculnya kearifan
hidup, di sisi lain –meminjam kata-kata Teeuw– hilangnya misteri puisi Sitor.
SAYA mengenal nama penyair Sapardi Djoko Damono dan puisi-puisinya dalam buku
DukaMu Abadi. Ada sebuah toko buku di Balikpapan yang sering saya kunjungi sepulang
sekolah. Mengambil gaya Chairil Anwar, saya pernah mencuri buku di sana. Buku
Sapardi itu saya beli, tidak saya curi. Waktu itu saya masih kelas 1 SMA. Puisi-puisi
dalam buku tipis itu waktu itu sangat memikat saya. Kesannya bagi saya waktu itu, eh
ternyata mudah sekali membuat puisi tapi hasilnya bukan puisi yang gampangan. Sebuah
kesan yang salah, tapi ini kesalahan yang menguntungkan saya.
Waktu itu saya merasakan ada sesuatu dalam puisi Sapardi itu yang pasti nanti saya
mengerti. Sampai sekarang ternyata sesuatu itu belum juga saya mengerti. Tapi, saya
tidak merasa sia-sia. Saya jadi terus-menerus mencari sesuatu dalam puisi siapa saja
dengan membacanya. Saya hanya ingin mencari, seperti pada sajak Sapardi, saya tidak
kecewa kalau tidak ketemu apa-apa. Dan saya pun akhirnya terus-menerus belajar
menyimpan sesuatu di dalam puisi-puisi yang saya tulis.
Dari sastrawan Kurnia Effendi, yang membacakan puisi di Aceh bersama Sapardi, Juni
lalu, saya dapat bocoran nomor telepon genggam penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940
itu. “Di Aceh nomornya tidak aktif. Besok beliau kembali ke Jakarta. Semoga lekas bisa
ngobrol dengan beliau,” pesan Kurnia Effendi. SMS pertama Jumat, 30 Juni 2006,
akhirnya dijawab keesokan harinya oleh Sapardi. Lalu mengalirlah sejumlah tanya-
jawab. Saya menambahi dengan sejumlah catatan dan kutipan, supaya lebih bermanfaat.
Berikut ini dialog tanya jawab itu:
HASAN ASPAHANI (HASAN): Pak Sapardi, selamat pagi. Boleh saya ganggu dengan
sejumlah SMS? Maaf, saya dapatkan nomor Anda dari Pak Kurnia Effendi.
HASAN: Paul McCartney cemas dengan usia 64. Anda sudah melewati usia itu. Apa
yang paling Anda cemaskan sekarang?
SAPARDI: Saya kuatir nanti menyusahkan keluarga dan orang lain kalau sakit
berkepanjangan.
Sapardi adalah kolektor piringan hitam The Beatles. Lagu The Beatles yang dinyanyikan oleh Paul
McCartney itu berjudul When I Am Sixty Four dalam album Sgt Pepper Lonely Heart Club Band.
Dalam sajak “Pada Suatu Magrib” (Ayat-ayat Api, Pustaka Firdaus, 2000) penyair ini menulis tentang
kerepotan usia tua. “Susah benar menyebarang di Jakarta ini;/hari hampir magrib, hujan membuat
segalanya tak tertib./Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,/astagfirulah! rasanya di mana-mana ajal
mengintip//.
HASAN: Bagaimana dengan puisi? Anda cemas kalau ada yang masih ingin Anda capai?
Saya lantas teringat sajak “Yang Fana adalah Waktu” (Perahu Kertas, Balai Pustaka, 1983, 1991). Katanya,
“waktu itu fana, kita abadi. Kitalah yang memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai
pada suatu hari kita lupa untuk apa”.
HASAN: Puisi siapa saja yang Anda baca sekarang? Menemukan apa saja dari sajak di
negeri kita sekarang? Kabar baik atau kabar buruk?
SAPARDI: Banyak baca puisi siapa saja, tapi jarang yang ingat nama. Beberapa serius.
Kebanyakan tidak berniat menciptakan bahasa khas.
Dalam sebuah ceramah di tahun 1969, Sapardi menyampaikan bahwa pengalaman puitik adalah sesuatu
yang unik, dan keotentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik.
Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun.
HASAN: Khusus saya tanya tentang Joko Pinurbo. Di buku pertamanya Anda bilang dia
layak dapat perhatian kita.
Buku puisi pertama Joko Pinurbo, Celana (Indonesia Tera, 1999) diberi kata penutup oleh Sapardi. Ia
menyimpulkan bahwa sajak-sajak yang terkumpul dalam buku itu mempergunakan teknik pengungkapan
yang mungkin disebut surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita. Nyaris tak ada
pujian. Kecuali sebuah kalimat pendek yang menutup kata penutup itu: “Ia berhak mendapat perhatian
kita.”
HASAN: Jadi yang penting penyair menemukan bahasanya sendiri, bukan kritikus yang
menemukan penyair?
SAPARDI: Hanya kritikus yang benar yang tahu masalah pembaruan bahasa.
HASAN: Kalau tak salah tangkap, Nirwan Dewanto menandai ada “faktor Sapardi”,
penyair baru menjadikan sajak Anda sebagai pijakan untuk menemukan bahasa sendiri.
SAPARDI: Itu wajar. Chairil cari puisi dunia dan menerjemahkannya untuk bikin bahasa
sendiri.
SAPARDI: Dia cemas mungkin lantaran tidak ada yang “mengubah” bahasa saya. Joko
Pinurbo ada usaha ke situ.
HASAN: Sajak-sajak jenazah yang disukai A Teeuw itu sebenarnya siapa yang wafat?
Orang yang dekat sekali dengan Anda?
SAPARDI: Tidak semua yang saya tulis ada hubungannya dengan sesuatu. Saya
mengandalkan imajinasi.
Tiga sajak yang diulas tuntas oleh A Teeuw ada pada buku DukaMu Abadi (Pustaka Jaya, 1969, 1975;
Bentang 2002, 2004). Tiga sajak itu adalah “Saat Sebelum Berangkat” (Waktu seorang bertahan di sini/di
luar para pengiring jenazah menanti), “Berjalan di Belakang Jenazah” (…angin pun reda/jam
mengerdip/….tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya), dan “Sehabis Mengantar Jenazah”
(pulanglah dengan payung di tangan, tertutup/anak-anak kembali bermain di jalanan basah/….barangkali
kita tak perlu tua dalam tanda tanya). “Dalam arti ini sajak Sapardi adalah sajak yang indah, yang malahan
membebaskan hati saya sambil menjadikannya sedih,” tulis Teeuw.
SAPARDI: Sumbernya apa saja tapi andalan saya imajinasi. Ada buku baru tentang saya
di Grasindo. Coba baca.
HASAN: Saya pasti akan beli dan baca. Eh, sering merasa kecolongan atau cemburu
pada puisi penyair lain?
HASAN: Saya suka dengan apa yang Anda yakini dengan permainan makna. Makna
tidak jadi beban. Tidak jadi amanat yang harus diburu oleh pembaca. Begitukah?
HASAN: Kalau Anda diberi kuasa yang hebat untuk puisi, apa yang pertama Anda buat?
HASAN: Kalau Anda diminta menderet sepuluh puisi terbaik, maka yang teratas yang
mana?
HASAN: Puisi Anda. Adakah puisi penyair lain yang sangat Anda sukai?
SAPARDI: Wah, ya banyak. Sulit lewat SMS.
HASAN: Saya minta satu sajak yang menurut Anda harus saya baca.
SAPARDI: “Topeng”.
HASAN: “Topeng”? (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994). Saya pasti sudah baca. Yang
ada nama Danarto di bawah judulnya itu, kan? Boleh saya hubungkan sajak itu dengan
topeng Danarto untuk pementasan teater Oedipus Rendra?
HASAN: Artinya Anda memainkan imajinasi dari situ? Itu yang dinamakan momentum
puitik?
SAPARDI: Saya tak pasti. Baru setelah selesai saya ingat Danarto.
Ini adalah sajak panjang ukuran rata-rata sajak Sapardi. Sajak bertarikh 1985 ini terdiri atas 27 larik terbagi
atas tiga bagian. Bait pertama di penggal pertama sajak itu begini: Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya /
wajahnya sendiri satu demi satu / dan digantungkannya di dinding. “Aku / ingin memainkannya,” kata
seorang sutradara.
HASAN: Perlukah Indonesia tiap tahun menobatkan semacam poet laureatte? Setahu
saya itu ada di Amerika.
SAPARDI: Tak perlu. Nanti jadi arisan. Yang perlu adalah hadiah sastra.
HASAN: Pada usia sekolah menengah Anda menulis puisi, Anda kok tidak terjangkit
wabah puisi cinta ya?
HASAN: Yang paling bikin saya penasaran itu sajak Anda “Tuan”. Saya baca tafsiran
Sutardji Calzoum Bachri. Lumayan. Tapi saya ingin sekali, Anda sendiri yang buka
rahasia tentang sajak itu.
SAPARDI: Itu sajak yang sangat sederhana tentang tamu dan tuan rumah yang tolol. He
he he.
HASAN: Ha ha ha. Terima kasih saya ingin menyimak lagi tanya jawab ini. Nanti saya
ganggu lagi. Masih boleh ya?
SAPARDI: Sila.
Saya kira sajak “Tuan” adalah sajak paling pendek yang pernah ditulis Sapardi. Cuma sebait dua larik.
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, / saya sedang keluar. Begitu saja. Tahun 1984, Sutardji Calzoum
Bachri mengurai kertas kerja dalam sebuah Temu Kritikus dan Sastrawan di Jakarta. Secara khusus Sutadji
membahas sajak-sajak Sapardi dari buku Perahu Kertas (Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 1993). Ia menulis:
“Setelah keluar dari dunia sajak Sapardi, mengambil jarak dengan jaraknya, barulah pemahaman dari sajak-
sajaknya bisa lebih mudah didapat. Kita lebih mungkin mendapatkan makna dari sajak-sajak itu,
mendapatkan arti atau memberikan arti akan sajak-sajak itu. Sutardji mengambil contoh sajak “Tuan” dan
menyebutnya sebagai sajak yang cukup penting dalam hubungan pemahaman yang berjarak itu.”
HASAN: Semalam saya ingat “Dalam Doa”, membaca-bacanya sebagai doa untuk Anda.
…”Aku mencintaimu, itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakan
keselamatanmu.”
HASAN: Ini imajinasi, kalau waktu bisa dipaket. Saya akan kirim sebagian waktu saya
untuk Anda. Supaya Anda bisa terus dan terus menulis puisi. He he he.
HASAN: Hasif Amini menyebut “Pada Suatu Hari” (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994)
sebagai contoh puisi tentang puisi dari Anda. Saya membacanya sebagai rangkuman cita-
cita dari seluruh puisi Anda. … dalam bait-bait sajak ini, kau akan terus-menerus
kusiasati.
HASAN: Puisi bukan milik penyairnya, tapi milik siapa yang menggunakannya. Saya
kutip ini dari percakapan Pablo Neruda dan tokoh utama novel Il Postino-nya Antonio
Scarmeta. Kita harus ikhlas begitu?
SAPARDI: Anda benar. Bahkan harus juga ikhlas ketika puisi saya “Aku Ingin” (Hujan
Bulan Juni, Grasindo, 1994) dikatakan karya Kahlil Gibran di televisi tempo hari. Ha ha
ha.
HASAN: Ha ha ha. Ada juga yang mencantumkan “Aku Ingin” di undangan perkawinan,
tanpa mencantumkan nama Anda.
Sajak “Hujan Bulan Juni” bisa dimaknai sebagai sebuah keikhlasan memberikan
segalanya kepada seseorang yang dicintai. Sajak ini menjadi luar biasa justru karena
menyebutkan keinginan untuk mencintai dengan sederhana.
HASAN: Sekarang, saya minta nasihat untuk menuliskan puisi. Tiga butir saja.
SAPARDI: Wah, nggak ada resepnya. Nulis saja setiap kali Anda pengen nulis.
HASAN: Juga di saat marah? He he. Buku Apa Kabar Hari Ini, Den Sastro? itu bukan
yang terakhir, kan?
SAPARDI: Bukan.
