You are on page 1of 73

BAB II PRINSIP PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN BERDASARKAN HAK ULAYAT LAUT

Untuk menguraikan konsep tentang Hak Ulayat Laut secara rinci telah dilaksanakan penelitian lapangan di berapa daerah di Papua yaitu Desa Engros dan Tobati Distrik Abepura Kabupaten Kota Jayapura, Desa Tablanusu dan Tablasupa di Distrik Depapre Kabupaten Jayapura serta Desa Skow Wambe Distrik Skow Kabupaten Jayapura.1 Penelitian lapangan ini tidak dapat dihidari guna mendapatkan bahan hukum yang disarikan dalam norma-norma adat yang berlaku berkaitan dengan Hak Ulayat Laut. Dari hasil penelitian lapangan dan kajian teoritik ditemukan beberapa prinsip norma hukum dalam Hak Ulayat Laut berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan di laut. 1. Prinsip Hak Ulayat Laut sebagai Hukum Adat

1.1. Prinsip Diperoleh Secara Turun-Temurun dari Nenek Moyang dan Alamiah Fakta tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap bangsa atau masyarakat dalam suatu persekutuan memiliki kebudayaannya yang di dalamnya terdapat kebiasaan-kebiasaan yang mencerminkan perilaku pendukungnya. Kebiasaan hidup dalam suatu persekutuan itulah yang kemudian dikenal dengan adat. Menurut Dominikus Rato2 yang dimaksud dengan adat adalah:
Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan terus-menerus), dipertahankan oleh para pendukungnya. Kebiasaan merupakan cerminan kepribadian suatu bangsa. Ia adalah penjelmaan jiwa bangsa itu yang terus-menerus berkembang secara evolusi dari abad ke abad. Perkembangan itu ada yang cepat dan ada yang lamban.

64
Penelitian lapangan dilaksanakan di beberapa daerah di Papua pada tahun 2003 s.d. 2005 dan diverifikasi pada bulan Januari s.d. Februari tahun 2012. 2 Dominikus Rato, Pengantar Hukum Adat, Penerbit LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2009, h, 1
1

Dominikus juga menunjukkan bahwa kebiasaan yang bertahan selama bertahun-tahun dan telah berakar di dalam hati nurani anggota masyarakatnya, ia menjadi kebudayaan yang kemudian menjadi pedoman bagi anggota masyarakat untuk berperilaku dengan harapan dapat mencapai tujuan yang dikehendaki. Untuk mencapai tujuan hidup tersebut dibutuhkan alat untuk memaksa agar dapat berjalan dengan tertib, lancar dan tidak ada halangan yaitu yang disebut hukum. Dalam beberapa pandangan yang berbeda seperti disampaikan Dominikus Rato yang sepaham dengan Van Vollenhoven, bahwa hukum adat itu adalah hukum yang sebagian besar tidak tertulis. Bentuknya yang tidak tertulis ini karena selaras dengan budaya masyarakat hukum adat di Indonesia yang berlandaskan pada budaya lisan atau budaya tutur.3 Sebagai langkah awal untuk memahami hukum adat dapat ditelusuri dalam kitab undang-undang mengenai berlakunya hukum adat sesuai dengan tata hukum positif Indonesia sebagai negara hukum. Dalam pandangan yang disampaikan Sudirman Saad tentang Hak Ulayat sebagai serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Dalam kajian secara ontologis selain sebagai bentuk norma adat yang berlaku dalam melakukan pengelolaan sumber daya laut (termasuk perikanan) dan didasarkan pada hak yang diperoleh secara turun-temurun (genealogis). Hak Ulayat Laut itu diketahui

mengemban suatu kewenangan (otoritas) hukum yang berlaku di wilayahnya. Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat itu pada dasarnya dapat digolongkan dalam bidang hukum perdata dan hukum publik. Yang digolongkan ke dalam hukum perdata adalah yang menyangkut kepunyaan bersama tanah/hutan, sedangkan di bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan,

Ibid, h.1

penggunaan dan pemeliharaannya.4 Sedangkan Hak Ulayat Laut mengandung konsep yang di dalamnya terdiri unsur-unsur yang tidak jauh berbeda dengan Hak Ulayat Tanah/Hutan. Hak Ulayat Laut mencakup persekutuan sosial (masyarakat hukum) pemilik hak, wilayah laut dan pengaturan serta hak eksklusivitas teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya laut/perikanan, batasan-batasan perilaku yang ditentukan dan yang dilarang, dan keberlakuannya terhadap masyarakat anggota persekutuan maupun masyarakat luar. Dalam kajian secara ontologis, Hak Ulayat Laut juga meliputi lembaga-lembaga adat yang mengaktualisasikan sistem konseptual tersebut dan prosesnya yang terangkum dalam kepemimpinan adat (kepala suku/ondoafi)5 Sedangkan kajian epistimologis Hak Ulayat Laut dapat dirujuk melalui peraturan perundang-undangan yang dimungkinkan untuk kepentingan interpretasi, sistematisasi, asasasas, cara-cara kriteria kebenaran, metodologi maupun aturan-aturannya. Tatanan hukum kaitannya dengan Hak Ulayat ini tentunya untuk membentuk satu kesatuan yang koheren untuk memecahkan masalah. Pada aspek epistimologis ini diketahui bahwa praktik pengelolaan sumber daya perikanan yang dilakukan masyarakat hukum adat itu dilakukan karena menurut kebiasaan yang diturunkan oleh leluhur mereka. Kebiasaan yang diturunkan dan berlaku secara komunal inilah yang menguatkan bahwa hak-hak adat memposisikan diri lebih tinggi dibandingkan dengan hak-hak individu. Dalam rangkuman yang disampaikan Eman6 disebutkan bahwa hak individu bila dikerjakan secara terus-menerus, maka hak individu itu semakin kuat dan hak ulayat akan semakin lemah, sebaliknya bila hak individu tidak dikerjakan, maka pada saat itu hak ulayat punya kedudukan kuat. Hak Ulayat Laut menurut kajian aksiologis, juga memiliki nilai dan manfaat bagi masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan perikanan, maka hal tersebut harus
4 5

Ibid, h,123 Lihat Lampiran I Bagan Struktur Kelembagaan Adat Hak Ulayat Laut 6 Eman Ramelan, Prinsip Hukum Ruang Bawah Tanah untuk Bangunan Gedung dalam Sistem Hukum Agraria Nasional, (Disertasi), Universitas Airlangga, h, 151

memiliki kejelasan konsep dan prinsip yang salah satunya dituangkan melalui peraturan perundang-undangan. Secara hukum nasional, Hak Ulayat dapat ditelusuri melalui Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (LN RI 1960 No. 104 TLNRI No. 2043) tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Namun dalam Pasal 3 tidak memberikan pengertian secara rinci tentang hak ulayat, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud hak ulayat adalah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut Beschikkingsrecht (penjelasan Pasal 3 UUPA). Untuk mengetahui lebih jauh Hak Ulayat Laut dapat diketahui melalui prinsip-prinsip yang ada dalam kaitannya sebagai hukum adat. Dalam beberapa terminologi hukum adat di Indonesia telah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli yang memfokuskan diri pada pengertian adat sebagai suatu bentuk eksistensi, kebiasaan hidup masyarakat tradisional dan berlangsung secara terus-menerus yang diturunkan oleh nenek moyangnya. Kebiasaan hidup yang diperoleh dari nenek moyang dan dijalankan secara terus-menerus sebagai tatanan kehidupan tersebut dengan sendirinya memiliki kuasa, hak dan wewenang untuk menguasai secara alamiah (by nature). Menurut Dominikus Rato,7 definisi tentang adat adalah kebiasaan masyarakat yang bersifat ajek (dilakukan secara terus-menerus) dan dipertahankan oleh para pendukungnya. Selanjutnya secara aksiologis ia memberikan refleksi adat atau nilai yang menjelmakan jiwa dari bangsa itu sendiri yang berkembang sesuai dinamika evolusi dari waktu ke waktu. Dinamika perkembangan kebiasaan tersebut senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai dasar yang harus dipedomani dalam mengadakan perubahan dari suatu bangsa yang sekiranya sudah tidak sesuai atau tidak berfungsi lagi. Dari serangkaian kebiasaan-kebiasaan yang kemudian mengakar ke dalam hati nurani masyarakatnya itu kemudian menjadi suatu kebudayaan yang berwujud (materi) maupun tidak berwujud (abstrak). Manusia sebagai mahluk yang memiliki akal budi memiliki kemampuan untuk menciptakan budaya dalam segala tatanan

Ibid. h, 12

kehidupannya. Di dalam aspek budaya tersebut, manusia memberikan kebiasaan hidupnya dalam bentuk-bentuk norma hukum yang ditujukan untuk mewujudkan kebenaran, keadilan dan kepastian di wilayahnya. Hak Ulayat Laut sebagai bagian dari hukum adat juga

merupakan wujud dari suatu kebiasaan masayarakat hukum adat yang tinggal di pesisir dalam mengelola sumber daya perikanan serta dilakukan secara terus-menerus. Kebiasaan-kebiasaan yang terangkum dalam suatu hukum tersebut berisi tatanan kehidupan, ketertiban, kesejahteraan, kepentingan bersama, kehidupan bersama dan keadilan yang bersifat memaksa untuk ditaati bersama dengan harapan dapat memenuhi tujuan hidup. Oleh karenanya setiap bangsa memiliki kebiasaan sendiri-sendiri, sehingga hukum pun berbeda-beda yang memiliki ciri tersendiri sebagai identitas bangsa. Kesadaran atau kepatuhan terhadap hukum tersebut diketahui memiliki kedudukan dan peranan hukum adat di dalam kehidupan bersama masyarakat lainnya. Kekuatan hukum dapat diketahui manakala masyarakat mentaatinya secara sukarela, sehingga hukum dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk menyeimbangkan antara kehidupan yang tertib dan yang menyimpang. Tradisi Hak Ulayat Laut yang tercipta dari kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat persekutuan tersebut di dalamnya terdapat hukum. Aksiologi dari aspek hukum yang ditaati itu pada dasarnya merupakan salah satu unsur dari bentuk kebudayaan yang tidak berwujud atau immateral. Yang dimaksud dengan material yaikni berupa hukum itu diwujudkan dalam bentuk norma-norma yang tidak tertulis dalam suatu kitab yang berisikan tata nilai dalam menjalankan kehidupan. Tata nilai kehidupan tersebut berisikan apa yang harus dijalankan dan apa yang dilarang oleh masyarakat adat, sehingga terciptalah keseimbangan hidup. Hukum adat merupakan hukum yang sebagian besar tidak tertulis yang sesuai dengan budaya Indonesia dan berlandaskan pada budaya tutur (lisan). 1.2. Prinsip Berlaku Positif dan Tidak Tertulis (Unstatutory Law)

Menurut Cornelis Van Vollenhoven8 pengertian hukum adat adalah keseluruhan aturan yang mengatur tentang tingkah laku yang posisitif. Di satu pihak aturan tingkah laku tersebut mempunyai sanksi dan di sisi lain tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut adat). Disebut sebagai tingkah laku yang Positif yakni hic et nunc, artinya hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan saat ini atau kata lain hukum yang sedang berlaku di suatu negara tertentu pada waktu tertentu. Sedangkan sanksi adalah bentuk reaksi/konsekuensi dari pihak lain atas pelanggaran suatu norma. Kodifikasi adalah pembukaan secara sistematis suatu daerah/lapangan/bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat, lengkap dan tuntas. Selain itu menurut Cornelis Van Vollenhoven hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainya yang menjadi sendi-sendi dan diadakan sendiri oleh

kekuasaan Belanda dahulu. Artinya hukum adat itu bukanlah hukum yang dibuat dalam bentuk undang-undang atau dikodifikasi sebagaimana hukum yang dibawa oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda atau hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif yang dibangun melalui teori-teori hukum tentang legislatif, eksekutif hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif yang dibangun melalui teori-teori hukum tentang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hukum adat dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri, lahir dari cara pandang bangsa Indonesia. Mengenai hal ini Soepomo9 sependapat dengan Cornelis Van Vollenhoven bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, namun tetap ditaati dan didukung oleh masyarakatnya berdasarkan atas keyakinan bahwa sahnya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Pendapat Soepomo ini mengesampingkan hukum adat yang tertulis dan mengkonstruksikan hukum adat itu sebagai

8 9

Dominikus Rato, Op.Cit. h.14 Dominikus Rato, Op. Cit, h.18

hukum yang tidak tertulis sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis. Lebih jauh Van Dijk10 merinci kandungan yang terdapat dalam hukum adat meliputi:
a. b. Segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi perilaku seharihari antara satu orang dengan orang lain disebut adat. Adat itu terdiri dari 2 bagian yaitu; 1) yang tidak mempunyai akibat umum 2) yang mempunyai akibat umum Antara 2 bagian tersebut tidak ada suatu pemisahan yang tegas.

c.

Bagian yang menjadi hukum adat itu mengandung pengertian yang lebih luas dari pada pengertian hukum Barat tentang hukum pada umumnya. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh hukum Barat yang menyangkut empat norma yaitu norma agama, sosial kemasyarakatan, moral kesusilaan dan hukum yang saling terpisah satu sama lain. Sedangkan di dalam hukum adat, keempat norma itu tidak ada pemisahan yang tegas satu sama bahkan lain saling berkaitan secara holistik (utuh menyeluruh dan terintegrasi). Keempat norma itu mungkin dapat dibedakan satu sama lain, tetapi tidak dapat dipisahkan. Demikianlah setidaknya perbedaan antara hukum adat dan hukum Barat. 1.3. Prinsip Penegakan Hak Ulayat Dilaksanakan sebagai Fungsi Kontrol Di dalam kehidupan masyarakat hukum adat suku laut, penegakan hukum yang dilaksanakan melalui pengadilan sosial itu pada dasarnya merupakan alat kontrol sosial untuk menjaga ketertiban dan ketentraman sebagaimana tujuan hukum itu sendiri. Kaidah-kaidah hukum adat dipahami oleh orang dewasa baik secara sukarela maupun dipaksakan. Dalam pemahaman pentingnya hukum adat tersebut, beberapa masyarakat memberikan pemahaman hukum adat perlu ditegakkan guna memberikan penguatan terhadap keyakinan dalam diri masyarakat akan kebaikan hukum khususnya yang berkaitan dengan kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan religiusitas. Oleh karena itu dalam kehidupan masyarakat hukum adat suku laut yang ditanamkan rasa malu bila melakukan suatu perbuatan tercela terlebih terhadap pelanggaran terhadap tatanan kehidupan.
10

Ibid, Op. Cit, h. 25

Dalam keterangannya, Ter Haar11 memberikan pengertian, bahwa persekutuan hidup sebuah kelompok manusia yang memiliki ketergantungan terhadap tanah di atasnya memberinya makanan dan menampung anggotanya yang meninggal dunia serta mengakomodasi dewa-dewa pelindungnya berikut roh-roh nenek moyang yang eksistensinya bergantung pada manusia yang hidup. Kelompok manusia tersebut berhak atas tanah seutuhnya dengan hak yang mempunyai daya kerja eksternal maupun internal. Secara

eksternal, kelompok tersebut memiliki kewenangan untuk mendapatkan keuntungan dari tanah dan sekaligus menutup kemungkinan pihak-pihak luar memperoleh manfaat tanah. Kesatuan manusia tersebut bertanggung jawab terhadap orang di luar kelompok atas delikdelik yang dilakukan mereka. Sedangkan secara internal, maka kelompok ini mengatur caracara menikmati keuntungan-keuntungan bagi angotanya agar setiap orang menerima apa yang menjadi hak-hak masing-masing, membatasi dalam mengambil keuntungan dan hak-hak individual dengan cara mengecualikan bagian-bagian tanah tertentu bebas dari perolehan keuntungan individual. Menurut Ter Haar12 objek Hak Ulayat adalah hak untuk mengambil manfaat dari tanah, perairan (sungai, danau, perairan pantai, laut), tanaman-tanaman dan binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Menurut Boedi Harsono13 yang dimaksud dengan Hak Ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum secara konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah di dalam wilayahnya dengan rumusan, bahwa Hak Ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang

Freddy Tengker (Penyadur), Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat, Penerbit CV. Mandar Maju, Cetakan ke-I, Bandung, 2011, h. 57 12 Ibid, h, 56 13 Budi, Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentuan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakara, 2003, h. 8

11

tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut. Dari keterangan para ahli tersebut diketahui, bahwa hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah, hutan dan perairan serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan, ikan dan sumber-sumber lainnya yang berada di dalam wilayahnya serta memiliki wewenang untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan segala sesuatunya serta lingkungan wilayahnya untuk memenuhi kehidupan masyarakat adat yang diperoleh secara turun-temurun di bawah pemimpin adat. Dalam penyebutannya, Hak Ulayat di beberapa daerah memiliki nama yang berbedabeda seperti di Jawa disebut Wengkon, Sumatra disebut Ulayat, di Ambon disebut Patuanan, Papua disebut Ulayat, dan Bali disebut Nuru. Hak Ulayat meliputi Hak Ulayat Tanah yang memiliki objek berupa hutan, gunung, sawah, binatang, bahan-bahan mineral serta tanaman/pepohonan yang ada di lingkungan daratan. Dalam penelitian yang dilakukan di Desa Tablanusu, Engros dan Tobati di Papua khususnya yang disampaikan oleh Martin Irew dan Petrus menunjukkan bahwa objek Hak Ulayat Laut meliputi pulau-pulau kecil, pantai, teluk, tanjung, laut, binatang laut, tumbuhan laut, ikan dan terumbu karang atau tanah yang ada di dasar laut. Dari keseluruhan objek yang ada di dalam wilayah Hak Ulayat Laut merupakan hak penguasaan yang tertinggi dalam hukum adat dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu sebagai hak dan wewenang yang dimiliki secara bersama (common property) oleh para warganya melalui struktur pemimpin adat. Pengakuan Hak Ulayat dapat ditemukan di bebrapa peraturan perundang-undangan maupun dari hasil penelitian yang melibatkan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, kelembagaan terkait, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (3) RUU SDAgraria, berlangsungnya hak ulayat meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1) 2) Masyarakat hukum adat; Wilayah tempat hak ulayat berlangsung;

3) 4)

Hubungan, keterkaitan dan ketergantungan masyarakat hukum adat dengan wilayahnya; Adanya kewenangan untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, perairan, tanaman serta binatang-binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan ditaati masyarakatnya.

