You are on page 1of 23

MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI:

KEPEMIMPINAN, SOLIDARITAS SOSIAL, DAN


KONFLIK EKOLOGIS

Penulis : Rita Rahmawati


Alamat : Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu
Sosial, Pokitik dan Komunikasi

PENDAHULUAN
Kasepuhan Sinar resmi merupakan suatu organisasi sosial yang
mengatur kehidupan masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi.
Kasepuhan ini berada di wilayah Desa Sirna Resmi Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi. Lokasinya berada di sekitar Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (TNGHS). Karena berada di sekitar hutan TNGHS
inilah, keberadaan Kasepuhan Sinar Resmi menjadi menarik untuk
dibahas. Apalagi lembaga Kasepuhan dan masyarakatnya
mengembangkan suatu cara hidup yang khas terutama dalam memaknai
hubungan manusia dengan alam.
Kasepuhan Sinar resmi mempunyai fungsi mengatur setiap aspek
kehidupan masyarakatnya terutama dalam memperlakukan alam.
Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi mempunyai konsep pengetahuan
dan cara sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui konsep
pancer pangawinan masyarakat mensandarkan kehidupannya pada
keterikatan atas tanah, dan melalui tanah tersebut mereka
mengembangkan system nafkah pertanian yang khas sesuai aturan
lembaga kasepuhan.
Dalam hal mengatur kelestarian lingkungan dan bagaimana
lingkungan tersebut dapat memberi manfaat untuk kehidupan masyarakat,
Kasepuhan memegang tradisi mengenai wewengkon, yaitu pengetahuan
lokal tentang zonasi hutan, dimana hutan dibagi ke dalam zonasi sebagai
berikut (1) Hutan titipan, (2) Hutan tutupan, dan (3) Hutan garapan.

1
Pengetahuan ini telah dikembangkan secara turun temurun dan mengatur
relasi masyarakat dengan alam (hutan).
Sejak diterbitkannya kebijakan perluasan Taman Nasioanal melalui
SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 telah menyebabkan
masyarakat adat Kasepuhan kehilangan akses terhadap hutan. Padahal
keberhasilan pengelolaan Taman Nasional sangat bergantung pada
penghargaan yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar dari kawasan
yang dilindungi. Dimana, kalau sebuah kawasan yang dilindungi
dipandang sebagai penghalang, maka masyarakat setempat dapat
menggagalkan usaha pelestariannya. Tetapi bila dianggap sebagai
sesuatu yang positif manfaatnya, maka masyarakat senantiasa akan
sangat mendukung bahkan dapat menunjang kawasan yang dilindungi.
Dari hasil kajian Bulmer (1982), Rathakette (1984), Dove (1993),
Amadja (1993), Tjitradjaja dkk (1994) yang mewakili perspektif fungsional,
diketahui bahwa bagi penduduk lokal, hutan bukan hanya disikapi sebagai
sumber daya yang berguna untuk memenuhi hajat ekonomi semata,
melainkan juga berhubungan erat dengan aspek kepercayaan, ritual dan
institusi sosial. Lebih lanjut Bulmer (1982) mengungkapkan bahwa
kepercayaan dan pantangan ritual memungkinkan penduduk Papua New
Guinea mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada di hutan
sesuai asas konservasi.
Namun kenyataannya, masyarakat selalu dituduh sebagai perusak
hutan. Beberapa kebijakan kehutanan di negara dunia ketiga bahkan
sering memojokkan masyarakat lokal di sekitar hutan, sehingga
berdampak paa pengrusakan hutan itu sendiri. Kebanyakan sistem
pengelolaan hutan di dunia ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan
hutan maupun kemiskinan pedesaan. Beberapa sistem negara bahkan
memperparah kemerosotan hutan karena makin merunyamkan
kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan. Hasil kontra
produktif demikian sebagian disebabkan oleh tata hukum dan
keorganisasian gaya kolonial yang masih mendominasi pengelolaan hutan
oleh negara (Blaikie 1985:53).

2
Persoalan tersebut terjadi karena realitas kehutanan hampir selalu
menghasilkan kondisi paradoks. Lima tahun sejak gerakan reformasi
kehutanan mengusung konsep ”forest for people”, namun pada
kenyataannya sistem dan praktek hutan Indonesia justru menunjukkan
gejala makin jauh dari eksistensi praktek-praktek pengelolaan hutan oleh
masyarakat (Iskandar, 2004). Sehingga konflik antara masyarakat dan
taman nasionalpun tidak terhindarkan.
Kasus mengenai kelembagaan Kasepuhan Sinar Resmi dalam
mengatur relasi manusia dan alam, dimana faktor-faktor kepemimpinan,
solidaritas sosial dan konflik ekologis mewarnai kehidupan masyarakat
tersebut dan berpengaruh terhadap lestari dan rusaknya hutan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, akan dikupas melalui pendekatan teori
Timur dan Barat.

PANDANGAN TIMUR DAN BARAT MENGENAI


KEPEMIMPINAN DAN OTORITAS

Kasepuhan Sinar Resmi sebagai sebuah organisasi sosial


berfungsi mengatur peradaban masyarakat Kasepuhan terutama dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya melalui mata pencaharian yang bertumpu
pada pertanian padi. Pola pertanian tradisional yang ditunjukkan warga
Kasepuhan memiliki hubungan yang sangat erat antara praktek pertanian,
organisasi sosial, sistem kepercayaan dengan unsur-unsur alam seperti
tanah, air, udara, sinar matahari, cuaca dan lain-lain.
Pemimpin tertinggi di Kasepuhan adalah Abah. Proses penunjukan
Abah menjadi ketua adat berdasarkan keturunan dan melalui mekanisme
mistis (wangsit). Wangsit itu dicirikan dengan kemampuan membaca do’a
amit (menanam padi) yang sebelumnya tidak pernah diajarkan melainkan
hanya diketahui oleh Abah (pemimpin adat sebelumnya). Namun
demikian, sebenarnya bahwa calon pemimpin di masa datang sudah
terlihat sejak kecil, dicirikan oleh sikap dan perilakunya yang lebih
bijaksana dan berwibawa dibandingkan saudara-saudara lainnya,
sehingga berdasarkan sifat-sifat tersebut, Kasepuhan (Abah dan