HASAN: Pablo Neruda dan TS Eliot juga tidak mau memberi nasihat puisi. Tapi Rilke
menulis surat untuk penyair muda. Senang sekali kalau Anda seperti Rilke.
SAPARDI: Begitulah.
HASAN: “Ayat-ayat Api” adalah amarah yang tak bisa lagi dibendung setelah Anda
menahan marah sekian lama. Kenapa menahan marah? Pilihan sikap hidup? Menyair juga
bersikap?
SAPARDI: Ya, tentu. Orang marah hanya bisa demo, nggak bisa nulis puisi. Ha ha ha.
HASAN: Masa depan sastra Indonesia ada pada wanita, kata Anda beberapa waktu lalu.
Ini peringatan atau ramalan? Atau lecutan?
SAPARDI: Sindiran.
HASAN: Kapan terbit sajak lengkap Sapardi Djoko Damono? Saya menunggu itu.
HASAN: Ini yang terakhir, beri saya empat kata untuk saya tulis jadi puisi.
BEGITULAH, seorang Sapardi ternyata bukan hanya sesuatu yang satu. Ia bisa serius dan melucu. Dia
menyair dengan amat bersungguh-sungguh, tetapi bila perlu juga menyikapi kepenyairan dan sajak-
sajaknya dengan santai. Dia menulis puisi, kritik ulasan, menerjemahkan, menulis cerita pendek dan yang
tak sempat saya tanya dia juga mengulas sepakbola. Baiklah, saya akhiri saja dialog ini dengan memenuhi
janji menulis puisi dengan modal empat kata darinya:
Hasan Aspahani lahir di Sei Raden, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim, 9 Maret
1971 pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa. Sekolah di SMAN 2 Balikpapan,
sambil jadi kartunis lepas di Surat Kabar Manuntung (Sekarang Kaltim Post). Lalu
diundang lewat jalur PMDK di IPB, dan kuliah sambil diam-diam terus mencintai puisi.
Setelah berupaya memberdayakan ijazah sarjana di beberapa perusahaan, lalu akhirnya
kembali ke dunia tulis menulis lagi, maka sekarang bekerja sebagai Pemimpin Redaksi di
Posmetro Batam. Di kota ini menjalani hidup bersama Dhiana (yang disapanya Na’) dan
Shiela dan Ikra (yang memanggilnya Abah). Beberapa puisinya pernah terbit di Jawa Pos
(Surabaya), Riau Pos (Pekanbaru), Batam Pos (Batam), juga termaktub dalam beberapa
antologi seperti Sagang 2000 (Yayasan Sagang, Pekanbaru, 2000) Antologi Puisi Digital
Cyberpuitika (YMS, Jakarta 2002), dan Dian Sastro for President 2 #Reloaded (AKY,
Yogyakarta, 2003). Puisi “Huruf-huruf Hatta” terpilih sebagai salah satu dari 10 puisi
terbaik lomba puisi 100 Tahun Bung Hatta (KPSP, Padang, 2002), dan Les Cyberletress
(YMS, 2005). Tinggal di Batam.
Kisah Semalam
(1996)
(1996)
Jauh
(1996)
Ranjang Putih
Sampai di seberang
tubuhmu tinggal tulang-belulang
dan perahumu tertatih-tatih sendirian
pulang ke haribaan ranjang.
(1996)
Pulang Malam
(1996)
Keranda
(1996)
Korban
Darah berceceran di atas ranjang.
Jejak-jejak kaki pemburu membawa kami
tersesat di tengah hutan.
(1996)
Elegi
Celana, 1
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Celana, 2
(1996)
Celana, 3
(1996)
Catatan:
Dalam buku Di Bawah Kibaran Sarung versi 2001 bait terakhir sajak tersebut berbunyi:
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan raja kecil
yang selama ini disembahnya
tunduk tak berdaya.
Boneka, 1
(1996)
Boneka, 2
(1996)
Boneka, 3
(1996)
Humor Serius Joko Pinurbo,
Telaah Singkat Kumpulan Puisi Celana
Oleh Hikmat Darmawan
Latar belakang
Saya langsung tertarik untuk menelaah kumpulan puisi Celana karya Joko Pinurbo yang
diterbitkan oleh IndonesiaTera pada 1999 ini karena tergelitik oleh nada humor pada
beberapa puisi di dalamnya yang sempat kami baca selintas. Perkenalan lebih jauh
dengan puisi-puisi tersebut menyingkapkan sesuatu yang lain, yaitu ternyata Joko
Pinurbo adalah seorang penyair yang sangat serius.
Joko Pinurbo, atau biasa dipanggil Jokpin, mengaku dalam buku kecil ini telah menyair
sekitar 20 tahun (dihitung pada 1999). Tepatnya, Jokpin mengaku dalam kata
pengantarnya, “Sudah sekitar 20 tahun saya belajar menyair”[1] (cetak miring dari kami).
Untuk kurun 20 tahun (belajar) menyair, tentu saja 44 buah puisi dalam 65 halaman
adalah terhitung sedikit. Jika Jokpin adalah penyair produktif selama 20 tahun tersebut,
maka itu berarti kumpulan ini merupakan hasil seleksi yang sangat ketat. Sebaliknya, jika
selama 20 tahun tersebut Jokpin tidak produktif, kemungkinan ia sendiri memang sangat
selektif terhadap karya-karya yang hendak ia tampilkan/terbitkan. Kedua kemungkinan
itu mengindikasikan bahwa Jokpin adalah seorang penyair yang memandang serius
proses penerbitan puisi-puisinya, sehingga ia hanya mau mengeluarkan sedikit saja (tapi
yang, kemungkinan, ia yakini sebagai terbaik di antara yang lain).
Pada saat yang sama, Jokpin mencuat ke permukaan sastra Indonesia justru karena
humor-humor dalam puisi-puisinya. Sapardi Djoko Damono, dalam catatan penutup
untuk buku ini, menyoroti hal ini. Penyair senior sekaligus pengajar sastra di Universitas
Indonesia ini mengawali sorotannya dengan mengungkap pembacaan puisi Jokpin suatu
malam pada 1997 di Teater Utan Kayu. Dalam acara pelisanan puisi tersebut, banyak
penonton tertawa.
Sapardi menulis bahwa banyak alasan orang tertawa atas pelisanan sebuah puisi. Bisa
jadi karena gaya atau cara melisankan puisi sang penyair, bisa juga karena pelisanan itu
dirancang dalam sebuah pertunjukan yang akan memancing tawa. Semua tawa itu tak ada
hubungannya dengan isi puisi itu sendiri. Namun dalam pelisanan puisi-puisi Jokpin,
orang-orang malam itu tertawa karena isi puisi itu sendiri. Sapardi mencatat,
kemungkinan karena kata-kata dalam puisi Jokpin semacam “Celana (3)” memang
menggali bahan lelucon yang agak saru (porno) di masyarakat kita: masalah burung
dalam celana.
Sapardi kemudian melanjutkan ulasannya, bahwa kita bisa curiga puisi ini tak
sepenuhnya tentang celana, atau tentang “burung” di dalam celana. Menurut Sapardi,
Jokpin menyandingkan lelucon itu dengan latar kuburan yang membuat pembaca terbawa
pada sebuah imaji kematian atau kemuraman. Sapardi juga mengaitkan hal ini dengan
puisi-puisi Jokpin lain dalam buku ini. Jokpin, menurut Sapardi, menggunakan “…teknik
surrealis, yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita.”[2]
Sapardi meyakini bahwa pendekatan yang memanfaatkan ilmu psikologi, khususnya teori
tentang analisis mimpi dari Freud akan banyak gunanya dalam membaca sajak-sajak
Jokpin ini. Saya akan mencoba mengulas lebih jauh sajak-sajak tersebut, sambil
memanfaatkan semiotika sebagaimana yang diuraikan A. Teeuw dalam buku
pengantarnya akan ilmu sastra.[3] Namun kami hanya akan menerapkan pendekatan ini
secara sederhana, karena makalah ini hanyalah sebuah analisa atau telaah sederhana dan
bukan sebuah penelitian sastra lengkap seperti yang diidealisasikan oleh A. Teeuw dalam
buku tersebut.
Ada sebuah pandangan lazim dalam pembacaan sastra yang membedakan karya sastra
dengan yang bukan sastra dari segi pemakaian bahasanya. Dengan kata lain, ada
anggapan yang cukup banyak diikuti bahwa bahasa sastra berbeda dari bahasa bukan
sastra.
Anggapan ini agak tertantang ketika kita membaca beberapa puisi Jokpin dalam
kumpulan ini. Kesan umum adalah puisi-puisi ini “enteng”, menggunakan bahasa sehari-
hari, dan karena itu berbeda dari karya sastra lazimnya. Patut kita selidiki, dari mana
kesan “enteng” tersebut timbul.
Sebab pertama adalah dari kesengajaan Jokpin menggunakan kosa kata sehari-hari atau
bahasa lisan yang sering kita gunakan dalam keseharian kita. Jokpin tidak mengharamkan
kata-kata semacam “kok”, “nampang”, “sewot”, “ngacir”, “celana kolor”, “Emoh”,
“Saya”, dan semacamnya. Kehadiran kata-kata sehari-hari ini mengurangi unsur
defamiliarisasi dalam pilihan kata yang biasanya menjadi ukuran nilai kesastraan sebuah
puisi.
Namun bukan hanya masalah kosa kata saja yang membangun kesan “enteng” atau
“bermain-main” dalam puisi-puisi Jokpin ini. Sebab, di samping kosa kata keseharian itu,
Jokpin kerap juga menggunakan kata-kata yang tidak biasa kita temukan dalam
percakapan sehari-hari. Misalnya, kata “cabar”, “cerau”, “galau”, atau “pasai” (contoh-
contoh ini dapat kita temukan dalam puisi “Tuhan Datang Malam Ini”, halaman 47).
Sering juga Jokpin menggunakan istilah-istilah yang tak lazim, seperti “mosak-masik”
(Dalam “Kisah Seorang Nyumin”), “konspirasi kecemasan” dan “birokrasi kematian”
(“Ranjang (3)”).
Ada satu lagi unsur yang menyumbang pada kesan “enteng” dan “bermain-main” puisi-
puisi ini, yakni susunan kalimat. Jokpin seperti mengabaikan kelaziman berpuisi dengan
menyusun kalimat dalam berbagai aturan yang ketat. Untuk jelasnya, mari kita lihat
beberapa kutipan berikut:
(”Celana (1)”)
Baik jika kita membaca kedua contoh di atas dalam hati, maupun dengan dilisankan,
tetap timbul sebuah kesan bahwa puisi di atas sungguh “enteng” dan bermain-main.
Jika kita telusuri, kemungkinan kesan ini timbul karena Jokpin memang meminjam
struktur kalimat dalam percakapan sehari-hari untuk puisi-puisi tersebut. Jika saja
susunan tertulis kalimat-kalimat di atas diurutkan secara menyamping seperti prosa, dan
tidak dipatahkan demi membentuk baris-baris yang menjadi kelaziman puisi, maka
kalimat-kalimat itu akan terbaca lancar sebagai sesuatu yang prosaik sekaligus terasa
akrab kita jumpai dalam percakapan sehari-hari.
Dengan kata lain, susunan kalimat-kalimat di atas tidak mementingkan metrum, rima,
efek bunyi, dan langgam-langgam puisi lazimnya. Puisi-puisi tersebut seperti ingin
dengan santai menyampaikan sebuah cerita yang aneh. Memang, kita bisa segera
merasakan juga betapa puisi-puisi ini menyajikan sebuah keadaan yang aneh. Dalam
contoh pertama, keanehan terletak pada pengisahan si “aku” yang sedang mencari celana
yang “paling pas dan pantas/ buat nampang di kuburan”. Apakah ada celana yang pas
untuk nampang di kuburan? Apakah memang ada kegiatan “nampang di kuburan?”
Dalam contoh kedua, lebih-lebih lagi terasa situasi aneh itu. Pertama, sang narator
mengaku “sudah sekian tahun mayatku hilang”. Jika mayat si narator hilang, mengapakah
sang narator masih bisa menuturkan kisah pada kita? Lebih aneh lagi, setelah
mengungkap keheranannya soal ke mana saja si mayat itu “ngelayap”, si narator
mengisahkan bagaimana si mayat dulu pamit: iseng, ingin cari hiburan. Seakan tak cukup
aneh, puisi ini lanjut mengisahkan bahwa si mayat ingin nonton “komedi manusia di
kebun binatang.”
