Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Zidni Ilman NZ
NIM : 9933116559
JAKARTA
2006 M/1427 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12
Februari 2006.
Skripsi ini telah diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Filsafat (S.Fils) pada jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Sidang Munaqasyah
Penguji I Penguji II
Pembimbing
Skripsi
Oleh:
Zidni Ilman NZ
9933116559
Di bawah bimbingan,
JAKARTA
2006 M/1427 H
KATA PENGANTAR
Salju telah cair, dan kehidupan telah terjaga dari kantuknya. Jiwa ini telah
siuman dan tersungkur ke haribaan Allah SWT, seraya memanjatkan ribuan puji
dan syukur yang terbungkus dalam kata Alĥamdulillâh. Dialah Dzat Yang
Mengatur keseimbangan alam beserta isinya melalui shifât, asmâ`, dan af‘âl-Nya.
syafa‘atnya.
dengan cahaya-Mu. Serta kepada Ibuku, Hj. Khotimah Nashiruddin, yang tetap
cantik saat menjejakkan kakinya ke separuh abad usianya yang kedua. Beliau tak
anugerahilah satu-satunya orang tuaku yang masih tersisa dengan umur panjang
keluarga; Kak Haris NZ dan keluarga; serta Kak Lutfi NZ, M.A dan calon
i
ii
nama mereka,
terbaik!”
1. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat.
2. Ketua dan Sekertaris Jurusan Aqidah Filsafat, Drs. Agus Darmaji, M.Fils
3. Dr. Fariz Pari, M.Fils. selaku dosen penasihat akademik. Terima kasih
5. Semua dosen dan jajaran staff Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
6. Ust. In‘am Abdul Fattah, yang dengan sabar menemani sekaligus bersedia
lagi ngadat.
Budi, Yusuf, Endang, Musyaffa, Pitoy, Roni, Didin, Anggi, Bonix, Ipul,
ngopi dan perang di Komplek Deplu. Ingat kata-kata bijak ini: Awas
Kebanjiran! Teman-Teman satu kelas, baik yang sudah selesai atau yang
Anwar, Chepy, Abduh, Sahal, Kaka, Syakur, Moko, Velix, Basith, Zaim,
dan tim futsal pimpinan Faruq c.s., dkk. (sory nggak muat kalo ditulis
9. Buat Sam, Mak, Kil, Ex, dan U, semoga semakin tahan lama memakai
helm, kacamata, dan push up. Hati-hati, Sum datang menebar ancaman!
10. Buat santri putra-putri Al-Khiyaroh Buntet Pesantren Cirebon, yang rela
12. Selamat buat tim nasional Itali yang telah berhasil merebut gelar juara
dunia yang keempat pada Piala dunia Jerman 2006. Ini merupakan kado
ulang tahun paling berharga dan tidak mungkin terlupakan. Bravo Itali!
PEDOMAN TRANSLITERASI
ن = n ﻼ ِﻣ ﱠﻴ ُﺔ
َﺳ
ْﻹِ َا = al-Islâmîyah
ﻲ
اَﻟ ﱠﺘ ْﺄ ِو ْیِﻠ ﱡ = al-Ta`wîlî
DAFTAR ISI
i
vi
AL-BANTANÎ .............................................................................. 54
A. Kesimpulan .............................................................................. 90
B. Saran-saran ............................................................................... 93
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 95
BAB I
PENDAHULUAN
kalam atau teologi (ilmu tentang ketuhanan) yang muncul sejak masa konflik
antara ‘Alî ibn Abî Thâlib dan Mu‘âwiyah. Sebenarnya mereka menganut salah
satu ideologi yang lahir pada saat itu, kendati basis sosial dan kelas yang
melahirkannya telah sirna. Ideologi itu sendiri telah berubah. Ia telah dirumuskan
ketuhanan telah berlangsung dalam periode turunnya al-Qur`ân antara tahun 610-
632 M, baik dengan orang-orang Yahudi maupun Kristen. Bukti paling kuat
adalah apa yang dinyatakan dalam al-Qur`ân yang membantah pandangan sekte
Yahudi mengenai ‘Uzayr yang diklaim sebagai anak Allah.1 Masalah dari mana
ide ini diadopsi, apakah pengaruh filsafat atau tidak, memang belum jelas.
suatu hal yang umumnya diterima oleh akal. Dengan demikian, terbukalah pintu
yang lebar bagi kemungkinan terjadinya aneka interpretasi yang tak berujung.
1
Mereka yang mengklaim ‘Uzayr sebagai anak Allah, menurut Ibn ‘Abbâs seperti yang
dilaporkan al-Qurthûbî, tidak semua orang Yahudi. Melainkan hanya Salam ibn Muskim, Nu‘mân
ibn Abî Afwâ, Syasî ibn Qays, dan Mâlik ibn al-Sayf. Lihat Muhammad Maghfur W, Koreksi atas
Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Bangil: al-Izzah, cet. 1, 2002, h. 14
1
2
Dalam waktu yang relatif singkat, perdebatan ini menjadi disiplin ilmu tersendiri
dalam dunia Islam yang dikenal dengan istilah ilmu kalam. Aliran-aliran teologi
banyak bermunculan, dan dua di antaranya adalah Mu‘tazilah yang didirikan oleh
Wâshil ibn ‘Athâ` (699-748 M) dengan Asy‘arîyah yang dipelopori oleh Abû al-
paham syirik atau politeisme. Kalau dikatakan Tuhan memiliki sifat, maka dalam
diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-
unsur sifat yang melekat kepada zat. Kalau dikatakan Tuhan memiliki 20 sifat,
Tuhan akan terdiri dari 21 unsur, kalau 40 sifat, unsur-Nya akan berjumlah 41,
dan kalau dikatakan Ia mempunyai 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100
unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang
Secara umum, iman adalah: Tiada Tuhan selain Allah; sedangkan iman
dalam teologi mengambil bentuk: Tiada yang qadîm selain Allah. Oleh karena itu,
paham banyak yang qadîm membawa manusia kepada syirik, dan syirik dalam
Islam adalah dosa terbesar yang tak diampuni Tuhan.2 Dengan kata lain, mereka
menegaskan bahwa Allah dengan zat dan sifat-Nya adalah esa, dan tidak ada
H/873-935 M), dalam bukunya yang berjudul Istiĥsân al-Khawdh fî ‘Ilm al-
keberatan membela agama dengan ilmu kalam dan argumentasi pikiran. Tetapi, ia
juga mengingkari orang yang menghargai akal pikiran secara berlebihan, yaitu
kaum Mu‘tazilah. Oleh karena aliran ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan, maka
mereka dikatakannya telah sesat, sebab telah menjauhkan Tuhan dari sifat-sifat-
Nya dan menempatkan-Nya dalam bentuk yang tidak dapat diterima akal, selain
sebagaimana adanya, dengan tetap membedakan antara sifat dan yang disifati (al-
mawshûf). Jadi, Allah mengetahui dengan ilmu karena Ia memiliki sifat al-‘Ilm
(Mengetahui), tidak mati karena memiliki sifat al-Ĥayâh (Hidup), dan berkuasa
dan al-Bashar (Melihat). Semua ini adalah sifat-sifat azalî4 (eternal) dan abadi.
Mereka menolak al-ta‘thîl, yaitu suatu pandangan yang mengosongkan Allah dari
sifat-sifat atau menyatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat, dengan segala
3
Suwito dan Fauzan (ed.), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Bandung:
Angkasa, cet. 1, 2003, h. 76-77
4
Orang Arab menyebut sesuatu yang qadîm (yang terdahulu) dengan kalimat lam yazal
yang artinya “tidak berubah”. Istilah qadîm ini kemudian dinisbatkan (disandarkan) kepada
sebutan tersebut, dan setelah disederhanakan berubah menjadi yazalî. Setelah itu, huruf yâ` diganti
dengan alif menjadi azalî, karena alif merupakan huruf yang paling mudah diucapkan. Lihat
Nawawî al-Bantanî, Madârij al-Shu‘ûd, tt., h. 56
4
macam coraknya, baik nihilisasi Sang Pencipta dan ciptaan-Nya maupun nihilisasi
melalui kitab-kitab karya para ulama yang banyak dikaji di pesantren. Salah satu
ulama yang berhasil memperkenalkan faham ini adalah Syaikh Nawawî al-
besar terhadap dunia intelektual dan citra Islam Indonesia di mata dunia Islam.
satunya adalah Syaikh Nawawî al-Bantanî.7 Beliau adalah ulama Jawa yang
terkenal di Makkah dan Madînah dan telah tinggal di sana selama lebih dari
separuh hidupnya.8 Beliau begitu aktif mengarang kitab yang membahas tentang
fiqh, ushûl fiqh, ĥadîts, tasawuf, nahu, dan tauhid. Di samping itu, beliau juga
5
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin,
Jakarta: Bumi Aksara, cet. 1, 1995, h. 68
6
Suatu bentuk pemahaman yang merujuk pada pandangan ulama-ulama dan sarjana
terdahulu, baik yang diungkapkan dalam bentuk pandangan-pandangan pribadi maupun
pandangan-pandangan yang dikutip dari ulama-ulama sebelumnya. Lihat Muhammad Abed al-
Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Imam Baehaqi, Yogyakarta: LKiS, cet. 1, 2000, h. 9-10
7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta:
LP3eS, cet. 4, 1985, h. 86
8
Baru pada abad ke-19 M, pesantren-pesantren di Jawa menghasilkan ulama yang
bertaraf internasional dan banyak yang berhasil menjadi guru besar di Makkah dan Madînah. Lihat
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 85
5
menulis sebuah tafsir al-Qur`ân yang diberi nama Marâĥ Labîd yang terkenal
Yusuf Alian Sarkis, seorang penganut agama Kristen dari Mesir, dalam
bukunya yang berjudul Dictionary of Arabic Printed Books from the Beginning of
Arabic Printing Until the End, menyebutkan karangan Nawawî sebanyak 34 buah,
kitab karya Syaikh Nawawî sangat dikenal, bahkan bisa dikatakan bahwa
beberapa kitab karangannya dijadikan pedoman standar bagi para santri, terutama
bagi kalangan pemula. Di antara kitabnya yang menjadi pedoman para santri
adalah kitab Kâsyifat al-Sajâ (ulasan atas kitab Safînat al-Najâh, karya Salîm ibn
Samîr al-Ĥadhramî dalam bidang fiqh), Qathr al-Ghayts (ulasan atas kitab
Masâ`il Abî al-Layts karya Abû al-Layts dalam bidang tauhid), Mirqât Shu‘ûd al-
Tashdîq (ulasan atas kitab Sullam al-Tawfîq karya ‘Abd Allâh ibn Ĥusayn dalam
tidak hanya diakui oleh bangsa Indonesia saja, melainkan di wilayah Arab hingga
hampir ke seluruh wilayah Timur Tengah. Bahkan beliau mendapat gelar Sayyid
Ulama Makkah dan Madînah), Fuqahâ` (Ahli Fiqh), dan Ĥukamâ` al-
9
Ma’ruf Amin dan M. Nashruddin Anshari Ch., Pemikiran Syaikh Nawawî al-Bantanî,
Jakarta: Pesantren, vol. VI, no. I, 1989, h. 105. Bandingkan dengan Sri Mulyati, Sufism In
Indonesia: An Analysis of Nawawî al-Bantenî's Salâlim al-Fudhalâ`, Unpublished Thesis, h. 41
10
HM. Usep Ramli, Syaikh Nawawî al-Jâwî: Tokoh Intelektual Internasional asal
Banten, Banten: Fajar Banten, 2000, h. 5
6
Muta`akhkhirîn (Ahli Hukum Kontemporer).11 Gelarnya yang lain antara lain Min
ahli fiqh (yang umum dikenal di kalangan santri), beliau ternyata ahli dalam
bidang ketuhanan. Hal inilah yang kemudian membuat penulis merasa tertarik
Oleh karenanya, skripsi ini sengaja dibuat dalam rangka usaha penulis
untuk mengeksplorasi lebih jauh sifat Tuhan dalam pandangan Syaikh Nawawî al-
Bantanî.
1. Pembatasan Masalah
Kiranya amat menarik bagi penulis untuk mengungkap lebih jauh tentang
Nawawî al-Bantanî.
11
Harun Nasution (ed.), Ensiklopedi Islam (“Nawawî Banten”), Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, jilid 4, 1984, h. 668
12
Ahmad Ibrahim, et. al., Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3eS,
1989, h. 150
7
2. Perumusan Masalah
memberi judul skripsi ini dengan judul: “Sifat Tuhan dalam Pemikiran
C. Tinjauan Kepustakaan
yang baru. Kajian dan eksplorasi terhadap figur ulama ini telah berlangsung sejak
sudah banyak dilakukan. Adanya kecenderungan untuk mengungkap sisi lain dari
pemikiran Syaikh Nawawî, yaitu dalam bidang teologi, adalah hal yang jarang
dilakukan mengingat ia juga dikenal sebagai ahli fiqh, tasawuf, bahasa, dan tafsir.
yang berjudul “Tinjauan atas Tafsir al-Munir Karya Imam Muĥammad Nawawî
Tanara” dalam buku Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah Atas Karya-
karya Klasik karya Ahmad Rifa’i Hasan; Ahmad Asnawi dengan bukunya,
Pemahaman Syaikh Nawawî tentang Ayat Qadar dan Jabar dalam Kitab
Tafsirnya Marâĥ Labîd; Chaidar dengan bukunya, Sejarah Pujangga Islam Syaikh
8
Nawawî al-Bantanî; Usep Ramli dengan bukunya, Syaikh Nawawî al-Jawi: Tokoh
Intelektual Internasional Asal Banten; dan Sri Mulyati (dosen UIN) dalam
Salâlim al-Fudhalâ`.
mahasiswa, di antaranya adalah skripsi yang ditulis oleh Hazbini, Kitab Ilmu
dalam skripsinya, Studi Tentang Kitab Nihâyah al-Zayn: Suatu Upaya Memahami
Hukum Islam Imam Nawawî al-Bantanî dengan analisa Intelektual; Ahmad Gina
penafsiran Syaikh Nawawî al-Bantanî; dan Mahrus Ali dalam skripsinya, Kajian
Jender dalam tafsir al-Munîr: Tinjauan atas Penafsiran Syaikh Nawawî al-
Dari sekian judul artikel, buku, skripsi, dan tesis yang telah disebutkan di
atas, ternyata tidak ada satu pun yang mencoba menulis pemikiran Syaikh
Nawawî dalam bidang teologi, terutama pemikiran beliau tentang sifat Tuhan.
D. Tujuan Penulisan
Secara formal, penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Aqidah Filsafat, fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non-
formal penulisan skripsi ini adalah untuk menambah literatur tentang pemikiran
9
berikutnya.