Di dalam penelitian lapangan ulang (verifikasi bahan hukum) di Papua tahun 2012 ditemukan bahan hukum yang digunakan sebagai dasar wewenang masyarakat hukum adat dalam melaksanakan penegakan norma adat melalui lembaga peradilan adat yang tertuang dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua (Lembar Daerah Tahun 2008 Nomor 20). Yang dimaksud peradilan adat adalah suatu sistem penyelesaian perkara yang hidup dalam masyarakat hukum adat tertentu di Papua. Di dalam peradilan adat tersebut hakim disebutkan sebagai pemimpin dari suatu masyarakat hukum adat tertentu yang dipilih sesuai aturan atau anggota masyarakat hukum adat tertentu yang dipilih sesuai aturan dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan untuk mengurus sengketa adat. Sedangkan putusan peradilan adat itu bersifat perdamaian. Dengan diterbitkannya Perdasus tentang Peradilan Adat di Papua ini menunjukan adanya pengakuan pemerintah terhadap keberadaan, perlindungan,

penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua dan bukan Papua. Pengakuan ini berimplikasi terhadap jaminan kedudukan hukum adat semakin baik, kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan, menjaga harmonisasi serta membantu pemerintah dalam penegakan hukum. Dari segala sesuatu yang terkandung di dalam Hak Ulayat Laut seperti dijelaskan di atas dilaksanakan dengan tertib norma adat. Bila ada delik yang tidak mengindahkan normanorma tersebut, maka akan segera diluruskan kembali demi tegaknya eksistensi hukum adat tersebut. meluruskan kembali norma yang telah disampingkan atau dilanggar tadi menjadi tanggung jawab lembaga adat untuk mengambil tindakan penegakan. Penegakan norma adat itu pada dasarnya merupakan fungsi kontrol agar anggota persekutuan adat tetap pada koridor norma yang telah ditetapkan oleh nenek moyang sebagai suatu nilai positif. Tindakan-

tindakan meluruskan norma yang dilanggar menganut sanksi adat. Sanksi adat ini ditujukan sebagai bentuk ganti rugi terhadap norma yang dilanggar. Sanksi yang dijatuhkan kepada anggota internal persekutuan maupun orang luar memiliki fungsi yang memaksa agar mematuhi norma yang ditetapkan. Kontrol itu Fungsi kontrol ini dimaksudkan sebagai instrumen apakah norma itu telah dijalankan dengan baik oleh orang-orang yang memiliki kepentingan terhadap Hak Ulayat Laut.

1.4. Prinsip Eksistensi Kelembagaan Adat. Wilayah seperti telah dibicarakan di depan menunjukkan kemampuan untuk mencapai dan mengelola objek Hak Ulayat Laut. Dengan kemampuan itu sekaligus menunjukan bahwa hal tersebut merupakan kewibawaan persekutuan adat terhadap persekutuan adat lainnya. Kemampuan untuk mengelola kekayaan yang terkandung di wilayah Hak Ulayat Laut dapat berdampak pada pengakuan persekutuan adat lainnya akan eksklusifitas yang dimiliki, sehingga akan saling menghormati satu dengan lainnya. Kewibawaan terhadap penguasaan terhadap sumber daya perikanan di wilayah Hak Ulayat Laut dilaksanakan menurut kelembagaan adat melalui kepemimpinan kepala suku (Ondoafi). Pada mulanya Hak Ulayat ini berada pada kelembagaan Dewan Adat, namun seiring dengan perkembangan wilayah Hak Ulayat Laut telah terbagi dalam persekutuan adat yang lebih kecil yakni pada tingkat suku secara komunal dan di wakili oleh kepala suku (Ondoafi). Itulah salah satu model Hak Ulayat Laut yang ada di Papua (Tablanusu, Tablasupa, Engros, Tobati dan Skou Sae) dan tidak mengenal pemilikan secara individu. Model pengaturan Sasi dalam Hak Ulayat di Papua dipimpin oleh kepala suku (Ondoafi) ini berbeda dengan Model Hak Ulayat Laut di Maluku (Desa Haruku), di mana pengaturan Sasi dilaksanakan oleh lembaga Desa (Kewang) bukan kepala suku.

Secara luas Hak Ulayat Laut mengandung suatu nilai atau tolok ukur terhadap eksistensi kelembagaan adat sebagai wujud eksistensi dan kewibawaan yang berlangsung dengan cara: 1) Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek Hak Ulayat Laut. 2) Adanya suatu wilayah dengan batas-batas laut tertentu sebagai lingkungan hidup dan sekaligus sebagai tempat memenuhi kebutuhan hidup (Lebensraum) dari masyarakat hukum adat yang merupakan objek Hak Ulayat Laut. 3) Memiliki korelasi dan saling ketergantungan dari masyarakat hukum adat dengan lingkungan wilayahnya. 4) Memiliki kewenangan untuk mengatur secara bersama dalam pemanfaatan tanah, perairan, binatang, tanaman dan lain-lain yang ada wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan, berdasarkan hukum adat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat dan memiliki norma yang dilengkapi dengan sanksi bagi pelanggar Hak Ulayat Laut secara internal maupun eksternal. 5) Memiliki tatanan lembaga adat sebagai wujud personifikasi kelembagaan adat14 yang dipercayakan kepada seorang untuk menjadi pemimpin yang berwibawa dan melaksanakan tatanan norma adat. Dari keterangan tersebut menunjukan bahwa Hak Ulayat Laut yang berlaku di wilayah timur Indonesia khususnya di Papua sistem berlakunya dilaksanakan melalui kelembagaan adat dengan kepemimpinan kepala suku (Ondoafi) sekaligus sebagai penguasa wilayah yang berlaku secara internal maupun eksternal. 1.5. Prinsip Kepemilikan Wilayah Hak Ulayat Laut Bersifat Komunal

14

Lihat lampiran II Bagan Lembaga adat suku laut di Papua

Kepemilikan secara komunal oleh masyarakat adat di sini dimaknai sebagai kepunyaan terhadap objek hak ulayat. Kepemilikan secara komunal ini menunjukkan adanya hak dan kewajiban untuk mengelola, menjaga dan melestarikannya sebagai bentuk eksistensi persekutuan adat, sehingga memiliki kemampuan ketersediaan sumber daya di masa mendatang. Kepemilikan secara komunal tersebut dilaksanakan menurut perangkat kelembagaan adat dan bukan secara individu. Tatanan norma adat dalam bentuk Hak Ulayat Laut di Indonesia dapat kita jumpai di beberapa daerah daerah di antaranya Maluku, Sulawesi Utara dan Papua. Hingga saat ini norma adat Hak Ulayat Laut masih dilaksanakan dan ditaati oleh masyarakat Hukum Adat secara turun-temurun. Adapun yang dimaksud dengan Hak Ulayat Laut (sea tenure) dalam hukum adat di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari prinsip penguasaan dan memiliki sumber daya laut sebagai salah satu pola berpikir dan bertindak. Prinsip seperti ini juga disampaikan oleh Hardin15 pada tahun 1968 dengan artikelnya yang berjudul common property (milik umum). Hardin menegaskan tentang sumber daya alam yang bukan objek kepemilikan dapat diartikan sebagai objek yang bukan milik siapa-siapa (free for all) dan cenderung dikelola secara overeksploitasi. Hal tersebut disebabkan oleh sumber daya alam yang tidak ada kepemilikannya secara individual dapat menimbulkan motivasi untuk mengoptimalkan keuntungan diri sendiri tanpa mempertimbangkan dampak buruk yang akan timbul bagi manusia maupun lingkungan. Namun prinsip ini berbeda dengan prinsip pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat tradisional dengan Hak Ulayat Laut bahkan dalam beberapa pandangan yang disampaikan oleh Hardin tersebut menurut Ruddle dan Akimichi16 tidak sepenuhnya benar

15 Hardin, G, The Tragedy of the Commons, Jurnal Science, 1968, dalam Dedi Supriadi Adhuri, Menjual Laut, Mengail Kekuasaan: Studi Mengenai Konflik Hak Ulayat Laut di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI dediadhuri@hotmil.com 16 Dedi, Op,Cit, h. 2

bila diterapkan pada komunitas tradisional di mana objek kepemilikannya adalah komunal (comumunal marine tenure/CMT).17 Di beberapa daerah Indonesia Timur seperti di Ambon, Sulawesi Utara dan Papua tradisi kepemilikan secara komunal terhadap laut merupakan bukti adanya konsep common marine tenure/CMT yang objeknya adalah laut dengan sumber daya yang terkandung di dalamnya berupa terumbu karang, mineral, tumbuh-tumbuhan seperti rumput laut, mangrove, binatang laut dan berbagai jenis ikan. Kepemilikan laut secara komunal ini tidak hanya untuk kepentingan kebutuhan kehidupan sehari-hari namun juga sebagai bagian dari eksistensi keberadaan komunitas kelompok atau suku. Dengan demikian hak milik dalam hukum adat tidak mengandung kharakter yang sama seperti eigendom dalam keperdataan. Pemenuhan kebutuhan hidup yang diambil atau diolah dari sumber daya laut dilakukan hanya benar-benar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak dieksploitasi secara besar-besaran untuk konsumsi pasar bahkan industri. Oleh karena itu wilayah yang dijadikan eksistensi dan pemenuhan kebutuhan hidup tersebut dijaga akan kelestarian dan berkelanjutannya untuk generasi penerusnya. Kepemilikan laut secara komunal ini juga merupakan konsep religius yang di wujudkan sebagai bentuk penghormatan kepada roh leluhur yang berdiam di laut. Konsep religius ini dalam filologi sering dipandang sebagai konsep yang irasional18 namun pada dasarnya konsep ini memberikan makna dan pengajaran akan pentingnya kelestarian dan keberlanjutan terhadap pentingnya ekosistem laut. Kenyataan inilah yang luput dari pandangan Hardin dalam mengamati fakta lain yang terjadi dalam kehidupan tradisional Hak Ulayat Laut yang dalam perkembangannya semakin menghilang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa cara pandang Hardin tersebut menurut fenomena yang terjadi ketika Hak Ulayat Laut semakin terdesak oleh kepentingan ekonomi, pasar, runtuhnya otoritas tradisional, praktek norma-norma baru dari negara yang tidak
Penelitian tentang Komunitas Tradisional Laut Populer, diteliti pada bidang ilmu Antropologi tahun 1970-an dengan studi objek Kepemilikan Komunal (common sea tenure). 18 Analisa peneliti menurut ilmu Filologi dalam Sastra Indonesia.
17

melegitimasi norma adat Hak Ulayat Laut yang ada, sehingga uang menjadi isu sentral dalam kehidupan moderen. Oleh karenanya untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, orang cenderung untuk meningkatkan eksploitasi sumber daya laut dengan teknologi moderen yang dapat menghasilkan sumber daya laut sebanyak-banyaknya dan efisien. Faktor pendorong menurunya otoritas Hak Ulayat Laut tersebut juga terdesak oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan yang mengutamakan prinsip sebesarbesarnya memperoleh keuntungan dan adanya unsur keterpaksaan yang dialami oleh otoritas tradisional untuk menghentikan perlindungannya terhadap praktek Hak Ulayat Laut. Tidak adaptifnya undang-undang atau aturan yang diadopsi dari hukum barat berdampak pada erosinya Hak Ulayat Laut tidak hanya menyangkut hilangnya kearifan lokal (local wisdom) tetapi juga hilangnya potensi untuk menghindari kehancuran sumber daya laut dan lingkungannya. Oleh karenanya untuk mencegah hancurnya sumber daya laut dan

lingkungannya diperlukan adanya pengakuan dan legislasi dari Pemerintah, sehingga dapat menguatkan kemampuan komunitas adat untuk lebih mampu melakukan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya laut yang dilakukan secara sukarela jika hak-hak mereka dilindungi. Karena pada dasarnya apa yang mereka lakukan untuk kepentingan kepemilikan secara komunal itu bagian dari religiusitas yang telah tertanam secara turun-temurun. Legislasi formal terhadap Hak Ulayat Laut dapat melanggengkan kapabilitas masyarakat tradisional tetapi juga akan menjamin praktek pengelolaan sumber daya laut dengan cara tradisional namun sesuai prinsip-prinsip moderen dan berkelanjutan. Adanya legislasi ini tentunya juga akan mengurangi tanggung jawab Pemerintah dalam kaitannya dengan formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan serta biaya pengelolaan sumber daya laut.

1.6. Norma Larangan (Sasi) Dalam tatanan norma Hak Ulayat Laut dikenal dengan istilah Sasi. Secara ontologis Sasi merupakan bentuk norma larangan yang mengandung sanksi bagi yang melanggar. Sasi ini diambil dari sisitem kepercayaan atau religiusitas dan ritual yang berkaitan dengan suatu norma larangan yang diberlakukan secara tentatif. Norma larangan tersebut diberlakukan dalam suatu wilayah Hak Ulayat Laut untuk membuka (buka Sasi) atau menutup (tutup Sasi) terhadap ekploitasi sumber daya laut khususnya ikan bagi masyarakatnya (pemilik). Larangan ini juga berlaku bagi masyarakat di luar komunitas adat (bukan pemilik) yang memasuki wilayah Hak Ulayat Laut. Saat norma sasi diterapkan (tutup Sasi) pada wilayah atau sumber daya laut tertentu, maka tidak seorang pun diperbolehkan mengambil atau memanfaatkan wilayah atau sumber daya laut sampai dengan larangan itu dicabut atau dibuka kembali. Pada saat tutup Sasi, tidak seorangpun diperbolehkan memancing, menjala, memanah ikan (molo: memanah ikan dengan cara menyelam hingga ke dasar laut), atau mengambil biota laut lainnya sampai dicabutnya Sasi oleh tua adat (kepala suku). Pada prinsip norma Sasi ini pada dasarnya merupakan bentuk dari konservasi terhadap sumber daya laut termasuk ikan, sehingga memungkinkan terjadinya renewable secara alamiah dan dijaga bersama. Praktik konservasi sumber daya laut dan perikanan dengan cara tradisional ini pada dasarnya sesuai dengan Agenda 21 yang memfokuskan pada pentingnya lingkungan laut yang terintegrasi sebagai komponen yang esensial dari sistem dukungan kehidupan global dan sebuah asetpositif terhadap harapan dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam kajian aksiologi yang ditunjukan dalam praktik Hak Ulayat Laut menunjukkan adanya suatu nilai dan sekaligus metoda yang diatur dalam norma adat Sasi atau meti (istilah meti juga digunakan oleh masyarakat adat suku Engros, Tobati, Tablanusu, Tablasupa dan Biak Papua) yang dikenal juga dengan perbedaan yang didasarkan pada aplikasi sumber daya

atau wilayah yang ditetapkan, sistem kepercayaan, pemimpin dan wilayah ritual sebagai berikut: a. Sasi yang didasarkan pada sumber daya misalnya larangan untuk menangkap ikan, belut laut, cumi, kepiting, lobster, kerang teripang laut dan sebagainya. b. Sasi yang didasarkan pada wilayah atau lokasi yang ditetapkan misalnya

larangan yang diaplikasikan suatu wilayah laut misalnya tanjung, teluk maupun taka (nama lain dari terumbu karang di bagian dasar laut yang digunakan oleh masyarkat adat di Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Papua)19 c. Sasi yang didasarkan pada suatu kepercayaan yang sifatnya religius misalnya larangan yang diaplikasikan untuk memperingati arwah nenek moyang atau leluhur yang telah meninggal. Sasi ini dapat pula didasarkan pada pemimpin ritual misalnya Sasi gereja, Sasi mesjid atau Sasi negeri. d. Sasi yang didasarkan pada peringatan tertentu atau peristiwa khusus misalnya masa berkabung meninggalnya pemimpin adat atau kepala suku, maka dilaksanakan Sasi sebagai tanda berkabung dengan menutup Hak Ulayat Laut dalam jangka waktu tertentu sampai dengan dikukuhkannya pemimpin yang baru dan membuka Sasi untuk masyarkat hukum adat. 1) Prinsip Larangan.