Dari dua contoh tersebut, kita bisa melangkah pada sebuah dugaan bahwa segala
kebermainan dan kesan “enteng” puisi-puisi Jokpin tersebut adalah sebuah kesengajaan si
penyair dalam rangka menyembunyikan (atau menghaluskan?) sesuatu yang lebih serius
dan subversif sifatnya. Tapi apa sesungguhnya yang ingin ia ungkapkan?
Jadi kita telah tiba pada dugaan bahwa kebermainan dan kesan “enteng” puisi-puisi
Jokpin ini adalah sebuah kesengajaan untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih serius.
Berikut ini adalah pendekatan lebih jauh tentang aspek yang segera menonjol dari puisi-
puisi dalam kumpulan ini, aspek yang juga disoroti oleh Sapardi Djoko Damono: aspek
humor puisi-puisi Jokpin.
Cukup bermanfaat untuk meminjam pengertian humor yang sederhana dari Arswendo
Atmowiloto[4], bahwa humor hakikatnya tak lain dari “logika bengkok”. Pengertian
logika bengkok sendiri hampir mirip dengan plesetan yang diterapkan di tingkat makna.
Contohnya adalah: dalam kenyataan, muka yang ditendang kuda pastilah akan terasa
sakit, malah mungkin ada tulang-tulang yang patah; namun dalam humor, muka penyok
ditendang kuda adalah sesuatu yang tak menyakitkan tapi menerbitkan kesan apes dan
konyol belaka.
“Logika bengkok” ini bisa diterapkan baik pada humor-humor slapstick (humor-humor
yang bersifat fisik, dan sering dianggap jenis humor paling rendah) hingga ke humor-
humor situasi yang canggih. Di tingkat yang canggih, seperti dalam episode-episode Mad
About You atau kartun-kartun Far Side Gallery karya Garry Larson, “logika bengkok”
dapat memiliki kualitas metaforik atau simbolik.
Agaknya, potensi humor inilah yang ditangkap dan diolah Jokpin. Mari kita ambil contoh
sebuah humor yang barangkali paling banyak diingat oleh para penggemar puisi-puisi
Jokpin, yakni idiom “burung dalam celana”.
CELANA (3)
Dalam puisi itu, terasa benar humor saru seputar soal perkelaminan. Jokpin dengan nakal
mengambil bulat-bulat sebuah idiom yang sangat umum di masyarakat, yakni penyebutan
kelamin lelaki dengan kata “burung”. Dalam kenakalan ini, Jokpin seperti mengingatkan
bahwa pada hakikatnya, ungkapan “burung” adalah kegiatan bermetafor yang sangat
dasar. Dan Jokpin mengangkat metafor yang menggelikan ini ke aras yang selama ini
dianggap “luhung”, yakni puisi.
Dan dengan ini, Jokpin memberi kita sebuah kepastian makna yang menggelikan
sekaligus menggoyahkan kepastian itu. Di satu sisi, pembaca Indonesia umumnya tahu
pasti bahwa “burung” yang dibicarakan Jokpin adalah kelamin lelaki (dan karena itu kita
merasa geli). Di sisi lain, bagaimanakah bisa “burung” tersebut “kabur entah ke mana”?
Tentu sukar kita menerima bahwa ini adalah sebuah ungkapan harfiah. Dengan demikian,
kita melihat bahwa Jokpin mengembalikan idiom “burung” (atau tepatnya “burung dalam
celana”) ke dalam kapasitas metaforiknya. Tapi masih tersisa pertanyaan, lantas apa
sebetulnya yang dibicarakan Jokpin dalam puisi tersebut?
Memang benarlah saran Sapardi, bahwa psikoanalisa Freudian bisa sangat membantu
pemahaman kita terhadap kumpulan puisi Celana ini. Tanpa terlalu membenam pada
persoalan teoritis psikoanalisa, kita bisa memusatkan perhatian pada salah satu unsur
terpenting teori ini, yakni bahasan tentang analisa mimpi.
Asumsi dasar psikoanalisa Freud adalah adanya dinamika hubungan antara alam sadar
dan alam bawah sadar yang menentukan perilaku serta kepribadian seseorang. Freud
percaya bahwa untuk dapat menganalisa kepribadian seseorang, kita harus mengeluarkan
apa yang tersembunyi dalam alam bawah sadar itu. Pada masa sebelum Freud, cara yang
lazim digunakan untuk mengorek alam bawah sadar tersebut adalah dengan hipnotis.
Freud menampik hipnotis, dan meyakini bahwa pembongkaran alam bawah sadar itu
harus dilakukan dalam keadaan sadar. Metode yang dikembangkan Freud adalah analisis
mimpi dan asosiasi bebas.
Dalam metode analisis mimpi, Freud berasumsi bahwa alam mimpi mengandung simbol-
simbol dari pengalaman di alam sadar yang disublimasi ke alam bawah sadar. Dalam
metode asosiasi bebas, Freud percaya bahwa tanggapan spontan atas kata-kata tertentu
mencerminkan sesuatu yang tersimpan di alam bawah sadar kita. Dengan kata lain,
psikoanalisa Freudian memercayai sepenuhnya fungsi simbol dan arti penting kata.
Kita bisa menerapkan pendekatan ini untuk mencoba memahami kumpulan puisi Celana.
Dalam kumpulan ini, kita menemukan ada beberapa kata yang menjadi motif (muncul
berulang-ulang) yang kami anggap sebagai kata-kata kunci dalam kumpulan puisi ini.
Misalnya, tentu saja, kata “celana”. Paling tidak, ada 5 puisi dalam kumpulan ini yang
menggunakan kata “celana”: “Celana (1)”, “Celana (2)”, “Celana (3)”, “Boneka Dalam
Celana”, dan “Terkenang Celana Pak Guru”.
Kata ini berkait dengan beberapa kata atau istilah kunci lain: “burung”, “seluk-beluk
yang di dalam celana”, “boneka di dalam celana”, dan sebagainya. Dalam salah satu
puisi, Jokpin dengan jenaka menggambarkan beberapa “penghuni di dalam celana”:
“Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi tentang hal-ihwal yang di dalam
celana:/ada raja kecil yang galak dan suka/ memberontak/ ada filsuf tua yang terkantuk-
kantuk/merenungi rahasia alam semesta/ada gunung berapi yang menyimpan/sejuta
magma” (”Celana (2)”). Bahkan dalam puisi itu digambarkan betapa “Columbus/ pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana/ dan Stephen Hawking khusyuk
bertapa di sana.” (”Celana (2)”)
Bukan hanya mengacu pada kelamin pria, idiom ini juga terkait dengan kelamin
perempuan. Misalnya, “gua garba yang diziarahi/para pendosa dan pendoa”, atau “lubang
sunyi, di bawah pusar, yang dirimbuni semak berduri”. Jelaslah dari kata-kata dan idiom-
idiom kunci ini, masalah perkelaminan, dan dengan demikian juga masalah ketubuhan,
adalah hal sangat penting dalam puisi-puisi Jokpin.
Apakah Jokpin sedang mengemukakan keyakinan yang sama dengan Freud bahwa seks
adalah intisari masalah manusia, hakikat dasar yang menyebabkan kepribadian timbul?
Tubuh memang bisa sangat mengungkung jiwa seseorang. Seks, lebih-lebih di zaman
modern yang serba terbuka tentang masalah ini, menjadi kenyataan baru yang bisa sangat
mengungkung.
Sebelum “celana”, Jokpin banyak mengolah kata “ranjang” (dalam kumpulan ini, ia
membuat 12 puisi berjudul Ranjang yang diberi nomor urut 1-12). Tapi dalam puisi-puisi
ranjang tersebut, Jokpin mengaitkannya dengan kata kunci lain: “kematian” dan “mayat”.
Dua kata kunci ini juga muncul di seantero kumpulan ini. Misalnya:
Atau:
Sumber: http://www.hikmatdarmawan.multiply.com/
Sajak-sajak 1997
Kau pusing
seharian keluar-masuk toko mainan
hanya untuk mendapatkan boneka lucu
yang akan kaugantung di atas ranjang.
Padahal di dalam celana
ada boneka paling jenaka
: boneka kecil yang sering tiba-tiba
menjelma raksasa.
Kau bilang
boneka mungilmu suka keluyuran
ke kebun binatang, ke suaka margasatwa,
ke hutan yang banyak hewan liarnya,
katanya untuk bermain dengan teman-temannya.
Kau sudah memanjakannya
dengan berbagai model celana
yang mahal harganya
tapi ia selalu lolos dan tak pernah
krasan tinggal di dalamnya.
“Sumpek dan penuh aturan,” katanya.
Di republik celana
tiran yang sangat kejam dan pendendam itu
sekarang telah menjadi raja telanjang
yang tua-renta dan sakit-sakitan.
Sehari-hari ia cuma duduk terkantuk-kantuk
di kursi goyang
sambil mulutnya komat-kamit
dan kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri
tapi batuknya masih dianggap sakti.
Pengawal: “Kalau Paduka sudah lelah
dan hendak istirah, silakan.
Hamba bersedia menggantikan Paduka
duduk di tampuk kekuasaan.”
(1997)
(1997)
Januari
untuk NAF
(1997)
Ziarah
(1997)
Poster Setengah Telanjang
untuk AM
(1997)
(1997)
(1997)
Di Sebuah Entah
untuk ND
(1997)
untuk GM
(1997)
“Badai, dinda,
badai menyerbu ke atas ranjang.
Kaudengarkah kini biduk mimpiku
sebentar lagi karam
di laut Rembang?”
Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam membara, encok meruyak pula.
Dan sepasang alap-alap melesat
dari ujung pena yang luka.
(1997)
Sajak-sajak 1998
Goyang
(1998)
Taman
(1998)
Daerah Terlarang
(1998)
Kalvari
(1998)
Ketika Pulang
(1998)
Pasar Sentir
Malam itu ia bawa uang lima ribu buat beli jas merah
sebab ia akan pesiar ke tempat yang indah.
“Jas ini memang pas untukmu.
Cocok buat membajul atau cari gandengan,”
kata perempuan antik itu setengah menggoda,
tapi lelaki nyentrik itu pura-pura tak tergoda.
Terang bulan. Dengan jas bekas dan celana kolor hitam
ia bersiap pergi jalan-jalan cari hiburan.
“Malam sangat dingin, Pangeran. Mau melancong ke mana?”
“Aku mau cari jangkrik di kuburan.”
(1998)
(1998)
Patroli
Kurcaci
(1998)
Sajak-sajak 1999
Tubuh Pinjaman
Tubuh
yang mulai akrab
dengan saya ini
sebenarnya mayat
yang saya pinjam
dari seorang korban tak dikenal
yang tergeletak di pinggir jalan.
Pada mulanya ia curiga
dan saya juga kurang selera
karena ukuran dan modelnya
kurang pas untuk saya.
Tapi lama-lama kami bisa saling
menyesuaikan diri dan dapat memahami
kekurangan serta kelebihan kami.
Sampai sekarang belum ada yang
mencari-cari dan memintanya
kecuali seorang petugas yang menanyakan status,
ideologi, agama, dan terutama harta kekayaannya.
Tubuh
yang mulai manja
dengan saya ini
saya pinjam dari seorang bayi
yang dibuang di sebuah halte
oleh perempuan yang melahirkannya
dan tidak jelas siapa ayahnya.
Saya berusaha merawat
dan membesarkan anak haram ini
dengan kasih sayang dan kemiskinan
yang berlimpah-limpah
sampai ia tumbuh dewasa dan mulai berani
menentukan sendiri jalan hidupnya.
Sampai sekarang belum ada yang mengaku sebagai ibu
dan bapaknya kecuali seorang petugas yang menanyakan
asal-usul dan silsilah keluarganya.
Tubuh
yang kadang saya banggakan
dan sering saya lecehkan ini
memang cuma pinjaman
yang sewaktu-waktu harus saya kembalikan
tanpa merasa rugi dan kehilangan.