Syaikh Nawawî al-Bantanî dalam bidang teologi. Selain itu, motivasi yang
meletupkan kajian pemikiran ini adalah rasa kagum terhadap pemikiran Syaikh
Nawawî al-Bantanî yang seringkali dijadikan rujukan oleh para penulis dan ulama
kemudian akan terkuak akar pemikiran Syaikh Nawawî al-Bantanî dan membuka
E. Metodologi Penelitian
2. Metode Penelitian
ini digunakan untuk menjelaskan segala hal tentang Tuhan, serta untuk
3. Teknik Penulisan
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, terarah, dan menjadi standar
penulisan skripsi S-1, maka penulisan ini disusun dalam lima bab yang masing-
ibn ‘Umar ibn ‘Arabî al-Tanara al-Jâwî al-Bantanî, dan lebih dikenal dengan
ia biasa dipanggil Abû ‘Abd al-Mu‘thî. Ayahnya bernama ‘Umar ibn ‘Arabî,
langsung ketiga anaknya, Nawawî, Tamîm, dan Aĥmad.1 dan ibunya bernama
yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah
tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhâj al-Thâlibîn karya Yaĥyâ
ibn Syaraf ibn Mura ibn Ĥasan ibn Ĥusayn.3 Ia dimakamkan di Ma‘lâ, dekat
makam Siti Khadîjah. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya
di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa, Banten, setiap tahun di hari
1
Sri Mulyati, Sufism In Indonesia: An Analysis of Nawawî al-Banteni's Salâlim al-
Fudhalâ`, Unpublished Thesis, h. 27
2
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawî al-Bantanî, Banten: Yayasan
Pendidikan Pelajar al-Haddad Pandeglang, 1999, h. 3
3
Didin Hafiduddin, “Tinjauan atas Tafsir al-Munîr Karya Imam Muĥammad Nawawî
Tanara”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah atas Karya-
karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987, h. 39
11
12
Jum‘at terakhir bulan Syawwâl selalu diadakan acara haul untuk memperingati
jejak peninggalannya.4
Sultan Ageng Tirtayasa yang mempunyai mufti sekaligus menantu Syaikh Yûsuf
kesultanan Aceh dan kesultanan Mugal India. Sultannya sendiri mendapat gelar
“Sultan” dari Syarif Makkah, suatu gelar yang pertama kali dimiliki oleh raja-raja
daerah Jawa lainnya. Dalam suasana seperti inilah Syaikh Nawawî al-Bantanî
dilahirkan.5
dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati, Cirebon), yaitu keturunan
dari putra Maulana Ĥasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tâj
Ĥamdanah. Dari Nasîmah, ia memiliki tiga orang putri, yaitu Maryam, Nafîsah,
4
Budiman S. Hartoyo, “Dua Nawawi dan kawan-kawan”, 27 Juni1987,
www.mbm.19870627.bk1.id.htm
5
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, cet. 1, 2005, h. 291
6
Suwito dan Fauzan (ed.), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Bandung:
Angkasa, cet. 1, 2003, h. 448
13
dinamai Zahrah.7
Sejak kecil, Syaikh Nawawî telah mendapat pendidikan agama dari orang
tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, fiqh, dan ilmu
tafsir. Selain itu, ia belajar kepada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai Yûsuf di
belajar ilmu kalam (teologi), bahasa dan sastra Arab, ilmu ĥadîts, tafsir, tasawuf,
dan fiqh.9 Dan pada usia 18 tahun, ia sudah mampu menghafal al-Qur`ân.10
H/1831 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk
membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawî, yang sejak kecil telah
7
Ahmad Gina Maulana, ‘Ibâd al-Raĥmân dalam al-Qur`ân menurut penafsiran Syaikh
Nawawî al-Bantanî, Skripsi UIN Jakarta, h. 8
8
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
cet. 2, jilid 4, 1984, h. 23
9
Minat umat Islam Indonesia untuk belajar di Timur Tengah diwujudkan baik dengan
tujuan khusus untuk mencari ilmu maupun naik haji. Tidak sedikit kaum Muslim Indonesia yang
menetap (muqîm) di tanah suci ketika musim haji telah berakhir. Kondisi demikian itulah yang
secara berturut-turut melahirkan tokoh-tokoh terkemuka seperti ‘Abd al-Ra`ûf al-Sinkilî dan
Muĥammad Yûsuf al-Maqassârî (abad ke-17); ‘Abd al-Shamad al-Falimbânî, Arsyad al-Banjârî,
Aĥmad Khathîb al-Minankabâwî, Syaikh Nawawî al-Bantanî (abad ke-18 dan 19); Ahmad Dahlan,
Wahid Hasyim, Abdul Wahab Hasbullah, Abdul Halim Majalengka, Mahmud Yunus (abad ke-
20). Hal itu tidak hanya menunjukkan besarnya minat belajar agama di Timur Tengah, tetapi juga
menunjukkan besarnya arti pusat-pusat studi di Timur Tengah di kalangan masyarakat Muslim
Indonesia. Lihat http://www.ditpertais.net/husni.htm. Lihat juga Hilmy Muhammadiyah dan
Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, Jakarta: eLSAS, cet. 1, 2004, h. 114
10
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 24
11
Seorang tokoh orientalis asal Belanda. Ia pernah mengadakan penelitian di Makkah
selama enam bulan pada tahun 1884/1885. Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang
Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, 1984,, h. 117
12
“Kitab Berdebu Pencari Ilmu”, Tempo, 18 Juni 1988, www.mbm.19880618.ag2.id.htm
14
yang datang membludak dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun
agresif atau reaksioner, namun demikian ia sangat anti bekerja sama dengan pihak
kolonial dalam bentuk apa pun. Adapun terhadap orang kafir yang tidak menjajah,
dunia.14 Namun, ia tak menyenangi ayahnya, ‘Umar ibn ‘Arabî, dan saudaranya,
pendek, bahkan untuk ukuran orang Melayu sekalipun.16 Badannya bungkuk. Jika
ia berjalan, seolah semesta dunia adalah sebuah kitab besar yang asyik dia
baca.”17
13
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender,
Yogyakarta: LKiS, 2001, h. 172
14
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 24
15
“Kitab Berdebu Pencari Ilmu”, www.mbm.19880618.ag2.id.htm
16
Budiman S. Hartoyo, “Dua Nawawi ”, www.mbm.19870627.bk1.id.htm
17
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 119
15
Bima, dua di antara ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu ia
belajar pada Sayyid Aĥmad Dimyâthî dan Aĥmad Zaini Daĥlân. Sedangkan di
seperti Syaikh Yûsuf Sumbulâwînî dan Syaikh Aĥmad Naĥrâwî yang keduanya
Syaikh Muĥammad ibn Sulaymân Ĥasb Allâh al-Mâlikî, Syaikh Zayn al-Dîn
Aceh, Syaikh Syihâb al-Dîn, Syaikhah Fâthimah bint Syaikh ‘Abd al-Shamad al-
Falimbânî, Syaikh Yûsuf ibn Arsyad al-Banjârî, Syaikh ‘Abd al-Shamad ibn ‘Abd
ibn Ĥasanuddin al-Falimbânî.20 Beliau memang seorang yang sangat haus akan
ilmu pengetahuan. Hal ini tercermin dalam perkataannya, “Saya adalah debu yang
18
Sungguhpun Syaikh Nawawî al-Bantanî diakui alim dalam semua bidang ilmu
keislaman, namun dalam dunia al-tharîqah al-shûfîyah, gurunya Syaikh Aĥmad Khathîb Sambas
tidak melantik beliau sebagai seorang mursyid Tarekat Qâdirîyah-Naqsyabandîyah, tetapi yang
dilantik ialah Syaikh ‘Abd al-Karîm al-Bantanî, yaitu ayah dari saudara Syaikh Nawawî al-
Bantanî, yang sama-sama menerima tarekat itu dari Syaikh Aĥmad Khathîb Sambas. Lihat Wan
Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Nawawi Al-Bantani Digelar Imam Nawawî Kedua”,
http://www.ulama.blogspot.com/2005/03/Syaikh-Nawawi-al-Bantani.html
19
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 24
20
Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Nawawi Al-Bantani”,
http://www.ulama.blogspot.com/2005/03/Syeikh-Nawawi-al-Bantani.html
21
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam, h. 119
16
pada tahun 1860, Syaikh Nawawî mulai mengajar di lingkungan Masjid al-
kuliah mulai pukul 7.30 sampai 12.00 yang direncanakan sesuai dengan
mengaku kepribadiannya kurang mulia dibanding profesor asli Arab.26 Dia terlalu
22
“Kitab Berdebu Pencari Ilmu”, www.mbm.19880618.ag2.id.htm
23
Selain Nawawî, ada dua orang ulama Indonesia yang mengajar di Masjid al-Ĥarâm,
yaitu Aĥmad Khathîb (w. 1915) dan Maĥfûzh Termas. Mereka bertiga mengilhami gerakan agama
di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di tanah air, seperti
Hasyim Asy‘ari. Aĥmad Khathîb sendiri adalah orang Indonesia pertama yang mengajar di Masjid
al-Ĥarâm sekaligus menjadi imam di sana. Sedangkan Maĥfûzh Termas merupakan ulama yang
sangat dihormati oleh para kiai di Jawa melebihi Syaikh Nawawî. Beliau adalah ulama Indonesia
pertama yang mengajar kitab Ĥadîts Shaĥîĥ al-Bukhârî. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, cet. 3, 1999,
h. 37-39, 52
24
Budiman S. Hartoyo, “Dua Nawawi”, www.mbm.19870627.bk1.id.htm
25
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 119
26
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 119
27
“Kitab Berdebu Pencari Ilmu”, Tempo, www.mbm.19880618.ag2.id.htm
28
Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Nawawi Al-Bantani”,
http://www.ulama.blogspot.com/2005/03/Syaikh-Nawawi-al-Bantani.html
17
Syâfi‘î seperti yang juga dilakukan oleh Aĥmad Khathîb. Khusus di bidang
besar dalam dunia Islam secara lebih intensif. Dan berkat usaha mereka itulah
penyelewengan dalam tarekat ditolak, kiblat serta bacaan Arab diperbaiki, dan
studi langsung kepada kitab berbahasa Arab lebih dipermudah. Mereka berdua
juga mengadakan hubungan langsung dengan dunia ilmu agama di negara Arab,
29
Kebanyakan guru terkemuka dalam ilmu agama (Holy science) berasal dari Banten
(salah satu guru yang dimaksud adalah Syaikh Nawawî al-Bantanî, pen).
Lihat Khoirul Umam Sonhadji, “Tradisi Intelektual Caringin: Syaikh Asnawi Ulama Perintis
Tradisi Intelektual Islam di Caringin-Banten Abad Ke-19”, http://203.130.232.191/www-
ina/forumdetil.asp?mid=9875&catid=14&
30
Sri Mulyati, Sufism In Indonesia, h. 29
31
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 6
32
Sejumlah peneliti menyimpulkan adanya benang merah yang menghubungkan suasana
“Koloni” Syaikh Nawawî di Makkah dengan tradisi keilmuan di tanah airnya, Indonesia. Orang
besar seperti dirinya sanggup merasakan getar-getar budaya bangsanya. Dengan begitu, kehadiran
Syaikh Nawawî dengan kitab-kitabnya telah memberikan andil yang cukup besar dan signifikan
bagi kaum Muslimin di Indonesia, khususnya masyarakat tradisional di Jawa. Inilah sebabnya
mengapa secara umum, sampai hari ini, masyarakat pesantren yang sering diidentikan dengan
kaum tradisional itu, masih memberikan apresiasi yang tinggi terhadap karya-karya Syaikh
Nawawî meskipun telah terjadi perubahan besar dalam kehidupan sosial dewasa ini. Lihat Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 174
18
dan pengawasan khusus dari pemerintah kolonial Belanda, sama seperti saat ia
bahasa Arab dalam pelbagai disiplin ilmu yang sangat banyak pula, maka ia
digelari Imam Nawawî al-Tsânî, artinya Imam Nawawî Yang Kedua. Orang
pertama memberi gelar demikian ialah Syaikh Wan Aĥmad bin Muĥammad Zayn
al-Fathânî. Gelar yang diungkapkan oleh Syaikh Aĥmad al-Fathânî dalam seuntai
gubahan syairnya itu akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis riwayat
ulama yang berasal dari Banten itu. Dari sekian banyak ulama dunia Islam yang
lahir sejak sesudah Imam Nawawî yang pertama (wafat 676 H/1277 M) sampai
sekarang ini, belum ada satu pun di antara mereka yang mendapat gelar Imam
dibicarakan ini.36 Rasanya gelar demikian memang dipandang layak, tidak ada
33
Banten, menurut Snouck Hurgronje, mengirim jumlah penduduk yang paling besar ke
Koloni Jawa di Makkah. Pemimpin yang mendapat kehormatan yang paling besar umumnya juga
berasal dari daerah Banten. Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 117
34
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 6
35
Halwany Michrob dan A. Mujahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, Serang:
Saudara, cet. 3, 1993, h. 184
36
Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Nawawî Al-Bantani”,
http://www.ulama.blogspot.com/2005/03/Syeikh-Nawawi-al-Bantani.html
19
keahliannya dalam bidang ilmu keislaman secara tradisional yang telah ada
beberapa perkara tertentu. Belum jelas tahun berapa beliau diundang oleh ahli
bertemu dengan seorang ulama terkenal di al-Azhar (ketika itu sebagai Syaikh al-
Azhar), yaitu Syaikh Ibrâhîm al-Bâjûrî (w. 1860 M) yang mengalami kelumpuhan
penghormatan luar biasa, layaknya seorang alim besar. Sementara Syaikh Nawawî
sendiri hanya duduk di kursi belakang. Ketika acara dimulai, murid yang berperan
sebagai Syaikh itu berpidato singkat. Kemudian dengan alasan sakit, ia minta
persoalan keilmuan yang dihadapi dunia Islam secara rinci dan mendalam, dengan
sikap yang tenang dan bahasa yang nyaris sempurna serta mampu menjawab
berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para mahasiswa dengan sangat akurat.
Penampilannya yang elegan itu mampu memukau para pendengarnya. Karena itu
37
Kemungkinan Syaikh Ibrâhîm al-Bâjûrî termasuk salah seorang di antara guru Syaikh
Nawawî al-Bantanî. Lihat Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Nawawî Al-Bantani”,
http://www.ulama.blogspot.com/2005/03/syeikh-nawawi-al-bantani.html
20
semata untuk mengukur konsistensi para ulama dan mahasiswa al-Azhar, yang
seseorang, tidak peduli ia seorang santri, atau asisten kiai, kalau memang isi
dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab.
Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawa, karena
dibutuhkan untuk kegiatan belajar mengajar di daerah asalnya. Desakan itu dapat
terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya.
dengan ulama-ulama besar lainnya. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan
dan seringnya mengalami cetak ulang, maka dapat dipastikan bahwa karya
tulisnya cepat tersebar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan
38
DHB. Wicaksono, “Kiyai Nawawi dan Muridnya”,
http://www.muslimdelft.nl/mimbar/kisah_hikmah/kiyai_nawawi_bantani_dan_muridnya.php
39
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai,
Jakarta: LP3eS, cet. 4, 1985, h. 88
21
Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang
mudah dipahami dan padat isinya ini, Nawawî termasuk ke dalam kategori salah
gelar Min A‘yân ‘Ulamâ` al-Qarn al-Râbi‘ ‘Asyar li al-Hijrah (Ulama Abad 14
risalah dalam bentuk puisi. Di dalam risalahnya tersebut, Syaikh Nawawî menulis,
mengorganisir waktu, sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering
mendelegasikan para siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru
pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum
belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami
kesulitan.