3
strukturnya) mempersiapkan anak tersebut untuk kelak menjadi seorang
pemimpin. Kewibawaan pemimpin adat lembaga Kasepuhan ini menjadi
ciri dominan. Legalitas pemimpin yang diangkat berdasarkan wangsit
dipertegas dengan sifat kewibawaan, sehingga dia mempunyai otoritas/
kewenangan atas organisasi sosial dan masyarakatnya.
Dalam pandangan Timur, pentingnya unsur kewibawaan menjadi
ciri utama sebuah kepemimpinan. Sebagaimana disampaikan Ibn
Khaldun (2001), bahwa ketika manusia telah mencapai organisasi
kemasyarakatan, dan ketika peradaban manusia telah menjadi kenyataan,
umat manusiapun memerlukan seorang yang akan melaksanakan
kewibawaan dan memelihara mereka, karena permusuhan dan kezaliman
adalah merupakan watak hewani yang dimiliki oleh manusia. Orang
melaksanakan kewibawaan itu haruslah salah seorang di antara mereka
sendiri. Ia harus menguasai mereka, dan mempunyai kekuatan dan
wibawa melebihi mereka, sehingga tak seorangpun diantara mereka
sanggup menyerang lainnya. Inilah yang dinamakan kekuasaan (mulk. Ar.)
atau kedaulatan. Makhluk manusia secara mutlak memerlukan otoritas
untuk melaksanakan kewibawaan. Dengan demikian bahwa kewibawaan
diperlukan untuk menjadikan seseorang memiliki legalitas sebagai
pemimpin, karena dengan kewibawaan, seorang pemimpin dapat
menyelesaikan masalah permusuhan menghindari kezaliman dan
mempertahankan diri dari serangan manusia lainnya.
Selanjutnya Ibn Khaldun mengemukakan bahwa kewibawaan
merupakan watak (tabiat) khusus manusia yang menonjol pada salah
satu diantara anggota kelompok organisasi sosial, yang memungkinkan
orang tersebut menjadi seorang pemimpin. Sifat kewibawaan ini terkait
erah dengan sifat nubuwah. Menurut Ibn Khaldun, ada beberapa
pemimpin manusia yang diberkahi nubuwah yaitu salah satu watak khas
manusia yang mencirikan sifat-sifat kewibawaan dan sifat-sifat baik
lainnya. Namun demikian selain kewibawaan dan nubuwah, seorang
pemimpin manusia haruslah mempunyai kemampuan yang berasal dari
fikrah (kemampuan berfikir) dan siyasah (politik).

4
Selain otoritas yang bersumber dari kewibawaan, ada juga otoritas
lain dimana eksistensi dan kehidupan manusia ada tanpa adanya
nubuwwah dan kewibawaan yaitu lewat peraturan yang dibuat oleh orang
yang berkuasa sesukanya (aspek legal formal/ atau rasional dalam
pandangan Barat), atau dengan bantuan solidaritas sosial (al’-ashabiyah)
yang memungkinkan baginya untuk memaksa orang lain agar
mengikutinya ke mana saja mereka ia bawa. Dengan demikian menurut
Ibn Khaldun, bahwa otoritas kepemimpinan bisa berasal dari kewibawaan
dan nubuwwah, peraturan (formal-legal/ rasional) maupun karena adanya
solidaritas sosial.
Konsep mengenai otoritas yang dimiliki oleh seorang pemimpin
dalam pandangan Timur memiliki kesamaan dan perbedaan dengan
pandangan Barat. Menurut Max Weber (dalam Ritzer dan Goodman,
2004), bahwa struktur otoritas hadir di setiap institusi sosial, dan otoritas
tersebut karena adanya dominasi sebagai probabilitas atas perintah
tertentu yang akan dipatuhi sekelompok orang. Dominasi dapat memiliki
beragam basis sah maupun tidak namun yang terutama menarik
perhatian Weber adalah bentuk dominasi yang sah yang disebutnya
otoritas. Weber menyebutkan lebih lanjut mengenai dasar yang digunakan
oleh para pengikut (anggota masyarakat) untuk melegitimasi sebuah
otoritas, yaitu rasional, tradisional dan kharismatik.
Otoritas yang mendapat legitimasi rasional bersandar pada
kepercayaan akan legalitas aturan tertulis dan hak mereka yang diberi
otoritas berdasarkan aturan untuk mengeluarkan perintah. Otoritas yang
mendapatkan legitimasi tradisional berdasarkan pada kepercayaan yang
telah mapan terhadap kesucian tradisi kuno dan legitimasi mereka yang
menjalankan otoritas berdasarkan tradisi tersebut. Adapun otoritas yang
mendapatkan legitimasi dari kharisma adalah didasarkan pada kesetiaan
para pengikutnya terhadap kesucian yang tidak lazim, sosok teladan,
heroisme, atau kekuatan khusus yang dimiliki pemimpin, maupun pada
tatanan normatif yang diberlakukannya.

5
Dengan melihat pandangan Timur dan Barat mengenai
kepemimpinan dan otoritas kepemimpinan, dapat dikatakan bahwa
kepemimpinan Abah Asep (Kasepuhan Sinar Resmi) adalah
kepemimpinan atas dasar otoritas tradisional yang dibangun melalui
tradisi turun temurun dengan diperkuat oleh keberadaan wangsit. Namun
kepemimpinan ini tidak akan kuat tanpa adanya sifat kewibawaan dari
Abah selaku ketua adat. Kewibawaan tersebut ditunjukkan dengan
adanya pandangan bahwa pemimpin adalah panutan. Hal ini begitu jelas
terlihat dalam praktek kehidupan sehari-hari. Apapun yang dilakukan oleh
masyarakat harus seijin Abah. Semua keputusan penting dalam keluarga
masyarakat kasepuhan selalu meminta restu dari Abah. Kondisi ini tentu
sangat berbeda dengan kepemimpinan dalam pandangan Barat yang
cenderung lebih rasional. Dengan demikian, terjadi dikhotomi antara
kepemimpinan Barat yang rasional dengan kepemimpinan Timur
9misalnya kepemimpinan kasepuhan Sinar Resmi) yang berlandaskan
solidaritas sosial.
Sekalipun pandangan Barat mengakui ada otoritas yang bersumber
dari kewibawaan/ kharisma, namun kepemimpinan Barat lebih menitik
beratkan pada unsur rasional baik ada kharisma atau tanpa kharisma.
Mengenai kharisma dalam pandangan Barat, dipahami secara berbeda-
beda oleh para ahli (lihat Bass, 1985; Conger & Kanungo, 1987). Namun
demikian, sekalipun berbeda-beda sampai pada satu pendekatan, bahwa
kharisma dipandang sebagai hasil dari persepsi bawahan/ anggota
organisasi tentang kualitas dan perilaku pemimpin. Weber (1974)
menggunakan kata kharisma sebagai pemimpin yang diberkahi dengan
kualitas yang lain daripada yang lain (luar biasa). Pemimpin yang
kharismatik mempunyai 3 karakter, yaitu adanya kepercayaan diri yang
sangat tinggi, sifat dominan dan keyakinan kuat terhadap kepercayaan/
nilai-nilai yang dianut. Kharisma adalah suatu kepercayaan yang tidak
perlu diragukan terhadap si pemimpin dan misinya, mengandung suatu
keterlibatan emosi yang mutlak dan keinginan untuk mengidentifikasi
dirinya dengan pemimpin tersebut (Wilner, 1968 dalam Bass, 1985).