Pada saatnya saya harus ikhlas menyerahkannya
kepada seseorang yang mengaku sebagai keluarga
atau kerabatnya atau yang merasa telah melahirkannya
tanpa minta balas jasa atas segala jerih payah
dan pengorbanan.
Tubuh
pergilah dengan damai
kalau kau tak tenteram lagi
tinggal di aku. Pergilah dengan santai
saat aku sedang sangat mencintaimu.
(1999)
(1999)
Pulang Mandi
(1999)
Perahu
: YBM
(1999)
Pohon Perempuan
(1999)
Di Sebuah Lukisan
(1999)
Perburuan
(1999)
Tahanan Ranjang
(1999)
Selimut
Selimut telah dilipat.
Dongeng perlu juga tamat.
Cepatlah berangkat
walau nafasmu masih tersengal
tersendat.
Musim panas telah datang
mengepak-ngepakkan sayapnya yang lunglai.
(1999)
: SDD
(1999)
(1999)
Topeng Bayi untuk Zela
(1999)
Toilet
(1)
(2)
(1999)
(1999)
untuk Clink
Sopirnya sepuluh,
kernetnya sepuluh,
kondekturnya sepuluh,
pengawalnya sepuluh,
perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali.
Sampai di terminal kondektur minta ongkos:
“Sialan, belum bayar sudah mati!”
(1999)
Malin Kundang
Utang
(1999)
Uban
(1999)
Kacamata
(1999)
Tetangga
(1999)
Misbar
(1999)
Veteran
(1999)
(1999)
Rumah Persinggahan
untuk SS
(1999)
Tamu
(1999)
Sajak-sajak 2000
Sehabis Tidur
(2000)
Meditasi
(2000)
Di Sebuah Mandi
(2000)
(2000)
Mei
: Jakarta, 1998
(2000)
Perempuan Jakarta
Perempuan pengembara.
Aku telah lihat ia punya rahasia.
Aku telah lihat tailalat kecil di teteknya,
tailalat besar di pantatnya.
Aku telah lihat luka yang dalam dan kekal
di sentral tubuhnya.
(2000)
Luas
(2000)
Kain Kafan
(2000)
Sakramen
(2000)
Perempuan Senja
(2000)
Kucing Hitam
(2000)
Sajak-sajak 2001
(2001)
Di Tengah Perjalanan
(2001)
Atau
Ada, selalu, yang akan datang jam tiga pagi, menyalakan waktu
di unggun tubuhmu, menghabiskan seluruh sisa sakitmu.
Bahkan sebelum kau sempat membangunkanKu.
(2001)
Pacarkecilku
untuk Anggra
(2001)
Kebun Hujan
(1)
(2)
Bertelur
(2001)
Penjual Buah
(2001)
Utan Kayu
untuk Godot
(2001)
Dangdut
(1)
Sesungguhnya kita ini penggemar dangdut.
Kita suka menggoyang-goyang memabuk-mabukkan kata
memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut.
(2)
Para pejoget dangdut sudah tumbang dan terkulai satu demi satu
kemudian tertidur di baris-baris sajakmu.
Malam sudah lunglai, pagi sebentar lagi sampai, tapi kau tahan
menyanyi dan bergoyang terus di celah-celah sajakmu.
Kau tampak sempoyongan, tapi kau bilang: “Aku tidak mabuk.”
Mungkin aku harus lebih sabar menemanimu.
(2001)
Obituari Bambang
(2001)
Pesan Uang
Ketika aku akan merantau buat cari penghidupan,
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu
cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam
terhadap kemiskinan.”
(2001)
Sepasang Tamu
Tentu bukan karena akik kalau rumah itu terpaksa saya jual
kepada seseorang dan orang itu kemudian menjualnya
kepada seseorang yang lain, demikian seterusnya.
Rumah itu memang angker,
tidak pernah bikin tenteram penghuninya.
Tidak salah lagi, dia adalah si bekas pedagang akik yang dulu
menghiba-hiba di hadapan saya.
Sayang ia pura-pura tidak pernah kenal saya.
(2001)
Rumah Kontrakan
(2001)
Memo Celana
untuk Iqbal
(2001)
Mudik
(2001)
Pengamen
(2001)
Penagih Utang
(2001)
Loper Koran
Suatu siang loper koran yang tak pernah membaca koran itu
mati ketabrak mobil wartawan. Tubuhnya digeletakkan
di pinggir jalan dan hanya ditutupi selembar koran.
Banyak yang pura-pura sibuk mengurusnya dan, tentu saja,
ada yang diam-diam mengincar dompetnya.
(2001)
Hampir
(2001)
Ronda
(2001)
(2001)
Serdadu
Ketika kau tidur, ada seorang serdadu duduk-duduk di atas
tubuhmu, merokok, main gitar, dan dengan suara sumbang
menyanyikan lagu selamat malam.
(2001
Sajak-sajak 2002-a
Bunga Kuburan
Gadis kecil itu suka sekali memetik mawar putih dari kuburan,
kemudian menanamnya di ranjang.
“Bunga ini, Bu, akan kuncup dalam tidurkuku.”
Gadis kecil itu suka sekali memetik mawar putih dari kuburan
dan ibunya tidak sampai hati mengatakan:
“Buah hatiku, sesungguhnya engkau anak si pemerkosa itu.”
(2002)
Di Sebuah Vagina
(2002)
(2002)
Perias Jenazah
(2002)
Jurang
(2002)
Doa Mempelai
(2002)
Penjaga Malam
(2002)
Aku Tidur Berselimutkan Uang
(2002)
Penumpang Terakhir
Lukisan Berwarna
(2002)
(2002)
Mampir
(2002)
Penyair Kecil
untuk Nur
(2002)
Penjual Celana
(2002)
Bolong
(2002)
Tanpa Celana
Aku Datang Menjemputmu
untuk Wibi
(2002)
Sajak-sajak 2002-b
Telepon Genggam
Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama dan nomor,
menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho.
Awas kalau tidak.
Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya
dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke
kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di
hati.
Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya
tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon
genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya.
Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu,
menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat
disayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya
makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu
Halo halo Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.
Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan
membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang
dipakainya ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon
genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia
terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok.
Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya.
Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba
berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung
berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun
pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.
Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja
karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba
menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon
genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.
Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti.
Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya,
genggam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang
ingin tetap tampak perkasa.
Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-
tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring,
lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya,
sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya.
Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari
main layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan
lengang. Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan
dahan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu,
sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam
haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.
(2002)
Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam negara untuk
dijadikan kelinci dalam percobaan sistem keamanan. Sampai sekarang belum
dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya cuma pemberani yang lugu dan kadang-
kadang nekat. Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu, meskipun menunggu adalah
luka. Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering
menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran.
Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan
menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam
hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya
kepada anak-anaknya bila mereka sakit.
Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang
mudah menangis. Bila anak-anaknya bertanya, “Mengapa Ibu tidak pernah menangis?”,
jawabnya, “Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa
memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.”
Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber- di sekolah partikelir yang hidup
enggan mati tak mau. Sebagian besar muridnya bodoh dan berandal, tapi ya bagaimana
lagi, mereka tetap harus dicintai. Ia rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa,
apalagi menangis, menghadapi kegagalan. “Berlatih gagal itu penting,” pesannya
berulang-ulang.
Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah dan pekerjaan sehingga ia kurang
hiburan. Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang sudah agak pucat
gambarnya. Dan ia penggemar televisi yang baik. Ia bisa sangat terharu menyaksikan
kisah yang menyayat hati, misalnya kisah tentang pejuang yang digugurkan negara dan
jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut trenyuh dan tersedu melihat ibu
mereka diam-diam mengusap airmata. “Jangan menangis!” bentak ibu yang tabah itu
tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”
(2002)
Mataair
(2002)
Hingga dewasa saya tak pernah tahu saya ini sebenarnya anak siapa. Sejak lahir saya
diasuh dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang lelaki yang biasa disebut ayah. Ibu
pernah mengaku bahwa dulu ia memang suka kencan dengan banyak lelaki, tapi tak bisa
memastikan benih lelaki mana yang tercetak di rahimnya, kemudian terbit menjadi saya.
Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang, dan bagi anak seperti saya yang
mengalami kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh tidak penting-penting amat. Dan
ketika seorang teman penyair iseng-iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati atau
cinta birahi, hasil hubungan terang atau hubungan gelap, saya menganggap dia bukanlah
pernyair cerdas. Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya, “Kau, penyairku, apakah
kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?”
Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-ngaku sebagai ayah saya. Masing-
masing menyatakan perihal cintanya yang tulus kepada wanita yang kemudian
melahirkan saya. Mereka juga merasa bangga terhadap saya. Sayang, saya tak
membutuhkan pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya
tetap menjadi milik rahasia.
Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit. Kondisi tubuhnya makin hari makin lemah.
Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan sajak-sajak saya dan kadang ia
mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Entah mengapa, beberapa saat sebelum
beliau wafat saya sempat lancang bertanya: saya ini sebenarnya anak siapa? Saya
bayangkan ibu yang penyayang itu akan hancur hatinya. Tapi, sambil mengelus kepala
saya, ia menjawab hangat: “Anak seorang perempuan!”
(2002)
Rendezvous
Kau sudah tak sabar menungguku di halaman rumah berdinding putih itu.
Di atas bangku di bawah pohon cemara duduk seorang wanita setengah baya
sedang suntuk membaca dan sesekali tertawa.
Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela berebut bianglala
dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya.
Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan,
dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan cepat-cepat
masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus jejaknya.
(2002)
Tikus
Banyak orang begitu jijik dan benci pada tikus, tapi perempuan lajang yang tinggal
sendirian di rumahnya yang besar itu justru merasa tentram bersahabat dengan tikus-tikus
yang mencericit terus tiada hentinya. Entah berapa tikus berumah di rumahnya. Dan
setiap hari ada saja tikus mati, lalu dengan sedih ia buang ke selokan.
Sebelum tidur, sambil mengantuk, ia sempatkan membaca buku Hidup Bahagia bersama
Tikus sementara konser tikus berlangsung terus sampai jauh malam, juga ketika ia sudah
nyenyak bermimpi bertemu kekasih yang selama ini ia sembunyikan dalam ingatan.
Malam itu ia tidur berselimutkan sarung cap tikus, dan ada tikus besar dari kuburan
mondar-mandir di sekitar tubuhnya, mengendus-endus sakitnya. Saat bangun ia menjerit
mendapatkan tikus-tikus mati berkaparan di ranjang. Sialan, kau dapat cericitnya, aku
bangkainya!
(2002)
Sajak-sajak 2003-a
Ini Januari, bulan yang rajin mandi. Di sebuah gang lengang di sudut Januari saya
berpapasan dengan seorang perempuan muda, wajahnya milik trauma. Kepalanya agak
tunduk, matanya sedikit sembab seperti habis menangis. Saya urung menyapanya dengan
selamat pagi karena ia tampak cuek sekali. Ia biarkan serbuk hujan bertaburan di atas
rambutnya yang diikat begitu saja, mengguyuri baju putih lengan panjang, celana blue
jeans yang sedikit pudar warnanya, dan sepatu tok-tok kecoklat-coklatan. Seakan ia ingin
bilang Selamat tinggal kecantikan! Saya terkesima: rasanya saya pernah melihatnya entah
di mana. Sebelum saya sempat mengingatnya, tubuhnya keburu lenyap ditelan tikungan.
Malamnya saya bermesra-mesraan dengan demam setelah seharian banyak minum hujan.
Dalam demam saya tergoda untuk menjumpai para penyair kesayangan saya. Buat orang
semelankolis saya, membaca puisi sering lebih mujarab dari minum obat dan saya
berusaha tidak telat minum puisi sebab akibatnya bisa gawat. Nah, itu dia. Saya terhenti
lama di sebuah sajak Sapardi Djoko Damono, “Pada Suatu Pagi Hari”:
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang
lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa
berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Intuisi saya mengatakan bahwa perempuan yang berpapasan dengan saya di gang lengang
pagi tadi adalah perempuan dalam sajak Sapardi. Saya akan menanyakannya ke yang
bersangkutan suatu saat nanti.
