You are on page 1of 4

SEJARAH POLITIK DALAM ISLAM

u q è d u r “Ï% © ! $ # ö N à 6 n = y è y _ y # Í´ ¯ » n = y z Ç Ú ö ‘ F { $ # y ì s ù u ‘ u r
ö N ä 3 Ÿ Ò ÷ è t / s -ö q s ù < Ù ÷ è t / ;M » y _ u ‘ y Š ö N ä . u q è = ö 7 u ŠÏj9 ’Îû !
$ t B ö /ä 3 8 s ? # u ä 3 ¨b Î) y 7 / u ‘ ß ìƒÎŽ | É > $ s )Ïè ø 9 $ # ¼ ç m ¯R Î) u r
÷ ‘q à ÿ t ó s 9 7 LìÏm § ‘ Ç ÊÏÎ »

“dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi


dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (terj.
Q., s., al-An’ām/6:165).

Berbicara tentang sejarah politik dalam Islam harus melihat


dokumen al-Qur’an. Al-Qur’an memuat prinsip-prinsip politik berupa
keadilan, musyawarah, toleransi, hak-hak dan kewajiban, amar
ma’ruf dan nahi anil mungkar, kejujuran, dan penegakan hukum.
Selain itu, praktik politik Nabi Muhammad SAW juga bisa menjadi
sunnah dalam penyelenggaraan pemerintahan Islam. Dua sumber
itu, adalah dokumen yang menyajikan bagaimana Nabi dan Khulafa’
al-Rasyidin melakukan politik pemerintahan di dalam sejarah Islam.

Sejarah Politik Masa Nabi SAW. dan Khulafa’ al-Rāsyidîn


Sejarah politik Islam adalah sejarah dakwah, yakni
menyebarkan amar ma’ruf nahi ‘anil munkar (menyuruh kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran). Karena itu, pemerintahan
Islam sejak dari masa Nabi Muhammad SAW di Madinah pada
622 M hingga Khulafa al-Rāsyidîn yang berakhir pada sekitar 656 M
merepresentasikan sebuah upaya penegakan kebajikan di muka

1
bumi. Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah kepemimpinan
moral yang sangat peduli pada perwujudan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat.
Seperti dicatat dalam sejumlah riwayat, pemerintahan Nabi di
Madinah adalah pemerintahan yang toleran. Dokumen tentang
toleransi dapat dibaca dalam Piagam Madinah yang berintikan
antara lain: penghormatan pada pemeluk agama yang berbeda,
hidup bertetangga secara damai, kerja sama dalam keamanan, dan
perlindungan bagi pihak-pihak yang teraniaya. Isi Piagam Madinah
tersebut dicatat sebagai dokumen politik pertama dalam sejarah
yang mengadopsi prinsip-prinsip toleransi. Selain itu, Piagam
Madinah dilihat dari kacamata teori politik, dianggap memiliki
gagasan-gagasan HAM modern meskipun lahir di masa pra-modern.
Pemerintahan Nabi di Madinah berhasil menyatukan suku-suku yang bertikai
menjadi satu bangsa. Tidaklah mudah menyatukan suku-suku yang berkonflik ratusan
tahun di sana. Tetapi dengan kekuatan integritas moral yang kuat seperti Nabi SAW.,
masalah konflik dapat diatasi. Maka lempanglah jalan bagi Nabi untuk melakukan
pembangunan berdasarkan al-Qur’an sehingga terciptalah kesejahtraan rakyat.
Menurut riwayat, tidak ada pemberontakan berarti selama Nabi memerintah di sana
dari rakyatnya. Yang terjadi justru, ketaatan penuh rakyat pada kepemimpinan Nabi.
Pernik-pernik konflik terjadi hanya dengan negara-negara tetangga yang takut
kehilangan pengaruh kekuasaannya.
Jadi, selama Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin Negara Madinah, ia
menjadi pemimpin yang adil dan menerapkan keagungan moral bagi rakyatnya. Itulah
sebabnya A’isyah istri Nabi pernah mengatakan bahwa “akhlaq Rasulullah adalah al-
Qur’an”. Al-Qur’an dan Sunnahnya menjadi undang-undang negara yang mengikat
kaum Muslimin di sana. Sekalipun begitu, umat-umat lain juga dilindungi. Dalam Q.
s., al-Ambiyā’/21:107 disebutkan yang artinya, “Tidaklah Kami utus engkau selain
menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Konsep rahmatan lil’ālamîn adalah konsep