6
Sekalipun ada konsep kharisma yaitu kewibawaan dalam
pandangan Barat, namun kharisma dalam pandangan Barat identik
dengan sifat individual dari pemimpin tersebut yang menjadikan individu
tersebut dipilih dan mendapat otoritas secara rasional. Hal ini sangat
berbeda dengan kondisi Masyarakat Kasepuhan, dimana pemimpin
diangkat secara tradisional melalui mekanisme wangsit. Pemimpin
mempunyai kewibawaan yang terbentuk sejak lahir dan dipelihara oleh
komunitasnya melalui kesadaran kolektif dan solidaritas bersama.
Kepemimpinan yang bersumber dari sikap kolektif ini mirip dengan model
kepemimpinan di Jepang. Di Jepang telah dikembangkan teori
kepemimpinan yang secara khusus mempertimbangkan sikap kolektif dari
bangsa tersebut. Teori ini dikembangkan pada akhir peran Dunia II, tetapi
hingga saat ini masih dianggap sebagai teori kepemimpinan yang makin
cocok untuk digunakan menjelaskan fenomena dalam konteks bangsa
Jepang.

PANDANGAN TIMUR DAN BARAT MENGENAI


SOLIDARITAS SOSIAL

Kaitan antara kepemimpinan dan solidaritas sosial diterangkan


dalam pandangan Timur. Ibn Khaldun dengan mengambil contoh di
kalangan suku Badui, memperlihatkan adanya pengaruh wibawa yang
datang dari para syeikh dan pemuka suku. Kewibawaan para syekh ini
timbul karena adanya rasa hormat dan penghargaan dari rakyat terhadap
para syeikh dan pemuka suku tersebut, atau dengan kata lain adanya
solidaritas sosial diantara suku tersebut.
Dalam pandangan Timur, solidaritas sosial hanyalah didapati pada
golongan yang dihubungkan oleh pertalian darah atau pertalian lain yang
mempunyai arti sama, dan itu pulalah yang terjadi di masyarakat
Kasepuhan. Solidaritas sosial membentuk masyarakat ini tetap eksis
mempertahankan tradisi, memilih pemimpin dan struktur kelembagaannya
dan melalui kepemimpinan yang berwibawa tadi, semua tradisi dijalankan.
Keberadaan kepemimpinan, struktur kelembagaan yang didasarkan atas

7
keturunan dan ketaatan pengikut (masyarakat Kasepuhan) terhadap
lembaga Kasepuhan disebabkan karena pertalian darah diantara anggota
masyarakat Kasepuhan, yang menurut Ibn Khaldun mempunyai kekuatan
mengikat sehingga membuat setiap anggota masyarakat tersebut dapat
merasakan setiap kesakitan yang menimpa kaumnya. Ketika masyarakat
Kasepuhan menghadapi masalah (konflik) dengan taman nasional yang
menyebabkan hilangnya hak akses masyarakat terhadap sumber daya
hutan yang di klaim oleh masyarakat sebagai kawasan yang telah lama
mereka diami secara turun temurun jauh sebelum taman nasional itu ada,
telah menyatukan masyarakat Kasepuhan dalam suatu solidaritas,
merasakan kesakitan atas suatu penindasan.
Dalam menanggapi kondisi tersebut, mengacu pada pendapat Ibn
Khaldun bahwa orang membenci penindasan terhadap kaumnya, dan
dorongan untuk menolak tiap kesakitan yang mungkin menimpa kaumnya
itu adalah sesuai dengan kodratnya dan tertanam pada dirinya. Oleh
karena itu, solidaritas sosial menyebabkan setiap orang dapat merasakan
semua penderitaan dari anggota masyarakatnya dan menciptakan
ketaatan kepada pemimpinnya. Karena sebagaimana dikemukakan oleh
Ibn Khaldun, bahwa sifat kepemimpinan selalu dimiliki oleh orang tertentu
yang memiliki solidaritas sosial.
Pemimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan, maka
solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada
solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan
sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Jika kewajiban atau
keharusan itu dia laksanakan, maka kepemimpinan akan tetap dimilikinya.
Namun apabila kepemimpinan itu keluar dari mereka dan berada dalam
solidaritas lain yang lepas dari golongan mereka, maka kepemimpinan itu
tidak akan berhasil. Dan dalam golongan itu, kepemimpinan akan terus
berpindah-pindah tangan dari satu golongan kepada golongan lain yang
lebih kuat. Kesatuan masyarakat dan solidaritas sosial menjadi semacam
sifat alam. Sifat itu tidak akan berguna apabila unsur-unsur yang ada
sama, tak berbeda. Maka di antara unsur itu ada yang berada di atas dan

8
menguasai unsur yang lain. Hanya dengan itulah penciptaan (alam) ini
berlangsung. Inilah rahasianya, mengapa solidaritas sosial menjadi syarat
bagi kekuasaan. Dan dari itu pulalah kepemimpinan dapat ditentukan
keberlangsungannya.
Lebih lanjut Ibn Khaldun mengemukakan bahwa kepemimpinan
yang dapat diterapkan kepada orang-orang yang memiliki solidaritas tidak
dapat diterapkan kepada mereka yang bukan satu keturunan. Sebabnya
ialah karena kepemimpinan ada karena adanya kekuasaan, dan
kekuasaan ada karena adanya solidaritas sosial. Maka didalam memimpin
kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas
sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing
individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, mereka
akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya. Dengan demikian,
tujuan terakhir solidaritas sosial adalah kedaulatan. Namun demikian,
konsep solidaritas sosial Ibn Khaldun (dalam pandangan Timur) berbeda
dengan solidaritas di Barat, karena konsep solidaritas sosial Ibn Khaldun
mengandung kebanggaan: atas sumber daya alam dan kepemimpinan
yang menjadi panutan (poach dignity).
Solidaritas sosial dalam pandangan Barat berbeda dengan
pandangan Timur. Mengacu pada konsepnya Emile Durkheim, bahwa
solidaritas sosial dibagi dua, yaitu solidaritas organik dan solidaritas
mekanik. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi satu
dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam
masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang
sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, solidaritas
organik bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di
dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan
tanggungjawab yang berbeda-beda. Dengan pemahaman solidaritas
semacam ini, maka kepentingan material juga bisa membangun
solidaritas sosial dalam konsep Barat.
Bukti solidaritas sosial mekanik yang dilandasi oleh adanya
aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab sama dapat