***
Atas petunjuk seorang teman, akhirnya saya jadi menempati rumah besar yang letaknya
agak terpencil di pinggir sungai, meskipun banyak orang menganjurkan jangan karena
rumah itu angker, ada jinnya, dan memang setiap orang yang pernah tinggal di situ cuma
tahan sebentar, lalu pergi mencari rumah kontrakan lain yang lebih aman.
Konon rumah itu ditunggui seorang laki-laki tanpa celana yang suka muncul malam-
malam ketika penghuninya terjaga, dan ia paling suka mencegat orang yang sedang
tergopoh-gopoh ke kamar mandi. Oleh seorang penyair saya disarankan cepat-cepat
telanjang bila ia datang, lalu katakan selamat malam. Maka, setelah mengucapkan Terima
kasih Nona, ia akan segera pamit dan menghilang.
Beberapa bulan tinggal di rumah itu, saya tidak pernah mendapat gangguan apa-apa
selain serbuan tikus-tikus yang cericitnya membuat keheningan terasa makin menggema
sehingga saya bisa dengan tenang menulis novel yang sudah lama saya idam-idamkan.
Kecurigaan baru muncul ketika suatu hari saya jatuh sakit. Dalam sakit saya sering
mendengar suara orang batuk di kamar mandi, kadang disertai jeritan Sakit euy!
Suatu malam, ketika sedang terhuyung-huyung ke kamar mandi untuk buang sakit, saya
dihadang seorang laki-laki tanpa celana dengan darah mengucur dari kelaminnya.
Seketika saya ucapkan selamat malam sambil saya tatap wajahnya yang meringis
kesakitan, dan seketika pula ia menghilang sebelum saya sempat telanjang.
Saat itulah samar-samar saya melihat bayangan wajah ayah saya yang di suatu pagi buta,
dulu, dijemput beberapa orang tak dikenal berwajah seram dan sejak itu saya tak pernah
lagi melihatnya. Saya mengingatnya sayup-sayup saja karena waktu itu saya baru enam
tahun. Konon ayah saya seorang penyair yang berani, meskipun karyanya tidak hebat-
hebat amat. Saya tidak tahu bagaimana persisnya, tapi saya pernah mendengar cerita
orang-orang tentang seniman dan demonstran yang diculik kemudian disiksa, bahkan
katanya ada yang sampai dikerat kemaluannya.
Terbayang wajah laki-laki tanpa celana, saya segera teringat sebuah puisi Sapardi Djoko
Damono yang sangat saya hafal salah satu baitnya:
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang
lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa
berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Berkali-kali saya keluar-masuk puisi itu dan akhirnya saya yakin bahwa laki-laki tanpa
celana yang meringis kesakitan itu adalah laki-laki yang saya jumpai dalam sajak
Sapardi. Semula saya berniat menanyakan hal ini langsung kepada penyairnya, tapi lalu
saya pikir untuk apa, sebab Sapardi pasti akan mengatakan bahwa pengarang telah mati.
***
Sebagai wartawan yang boleh dibilang agak kurang kerjaan, saya sering menyempatkan
diri menelusuri jejak perempuan itu. Belakangan saya tahu bahwa ia tinggal sendirian di
sebuah rumah angker di pinggir sungai. Saya sering pura-pura lewat di depan rumahnya
hanya untuk memastikan bahwa ia memang tinggal di sana. Kadang-kadang saya melihat
ia berdiri lama di depan jendela, bercakap-cakap dengan senja.
Saya memutuskan untuk menemui perempuan misterius itu karena memang ada hal
penting yang ingin saya tanyakan. Saat itu sedang berlangsung demonstrasi besar-besaran
menentang kenaikan harga bahan bakar minyak yang diikuti dengan makin anjloknya
harga manusia. Saya melihatnya di tengah kerumunan demonstran sedang mengacung-
acungkan tangan sambil meneriakkan kata-kata yang tidak bisa saya dengar jelas
bunyinya. Saya dekati dia, saya ajak ke tempat yang agak sepi untuk, katakanlah,
semacam wawancara.
“Non, sepertinya saya pernah melihat Non dalam sajak Sapardi, ‘Pada Suatu Pagi Hari’.”
Ia tampak bingung dan tidak mengerti apa yang saya katakan.
“Mengapa pagi itu Non kelihatan habis menangis? Sepertinya baru pulang dari kuburan.
Siapa yang meninggal, Non?”
Ia makin bingung dan tampak mulai curiga dengan kesehatan jiwa saya. Setelah minta
maaf kalau-kalau kelakuan saya telah melukai perasaannya, saya katakan bahwa Sapardi
titip salam untuknya (padahal cuma akal-akalan saya saja).
“Sapardi? Pangeran dari mana? Saya nggak kenal tuh.”
Tanpa permisi, cepat-cepat saya tinggalkan dia.
***
Saya mengasingkan diri ke rumah ini, meninggalkan ibu dan saudara-saudara saya,
karena saya tak ingin terpenjara dalam kepedihan masa lalu saya. Toh setiap akhir pekan
saya sempatkan pulang ke rumah Ibu, menghirup kehangatan dan kedamaiannya. Saya
tidak pernah bercerita kepada Ibu bahwa alasan utama saya pergi menyendiri adalah
karena ingin menulis sebuah kisah, bukan karena tak bisa berdamai dengan rumah.
Ketika novel yang sedang saya tulis mulai terancam macet, laki-laki tanpa celana itu
muncul lagi. Ia sering datang lewat tengah malam ketika saya sudah lelap di
pembaringan. Ia duduk di kursi yang biasa saya duduki, mencelupkan pena pada darah
yang menyembul dari kelaminnya, lalu menuliskan kata-kata di atas halaman-halaman
buku yang terbuka di atas meja kerja saya. Sesekali, saat terjaga, saya dengar ia
mengerang, Sakit euy! Ah, laki-laki tanpa celana itu, dengan caranya sendiri, telah ikut
menyelesaikan novel saya.
Banyak orang heran dan tak habis pikir, bagaimana mungkin perempuan selembut saya
(padahal sebenarnya saya agak cerewet dan keras kepala) bisa betah dan tenang-tenang
saja tinggal di rumah terpencil yang menurut mereka sangat menakutkan. Mereka
kemudian menyebut saya perempuan sakti karena dianggap mampu mengusir jin laki-laki
tanpa celana yang konon sudah menelan banyak korban. Ada yang bahkan meminta saya
menyembuhkan penyakit aneh yang bersarang di tubuhnya.
Oh ya, tentu saya tahu bahwa laki-laki yang berpapasan dengan saya di gang lengang itu
diam-diam suka memantau keberadaan saya. Tampaknya dia memang wartawan yang
agak kurang kerjaan karena sering mencari-cari kesempatan hanya untuk memperhatikan
atau minta perhatian saya. Seperti tidak ada bahan berita saja. Jangan-jangan dia naksir
saya tapi tidak berani atau malu berterus terang. Gombal ah!
***
Setelah beberapa lama tidak mengikuti jejaknya, tiba-tiba saya mendapat undangan untuk
menghadiri malam peluncuran novel perdananya: Laki-laki Tanpa Celana. Sayang sekali
saya datang agak terlambat. Ketika sampai di tempat acara, saya lihat perempuan itu
sedang sibuk menjawab pertanyaan orang-orang yang tanpa membaca karyanya terlebih
dulu sudah berani menyatakan diri sebagai penggemarnya. Gila, perempuan itu
mengenakan semua yang ia kenakan saat berpapasan dengan saya di gang lengang itu:
baju putih lengan panjang, celana blue jeans yang sedikit pudar warnanya, dan sepatu
tok-tok kecoklat-coklatan. Rambutnya pun diikat begitu saja. Dan matanya sangat
kenangan. Saya memperhatikannya dari jauh dan diam-diam mengagumi keindahan
bicaranya.
Saya hampir tak percaya melihat Sapardi duduk manis di samping perempuan itu,
memberikan komentar sambil membolak-balik halaman-halaman buku Laki-laki Tanpa
Celana yang disebutnya memikat antara lain karena tokohnya luar biasa. Sesekali mereka
berdua terlihat berbincang akrab sambil ketawa-ketawa, padahal dulu perempuan itu
mengaku tidak mengenalnya. Saya tidak tahu apakah mereka diam-diam bersekongkol
untuk menghancurkan mental saya. Mudah-mudahan cuma kebetulan saja.
Mungkin sudah menjadi suratan nasib saya, ketika saya hendak menyodorkan buku
novelnya dan minta tanda tangannya, perempuan itu seakan-akan tidak mengenal saya,
bahkan menjauh menghindari saya. Entah mengapa tiba-tiba saya merasa sangat
nelangsa. Dan, sebagaimana tersabdakan dalam sajak Sapardi, malam itu saya ingin
sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong yang gelap. Saya ingin malam
itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar saya bisa berjalan sendiri saja sambil
menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
(2002/2003)
Selamat Tidur
Telepon genggam mau tidur. Capek. Seharian bermain monolog. Banyak peran. Konyol.
Enggak nyambung.
Paling pusing bicara dengan bahasa siluman. Serba akronim dan singkatan. Maunya
hemat waktu. Enggak hemat pikiran dan perasaan. Sok cerdas. Pemalas.
Paling senang sebelum tidur bisa memainkan beragam musik yang semuanya
sesungguhnya hanya variasi dari suara tangis pertama seorang bayi.
Beethoven, telepon genggam mau tidur. Boleh dong pinjam telingamu yang tuli untuk
menampung bunyi!
(2003)
Panggilan Pulang
Adzan subuh berkumandang. Penuh hujan. Ia buka telepon genggam. Tumben, ayah
kirim pesan: Ibu sakit. Kangen berat. Nenek sudah tiga hari hilang. Makam kakek belum
sempat dibersihkan. Sarung ayah dicuri orang. Utang stabil. Pohon nangka di samping
rumah tumbang. Bisa pulang? Bisa minta ijin telepon genggam?
(2003)
Laut
Sekali-sekali telepon genggam perlu juga diajak piknik atau jalan-jalan. Ke pantai,
misalnya. Supaya makin luas pandangannya. Makin lepas jangkauannya.
Di pantai ia jatuh cinta pada laut. Ia memanggil-manggil nama laut, tapi suaranya lenyap
ditelan laut.
Aku tiduran di atas pasir, sementara telepon genggam sibuk memotret awan dan air,
merekam derai dan desir. “Silakan kau latihan mati,” katanya. “Aku ingin begadang,
mendengarkan bisikan-bisikan laut.”
Sekarang, bila aku sakit, telepon genggam suka menggodaku dengan suara angin dan
ombak. Lalu ia perlihatkan profil bulan yang malu-malu. Profil ajal yang diutus waktu.
“Ingat, kau sudah latihan mati di pantai,” bisiknya. Tiba-tiba aku mendengar gemuruh
laut.
(2003)
Selamat Tinggal
(2003)
Klik. Kali ini ia mendapat kiriman e-mail yang tidak biasa. Bukan kata-kata. Bukan
kalimat-kalimat bego yang enggak ngerti logika dan gramatika. Tapi gambar seorang
lelaki yang sedang tergesa-gesa meninggalkan kamar mandi. Lelaki itu tampak ketakutan
sekali, seakan ada peri yang ingin segera mencicipi luka yang menganga di tubuhnya.
Telepon genggam menyela. Dari seberang seorang perempuan bicara: “Aku kirim gambar
bagus, sudah sampai belum?” “Gambar apa?” “Gambar lelaki sedang tergopoh-gopoh
mengenakan celana karena ketakutan sendirian di kamar mandi.” “Sudah. Barusan
kubuka. Tapi lelaki itu sudah enggak ada. Yang ada cuma celananya, teronggok di lantai
kamar mandi. Biru kan celananya?” “Benar, biru. Tapi menghilang ke mana lelaki lucu
itu?” “Sudah kuhapus.” “Lho, kenapa?” “Habis dia mirip aku!” “Ha ha ha ….”
Ia sudah selesai melakukan tugas rutin tengah malam: membuka e-mail. Tapi kali ini ia
tidak tertarik membalas e-mail. Ia ingin sekali kencing, tapi tidak berani ke kamar mandi.
Padahal kamar mandi cuma bersebelahan dengan ruang kerjanya.