40
Didin Hafiduddin, “Tinjauan atas Tafsir al-Munîr”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan,
Warisan Intelektual Islam Indonesia, h. 44
22
tulisannya dalam bentuk buku (kitab) berjumlah puluhan, dan seluruhnya ditulis
dalam bahasa Arab sehingga ia dikenal di Mesir, Syam, Turki, dan Hindustan.41
‘Uqûd al-Lujayn. Selain itu, masih ada kitab lainnya seperti Nûr al-Zhalâm, Fatĥ
yakni bidang fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, ĥadîts, sejarah Nabi, serta bahasa.
Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang
ditulisnya hanya satu kitab. Menurut Snouck, keistimewaan yang ia miliki tidak
konservatif. Teks-teks suci biasanya, termasuk karya ulama klasik, dibaca dan
dipahami secara literal. Sikap kritis dan rasional dalam pola pemikiran seperti ini
yang mendalam, intens, dan asketis. Dalam tulisan Syaikh Nawawî, penekanan
pada aspek ini sangat kuat. Dua hal inilah, mungkin, yang menyebabkan tulisan
Sayangnya, dari sekian karya yang dihasilkan oleh beliau, tidak disertai
dengan catatan kaki atau referensi. Gaya penulisan tanpa catatan kaki dan bahkan
daftar referensi seperti itu memang telah lazim dalam karya-karya tulis yang
berkembang pada masa itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila para
Namun di sisi lain, banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat dijadikan
beliau dengan ikhlasnya hanya mengirimkan manuskrip naskahnya dan setelah itu
44
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 173-174
45
Agus Zainal Arifin, “Syaikh Nawawî: Ulama Bertaraf Internasional”,
http://www.home.hiroshima-u.ac.jp/~agusza/cgi/ngaji/artikel.cgi?action=view&start=9
46
Khoirul Umam Sonhadji, “Tradisi Intelektual Caringin”, http://203.130.232.191/www-
ina/forumdetil.asp?mid=9875&catid=14&
24
Madjid, karyanya sebanyak seratus kitab yang beredar terutama di wilayah Timur
Tengah yang berbasis madzhab Syâfi‘î. Dari sana umat Islam membawanya ke
Sarkis dalam bukunya yang berjudul Dictionary of Arabic Printed Books from the
Nawawî al-Bantanî masih beredar, dan 11 judul dari kitab-kitabnya termasuk 100
lainnya. Bukan hanya itu, karya-karya besar Syaikh Nawawî juga ada di
Syaikh Nawawî memang tidak begitu mendalami dunia tarekat. Namun, di sisi lain,
beliau juga mempersilahkan siapa saja yang ingin menggelutinya selagi tidak menyimpang dari
ajaran agama Islam. Sikap seperti ini rupanya diikuti oleh muridnya, Hasyim Asy‘ari. Hal ini bisa
diketahui pada saat pelenggaraan Mu`tamar Ahl al-Tharîqah al-Mu‘tabarah pertama di Madiun
tahun 1947. Ketika itu Hasyim Asy‘ari tidak memberikan jawaban dan tidak ikut serta dalam
kelompok al-Tharîqah al-Mu‘tabarah. Di sana beliau tidak menjelaskan bagaimana kedudukan
tarekat, tetapi mempersilahkan orang lain kalau mau masuk di dalam salah satu tarekat yang ada.
Lihat Mastuki HS (ed.), Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, Jakarta: Pustaka
Ciganjur, cet. 1, 1999, h. 72
47
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 292
48
Ma’ruf Amin dan M. Nashruddin Anshari Ch., Pemikiran Syaikh Nawawî al-Bantanî,
Jakarta: Pesantren, vol. VI, no. I, 1989, h. 105. Bandingkan dengan Sri Mulyati, Sufism In
Indonesia, h. 41
49
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, h. 37
50
http://www.malnupusat.tripod.com/aboutmalnu.htm
25
Islamic Studies (salah satu universitas di Filipina), karya Nawawî diketahui tetap
juga banyak dikaji di berbagai madrasah di Patani, Yala, Satun, dan Narathiwat,
Malaysia, setahu saya, juga mengaji (karya-karya) Syaikh Nawawî. Itu kira-kira
sampai 1958.”52
Bantanî yang dikutip dari berbagai sumber, dan penulis menyusunnya berdasarkan
bidang masing-masing:
1) Al-‘Aqd al-Tsamîn, ulasan atas kitab Fatĥ al-Mubîn, Kairo: Mathba‘at al-
Wahbîyah, 1300
1316, 1328
3) Kâsyifat al-Sajâ, ulasan atas kitab Safînat al-Najâ karya Syaikh Sâlim ibn
Sayyid ‘Abd Allâh ibn Ĥusayn ibn Thâhir ibn Muĥammad ibn Hâsyim Bâ
‘Alawî, Mesir, 1292; Makkah: Mathba‘at al-Mirîyah, 1304. Kitab ini juga
5) Nihâyat al-Zayn, ulasan atas kitab Qurrat al-‘Ayn karya Syaikh Zayn al-
Ma‘ârif, tt.
6) Qût al-Ĥabîb, ulasan atas kitab Fatĥ al-Qarîb al-Mujîb karya Ibn Qâsim
7) Sullam al-Munâjâh, ulasan atas kitab Safînat al-Shalâh karya Sayyid ‘Abd
Allâh al-Ĥadhramî ibn ‘Umar, Mesir: Bûlâq, 1297 dan 1301; Mathba‘at al-
Maymanah, 1300.
3) Fatĥ al-Majîd, ulasan atas kitab Durr Farîd, Makkah: Mathba‘at al-
5) Nûr al-Zhalâm, ulasan atas kitab ‘Aqîdat al-‘Awwâm karya Sayyid Aĥmad
Ijmâlîyah, 1329.
7) Qathr al-Ghayts,53 ulasan atas kitab Masâ`il Abî al-Layts karya Nashr ibn
8) Tîjân al-Darârî, ulasan atas kitab Risâlat al-Bâjûrî karya Syaikh Ibrâhîm
53
Martin Van Bruinessen menulis dalam bukunya bahwa kitab ini merupakan ulasan
(syarĥ) dari kitab Ushûl 6 Bis, yaitu karya Abû al-Layts al-Samarqandî tentang Ushuluddin yang
terdiri atas enam bab, yang masing-masing babnya dibuka dengan bacaan Basmalah.
Pada abad ke-19, kitab Qathr al-Ghayts ini biasanya merupakan kitab aqidah pertama
yang dipelajari. Terjemahan bahasa Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah
satunya baru-baru ini diedit dalam transliterasi Latin Terjemahan Syaikh Asmarakadi berbahasa
Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang fiqh Syâfi‘î elementer yang ditambahkan oleh
penerjemah lain yang tidak dikenal. Namun, hanya karya Syaikh Nawawî al-Bantanî dan
terjemahan bahasa Jawa Ahmad Subki Pekalongan, Fatĥ al-Mughîts, yang terkenal dan banyak
dipakai. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, h. 28
28
Mirîyah, 1323
Ghazâli, Mesir: Bûlâq, 1293, 1309; dan Mesir, 1298, 1304. Selesai pada
dan dicetak atas biaya saudara kandung beliau sendiri, yaitu ‘Abd Allâh al-
Bantanî.54
1) Marâĥ Labîd li Kasyf Ma‘nâ Qur`ân Majîd, dikenal juga dengan sebutan
54
Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Nawawî Al-Bantani”,
http://www.ulama.blogspot.com/2005/03/Syaikh-nawawi-al-Bantani.html
29
1) Tanqîĥ al-Qawl al-Ĥatsîts, ulasan atas kitab Lubab al-Ĥadîts karya Imam
1) Bughyat al-‘Awwâm, ulasan atas kitab Mawlid Sayyid al-Anâm karya Ibn
1294 H/1877 M.
Nama Syaikh Nawawî al-Bantanî sudah tidak asing lagi bagi umat Islam
klasik madzhab Syâfi‘î, Imam Nawawî (w. 676 H/1277 M). Melalui karya-
masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus
setiap majlis ta‘lim, karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai
ilmu; dari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, ĥadîts, sejarah, sampai bahasa. Karya-
dikenal sebagai ulama penulis kitab, melainkan juga ia adalah mahaguru sejati
jarang, orang beranggapan bahwa memberi catatan kecil atas pemikiran Syaikh
55
http://www.malnupusat.tripod.com/aboutmalnu.htm
31
dipengaruhi oleh pemikiran guru-gurunya seperti Khathîb Sambas dan ‘Abd al-
Ghanî Bima. Namun, guru sejatinya adalah Yûsuf Sumbulâwînî dari Mesir,
Oleh karena itu, maka tidak heran bila kemudian ia menjadi guru di antara para
beliau ialah Syaikh ‘Abd al-Ĥaqq bin ‘Abd al-Ĥannân al-Jâwî al-Bantanî (1285-
1324 H/1868-1906 M). Pada halaman pertama kitabnya yang berjudul al-Aqwâl
56
http://www.rahima.or.id/SR/10-03/kiprah1.htm
57
Sri Mulyati, Sufism In Indonesia, h. 29
58
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 144
32
petunjuk dan bimbingannya. Pada bagian kulit kitab pula, Syaikh ‘Abd al-Ĥaqq
al-Bantanî menulis bahwa beliau adalah sibth (cucu) Syaikh Nawawî al-Bantanî.59
melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang
dianggap sebagai pemimpin pemberontak Cilegon ialah: Haji Wâsith, Haji ‘Abd
al-Raĥmân, Haji Ĥâris, Haji Arsyad Thawîl, Haji Arsyad Qashîr, Haji Aqîb dan
Tubagus Haji Ismâ‘îl. Semua mereka adalah murid Syaikh Nawawî al-Bantanî
59
Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Nawawî Al-Bantani”,
http://www.ulama.blogspot.com/2005/03/Syaikh-Nawawi-al-Bantani.html
60
Wan Mohd. Shaghir Abdullah, “Syeikh Nawawî Al-Bantani”,
http://www.ulama.blogspot.com/2005/03/Syaikh-Nawawi-al-Bantani.html
BAB III
A. Pengertian Sifat
(al-shifah) sebagai sesuatu yang berdiri atau melekat pada suatu benda yang
disifati (al-mawshûf),1 seperti sifat “bagus”, “baik”, “tinggi”, “besar”, dan lain
1. Rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda; tanda lahiriah
2. Perikeadaan yang menurut kodratnya ada pada sesuatu (benda, orang, dsb)
3. Ciri khas yang ada pada sesuatu (untuk membedakan dari yang lain)
“Sesuatu yang menjadi ciri khas yang tampak pada suatu benda yang disifati
1
Louis Ma’louf, Al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm, Beirut: Dar el-Mashreq Sarl, 1984,
h. 903
2
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, cet. 1, 1988
33
34
lahirnya sebuah peradaban manusia yang dapat diketahui melalui kekayaan aneka
ragam seni, budaya dan pemikiran para pemikir Muslim, baik tentang hukum,
politik, sosial maupun ketuhanan atau dikenal dengan sebutan ilmu kalam, dan
orang yang ahli dalam ilmu ini disebut mutakallim (jamak: mutakallimûn).
Disebut ilmu kalam karena yang dibahas adalah kalam Tuhan dan kalam
manusia. Kalau yang dimaksud dengan kalam Tuhan adalah firman-Nya (al-
kalangan umat Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Perdebatan yang
muncul adalah tentang apakah kalam Tuhan itu qadîm atau ĥâdits. Karena firman
Tuhan pernah diperdebatkan, maka ilmu ini dinamakan ilmu kalam. Kalau yang
dimaksud kalam adalah kata-kata manusia, maka kaum teolog dalam Islam selalu
dan keesaan Tuhan, maka ilmu ini juga dinamakan ushuluddin. Selain itu, ilmu ini
juga bisa disebut ilmu tauhid, karena ajaran pokok Islam adalah tentang tauhid.
Kata tauhid mengandung arti satu atau Esa, dan keesaan dalam pandangan Islam
3
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, cet. 2, 1999, h. 17
4
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, h. 17
35
Asas ilmu kalam sendiri, baik ‘aqlî maupun naqlî, masih bersifat
spekulasi. Ini merupakan konsekuensi dari ketidakjelasan batasan akal dan adanya
kontaminasi antara qath‘î dengan zhannî dalam naqlî, baik dalam konteks sumber
(tsubût) maupun makna (dalâlah)-nya.5 Dari kalangan tâbi‘în, ahli kalam pertama
adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz, Zayd ibn ‘Alî Zayn al-Âbidîn, Ĥasan al-Bashrî,
dan lain-lain. Sesudah masa tâbi‘în adalah Ja‘far ibn Muĥammad al-Shâdiq.
Sedangkan dari kalangan ulama fiqh ada Imam Abû Ĥanîfah dan Imam Syâfi‘î.6
(penyerupaan Allah), tentang kalam Allah (apakah ia qadîm atau ĥâdits), tentang
kenabian sekaligus kesucian para nabi dari dosa (ma‘shûm), tentang al-mî‘âd
(tempat kembali), serta tentang sifat Allah dan hubungannya dengan zat-Nya. Di
antara aliran-aliran kalam yang pernah ada, dua di antaranya merupakan yang
paling banyak mendapatkan sorotan hingga saat ini, yaitu Mu‘tazilah dan
Asy‘arîyah. Hubungan kedua aliran ini sendiri adalah hubungan antagonistik. Hal
ini terjadi terutama saat Mu‘tazilah dijadikan ideologi negara oleh Khalifah al-
5
M. Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam, Bangil: Al-Izzah, cet. 1,
2002, h. 35
6
Noer Iskandar al-Barsany, “Pemaknaan Ulang Ahlus Sunnah Waljamâ‘ah dari Madzhab
Aqwâlî ke Madzhab Manhajî”, dalam Imam Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan
dan Reinterpretasi, Yogyakarta: LKiS, 1999, cet. 1, h. 144
36
diperkenalkan oleh dua penguasa ‘Abbâsîyah itu memaksa semua umat Islam
Ciri khas paling khusus dari Mu‘tazilah ialah bahwa mereka meyakini
berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka merupakan
kelompok yang paling mirip dengan Descartes dari kalangan kaum Rasionalis
modern. Mereka tidak mengingkari teks al-Qur`ân dan ĥadîts, tetapi tanpa ragu-
ragu mereka menundukkan kedua teks di atas kepada hukum akal. Untuk itu,
tidak diakui oleh akal. Aliran ini juga mensucikan kemerdekaan berpikir baik
Wâshil ibn ‘Athâ` adalah pendiri dan pemuka aliran Mu‘tazilah. Ajaran-
dua posisi bagi pembuat dosa besar. Kedua, paham qadarîyah yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah free will and free act. Dan ajaran yang ketiga adalah
Pada ajaran yang ketiga ini, Wâshil mengatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat. Pada mulanya, doktrin ini tidak begitu berkembang dan hanya
diterangkan oleh Wâshil secara simpel saja, sebagai berikut: Secara umum telah
sepakat bahwa eksistensi dua Tuhan yang sama-sama kekal adalah mustahil; maka
7
Thoha Hamim, “Faham Ahlus Sunnah Waljamâ‘ah: Proses Pembentukan dan
Tantangannya”, dalam Imam Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja, h. 151
8
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin,
Jakarta: Bumi Aksara, cet. 1, 1995, h. 48
37
yang kekal, itu pun berarti ada dua Allah (yang kekal). Para pengikutnya yang
disebut (al-Wâshilîyah) lebih kuat lagi memegang doktrin ini setelah mereka
simpulkan hanya dengan “al-‘Ilm” dan “al-Qudrah” saja. Kedua sifat ini
merupakan aspek-aspek dari esensi dzat Allah yang kekal (eternal). Abû al-
ayat tersebut bersama dengan kebenaran seluruh ayat lainnya. Hanya saja
penafsiran mereka tentang ayat-ayat itu berlainan dengan penafsiran aliran teologi
lain dalam Islam. Bagi Mu‘tazilah –khususnya para pengikut Abû Hudzayl al-
sebagainya bukanlah sifat Tuhan, tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan itu
sendiri. Lafazh-lafazh tersebut mereka anggap hanya sebagai keadaan atau nama,
dan sekali lagi bukan sifat. Bagi mereka, Tuhan mengetahui bukan dari sifat
9
Muĥammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Syahrastanî, Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi
Diningrat, Bandung: Pustaka, cet. 1, 1996, h. 60-61
10
Ia tinggal di Bashrah dan menjadi pemimpin kedua dari cabang Bashrah setelah
Wâshil. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar
Mu‘tazilah secara teratur. Dan pengetahuannya tentang logika membuat ia menjadi pendebat
mahir dalam melawan golongan Majusi, Ateis, dan lain sebagainya.
Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI Press, ed. 2, cet. 1, 2002, h. 47
38
Mu‘tazilah memberi gambaran Esa kepada diri Tuhan, diri yang tidak disusun dari
lapisan zat dan lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat yang mempunyai
berbagai aspek.11
Tuhan, menurut Abû Hudzayl, betul mengetahui tetapi bukan dengan sifat,
adalah dzat-Nya. Teks yang dipakai Abû Hudzayl menurut al-Syahrastânî adalah:
Lebih jelasnya, Hudzayl berkata, “Kalau aku nyatakan Allah itu bersifat
tahu, maka artinya pun aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan,
sementara pengetahuan itu sendiri adalah Dia. Sehingga dengan begitu aku tegas-
tegas menolak anggapan bahwa Allah itu bodoh (jahl) terhadap sesuatu yang
sudah ataupun yang akan terjadi. Dan kalau aku tanyakan Allah itu bersifat kuasa,
maka artinya pun aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Allah itu lemah (‘ajz)
sendiri adalah Dia, tetapi kekuasaan-Nya itu terbatas pada apa yang dikuasai-Nya
semata. Begitu pun kalau aku tanyakan, pada-Nya itu terdapat keperihidupan
11
Harun Nasution, “Kaum Mu‘tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful
Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, Bandung:
Mizan, cet. 5, 1998, h. 131-2
12
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 47-48
39
(ĥayâh), maka artinya pun aku tetapkan bahwa keperihidupan itu sendiri adalah
Dia, karena aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Allah itu mati.”13
Wâshil dan Abû Hudzayl adalah Abû ‘Alî Muĥammad ibn ‘Abd al-Wahhâb al-
Jubâ‘î (w. 295 H) dan anaknya Abû Hâsyim ‘Abd al-Salâm (w. 321 H). Mengenai
esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya; dalam teks
Arabnya disebut:
ﻲ ِﻟﺫﹶﺍ ِﺘ ِﻪ
ﺤﱞ
ﺭ ﻡ ِﻟﺫﹶﺍ ِﺘ ِﻪ ﻗﹶﺎ ِﺩ ﺎِﻟﻋ
“Allah mengetahui karena dzat-Nya, serta berkuasa dan hidup juga
melalui dzat-Nya.”
mengetahui dan pula tidak pada keadaan mengetahui. Adapun bagi anaknya, Abû
Kalau dikatakan Tuhan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat
unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang
melekat kepada zat. Kalau dikatakan Tuhan memiliki 20 sifat, Tuhan akan terdiri
dari 21 unsur, kalau 40 sifat, unsur-Nya akan berjumlah 41, dan kalau dikatakan
Ia mempunyai 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat
13
Abû al-Ĥasan al-Asy‘arî, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Theologi Islam, Bandung:
Pustaka Setia, cet. 1, 1998, h. 230
14
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 51-52
40
Secara sederhana, iman adalah: Tiada Tuhan selain Allah; sedangkan iman
dalam teologi mengambil bentuk: Tiada yang qadîm selain Allah. Oleh karena itu,
paham banyak yang qadîm membawa manusia kepada syirik, dan syirik dalam
Islam adalah dosa terbesar yang tak diampuni Tuhan.15 Dengan kata lain, mereka
menegaskan bahwa Allah dengan zat dan sifat-Nya adalah esa, dan tidak ada
mempunyai sifat. Sebab jika Tuhan mempunyai sifat, mestilah sifat itu juga kekal
seperti Tuhan.16 Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan
terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat
yang melekat pada zat. Di sana ada banyak unsur yang sama-sama kekal.
Paham peniadaan sifat Tuhan ini kelihatannya berasal dari Jahm, karena
manusia tak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada
disebut Mujassimah dan Ĥawwâsîyah, yaitu mereka yang percaya pada arti
15
Harun Nasution, “Kaum Mu‘tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful
Muzani (ed.), Islam Rasional, h. 130
16
Imam Syâfi‘î, sebagaimana yang dituturkan oleh al-Râzî, mempunyai pendapat bahwa
sumpah dengan selain Allah tidak mewajibkan kafarat dan bersumpah dengan nama serta sifat
Allah mewajibkan kafarat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau (Imam Syâfi‘î) mempunyai
keyakinan bahwa sifat-sifat Allah bukanlah sesuatu yang berbeda dengan dzat-Nya. Lihat
Muhammad Abû Zahrah, Imam Syâfi‘î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Aqidah,
Politik, dan Fiqh, Jakarta: Lentera, cet. 1, 2005, h. 226
17
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 46
41
Qur`ân yang arti lahirnya menunjukkan bahwa Tuhan itu berjisim, seperti surat al-
Fatĥ (48) ayat 10: (Tangan Allah di atas tangan mereka); Surat Thâhâ (20) ayat 5:
atas ‘Arsy). Sehingga lafazh tersebut bermaksud majazî (kiasan), bukan bermakna
Namun sayang, zaman keemasan Mu‘tazilah selama lebih dari tiga dekade
(inquisition). Masyarakat pada masa itu dipaksa untuk mengikuti pendapat aliran
Mu‘tazilah, dsb), maka lahirlah aliran baru yang dipelopori oleh seorang ulama
besar yaitu Abû al-Ĥasan al-Asy‘arî.19 Beliau dilahirkan di Bashrah tahun 260 H
dan di sana pula beliau meninggal dunia pada tahun 324 H. Pada mulanya beliau
18
Boleh dikatakan bahwa hilangnya Mu‘tazilah adalah hilangnya pola pikir rasional
dalam dunia Islam yang sangat kentara mulai abad kelima. Ditambah dengan situasi politik yang
tak menguntungkan, yakni penyerangan Bangsa Mongolia yang membabat dan memporak-
porandakan Baghdad. Dan sayangnya umat Islam melarikan diri dari kenyataan. Melihat
kekalahan-kekalahan, mereka lari ke “sudut-sudut kehidupan”. Mereka mengasingkan diri (‘uzlah)
bukan hanya secara fisik, tetapi bahkan secara pemikiran. Maka dimulailah masa kemunduran
Islam. Lihat Mastuki HS (ed.), Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, Jakarta: Pustaka
Ciganjur, cet. 1, 1999, h. 189
19
Beliau dan Mâturîdî adalah ahli teologi yang mengambil jalan tengah antara pemikiran
Mu‘tazilah yang lebih liberal dengan faham ahl al-ĥadîts yang terlalu tekstual. Para pengikut
kedua tokoh ini biasa disebut Sunni, Asy‘arîyah, atau ‘Asyâ`irah. Lihat Mastuki HS (ed.), Kiai
Menggugat, h. 13
42
ĥadîts. Di lain pihak, ia juga tidak menyukai kaum tekstualis yang hanya percaya
dan al-Mujâz.
Di antara para ulama besar yang menyebarkan aliran Asy‘arîyah ini ialah
Imam Abû Bakr al-Qaffâl (w. 365 H), Imam al-Bâqillânî, dengan kitab al-
Tamhîd-nya yang terkenal (w. 403 H), Imam Abû Isĥâq al-Isfahânî (w. 411 H),
Imam Ĥâfizh al-Bayhaqî (w. 458 H), Imam al-Juwaynî atau dikenal juga dengan
sebutan Imam al-Ĥarâmayn, guru Imam al-Ghazâlî (w. 460 H), Imam al-Qusyayrî
(w. 465 H), Imam al-Ghazâlî (w. 505 H), Imam Fakhr al-Râzî (w. 606 H), dan
Imam ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm (w. 606 H). Dalam masa-masa kemudian,
para ulama yang mendukung faham al-Asy‘arî ini ialah antara lain seperti Syaikh
al-Islâm ‘Abd Allâh al-Syarqâwî (w. 1227 H), Syaikh Ibrâhîm al-Bâjûrî (w. 1272
H), Syaikh Nawawî al-Bantanî (w. 1315 H), Syaikh Zayn al-‘Âbidîn ibn
Dalam doktrin Asy‘arîyah, Allah adalah zat mutlak yang mempunyai sifat.
Sifat inilah yang ada relasinya dengan alam semesta ini. Allah punya sifat-sifat
seperti qudrah, irâdah, ‘ilm, sam‘, dan lain sebagainya. Dengan adanya qudrah
20
http://www.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf822a5c9b123e6d26ab120be5b54dfc
43
maka ada maqdûr; dengan adanya irâdah maka ada murâd; ada ‘ilm ada ma‘lûm;
dan ada sam‘ ada masmû‘. Semua ini adalah relasi antara sifat Allah dengan
makhluk. Hanya saja dalam Islam, sifat-sifat itu tidak bisa menjelma, sifat tidak
bisa pisah dengan Tuhan. Maka dalam ilmu kalam dikatakan, misalnya “Al-‘ilm
shifah qadîmah azalîyah laysat hiya dzâtan wa lâ ghayrahâ (Ilmu itu sifat azali
yang berbeda dengan zat Tuhan, dan bukan pula selain zat-Nya).21
Qur`ân, di antaranya:
ﻻ ِﺒ ِﻌ ﹾﻠ ِﻤ ِﻪ
ﻊ ِﺇ ﱠ ﻀ
ﻻ ﹶﺘ
ﹶﻥ ُﺃ ﹾﻨﺜﹶﻰ ﻭ
ل ِﻤ
ُ ﺤ ِﻤ
ﺎ ﹶﺘﻭﻤ
“Dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula)
melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya.” (Qs. al-Fâthir
[35] : 11)
mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Allah itu adalah dzat-
Nya. Jika Allah mengetahui dengan dzat-Nya, maka dzat-Nya itu merupakan
(pengetahuan), atau dzat Allah diartikan sebagai sifat-sifat. Oleh karena mustahil
ilmu. Ilmu Allah tersebut bukan merupakan dzat-Nya. Demikian pula dengan
21
Mastuki HS (ed.), Kiai Menggugat, h. 180
44
sifat-sifat lainnya. Bagi al-Asy‘arî, seluruh sifat itu Tuhan qâ`imah bi dzâtih
(berdiri sendiri).22
ﺍ ِﻡﻹ ﹾﻜﺭ
ِ ﻭ ﹾﺍ ِﻼل
ﹶﻙ ﺫﹸﻭﺍ ﺍ ﹾﻟﺠ
ﺭ ﱢﺒ ﻪ ﺠ
ﻭ ﺒﻘﹶﻰ ﻴ ﻭ
“Dan tetap kekal wajh Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.” (Qs. al-Raĥmân [55] : 27)
ﺤ ِﻴﻨﹶﺎ
ﻭ ﻭ ﻴ ِﻨﻨﹶﺎ ﻋ
ﻙ ِﺒَﺄ
ﺼ ﹶﻨﻊِ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻔ ﹾﻠ
ﺍﻭ
“Dan buatlah bahtera itu dengan ‘ayn dan petunjuk kami.” (Qs.
Hûd [11] : 37)
jalan tengah dengan mengemukakan bahwa Tuhan mempunyai wajah, mata, dan
tangan23 yang tidak akan hancur seperti yang telah disebut dalam Al-Qur`ân,
tetapi dengan tidak diketahui bagaimana bentuknya (bi lâ kayf).24 Sifat Tuhan
bukan esensi Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan zat Tuhan adalah berbeda.”
Proposisi “sifat itu bukan zat” (laysat hiya dzâtan) digunakan untuk
menjawab argumentasi Mu‘tazilah yang mengatakan sifat itu adalah zat. Dan
proposisi “sifat itu bukan selain zat” (wa lâ ghayrahâ) digunakan untuk
menyanggah orang-orang Nasrani yang meyakini bahwa sifat Tuhan itu dapat
22
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan
Perbedaannya dengan al-Asy‘arî, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet. 1, 1997, h. 43
23
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî, h. 44
24
Maksud dari tidak bisa ditentukan bagaimana (bi lâ kayf) adalah dengan tidak
mempunyai bentuk dan batasan (lâ yukayyaf wa lâ yuĥadd). Lihat Harun Nasution, Teologi Islam,
h. 71
45
Kalau mengikuti lebih lanjut, paham Asy‘arîyah ini sebenarnya sudah jauh
berkembang. Al-Râzî, misalnya, itu sudah jauh sekali dari Asy‘arî. Sebab dia
mengatakan bahwa sifat Tuhan itu hanya al-‘Ilm (ilmu). Pendapat ini justru lebih
Mu‘tazilah. Menurutnya, Allah SWT suci dari pengkhususan dengan arah, dengan
sifat-sifat baharu serta bebas pula dari adanya batasan dan ukuran. Baginya, setiap
yang menempati arah mestilah terbatas; setiap yang terbatas mestilah terdiri dari
jawhar yang dapat berkumpul dan bercerai. Sedangkan Allah adalah Mahasuci
dari keadaan bertempat (al-taĥayyuz) dan lepas dari arah tertentu, dan juga tidak
terdiri dari tubuh (jism) tertentu. Oleh karenanya, ayat 5 surat (Thâhâ) di atas
‘uluww (keluhuran).26
digunakan untuk menyebut dan menetapkan sifat Allah seperti pandangan Abû
25
Mastuki HS (ed.), Kiai Menggugat, h. 13
26
Sjechul Hadi Permono, “Aswaja: Aqidah dan Syari‘ah”, dalam Imam Baehaqi (ed.),
Kontroversi Aswaja, h. 49.
Dalam kasus hukum kausalitas, al-Juwaynî juga cenderung kepada pendapat Mu‘tazilah
bahwa manusia tidak dipaksa dalam berbuat, dalam arti manusia juga mempunyai usaha.
Argumentasinya adalah bahwa setiap orang dapat membedakan antara gerak tangannya karena
terpaksa atau sengaja. Lihat Sjechul Hadi Permono, “Aswaja”, dalam Imam Baehaqi (ed.),
Kontroversi Aswaja, h. 55 dan M. Tolhah Hasan, “Mempertahankan dan Mengembangkan Doktrin
Aswaja dalam Konteks Kehidupan Masa Kini”, dalam Imam Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja,
h. 134
46
dan warna, misalnya, keduanya terdapat pada dzat yang bergerak dan berwarna.