9
dicontohkan pada warga Desa Kalianjat (Sejarah hutan kaliaman). Warga
Kalianjat mempunyai aktivitas dan tanggungjawab yang sama dalam
memperjuangkan hak akses atas tanah mereka yang diklaim sebagai
hutan Kaliaman (lihat, Peluso, 2006). Kaliaman adalah hutan tropis
campuran, terdiri atas spesies kayu, dengan umbi-umbian, dan tumbuhan
obat atau bumbu. Bentuk pertanian berpindah terus bertahan hingga
1911, waktu Belanda menentukan batas hutan dan mencatat kepemilikan
lahan penduduk untuk kepentingan pajak. Sejarah hutan Kaliaman ini
pasang surut antara boleh dan tidaknya akses masyarakat terhadap
hutan. Kasus hutan Kaliaman dan penggunaan hutan di Desa Kaliajat
menggambarkan dengan jelas bagaimana petani secara bersama
melaksanakan kuasa melalui perlawanan berbasis tanah dan melestarikan
pelaksanaan pertanian di kawasan hutan negara. Pertarungan antara
petani dan rimbawan ini telah berdampak pada pengrusakan hutan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa solidaritas mekanis ala pandangan Barat
tidak dapat menjamin akan kelestarian hutan.
Solidaritas mekanis tidak cukup kuat untuk menjaga hutan tetap
lestari, tetapi ada hal lain yaitu adaptasi ekologis, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Netting (1981) dalam melihat kaitan antara dinamika
populasi dengan bentuk-bentuk penyesuaian organisasi sosial dan politik
orang Torbel yang hidup dalam lingkungan dengan sumber daya yang
terbatas di Pegunungan Alpen Swiss.
Kepemimpinan yang punya dasar panutan dan nilai-nilai non materi
dapat membangun solidaritas dan menjaga sumber daya alam, seperti
yang ditunjukkan oleh Kasepuhan Sinar Resmi. Masyarakat Kasepuhan
Sinar Resmi memiliki rasa solidaritas yang timbul karena adanya
kesadaran kolektif masyarakat atas norma dan kepercayaan bersama,
sehingga keberadaan solidaritas sosial melahirkan suatu kebersamaan
dalam memperjuangkan nasib bersama.
Namun demikian, ada juga tipe masyarakat yang memiliki
kepemimpinan tradisional dengan solidaritas mekanistik tetapi tetap
menjaga kelestarian lingkungan hutan, seperti yang terjadi di Thailan. Hal

10
ini disebabkan karena masyarakat tersebut memiliki kepercayaan tentang
keramat dan tabu, sebagaimana dikatakan oleh Rathakette (1984:364)
bahwa kepercayaan penduduk dan aturan tabu berkenaan dengan hutan
keramat yang dipercayai sebagai tempat hunian makhluk halus pelindung
desa (phipulu), sehingga terlarang untuk dieksploitasi, dan hal tersebut
memberikan dampak positif untuk konservasi sumber daya hutan.
Contoh lain adalah kehidupan masyarakat di sekitar hutan Sangeh
Bali, yang bercirikan kepemimpinan adat dan solidaritas mekanik dengan
gempuran modernisasi yang terus menerus namun tetap menjaga
kelestarian hutan, sebagai mana yang dikemukakan oleh Nengah B.
Atmadja (1993:4). Atmadja melihat peran desa adat dengan seperangkat
kepercayaan masyarakatnya berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial
untuk tetap menjamin kelestarian sumber daya di kawasan hutan wisata
Sangeh. Variabel ekologi, institusi sosial, ekonomi dan kepercayaan yang
dianut masyarakat sedemikian rupa sehingga mereka tetap dapat
mengelola dan mengambil manfaat ekonomis dari sumber daya tersebut
tanpa harus melakukan pengrusakan terhadap hutan.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam ini juga ditemukan
adanya masyarakat yang sebenarnya solidaritas sosialnya sudah
menurun, tetapi tetap menjaga kelestarian hutan. Petani damar di daerah
pesisir Krui (lampung Barat) adalah contoh komuniti lokal di sekitar hutan
yang oleh sejumlah peneliti terdahulu disebutkan mampu
mengembangkan suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan secara
lestari. Jalinan fungsional antara faktor ekologi, pengetahuan dan
kepercayaan penduduk mengenai sumber daya, institusi sosial dan faktor
demografi memungkinkan pengelolaan wanatani repong damar di Krui
tampil dan bertahan sebagai sebuah sistem pengelolaan lokal (indigenous
forest management system) yang berkelanjutan (lihat Michon & Foresta
1992, 1994; Tjitradjaja dkk, 1994; Juhadi 1995, Nadapdap 1995; dan
Fikarwin 1996). Organisasi sosial dan kebudayaan dari populasi tertentu
dilihat sebagai adaptasi fungsional yang memungkinkan populasi tersebut

11
mengekploitasi lingkungannya secara baik tanpa melampaui batas daya
dukungnya (carrying capacity) (Orlove 1980:240).
Contoh lainnya adalah masyarakat Maring Tsembaga di Papua
New Guinea, dimana menurut Roy Rappaport (1968; 1969), bahwa
mekanisme adaptasi untuk tetap mempertahankan keseimbagnan antara
populasi, lahan dan sumber daya lain yang ada di lingkungannya
dilakukan melalui praktik ritual.
Seiring terjadinya gempuran modernisasi yang ditandai dengan
masuknya pengetahuan dan teknologi global, sedikit banyak telah
merubah gaya hidup masyarakat Kasepuhan, telah terjadi pergeseran
bentuk solidarita sosial di masyarakat yang semula berlandaskan pada
hubungan darah, keteladanan, ketaatan atas norma mulai bergeser
dengan adanya kepentingan material, kasepuhan menjadi jaminan atas
keberlanjutan kehidupan. Fungsi Abah bukan hanya sekedar pemimpin
adat, tapi sebagai pengayom masyarakat Abah juga memberikan jaminan
modal bagi masyarakatnya. Ketika Abah tidak bisa dijadikan tumpuan
material, beberapa pengikut Abah pindah kepengikutannya kepada
Kasepuhan yang lain (Abah Uum di Kasepuhan Cipta Mulya atau Abah
Ugi di Kasepuha Cipta Gelar), begitupun kepengikutan dari kedua
kasepuhan yang lain. Tentu saja, pergeseran ini telah memberikan
pandangan lain mengenai solidaritas, sehingga solidaritas sosial yang
semula mencirikan pandangan Timur mulai bergeser pad solidaritas
mekanik ala Barat. Namun demikian, sekalipun sudah terjadi pergeseran
ke arah orientasi materialistik, dan solidaritasnya mekanik, namun karena
dasar-dasarnya berlandaskan nilai-nilai yang mapan mengenai
hubungan manusia dengan alam, menjadikan masyarakat Kasepuhan
tetap memelihara lingkungan.