Pengertian Sasi secara harafiah memiliki arti adalah larangan suatu benda atau barang yang disasi berarti benda tersebut dilarang diganggu (dirusak atau

diambil). Secara umum Sasi merupakan ketentuan hukum tentang larangan untuk memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh ondoafi. Kata Sasi juga

mengacu pada keseluruhan institusinya. Oleh sebab itulah dalam perkembangan


Catatan bahasa daerah hasil penelitian lapangan yang dilaksanakan pada tahun 2004 dan tahun 2012 di Teluk Yotefa, Engros, Tobati, Tablanusu dan Tablasupa di Papua.
19

masyarakat moderen sekarang ini penggunaan istilah tutup dan buka Sasi merupakan suatu istilah yang lebih mengacu pada sebuah upacara pelarangan dan penghentian pelarangan. Setelah upacara tutup Sasi dilaksanakan berarti sejak saat itu segala jenis hasil daratan maupun lautan yang disasi tidak boleh dirusak atau diambil. Setelah upacara buka Sasi dilaksanakan semua hasil daratan maupun lautan yang dilarang pemanfaatannya pada saat tutup Sasi diperbolehkan diambil (dipanen/dieksploitasi) untuk kebutuhan sehari-hari. Sasi dalam bahasa Tepra di Depapre maupun di Teluk Yotefa disebut Tiatiki yang berarti ditutup atau dilarang. Sasi atau Tiatiki dimaksudkan untuk memberikan ruang dan waktu pada sumber daya alam (daratan, pesisir pantai dan laut) untuk tumbuh dan berkembang dalam waktu tertentu atas dasar kesempatan bersama masyarakat adat, sehingga terjaga kelestariannya dan memperoleh hasil yang optimal pada Sasi atau Tiaitiki dibuka. 2) Prinsip Religiusitas. Ondoafi

Kewenangan melaksanakan Sasi ada di tangan penguasa desa atau

bersama warga masyarakat guna pengelolaan, perlindungan dan kelestarian sumber daya laut. Sasi ini juga dilakukan oleh warga masyarakat dalam batasbatas kepemilikan laut. Sasi dalam kapasitasnya sebagai sarana perlindungan dan kelestarian laut dilakukan berdasarkan kepercayaan dan pandangan masyarakat atas laut sebagai bagian dari hidup dan laut ada yang memiliki atau penunggu (mahluk supranatural) yang selalu menjaganya. Kepercayaan dan pandangan ini mengandung pengertian perlunya menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam dan segala isinya, sehingga tidak terjadi kerusakan terhadap lingkungan yang disebabkan oleh manusia yang nantinya dapat menimbulkan malapetaka atau kegoncangan alam sebagai akibat adanya ketidak seimbangan alam dan

segala isinya (equiliribium of the natural). Oleh karena itu Sasi dalam hukum adat setempat merupakan perangkat hukum adat yang mengatur perlindungan laut sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Beberapa alasan mengapa Sasi ini sangat penting untuk dilaksanakan di wilayah Hak Ulayat Laut di perairan Papua sebagai berikut : a) Sasi atau Tiaitiki dilaksanakan oleh masyarakat sebagai ungkapan rasa penghargaan atau penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia. Penghormatan ini untuk mengenang jasa baik dari orang yang telah meninggal dunia karena selama hidupnya telah banyak berbuat baik atau berbakti kepada masayarakat setempat. b) Sasi atau Tiaitiki dilaksanakan bila terjadi suatu musibah yang menimpa seseorang sehingga orang tersebut meninggal dunia, dengan demikian tempat terjadinya musibah tersebut disasikan. c) Sasi atau Tiaitiki dilaksanakan apabila ada pesta rakyat yang

diperuntukkan bagi masyarakat seperti pesta rakyat berupa upacara peringatan kematian ondoafi dan upacara penobatan Ondoafi baru. d) Sasi atau Tiaitiki dilaksanakan untuk pesta rakyat uang diperuntukkan antar keret, seperti pada persiapan sampai dengan pesta perkawinan. e) Sasi atau Tiaitiki dilaksanakan untuk memberi kesempatan agar biota laut dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik (regenerasi). 3) Prinsip Penanda Sasi dilaksanakan dengan menggunakan tanda larangan. Tanda larangan ini biasanya berupa batang pohon cemara yang ditancapkan di atas karang.

Pemberian tanda larangan Tiaitiki dilaksanakan oleh Ondoafi, You Yarise, Yaro, Touw Yarise bersama masyarakat adat. Kemudian diumumkan kepada semua

orang dan warga sekitar desa tentang pemberlakuan sasi melaui tanda larangan tersebut agar tidak mengambil hasil laut di sekitar perairan tersebut. Tanda Sasi biasanya didirikan di wilayah laut pemilikan keret atau wilayah alut bersama yang terdapat biota laut untuk berkembangbiaknya biota laut tersebut dan dapat dimanfaatkan oleh warga setempat. 4) Prinsip Buka dan Tutup Sasi. hasil keputusan

Sasi atau Tiatiki dilaksanakan dan dibuka berdasarkan

musyawarah bersama masyarakat adat. Setelah Sasi dibuka jenis biota laut yang boleh diambil yaitu sesuai ukuran yang dapat dimanfaatkan seperti Teripang berukuran 3 jari atau lebih, udang lobster dengan ukuran sepanjang 15 cm, kerang/siput/bia dengan ukuran yang lazim untuk dikonsumsi. 5) Bentuk Sasi Di wilayah Papua Sasi yang diterapkan meliputi dua bentuk wilayah yaitu Sasi darat dan Sasi laut : a. Sasi Darat. Sasi yang dilakukan di daratan terutama terhadap sumber daya alam yang berada di daratan seperti di dusun kelapa, dusun pinang, dusun sagu dan lain sebagainya. Kegiatan Sasi terhadap suatu wilayah dan jenis tanaman tertentu harus diberi tanda larangan berupa pancangan pohon dan ranting kayu, daun sagu muda atau daun kelapa muda. Jika lokasi dan tanaman tertentu yang di-Sasi milik perorangan maka pemberian tanda larangan dilakukan sendiri oleh pemiliknya. Sedangkan pemberian tanda larangan Sasi di lokasi dan tanaman tertentu di wilayah dusun dilakukan oleh Ondoafi, You yarise, Yaro dan Touw yarise melalui musyawarah dan upacara adat. Pelaksanaan kegiatan Sasi masyarakat hukum adat maupun pihak luar. tersebut diberitahukan kepada

b.

Sasi laut adalah Sasi yang dilakukan terhadap sumber daya laut dan pesisir. Masyarakat adat di Distrik Depapre dan Abepura membagi jenis Sasi laut menjadi dua bagian, yaitu Sasi laut secara umum dan Sasi laut secara khusus. Beberapa larangan yang berkaitan dengan perlindungan dan

pengelolaan/pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut, yaitu di dalam zona/wilayah adat pesisir dan laut dilarang melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a) b) c) Membuang jangkar. Menancap kayu. Menangkap ikan atau udang lobster dengan bahan peledak, potasium dan linggis atau sejenisnya. d) e) Menangkap ikan atau mengambil jenis-jenis biota laut. Mencukil, mengambil, mengumpul batu karang dengan menggunakan besi/linggis, kayu keras atau alat keras lainnya yang dapat merusak terumbu karang. f) g) Membuang jaring pukat harimau di atas terumbu karang Membalik batu karang saat mencari ikan tanpa mengembalikanya pada posisi semula. h) i) Menangkap dan mengambil telur penyu. Menangkap ikan dengan bahan peledak, racun potasium, akar tuba dan zat-zat kimia lainnya yang mengandung racun. j) k) 4. Menangkap ikan hias dan mengambil akar bahar. Melakukan kegiatan lain yang dapat merusak lingkungan laut.

Prinsip Penerapan Sanksi

Selain larangan di atas terdapat pula sanksi bagi orang yang melanggar. Sanksi ini ditentukan sesuai kesepakatan Dewan Adat setempat yang dibuat secara tertulis dan telah disesuaikan dengan perkembangan zaman demi menjaga kelestarian laut dan segala isinya. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran dalam wilayah hak ulayat laut menggunakan asas sanksi hukum maksimal (paling

banyak) dan tidak diatur sanksi minimalnya. Penerapan sanksi oleh norma adat inipun telah menggunakan kopensasi berupa denda adat yang kemudian diganti (disesuaikan) dengan menggunakan sistem pembayaran uang (rupiah). Penerapan sanksi dalam bentuk denda uang ini dimaksudkan untuk mempermudah pelaksanaan penegakkan norma Hak Ulayat Laut bagi si pelanggar. Penerapan sanksi denda dalam bentuk uang harus terlebih dahulu disepakati oleh dewan adat setempat apabila terdapat perbedaan pendapat penerapan sanksi kepada pelanggar, maka akan diadakan musyawarah adat yang dipimpin oleh para ondoafi dalam wilayah dewan adat setempat. Hingga 30 tahun belakangan ini, penerapan sanksi adat yang paling berat berupa sanksi pengusiran dari desa pun sudah tidak lagi diterapkan. Hal ini menurut Marten Ireew Ondoafi Tobati dan Ondoafi Tablanusu Bapak Petrus dilakukan guna memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri bagi pelaku pelanggaran dan rasa kemanusiaan dalam suku laut itu sendiri. Adapaun sanksi tersebut yang menyangkut setiap orang yang termasuk komunitasnya maupun pihak dari luar akan dikenakan sanksi adat berupa membayar denda uang dengan besaran yang bervariasi yang diukur dari berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. Penjatuhan sanksi denda tidak hanya dimaksudkan untuk penjeraan, namun lebih didasarkan pada fungsi kontrol terhadap tegaknya norma-norma adat. Norma adat Hak Ulayat Laut yang tercela

itu harus segera dipulihkan dengan cara membayar denda kepada masyarakat hukum adat melalui mekanisme kelembagaan adat. Beberapa sanksi adat yang semula diwujudkan dalam bentuk membayar manik-manik, bayar babi atau binatang lainnya, pesta adat dan lain sebagainya, kini telah banyak berubah dan diganti (dikonfersi) dengan bentuk membayar denda dengan uang. Dengan konfersi denda berupa uang yang memiliki besaran jumlah yang berbeda-beda sesuai berat ringannya pelanggaran adat yang dilakukan sebagai berikut: a) Menangkap ikan dengan jaring pukat harimau dikenakan sanksi denda sebanyak-banyaknya Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan jaringnya dirampas/dimusnahkan). b) Menangkap ikan dengan bahan peledak (bom) dikenakan sanski denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) c) Menangkap ikan dengan racun kimia dikenakan sanksi adat dan ditambah denda sebanyak-banyaknya Rp. 500.000,- (limaratus ribu rupiah). d) Melanggar larangan Tiatiki laut yang dilindungi, dikenakan sanksi adat dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 500.000,e) Mengambil ikan atau jenis biota laut yang dilindungi, dikenakan sanksi adat dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). f) Mencungkil, mangambil dan mengumpulkan batu karang atau terumbu karang dengan linggis, besi atau kayu keras akan dikenakan sanksi adat dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

g)

Membalik batu tanpa mengembalikannya ke posisi semula di beri peringatan.

h)

Membuang kotoran, kaleng, botol, plastik, sisa minyak, oli mesin, sabut dan batang kelapa ke pantai / laut, akan dikenakan sanksi denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)

i)

Membuang jangkar dan belo pada daerah yang dilindungi akan dikenakan denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah)

j)

Menangkap dan atau mengambil ikan hias akan dikenakan sanksi denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) per ekor.

k)

Mengambil akar bahar akan dikenakan sanksi denda sebanyakbanyaknya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah)

Adanya ketentuan larangan-larangan secara adat seperti ini, maka hal ini sekaligus menunjukan bahwa eksistensi penegakan hukum adat itu benar-benar dilaksanakan oleh segenap warga masyarakat pesisir di Distrik Depapre dan Distrik Abepura. Selain itu keberadaan hukum adat itu sendiri menunjukkan bahwa hukum yang hidup (living law), di mana hukum adat itu selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kehidupan masyarakat hukum adat itu sendiri. Perkembangan dan persesuaian ini juga diselaraskan dengan sifat hukum adat itu sendiri, yaitu mampu beradaptasi dan bersifat terbuka serta sederhana namun memberi arti penting akan perlindungan terhadap lingkungan sumber daya laut. Perlu dicermati di sini bahwa praktek pengelolaan sumber daya perikanan berdasarkan Hak Ulayat Laut ini tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku secara nasional. Bahkan dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan

hidup, maka hal ini merupakan implementasi secara nyata terhadap perilaku serta upaya perlindungan terhadap ekosistem dan biota laut secara terpadu dalam bahasa atau norma adat setempat. Pembahasan tentang sasi ini terdapat Kasus20 yang terjadi pada tahun 2002 yaitu pembakaran bagan milik nelayan asal Makasar yang melakukan penangkapan ikan di teluk Yotefa. Awalnya nelayan Makasar meminta izin kepada Ondoafi Engros untuk menangkap ikan dengan bagan dengan syarat mematuhi norma adat Hak Ulayat Laut dan perjanjian dengan bagi hasil. Namun nelayan Makasar tidak mematuhi persyaratan dengan menangkap ikan setiap hari dan tidak membagi hasil kepada masyarakat adat dan tidak mengindahkan Sasi yang ditetapkan oleh lembaga adat. Nelayan Makasar telah diperingatkan untuk mematuhi perjanjian dan norma adat yang berlaku namun juga tetap tidak diindahkan. Terjadi perkelahian di antara mereka dan dilaporkan kepada Polres Jayapura namun tidak ada penyelesaian. Bagan kemudian diusir dari teluk Yotefa. Perkara ini sempat ditangani oleh Polres Kota Jayapura, namun atas permintaan Ondoafi Engros hal tersebut diselesaikan melalui peradilan adat yang dihadiri oleh tetua adat dan kedua belah yang bertikai.

1.7. Prinsip Religiusitas dalam Hak Ulayat Laut Beberapa negara yang memiliki wilayah laut, dapat diketahui tentang persepsi atau pandangan terhadap lingkungan sebagai tempat di mana mereka berada atau hidup. Pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan pola matapencaharian dan menggantungkan hidup dalam adaptasi dengan lingkungan. Sikap ini didasarkan pada kenyataan yang saling ketergantungan satu sama lain sebagai rantai ekosisitem antara manusia dan alam.
Wawancara dengan Ondoafi Engros bapak Martin Irew tahun 2005 di Desa Egros Distrik Jayapura Selatan - Papua.
20

Dari hasil penelitian, menunjukan, bahwa beberapa masyarakat adat yang tinggal di wilayah pesisir khususnya Indonesia Timur di Papua seperti di Distrik Depapre di Desa Tablanusu dan Tablasupa dan Distrik Abepura di Desa Engros dan Tobati dalam kehidupan sehari-harinya selain bermatapencaharian mencari ikan juga memiliki hubungan budaya serta religius terhadap keberadaan laut. dalam pandangan adat budaya masyarakat di daerah ini, maka laut adalah sebagai salah satu sumber daya alam (bahasa Tablanusu : namengkong) yang diartikan sebagai air susu ibu dan memberi kebutuhan hidup mereka. Pandangan norma adat seperti ini juga disampaikan oleh Kepala Suku Engros (Ondoafi) Bapak Martin Derew bahwa kebiasaan dan keyakinan masyarakat akan makna sumber daya laut tersebut dilindungi dan dikelola secara hati-hati dan jika tidak, maka hal tersebut berarti sama dengan berbuat dusta dan berzina terhadap ibu kandungnya sendiri. Pandangan masyarakat adat ini didasarkan pada kebiasaan yang dituturkan secara lisan oleh leluhur mereka melalui proses inisiasi sosial kepada generasi pendukungnya (komunitasnya). Pandangan adat tersebut memberikan dampak secara psikologis dan hukum adat. Pandangan masyarakat adat

terhadap laut mengandung pengertian bahwa laut beserta isinya merupakan sumber yang memberi penghidupan bagi masyarakat setempat atau sebagai sumber pencaharian hidup dari leluhur/nenek moyang secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang oleh karena itu laut dan sumber daya yang ada di dalamnya harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Pandangan masyarakat adat pesisir terhadap laut dan sumber daya laut tidak dapat dilepaskan dari salah satu corak hukum adat yaitu corak religius magis seperti disampaikan oleh Busran Muhammad21 di mana manusia/masyarakat pada dasarnya berpikir serta merasa dan bertindak yang didorong oleh kepercayaan (religi) pada kekuatan gaib (magis) yang

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan ketiga belas, 2006, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 47

21

mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh-tumbuhan besar dan kecil, benda-denda dan semua kekuatan tersebut membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan. Sebagai corak religius magis, maka masyarakat adat pesisir memandang laut sebagai tempat upacara adat atau ritual karena laut dipercaya ada yang memiliki dan dijaga (ada penunggunya) yang berdiam di dasar laut atau ujung tanjung sebagai penjaga pintu masuknya ikan-ikan yang ada di laut. pentingnya menjaga dan memelihara laut untuk menghindarkan diri dari perilaku masyarakat di luar adat yang mengganggu atau berbuat salah terhadap laut atau penjaga (penunggu) laut, maka penjaga laut akan menutup pintu masuknya ikan di wilayah tersebut. kepercayaan adat ini berkaitan dengan sistem Sasi (masyarakat Engros menyebutnya dengan istilah Tiatiki) dalam hukum adat laut setempat. Corak religius magis pada kehidupan masyarakat adat di pesisir Papua tertanam dalam diri mereka dan selalu berupaya untuk menjaga keseimbangan/relasi di antara sesama dengan lingkungan alam seperti laut sebagai sumber kehidupan dan apabila terganggu harus dipulihkan kembali seperti sedia kala. Untuk memulihkan kembali sumber daya alam yang rusak dilakukan upacara-upacara ritual, pantangan atau tabu karena laut dipandang sebagai titipan dari Yang Maha Kuasa untuk menjadi tempat mencari nafkah dan tempat hidup. Wujud lain dari pandangan masyarakat terhadap laut semakin berarti dan penting bukan hanya sebagai lahan pencaharian hidup dan tempat yang memiliki nilai religius magis, akan tetapi juga sebagai sarana transportasi/lalu lintas laut di antara masyarakat adat yang mendiami wilayah pesisir pantai tersebut. Misalnya di Teluk Waiya dan Teluk Intiyebo sampai dengan tanjung Tanah Merah digunakan sebagai sarana transportasi antar desa. Melalui sarana transportasi laut dapat menjalin hubungan sosial, persahabatan untuk kepentingan perdagangan dengan cara barter dan sebagainya.