Sifat adalah sesuatu yang tampak pada perbuatan, seperti corak atau bentuk. Ada
yang hitam, putih, panjang, atau pendek. Sifat juga bisa merupakan pekerjaan,
seperti kâtib (penulis), bisa juga berdasarkan agama seperti mukmin atau kafir.
Selain itu, bisa juga berdasarkan kebangsaan, seperti ‘Arabî (yang berkebangsaan
Arab), ‘ajamî (yang berkebangsaan non-Arab), atau Hâsyimî (yang berasal dari
keturunan Hâsyim). Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli bahasa bahwa
Mu‘tazilah ini dianggap oleh Said Aqiel Siradj sebagai usaha adaptasi sunni yang
yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam, berlainan pendapat
27
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî, h. 50
28
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî, h. 51
29
Said Aqiel Siradj, “Ahlussunnah wal Jamâ‘ah di Awal Abad XXI”, dalam Imam
Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja, h. 140
47
qadîm yang tidak identik dengan dzat Allah itu sendiri, dan mempunyai wujud di
luar dzat-Nya.30
Term tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi adalah agar berada sedekat
secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu; pertama,
tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi usaha
mulai dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut al-takhalluq bi akhlâq
30
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 73
31
Kedua, tasawuf yang bertujuan untuk ma‘rifat Allâh (mengenal Allah) melalui
penyingkapan langsung atau metode kasyf al-ĥijâb. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan
seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis-analitis. Dan ketiga adalah
tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri
kepada Allah secara mistis-filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk,
terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan. Lihat H.A. Rivay
Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. 2,
2000, h. 57
48
Allâh, mempunyai akhlak Tuhan adalah akhlak baik; atau al-ittishâf bi shifât
Allah sebagai Khaliq dan manusia selaku makhluk. Atas dasar inilah M. Iqbal
kesadaran akan adanya keinsafan batin yang teramat tinggi dalam diri manusia
Sifat Tuhan, di samping banyak yang baik, juga ada yang mengesankan
Islam tidak terpisah-pisah, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh. Tuhan
terutama Ibn ‘Arabî, sifat Tuhan yang terlihat bertentangan itu adalah gambaran
dari kesempurnaan.34
Sejak awal, para sufi telah menggunakan bahasa al-Qur`ân dan hidup
32
Harun Nasution, “Masalah Akal dan Akhlak”, dalam Saiful Muzani (ed.), Islam
Rasional, h. 59
33
Rivay Siregar, Tasawuf, h. 60-61
34
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, h. 161
49
Jamâl (Keindahan) merupakan dua sifat Tuhan yang dapat saling bertukar.
Pertukaran dua sifat ini nanti akan membentuk sifat lain yang lebih tinggi, yaitu
keindahan-Nya, begitu pula Tuhan mencintai kita dan seluruh makhluk-Nya sebab
adalah sumber dari semua keindahan, baik keindahan ruhani maupun intelektual.
Walaupun demikian, keindahan Tuhan bebas dari segala rupa dan bentuk. Oleh
karena itu, yang dimaksud Ibn ‘Arabî dengan “wujud” bukanlah wujud yang
mengambil rupa dan bentuk nyata, melainkan penampakan Tuhan melalui sifat-
yaitu cinta.38
Dzû al-Nûn juga mengemukakan bahwa pengetahuan tentang Allah itu ada
35
Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-
Karya Hamzah Fansuri, Jakarta: Paramadina, cet. 1, 2001, h. 16
36
Nama lengkapnya adalah Abû al-Faidh Tsawban ibn Ibrâhîm Dzû al-Nûn al-Mishrî al-
Akhminî al-Qibthî. Ia dilahirkan di Akhmin, Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang
sejarahnya. Ia dikenal sebagai sufi terkemuka pada abad ketiga hijriah. Jasanya yang terbesar
adalah meletakkan dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqâmât.
Lihat Rivay Siregar, Tasawuf, h. 81
37
Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang Tertindas, h. 43
38
Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang Tertindas, h. 58
50
milik orang-orang yang saleh (para wali Allah) yang dapat mengenal
Nya yang kreatif. Mengenal Tuhan dengan pemahaman seperti ini disebut al-
R.A. Nicholson menjelaskan bahwa menurut kaum sufi ada tiga komponen
dalam diri manusia yang dapat memperoleh ma‘rifat, yaitu; qalb atau hati yang
digunakan untuk mengetahui sifat-sifat Allah; ruh yang berfungsi sebagai alat
untuk mencintai Tuhan; dan sirr fungsinya sebagai alat untuk melihat Tuhan.
Qalb merupakan wadah ruh, sedangkan sirr bertempat di dalam ruh. Qalb
mempunyai dua fungsi yaitu sebagai alat berpikir dan alat perasa. Dengan
demikian, qalb tidak sama dengan akal, sebab akal tidak mampu mengetahui sifat-
39
Rivay Siregar, Tasawuf, h. 82
40
Abdul Hadi W.M, Tasawuf yang Tertindas, h. 31
41
Rivay Siregar, Tasawuf, h. 130
51
Selanjutnya, kaum sufi melihat bahwa penajaman daya pikir atau akal saja
belum menjadi jaminan bagi budi pekerti luhur. Manusia yang akalnya cerdas bisa
saja mempergunakan akal dan ilmu yang dihasilkannya untuk kejahatan. Oleh
karena itu, mereka memusatkan perhatiannya pada penajaman daya rasa yang
terpusat pada kalbu dengan meyakini bahwa Allah adalah Zat Yang Esa dalam
segala hal.
wujud yang sejati. Yang ada dengan sebenar-benarnya hanyalah “ada”-nya Tuhan.
Kalau pun dikatakan bahwa selain diri-Nya mempunyai wujud, maka wujud itu
hanyalah wujud bayangan. Tidak ubahnya wujud bayangan dalam cermin dari
hanyalah wujudnya yang berada di luar cermin. Wujud bayangan dalam cermin
bergantung pada dan bersatu dengan wujud diri orang itu. Wujud hanyalah satu,
yang selain-Nya hanyalah bayangan. Filsafat ini, yang disebut wiĥdat al-wujûd,
suatu paham yang dikembangkan oleh seorang sufi bernama Ibn ‘Arabî. Kaum
sufi mendekatkan diri kepada Allah sampai ke suatu tingkat yang disebut fanâ`
(hancurnya diri). Mereka merasakan dirinya dan alam sekitar tidak ada lagi. Yang
Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa dari segi keberadaannya, alam ini qadîm
karena secara konsepsional sudah ada dalam Ilmu Tuhan sejak azali. Tetapi
diukur dari “beradanya” dalam bentuk materi, maka alam ini adalah ĥâdits dan ia
adalah bayangan (shûrah) dari Wujud Mutlak. Alam dikatakan qadîm karena ia
42
Harun Nasution, “Islam dan Pancasila”, dalam Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional, h.
219
52
adalah bagian dari Tuhan, dan alam ini dikatakan ĥâdits karena ia memiliki
bentuk dan beraneka. Secara eksistensial, alam ini tidak didahului oleh waktu,
berbentuk, serta beraneka. Tuhan qadîm secara dzat (dzâtî) dan waktu (zamânî),
sedangkan alam hanya memiliki sifat qadîm zamânî tetapi tidak qadîm dzâtî.
Hanya saja, pada alam terdapat aspek ilâhîyah secara transenden melalui tajallî
Tuhan).43
Selain wiĥdat al-wujûd dan al-fanâ`, ada juga teori lain yang dipelopori
oleh al-Ĥallâj yaitu al-ĥulûl. Perngertian al-ĥulûl secara singkat adalah bahwa
Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah
Sebab, menurut al-Ĥallâj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ke-Tuhan-an atau lâhût dan sifat kemanusiaan atau nâsût. Demikian juga halnya
Tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilâhîyâh atau lâhût dan sifat
maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan
43
Rivay Siregar, Tasawuf, h. 187-188
44
Rivay Siregar, Tasawuf, h. 156
53
45
Sa`id Aqiel Siradj, “Ahlussunnah wal Jamâ‘ah”, dalam Imam Baehaqi (ed.),
Kontroversi Aswaja, h. 137
BAB IV
Sejalan dengan prinsip pola pikir yang dibangunnya dalam bidang teologi,
yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini di antaranya adalah Tîjân al-Darârî,
yaitu Abû ‘Abd Allâh al-Bâhilî. Kemudian al-Bâhilî diteruskan oleh muridnya,
Abû Bakr al-Bâqillânî. Lalu al-Bâqillânî dilanjutkan muridnya bernama ‘Abd al-
‘Umar Fakhr al-Dîn al-Râzî. Madzhab ini diteruskan oleh ‘Adl al-Dîn al-Îjî. Lalu
Ibrâhîm al-Bâjûrî. Dan dilanjutkan oleh al-Dasûqî yang mengarang kitab Umm al-
1
Mastuki HS (ed.), Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, Jakarta: Pustaka
Ciganjur, cet. 1, 1999, h. 59
54
55
seperti ini: Imam Abû al-Ĥasan al-Asy‘arî berguru kepada seorang tokoh
Mu‘tazilah, yaitu Abû al-‘Alî al-Jubâ‘î. Ia murid ayahnya sendiri bernama Abû al-
Hâsyim al-Jubâ‘î, murid Abû al-Hudzayl al-‘Allâf yang berguru pada Ibrâhîm al-
Nazhzhâm. Ibrâhîm berguru pada ‘Amr ibn ‘Ubayd (pencipta ilmu balâghah). Ia
merupakan salah satu murid Wâshil ibn ‘Athâ`, pendiri Mu‘tazilah. Wâshil sendiri
adalah murid dari Muĥammad, putra Sayyidina ‘Alî r.a. dari hasil perkawinannya
dengan Khawlah bint Ja‘far al-Ĥanafîyah. Dari jalur ini kemudian sampai kepada
Sayyidina ‘Alî ibn Abî Thâlib r.a., sepupu, menantu, sekaligus khalifah Nabi
sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi
tidak sampai pada konsep Jabarîyah yang meyakini bahwa sebenarnya semua
perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya
manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini, sebenarnya
2
Mastuki HS (ed.), Kiai Menggugat, h. 59-60
3
http://www.sufinews.com/print.pĥp?id=1078892435&arcĥive
56
setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah,
umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali kekuatan Allah.
bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His
Act), karena sifat Allah adalah perbuatan-Nya. Dia membagi sifat Allah ke dalam
tiga bagian; wâjib, mustaĥîl, dan ja`iz; sifat wâjib adalah sifat yang pasti melekat
pada Allah dan tidak mungkin tidak adanya; sifat mustaĥîl adalah sifat yang pasti
tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya; sedangkan sifat jâ`iz adalah
sifat yang boleh ada dan boleh tidak ada pada Allah.4 Meskipun Nawawî bukan
orang pertama yang membahas sifat Allah, dalam konteks Indonesia, Nawawî
meskipun mereka termasuk orang awam, budak, maupun pelayan– yang telah
terkena hukum taklîf (kewajiban menjalankan syari‘at Islam, dan orang yang
4
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, Indonesia: Dâr Iĥyâ` al-Kutub al-‘Arabîyah,
tt., h. 4
57
pasti (idrâk jâzim),5 tidak disertai dengan keraguan, bisa dibenarkan, serta
memiliki dalil (baik ‘aqlî maupun naqlî) yang kuat.6 Lawan dari ma‘rifah adalah
ketetapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.7 Mereka (para mukallaf) juga
tafshîlî) hanya merupakan fardh al-kifâyah, yaitu suatu kewajiban atas seseorang
yang gugur apabila kewajiban tersebut telah dilaksanakan oleh orang lain yang
lanjut. Seperti jika ada seseorang yang mengatakan bahwa adanya alam
adanya Allah tersebut dilihat dari sudut pandang kebaharuan alam (ĥudûts al-
‘âlam), atau dari kemungkinan adanya alam (mumkin al-wujûd), atau mungkin
5
Al-Shiddîq, sebagaimana dikutip oleh Nawawî, mengatakan bahwa ketidakmampuan
manusia untuk mengetahui hakikat Allah yang sebenarnya adalah pengetahuan itu sendiri. Artinya,
setiap manusia yang benar-benar menguasai hal-hal yang wajib, mustahil, dan jâ`iz bagi Allah,
maka ia telah mengetahui bahwa hakikat Allah terhijab (tertutup/tidak diketahui) dan akal pikiran
tidak mampu menjangkaunya. Dengan demikian, orang tersebut bisa dikatakan al-‘ârif (orang
yang telah mengenal Allah). Lihat Nawawî al-Bantanî, Sullam al-Munâjâh, tt. h. 5
6
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, Surabaya: Maktabat Muĥammad ibn Aĥmad ibn
Nabhân wa Awlâdihi, tt., h. 3
7
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, Indonesia: Syirkat Dâr al-Salâm, tt., h. 7
8
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 3
58
Jelasnya, jika ada dalil, baik naqlî maupun ‘aqlî, yang menjelaskan Tuhan
secara umum (ijmâlî) –seperti dalil yang menunjukkan bahwa Allah wajib disifati
maka kita wajib mengetahui secara umum juga. Demikian pula bila terdapat dalil
yang menjelaskan Tuhan secara terperinci (tafshîlî) –seperti dalil tentang sifat
wâjib, sifat mustaĥîl, dan sifat jâ`iz dimiliki oleh Allah–, maka kita wajib pula
Sifat wâjib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan tidak mungkin
tidak adanya, dan seluruhnya berjumlah 20 sifat, yaitu al-Wujûd (Ada), al-Qidam
9
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 3
59
Sedangkan sifat mustaĥîl adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah
dan wajib tidak adanya. Sifat ini merupakan lawan dari sifat wâjib di atas. Dengan
demikian, jumlah sifat mustaĥîl juga ada 20, yaitu al-‘Adam (Tiada), al-Ĥudûts
(Senantiasa Bisu).
a. Sifat Nafsîyah
Sifat nafsîyah adalah sifat Allah yang menunjukkan dzat-Nya, dan bukan
merupakan sifat tambahan yang ada pada diri-Nya. Sifat nafsîyah hanya satu,
yaitu al-Wujûd (ada). Pengertiannya adalah bahwa Allah swt. pasti ada. “Ada”-
nya Allah, bukan sifat tambahan bagi-Nya. Baju yang ada di dalam lemari,
misalnya, ketika dikeluarkan dari lemari tersebut maka ia akan tampak. Sifat
“tampak” yang ada pada baju bukanlah sifat tambahan, melainkan menunjukkan
10
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 7
60
Pengetahuan manusia bahwa Allah itu pasti ada, sudah dianggap cukup. Ia
tidak dituntut untuk mengetahui apakah wujud Allah itu merupakan wujud yang
sebenarnya atau bukan, karena pengetahuan seperti ini termasuk ke dalam kajian
ilmu kalam secara mendalam, yang tidak semua orang mampu menjangkaunya.