PANDANGAN TIMUR DAN BARAT MENGENAI


KEKUASAAN DAN KONFLIK

Sejalan dengan perkembangan jaman, dimana telah terjadi


perubahan status kawasan gunung halimun menjadi taman nasional

12
gunung halimun salak (TNGHS), maka kehidupan masyarakat adat
Kasepuhan pun mulai terjadi perubahan. Sejak diterbitkannya SK Menteri
Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/ 2003 di tahun 2003 tentang perluasan
taman nasional, sehingga yang tadinya lahan perhutani sekarang menjadi
taman nasional yang berimplikasi pada hilangnya hak akses warga untuk
dapat menggarap lahan di wilayah eks perhutani tersebut.
Sejak terbitnya SK perluasan tersebut, pihak pengelola TNGHS
mengeluarkan perintah penghentian semua aktivitas pada areal yang
masuk ke dalam kawasan TNGHS. Pemukiman dan areal garapan
masyarakat yang masuk ke dalam kawasan juga harus ditinggalkan.
Peristiwa perluasan kawasan ini merupakan momentum yang menandai
awal terjadinya konflik antara masyarakat kasepuhan Sinar Resmi dan
beberapa masyarakat desa sekitar dengan pihak pengelola TNGHS.
Sikap keras pengelola TNGHS terhadap masyarakat lokal yang
menempati kawasan ini sedikit berbeda ketika menghadapi Perusahaan
perkebunan (Nirmala) yang letaknya persis berada pada enclave di
TNGHS (di tengah hutan TNGHS). Sikap keras pengelola TNGHS
terhadap masyarakat lokal yang menempati kawasan ini sedikit berbeda
ketika menghadapi Perusahaan perkebunan (Nirmala) yang letaknya
persis berada pada enclave di TNGHS (di tengah hutan TNGHS).
Watak tanggapan penduduk pedesaan terhadap kebijakan negara
yang membatasi akses pada hutan bersumber pada keadaan
sosiokultural dan politik ekonomi lokal, termasuk tafsir lokal terhadap
budaya dan mekanisme pengendalian sumber daya. Kedua belah pihak
masing-masing menolak perubahan struktural dan konsep pengelolaan
yang akan memberikan legitimasi kepada pihak lain (Peluso, 2006). Oleh
karena itu, sekalipun sedang terjadi konflik dengan taman nasional, sikap
masyarakat kasepuhan terhadap alam tidak berubah. Hubungan
masyarakat kasepuhan dengan alam dijalin secara harmonis. Masyarakat
Kasepuhan memperlakukan alam sebagaimana mereka memperlakukan
manusia lainnya. Konsep Ibu bumi, bapak langit dan guru mangsa

13
merupakan bukti dari pengetahuan masyarakat Kasepuhan dalam
memperlakukan alam secara lebih bijak.
Konsep ibu bumi berkenaan dengan perlakuan masyarakat
Kasepuhan atas tanah, dimana mereka menggarap tanah dan menanam
padi hanya satu kali dalam setahun. Hal itu mereka lakukan demi
penghormatan kepada Ibu Bumi. Bumi dianggap sebagai makhluk hidup,
sehingga perlakuan terhadap bumi dan padi yang ada di atasnya seperti
mereka memperlakukan manusia. Oleh karena itu, tradisi Kasepuhan
mengajarkan berbagai macam ritus pertanian, mulai dari mengolah tanah
sampai memetik hasil dan memasukkan hasil tersebut ke dalam lumbung
(leuit). Konsep Bapak langit dan guru mangsa yaitu patokan dengan
melihat bintang kerti dan kidang serta penentuan waktu/ bulan terbaik
dalam pengolahan lahan. Pengetahuan adat tersebut tentu saja
memberikan batasan kepada masyarakat untuk tidak mengekploitasi
lingkungan sumber daya alam. Masyarakat dengan kearifannya mengolah
lahan untuk hanya memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Pengetahuan masyarakat Kasepuhan tersebut bertentangan
dengan apa yang diajarkan oleh ekonnomi kapitalis yang mengambil
sebanyak-banyaknya dari sumber daya alam untuk memenuhi nafsu
keserakahan manusia. Menanggapi keserakahan manusia tersebut, Ibn
Khaldun mengemukakan bahwa manusia adalah anak kebiasaan-
kebiasaannya sendiri dan anak segala sesuatu yang ia ciptakan. Dia
bukan produk dari tabiat dan temperamennya. Kondisi-kondisi yang telah
menjadi kebiasaan, hingga menjadi sifat, adat dan kebiasaannya, turun
menduduki kedudukan tabiat. Dari pernyataan tersebut tersurat bahwa
apa yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam kaitannya dengan alam
sudah menjadi tradisi yang dibangun atas tabiat dari masyarakatnya
secara turun temurun, yang jauh berbeda dari tabiat manusia kebanyakan
(di alam kapitalis) yang mengagungkan materi dan keserakahan.
Dalam melihat relasi manusia dan alam dalam pandangan Barat,
mengacu pada konsep Escobar (1998, 1999) tentang “actor in nature”,
dimana Escobar memperkenalkan konsep ‘tiga-alam’ untuk melihat relasi

14
manusia dan alam dan bagaimana manusia melakukan pengaturan
terhadap sumber daya alam. Ketiga alam itu adalah: “alam-organik”
(sistem alam yang dipelihara oleh komunitas lokal) yang menjadi domain
kekuatan lokalitas dalam rezim tata-kelola SDA. Kedua, “alam kapitalis”
yaitu sistem alam atau SDA yang dikolonisasi oleh kekuatan kapitalisme,
dan ketiga adalah “alam-teknologis” yaitu sistem alam yang dikuasai oleh
pemilik teknologi maju-Barat. Dalam konsepsi Escobar, hanya alam
organiklah yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan lokal. Kedua alam
lainnya berada di domain tata-kelola SDA ala modernitas-Barat yang sarat
dengan muatan kepentingan global-transnasionalisme.
Berdasarkan konsep Escobar tersebut bahwa pengetahuan
masyarakat Kasepuhan yang mengatur relasi manusia dan alam ada
pada katagori alam organis, dimana manusia berusaha berdamai dengan
alam. Alam ditata berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal, sedangkan
TNGHS diposisikan sebagai alam negara yang pada prinsipnya
menggunakan cara-cara alam kapitalis dan alam tekno, dimana cara-cara
kapitalis dipergunakan untuk mengusir keberadaan masyarakat lokal dari
sekitar kawasan. Hal ini dipahami karena adanya perlakuan berbeda
terhadap masyarakat lokal (alam organis) dan terhadap PT. Perkebunan
Nirmala (alam kapitalis) yang letaknya berada ditengah taman nasional
namun diakui sebagai enclave.
Dalam konsepnya TNGHS (rimbawan) bahwa konservasi hanya
dipahami sebagai pengetahuan yang datang dari Barat, sehingga tidak
memberi ruang pada pengetahuan lokal untuk bisa memelihara alam.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa kebanyakan
pengertian yang ada di dunia ketiga tentang konservasi dan pengelolaan
hutan “ilmiah” berasal dari Barat, yang kondisi politis ekonomis serta
ekologisnya berbeda, dan masih terus mencerminkan tafsir Barat tentang
produktivitas hutan dan konservasi sumber daya oleh rimbawan
“profesional” (Fernow, 1911; Fortmann dan Fairfax, 1985:2).
Warisan rimbawan Amerika Gifford Pinchot (1947) dikutif Peluso
(2006) adalah serangkaian kata ampuh yang kelak akan terus