(2003)
Jam
Satu-satunya barang berharga yang masih tersisa di rumahnya adalah jam. Jam dinding
peninggalan kakeknya yang sengaja ia pasang di ruang tamu supaya setiap orang yang
datang bertandang bisa ikut mengagumi waktu. Tiap jam dua belas malam jam itu
berdentang dua belas kali.
Mewah sekali rasanya duduk santai di bawah jam di malam hujan sembari merokok dan
baca koran, mendengarkan dua belas dentang jam, mengenang yang telah silam,
membayangkan yang bukan-bukan sambil senyum-senyum (dan, kalau perlu, menangis)
sendirian, kemudian tertidur di sandaran kursi sampai saat terdengar kumandang adzan.
Hari itu ia pulang dari kelilang-keliling di luar negeri: cari uang, cari pacar, cari gengsi,
cari pengalaman, dan katanya sih cari tujuan. Ia membawa oleh-oleh banyak sekali,
termasuk beberapa arloji; semuanya untuk dirinya sendiri.
Sungguh parah kangennya hingga begitu membuka pintu ia langsung berseru, “Jam, aku
pulang!” Sayang, jam tidak bisa terharu. Ia malah bingung: “Sebetulnya siapa yang lebih
pengembara: kamu atau aku?” Toh tiap jam dua belas malam ia tetap berdentang dua
belas kali.
(2003)
Foto
Ia bangga sekali bisa memasang fotonya yang lumayan keren di dinding ruang kerjanya,
persis di bawah jam. Berhubung ia sering melaksanakan tugas-tugas negara di luar
kantor, foto itu dianggapnya dapat mewakili cintanya yang resmi kepada instansi yang
dipimpinnya serta pegawai-pegawainya yang patuh-setia.
Tiap hari ada saja pegawai yang datang terlambat. Tanpa sungkan-sungkan pegawai
langsung menuju ke ruang kerjanya dan menghormat fotonya: “Maaf bos, saya telat.
Kena macet.” Pegawai yang suka ngacir lebih dulu juga tidak malu-malu minta pamit
kepada fotonya: “Saya ijin membolos ya bos. Mau buang sebel di kafe.”
Setelah beberapa hari tidak menjenguk kantor, siang itu ngapain bos nongol. Pura-pura
tampak berwibawa, ia meluncur ke ruang kerjanya untuk menghadap fotonya: “Selamat
siang bos. Apa kabar? Lama tidak kelihatan.” Para pegawai berpandang-pandangan
penuh keheranan. “Foto itu sudah gila!” seru salah seorang dari mereka.
(2003)
Anjing
Rumahku dijaga dua anjing cerdas: anjing sungguhan dan anjing-anjingan. Anjing
sungguhan sungguh cerewet dan sok polisi: sepi berkelebat sedikit saja ia sudah panik
lalu menyalak keras sekali. Anjing-anjingan sungguh kalem lagi pemalu: maklum,
tubuhnya terbuat dari waktu, eh batu.
Entah mengapa malam lebih takut pada anjing-anjingan ketimbang pada anjing
sungguhan sehingga anjing sungguhan jadi cemburu. “Aku yang sibuk menjaga rumah
ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!” kata anjing sungguhan kepada anjing-
anjingan.
Aku sering terbangun dari tidurku mendengar dua ekor anjing bertengkar hebat di depan
pintu. Dari suaranya aku bisa tahu bahwa anjing sungguhan makin lama makin frustrasi.
Aku baru sadar bahwa anjing-anjingan bisa lebih anjing dari anjing sungguhan. Tapi
kalau tidak ada anjing sungguhan, anjing-anjingan pasti akan sangat kesepian. Bisakah
kalian berdamai, hai anjing-anjingku?
(2003)
Ojek
Di pertigaan jalan yang selalu ramai itu terdapat pangkalan ojek yang dikuasai oleh kira-
kira dua puluh laki-laki berseragam hitam. Mereka siap mengantar siapa saja ke tempat
terpencil yang tak terjangkau kendaraan umum. Untuk menunjukkan kekompakan,
mereka memakai helm berwarna jingga, warna yang sangat mudah dikenali oleh
pengguna jasa mereka. Bagi saya yang baru pertama kali akan naik ojek dari sana, tidak
mudah membedakan mana tukang ojek yang ramah dan mana yang suka marah sebab
wajah mereka sama dinginnya.
Karena sudah larut petang, kendaraan yang menuju ke tempat yang akan saya datangi
sudah tidak jalan. Tidak ada cara lain, harus naik ojek. Begitu turun dari bus, saya
langsung disergap oleh seorang tukang ojek bermata garang. Semula ia tampak asing
dengan alamat yang saya sebutkan. Baru setelah saya bujuk-bujuk dengan ongkos yang
jauh lebih tinggi, dengan senang hati ia bersedia mengantar saya. “Kita cari saja, pasti
ketemu,” ujarnya.
Diam-diam saya merasa was-was mendapat tukang ojek yang sangat mencurigakan.
Sepanjang perjalanan saya berdebar-debar seraya tak henti-hentinya berdoa memohon
keselamatan. Apalagi jalanan gelap dan sepi, naik-turun penuh tikungan. Saya jadi
teringat berita di koran tentang tukang ojek gadungan yang merampok dan kemudian
menghabisi penumpangnya sendiri. Ketakutan saya makin berlipat ganda karena
sepanjang perjalanan si tukang ojek diam saja, menjalankan sepeda motornya juga
seenaknya, tidak mau tahu bahwa penumpang adalah raja.
“Syukur alhamdulillah, selamat juga akhirnya!” Itulah yang segera diucapkan si tukang
ojek begitu sampai di tempat tujuan. Lho, seharusnya kan saya yang mengucapkan itu?
Tidak saya duga, tukang ojek itu pun berdebar-debar sepanjang perjalanan karena ia
teringat temannya sesama tukang ojek yang tewas mengenaskan setelah dirampok dan
dianiaya oleh penumpangnya sendiri. Wah, draw kalau begitu. Tapi saya tetap merasa
rugi karena diam-diam saya dicurigai sebagai pencoleng berlagak penumpang.
Indah sekali kompleks perumahan yang saya kunjungi ini. Terletak di atas sebuah bukit,
dari ketinggiannya yang hening dan asri saya bisa menyaksikan gugusan cahaya warna-
warni di bawah sana. “Itu kota saya,” kata saya. Kemudian saya masuk gerbang, mencari-
cari rumah mungil tempat sahabat saya yang baik hati sedang beristirahat. Ia mati dengan
sederhana dalam perjalanan naik ojek menuju desa kelahirannya setelah sekian lama
hidup makmur dan sejahtera di kota, tapi konon gagal total dalam petualangan cinta.
Tukang ojek yang mengantarnya pulang terkena serangan jantung mendadak; sepeda
motornya terkejut, kehilangan keseimbangan, kemudian meluncur ke dalam jurang
bersama penumpangnya.
“Tunggu sebentar ya, saya mau bicara dengan teman saya,” pinta saya kepada tukang
ojek. Tanpa berpikir panjang, tukang ojek yang penakut itu cepat-cepat ngacir setelah
sebelumnya berkata, “Kalau tahu mau ke kuburan, saya tidak akan sudi mengantarkan!”
Wah, tukang ojek itu tidak tahu bahwa jika suatu saat nanti saya tiba di surga, hal pertama
yang akan saya lakukan adalah naik ojek keliling kota, bersenang-senang menikmati
tabungan.
(2003)
Koma
Menjelang dinihari pengarang itu mati. Kepalanya terkulai di atas meja, batuknya serasa
masih menggema, sementara rokok yang belum habis dihisapnya masih menyala di atas
asbak. Tubuhnya babak belur sehabis semalaman duel seru melawan komplotan kata:
duel satu lawan satu maupun satu lawan dua, lima, sepuluh, pokoknya banyak. Di layar
komputernya tertera tulisan: Kutunggu lagi kalian besok malam. Boleh satu lawan satu,
boleh keroyokan.
Besoknya ia datang lagi ke gelanggang. Ia pikir malam itu ia akan berhadapan dengan
komplotan kata yang lebih preman. Tak tahunya cuma ditantang sebuah tanda koma yang
berani-beraninya muncul sendirian. Ah, itu sih kecil. Sekali pukul saja pasti terpental.
Wow, ia salah duga. Koma ternyata sangat perkasa. Sudah bertarung semalam suntuk,
belum juga ia takluk. Malah makin mbeling saja. Bukan main cerdiknya. “Belajar silat di
mana, dik? Di sekolah ya?” tanya pengarang. “Ah, tidak. Saya otodidak saja,” jawab
koma.
Antara mabuk dan mengantuk, pengarang berusaha keras mengeluarkan jurus-jurus jitu
untuk melumpuhkan koma. Sebab hanya yang mampu menguasai koma yang layak
menyebut diri jagoan. Dan tahukah, pengarang, koma pula yang setia menungguimu saat
kau mati menjelang dinihari?
Ketika pengarang terbangun dari mati, koma memberi kabar bahwa judul sedang sakit
sehingga tidak bisa datang. “Dia memang tidak tahan banting. Manja!” ujarnya. “Lantas
siapa yang menggantikannya?” timpal pengarang. “Sudah jelas saya, masih nanya!” kata
koma.
(2003)
Mandi
Mereka tiba di kamar mandi menjelang tengah malam ketika langit terang dan bulan
sedang cemerlang. Pemimpin rombongan segera angkat bicara: “Hadirin sekalian, malam
ini kita berkumpul di sini untuk mengantar mandi salah seorang saudara kita. Mari kita
sakiti dia agar sempurnalah mandinya.”
Korban segera diseret ke kamar mandi dan diperintahkan berdiri di depan. Wajahnya
tertunduk pucat, tubuhnya gemetar, dan matanya seperti kenangan yang redup perlahan.
Belum sempat pemimpin rombongan menanyakan tanggal lahir dan asal-usul korban,
orang-orang yang sudah tak sabar menyaksikan sekaratnya berseru nyaring: “Mandikan
dia! Mandikan dia!”
Tubuh tak bernama yang terlampau tabah menerima cambukan waktu yang gagah
perkasa. Mandikanlah dia.
Sepi yang tinggi besar melangkah masuk sambil terbahak-bahak. Korban diperintahkan
berdiri. Mandi!” bentaknya. Dengan geram diterkamnya tubuh korban dan kemudian
dikuliti. Lihatlah, korban sedang mandi. Mandi dengan tubuh berdarah-darah.
Bahkan bulan tak berani bicara; dengan takut-takut ia melongok lewat genting kaca. Sepi
makin beringas. Ia cengkeram tubuh kurus korban, ia serahkan lehernya kepada yang
terhormat tali gantungan. Krrrkk! Sepi melenggang pergi sambil terbahak-bahak,
meninggalkan korban berkelejatan sendirian. Lalu, di hening malam itu, tiba-tiba
terdengar seorang bocah menjerit pilu: “Ibu, tolong lepaskan aku, Ibu!”
(2003)
Mandi Malam
Mandi malam sangat rawan. Banyak ancaman. Kalau tidak siap dan kuat, bisa-bisa
pulang telanjang. Ia pun pergi mandi membawa pisau. Pisaunya tajam berkilau. Awas,
kuhabisi kau kalau coba-coba mengacau!
Masuk kamar mandi, langsung berkelahi. Pisau bicara. Mati satu, mati semua. Sampai
akhirnya terdengar suara menghiba: Ampun. Menyerah.
Mandi telah dilaksanakan. Sukses. Wajahnya belepotan darah. Darah siapa? Tahu gelagat,
sepi cepat-cepat menjawab: Darahnya sendiri!
(2003)
Buku
Hadiah terindah yang kudapat dari buku ialah ingatan: pacar terakhir yang selalu
membujukku agar tidak mudah mati dalam kehidupan, hidup dalam kematian.
Aku teringat sebuah buku yang pernah kulihat dua puluh tahun lalu. Buku kecil yang aku
lupa-lupa ingat judulnya. Berkat jasa baik seorang pemulung bukulah akhirnya bisa
kutemukan buku itu di sebuah kios buku loak yang letaknya ternyata tidak jauh-jauh amat
dari rumahmu. Memang buku lama. Tapi apa bedanya lama dan baru jika aku belum
pernah membacanya?
Ah, buku tua itu tidak sanggup lagi memamerkan keangkuhannya. Seluruh halamannya
sudah kuning kecoklat-coklatan. Bagian pinggirnya sudah geriwing digerogoti waktu.