ﺙ
ﺎ ِﺩ ﹲﺵ ﺤ
ِ ﺭ ﺵ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻔ
ِ ﺭ ﻌ ﻥ ﺍ ﹾﻟ
ﻡ ِﻤ ﺎﹶﻟﹶﺍ ﹾﻟﻌ
“Alam, dari ‘Arsy hingga bumi, adalah baharu”
keberadaan alam tersebut muncul dari ketiadaan (al-‘adam). Segala sesuatu yang
diciptakan. Bila dilihat dari dalil yang menunjukkan ke-esa-an Allah (yang nanti
akan dijelaskan pada pembahasan sifat al-Wahdânîyah), maka pencipta alam tidak
lain adalah Allah itu sendiri. Jika tidak ada Tuhan, maka segala sesuatu selain
diri-Nya juga tidak akan ada. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Allah
ﻻ َﺃ ﹶﻨﺎ
ﻪ ِﺇ ﱠ ﻻ ِﺇﹶﻟ
ﹶ
“…Tidak ada Tuhan selain aku…” (Qs. al-Naĥl [16] : 2; Thâhâ
[20] : 14; al-Anbiyâ` [21] : 25)
11
Nawawî al-Bantanî, Bahjat al-Wasâ`il, Semarang: Toha Putra, tt., h. 5
61
b. Sifat Salbîyah
Sifat salbîyah adalah sifat yang digunakan untuk menafikan segala bentuk
kekurangan pada diri Allah. Allah suci dari segala kekurangan, karena segala
sesuatu yang memiliki kekurangan pasti membutuhkan sesuatu lain yang mampu
terbatas. Namun, ada lima sifat yang merupakan inti dari sifat jenis ini, yaitu al-
(Tunggal, Esa).
1) Al-Qidam
apapun dan juga tidak didahului oleh ketiadaan (al-‘adam).13 Ia tidak menciptakan
diri-Nya sendiri, dan tidak ada sesuatu apapun yang menciptakan-Nya. Dan Ia
12
Sebagai gambaran, Syaikh Nawawî dalam kitabnya, Sullam al-Munâjâh, mengisahkan
bahwa, pada suatu hari, Âsiyah (istri Fir‘awn yang saat itu telah memeluk agama Islam) berkata
kepada suaminya, “Aku ingin bermain denganmu. Siapa saja yang kalah di antara kita berdua,
maka ia harus keluar sampai pintu istana ini dalam keadaan telanjang.” Fir‘awn menerima
tantangan istrinya tersebut, dan ternyata ia kalah. Lalu istrinya berkata, “Tepati janjimu, dan segera
keluar dalam keadaan telanjang.” Kemudian Fir‘auwn berkata, “Bebaskanlah aku dari hukuman
itu, maka kau akan aku beri segudang perhiasan.” Namun Âsiyah menolak permintaan suaminya
sambil berkata, “Jika kau benar-benar Tuhan, maka penuhilah janjimu. Karena memenuhi janji
merupakan keharusan bagi Tuhan.” Dengan jawaban tersebut, akhirnya Fir‘awn bersedia
menanggalkan pakaiannya. Karena kekurangan fisik yang dimiliki oleh Fir‘awn, maka para
pelayan perempuan istana yang sempat melihatnya langsung mengingkari status Fir‘awn sebagai
Tuhan, dan segera beriman kepada Allah. Padahal, sebelumnya mereka selalu menolak ajakan
Âsiyah untuk memeluk agama Islam.12 Kisah ini membuktikan bahwa Tuhan haruslah merupakan
sesuatu yang memiliki kesempurnaan dan tidak terdapat kekurangan. Lihat Nawawî al-Bantanî,
Sullam al-Munâjâh, h. 5
13
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 4. Lihat juga Nawawî al-Bantanî, Tîjân
al-Darârî, h. 3
62
tidak muncul dari sesuatu yang lain,14 seperti munculnya belatung dari sebuah
Kalimat lam yalid dalam ayat di atas menegaskan bahwa Allah tidak
memiliki anak15 yang akan mewarisi kerajaan-Nya. Sedangkan kalimat lam yûlad
menunjukkan bahwa Allah tidak memiliki orang tua, yang mana kerajaan Allah
(Terdahulu), berarti Ia ĥâdits (baharu) –karena tidak ada pilihan lain. Akan tetapi,
ke-ĥâdits-an Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena jika Ia ĥâdits,
maka Ia pasti butuh sesuatu yang menciptakan-Nya. Dan seandainya setiap yang
ĥâdits mampu menciptakan diri-Nya sendiri, maka akan terdapat dua hal yang
Artinya, Allah dan segala sesuatu selain diri-Nya sama-sama “ada” tanpa
diciptakan (ada dengan sendirinya). Namun di sisi lain, Ia harus lebih unggul dari
14
Nawawî al-Bantanî, Mirqât Shu‘ûd al-Tashdîq, tt., h. 4
15
Suku Khizâ‘ah, Juhaynah, Bani Salmah, dan Bani Malîĥ (semuanya suku dari Arab)
meyakini bahwa para malaikat adalah putri-putri Allah. Lihat Nawawî al-Bantanî, Marâĥ Labîd,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1981, juz 2, h. 36
16
Nawawî al-Bantanî, Marâĥ Labîd, juz 2, h. 472
17
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 3
63
Lalu ketika Tuhan butuh terhadap pencipta, maka si pencipta tersebut akan
2) Al-Baqâ`
ﺍ ِﻡﻹ ﹾﻜﺭ
ِ ﻭ ﹾﺍ ِﻼل
ﹶﻙ ﺫﹸﻭ ﺍ ﹾﻟﺠ
ﺭ ﱢﺒ ﻪ ﺠ
ﻭ ﺒﻘﹶﻰ ﻴ ﻭ
“Dan tetap kekal Wajh Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.” (Qs. al-Raĥmân [55] : 27)20
seandainya Allah tidak kekal, maka suatu saat Ia bisa hancur. Kehancuran Allah
inilah yang tidak bisa diterima dan tidak mungkin terjadi. Karena seandainya
Allah hancur, maka keberadaan-Nya tidak wajib (jâ`iz al-wujûd) atau dengan kata
lain tidak dapat dipastikan “ada”-Nya. Ia bisa saja ada, namun bisa juga tidak ada
(bila telah hancur). Jika memang Allah adalah dzat yang jâ`iz al-wujûd, maka bisa
18
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 3
19
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 7
20
Ada tujuh perkara (baca: makhluk) yang dikehendaki oleh Allah pada hari kiamat
untuk tidak hancur. Ketujuh perkara itu adalah al-‘arsy, al-kursî, al-lawĥ, al-qalam, al-jannah
(surga), al-nâr (neraka), dan al-arwâĥ (ruh).
Allah SWT berfirman,
“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi
kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu
sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-
masing).” (Qs. al-Zumar [39] : 68)
Kekekalan yang dimiliki oleh tujuh makhluk di atas, berbeda dengan kekekalan Allah.
Pada hakikatnya, tujuh makhluk tersebut bisa hancur. Mereka kekal tidak dengan sendirinya,
melainkan dengan kehendak Allah. Sedangkan Allah kekal dengan diri-Nya sendiri, tanpa bantuan
sesuatu selain diri-Nya. Lihat Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 17
64
dikatakan bahwa Ia juga bersifat baru (ĥâdits). Kebaruan ini secara otomatis
meniadakan sifat Allah yang lain, yaitu al-qidam (terdahulu).21 Ini semua tidak
mungkin terjadi.
3) Al-Mukhâlafah li al-Ĥawâdits
apapun yang menyerupai Allah swt. Allah tidak berdaging dan bertulang layaknya
manusia. Ia juga tidak panjang, pendek, tinggi, rendah, sedang, dan sebagainya.
Allah adalah dzat yang suci dari sifat-sifat makhluk-Nya dan berbeda dengan apa
yang terlintas dalam pikiran dan hati mereka. Allah tidak bertempat, dan
al-Mumâtsalah li al-Ĥawâdits.23
ﺤ ٌﺩ
ﻪ ﹸﻜ ﹸﻔﻭًﺍ َﺃ ﻥ ﹶﻟ
ﻴ ﹸﻜ ﻡ ﻭﹶﻟ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Qs. al-
Ikhlâsh [112] : 4)
ﺊ
ٌ ﻴ ﺸ
ﹶﻜﻤِ ﹾﺜﻠِﻪِ ﹶﻴﺱ ﹶﻟ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (Qs. al-Syûrâ
[42] : 11)
21
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 3
22
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 7-8
23
Di dalam kosakata bahasa Arab terdapat tiga kata yang berarti “keserupaan”,
“kemiripan”, atau “kesamaan”, yaitu al-nazhar, al-syibh, dan al-mumâtsalah. Kata al-nazhar
menunjukkan adanya suatu keserupaan meskipun hanya dari satu sisi. Kata al-syibh menunjukkan
adanya banyak keserupaan dari beberapa sisi. Sedangkan kata al-mumâtsalah menunjukkan
adanya keserupaan dari segala sisi. Kata yang terakhir inilah (al-mumâtsalah) yang merupakan
padanan kata (sinonim) dari kata al-mukhâlafah. Lihat Nawawî al-Bantanî, Qathr al-Ghayts,
Indonesia: Maktabat al-Syarqîyah, tt., h. 3
65
ﻤ ِﺩ ِﻩ ﺤ
ﺢ ِﺒ
ﺴﺒﱢ
ﻴ ﻻ
ﻴﺊٍ ِﺇ ﱠ ﺸ
ﻥ ﹶ
ﻥ ِﻤ
ﻭِﺇ
“…Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-
Nya…” (Qs. al-Isrâ` [17] : 44)
Makna tasbîĥ dalam ayat yang terakhir ini adalah bahwa setiap kali Allah
kata lain, Allah memuji diri-Nya melalui diri-Nya sendiri, serta mensucikan-Nya
gambaran tersebut. Artinya bahwa Allah bukan materi yang mengharuskan diri-
Nya untuk bertempat (al-taĥayyuz); Allah bukan pula sifat yang mengharuskan-
Nya untuk melekat pada sesuatu yang lain (al-qiyâm bi al-ghayr); Allah tidak juga
berupa satu kesatuan, yang membuat seseorang berasumsi bahwa Allah itu besar
(al-kibr); dan Allah bukanlah bagian, sehingga diasumsikan bahwa Allah itu kecil
(al-shaghîr).25
mencipta tanpa bantuan alat apapun.26 Intinya, tidak ada satu sifat Allah pun yang
24
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 4
25
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 3
26
Nawawî al-Bantanî, Bahjat al-Wasâ`il, h. 6
66
serupa dengan makhluk, sebagaimana dzat Allah tidak sama dengan dzat
makhluk-Nya.27
Ketika terbersit dalam pikiran seseorang bahwa jika Allah tidak berbentuk
materi, tidak berupa sifat, tidak berupa kesatuan, dan tidak juga berupa bagian,
maka bagaimana sebetulnya hakikat Allah itu? Jawaban yang dapat diberikan
adalah bahwa tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah itu sendiri. Tidak
diukur.28
1. Allah tidak berbentuk materi, baik tersusun (al-jism) atau tidak tersusun
(al-jawhar).
samping sesuatu.
4. Allah tidak memiliki bagian atas, bawah, kanan, atau kiri, sebagaimana
6. Allah tidak terikat dengan waktu. Ia tidak terpengaruh oleh peredaran tata
27
Nawawî al-Bantanî, Marâĥ Labîd, juz 2, h. 367 dan 472
28
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 3
29
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 4
67
8. Allah tidak bisa disebut besar (terdiri dari banyak unsur) atau kecil (terdiri
9. Allah tidak memiliki tujuan yang hendak dicapai dalam setiap perbuatan
4) Qiyâmuhû bi Nafsihî
kekayaan (baca: kesempurnaan) Allah tidak disebabkan oleh sesuatu selain diri-
Nya seperti ruang, waktu, dan materi. Justru sebaliknya, ruang, waktu, dan materi-
lah yang membutuhkan Allah sebagai penopang eksistensinya.31 Sebab, jika Allah
membutuhkan benda lain sebagai alat untuk bereksistensi. Dari sinilah kemudian
dipastikan bahwa Allah itu berupa dzat bukan sifat.32 Ia juga tidak butuh terhadap
pencipta.
30
Dari sudut pandang ilmu nahu, huruf bâ` yang terdapat pada kalimat bi nafsihi
mengandung arti sebab. Lihat Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 4
31
Nawawî al-Bantanî, Mirqât Shu‘ûd al-Tashdîq, tt., h. 4
32
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 4
68
ﻅ ﹾﻠﻤًﺎ
ل ﹸ
َ ﻤﻥ ﺤ
ﻤ ﺏ
ﺩ ﺨﹶﺎ ﻭ ﹶﻗ ﻲ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻘﻴﱡﻭ ِﻡ
ﺤﱢ
ﻩ ِﻟ ﹾﻠ ﻭﻭﺠ ﹶﻨﺕِ ﺍ ﹾﻟﻋﻭ
“Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan
Yang Hidup Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya).” (Qs.
Thâhâ [20] : 111)
Kalimat al-Ĥayy dan al-Qayyûm secara tegas menolak paham trinitas yang
diusung oleh umat Kristen. Karena Tuhan mestilah merupakan sesuatu yang hidup
pernah mengalami kematian di tiang salib. Oleh karenanya, ia tidak bisa dikatakan
sebagai Tuhan.35
5) Al-Waĥdânîyah
tunggal dalam dzat-Nya, tunggal dalam sifat-Nya, serta tunggal dalam perbuatan-
tersusun dari beberapa unsur (kam muttashil fî al-dzât), dan tidak ada yang
berarti Ia tidak mungkin memiliki dua sifat dari jenis yang sama. Tidak mungkin
Allah memiliki, misalnya, dua sifat al-qudrah atau lebih (kam munfashil fî al-
33
Nawawî al-Bantanî, Marâĥ Labîd, juz 1, h. 73
34
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8
35
Nawawî al-Bantanî, Marâĥ Labîd, juz 1, h. 87
36
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 4
69
shifât). Dan tidak mungkin bila ada makhluk yang memiliki sifat yang sama
ﻱ
ﺩ ﻴ ﺕ ِﺒ
ﺨﹶﻠ ﹾﻘ ﹸ
ﺎ ﹶ ِﻟﻤﺠﺩ
ﺴ
ﻥ ﹶﺘ
َﺃﻙ ﹶﻨﻌﺎ ﻤﺱ ﻤ
ﺒﻠِﻴ ﺎِﺇل ﻴ
َ ﻗﹶﺎ
“Allah berfirman, “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu
sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku?”