15
melegitimasi pengelolaan hutan negara dalam masa modern. Pinchot
berpendapat bahwa hutan harus dikelola untuk memberikan
“kemaslahatan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang untuk
masa sepanjang-panjangnya”. (Dana dan Fairfax, 1980:72). Beberapa
pandangan Barat tersebut menjadi alasan legitimasi negara untuk
menguasai hutan, dan masyarakat yang sudah lama hidup di hutan
dianggap hanya sebagai pengganggu dan pengrusak hutan, sehingga
solusi bagi masyarakat adalah keluar dari hutan dan kehilangan akses.
Ketika dihadapkan pada kondisi di atas, maka konflikpun tidak
dapat terhindarkan. “Klaim dan klaim tandingannya telah menjadi kondisi
kehutanan selama berabad-abad... Sudah berdarsawasa lamanya petani
dan petugas kehutanan saling bergesekan dan alam keadaan konflik terus
menerus, dan akan tetap begitu selama berdarsawarsa lagi ...
persoalannya bukanlah pemanfaatan lahan melainkan siapa yang
memanfaatkan lahan itu: tegasnya, masalahnya terletak pada kekuasaan
dan hak kepemilikan (E.P. Thompson, Whigs and Hunters).
Menanggapi kondisi konflik, Ibn Khaldun mengemukakan bahwa
tak seorangpun menguasai urusan-urusan pribadinya. Pernyataan itu
bermakna bahwa setiap urusan pribadi selalu berhadapan dengan urusan
pribadi yang lain, sehingga perebutan atas penguasaan urusan pribadi
tersebut dapat berdampak pada konflik.
Berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat Kasepuhan
yang sedang berkonflik dengan pemerintah dalam hal ini TNGHS, dimana
TNGHS memaksakan kehendak untuk mengeluarkan masyarakat
Kasepuhan dari kawasan TNGHS dan menutup hak akses masyarakat
telah menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
menurun. ”manakala kepentingan negara dan kepentingan petani
berbenturan, sering kita temukan kerusakan lingkungan, kemiskinan dan
hubungan kekuasaan yang ambivalen, rancu” (Peluso, 2006).
Kajian mutakhir yang mengamati kuasa negara dan perlawanan
lokal dalam konteks pengelolaan hutan dunia ketiga ialah ulasan Guha
(1990) tentang dominasi dan perlawanan di kawasan Himalaya India,

16
Guha memusatkan perhatian pada wujud perlawanan petani yang muncul
berulang di bawah berbagai bentuk organisasi negara, yakni negara
kolonial Inggris dan kerajaan tradisional.
Dalam pandangan Timur, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa para
pemimpin dan amir (pemerintah) yang menguasai urusan manusia sedikit
dibandingkan dengan yang lain-lainnya. Sehingga pemerintah
memaksakan kehendak suapaya urusan yang sedikit ini menjadi ada
dalam wilayah kekuasaan pemerintah, sepenti yang disampaikan Ibn
Khaldun lebih lanjut bahwa biasanya, dan bahkan seharusnya merupakan
satu kekuatan yang dipaksakan dan intimidasi, maka kekuasaan itu akan
merusak kepercayaan dan menghilangkan kemampuan bertahan yang
ada dalam diri sebagai akibat dari kemalasan yang ada di dalam jiwa yang
tertekan.
Ibn Khaldun mengisyaratkan bahwa paksaan atau intimidasi dapat
berakibat terhadap rusaknya kepercayaan masyarakat atas kekuasaan
pemerintah dan hilangnya kemampuan bertahan masyarakat karena jiwa
mereka yang tertekan, sehingga dampak yang mungkin timbul karenanya
adalah masyarakat mencoba bertahan dengan kondisi yang ada,
berjuang melawan dominasi pemerintah atau berubah sesuai dengan
tuntutan globalitas yang akhirnya dapat menghancurkan tradisi
Kasepuhan bahkan kehancuran diri mereka sendiri.
Hukum merumuskan dan menetapkan batasan kriminalitas, namun
hukum adat, aneka praktik dan kepercayaan setempat yang berdasarkan
adat kebiasaan, atau desakan kebutuhan materi, sering menyulitkan
penegakan hukum negara yang bertentangan dengan itu semua. Dalam
keadaan demikian, di mata rakyat pemaksaan penegakkan hukum itulah
kejahatan, dan ini berdampak pada apa yang disebut ”moral ekonomi”
mereka (Thompson 1963; Scott 1976) atau sekedar persepsi mereka
tentang apa yang benar, dan tentang pengertian ”pemanfaatan dan
pembagian sumber daya secara adil” itu (Kerkvliet 1990:17).
Seperti yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun bahwa apabila hukum-
hukum itu dipaksakan bersama penyiksaan-penyiksaan, maka ia akan