1.8. Prinsip Kewenangan Pengelolaan Hak Ulayat Laut Dilaksanakan Melalui Lembaga Adat. Penguasaan suatu perairan oleh masyarakat adat telah dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat adat di pesisir Papua dilaksanakan melalui kelembagaan adat yang diwujudkan dalam kepemimpinan kepala adat.22 Di wilayah Distrik Depapre dan Abepura di mana wilayah tersebut terdapat masyarakat suku besar seperti Tablanusu, Tablasupa, Engros dan Tobati yang memiliki norma hak menguasai atas suatu wilayah laut beserta sumber dayanya sebagai Hak Ulayat Laut. penguasaan atas wilayah laut secara komunal yang berada di tangan pemimpin tertinggi adat yaitu Ondoafi yang diakui oleh segenap warga atau masyarakatnya. Penguasaan atas wilayah laut oleh Ondoafi tidak berarti bahwa milik dari clan atau keret menjadi milik Ondoafi secara individu. Penguasaan wilayah laut oleh Ondoafi memiliki pengertian sebagai pemimpin adat tertinggi atau kepala komunitas/persekutuan hukum adat setempat, maka ia memiliki kewenangan berdasarkan norma adat setempat untuk mengatur atau mengurus hal-hal yang berkaitan dengan laut, sehingga segala perbuatan dan kegiatan yang berkaitan dengan laut harus sepengetahuan atau seizin ondoafi sebagai kepala masyarakat hukum adat. Norma adat yang mengatur tentang kepemilikan wilayah laut oleh Ondoafi juga diturunkan kepada clan atau keret-keret terdahulu, seperti di Tablasupa, bahwa wilayah laut yang berada di Tanjung Dince sampai dengan tanjung Tanah Merah menjadi penguasaan Keret Sorontouw. Begitu pula dengan masyarakat adat di Desa Engros dan Tobati memiliki Hak Ulayat Laut di wilayah pesisir pantai di teluk Yotefa. Oleh karena itu setiap kegiatan yang dilakukan di wilayah perairan lait ini harus mendapat izin (dengan cara penglepasan adat terhadap sumber daya laut yang ada) secara adat dari Ondoafi dan keret setempat sebagai penguasa laut bila hal ini tidak diindahkan, maka dianggap sebagai perbuatan yang

22

Ibid.

melanggar hukum adat atau perbuatan gelap yang dapat dikenakan sanksi berupa denda atau perbuatan gelap yang dapat dikenakan sanksi berupa denda atau ganti rugi bahkan hukuman secara fisik berupa pengusiran dari desa. Izin sebagaimana yang disebutkan di atas dalam hukum adat merupakan salah satu bentuk dari hak ulayat (terhadap tanah, hutan, air dan laut), dalam hukum adat hak ulayat memiliki daya yang berlaku secara eksternal dan internal. Izin pemanfaatan wilayah laut tersebut di atas merupakan daya yang berlaku secara eksternal, di mana masyarakat yang bukan termasuk warga komunitas adat setempat yang pada prinsipnya tidak diperbolehkan untuk menggarap wilayah komunitas adat berupa tanah, air dan laut kecuali dengan izin dari pemimpin adat. 1.9. Prinsip Batas Wilayah dan Pembagian Laut Hak Ulayat Laut dengan Tanda Alam. Pengertian batas laut hak ulayat tidak dapat disejajarkan dengan pengertian batas laut dalam sistem pemetaan yang dilakukan oleh Badan Oceanografi di Indonesia (Dishidros TNI AL) atau badan-badan lain karena batas Hak Ulayat Laut (HUL) ini memiliki ukuran dan satuan menurut norma adat dan tanda alam. Perbedaan ini sulit untuk diterima alam pikiran moderen bila ketika kita tidak memahami aspek religiusitas budaya suku laut seperti di Sulawesi Utara, Maluku Utara dan Papua. Namun demikian hal ini bukan penghalang untuk mentransformasi makna dan pengertian dalam ukuran serta satuan yang digunakan dalam sistem pemetaan laut. Norma HUL tersebut sekaligus menjadi ukuran dan faktanya mereka menggunakan ini secara turun-temurun dengan satu pola penguasaan dalam pengelolaan lingkungan laut yang berkelanjutan. Ukuran yang menggunakan aspek budaya ini sering diberi makna yang irasional karena satuan ukurannya tidak umum. Justru di sinilah kita dituntut untuk mengerti

bagaimana sebenarnya pola pikir yang digunakan oleh masyarakat adat dari suku-suku laut di Papua dalam mempetakan laut wilayah HUL-nya agar penguasaan terhadap laut sebagai hak ulayat oleh masyarakat adat di pesisir Papua dapat diketahui batas laut wilayah hak ulayatnya dengan berbagai macam bentuk. Batas-batas wilayah laut in menjadi penting guna menentukan wilayah ulayat yang mereka kuasai, sehingga hal ini tidak akan menimbulkan konflik internal maupun eksternal. Masyarakat adat yang tinggal di pesisir Depapre menentukan batas-batas laut yang terbentang di antara beberapa kampung maupun keret-keret dengan menggunakan tanda-tanda alam seperti; daerah karang (reef), ujung tanjung, teluk, pulau dan kedalaman tertentu secara tradisional. Penentuan batas-batas alam terhadap wilayah laut ini menentukan hak kepemilikan dari keret-keret tertentu. Dari pengamatan di lapangan menunjukkan setelah diadakan pengukuran bersama masyarakat hukum adat di Engros dan Tablanusu dengan tanda-tanda alam yang kemudian ditransfer melalui alat ukur Global Position Sistem (GPS) lebar HUL di kedua desa tersebut berbeda-beda. Rata-rata lebar wilayah Hak Ulayat Laut tidak lebih dari 4 mil laut sesuai kemampuan masyarakat menjangkau dan mengelolanya Di Tablasupa, batas laut antar kampung maupun keret dibatasi mulai dari Tanjung Arlaimo (sebelah Utara kampung Tablasupa) sampai dengan Tanjung Dukusu yang menjadi penguasaan keret Nusaseray. Dari Tanjung Dukusu sampai dengan Tanjung Dince dikuasai oleh keret Seibo. Dari Tanjung Dince sampai dengan Tanjung Tanah Merah menjadi

penguasaan keret sorontouw dan Esue. Di sebelah Selatan mulai dari tanjung perkampungan sampai dengan Tanjung Nenatemo dan Tanjung Kitikiyemo dikuasai oleh keret Okoseray. Dari Tanjung Kotikiyemo sampai Tanjung Kitikiyepa menjadi milik keret Somisu. Dari tanjung Kitikeyepa sampai Bumatu menjadi milik keret Demena. Dari Bumatu sampai Korimpong menjadi milik beberapa keret yaitu; Somisu, Apaseray, Sorontouw, Kawitouw dan Demena.

Begitu pula dengan batas-batas yang dimiliki oleh keret Engros adalah bagian Utara teluk Yotefa yang dibatasi dengan daratan yang muncul karena pasang surut, sedangkan di bagian Barat sepanjang pantai yang berhadapan dengan Teluk Yos Sudarso hingga Tanjung Ermei. Batas wilayah laut ulayat keret Tobati adalah sepanjang pantai berbatasan dengan Keret Dawir yang berupa hutan mangrove. Sedangkan di bagian Barat langsung berbatasan dengan pantai Hamadi yang menjadi milik Keret Hamadi. Adapun penyebaran masyarakat yang tinggal di Desa Tablasupa pada mulanya tinggal secara berpencar, ada yang tinggal di pesisir pantai Amay di ujung Tanjung tanah Merah (tempat pendaratan tentara Amerika Tahun 1946 Perang Dunia II), di sekitar Tanjung Kitikiyemo, di tanjung Harlen yaitu sepanjang tanjung Tanah Merah sampai di Pantai Amay. Dalam perkembangannya mereka menyatu di Desa Tablasupa. Dengan demikian meskipun sekarang masyarakat yang bermukim di Tablasupa, tetapi dalam aktifitasnya juga melaut atau sebagai nelayan, berburu di hutan, meramu, berkebun yang masih tetap dilakukan oleh masing-masing keret di daerah atau tempat tinggalnya dahulu dan sekarang. Oleh karena itu setiap keret tetap mengklaim tanah bekas tempat tinggal mereka dan wilayah mencari ikan, berkebun, meramu dan berburu merupakan milik mereka hingga sekarang dengan prinsipprinsip sebagai berikut23: 1) Batas Hak Ulayat Laut ditentukan secara okupasi dan disetujui oleh komunitas adat lain secara musyawarah. 2) Batas Hak Ulayat Laut menggunakan tanda-tanda alam (tanjung, karang, hutan bakau, teluk dan tanda alam lainnya). 3) Batas Hak Ulayat Laut ditentukan sesuai fungsinya (laut yang terikat adat, laut bersama dan laut lepas)

23

Lihat Lampiran II Zona Hak Ulayat Laut

Dari hasil penelitian dan keterangan Petrus (Ondoafi Tablanusu) diketahui prinsip pembagian wilayah laut yang tidak dapat dipisahkan dari sisi daratan sebagai berikut24 : 1) 2) 3) Borutu/Yape, yaitu pantai yang berbatu dan berpasir. Akuta, yaitu batas terumbu karang. Sekare, yaitu laut dikuasai. Wilayah ini meliputi reef yang berada di dekat pantai. Masyarakat lain (keret lain) juga orang luar untuk menangkap ikan atau melakukan aktivitas lain kecuali keret yang memiliki reef tersebut. 4) Naukutu/Naumuso, yaitu wilayah laut bersama. Wilayah laut ini pada dasarnya merupakan penguasaan bersama (penguasaan desa atau kampung) dan dapat dimanfaatkan secara bersama-sama (berupa hak komunal). 5) Betanau/Naukura, yaitu wilayah laut bebas. Wilayah laut ini disebut masyarakat sebagai laut perairan bebas bagi kapal-kapal yang hendak melintas. Wilayah laut ini ada di luar teluk Tanah Merah (Waiya Dukru) dan Teluk Yotefa. 6) Dimsim Dindin Nau, yaitu di luar laut bebas/laut lepas.

Pada pembagian laut ini terdapat pula laut tertutup untuk kaum lelaki. Laut ini biasanya memiliki dasar sedimen lumpur yang banyak didiami oleh kerang laut atau sering disebut Bia. Laut tertutup bagi kaum laki-laki karena para ibu-ibu dan gadis-gadis desa pesisir melakukan pencarian Bia dengan cara tidak menggunakan pakaian. Para Ibu-ibu dan gadis yang mencari Bia tersebut hanya berbekal keranjang dan tongkat untuk mengorek kerang dari lumpur. Kerang-kerang itu banyak hidup di daerah hutan mangrove dan sekitarnya. Oleh karena itu kaum lelaki dilarang mendekati dan memasuki wilayah tertutup ini bila kaum perempuan sedang mencari Bia. Sanksi yang dikenakan oleh lelaki yang memasuki wilayah ini mulai dari pengusiran dari desa hingga memberikan persembahan potong babi dan

24

Lihat Lampiran II Zona Hak Ulayat Laut

dimakan bersama untuk seluruh warga desa sebagai ganti norma yang dilanggar. Norma adat di wilayah tertutup ini bersifat pamali (kesusilaan) atau tabu dan pantangan untuk dilanggar dan bila ada pelanggaran, maka harus diluruskan kembali dengan penegakan hukum adat. Sebagai bahan penunjang adanya permasalahan (case approach) Hak Ulayat Laut berkaitan dengan batas wilayah pernah terjadi beberapa peristiwa sebagai berikut: (1) Kasus 125 terjadi pada tahun 1966-1967 telah terjadi kemarahan masyarakat adat Mandori di Biak Numfor yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan perusahaan Perikanan Fa. Mutiara Masyarakat Tradisional Coy, yang menggunakan bahan kimia sianida, sehingga merusak terumbu karang dan ikan-ikan kecil lainnya. Masyarakat adat telah mengadukan peristiwa tersebut dengan membawa bukti sianida yang digunakan oleh Fa. Mutiara Masyarakat Tradisional Coy kepada aparat keamanan dan Pemda Biak Numfor namun hingga sekarang belum ada penyelesaian secara tuntas. (2) Kasus 226 terjadi pada tahun 1989 di Teluk Yotefa dengan beroperasinya 14 unit bagan ikan dari nelayan Bitung yang memasuki di Wilayah Hak Ulayat Laut Engros, Tobati dan Nafri tanpa izin Ondoafi setempat, sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat adat setempat karena berdampak pada menyempitnya wilayah tangkap masyarakat nelayan tradisional setempat. Perkara tersebut hingga kini tidak terselesaikan dengan baik oleh aparat keamanan maupun Pemda Kota Jayapura. (3) Kasus 3 terjadi pada tahun 1994, di beberapa desa Tablanusu telah terjadi pelanggaran Sasi yang dilakukan oleh para pemuda Kendete bersama para mahasiswa dari UNCEN. Konflik tersebut berawal dari kegiatan perpisahan yang diselenggarakan pada malam hari dengan cara menangkap ikan untuk dibakar di wilayah laut yang sedang di Sasi.
Sandra Kartika dan Candra Gautama (Penyunting), Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara, Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara, Panitia Bersama dan Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 1999, Jakarta, h.223-224. 26 Ibid, h. 224
25

Kegiatan tersebut diketahui pemuda Tablanusu karena wilayah tersebut masih di Sasi, maka dilaporkan kepada Kepala Desa Tablanusu dan ditindaklanjuti dengan memberitahukan kepada Kepala Desa Kendete. Namun tidak ada tanggapan positif dari kepala Desa Kendete dengan mengatakan agar diselesaikan sendiri. Dari tanggapan ini kemudian pemuda Desa Tablanusu menangkap pemuda Desa Kendete dan mahasiswa yang sedang membakar ikan tangkapan mereka, sehingga menimbulkan perkelahian. Pada keesokan harinya pemuda Desa Kendete melakukan pembalasan dengan merusak sejumlah tanaman di kebun-kebun milik masyarakat adat Tablanusu dan dilaporkan kepada pihak Kepolisian. Pemuda Desa Kendete yang ditangkap kemudian dibebaskan kembali oleh Polisi. Dengan dibebaskannya pemuda Desa Kendete tersebut terjadilah perkelahian kembali dengan pemuda Desa Tablanusu. Dari kejadian ini dua puluh orang pemuda Desa Tablanusu ditangkap Polisi, namun berhasil meloloskan diri dengan perahu menuju Dok IX. Hingga saat ini konflik tersebut belum diselesaikan secara tuntas baik melalui kelembagaan adat maupun secara hukum nasional. (4) Kasus yang terjadi pada tahun 2005 telah terjadi penyegelan paksa rumah dinas milik TNI AL yang berada di Kampung Tri Kora Jl. KRI Macan Tutul No. 7 Jayapura. Dalam kasus tersebut diketahui bahwa Bapak Hans Makanuai dan Maria Makanuai mengklaim rumah yang didirikan oleh TNI AL adalah milik adat dengan batas adat dari Dok XI atas sampai dengan Teluk Yos Sudarso, sehingga dengan keluarga besarnya yakni keret Makanuai Suku Kayu Pulau (suku laut di Jayapura) menyegel rumah untuk dimiliki secara paksa. Setelah diadakan perundingan damai dengan keret Kayu Pulau dengan menunjukkan bukti pelepasan adat dan sertifikat Hak Pengelolaan oleh TNI AL namun tetap minta diproses di pengadilan dengan terdakwa Albert Rumere atas pelanggaran Pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan). Setelah melalui proses

penyidikan dan pemeriksaan oleh Polres Jayapura melalui Surat Panggilan No. Pol: SP/349/III/2005/Reskrim tanggal 4 April 2005 dan Kejaksaan Negeri Jayapura melalui Surat Panggilan Saksi Nomor: B-439/T.1.10/Ep.2/06/2005 tanggal 17 Juni 2005.

Kasus tersebut diselesaikan dengan cara damai di hadapan menurut cara-cara adat, maka hakim mengambil putusan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat Kayu Pulau telah mengakui perbuatannya adalah salah dan tidak akan mengulanginya lagi. Selanjutnya diadakan pertemuan informal antara masyarakat hukum adat suku Kayu Pulau dan Lantamal X untuk lebih mengakrabkan kembali dan menjalin hubungan sosial serta kekeluargaan. Kasus ini telah diselesaikan dengan baik dan tuntas dan tidak ada lagi permasalahan muncul yang berkaitan dengan hak-hak adat suku Kayu Pulau dan TNI AL.

2.

Prinsip Subjek dan Objek Hak Ulayat Laut Dalam penelitian di bidang ilmu hukum yang didasarkan pada peneliti normatif, maka

peneliti tidak dapat menghidarkan diri dari penelitian lapangan dengan melakukan pengamatan maupun wawancara untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan untuk mengungkapkan subjek dan objek dari Hak Ulayat Laut. Bahan hukum yang dimaksud di sini adalah norma apa yang terkandung di dalam peristiwa di lapangan berkaitan dengan dinamika kehidupan Hak Ulayat Laut. Penelitian lapangan tersebut dilaksanakan di beberapa daerah di wilayah Indonesia timur khususunya di Papua. Hak Ulayat dikenal juga dengan istilah kearifan lokal sebagai bentuk suatu kewenangan secara tradisional yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu yang meliputi lingkungan hidup, masyarakat untuk mengelola dan memetik hasil sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Subjek Hak Ulayat Laut adalah masyarakat hukum adat, baik yang didasarkan pada persekutuan hukum atas tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan

(genealogis) yang dikenal dengan berbagai istilah yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dusun, nagari dan sebagainya. Masyarakat di luar persekutuan dapat menjadi subjek atas izin yang diberikan oleh kepala adat. Subjektifitas atas diri seorang dalam Hak Ulayat Laut disebut juga sebagai Ketua atau Tetua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari seluruh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukan subjek Hak Ulayat Laut, melainkan diposisikan sebagai petugas dalam masyarakat hukum adatnya untuk melaksanakan kewenangan yang berkaitan dengan Hak Ulayat Laut. Objek Hak Ulayat Laut berupa laut dan sumber daya hayati berupa terumbu karang, ikan, binatang laut, tumbuh-tumbuhan baik yang ada di dalam air maupun dipermukaan dan pesisir. Sedangkan sumber daya non hayati yang ada di dalamnya meliputi tanah, barangbarang tambang, mineral yang berada di permukaan dasar laut maupun di dalamnya.

3.