2
toleransi di dalam Islam yang hingga sekarang sering dikutip sebagai teologi toleransi
yang amat penting dalam relasi Islam dan negara.
Demikianlah, kepemimpinan Nabi adalah cermin moralitas dan teladan indah
bagi umat Islam dan bahkan umat manusia. Nabi SAW adalah model ideal umat yang
karir hidupnya dapat memunculkan kearifan-kearifan politik umat. Hingga wafatnya
pada Juni 632 M, Nabi Muhammad SAW telah menjadi Nabi-Penguasa yang efektif
atas sebagian besar semenanjung Arabia.
Pasca wafatnya Nabi, pemerintahan Islam diteruskan oleh empat khalifah yang
utama (Khulafa’ al-Rāsyidîn), yakni Abu Bakar ra, Umar bin Khattab, Usman bin
‘Affān, dan Ali bin Abin Thalib. Keempat khalifah tersebut menyelenggarakan
pemerintahan Islam mendekati pemerintahan Nabi Muhammad SAW. Keadilan,
penegakan hukum, musyawarah, dan egalitarianisme amat ditegakkan sehingga empat
khalifah itu diberi gelar empat khalifah yang mendapat petunjuk. Meski ada riak-riak
politik di dalam era keempat khalifah itu, tapi secara keseluruhan menampakkan gerak
moral yang amat kosnsisten dan perluasan wilayah yang amat efektif ke luar Jazirah
Arabia. Selama tiga puluh tahun (30 tahun), keempat khalifah menampakkan sebuah
pemerintahan politik Islam yang amat agung dan menjadi sejarah politik yang
demokratis di dunia saat itu.
Pasca keempat khalifah, pemerintahan Islam mengalami pasang-surut.
Demikian pula sejarah Islam mengalami kebangkitan dan keruntuhan. Dari sejarah itu,
menunjukkan garis konstan bahwa pemerintahan yang mengedepankan moralitas akan
memperoleh kejayaan dan sebaliknya. Karena itu, sejarah politik Islam adalah sejarah
pasang-surut antara yang ma’ruf dan yang mungkar. Umat Islam harus mengambil
nilai-nilai dan prinsip-prinsip politik yang baik dan menjauhkan noda-noda hitamnya
jika ingin sebuah pemerintahan itu tegak di muka bumi.

Nilai-Nilai Politik Dalam al-Qur’an


Namun perlu dicatat, al-Qur’an bukanlah kitab politik. Ia hanya memberikan
prinsip-prinsipnya saja dan bukan mengajari cara-cara berpolitik praktis. Dengan

3
demikian, perhatian utama al-Qur'an adalah memberikan petunjuk yang benar kepada
manusia, yaitu petunjuk yang akan membawanya kepada kebenaran dan suasana
kehidupan yang baik. Sebagai kitab petunjuk, al-Qur'an mengarahkan manusia kepada
hal-hal praktis. Ia memberi tekanan lebih atas amal perbuatan daripada gagasan.
Bertolak dari sisi pandangan ini, maka iman barulah punya arti jika diikuti secara
terpadu oleh perbuatan baik yang positif dan konstruktif.
Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur'an menyediakan suatu dasar yang
kukuh dan tak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi
kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, al-Qur'an memberikan jawaban
komprehensif untuk persoalan tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai
perorangan dan sebagai anggota masyarakat dalam rangka menciptakan suatu
kehidupan yang berimbang di dunia ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat.
al-Qur'an sendiri mengajarkan bahwa kehidupan di dunia merupakan prasyarat bagi
kebahagiaan hidup yang akan datang seperti dinyatakan dalam al-Qur'an, ”Barang
siapa buta di dunia ini, maka akan buta di akhirat, dan bahkan lebih sesat lagi
perjalanannya” (terj. Q.s., al-Ahzāb/17:72) Bagi seorang mukmin, al-Qur'an
merupakan manifestasi terakhir bagi rahmat Allah swt. kepada manusia, di samping
sebagai prinsip kebijaksanaan yang terakhir pula.
Jadi, jangan menjadikan al-Qur’an dan pemerintahan Nabi untuk instrumen
politik. Tapi ambillah prinsip-prinsip etiknya dan sesuaikan dengan kondisi-kondisi
sosial politik sehingga melahirkan suatu kombinasi moralitas Islam dan relevansi
sosial politik. Wallāhu A’lamu bil-Shawāb.

You might also like