17
menghapus keteguhan jiwa itu sama sekali. Sebab penyiksaan yang
dilakukan terhadap seseorang yang tidak dapat mempertahankan diri, dia
akan merasa dihina, dan tak dapat diragukan lagi keteguhan jiwanya
akan hancur. Bahkan, apabila hukum itu dilaksanakan menurut tujuan
pendidikan dan pengajaran dan ditetapkan sejak kecil, lambat laun akan
timbul beberapa efek yang sama, sebab orang itu tumbuh dan
berkembang dalam ketakutan, tunduk dan patuh dan tentu dia tidak akan
percaya kepada keteguhan jiwanya. Dengan demikian pemaksaan atas
hukum dan dominasi pemerintah dapat membuat kehancuran bukan
hanya pada generasi sekarang tapi juga pada generasi yang akan datang
(anak-anak) sehingga dapat menghancurkan organisasi sosial secara
keseluruhan.
Oleh karena itu Ibn Khaldun menyarankan perlunya kesadaran
yang datang dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan atas paksaan
hukum dan intimidasi pemerintah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ibn Khaldun bahwa Kesadaran tumbuh dari dalam diri mereka sendiri.
Kesadaran itu tumbuh bukan dari hasil pendidikan sengaja diadakan atau
dari pengajaran ilmiah. Hukum pemerintahan dan pendidikan merusak
keteguhan jiwa, sebab kesadaran merupakan sesuatu yang datang dari
luar. Lain dari agama, tidak merusak kepada keteguhan jiwa, sebab
kesadaran untuk itu tumbuh dari sesuatu yang sifatnya inherent.
Dalam pandangan Barat, dalam hal ini karl marx, konflik selalu
identik dengan perbedaan kelas. Menurut Richard Miller (1991, 99),
menyatakan bahwa tidak ada aturan yang pada prinsipnya bisa digunakan
untuk mengelompokkan orang di dalam suatu masyarakat tanpa
mempelajari interaksi yang aktual di dalam proses ekonomi di satu sisi,
dan antara proses-proses politis di sisi lain. Dengan begitu konflik selalu
terkait dengan adanya perebutan kepentingan ekonomi, politis dan
budaya. Namun bagi Marx, suatu kelas akan benar-benar eksis ketika
menyadari bahwa dirinya sedang berkonflik dengan kelas yang lain.
Karl Marx (dalam Turner, 1998) menyebutkan bahwa semakin tidak
merata distribusi sumber daya alam yang langka dalam suatu masyarakat,

18
maka semakin besar dasar konflik kepentingan antara kelompok yang
dominan dengan sub ordinat. Dalam hal ini apa yang terjadi di masyarakat
Kasepuhan adalah hilangnya akses masyarakat Kasepuhan terhadap
sumber daya alam taman nasional menyebabkan kesadaran kolektif di
antara masyarakat Kasepuhan semakin kuat.
Selanjutnya Marx menyebutkan bahwa semakin kelompok
subordinat mempunyai kesadaran kolektif maka semakin
mempertanyakan legitimasi pola distribusi sumber daya yang ada.
Kelompok sub ordinat semakin besar kemungkinan sadar akan
kepentingan mereka ketika: perubahan dibuat kelompok dominan dalam
hal ini (TNGHS) mengganggu keberadaan hubungan diantara subordinat
(masyarakat Kasepuhan); tindakan-tindakan yang dilakukan kelompok
dominan menciptakan alienasi dan kesadaran anggota kelompok tersebut
menyebabkan terjadinya komunikasi diantara mereka. Lebih lanjut akan
terbangunnya ideologi bersama yang didorong oleh tokoh yang memiliki
kemampuan.
Tilly (1979;390) mendefinisikan ragam tindak kolektif sebagai
sarana alternatif untuk bertindak bersama-sama atas kepentingan
bersama. Ragam bentuk perlawanan kolektif berakar dalam- memang
merupakan produk dari- keadaan sejarah dan lingkungan tertentu. Bentuk
perlawanan bergantung pada sifat-hakekat dan generalitas keluhan dan
jenis “senjata” (sosial, politis atau teknologi secara luas) yang dipunyai
oleh para pembangkang (Scott 1985). Misalnya banyak kekerasan rakyat
timbul sebagai tanggapan terhadap kekerasan yang dilakukan kelas
penguasa atau negara (Crummey 1986:1)
Dalam konteks konflik masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi
dan Taman Nasional (TNGHS), maka ideologi bersama itu menjadi
semakin kuat manakalan kesadaran akan konflik semakin kuat.
Dalam konsepnya Ibn Khaldun, dominasi oleh pemerintah akan
menyebabkan kehancuran pada masyarakat yang didominasi, sedangkan
dalam pandangan Barat, konflik tidak selalu membawa kehancuran pada
masyarakat lokal. Ada beberapa sosusi yang mungkin terjadi (mengutif

19
dari pandangannya Arya Dharmawan, 2007), bahwa yang akan terjadi
kemungkinan adanya lokalitas defensif (koeksistensi), hibriditas budaya,
kehancuran atau dominasi (terkolonisasi). Namun demikian, posisi
masyarakat lokal yang lemah menyebabkan kemungkinan masyarakat
bisa bertahan dengan perjuangan kesadaran kolektifnya sangat kecil.
Bahkan menurut Escobar, kemungkinan terjadinya dominasi atau
kehancuran menjadi pilihan yang paling mungkin.

PENUTUP

Dengan mengambil kasus masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi,


ditinjau dari aspek organisasi sosial, kepemimpinan, solidaritas sosial,
kekuasaan dan konflik yang dihadapi oleh masyarakat Kasepuhan
tersebut dengan Taman Nasional (TNGHS) dalam perebutan akses
terhadap sumber daya hutan, berdasarkan pandangan Timur dan Barat
maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa kesamaan dan perbedaan
mendasar dalam konsep-konsep Timur dan Barat.
Dalam hal kepemimpinan, pandangan Timur mengenal otoritas atas
dasar tabiat kewibawaan dan nubuwah, legalitas formal dan solidaritas
sosial, sedangkan dalam pandangan Barat bersdasarkan atas otoritas
rasional (legal), tradisional dan kharismatik (kewibawaan). Solidaritas
sosial dalam pandangan Timur hanya satu yang didasarkan atas
kesadaran kolektif dimana dalam pandangan Barat dibagi dua atas dasar
mekanik atau organik.
Secara umum banyak ditemui bahwa pemimpin panutan dengan
solidaritas sosial atas pertalian darah dan norma-norma tradisional
mampu menguatkan relasi masyarakat dalam berhubungan dengan alam.
Namun yang terjadi pada kasepuhan Sinar Resmi, pemimpin yang
diangkat secara tradisional dengan cara yang tidak rasional dan meiliki
solidaritas yang sudah mulai bergeser pada mekanik dengan material
sebagai orientasi masyarakat dalam memilih keanggotaan kasepuhan
tetap menunjukkan adanya relasi masyarakat dengan alam yang dibangun
atas konsep Ibu Bumi, Bapak Langit dan Guru Mangsa, sehingga alam