(Qs. Shâd [38] : 75)
kata al-yad bisa berarti al-ni‘mah dan bisa juga al-qudrah. Dan mereka
ﻥ
ﺎِﻟﻜﹸﻭﺎ ﻤﻡ ﹶﻟﻬ ﻬ ﺎﻤًﺎ ﹶﻓﻴﺩِﻴﻨﹶﺎ َﺃ ﹾﻨﻌ ﺕ َﺃ
ﻤِﹶﻠ ﹾﺎ ﻋﻡ ِﻤﻤ ﻬ ﺨﹶﻠ ﹾﻘﻨﹶﺎ ﹶﻟ
ﺍ َﺃﻨﱠﺎ ﹶﺭﻭ ﻴ ﻡ ﹶﻟَﺃﻭ
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami
telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian
dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri,
lalu mereka menguasainya?” (Qs. Yâsîn [36] : 71)
perkataan bi yadayya menetapkan dua tangan, dan keduanya adalah sifat bagi
Allah. Kalau yang dimaksud keduanya adalah qudrah, maka mestilah bagi-Nya
ada dua qudrah. Kaum Mu‘tazilah sendiri tidak mau menetapkan bagi Allah ada
terhadap lainnya (kam munfashil fî al-shifât), selain Allah. Bukanlah api yang
37
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8. Lihat juga Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-
Darârî, h. 4
38
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan
Perbedaannya dengan al-Asy‘arî, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet. 1, 1997, h. 46-47
70
membakar kertas, bukan pisau yang memotong seutas tali, bukan pula makanan
1. Mereka yang meyakini bahwa pembakar kertas adalah api itu sendiri. Pengikut
2. Mereka yang meyakini bahwa Allah telah memberikan kekuatan terhadap api
perbuatannya sendiri sesuai dengan pilihan yang ada, berkat adanya kekuatan
yang telah Allah berikan kepada mereka. Ada dua pendapat tentang kekafiran
penganut keyakinan ini. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa para
orang yang meyakininya tidak sampai kafir melainkan fâsiq (pelaku maksiat)
dan mubtadi‘ (pelaku bid’ah), karena mereka tetap meyakini bahwa kekuatan
manusia berasal dari Allah. Hanya saja pendapat kelompok ini menyiratkan
39
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8. Lihat juga Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-
Darârî, h. 4. Dikisahkan bahwa Nabi Mûsâ a.s. pernah mengadukan sakit giginya kepada Allah
SWT. Kemudian Allah berfirman, “Ambillah rumput dan letakkanlah pada gigimu.” Setelah Nabi
Mûsâ melakukannya, maka seketika itu juga rasa sakitnya hilang.
Beberapa lama kemudian, rasa sakit pada giginya kembali muncul. Segera Nabi Mûsâ
mengambil rumput, dan meletakkan rumput tersebut pada giginya sebagaimana yang ia lakukan
sebelumnya. Ternyata sakit giginya semakin bertambah sekian kali lipat dari semula. Lalu beliau
berkata, “Ya Tuhanku, bukankah Engkau yang memerintahkan dan menunjukkan aku cara
pengobatan seperti ini.” Allah berfirman, “Wahai Mûsâ, Akulah Dzat Yang Menyembuhkan,
Menyehatkan, serta Memberikan kerugian dan manfaat. Pada sakit yang pertama, kau mencari-Ku,
maka Aku hilangkan rasa sakitmu. Sekarang kau hanya mencari rumput itu, dan tidak mencari-Ku.
Lihat Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 11.
71
3. Mereka yang meyakini bahwa Allah-lah yang membakar kertas itu. Tetapi,
mereka menghubungkan sebab (api) dan akibat (kertas yang terbakar) dengan
hubungan logis (akal), yaitu dengan berpendapat bahwa tidak mungkin akibat
mendahului sebab (ada sebab pasti ada akibat). Menurut Syaikh Nawawî,
4. Mereka yang juga meyakini bahwa yang membakar kertas itu adalah Allah.
Allah. Mereka yang mengikuti pendapat inilah, menurut Syaikh Nawawî, yang
Tetapi, tidak dipungkiri bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Allah itu
yaitu:
6. Al-kamm al-munfashil fî al-dzât (ada yang menyamai Allah dari segi dzat-
Nya).
7. Al-kamm al-muttashil fî al-shifât (ada dua sifat Allah atau lebih dari jenis yang
sama).
8. Al-kamm al-munfashil fî al-shifât (ada yang menyamai Allah dari segi sifat-
Nya).
40
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 5-6
41
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 4
72
perbuatan-Nya).
Jika tidak Esa, maka pasti ada dua Tuhan yang pada akhirnya akan menyebabkan
keduanya.42
mungkin keduanya menciptakan secara bersamaan agar tidak ada dua hal yang
sesuatu yang telah dikerjakan). Juga tidak mungkin mereka berdua bekerja sama
sisanya diciptakan oleh Tuhan yang kedua. Hal ini menunjukkan adanya
dua hal yang berlawanan. Lebih tidak mungkin lagi apabila kehendak mereka
berdua terlaksana secara bersamaan atau terlaksana salah satunya, karena hal itu
42
Nawawî al-Bantanî, Sullam al-Munâjâh, h. 4
43
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 5
73
tamânu‘.44
ـﺎﻋﻤ
ﺵ
ِ ﺭ ﻌ ﺏ ﺍ ﹾﻟ
ﺭ ﱢ ﷲ
ِ ﻥﺍ
ﺎﺒﺤ ﺴ
ﺩﺘﹶﺎ ﹶﻓ ﺴ
ﷲ ﹶﻟ ﹶﻔ
ُ ﻻﺍ
ﻬ ﹲﺔ ِﺇ ﱠ ﺎ ﺁﻟﻥ ﻓِﻴ ِﻬﻤ
ﻭ ﻜﹶﺎ ﹶﻟ
ﻥ
ﺼﻔﹸﻭ
ِ ﻴ
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah
yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (Qs.
al-Anbiyâ` [21] : 22)
mengungguli, yakni jika ada Tuhan lebih dari satu), adalah semata-mata
bersumber pada ayat itu.45 Karena jika demikian, maka masing-masing Tuhan itu
bisa merusak apa yang telah dibuat oleh lainnya, dan sebagiannya akan menjadi
lebih unggul atas yang lain. Permasalahan juga bisa muncul ketika Tuhan pertama
untuk mendiamkannya.46
44
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 5
45
Nurcholish Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet. 3,
1994, h. 104
46
Nawawî al-Bantanî, Marâĥ Labîd, juz 1, h. 35
74
c. Sifat Ma‘ânî
Sifat ma‘ânî adalah sifat-sifat yang wajib bagi Allah swt. yang dapat
digambarkan oleh akal pikiran manusia dan dapat meyakinkan orang lain karena
1) Al-Qudrah
melakukan sesuatu atau tidak melakukannya sama sekali.48 Lawannya adalah al-
‘Ajz (Lemah).
Kita dituntut untuk bersaksi dan meyakini bahwa Qudrah Allah itu ada,
qadîmah, kekal, berbeda dengan qudrah yang ada pada makhluk, tidak
47
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
cet. 2, jilid 4, 1984, h. 272
48
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8
49
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 9
75
Dalam hal ini, posisi al-Qudrah sama halnya seperti pinsil yang digunakan
oleh seseorang untuk menulis. Ia tidak lain hanyalah perantara, bukan sebagai
ﻋﻠﹶﻰ
ﻷ
َ ل ﹾﺍ
ُ ﻤ ﹶﺜ ﻪ ﺍ ﹾﻟ ﻭﹶﻟ ِﻴﻪ ﹶﻠﻥ ﻋ
ﻭ ﻫ ﻭ َﺃ ﻫ ﻭ ﻩ ﺩ ﻴ ِﻌﻴ ﻕ ﹸﺜﻡ
ﺨ ﹾﻠ ﹶ
ﺩُﺃ ﺍ ﹾﻟ ﹶ ﺒ ﻴ ﻭ ﺍﱠﻟﺫِﻱ ﻫ ﻭ
ﻡ ﺤﻜِﻴ
ﺯ ﺍ ﹾﻟ ﻌﺯِﻴ ﻭ ﺍ ﹾﻟ ﻫ ﻭ ﺽ
ِ ﺭ ﻷ
َ ﻭ ﹾﺍ ﺕ
ِ ﺍﻤﻭ ﺴ
ﻓِﻲ ﺍﻟ
“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan,
kemudian mengembalikan (menghidupkan) nya kembali, dan
menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan
bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi; dan
Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Qs. al-Rûm [30] :
27)
a) Shulûĥî Qadîm
b) Tanjîzî Ĥâdits
ketiadaan.
kubur.
50
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 5
51
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 6
76
c) Qabdhî (Genggaman)52
2) Al-Irâdah
Allah, yang mana dengan sifat ini Allah dapat mengunggulkan salah satu di antara
dua hal yang jâ`iz di atas yang lainnya.53 Lawannya adalah al-Karâhah.
Dengan sifat ini, Allah juga dapat menentukan ada dan tiadanya al-
kecerdasannya, waktu dan tempat di mana ia hidup, dan segala hal yang berkaitan
dengan al-mumkinât.54 Tidak ada satu pun kekuatan yang mampu menahan dan
menghalangi apa yang menjadi kehendak Allah.55 Namun pada hakikatnya, yang
membuat sesuatu itu menjadi unggul bukanlah sifat al-Irâdah, melainkan Allah.
Sifat tersebut hanyalah perantara sebagaimana telah digambarkan dalam sifat al-
Qudrah.
52
Ta‘alluq yang terakhir ini dinamakan qabdhî (genggaman) dalam arti bahwa al-mumkin
berada di dalam genggaman Allah, yang mana dengan kehendak-Nya, Ia dapat menetapkan
keberadaan maupun ketiadaan al-mumkin. Dengan kehendak-Nya pula, Ia dapat mengadakan yang
tiada dan meniadakan yang ada. Lihat Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 6
53
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 5
54
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 6
55
Nawawî al-Bantanî, Mirqât Shu‘ûd al-Tashdîq, h. 4
77
Kita dituntut untuk bersaksi dan meyakini bahwa al-Irâdah itu ada,
ﻥ
ﻙ ِﺇ
ﺭﺒﱡـ ﺎ ﺸﹶـﺎﺀﻻ ﻤ
ﺽ ِﺇ ﱠ
ﺭ ﻷ
َ ﻭ ﹾﺍ ﺕ
ﺍ ﹸﻤﻭ ﺴ
ﺕ ﺍﻟ
ِ ﻤ ﺍﺎ ﺩﺎ ﻤﻥ ﻓِﻴﻬ
ﺨﹶﺎِﻟﺩِﻴ
ﺩ ﻴﺭِﻴ ﺎل ِﻟﻤ
ٌ ﺎﻙ ﹶﻓﻌ
ﺒ ﺭ
“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali
jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Hûd [11]
: 107)
keimanan Abû Bakr al-Shiddîq, misalnya. Yang demikian ini disebut wâjib li
ghayrihî. Karena setiap kali pengetahuan dan kehendak Allah berkaitan dengan
penciptaan sesuatu pada saatnya, maka ia wajib adanya. Terkadang Allah tidak
Abû Bakr. Ini tidak mungkin terjadi. Terkadang pula Allah menghendaki sesuatu,
kekufuran Fir‘awn, Hâmân, dan Qârûn, serta berbagai bentuk kemaksiatan yang
terjadi. Semuanya ini terjadi atas dasar kehendak-Nya, namun tidak disertai
56
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 9
78
seseorang yang telah diketahui oleh Allah bahwa ia tidak akan beriman. Seperti
keimanan Fir‘awn, Hâmân, dan Qârûn. Perintah Allah kepada mereka untuk
mata karena adanya hikmah di balik itu semua yang hanya diketahui oleh Allah.
pasti adanya) dan al-mustaĥîlât (segala sesuatu yang tidak mungkin adanya).
pembatasannya.
termasuk ke dalam al-mumkinât. Itu sama artinya bahwa kebaikan atau keburukan
Mu‘tazilah yang meyakini bahwa kehendak Allah tidak berkaitan dengan cela dan
keburukan. Tetapi, menurut Mu‘tazilah, wajib bagi kita semua untuk bersikap
baik kepada Allah dengan tidak menyandarkan setiap cela dan keburukan kepada-
Nya, seperti ungkapan “Allah pencipta anjing dan babi.” Ungkapan tersebut hanya
57
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 6
58
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 6-7
79
3) Al-‘Ilm
Al-‘Ilm adalah sebuah sifat yang ketika berkaitan dengan sesuatu, maka
sesuatu itu akan terbuka.59 Ia tidak termasuk ke dalam jenis sifat-sifat yang
mengetahui dzat-Nya serta sifat-sifat-Nya yang lain. Pada intinya, sifat ini
berkaitan dengan dirinya sendiri dan dengan sifat-sifat lainnya, karena setiap sifat
ﻋﻠِﻴ ٌﻡ
ٍﻴﺊ ﺸ
ﷲ ِﺒ ﹸﻜلﱢ ﹶ
َ ﻥﺍ
ِﺇ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-
Anfâl [8] : 75; al-Tawbah [9] : 115; al-‘Ankabût [29] : 62; dan al-
Mujâdilah [58] : 7
ﻋ ﹾﻠﻤًﺎ
ِ ٍﻲﺀ
ﺸ
ﻁ ِﺒ ﹸﻜلﱢ ﹶ
ﺎ ﹶﺩ َﺃﺤ ﷲ ﹶﻗ
َ ﻥﺍ
ﻭَﺃ
“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala
sesuatu.” (Qs. al-Talaq [65] : 12)
Seperti dua sifat sebelumnya, kita wajib bersaksi dan meyakini bahwa
ilmu Allah itu ada, qadîm, kekal, berbeda dengan ilmu yang ada pada makhluk,
tidak butuh pengkhususan, tunggal, dan berkaitan dengan al-wâjibât seperti dzat
59
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8
60
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 5
61
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8
62
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 5
80
Allah; al-jâ`izât (segala sesuatu yang boleh ada dan boleh tidak ada) seperti dzat
dan sifat makhluk; dan al-mustaĥîlât seperti persekutuan dan anak Allah.63
segala sesuatu yang terjadi di seluruh lapisan langit dan bumi. Sekecil apapun
semut hitam yang berada di atas batu yang keras di kegelapan malam, karena
4) Al-Ĥayâh
Al-Ĥayâh adalah sifat Allah yang berdiri dengan dzat-Nya, yang membuat
Allah memiliki sifat al-‘Ilm dan sifat-sifat lainnya66 secara azalî dan abadî,67 yang
ﺕ
ﻭ ﹸﻴﻤ ﻻ
ﻲ ﺍﱠﻟﺫِﻱ ﹶ
ﺤﱢ
ﻋﻠﹶﻰ ﺍ ﹾﻟ
ل
ْ ﱠﻜ ﹶﺘﻭﻭ
“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang
tidak mati.” (Qs. al-Furqân [25] : 58)
Kita dituntut untuk bersaksi dan meyakini bahwa sifat al-Ĥayâh itu ada,
pengkhususan, tunggal, dan tidak berkaitan dengan apa-apa (lâ ta‘alluq lahâ bi
syay` ).69
63
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 9
64
Jika kita urutkan ta‘alluq dengan akal kita, maka ta‘alluq yang pertama kali terpikirkan
adalah ta‘alluq dari sifat al-‘Ilm, kemudian ta‘alluq sifat al-Irâdah. dan terakhir adalah ta‘alluq
tanjîzî milik sifat al-qudrah. Lihat Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 7
65
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 7
66
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8
67
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 5
68
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 7
69
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8
81
Dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu hidup adalah adanya alam
mungkin Allah mati, karena berarti Ia tidak berkuasa dan tidak berkehendak. Jika
demikian, maka alam tidak akan ada karena Ia tidak mampu menciptakan dan
tidak menghendakinya. Ketiadaan alam pun tidak bisa dibenarkan, karena saat ini
Jangankan mati, tidur atau bahkan mengantuk pun tidak pernah menimpa
ﻭ ٌﻡ ﻻ ﹶﻨ
ﹶﺴ ﹶﻨ ﹲﺔ ﻭ
ِ ﻩ ﺨ ﹸﺫ
ﻻ ﹶﺘ ْﺄ ﹸ
ﹶ
“…(Dia) tidak mengantuk dan tidak tidur…” (Qs. al-Baqarah [2] :
255)
menambah penyingkapan (al-inkisyâf) yang sudah ada pada sifat al-‘Ilm.72 Tetapi,
kita harus meyakini bahwa hasil inkisyâf yang dilakukan melalui al-Sam‘ tidak
sama dengan hasil inkisyâf dengan al-Bashar. Begitu juga hasil inkisyâf keduanya
tidak sama dengan hasil inkisyâf dengan al-‘Ilm.73 Ada suatu hakikat (substansi)
yang berada di balik ketiga jenis inkisyâf tersebut, dan hanya Allah yang
mengetahui. Oleh karenanya, tidak wajib bagi kita untuk mengetahui apakah
70
Nawawî al-Bantanî, Marâĥ Labîd, juz 1, h. 72
71
Penulis hanya mengikuti gaya penulisan Syaikh Nawawî, di mana dalam beberapa
tulisannya, ia menjelaskan kedua sifat ini secara bersamaan.