Prinsip Berlakunya Hak Ulayat Laut Dalam pandangan yang dikemukakan Domikus Rato,27 bahwa berlakunya hukum

adalah kemampuan hukum itu sendiri untuk memaksa orang agar mentaatinya (Bahasa Jerman: geltung). Selanjutnya ia mengemukakan teori kehendak yang mengatakan bahwa seseorang itu tunduk pada hukum karena orang itu berkehendak secara sadar tunduk dan taat pada hukum itu. Dalam praktiknya Hak Ulayat Laut memiliki kekuatan berlaku ke dalam dan keluar. Berlaku ke dalam bagi anggota persekutuan adat dan ke luar berlaku bagi masyarakat yang bukan anggota persekutuan. Beberapa prinsip berlakunya Hak Ulayat Laut sebagai berikut:

27

Dominikus Rato, Op, Cit, h, 64

1)

Prinsip Pendudukan (Okupasi) Dalam uraian latar belakang pada bagian sebelumnya telah dijelaskan prinsip-

prinsip kewenangan mengelola sumber daya alam oleh masyarakat adat diperoleh dengan sendirinya secara turun-temurun dari satu keluarga besar atau komunitasnya dan tidak terlepas dari wilayah baik tanah, hutan, sungai, laut termasuk sumber daya alam di dalamnya yang kekuasaanya diperoleh dengan cara pendudukan (ocupation) atau melalui suatu perjuangan dan atau suatu perjanjian yang berkaitan dengan batas wilayah, hak dan kewenangan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya dengan masyarakat hukum adat lainnya. Berlakunya suatu hukum itu berasal dapat dianalisa melalui beberapa teori hukum yang berkembang di Eropa khususnya di Jerman kemudian dikenal dengan geltung dan di Belanda dikenal gelding28. Kedua istilah tersebut dapat diterjemahkan sebagai kekuatan berlakunya hukum tersebut memiliki kemampuan untuk memaksa orang untuk mentaati norma yang terkandung di dalam hukum itu sendiri. Berlakunya hukum tersebut dapat dianalisa melalui teori kehendak29 di mana seseorang akan tunduk pada hukum karena orang itu berkehendak secara sadar untuk mentaati norma-norma yang ada dalam hukum tersebut. Namun kekuatan hukum dapat pula dipaksakan untuk mentaati hukum yang telah ditetapkan bersama. Dalam kehidupan masyarakat hukum adat suku laut untuk menegakkan hukum adat, maka persekutuan masyarakat hukum adat dalam melaksanakan Hak Ulayat Laut di wilayahnya tersebut harus dipaksa agar tunduk dan taat pada norma yang berlaku. Hukum adat memiliki kekuasaan kepada lembaga adat dengan memberikan sanksi hukum kepada pelanggar dan ini juga bersifat memaksa. Sanksi diberikan bukan semata-mata agar pelaku merasa jera, namun lebih diberi makna bahwa norma hukum
28 29

Ibid, Op.Cit, h. 63 Ibid.

adat itu ditegakkan sebagai bentuk eksistensi komunitas adat yang diwakili melalui keputusan kepala suku dan penghormatan terhadap hukum adat itu sendiri. Dalam kaitannya dengan Hak Ulayat Laut berlakunya sebagai hukum adat, dapat dirujuk melalui pendapat yang dikemukakan oleh Dominikus bahwa kekuatan tersebut meliputi kekuatan sosiologis, yuridis, dan filosofis.30 Dalam penelitian menunjukkan bahwa Hak Ulayat Laut yang berlaku dalam masyarakat hukum adat suku laut khususnya di Papua menunjukkan adanya kekuatan yang dimiliki oleh persekutuan itu sendiri dari aspek kepatuhan, sosiologis, yuridis dan filosofis sebagai berikut:

1)

Prinsip Kepatuhan.

Kepatuhan masyarakat terhadap hukum adat tersebut disebabkan oleh faktor-faktor31 antara lain; a) Kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan oleh karena eksistensi dan kewibawaan pemimpin-pemimpin masyarakat yang memerintahkannya secara tegas. Kepatuhan masyarakat hukum adat dalam melaksanakan Hak Ulayat Laut tersebut disebabkan oleh teladan yang ditunjukan pemimpin adat yang tegas dan berwibawa. Kewibawaan pemimpin adat dalam memimpin persekutuan adat dalam menjaga eksistensi lingkungan mereka terhadap persekutuan adat lainya, sehingga mampu menjaga sumber daya laut khususnya perikanan sebagai jaminan sumber kehidupan bagi masyarakatnya. b) Kepatuhan pada hukum adat disebabkan oleh lingkungan sosial yang menghendakinya agar kehidupan di lingkungannya tetap terjaga dengan

30 31

Dominikus Rato, Op. Cit, h. 64 Soeryo Soekanto, 1981, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. h. 339

baik. Norma Hak Ulayat Laut yang dilakukan secara turun-temurun tersebut kemudian menjadi kebiasaan hidup persekutuan adat. c) Kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan oleh karena masyarakat menganggapnya sebagai suatu nilai yang menjadi hak dan kewajibannya itu dirasa sebanding atau adil. Praktik Hal Ulayat Laut yang diterapkan oleh persekutuan masyarakat hukum adat dalam menjalankan kewajibannya menjaga dan melestarikan sumber daya laut khususnya perikanan merupakan konsekuensi logis untuk menerima haknya untuk mengambil hasil atau memanennya sebagai sumber kehidupan. 2) Prinsip Kekuatan Sosiologis. Dalam pandangan yang berbeda Ter Haar dan Cornelis Van Vollenhoven memberikan makna yang berbeda berkaitan dengan berlakunya hukum adat itu sendiri. Dalam kesimpulannya, Ter Haar memberikan batasan pengertian, bahwa berlakunya hukum adat dapat diketahui melalui alat ukur yakni penetapan-penetapan atau keputusan-keputusan petugas hukum, misalnya oleh kepala suku adat, hakim, rapat adat, perangkat desa, dan sebagainya yang dinyatakan dalam suatu perkara. Dari pandangan Ter Haar seperti di atas dikenal dengan teori keputusan atau ajaran tentang keputusan (Besslissingenleer).32 Sedangkan Van Vollenhoven memberikan pengertian berlakunya hukum adat itu bersumber dari kesadaran hukum masyarakat itu sendiri yang di dalamnya terkandung unsur psikologis dan unsur kenyataan. Untuk memaksakan hukum agar ditaati oleh komunitas masyarakatnya yang dilakukan dengan melalui kelembagaan yakni polisi, jaksa, dan hakim. Instrumen untuk mengetahui kekuatan berlakunya Hak Ulayat Laut dapat ditinjau dari Kekuatan Sosiologis. Kekuatan hukum adat ini ditaati benar-benar oleh

32

Dominikus Rato, Op. Cit. h. 52-53

masyarakat dalam kehidupan secara nyata walaupun secara tertulis tidak dinyatakan dengan tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Menurut Van Vollenhoven bahwa hukum adat itu secara formal meskipun tidak ditulis dalam peraturan perundangundangan, tetapi benar-benar ditaati oleh masyarakat. Kekuatan hukum adat secara sosiologis tersebut disebut pula sebagai kekuatan yang berlaku secara material. Dalam kehidupan sehari-hari faktanya ditemukan bahwa Hak Ulayat Laut masih ada dan ditaati, sehingga eksistensinya di lingkungan masyarakat adat pesisir khususnya Indonesia timur seperti di Maluku, Sulawesi Utara dan Papua masih ditegakkan sebagai norma adat. Hak Ulayat Laut sebagai norma positif keberadaannya tidak tertulis (non statutair). 3) Prinsip Kekuatan Yuridis. Kekuatan hukum adat memiliki kemampuan untuk

dipaksakan kepada anggota masyarakat. Kekuatan memaksa itu karena hukum itu telah ditetapkan oleh petugas yang berwenang dan para fungsionaris hukum yang memiliki kewibawaan yang diberikan oleh hukum. Petugas hukum atau petugas yang berwenang atau para fungsionaris hukum adalah personifikasi negara atau personifikasi hukum. Sebagai personifikasi hukum atau negara, mereka memiliki kekuasaan atau kewibawaan untuk memaksa orang untuk tunduk pada hukum. Berdasarkan kekuasaan, kewenangan dan kewibawaan yang dimilikinya tersebut, seorang petugas hukum berwenang pula untuk menjatuhkan sanksi berupa denda atau bahkan siksaan fisik. Berlakunya Hak Ulayat Laut di tengah-tengah masyarakat adat pada dasarnya diyakini merupakan bentuk harmonisasi antara manusia dan lingkungannya yang memberikan penghidupan melalui sumber daya laut yang terkandung di dalamnya. Dari berbagai sanksi yang diterapkan dalam norma Sasi (larangan) bagi siapapun yang melanggarnya merupakan bentuk paksaan terhadap penerapan aturan atau norma hukum adat. Melalui kelembagaan adat aturan Hak Ulayat Laut tersebut dilaksanakan oleh pemimpin adat

(kepala suku) sebagai bentuk personifikasi adat yang diberi kewenangan untuk melaksanakannya. Kuasa yang diberikan oleh hukum adat kepada seorang yang termasuk dalam perangkat adat tersebut sekaligus memberikan kewenangan dan kewibawaan serta menjadi panutan masyarakat pendukungnya. Melalui kuasa dan kewibawaan tersebut seorang pemimpin adat memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada setiap orang yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Hak Ulayat Laut. 4) Prinsip Kekuatan Filosofis.

Kekuatan yang berlaku berlandaskan filosofis yakni undang-undang itu sendiri yang menjadi dasar pokok pikiran. Kekuatan berlakunya suatu hukum adat tergantung pada konteksnya. Konteks berlakunya hukum adat itu sendiri dari konteks sosial-budaya di mana hukum adat itu tumbuh, hidup dan berkembang. Alat ukurnya secara material suatu hukum adat itu kuat apabila hukum itu ditaati secara sadar dan sepenuh hati. Begitu pula secara formal hukum adat dikatakan kuat bila hukum itu ditaati setelah diundangkan. Dalam pengertian kekuatan secara Filosofis, maka Hak Ulayat Laut berlandaskan norma-norma adat itu sendiri yang menjadi pokok pikiran yang sederhana, mampu menyesuaikan diri dengan zaman dan memiliki makna secara sosialbudaya. Dalam pengertian secara filosofis ini juga memberikan makna akan kekuatan untuk melaksanakan Hak Ulayat Laut secara sadar dan sepenuh hati sesuai apa yang telah ditentukan dan dinyatakan secara formal karena resmi menurut adat mengenai Hak Ulayat Laut.

4.

Prinsip Hak Ulayat Laut Mendasari Pengelolaan Perikanan

Eksistensi masyarakat hukum adat yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka menerapkan norma adat dalam pegelolaan perikanan laut secara tradisional sering dihadapkan pada kondisi yang delimatik berkaitan dengan hukum positif yang mengatur kewenangan kelompok masyarakat pendatang yang memiliki kemampuan lebih untuk mengeksploitasi perikanan di wilayah hak ulayat. Pengelolaan perikanan laut oleh masyarakat hukum adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip norma adat ini merupakan implementasi pengelolaan secara lestari dan berkelanjutan meskipun dilaksanakan dengan cara-cara tradisional. Masyarakat hukum adat suku laut yang tinggal di pesisir memegang teguh norma adat dalam mengelola sumber daya perikanan tersebut menunjukkan bahwa sejak dahulu masyarakat adat khususnya yang berada di wilayah Indonesia timur memiliki cara-cara tradisional yang menunjukkan prinsip-prinsip ramah lingkungan, kelestarian ekosisitem laut dan berkelanjutan yang terangkum dalam norma adat Hak Ulayat Laut. Cara yang paling lazim digunakan oleh masyarakat hukum adat suku laut dalam mengelola perikanan laut yaitu dengan memegang teguh norma Hak Ulayat Laut di wilayah Indonesia timur dengan menggunakan pancing dari atas perahu dengan nilon, kail dan timah sebagai pemberat untuk memancing hingga ke dasar laut. Beberapa daerah pesisir seperti di Sorong pengelolaan perikanan berdasarkan Hak Ulayat Laut dilakukan dengan cara memanggil ikan yang kemudian digiring dengan umpan masuk ke dalam muara sungai di sisi daratan untuk kemudian ditangkap. Untuk menangkap jenis ikan tuna atau cakalang maupun tengiri digunakan umpan ikan tiruan yang dibuat dari tali rafia yang dihaluskan dan diikat pada kail. Penangkapan jenis ikan tersebut sering dilakukan dengan spot pemancingan yang dibuat dengan membuat rompong33 dari daun kelapa. Rompong yang dibuat ini dibuat agar menjadi tempat berkumpulnya ikan-ikan migratori seperti tuna atau cakalang. Masyarakat pesisir di Papua
Rompong atau rumpon adalah sarana yang sering digunakan nelayan tradisional di wilayah timur Indonesia untuk mengundang ikan untuk berkumpul dan dijadikan sarang yang tinggal terbuat dari daun pohon kelapa yang ditenggelamkan kedalam laut dengan pemberat.
33

dan Maluku Utara yang mengelola laut dengan norma Hak Ulayat Laut juga menggunakan keramba yang berfungsi sebagai jebakan ikan. Ikan dalam keramba diambil oleh para nelayan dengan menggunakan serok atau tangguk yang dibuat dari jaring/jala yang telah dijahit. Cara lain menangkap ikan secara tradisional dikenal dengan nama molo34 (menyelam secara alami tanpa oksigen seperti menggunakan Akualung). Molo adalah cara menangkap ikan dengan menyelam dan dilengkapi alat selam sederhana berupa kaca mata selam dan anak panah. Beberapa molo memiliki kekhususan tersendiri dalam mencari jenis binatang laut tertentu seperti penyu, gurita dan ikan-ikan karang dengan kedalaman hingga 30 meter. Teknik menangkap ikan dengan cara molo seperti ini mengandung resiko tinggi bagi nelayan karena menyelam dengan kedalaman lebih dari 10 meter tanpa dilengkapi dengan peralatan selam yang memadahi dapat berakibat bagi kesehatan dan keselamatan diri. Banyak pemolo yang tidak menggunakan teknik-teknik menyelam yang benar akhirnya mengalami kelumpuhan pada bagian kaki, tangan, tuli bahkan kebutaan. Ada cara yang unik dalam menangkap ikan yang hidupnya dalam koloni yang besar dan berenang dekat permukaan laut. Cara lain untuk menangkap ikan dengan bersama-sama anakanak, tua muda turun ke laut ambil bersendagurau mencari bia (bahasa suku Engros Tobati artinya: kerang putih) pada saat surut terendah (bahasa suku Engros Tobati : meti)35. Teknologi penangkapan ikan menurut Hak Ulayat Laut tersebut menunjukkan caracara yang memenuhi prinsip-prinsip ramah lingkungan demi kelestarian dan keberlanjutan sumber daya perikanan sebagai sumber kehidupan. Dari praktik pengelolaan perikanan seperti itu menunjukkan bahwa sumber daya perikanan merupakan sumber kehidupan yang penting bagi masyarakat hukum adat suku-suku laut oleh kerena itu hak yang mereka miliki untuk menikmatinya harus diikuti dengan kewajiban untuk melestarikannya bagi kelangsungan kehidupan secara komunal.
Bahasa Suku Engros-Tobati yang juga digunakan di Maumere-Sika Flores NTT Bahasa Suku Engros-Tobati menempati wilayah Teluk Yotefa di Jayapura Papua. Bahasa ini juga digunakan di sebagian besar pesisir di Papua seperti di Tablasupa, Tablanusu, Depapre, Biak dan Sarmi.
35 34

5.

Prinsip Hak Ulayat Laut Mendasari Pengelolaan Wilayah Pesisir

5.1. Prinsip Integral Menurut Dahuri, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan wilayah pesisir secara terpadu adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih ekosisitem, sumber daya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Dalam konteks ini,

keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi yaitu: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.36 Pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan telah menjadi kebutuhan yang mendesak bagi bangsa Indonesia, mengingat model pembangunan di masa lalu belum sepenuhnya memperhatikan lingkungan. Oleh karena itu pemanfaatan sumber daya laut dalam rangka pembangunan yang berwawasan lingkungan menjadi hal yang mendesak dan harus terus berlangsung demi meningkatkan taraf kehidupan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pembangunan wilayah pesisir dan laut tidak boleh menimbulkan kerusakan dan masalah bagi umat manusia oleh karena itu diperlukan konsep atau model yang tepat yang dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan serta stakeholder. Pembangunan wilayah pesisir dan laut secara terpadu merupakan salah satu model relevan dan telah disesuaikan dengan kebutuhan serta perubahan manajemen pemerintah. Perubahan manajemen pemerintahan yang berpola sentralistik kini telah berubah menjadi desentralistik dalam era otonomi daerah.37 Dalam keterpaduan pembangunan wilayah pesisir secara ekologis mensyaratkan adanya koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau kelembagaan pemerintah baik secara vertikal (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) maupun horizontal
36 37

Rohmin Dahuri, et. al, Op.Cit. h.12. Ibid. h. 6

(pemerintah antar kementrian maupun antar pemerintah daerah). Sedangkan keterpaduan secara keilmuan dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu yang relevan. Sedangkan keterpaduan secara ekologis berkaitan dengan wilayah pesisir dan lautan yang didasarkan pada tersusunnya berbagai macam ekologis yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu dijelaskan pula oleh Soresen dan Mc. Creary38 sebagai berikut:
Prinsip pengelolaan tersebut dimaksudkan adalah pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (enviromental service) yang terdapat di kawasan pesisir dengan cara melakukan penilian secara menyeluruh (comprehensive assessment) tentang kawasan pesisir beserta sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara terus-menerus dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi, budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yangmungkin ada.

Pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan adalah model pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.39 Melalui semangat Agenda 21 (soft law), sejak tahun 2007 Indonesia memberlakukan undang-undang yang secara khusus mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Mengingat kharakteristik dan potensi yang dimiliki wilayah pesisir sangat kaya akan sumber daya, tentunya pengelolaannya perlu diarahkan pada beberapa asas seperti diatur pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai berikut:
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berasaskan: a. Keberlanjutan b. Konsistensi
Ibid. Tejarin, Peran Ekonomi Politik Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan secara terpadu dalam Mendorong Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal Mangrove dan Pesisir IX (1) Februari 2009, 18-28 (Balai Besar Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta) h.6.
39 38

c. d. e. f. g. h. i. j. k.