Foto pengarangnya pun sudah pudar, bahkan keropos dan sebentar lagi hancur. Malang
benar nasibmu, pengarang. Fotomu yang jelek kautampangkan dengan penuh kebanggaan
hanya untuk merana dan mungkin tak pernah digubris orang. Dan ngomong-ngomong,
sudah mendapat bayaran atau belum, wahai pengarang budiman?
Buku itu isinya sederhana saja: berkhotbah tentang bagaimana sebaiknya membaca buku.
1. Jangan sok pintar dan sok tahu. Jangan belum-belum sudah bilang: ah, kalau cuma
begini aku juga mampu.
2. Jangan cepat merasa bodoh kalau tidak juga paham apa maunya buku. Apa yang tak
kaupahami suatu saat toh akan membukakan diri.
3. Jangan terlalu lugu. Tahu kan batas antara lugu dan dungu sering tidak jelas-jelas
amat? Kau bisa saja mengganti kata-kata dalam buku dengan kata-katamu.
4. Jangan sok filsuf: membaca buku sambil mengernyitkan dahi dan mengerutkan mata,
apalagi pakai ketok-ketok jidat segala. Santai saja, supaya tidak penat. Kalau penat, kata-
kata yang kaubaca tidak akan bebas menari-nari dalam otakmu.
Alkisah, setelah sekian lama berpacaran dengan buku-buku, temanku seorang macan
buku akhirnya menikah juga dengan pacarnya yang sungguhan, yang sama-sama
pencandu buku. Karena tak biasa kasih kado, aku berikan saja buku tua itu sebagai kado
pernikahannya.
Ngakunya bulan madu, baru sehari ia sudah meneleponku. Kukira mau mengucapkan
terima kasih, tak tahunya cuma mau memaki-maki.
“Brengsek kau! Gara-gara buku rombeng pemberian kau, program malam pertamaku jadi
kacau-balau.”
“Maksud kau?”
“Ya aku jadi lebih sibuk membaca buku daripada membaca istriku.”
“Terus?”
“Ia rebut buku itu, lalu ia tamparkan ke jidatku.”
“O, bagus itu. Seperti awal-awal orang belajar mencintai buku kan?”
“Bagus matamu! Tahu nggak, gara-gara buku sialan itu istriku belum-belum sudah
ngomongin cerai segala?”
“Ah, kau juga bego sih. Sudah sekian tahun jadi pembaca buku, belum juga tahu cara
belajar membaca istrimu.”
“Ala, sok tahu lu. Kawin aja belum.”
“Belum atau sudah kawin kan aku sendiri yang lebih tahu. Lugu amat lu!”
Malang dapat ditolak, untung dapat diraih. Sekian tahun kemudian secara kebetulan aku
bertemu pasangan pencinta buku itu di sebuah pesta buku. Mereka tampak bahagia
(setidak-tidaknya di depanku).
“Kok sendirian?” sapa istri temanku.
“Dia bujang lapuk!” bisik temanku ke telinga istrinya, dan sialnya, istrinya mengangguk-
angguk saja.
“Terima kasih ya untuk bukunya dulu itu,” ujar istri temanku. “Salam untuk istri
tercinta.”
Istri? Tercinta? Aku terbengong lama.
“Wah, bego juga lu,” tukas temanku. “Ya buku-bukumu itu istrimu!”
Aku pilih melengos pergi sambil berkata dalam hati: ah, tampaknya mereka sudah pintar
membaca buku.
(2003)
Selamat ulang tahun, buku. Makin lama kau makin kaya saja. Tambah cerdas pula. Aku
saja yang tambah parah dan sekarang mulai pelupa.
Maaf, aku tidak bisa kasih hadiah apa-apa selain sejumlah ralat dan catatan kaki yang aku
tak tahu akan kutaruh atau kusisipkan di mana. Sebab kau sudah pintar membaca dan
meralat dirimu sendiri.
Kau bahkan sudah tidak seperti dulu ketika aku berdarah-darah menuliskanmu. Dan aku
agak curiga jangan-jangan kau (pura-pura) pangling dengan saya.
Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja aku kekasih atau pacar naasmu. Panjang umur,
cetak-ulang selalu!
(2003)
Sudah tujuh hari tujuh malam kami menjaga makam almarhum, namun apa yang kami
takuti tidak juga terjadi. Semasa hidupnya almarhum dikenal sebagai tokoh terhormat dan
menjelang wafat sempat menyatakan ingin bertobat karena katanya beliau sebenarnya
juga penjahat yang diam-diam suka menyantap nasib orang-orang yang hampir tidak
pernah merasakan hidup lezat.
Kami ditugaskan untuk menjamin keamanan dan kehormatan jasad almarhum karena di
daerah kami sedang gentayangan seorang kanibal yang suka mencuri mayat orang yang
baru dikuburkan dan favoritnya adalah mayat tokoh terhormat semisal juragan atau
pejabat. Kanibal kita tinggal bersama ibunya di sebuah rumah yang tidak bisa dibilang
rumah, sedangkan ayah dan saudara-saudaranya pergi mencari makan entah di mana.
Jangankan makan sekolahan, bisa makan makanan pun bagi kanibal kita sudah
merupakan kemewahan. Ibunya hanya bisa nelangsa bila anak lelakinya itu bertanya,
“Mengapa kita harus lapar, Bu?” atau “Hari ini ada yang bisa dimakan nggak, Bu?” Dan
bila pertanyaannya meningkat menjadi “Siapa yang bisa dimakan ya, Bu?”, ibunya
langsung merinding karena ia tahu apa yang sedang berkelebat dalam pikirannya.
Sampai sejauh ini sudah ada tujuh mayat orang terhormat yang menjadi korban
keganasannya dan mayat almarhum yang sedang kami jaga konon termasuk yang paling
diincarnya. Mayat-mayat itu disayat-sayat dan dipotong-potongnya, dibikin tongseng atau
sate, atau kalau sudah tidak kuat menahan lapar ya diganyang begitu saja. Tulang-
tulangnya dipendam di kebun atau dibuang ke sumur; khusus tulang yang bagus ia
sisakan untuk dijadikan mainan atau hiasan, misalnya pedang-pedangan. Sedangkan
tengkoraknya ia pakai untuk menakut-nakuti dirinya sendiri.
Berita terakhir yang kami terima sungguh di luar dugaan. Kanibal kampung yang telah
membuat penduduk tidak berani keluar malam itu ternyata sudah tewas dimangsa kanibal
lain yang lebih buas. Sisa-sisa tubuhnya ditemukan di sebuah kamar hotel. Kepalanya
krowak, kedua matanya lenyap, demikian pula jantung, hati, bahkan kemaluannya. Kaki
dan tangannya tersisa sebagian. Diantar beberapa petugas, ibu kanibal yang malang
datang mengambil sisa-sisa tubuh anaknya itu.
Menurut kabar-kabur yang cepat tersiar, kanibal kita dimangsa oleh kanibal kesayangan
almarhun yang mengganggap almarhum sebagai pelindung yang baik hati karena semasa
hidupnya banyak memberikan rejeki. Dari pada mayat almarhum dimakan kanibal, lebih
baik kanibal itu disantap lebih dulu. Hebat benar almarhum ini. Sudah mati pun masih
bisa bikin orang mati.
(2003)
Mata
(2003)
(2003)
Tidak mudah mendapatkan waktu yang baik untuk menjumpai engkau. Pagi engkau
masih tidur. Malam engkau sibuk menyendiri dan melukis. Secara kebetulan saja aku bisa
bertemu engkau.
Ketika aku tiba di rumahmu, engkau sedang mandi. Engkau penggemar mandi
tampaknya. Mandimu lama dan riang sekali. Kudengar engkau bersenandung.
Senandungmu menjangkau relung yang telah lampau.
Aku terdiam di ruang tamu. Termangu. Melihat-lihat kau dalam pigura: sedang duduk
berdua dengan senja di halaman rumah yang rindang, wajahmu gemilang oleh kemilau
mambang.
Lama ditunggu, mandimu selesai juga akhirnya. Kau melongok ke ruang tamu. “Selamat
siang! Maaf ya, tadi terlambat bangun. Semalam melukis sampai pagi.” Lalu kau minta
ijin untuk mengeringkan rambut yang habis dicuci. Lalu kau muncul bersama hitam:
hitam bajumu, hitam celanamu, hitam rambutmu, hitam kopimu.
“Ayo minum. Mumpung masih hitam,” kata kau, lalu kaupersilakan aku bicara. “Tapi
jangan lama-lama. Sebentar lagi aku harus melukis. Selagi masih bisa berdamai dengan
warna.”
***
Bisa diperagakan?
Ah, kau norak sekali!
Adakah hubungan perilaku mandi dengan masa kecil seseorang? Aku pernah membaca
buku psikologi mandi. Konon mandi bisa merupakan pelampiasan perasaan-perasaan
terpendam yang erat kaitannya dengan memori dan pengalaman masa silam.
Bohong! Mandi ya mandi. Titik.
Memang pernah bercita-cita jadi psikolog, tapi entah mengapa tersesat jadi wartawan.
Wah, kalau begitu rugi dong bicara dengan orang tersesat.
***
Hari makin beranjak siang. Rumahmu terasa lengang. Makin lengang, makin luas dan
ngiang oleh alunan Mozart yang timbul-tenggelam. Engkau minta ijin untuk rehat dulu.
Engkau masuk kamar. Kau bilang mau masuk kanvas sebentar. Mau mengaduk warna.
Membetulkan garis-garis senja.
Dengan wajah berbinar-binar engkau muncul kembali bersama hitam: hitam bajumu,
hitam celanamu, hitam rambutmu, hitam lengkung langit matamu.
***
Engkau tidak takut sekian lama tinggal sendirian? Engkau tidak pernah kesepian?
Oh tidak. Mungkin malah sepi yang takut dengan kesendirianku.
Sejak tadi aku mendengar cericit tikus di rumah ini. Engkau suka memelihara tikus?
Tikus-tikus itu dipelihara sepi untuk melawan kesendirianku. Tapi cericit tikus justru
membelaku.
Engkau tinggal di rumah ini dalam rangka menyendiri atau melarikan diri?
Apa bedanya?
Menyendiri itu menyepi atas kemauan sendiri. Melarikan diri itu minggat atas paksaan
sendiri.
Enggak lucu! Keduanya salah. Aku cuma ingin berdamai dengan diri sendiri. Aku benci
bunuh diri.
Aku dengar rumah ini ditunggui laki-laki tanpa celana yang suka muncul malam-malam
dengan darah mengucur dari kelaminnya. Kapan aku bisa bertemu dengannya?
Stop! Engkau jahat. Engkau mulai memasukiku.
***
(Wawancara imajiner selesai. Pelukis itu termenung di depan kanvas. Berpikir keras
bagaimana caranya menempatkan sosok hitam perempuan itu di tengah lanskap senja
tanpa mengganggu panorama warna.)
(2003)
Lupa
Pekerjaan yang paling mudah dilakukan adalah lupa. Tidak butuh kecerdasan. Tidak perlu
pendidikan. Hanya perlu sedikit berpikir. Itulah sebabnya, banyak orang tidak suka
kalender, jam, dan tulisan. Menghambat lupa. Padahal lupa itu enak. Membebaskan.
Sementara.
***
Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa ialah kapan-kapan. Kapan dan kapan-
kapan ternyata sering kompak juga.
***
Ia sudah selesai berdandan. Keren sekali. Pakai jas baru. Dasi warna-warni. Sepatu
mengkilat. Minyak rambut. Deodoran. Parfum. Wangi.
Sampai di depan pintu tiba-tiba lupa. Sebenarnya mau pergi ke mana? Berpikir sebentar.
Memejamkan mata. Oh iya. Tadi itu rencananya kan mau ke kamar mandi!
Apa salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan segala pernik-perniknya? Anggap
saja simulasi. Untuk? Memasuki rumah sakit jiwa.
***
Mandi lupa membawa handuk atau celana untuk ganti itu biasa. Mandi lupa telanjang
mungkin saja terjadi. Tapi mandi lupa membawa topeng? Bisa berabe. Untuk apa topeng
diajak mandi? Untuk menakut-nakuti sepi. Untuk menemani wajah sendiri.