72
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8
73
Sayangnya, Syaikh Nawawî tidak mencontohkan hasil dari ketiga penyingkapan di
atas, serta perbedaannya masing-masing.
82
lebih tinggi dibandingkan dengan inkisyâf al-‘Ilm atau tidak.74 Lawannya adalah
terjauh sekalipun) dan warna tanpa menggunakan gendang maupun daun telinga.
Sedangkan dengan al-Bashar, Allah mampu melihat segala benda (yang terkecil
ﻻ ﻏﹶﺎ َِﺌﺒًـﺎ
ﹶﻡ ﻭ ﺼ
ﻥ َﺃ
ﻭ ﻋ
ﺩ ﻻ ﹶﺘ
ﻡ ﹶ ﺎ ِﺀ ﹶﻓِﺈ ﱠﻨ ﹸﻜﻡ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱡﺩﻋ ﺴ ﹸﻜ
ِ ﻋﻠﹶﻰ َﺃ ﹾﻨ ﹸﻔ
ﺍﻌﻭ ﺒ ﺭ ِﺇ
ﻴﺒًﺎ ﺠ
ِ ﻤ ﻴﺒًﺎ ﻴﻌًﺎ ﹶﻗ ِﺭ ﺴ ِﻤ
ﻥ
ﻭ ﻋ
ﺩ ﻡ ﹶﺘ ِﺇ ﱠﻨ ﹸﻜ
“Rendahkanlah suara kalian dalam berdo’a, karena sesungguhnya
kalian tidak berdo’a kepada sesuatu yang tuli dan jauh.
Sesungguhnya kalin berdo’a kepada kepada Dzat Yang
Mahamendengar, Mahadekat, dan Mahamengabulkan.”
Kita dituntut untuk bersaksi dan meyakini bahwa al-Sam‘ dan al-Bashar
itu ada, qadîm, kekal, berbeda dengan pendengaran dan penglihatan makhluk,
74
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 7
75
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 5
76
Lihat juga Qs. al-Mu`min [40] : 20 dan 56; al-Syûrâ [42] : 11; al-Ĥajj [22] : 61 dan 75;
Luqmân [31] : 28; dan al-Mujâdilah [58] : 1.
77
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 8
78
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8
83
1) Tanjîzî Qadîm, yaitu keterkaitan kedua sifat dengan dzat Allah dan sifat-
sifat-Nya
tercipta.
tercipta.
6) Al-Kalâm (Berfirman)
Al-Kalâm (Berfirman) adalah sebuah sifat qadîm yang berdiri dengan dzat
Allah, yang tidak ada awal dan akhirnya, tidak terdiri dari suara, huruf, panjang,
pendek, keras, pelan, dan lain sebagainya yang merupakan sifat dari ucapan
ﻰ ﹶﺘ ﹾﻜﻠِﻴﻤًﺎﻭﺴﷲ ﻤ
ُ ﺍ ﹶﻜﱠﻠﻡﻭ
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (Qs.
al-Nisâ` [4] : 164)
yang qadîm kepada Nabi Mûsâ a.s. dengan seluruh anggota badannya dari
kalam Allah tersebut. Sedangkan malaikat Jibrîl tidak bisa mendengarnya. Ini
tidak berarti bahwa Allah memulai firman-Nya setelah ia sempat terdiam. Dan
tidak pula berarti bahwa setelah Allah selesai berfirman, kemudian Ia terdiam.
79
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 7
80
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8. Lihat juga Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-
Yâni‘ah, h. 5
84
Nabi Muĥammad pun pernah mendengar kalam Allah yang qadîm ini pada
malam Isra Mi‘raj. Allah sendiri sebagai “pembicara” tidak berada di suatu tempat
maupun arah tertentu. Di hari kiamat dan di surga nanti, kita pun akan mendengar
kalam Allah yang tidak terdiri dari suara, huruf, jauh, dan dekat tersebut,
sebagaimana kita melihat dzat Allah yang tidak serupa dengan apapun juga, serta
Kalam Allah ada yang bersifat ma‘nawî dan ada yang lafzhî. Yang telah
4) Apabila berkaitan dengan pemberitahuan bahwa bagi orang yang taat akan
81
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 8-10
82
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 5
83
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 8
85
Kita dituntut untuk bersaksi dan meyakini bahwa al-Kalâm itu ada, qadîm,
tunggal, dan berkaitan dengan al-wâjibât seperti kalam Allah yang berkenaan
ﻻ َﺃﻨﹶﺎ
ِﺇ ﱠﻻ ﺇِﹶﻟﻪ
ﹶ
“…Tidak ada Tuhan selain aku…” (Qs. al-Naĥl [16] : 2; Thâhâ
[20] : 14; dan al-Anbiyâ` [21] : 25)
ﻥ
ﻤﻠﹸﻭ ﻌ ﺎ ﹶﺘﻭﻤ ﻡ ﺨﹶﻠ ﹶﻘ ﹸﻜ
ﷲ ﹶ
ُ ﺍﻭ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu.” (Qs. al-Shâffât [37] : 96)
ٍﻼ ﹶﺜﺔ
ﺙ ﹶﺜ ﹶ
ﷲ ﺜﹶﺎِﻟ ﹸ
َ ﻥﺍ
ِﺇ
“Sesungguhnya Allah salah satu dari yang tiga” (Qs. al-Mâ`idah
[5] : 73)
ta‘alluq yang dimiliki oleh sifat al-‘Ilm. Perbedaannya adalah bahwa ta‘alluq al-
manhî).
2) Shulûĥî Qadîm, apabila disertai dengan perintah (al-amr) dan larangan (al-
keduanya tercipta.
d. Sifat Ma‘nawîyah
86
Dalam bahasa Arab, kata yang merupakan sinonim dari al-‘âlim adalah al-‘ârif. Allah
disebut al-‘Âlim bukan al-‘Ârif, karena nama seluruh nama (termasuk sifat) yang dimiliki oleh
Allah merupakan tawqîfî (diberikan oleh Allah sendiri baik yang tertulis di dalam al-Qur`ân
maupun al-ĥadîts). Pendapat lain mengatakan bahwa kata al-‘Ilm lebih luas cakupannya
dibandingkan dengan kata al-ma‘rifah, karena kata al-‘Ilm berkaitan erat dengan segala sesuatu
yang bersifat partikular (juz’iyyât), universal (kulliyyât), (al-basâith), maupun yang tersusun (al-
murakkabât). Keempat hubungan ini tidak semuanya tercakup dalam kata al-ma‘rifah. Oleh
karena itulah, Allah SWT disebut al-‘Âlim. Lihat Syaikh Ahmad al-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyah al-
‘Allâmah al-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlayn, Indonesia: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, juz 1, h.
35-36
87
ٍﺸ ْﺄﻥ
ﻭ ﻓِﻲ ﹶ ﻫ ﻭ ٍﻡ ﻴ ﹸﻜلﱠ
“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (Qs. al-Raĥmân [55] : 29)
atau merupakan kelanjutan logis dari sifat ma‘ânî.87 Contohnya adalah Kawnuhû
Qâdiran. Sifat ini merupakan sifat yang tetap dengan sendirinya, berdiri pada dzat
Allah, dan merupakan konsekuensi logis dari sifat al-Qudrah. Karena sifat
Mahakuasa hanya dimiliki oleh dzat yang memiliki “kekuasaan”. Al-Qudrah itu
sendiri berdiri dengan dzat Allah, tanpa dibantu oleh sifat tambahan lainnya.88
87
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 273
88
Nawawî al-Bantanî, Tîjân al-Darârî, h. 9
88
B. Sifat Jâ`iz
Sifat ja`iz adalah sifat yang boleh ada dan boleh tidak ada pada Allah.
Sifat jâ`iz hanya satu, yaitu fi‘l kull mumkin aw tarkuhû (berhak menciptakan atau
kebodohannya.
Apapun yang dilakukan oleh Allah, seperti memberi pahala terhadap orang
suatu keadilan. Karena Allah adalah Dzat yang dapat memberikan manfaat dan
kerugian.90 Keadilan Allah tidak bisa diukur dengan keadilan manusia. Sebab,
manusia akan dikatakan zhalim ketika ia menggunakan hak orang lain. Dan Allah
Taat dan ingkar di atas menunjukkan bahwa Allah dapat memberi pahala
dan siksa. Siapa saja yang Allah kehendaki untuk mendapatkan kebahagiaan,
maka Ia akan menunjukkannya menuju ketaatan. Dan siapa saja yang Allah
ﻥ
ﻤﻠﹸﻭ ﻌ ﺎ ﹶﺘﻭﻤ ﻡ ﺨﹶﻠ ﹶﻘ ﹸﻜ
ﷲ ﹶ
ُ ﺍﻭ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu.” (Qs. al-Shâffât [37] : 96)
89
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 6
90
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 11
91
Nawawî al-Bantanî, al-Tsimâr al-Yâni‘ah, h. 6
92
Nawawî al-Bantanî, Nûr al-Zhalâm, h. 11
89
PENUTUP
A. Kesimpulan
menyimpulkan bahwa, secara garis besar, ada dua jalan yang dapat kita gunakan
selain diri-Nya. Justru sebaliknya, segala sesuatu itulah yang membutuhkan diri-
SWT.
(keterkaitan). Bila dilihat dari segi ada tidaknya ta‘alluq serta keumuman dan
jâ`izât (perkara-perkara yang boleh ada dan boleh tidak ada), al-mustaĥîlât
90
91
1. Sifat-sifat yang hanya berkaitan dengan al-mumkinât, yaitu al-Qudrah dan al-
Irâdah. Hanya saja, ta‘alluq yang dimiliki oleh al-Qudrah adalah ta‘alluq îjâd
puluh sifat Allah membuktikan hal itu. Meskipun Syaikh Nawawî tidak
yang cukup besar dalam pelestarian dan penyebaran pemikiran Asy‘arîyah pada
abad ke-19, khususnya di Indonesia. Semua ini hanya bisa dilakukan oleh orang
yang benar-benar menguasai aqidah Islam secara mendalam. Tak salah bila
seorang Muslim harus mengetahui sifat wâjib, mustaĥîl, dan jâ`iz bagi
dalil, ta‘alluq, serta apa yang harus disaksikan dan diyakini seorang
4. Dalil sebuah sifat, digunakan oleh beliau sebagai dalil bagi sifat-sifat
B. Saran-saran
penelitian lagi agar wilayah pemikiran teologi Syaikh Nawawî benar-benar dapat
belum sempat terangkat dan terungkap di sini. Misalnya, metode apa yang
mempengaruhi pemikirannya dalam bidang lain yang juga ia kuasai, seperti fiqh,
Indonesia sebagai ahli fiqh dan mufassir, dibandingkan ahli teologi. Padahal,
Yang tak kalah pentingnya adalah penelitian tentang pengaruh kajian sifat dua
puluh serta relevansinya terhadap kehidupan masa sekarang? Dan masih banyak
lagi. Ini semua menjadi pekerjaan rumah bagi kita. Semoga skripsi ini sedikit
yâ Rabb al-‘âlamîn!
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amin, Ma’ruf dan M. Nashruddin Anshari Ch., Pemikiran Syaikh Nawawî al-
Bantanî, Jakarta: Pesantren, vol. VI, no. I, 1989
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, cet. 2, 1999
95
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, cet. 2, jilid 4, 1984
Hasan, Ahmad Rifa’i, Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah atas Karya-
karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987
Ibrahim, Ahmad, et. al., Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Jakarta:
LP3eS, 1989
Karya, Soekama, et. al., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Jakarta: Logos, cet. 1, 1996
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin,
Jakarta: Bumi Aksara, cet. 1, 1995
Maghfur W., Muhammad, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat
Islam, Bangil: Al-Izzah, cet. 1, 2002
Michrob, Halwany dan A. Mujahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, Serang:
Saudara, cet. 3, 1993
Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Jender, Yogyakarta: LKiS, 2001
95
96
Muzani, Saiful (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun
Nasution, Bandung: Mizan, cet. 5, 1998
Ramli, HM. Usep, Syaikh Nawawî al-Jawi: Tokoh Intelektual Internasional asal
Banten, Banten: Fajar Banten, 2000
Suwito dan Fauzan (ed.), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Bandung:
Angkasa, cet. 1, 2003
Van Bruinissen, Martin, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan,
cet. 3, 1999
Internet
Abdullah, Wan Mohd. Shaghir, Syeikh Nawawî al-Bantanî Digelar Imam Nawawî
Kedua,
http://ulama.blogspot.com/2005/03/Syaikh-Nawawi-al-Bantani.html
96
97
www.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf822a5c9b123e
6d26ab120be5b54dfc
www.malnupusat.tripod.com/aboutmalnu.htm
www.rahima.or.id/SR/10-03/kiprah1.htm
www.sufinews.com/print.php?id=1078892435&archive
97
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Silsilah Syaikh Nawawî al-Bantanî dari Garis Ayah1
1
Modifikasi penulis dari Sri Mulyati, Sufism In Indonesia: An Analysis of Nawawî al-Bantenî's
Salâlim al-Fudhalâ`, Unpublished Thesis, h. 40
98
99
Muĥammad
Singaraja
Nafîsah
Maryam
Zahrah
1
Modifikasi penulis dari Sri Mulyati, Sufism In Indonesia, h. 41
100
Salmah Aĥmad
‘Abd
al-Ĥamîd
1
Modifikasi penulis dari Sri Mulyati, Sufism In Indonesia, h. 41 dan Ahmad Gina Maulana, ‘Ibâd
al-Raĥmân dalam al-Qur`ân menurut penafsiran Syaikh Nawawî al-Bantanî, Skripsi UIN, h. 8
101
Abû al- Abû al-‘Alî Abû al- Abû al- Ibrâhîm al-
Ĥasan al- al-Jubâ‘î Hâsyim al- Hudzayl al- Nazhzhâm
Asy‘arî Jubâ‘î ‘Allâf
Abû ‘Abd Abû Bakr ‘Abd al- Abû Ĥâmid ‘Abd al-
Allâh al- al-Bâqillânî Mâlik al- Muĥammad Karîm al-
Bâhilî Juwaynî al-Ghazâlî Syahrastânî
Aĥmad Syaikh
Zaynî Nawawî al-
Daĥlân Bantanî
1
Modifikasi penulis dari Mastuki HS (ed.), Kiai Menggugat; Mengadili Pemikiran Kang Said,
Jakarta: Pustaka Ciganjur, cet. 1, 1999, h. 59-60
102
1
Modifikasi penulis dari Sri Mulyati, Sufism In Indonesia, h. 42