Keterpaduan Kepastian hukum Kemitraan Pemerataan Peran serta masyarakat Keterbukaan Desentralisasi Akuntabilitas Keadilan

Dasar pengelolaan wilayah pesisir terintegrasi melalui keterlibatan komponen bangsa sebagai pemangku kepentingan seperti diatur pada Pasal 6 sebagai berikut:
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan : a. Antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. Antar Pemerintah Daerah; c. Antar sektor; d. Antar Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat; e. Antar ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

Keterpaduan pengelolaan wilayah laut dan pesisir juga ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya menurut jenis, fungsi, ekologi lingkungan dan kualitas lahan pesisir. Menurut Rokhmin Dahuri,40 bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu (PWPLT) yang memiliki keunggulan (kelebihan atau pemanfaatan) bila dibandingkan dengan pengelolaan secara sektoral sebagai berikut:
1. PWPLT memberikan kesempatan (opportunity) kepada masyarakat pesisir (para pengguna sumber daya pesisir dan lautan atau dalam bahasa Inggris biasa disebut (stakeholders) untuk membangun sumber daya pesisir dan lautan secara berkesinambungan. Hanya pendekatan pengelolaan secara terpadu yang dapat mengatasi konflik pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang biasanya terjadi di kawasan pesisir. PWPLT memungkinkan untuk memasukkan pertimbangan tentang kebutuhan serta aspirasi masyarakat terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan lautan baik sekarang maupun yang akan datang ke dalam perencanaan pembangunannya. Dengan pedekatan ini, PWPLT dapat mendorong pembangunan sumber daya pesisir dan lautan serta sekaligus dapat meminimalkan dampak negatif terhadap ekosisitem pesisir dan lautan. PWPLT menyediakan kerangka (framework) yang dapat merespon segenap fluktuasi maupun ketidakmenentuan (uncertainties) yang merupakan ciri khas dari ekosistem pesisir dan lautan. PWPLT membantu pemerintah daerah maupun pusat dengan suatu proses yang dapat menumbuhkembangkan pembangunan ekonomi serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
40

2.

3.

4.

Rokhmin Dahuri, Op. Cit. 151

5.

Meskipun PWPLT memerlukan pengumpulan dan analisis data serta proses perencanaan yang lebih panjang daripada pendekatan sektoral tetapi secara keseluruhan akhirnya lebih murah ketimbang pendekatan sektoral.

Pentingnya pengelolan dan pemanfaatan sumber daya perikanan di laut secara integral kini terus dikembangkan bukan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja tetapi juga untuk memenuhi kepentingan lain seperti sektor perdagangan, pertambangan dan energi, pariwisata, perhubungan, industri perkapalan dan lain sebagainya. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara integrasi tidak dapat dipisahkan dari peran masyarakat hukum adat yang mendiami lingkungan ini. Oleh karena itu keanekaragaman budaya dan norma adat yang dipegang teguh oleh masyarakat persekutuan hendaknya harus dilibatkan secara aktif sebagai subjek pembangunan itu sendiri karena pada dasarnya merekalah yang paling tahu bagaimana memperlakukan lingkungan alamnya dengan baik. Masyarakat hukum adat dari suku laut yang melaksanakan pengelolaan sumber daya perikanan dalam praktik Hak Ulayat Laut telah menunjukkan prinsip integrasi secara internal dalam kelembagaan adat mulai dari penetapan kebijakan secara komunal, pelibatan seluruh masyarakat hukum adat, penegakan hukum adat hingga kerja sama dengan pihak lain dari luar, maupun penetapan wilayah yang menjadi kewenangan mereka. Praktik Hak Ulayat Laut secara integrasi juga dilaksanakan dalam bidang teknologi penangkapan ikan yang jelas-jelas menunjukkan cara-cara yang ramah lingkungan. Artinya teknologi ini telah mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu penangkapan ikan (perikanan), ilmu hukum dan sebagainya. Berlakunya norma Sasi dalam Hak Ulayat Laut menunjukkan bahwa integrasi keragaman ekologi laut telah menjadi pengetahuan masyarakat hukum adat suku laut dengan baik, sehingga pengelolaan perikanan senantiasa memperhatikan periodisasi, jumlah, wilayah tangkap dan jenis tangkapan yang diperbolehkan menurut ketentuan adat. Berlakunya Sasi tersebut pada dasarnya adalah bentuk konservasi dan sekaligus model pelestarian sumber daya ikan untuk bereproduksi dengan baik. Larangan-larangan penangkapan jenis-jenis

tertentu terhadap ikan merupakan bukti bahwa masyarakat hukum adat tahu benar ekosisitem laut mana yang harus dijaga kelestariannya dan mana dapat dikonsumsi sebagai kebutuhan hidup secara tidak berlebihan. Akibat pengelolaan sumber daya laut di wilayah pesisir yang tidak integral dapat berdampak pada buruknya kelangsungan ekologi atau biota laut dan pada gilirannya tidak akan mampu menopang tersediannya sumber-sumber yang dibutuhkan manusia karena dirusak oleh manusia itu sendiri. Kepentingan sektor ekonomi, politik dan sosial sering kali menjadi penyebab bertambahnya konflik dalam pengelolaan sumber daya perikanan dengan masyarakat hukum adat yang semakin termarginalkan khususnya masyarakat nelayan tradisional. Masyarakat nelayan tradisional dalam kehidupannya sehari-hari berpegang pada norma adat dan kebiasaan hukum adatnya semakin terdesak oleh kepentingan-kepentingan pengguna sumber daya di wilayah pesisir yang cenderung mengeksploitasinya secara besarbesaran untuk mendapatkan keuntungan ekonomi namun mengabaikan kelestarian dan berkelanjutan ekosisitem itu sendiri. Oleh karena itu pengelolaan wilayah pesisir dan laut hendaknya melibatkan peran masyarakat hukum adat dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, penegakan dan evaluasi. 5.2. Prinsip Kemandirian Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat oleh pemerintah menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal daerah-daerah yang jauh dari perkotaan memiliki kewenangan dan kesempatan untuk memanfaatkan, menjaga, melindungi, mengembangkan potensi sumber daya laut serta pesisir. Pengakuan oleh pemerintah pada tingkat tertentu ini dapat merealaisasikan eksistensi masyarakat hukum adat untuk mempertahankan norma adat tertentu, penegakkan hukum dan keadilan hukum pada tingkat lokal tanpa campur tangan dari institusi formal, kecuali pada perkara-perkara yang memang memerlukan peran pemerintah.

Artinya tingkat kemandirian masyarakat hukum adat dalam mengelola dan melestarikan sumber daya perikanan tidak perlu diragukan lagi. Pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Terluar memberikan kebebasan dan mandiri kepada masyarakat hukum adat untuk mendapatkan dan mengelola potensi sumber daya wilayahnya, namun dalam pelaksanaan pengelolaan laut diberikan kepada orang lain yang bukan ulayat dengan teknologi moderen, sehingga masyarakat hukum adat memiliki posisi yang lemah dalam pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan harus bersaing dengan orang di luar ulayatnya untuk mengelola hak tersebut. Padahal masyarakat hukum adat tersebut telah memiliki hak tersebut dan telah melekat sejak lama. Hal tersebut menunjukan dikesampingkannya eksistensi hukum adat. Oleh karena itu penting menentukan formulasi kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada masyarakat adat yang berada di wilayah pesisir serta memberikan dampak baik khususnya sumber daya perikanan laut dalam hal ini eksistensi Hak Ulayat Laut yang perlu mendapat pemikiran yang komprehensif dan proporsional. Meskipun norma adat Hak Ulayat Laut ini hingga sekarang masih berlaku di dalam kehidupan masyarakat, tetapi saat ini keberadaan hukum adat tersebut belum diakui secara formal yang ada di Indonesia, sehingga tidak jarang apabila masyarakat hukum adat akan menegakkan norma adat terhadap para pelanggar hukum adat, mereka sering dihadapkan pada hukum formal yang memiliki perbedaan substansi. Prinsip kemadirian yang terkandung dalam Hak Ulayat Laut tersebut sangat efektif dan langsung menyentuh kebutuhan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya laut dan perikanan yang ada di wilayahnya. Dalam prinsip-prinsip kemandirian Hak Ulayat Laut di dalam masyarakat dapat memberi dampak positif bagi pemerintah maupun lingkungan karena didukung oleh model perencanaan yang bersifat partisipatif dan buttomup. Dalam melakukan pengawasan dan pengendalian, dilakukan oleh kelembagaan adat yang

dilaksanakan menurut kelambagaan adat sebagai cerminan kepentingan individu-individu. Kemandirian Hak Ulayat Laut sangat efektif dilaksanakan karena masyarakat hukum adat atau lokal merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap akan keberlanjutan masa depan sumber daya alamnya. Kemandirian Hak Ulayat Laut sangat efektif pula dalam pengelolaan sumber daya laut dan perlu mendapat pengakuan secara sah sebagai salah satu hukum nasional yang berlaku, sehingga selaras dengan kehidupan masyarakat luas.

5.3. Prinsip Harmonisasi Sidarta memberikan keterangan tentang istilah harmonisasi41 yang merujuk pada ilmu musik untuk menunjukkan adanya keselarasan dan keindahan nada-nada. Istilah

tersebut relevan untuk digunakan dalam bidang hukum, mengingat hukum pun membutuhkan keselarasan agar dapat dirasakan manfaatnya oleh segenap lapisan masyarakat. Penerapan berbagai macam peraturan perundang-undangan secara bersama-sama tanpa upaya harmonisasi atau keselarasan sudah barang tentu akan menimbulkan masalah seperti benturan kepentingan antarlembaga stakeholder wilayah laut dan pesisir. Untuk mempermudah harmonisasi peraturan perundang-undangan, maka penyelarasan dan penyerasian tujuan, strategi dan pedoman dapat dilakukan dengan mengacu kepada hukum dasar yaitu UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen). Harmonisasi atau keselarasan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang dikaitkan dengan perikanan ditujukan untuk menghindari terjadinya disharmoni hukum. Disharmoni yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan berdasarkan Hak Ulayat Laut tersebut karena adanya perbedaan penerapan aspek legalitas hukum nasional dan hukum adat. Disharmoni yang tampak di sini misalnya tumpangtindihnya kewenangan, benturan kepentingan, persaingan tidak sehat, sengketa, pelanggaran dan kelembagaan baik yang diatur menurut hukum nasional maupun

41

Sidarta, Op. Cit., h. 42

hukum adat. Model penyelesaian sengketa yang terjadi akibat disharmoni tersebut dapat dilakukan dengan upaya-upaya musyawarah, negosiasi maupun melalui pengadilan.42 Masyarakat hukum adat suku laut yang senantiasa berlandaskan Hak Ulayat Laut memiliki komitmen kuat dalam menyelesaiakan setiap sengketa dengan cara-cara musyawarah baik secara internal maupun eksternal. Tumpangtindih antara norma adat Hak Ulayat Laut dengan pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan menurut hukum nasional yang mengatur daerah tangkap, jenis, jumlah, ukuran dan waktu tangkap sangatlah berbeda dan hal ini sangat berpotensi terjadinya disharmoni. Perbedaan kepentingan pengelolaan antara masayarakat hukum adat dan masyarakat di luar persekutuan sering disebabkan karena sudut pandang yang berbeda. Di satu sisi masyarakat hukum adat mengelola sumber daya perikanan laut dengan tatanan kelestarian dan berkelanjutan namun di sisi lain masyarakat lain mengeksploitasinya secara besar-besaran untuk kepentingan ekonomi semata. Akibat eksploitasi kepentingan ekonomi semata seperti itu menimbulkan dampak kerusakan ekosistem biota laut dan tidak terkecuali ikan dan yang paling merasakan keburukan ini adalah masyarakat hukum adat suku laut yang memiliki lingkungan tersebut. Dampak yang disebabkan berupa kehancuran ekosisitem itu sendiri. Tidak harmonisnya pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut oleh pemangku kepentingan baik pemerintah maupun masyarakat disebabkan oleh faktor-faktor antara lain:43
1. 2. 3. 4. 5. Jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak berlaku dalam pengelolaan wilayah pesisir. Keberadaan hukum adat yang semakin termajinalkan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Pluralisme dalam penerapan dan penegakkan hukum di bidang pengelolaan wilayah pesisir. Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholder sumber daya alam wilayah pesisir. Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang pengelolaan pesisir.

42 Jason, (Penyunting), Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, Jakarta, 2005, h. xvii 43 Ibid. h. ix-xx

6.

7.

Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan yang terdiri atas mekanisme pengaturan administrasi, antisipasi terhadap perubahan dan penegakan hukum. Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan.

Harmonisasi pengaturan kewenangan, wilayah tangkap, dan periodisasi yang diterapkan bersama antara masyarakat tradisional dan nelayan moderen/pendatang. Pengaturan demikian ini disebabkan oleh padangan negara terhadap masyarakat keseluruhan belum sepenuhnya memperhatikan kharakteristik maupun aspek-aspek penting yang justru diperlukan dalam memberi perlindungan kepada masyarakat adat di masing-masing wilayah. Dalam wawancara dengan Ronald Z Titahelu,44 mengungkapkan bahwa hak pengelolaan wilayah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat sebenarnya telah lebih dahulu ada jauh sebelum datangnya hukum positif dari Barat (kaum kolonial Portugis dan Belanda) bahkan sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia. Masyarakat hukum adat secara nyata tertulis dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 yakni pada Pasal 18B ayat (2) yakni:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 28 I ayat (3) berkaitan dengan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Oleh karena itu ia menyimpulkan jangan sampai hak-hak mereka itu tercabut baik di bidang kelautan maupun perikanan. R.Z. Titahelu menegaskan kembali bahwa, Negara melalui hukum nasionalnya tidak boleh semena-mena menabrak begitu saja hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat hukum adat yang tersebar di Indonesia. Hukum adat merupakan bentuk eksistensi kehidupan mereka. Oleh karena itu ketika hukum adat tercabut dari kehidupan mereka, maka pada saat itulah sebenarnya awal dari pemberangusan masyarakat adat dan negara telah mengabaikan masyarakat adat.
44

Wawancara dengan Guru Besar Universitas Patimura, tanggal 15 April 2010 di Ambon.

Disharmoni juga terjadi pada pengaturan kewenangan pengelolaan laut oleh masyarakat hukum adat yang dimiliki secara turun-temurun dari nenek moyang atau leluhurnya dengan kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah laut oleh pemerintah maupun swasta. Di dalam wilayah laut ini secara de jure terdapat wewenang yang dimiliki oleh komunitas masyarakat hukum adat. Wewenang yang dimaksud terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam menurut prinsip-prinsip hukum adat dengan kharakteristik masing-masing. Penguasaan wilayah laut untuk pengelolaan perikanan oleh masyarakat hukum adat dapat atur dengan model wilayah pengelolaan enclave (daerah kantong) dari kewenangan pengelolaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Upaya harmonisasi tersebut dapat dilakukan dengan menetapkan kebijakan pada tingkat daerah baik berupa Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dalam rangka otonomi daerah yang dilandasi semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Indonesia selain Hak Ulayat Laut dikenal pula jenis hukum adat lain seperti penguasaan secara tradisional terhadap bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan penangkapan ikan secara tradisional seperti di Papua misalnya Bagan Apung (gil net). Masyarakat hukum adat selain memiliki hak, juga memikul kewajiban-kewajiban terhadap kelestarian dan berkelanjutannya sumber daya alamnya untuk generasi penerusnya. Upaya harmonisasi pengelolaan sumber daya perikanan oleh masyarakat hukum adat sering kali menimbulkan sengketa dengan masyarakat dari luar persekutuan yang masing-masing menggunakan dasar hukum yang berbeda. Misalnya masyarakat hukum adat suku laut menggunakan dasar hukum adat yaitu Hak Ulayat Laut sedangkan masyarakat lain (masyarakat pendatang) menggunakan dasar hukum nasional yang memiliki perbedaan prinsip tentang jumlah, daerah, jenis, ukuran dan daerah tangkapan dalam mengelola sumber daya perikanan. Penggunaan bagan apung sepanjang tahun sangat ditentang oleh masyarakat hukum adat suku laut karena tidak mengenal Sasi (larangan menangkap ikan). Melalui

teknologi bagan apung juga, maka jenis ikan dan ukuran ikan tidak akan terkendali penangkananya. Oleh karena itu penggunaan ikan dilaksanakan melalui pengawasan yang ketat bila dilakukan di wilayah Hak Ulayat Laut. Harmonisasi dalam pengelolaan sumber daya perikanan perlu dilaksanakan melalui tataran perundang-undangan yang tidak saling tumpang tindih termasuk pula pengakuan terhadap hak-hak yang dimiliki masyarakat hukum adat yang hidup bersama dengan masyarakat lainnya.

6.

Prinsip Hak Ulayat Laut dalam Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan

6.1. Potensi Pengembangan Perikanan Dunia Pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia tidak hanya terbatas di laut teritorial saja tetapi juga dapat dilakukan di ZEEI amupun di laut lepas (high seas) yang ada di Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik. Pengaturan pengelolaan perikanan di laut lepas seperti diatur pada Pasal 87 ayat (1) huruf e pada UNCLOS 1982 kebebasan laut lepas sebagai berikut:
Laut terbuka untuk semua negara, baik Negara pantai atau tidak berpantai. Kebebasan laut lepas, dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam Konvensi ini dan ketentuan lain hukum internasional. Kebebasan laut lepas itu meliputi, inter alia, baik untuk Negara Pantai atau Negara tidak berpantai: (a) (b) (c) (d) (e) (f) Kebebasan berlayar; Kebebasan penerbangan Kebebasan untuk memasang kabel dan pida bawah laut, dengan tunduk pada Bab IV; Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasinya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, dengan tunduk pada Bab VI; Kebebasan menangkap ikan, dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum pada bagian 2; Kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada Bab VI dan XII.

Kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing) sebagaimana disebutkan pada Pasal 87 ayat (1) huruf e dalam UNCLOS 1982 tersebut harus mengindahkan kepentingan negara lain dalam melaksanakan hak yang sama dan ketentuan internasional lainya yang berlaku di atasnya. Yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan perikanan di laut lepas seperti diatur

pada Bab 2 Pasal 116 UNCLOS 1982 yakni pengiriman armada perikanan nasional dengan memperhatikan kepentingan negara lain dan ketetentuan internasional yang berlaku di atasnya yang berkaitan dengan konservasi sumber daya hayati di laut lepas. Pemanfaatan sumber daya perikanan di laut lepas diatur sesuai Pasal 118 UNCLOS 1982 di mana negaranegara harus mengatur pengelolaan dan konservasi tersebut yang dimungkinkan dengan pembentukan organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Managemen Organizations/RFMO). Kegiatan pengelolaan perikanan regional (RFMO) yang terdiri dari negara-negara maju kemudian berkembang menjadi gejala yang tidak menguntungkan bagi negara-negara nonanggota yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas dianggap sebagai illegal fishing dan dikenakan embargo terhadap produk perikananya. Kekhawatiran dunia terhadap krisis sumber daya ikan dunia cukup beralasan, oleh karena itu pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab perlu segera diagendakan dan diupayakan bersama masyarakat dunia. Terganggunya kelestarian sumber daya ikan di suatu negara dapat diindikasikan terganggunya kondisi perikanan secara global dan dapat menyebabkan stok ikan negara lain juga terganggu khususnya jenis-jenis ikan yang berimigrasi jauh (higly migratory species) dan jenis-jenis ikan berimigrasi terbatas (straddling fish stock) yang memiliki kemampuan untuk melintasi batas-batas wilayah suatu negara (transboundary). Oleh karena itu pengelolaan perikanan di laut lepas tidak dapat dipisahkan dari kepentingan bersama masyarakat dunia dalam rangka menciptakan perikanan berkelanjutan.45 Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari tidak luput dari aspek pemberdayaan masyarakat lokal yang memiliki hubungan langsung dengan sumber daya tersebut. Kepentingan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam telah lama menjadi

45

Akhmad Solikin.Op. Cit. h. 132

perhatian dunia internasional yang diawali dengan Agenda 21 dan Declaration on the Rights of Indigeous Peoples46 (1990) khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), sejak tahun 1995 telah menetapkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Tuntutan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan terus mengalami perkembangan yang pada intinya dilaksanakan untuk mencapai pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan tradisional. Tuntutan tersebut tentunya dapat diawali dari sisi wilayah laut yang paling dekat dengan kehidupan manusia sebagai pelakunya khususnya di wilayah pesisir yang memiliki hubungan lingkungan dengan sisi wilayah laut lepas. Wilayah pesisir dan laut lepas perlu dijaga kelestariannya, sehingga kekhawatiran dunia terhadap krisis sumber daya perikanan dapat dihindari dengan melakukan pengelolaan secara berkelanjutan. Laut lepas dalam konsep pemahaman masyarakat hukum adat yang mendasarkan pada Hak Ulayat Laut khususnya di Papua disebut Dindin Nau. Dindin Nau merupakan wilayah Hak Ulayat Laut yang dikelola bersama karena keterbatasan kemampuan untuk menjangkaunya (lihat lampiran II). Pengelolaan sumber daya perikanan oleh masyarakat hukum adat dengan menerapkan Hak Ulayat Laut yang menunjukkan prinsip-prinsip dalam pengembangan perikanan dunia dilaksanakan dengan cara-cara tradisional baik teknologi alat tangkapnya, jumlah dan jenis ikan tangkapan yang diizinkan, waktu tangkap dan sebagainya. Cara-cara tradisional dalam mengelola sumber daya perikanan tersebut merupakan bentuk pengelolaan sumber daya perikanan yang ramah lingkungan dan tidak mengeksploitasinya secara besar-besaran hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi tanpa memperhatikan kelestarian ekosisitem biota laut. Oleh karena itu praktik Hak Ulayat Laut oleh masyarakat hukum adat dapat dijadikan

46

Sudirman Saad, Op. Cit. h, 21

model dalam pengembanan perikanan dunia baik yang dilakukan di zona teritorial maupun di laut lepas. 6.2. Prinsip Perikanan sebagai Sumber Pangan Dunia Pengelolaan sumber daya alam dan pemberdayaan masyarakat lokal merupakan suatu tuntutan bagi setiap negara pantai dan telah menjadi agenda internasional pada abad ke-21 dengan ditindaklanjutinya melalui beberapa konvensi internasional di antaranya Agenda 21 dan Declartion on Right of Indigenous People47 tahun 1990. Pada tahun 1966 di Swedia dibentuk World Council of Indigenous Peoples (WCIP) oleh para peneliti dan antropolog. Kemudian pada tanggal 18 Desember 1990 Majelis PBB mengeluarkan Resolusi No. 45/16 di NewYork tentang Declartion on Right of Indigenous People. direkomendasikan antara lain:
1. 2. 3. Dibentuk prosedur secara hukum dan administrasi di tingkat nasional. Dibentuk prosedur secara hukum dan administrasi untuk kompensasi pemulihan lingkungan dan lain-lain. Adanya akses bagi individu, kelompok dan organisasi.

Dalam Agenda 2148

Tuntutan seperti di atas tidaklah berhenti sampai di situ, beberapa pandangan yang disampaikan oleh para ahli ekonomi di seluruh dunia kemudian merespon untuk merumuskan kembali model mencapai pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan sekaligus untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat khususnya nelayan lokal. Pada tahun 1995 melalui Food and Agriculture Organizaion of the United Nation (FAO) telah menetapkan Code of Coduct for Responsible Fisheries (31 Oktober 1995)49 dalam pengelolaan sumber daya alam perikanan. Hal tersebut kemudian diaplikasikan kembali dalam Policy Workshop on Coastal Area Managemen yang diadakan di Malaysia pada tahun 1989 dengan memberikan argumentasi terhadap pentingnya partisipasi pengguna sumber daya alam pada tahap

47 48

Sudirman Saad, Op. Cit, h.21 Siahaan, N,H,T, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2004, Sudirman Saad, Op. Cit h.83

h, 146
49

perencanaan. Dalam work shop tersebut diuraikan pentingnya partisipasi dalam perencanaan yang serius untuk mengelola sumber daya alam. Pelibatan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam agar dapat mengurangi dampak pengelolaan yang sektoral. Pertama, tidak adanya partisipasi pengguna sumber daya alam telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ekosistem pantai secara umum. Kedua, meningkatnya konflik atar

pengguna sumber daya, padahal pengguna sumber daya alamlah yang menjadi faktor penentu utama kesuksesan perencanaan sumber daya alam.50 Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) dikenal sebagai negara yang memiliki keuntungan alam yang sangat kaya sebagai megabiodiversity. Disebut sebagai biodiversity di sini adalah potensi sumber daya alam yang bersifat eksklusif yakni tropical marine resources yang hanya dimiliki oleh negara-negara tropis. Indonesia yang teletak pada di garis katulistiwa dikenal sebagai negara paling kaya dengan keanekaragaman hayatinya yang tidak dimiliki oleh negara sub-tropis maupun negara di belahan utara maupun selatan. Oleh karena itu perlu adanya pemikiran yang kritis untuk mengelola potensi yang berlimpah secara berkesinambungan sebagai modal kehidupan di masa mendatang dalam menghadapi era globalisasi perdagangan bebas tahun 2020. Dalam pertumbuhan penduduk dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahun, maka pada tahun 2008 PBB memprediksikan kurang lebih 6.795 juta orang pada tahun 2010. Peningkatan pertumbuhan penduduk dunia yang mencapai 1,8% per tahun tersebut terjadi di negara-negara berkembang. Besarnya pertumbuhan penduduk dunia ini menuntut peningkatan pangan dunia melalui berbagai metoda dan jenis yang disesuaikan dengan lingkungannya. Salah satu sumber pangan berupa kebutuhan protein hewani adalah ikan. Protein ikan, krustacea dan moluska memiliki peran yang cukup tinggi yakni sekitar 13,8-16,5% intake protein hewani untuk populasi manusia.51 Selanjutnya dicatat pada tahun 1999 konsumsi ikan mencapai 16,3Kg per orang yang
Ibid, h.3-4 Zahrial Cotto dan Bambang Purwantara, dalam Budiono, A dan S. Atmini, 2002, Country Report. Bambang Unkrip@yahoo.com
51 50

merupakan peningkatan sekitar 70% dari tahun 1961-1963. Kebutuhan ikan tersebut diprediksikan akan terus meningkat. Pada tahun 2003 konsumsi ikan mencapai 22,5 Kg per orang (FAO, 2002). Kecukupan pangan dari protein ikan ini merupakan kelompok pangan utama dengan memberikan kontribusi kurang lebih 50% dari total protein di beberapa negara berkembang dengan kepadatan penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Di beberapa negara Afrika, Asia dan beberapa negara maju lain, ikan bukan termasuk jenis pangan dasar namun dikonsumsi sebagai kebutuhan untuk memasukkan variasi, nutrisi, rasa, kesehatan dan estetika makanan. Kebutuhan pangan dunia berupa ikan pada tahun 2010, FAO (1998) mencatat kurang labih 105-110 juta ton berat basah. Peningkatan kebutuhan ikan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dunia seperti dalam catatan FAO tahun 2008.52 Pengelolaan perikaan yang dilakukan berdasarkan Hak Ulayat Laut seperti ditunjukan masyarakat hukum adat di Papua, Maluku dan Sulawesi Utara dengan prinsip berkelanjutan ini akan menghadapi tekanan yang kuat dari permintaan ikan yang dibutuhkan untuk memenuhi pangan manusia. Sekalipun ikan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui, namun bila dieksploitasi secara berlebihan dapat terjadi kehancuran, maka sumber daya ikan dapat dieksploitasi secara berkelanjutan. Oleh karena itu praktik Hak Ulayat Laut dalam pengelolaan sumber daya perikanan pada dasarnya mampu menjamin ketersediaan sumber daya pangan baik bagi masyarakat lingkungannya maupun di luar persekutuan adat di masa mendatang. Prinsip-prinsip FAO di atas telah lama dipraktikan oleh masyarakat hukum adat dengan Hak Ulayat Laut secara harmonis. 6.3. Pengaturan Perikanan oleh FAO Food Agriculture Organization (FAO) adalah organisasi internasional di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani masalah pangan dan pertanian dunia),
52

Ibid.

pada tahun 1995 mengeluarkan suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Resposible Fisheries-CCRF). Dalam pengelolaan hasil, pelestarian, pemasaran sumber daya alam hayati termasuk di dalamnya sumber daya perikanan yang yang dijadikan acuan secara global, maka dalam CCRF memberikan prisipprinsipnya53 sebagai berikut:
1. Negara dan para pengguna sumber daya hayati laut harus melestarikan ekosisitem perairan. Hak menangkap ikan senantiasa diikuti dengan tanggung jawab untuk menjamin efektivitas pelestarian sumber daya. Manajemen perikanan hendaknya mendorong pelestarian kualitas, keragaman, dan kuantitas persediaan sumber daya yang memadai bagi generasi sekarang dan masa depan, dalam konteks jaminan ketersediaan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Negara hendaknya mencegah penangkapan ikan secara berlebihan dan melampaui kapasitas perikanan. Kebijakan perikanan yang akan diambil sedemikian rupa, sehingga upaya penangkapan medekati dan tidak melebihi kapasitas produksi perikanan dan karenanya penggunaan secara lestari tetap terjamin. Keputusan tentang kebijaksanaan eksploitasi dan konservasi sumber daya alam perikanan harus didasarkan pada buktibukti ilmiah yang akurat, tetapi tetap memperhitungkan pengetahuan tradisional tentang sumber daya dan habitatnya. Negara dan organisasi yang mengelola perikanan, baik yang berdimensi regional maupun subregional, hendaknya mengawali segenap aktivitas eksploitasi konservasi sumber daya hayati laut dengan memperhitungkan bukti-bukti ilmiah yang memadai. Ketiadaan buktibukti ilmiah yang meyakinkan, jangan dijadikan alasan untuk menuda atau tidak mengambil tindakan guna pelestarian spesies sasaran, spesies yang berkaitan dan spesies bukan sasaran serta lingkungan. Seleksi terhadap alat penangkapan ikan yang akan digunakan, sedemikian rupa, sehingga keragaman biota tetap terpelihara, struktur populasi dan ekosistem aquatik terjaga serta kualitas ikan terlindungi. Pemanenan, pengolahan serta distribusi ikan dan hasil perikanan hendaknya dilakukan dengan cara-cara tertentu, sehingga tetap dapat dipertahankan nilai gizinya, sifat dan keamanan produknya, serta pemborosan dapat ditekan dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Seluruh habitat ikan yang penting di laut dan di air tawar, seperti hutan bakau, karang, danau, rawa dan daerah pemijahan (spawing areas), sejauh mungkin hendaknya dilindungi dan dibenahi. Usaha khusus hendaknya dibuat untuk melindungi habitat ini dari kehancuran, kemerosotan, polusi dan dampak penting lainnya, yang muncul sebagai akibat kegiatan manusia yang mengancam kesehatan dan kelangsungan sumber daya alam perikanan. Negara hendaknya menjamin agar kenpetingan sumber daya perikanan termasuk kebutuhan akan pelestarian sumber daya, diperhitungkan dalam berbagai bentuk pengelolaan kawasan pantai dan mengintegrasikannya dalam manajemen, perencanaan dan pengembangan kawasan pantai. Sesuai kemampuannya masing-masing dan juga berdasarkan hukum internasional, organisasi yang bergerak di bidang manajemen dan pelestarian, baik yang bersifat regional maupun subregional memasukan ke dalam kerangka kerjanya mengenai jaminan

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

53

Sudirman Saad, Op. Cit. h, 84

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16. 17.

18.

19.

pemenuhan dan penegakan pelestarian, menejemen dan mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengontrol aktivitas kapal-kapal ikan. Negara yang mengizinkan kapal-kapal ikan beroperasi di wilayahya, hendaknya melakukan pengawasan yang efektif terhadap aktivitas kapal-kapal tersebut, guna menjamin agar CCRF tetap dipatuhi. Negara hendaknya dapat menjalin kerja sama di tingkat subregional, regional dan global melalui organisasi pengelolaan perikanan, kesepakatan internasional dan kesepakatan lainnya untuk mendorong pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam hayati aquatik. Negara hendaknya, sejauh mungkin oleh hukum nasionalnya, menjamin proses pengambilan keputusan yang transparan dan ketepatan waktu dalam meyelesaikan masalah-masalah mendesak. Negara hendaknya memudahkan konsultasi dan partisipasi industri, pekerja perikanan, organisasi lingkungan dan organisasi lainnya dalam pengambilan keputusan tentang pembangunan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan menejemen perikanan, pengembangan, bantuan dan pinjaman internasional. Perdagangan internasional ikan segar dan produk perikanan, hendaknya dilakukan sesuai dengan prinsip, hak dan kewajiban yang tercantum dalam kesepakatan WTO dan kesepakatan internasional lainnya yang relevan. Negara hendaknya menjamin agar kebijakan, program dan praktek yang berhubugan dengan perdagangan ikan segar dan produk perikanan tidak menimbulkan hambatan dalam perdagangan, degradasi ligkungan dan dampak sosial yang negatif termasuk masalah gizi. Negara hendaknya bekerja sama untuk mencegah terjadinya sengketa. Semua sengketa yang berkaitan dengan praktek dan aktivitas perikanan hendaknya diselesaikan dengan cara kerja sama, damai, dan tepat waktu, sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan internasional atau persetujuan bilateral. Kalaupun penyelesaian sengketa terpaksa ditunda, para pihak yang terlibat sengketa setidaknya harus membuat kesepakatan sementara yang bersifat praktis tanpa harus mengabaikan upaya penyelesaian sengketa secara final. Negara yang mengakui arti pentingnya bagi pekerja perikanan dan nelayan untuk memahami pelestarian dan pengelolaan sumber daya perikanan hedaknya meningkatkan kesadaran tanggug jawab perikanan melalui pendidikan dan pelatihan. Negara hendaknya menjamin agar pekerja perikanan dan nelayan terlibat dalam perumusan kebijakan dan proses pelaksanaannya. Negara hedaknya mejamin agar fasilitas, perlengkapan serta semua aktivitas perikanan memungkinkan kondisi kerja yang aman, sehat, terbuka dan memenuhi standar internasional yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional yang relevan. Dengan mengakui pentingnya sumbangan nelayan kecil dalam penyediaan lapangan kerja, pendapatan dan keamanan pangan, negara hendaknya juga melindungi hak nelayan dan pekerja perikaan, khususnya yang tergolong nelayan subsistensi (sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari), demi kelangsungan hidup mereka, dan jika perlu melindungi daerah tradisional penangkapan ikan mereka, sejauh masih berada di bawah yurisdiksi nasional. Negara hendaknya mempertimbangkan budi daya air, termasuk budi daya berbasis perikanan, sebagai sarana memajukan diversifikasi pangan dan pendapatan. Namun, pengguanan sarana dalam rangka upaya ini harus dijamin agar tidak mengancam lingkungan dan tidak berdampak negatif terhadap masyarakat lokal.

Selain prinsip-prinsip di atas, di dalam CCRF FAO juga menetapkan serangkaian kriteria bagi teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan54 sebagai berikut:

Muslim Tadjuddah, Khairulamri dan Ratna Komala, Kajian Keramahan Lingkungan Alat Tangkap Menurut Klasifikasi Statistik Internasional Standar FAO, h, 4, http://cetak.kompas.com.

54

a. b.

c. d. e. f. g.

Alat tangkap harus memiliki selektivitas yang tinggi. Alat tangkap diupayakan hanya menangkap ikan/organisme lain yang menjadi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam selektivitas yang menjadi sub kriteria yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Ada dua macam selektivitas dalam kriteria ini berdasarkan ukuran dan jenis (mulai paling rendah hingga yang paling tinggi); Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh; Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh; Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang labih sama; Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran kurang lebih sama; Alat yang digunakan tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya. Dalam pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat penangkapan sebagai berikut: 1) Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas 2) Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit 3) Menyebabkan sebagian habitat pada wilayah yang sempit 4) Aman bagi habitat (tidak merusak habitat) 5) Tidak membahayakan nelayan (penangkap ikan) 6) Keselamatan manusia menjadi syarat penangkapan ikan, karena manusia merupakan bagian yang penting bagi keberlangsungan perikanan yang produktif. Pembobotan resiko diterapkan berdasarkan pada tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami oleh nelayan: a) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian nelayan; b) Alat tangkap dan cara peggunaannya dapat berakibat cacat tetap pada nelayan; c) Alat tangkap dan cara peggunaannya dapat berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya sementara; d) Alat tangkap yang aman bagi nelayan akan menghasilkan ikan yang bermutu baik; e) Jumlah ikan banyak tidak berarti bila ikan-ikan tersebut dalam kondisi buruk.