***
Becak diparkir di depan pintu. Bang becak nyelonong masuk ke ruang tamu. Duduk
santai. Merokok. Hap! Aku tergagap. Siapa dia? Aku merasa tidak pesan becak.
“Lupa ya?” Ia senyum-senyum. Aku bingung. Terpana. “Lupa ya?” Ia bertanya lagi.
Tersenyum lagi. Tiba-tiba aku ingat bahwa aku memang pernah bertemu orang yang
mirip dia di rumah sakit, tapi bukan dia.
“Anda lupa ya bahwa Anda belum pernah bertemu saya? Mengapa harus mengingat-
ingat?”
“Ikut saya yuk! Gratis.” Ia mengajakku ke kota dengan becaknya. Aku menolak. Kapan-
kapan saja.
Ketika aku sibuk mengamati daun-daun dipetik hujan, ia ngeloyor begitu saja dengan
becaknya tanpa sempat kuperhatikan arahnya.
Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak melintas di jalan atau diparkir di halaman
karena suatu saat nanti, jika aku hendak pergi ke kota, akan ada bang becak yang
menjemput dan mengantarku. Lumayan. Nyaman. Sederhana. Tidak tergesa-gesa.
***
Adakah yang benar-benar habis digerogoti lupa? Lupa: matawaktu yang tidur sementara.
(2003)
Sudah Saatnya
Sudah saatnya jam yang rusak diperbaiki. Kita pergi ke bengkel jam dan kepada pak tua
penggemar jam kita meminta, “Tolong ya betulkan jam pikun ini. Jarumnya sering maju-
mundur, bunyinya sering ngawur”. Semoga tukang bikin betul jam tahu bahwa ia sedang
berurusan dengan penggemar waktu.
***
Sudah saatnya kita periksa mata. Kepada dokter mata kita bertanya, “Ada apa ya dengan
mata saya, kok sering terbalik: tidak melihat yang kelihatan, malah melihat yang tak
kelihatan?” Mudah-mudahan dokter mata paham: ya memang begitulah jika mata kita
pejamkan.
***
Sudah saatnya celana yang koyak direparasi, pantat yang congkak didisiplinkan lagi. Kita
temui ahli filsafat celana, kita tanyakan, “Mengapa celana dan pantat sering tidak dapat
bekerja sama; ada kalanya celana bikin eksis pantat, ada kalanya pantat benci celana?”
Dapat diduga bahwa jawabannya tidak terduga, misalnya: “Kita perlu menciptakan
situasi nircelana.”
***
Sudah saatnya jiwa yang janggal diselidiki. Kita konsultasi ke pakar psikologi: “Saya
bingung. Saya sering mengalami situasi di mana saya tidak tahu pasti apakah sedang
berada di masa lalu, masa depan atau masa kini. Tapi saya masih waras. Sungguh. Awas
kalau berani menganggap saya gila.” Jika ia memang ahli, seharusnya ia mengerti: ya
begitulah jika tubuh kena teluh puisi.”
***
Sudah saatnya kata-kata yang mandul kita hamili; yang pesolek ngapain dicolek, toh
lama-lama kehabisan molek. Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi. Supaya
sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi.
(2003)
Pelajaran Puisi
Ia sering bingung: apa yang harus ia lakukan untuk murid-muridnya saat ia memberikan
pelajaran puisi. Susah-susah amat. Ia bentangkan saja puisi di papan tulis atau di dinding
kelas.
“Puisi itu hutan rimba,” ia memulai pelajaran. “Kalian mau jadi anak rimba?” Meskipun
sebagian besar muridnya anak-anak kota, mereka ternyata mau mencoba menjadi anak-
anak rimba. “Kota juga rimba,” cetus pak guru yang pandang matanya seluas rimba.
Setelah menunjukkan beberapa celah untuk masuk rimba, ditambah sedikit penjelasan
tentang peta rimba, ia meminta murid-muridnya segera menjelajahi rimba. Semula ada
yang takut-takut, namun setelah dilecut-lecut akhirnya berani juga. Ada pula yang belum-
belum sudah bergidik: “Kalau ada ular, bagaimana?” Pak guru merasa geli: “Jangankan
di hutan, di kamar mandi pun kadang ada ular.”
Ribut sekali. Mereka berhamburan ke dalam rimba sambil bersorak-sorak: “Rusa jantan
berlari masuk hutan….” Kemudian ada yang menimpal: “Curang! Memangnya hanya
rusa jantan yang bisa berlari masuk hutan? Rusa betina juga bisa. Ayo balapan!”
Guru puisi itu tampak tenang-tenang saja, tapi waspada. Ia sudah sangat sering masuk
hutan dan tahu rahasia rimba. Ia sibuk berjaga-jaga, siap memberikan pertolongan darurat
bila, misalnya, ada muridnya yang linglung atau tersesat.
Tiba-tiba suasana berangsur senyap. Tak terdengar lagi derai tawa dan suara bernyanyi
bersahutan. Ia mulai panik. Jangan-jangan mereka benar-benar tersesat. Jangan-jangan
ditelan gelap. Jangan-jangan ada yang masuk jurang. Jangan-jangan ada yang digigit ular.
Ia ingin sekali mencari dan menemukan mereka, tapi sama sekali tak ada sinyal suara.
Malah ia sendiri tiba-tiba takut tersesat. Takut pada yang tak terlihat.
Ia masih tercenung gundah ketika murid-muridnya satu persatu muncul dari dalam rimba.
Ada yang pakaiannya kusut dan kotor. Ada yang wajahnya belepotan tanah. Ada yang
lecet-lecet, bahkan luka-luka. Ada yang pantat celananya jebol. Ada yang kehilangan tas
dan kamera. Ada yang pura-pura kesurupan dan sakit jiwa.
Setelah semuanya berkumpul kembali, dengan nada murung ia berkata: “Maafkan saya
ya, tadi cuma menunjukkan jalan masuk rimba, tapi tidak memberi tahu jalan keluar
rimba. Aku ingin menjemput kalian sebenarnya, tapi khawatir kalian merasa dikira anak
manja.” Seorang murid yang rambutnya jadi mirip rimba menukas: “Jangan terlalu
sensi(tif) dong Pak. Kami baik-baik saja. Lihat nih, kami masih utuh.”
Bel berbunyi. Bubar. Pelajaran puisi (untuk sementara) selesai. “Terima kasih ya Pak.”
“Lho, jangan berterima kasih kepada saya. Berterima kasihlah kepada puisi.” Ia baru
sadar bahwa tadi ia tidak sempat sarapan sehingga perutnya kembung. Agak terburu-buru
ia meninggalkan ruang kelas. Langkahnya kelihatan goyah. Tubuhnya kelihatan ringkih.
Tapi ia adalah raja rimba. Ia kepalkan dan acungkan tangannya: “Hidup puisi!”
(2003)
Justru
Salahnya sendiri, suka usil bermain kata, merakitnya menjadi boneka yang seringainya
justru membuat ia takut setengah mati, kemudian bersembunyi di kamar mandi, padahal
di kamar mandi ada dedengkot boneka yang lebih rumit seringainya, yaitu tubuhnya
sendiri.
(2003)
Masa Kecil
Masa kecil seperti penjaga malam yang setia. Ia yang membuka dan menutup pintu setiap
kau masuk dan keluar kamar mandi. Sementara kau sibuk mandi, ia duduk manis di sudut
sepi, membaca cerita bergambar sambil ketawa-ketawa sendiri. Jangan suka lihat orang
mandi, nanti sakit mata! Ia langsung menutup wajahnya dengan buku, seakan geli atau
malu melihat tokoh komiknya yang (tidak) lucu.
(2003)
(2003)
Sajak-sajak 2003-b
Pacar Senja
(2003)
Perjamuan Petang
(2003)
(2003)
Malam Pertama
(2003)
Surat
(2003)
Koran Pagi
(2003)
Tiada
(2003)
Rumah Cinta
(2003)
Celana Tidur
(2003)
Teman Lama
(2003)
Dokter Mata
(2003)
Sedekah
“Sudahlah. Dengan dua puluh ribu rupiah ibu ini bisa beli
tiket kereta api ekspres. Beliau akan mudik dengan sukses,”
ujar seorang penyair yang oleh teman-temannya dipanggil
Plato karena nun di jidatnya terdapat sebuah tato.
(2003)
Baju Bulan
(2003)
Kekasihku
untuk Efaen
(2003)
Ibuku
Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal
dan bodoh, jangan membantah guru dan menyanggah buku.
Ibu hanya mengecup jidatku: Buka hidupmu dengan buku.
(2003)
(2003)
(2003)
Penjual Kalender
(2003)
Cita-cita
(2003)
Kepada Puisi
(2003)
Sajak-sajak 2004
Celana Ibu
(2004)
Selepas Usia 60
(2004)
Penjual Bakso
Hujan-hujan begini, penjual bakso dan anaknya
lewat depan pintu rumahku. Ting ting ting.
Seperti suara mangkok dan piring peninggalan ibuku.
(2004)
Buah Bulan
(2004)
Ranjang Ibu
(2004)
(2004)
(2004)
Hijrah
(2004)
Batuk
(2004)
Matakata
(2004)
Penyair Panggung
untuk Landung Simatupang
(2004)
Bola
(2004)
(2004)
(2004)
Kosong
Rumah masih saja terasa hampa walau sudah kuisi
dengan berbagai macam barang berharga.
(2004)
Rumah Sakit
(2004)
Bunga Azalea
Bunga azalea
tumbuh liar di bawah jendela.
Mekar, segar, dan bercahaya.
Bunga azalea
tumbuh liar di rimbun aksara.
Mekar, segar, dan bersahaja.
(2004)
(2004)
Sajak-sajak 2005
Malam Insomnia
(2005)
(2005)
Pohon Cemara
(2005)
Winternachten, 2002
(2005)
Rambutku adalah Jilbabku
(2005)
(2005)
Sehabis Sembahyang
Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku.
Terima kasih atas segala pemberianmu,
mohon lagi kemurahanmu: sekadar mobil baru
yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya
agar aku bisa lebih cepat mencapaimu.
(2005)
(2005)
(2005)
(2005)
Himne Becak
(2005)
Sajak-sajak 2005
Malam Insomnia
(2005)
(2005)
Pohon Cemara
(2005)
Winternachten, 2002
(2005)
Rambutku adalah Jilbabku
(2005)
(2005)
Sehabis Sembahyang
Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku.
Terima kasih atas segala pemberianmu,
mohon lagi kemurahanmu: sekadar mobil baru
yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya
agar aku bisa lebih cepat mencapaimu.
(2005)
(2005)
(2005)
(2005)
Himne Becak
(2005)
Sajak-sajak 2007
Jalan Sunyi
(2007)
(2007)
(2007)
Sajak Panjang
(2007)
Di Kalvari
(2007)
Gaun Tidur
(2007)
Bangkai Banjir
(2007)
Penjahat Berdasi
(2007)
Jalan ke Surga
(2007)
Kambing Hitam
(2007)
(2007)
(2007)
Mata Rindu
(2007)
Malam Pemadat
Pilin dan padatkan aku menjadi sebatang candu,
hisap dan bakarlah sampai berkobar di tubuhmu.
Jika habis kopimu, seduh dan minumlah abuku
sampai menguap di pori-porimu.
(2007)
Cermin
(2007)
Mata/Bulan
(2007)
Rambut
(2007)
Panta Rei
(2007)
Jeritan Bayi di Dasar Jurang
(2007)
(2007)
Pemalu Gadungan
(2007)
Rambut Curian
(2007)
Rumah Horor
Rumah Parkir
(2007)
Celana Mimpi
(2007)
Sukabumi
(2007)
Susu Rindu
(2007)
(2007)
Kaki Negara
(2007)
(2007)
Duel
(2007)
Insomnia
(2007)
Pagi Sehabis Hujan Pertama
(2007)
Terang Bulan
(2007)
(2007)
Seorang Februari
(2007)
Kepada Cinta
(2007)
(2007)
Pembangkang
(2007)
(2007)
Puasa
(2007)
: Hudan
(2007)
Angkringan
(2007)
(2007)
Mengenang Jengqy
(2007)
Kredo Celana
(2007)
Celana Senja