20
masih bisa lestari, sekalipun terjadi kerusakan bukan disebabkan oleh
masyarakat adat, melainkan ekses dari adanya konflik dengan Taman
Nasional.
Konflik mengenai akses tanah dan hasil hutan pernah meletup
menjadi gerakan perlawanan terbuka dan penolakan untuk mentaati
peraturan hukum maupun kebijakan tentang hutan. Pertumbuhan yang
terus terjadi, intensitas dan keterbukaan oposisi berbasis hutan terhadap
establishmen kehutanan adalah akibat dari meningkatnya solidaritas dan
kekuatan sejumlah warga rakyat yang terorganisir, yang menentang
penguasaan ideologis maupun politis ekonomis oleh establismen
kehutanan yang semula dominan seperti yang dikemukakan oleh Tilly,
Tilly dan Tilly (1975:244)
Dalam melihat konflik, pandangan Timur melihat konflik terjadi
karena adanya dominasi/ intimidasi dari pemerintah (pihak yang
berkuasa). Konsep ini relatif sama dengan pandangan Barat dimana
konflik terjadi ketika kesadaran kolektif akan adanya kepentingan terhadap
sumber daya alam telah didominasi oleh penguasa (kelas yang dominan)
sehingga menyebabkan subordinat (masyarakat lokal) menjadi teralienasi
dari sumber daya alam tersebut. Hanya bedanya, kemungkinan dampak
dari konflik penguasa dan masyarakat lokal menurut pandangan Timur
hanya ada satu yaitu kehancuran, sedangkan menurut pandangan Barat
masih dimungkinkan adanya solusi lain selain kehancuran, yaitu
koeksistensi, cultural hibridation, dan dominasi (kolonisasi).

DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Nengah B., 1993. “Pengelolaan hutan wisata Kera Sangeh Oleh
Desa Adat Sangeh”, dalam Ekonesia 1 : 1-22
Bass, B. M., 1985. Leadership and performance beyond expectation. New
York: Free Press.
Blaikie, Piers, 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing
Countries. London: Longman.

21
Bulmer, R. N. H. 1982. Traditional conservation Practices In Papua New
Guinea”, dalam L. Moranta Et. Al. (Eds.) Traditional conservation in
Papua New Guinea: Implication For Today; PNG
Conger, J.A., & Kanungo, R.N., 1987. “Toward a Behavioral Theory of
Charismatic Leadership in Organizational Setting”, Academy of
Management Review, 12(4): 637-647
Crummey, Donald, 1986. Banditry, Rebelion, and Social Protest in Africa.
London: J. Currey: Portsmouth, N. H. : Heinemann
Dharmawan, Arya Hadi, 2007, Otoritas Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam: Menatap Otonomi Desa dalam Perspektif
Sosiologi Pembangunan dan Ekologi Politik. Makalah disampaikan
pada “Seminar dan Lokakarya Menuju Desa 2030” diselenggarakan
oleh PKSPL, PSP3IPB dan P4W LPPM IPB, dilaksanakan di
Kampus Manajemen Bisnis IPB Gunung Gede, Bogor 9-10 Mei
2007.
Dove, Michael R. 1993. “Uncertainty, Humanity and Adaptation In The
Tropical Forest: The Agricultural Augury Of The Kantu” dalam
Ethnology 40 (2): 145-167.
Escobar, A., 1998, ‘Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity,
Conservation, and the Political Ecology of Sosial Movement’, dalam
Journal of Political Ecology, Vol. 5, 1998.
_____, 1999, ‘After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology’,
dalam Current Anthropology, Vol. 40/1, 1999.
Fikarwin, 1996. Reduplikasi dan Koalisi Internal Rumah Tangga : Proses
Adaptasi Terhadap Perubahan Sistem Produksi dan Pasarisasi di
Penengahan Krui, Lampung Barat. Tesis Master. Program
Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.
Guha, Ramachandra, 1990. The Uniquet Woods: Ecological Change and
Peasant Resistance in the Indian Himalaya. Berkeley: University of
California Press.
Iskandar, Untung dan Agung Nugraha, 2004. Politik pengelolaan Sumber
Daya Hutan: Issue dan Agenda Mendesak. Jogjakarta: Debut Press
Juhadi, 1995. Repong Damar: Sistem Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Berkelanjutan di Desa Way Sindi Krui, Lampung Barat. Tesis Master.
Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.
Khaldun, Ibn, 200. Muqaddimah Ibn Khaldun. Terjemahan Ahmadie
Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus
Michon, Geneveive & Hubert de Foresta dan N. Widjayanto, 1992.
Research On Agroforestry System In Sumatera: Some Result
Interesting Silviculture. Bogor: SEAMEO-BIOTROP
Michon, Geneveive & Hubert de Foresta, 1994. Damar Agroforest in the
Pesisir, Sumatera. Paper, tidak diterbitkan.

22
Nadapdap, Amir Syamsu, 1995. Konsepsi dan Pemanfaatan Ruang dan
Sumber Daya: Studi Kasus Masyarakat Petani Damar di Krui,
Lampung Barat. Program Penelitian dan Pengembangan Antropologi
Ekologi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Netting, Robert, 1981. Balancing On An Alp: Ecological Change &
Continuity in a Swiss Mountain Community. Cambridge: Cambridge
University Press.
Orlove, Benjamin, 1980. “Ecological Anthropology” dalam Annual Review
in Anthropology 9: 235-273
Peluso, Nancy Lee, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Penguasaan
Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Terjemahan Landung
Situmorang. Jakarta: Konphalindo.
Pinchot, Gifford, 1947. Breaking New Ground. New York: Harcourt, Brace.
Rappaport, Roy A., 1968. Pigs for the Ancestors : Ritual in the Ecology of
a New Guinea People. New Haven: Yale University Press.
Rappaport, Roy A., 1969. “Ritual Regulation of Environmental Relations
Among A New Guinea People” dalam A.P. Vayda (eds) Environment
and Cultural Behavior: Ecological Studies in Cultural Anthropology.
Garden City: Natural History Press.
Rathakette, Pagarat Et. Al. 1984. “Taboos And Tradition: Their
Influence On The Conservation And Exploitation Of Tress In Sosial
Forestry Projects In Northem Thailand”, Dalam Y.S. Rao Et. Al (Ed.),
Community Forestry: Socio Economic Aspect. FAO-RAPA
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2004. Teori Sosiologi: Dari
Teori Sosiologi Klasik Sampai perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Scott, James C., 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of
Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press.
Tilly, Charles, 1979. From Mobilization to Revolution. Mass: Addison-
Wesley Publishing Company.
Tilly, Charles, Louise Tilly dan Richard Tilly, 1975. The Rebellious Century:
1830-1930. Cambridge, Mass: Harvard University Press.
Tjitradjaja, Iwan, dkk. 1994. Kajian Pengembangan Institusi Masyarakat
Di Dalam dan Sekitar Hutan: Kasus Pengelolaan Hutan Damar di
Krui Lampung Barat. Laporan Penelitian. Program Pascasarjana
Antropologi Universitas Indonesia dan Departemen Kehutanan.
Turner, Jonathan H., 1998. The Structure Of Sociological Theory. USA:
Wadsworth Publishing Company.
Weber, Max, 1974. Economy and Society, ed. Guenther Roth and Claus
Wittich. Berkeley: University of California Press.

23

You might also like