Dalam menentukan tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasi tangkapan secara morfologis (bentuk)55 yakni :
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Ikan tidak mati dan busuk; Ikan mati, segar dan cacat fisik; Ikan mati dan segar; Ikan hidup; Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen; Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen; Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen; Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen; Aman bagi konsumen; Hasil tangkapan yang terbuang minimum: Alat tangkap tidak selektif, sehingga dapat menangkap ikan/organisme yang bukan sasaran penangkapan (non-target). Dengan alat yang tidak selektif hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat karena banyaknya jenis non-target yang turut tertangkap. Hasil tangkapan non-target ada yang bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak. Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaan sumber daya hayati (biodiversity);

l.

55

Ibid, h.16

1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)

Alat tangkap dan operasinya meyebabkan kematian semua mahluk hidup dan merusak habitat; Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat; Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat; Tidak menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah; Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat Ikan yang dilindungi bebrapa kali tertangkap alat Ikan yang dilindungi pernah tertangkap Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap Diterima secara sosial. Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat tangkap akan sangat tergantung pada kondisi sosial, ekonomi dan budaya di suatu tempat. Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila: a) Biaya investasi murah; b) Menguntungkan secara ekonomi c) Tidak bertetangan dengan budaya setempat d) Tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.

Bila kriteria di atas dilaksanakan secara konsisten oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan, maka pengelolaan perikanan akan tersedia untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal yang penting untuk diingat, bahwa generasi saat ini memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan ketersediaan sumber daya ikan bagi generasi yang akan datang dengan pemanfaatan sumber daya ikan secara lestari dan berkelanjutan. Perilaku yang bertanggung jawab ini dapat memelihara, minimal mempertahankan stok sumber daya yang ada kemudian akan memberikan sumbangan yang penting bagi ketahanan pangan (food security), dan peluang yang berkelanjutan. Beberapa jenis alat tangkap ikan yang direkomendasikan menurut FAO56 sebagai berikut:
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)
56

Surrounding net (jaring lingkar); Seine net (pukat); Trawl; Drege (penggaruk); Lift net (jaring angkat); Falling gear (alat yang dijatuhkan); Gill net, entagling nets (jaring insang dan jaring puntal); Trap (peragkap); Hook and line (pancing); Grappling and wounding gear (pengait dan alat yang melukai)
Ibid

11) 12)

Harvesting machine (mesin pemanen) Alat tangkap lainya.

Praktik pengelolaan sumber daya perikanan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan Hak Ulayat Laut itu pada dasarnya telah mempraktikan prinsip-prinsip FAO di atas bahkan kemandirian yang ditunjukan mereka itu mampu melaksanakan pengawasan agar prinsip lestari dan berkelanjutan itu dapat terus dipatuhi oleh anggotanya. Pengawasan secara mandiri ini dilakukan melalui kelembagaan adat yang memiliki tanggung jawab melindungi wilayah hak ulayatnya dengan tujuan agar mampu memberikan jaminan penghidupan secara terus-menerus. Cara-cara yang ditunjukan oleh masyarakat hukum adat dalam mengelola sumber daya perikanan tersebut kiranya patut menjadi perhatian serius sekaligus dapat dijadikan model pengelolaan perikanan di seluruh wilayah Indonesia. Untuk mengakui eksistensi Hak Ulayat Laut yang berlaku di beberapa daerah di timur Indonesia perlu adanya ketegasan pengaturan hukum melalui undang-undang yang secara khusus pada tingkat undang-undang hingga peraturan daerah (Perda), sehingga hukum adat ini dapat berlaku, menguatkan (tidak menegasikan) secara nasional dan memiliki legalitas. Prinsip-prinsip yang ada pada Hak Ulayat Laut patut dijadikan norma aturan hukum nasional, sehingga lebih adaptif karena memuat unsur-unsur kearifan lokal.

6.4. Prinsip Pengelolaan

Sumber Daya Perikanan oleh Masyarakat Adat

Secara Berkelanjutan Pengelolaan perikanan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagai berikut:
Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mengcapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Mengingat potensi sumber daya perikanan memiliki nilai strategsi dalam pembangunan negara, tentunya harus dikelola dengan prinsip-prinsip berkelajutan agar dapat dipertahankan di masa depan. Pengelolaan perikanan diharapkan memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan yang akan datang di mana prinsipprinsip keberlanjutan tersebut harus mengakomodir aspek ekologi, sosial-ekonomi masyarakat dan kelembagaan. Pengeloaan perikanan berkelanjutan pada dasarnya tidak diarahkan pada larangan aktifitas penangkapan yang bersifat ekonomi/komersial semata tetapi justru menganjurkan pemanfaatan yang tidak melebihi daya dukung lingkungan perairan atau kemampuan pulihnya sumber daya perikanan, sehingga generasi penerus umat manusia tetap memiliki aset sumber daya perikanan dalam jumlah yang cukup. Pengelolaan perikanan dapat

dikatakan berkelanjutan apabila dilakukan dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti, bahwa kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan dimaksudkan harus mempertahankan integritas ekosisitem, memelihara daya dukung lingkungan dan koservasi sumber daya ikan termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan sumber daya ikan dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa kegiatan pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas sosial, sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan. Sedangkan keberlanjutan secara ekonomi dimaknai sebagai kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan yang dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi dan penggunaan sumber daya perikanan serta investasi secara efisien. Keikutsertaan pengguna (users) dalam

pengelolaan perikanan sangat penting di mana beberapa pengalaman praktik pengelolaan tanpa melibatkan pengguna hasilnya tidak akan berhasil.

Regulasi pengelolaan perikanan oleh Pemerintah dilakukan melalui 20 (dua puluh) kebijakan yang ditetapkan seperti daitur pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagai berikut:
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. Rencana pengelolaan perikanan Potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; Jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; Potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; Potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; Jenis, jumlah dan ukuran alat penangkapan ikan; Jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; Daerah jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan; Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; Sistem pemantauan kapal perikanan; Jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; Jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; Pembudidayaan ikan dan perlindungannya; Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; Rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; Ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; Suaka perikanan; Wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; Jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; Jenis ikan yang dilindungi.

Pengelolaan perikanan berkaitan dengan peran masyarakat adat diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang perikanan sebagai berikut:
Pengelolaan perikanan dalam wilayah untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

Pasal 25 Undang-undang Perikanan, berkaitan dengan pelaku usaha perikanan dalam melaksanakan bisnis perikanan harus memperhatikan standar mutu hasil perikanan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan.

Dari deskripsi pengertian pengelolan perikanan tersebut, maka tujuan pengelolaan perikanan adalah agar terjadi pengelolaan usaha perikanan dengan baik dan mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan, khususnya bagi nelayan sesuai Pasal 3 Undang-Undang Perikanan sebagai berikut:
Pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan: a. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; b. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara; c. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja; d. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; e. Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan; f. Meningkatkan produktifitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; g. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; h. Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan i. Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan, pembudidayaan ikan, dan tata ruang.

Adapun tujuan pengelolaan perikanan dapat digolongkan dalam empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi dan budaya. Pertama, pertimbangan biologi. Sebagai populasi atau komunitas yang hidup, sumber daya hayati laut mampu membaharui dirinya melalui proses pertumbuhan dalam ukuran (panjang) dan massa (bobot) individu selain pertambahan terhadap populasi atau komunitas mulai reproduksi (yang biasa disebut dalam perikanan sebagai rekrutmen). Tugas utama dari pengelolaan perikanan adalah menjamin bahan moralitas penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang sedang dikelola. Persyaratan ini tidak hanya menuntut agar populasi total dijaga berada di atas kelimpahan biomassa tertentu, tetapi juga menjaga struktur umur dan populasi dalam keadaan sedemikian rupa, sehingga mampu mempertahankan tingkat reproduksi dan dengan demikian rekrutmen terjaga untuk menggantikan kehilangan akibat adanya proses kematian. Kedua, pertimbangan ekologi dan lingkungan di mana setiap kali terjadi perubahan dalam komponen dan ekosisitem dapat mempunyai dampak terhadap populasi dan komunitas sumber daya ikan. Beberapa perubahan tersebut dapat terjadi di luar kontrol manusia, namun mereka tetap

perlu mempertimbangkan aspek pengelolaan. Ketiga, pertimbangan sosial, budaya dan kelembagaan. Populasi manusia dan masyarakat bersifat dinamis, seperti halnya populasi biologi lainnya. Perubahan sosial yang berlangsung terus-menerus dapat mempengaruhi oleh perubahan cuaca, lapangan pekerjaan, kondisi politik, penawaran dan permintaan produk perikanan dan faktor-faktor lainnya. Keempat, pertimbangan ekonomi di mana kekuatan pasar sangat mempengaruhi pengelolaan perikanan. Sementara pengelolaan perikanan masih sering dihadapkan pada persoalan perikanan akses terbuka (open acces) di mana setiap orang boleh masuk ke dalam perikanan. Orang akan cenderung terus masuk dalam bidang

perikanan sampai keuntungan semakin rendah, sehingga tidak lagi menarik bagi pelaku usaha baru. Akibat yang tidak dapat dielakan mengarah kepada tidak efektif secara ekonomi dan jika tidak ditegakkan tindakan pengelolaan yang efektif akan terjadi over exploitation. Sependapat dengan Solihin,57 bahwa rusaknya sumber daya perikanan akhir-akhir ini diakibatkan tidak adanya rencana penglelolaan yang jelas di era sebelumnya, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Begitu pula kuatnya hegemoni negara (Pemerintah Pusat) dalam sistem pemerintahan Indonesia di masa lalu mempunyai andil yang sangat besar dalam menciptakan kerusakan kawasan pesisir dan laut khususnya sumber daya ikan. Sedangkan menurut Sudirman Saad58 hegemoni tersebut tercermin dalam konfigurasi kebijakan perikanan pada tahun-tahun sebelumnya yang ditandai dengan tiga ciri utama yaitu: 1) Didasarkan pada doktrin milik bersama (common property). Kebijakan perikanan yang didasarkan pada doktrin milik bersama, seperti tidak ada batasan siapa, kapan, di mana dan bagaimana kegiatan penangkapan ikan seharusnya dilakukan, telah menyebabkan wilayah perairan laut nasional menjadi arena pertarungan

57 Akhmad Solihin dan Arif Satria, Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Kasus Awing-awing di Lombok Barat, Solidity : Jurnal Trasdisiplin sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia Vol 1, 2007, h, 68. 58 Sudirman Saad dalam Akhmad Solihin dan Arif Satria, Op.Cit. h.68

bagi pelaku-pelaku perikanan (stakeholder) di bawah kekuasaan hukum rimba atau hukum samudera. Akibatnya pengelolaan perikanan seperti ini telah terbukti gagal dalam memberikan perlindungan hukum baik kepada pelakupelaku perikanan, khususnya nelayan kecil/tradisional maupun bagi sumber daya ikan dan laut itu sendiri. 2) Sentralistik (proses produksi dan substansinya). Sentralisme kebijakan dan antipluralisme hukum tidak kalah destruktif, karena keduanya secara sinergis telah menciptakan konflik antar pelaku perikanan dan tumpang tindihnya wilayah penangkapan ikan (fishing ground). 3) Mengabaikan atau anti pluralisme hukum.

Beberapa permasalahan serius lain dalam pengelolaan yang sering timbul berkaitan dengan kelestarian sumber daya perikanan di antaranya adalah: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Pemanfaatan berlebihan (over exploitation) terhadap sumber daya perikanan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan yang merusak lingkungan, Perubahan dan degradasi fisik habitat. Pencemaran Introduksi spesies asing. Kawasan konservasi berubah peruntukannya Perubahan iklim global dan bencana alam.

Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosisitemnya menyebutkan bahwa Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifatsifat liar, baik yang hidup bebas maupun dipelihara oleh manusia.

Di Indonesia selain Hak Ulayat Laut dikenal pula jenis hukum adat lain seperti penguasaan tradisional terhadap penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan penangkapan ikan secara tradisional seperti di Sulawesi Selatan, misalnya Bagan Apung (gil net). Masyarakat hukum adat selain memiliki hak, juga memiliki kewajiban-kewajiban terhadap kelestarian dan berkelanjutannya sumber daya alamnya untuk generasi penerusnya. Oleh karena itu antara hak dan kewajiban harus terdapat keseimbangan yang harmonis, sehingga membentuk pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam secara integral baik secara sosial, politik, budaya, ekonomi, lingkungan hidup, agama dan hukum dari kehidupan masyarakat hukum adat. Bagi masyarakat adat yang tinggal di pesisir, maka sumber daya alam tersebut tidak hanya berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi, tetapi juga sangat mengenal kondisi lingkungannya dan mengetahui kepentingannya secara berkelanjutan dan untuk stabilitas wilayah laut dan pesisir. Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam wilayah laut dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal yang memberikan potensi besar bagi masyarakat untuk melakukan ancaman terhadap pihak luar termasuk negara. Masyarakat hukum adat telah melindungi dan mempertahankan hak dan kewajibannya jauh sebelum negara ada. Kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah laut dan pesisir bukan atas pemberian dari negara, melainkan secara alamiah (by nature) yang merupakan bagian dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Wilayah Hak Ulayat Laut yang didiami merupakan warisan dari nenek moyang secara turun-temurun. Hak kepemilikan yang ada di dalam masyarakat adat memfokuskan pada tiga aspek yang fundamental yakni: 1) 2) Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan. Otoritas penuh untuk menentukan nasib sendiri

3)

Hak untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rencana kegiatan atau kebijakan negara yang berdampak pada nasib masyarakat adat itu sendiri.59

Dari keterangan di atas menunjukan bahwa konsep Hak Ulayat Laut dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan dan dilakukan dengan cara-cara tradisional yang sejalan dengan prinsip-prinsip internasional. Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan berdasarkan Hak Ulayat Laut ini pada tahun 1997-1998 terjadi kasus (case study) yaitu keluhan yang disampaikan masyarakat hukum adat di Yambekwan, Sowek, Insumdabi, Rani, Supriori Selatan terhadap penangkapan ikan Napoleon Warse, Kerapu, Lobster oleh Perusahaan Perikanan Fa. Mutiara Mas dengan menggunakan jaring pukat palagis kecil dan bahan kimia Sianida. Beberapa ikan yang dilindungi seperti ikan Napoleon Warse turut terjaring tanpa melihat ukuran dan jumlah yang diizinkan baik oleh Pemerintah maupun masyarakat hukum adat. Atas perbuatan itu masyarakat telah mengadukannya kepada Pemda Biak Numfor dan aparat keamanan, namun tidak ditanggapi dengan baik. Rumusan tentang batas-batas Hak Ulayat Laut menurut hukum nasional hingga saat ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga sering menimbulkan konflik antara masyarakat hukum adat dan perusahaan. Sebagai contoh pada tahun 2000, masyarakat hukum adat di Waropen dan Sarmi menuntut ganti rugi atas penangkapan ikan dan lobster oleh PT. Bintang Mas yang berbais di Jayapura dalam jumlah besar dan terus-menerus sepanjang tahun. Akibatnya masyarakat hukum adat tidak dapat melestarikan sumber daya perikanan di wilayahnya dengan baik. Hasil tangkapan mereka jadi berkurang karena menyempitnya wilayah Hak Ulayat Laut yang terdesak oleh perusahaan. Konflik tersebut juga dipicu karena PT Bintang Mas melakukan penangkapan ikan dan udang di wilayah Hak Ulayat Laut Waropen dan Sarmi tanpa izin dari lembaga adat, sehingga atas eksploitasi
59

R.Z.Titahelu, wawancara 15 April 2010 di Universitas Patimura Ambon.

tersebut dituntut ganti rugi atas kekayan laut yang dikuras oleh perusahaan dengan cara membangun jaringan nelayan plasma. Pihak Pemerintah Provinsi sebagi mediator tidak dapat mengabulkan permintaan ganti rugi yang diajukan masyarakat hukum adat dengan alasan tidak ada dasar hukum pelanggaran PT Bintang Mas melanggar wilayah Hak Ulayat Laut menurut hukum nasional. Konflik yang tidak selesai ini menimbulkan penolakan kegiatan operasi perusahaan diperairan Sarmi dan Waropen. Dari dua kejadian tersebut menunjukkan terdapat kepentingan dalam pengelolaan sumber daya perikanan antara masyarakat hukum adat dan pihak swasta sering menimbulkan konflik. Konflik tersebut pada dasarnya dipicu karena dasar hukum yang digunakan berbeda. Di satu sisi masyarakat hukum adat menggunakan dasar hukum adat (non statuair) nasional. Namun

sedangkan masayarakat nonpersekutuan menggunakan dasar hukum

faktanya hukum nasional tidak dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ramah lingkungan, sehingga masyarakat hukum adat sebagai subjek pemilik sumber daya perikanan di wilayah kuasa adat terpinggiran karena eksploitasi oleh perusahaan. Cara-cara demikian itu tidak berpihak kepada kelestarian dan berkelanjutan yang mampu menjamin ketersediaan sumber daya perikanan di masa mendatang. Konsep pengelolaan sumber daya perikanan yang dilaksanakan masyarakat hukum adat dengan Hak Ulayat Laut sekalipun dilaksanakan dengan cara-cara tradisional (teknlogi sederhana) namun jelas memenuhi prinsip-prinsip ramah lingkungan dan lestari, sehingga mampu menjamin keberlanjutan di masa mendatang. Dengan teknologi alat tangkap yang sederhana yang dilakukan nelayan tradisional misalnya dengan alat pancing, tombak, panah molo, rompong dan perangkap ikan. Terhadap waktu panangkapan ikan diterapkan melalui norma Sasi, sehingga penangkapan ikan tidak

dilakukan dengan sepanjang tahun. Melalu norma Sasi memberikan kesempatan biota laut termasuk ikan bereproduksi, sebagai bentuk konservasi dalam sistem pengelolaan sumber daya perikanan.

You might also like