You are on page 1of 64

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

KIMIA DASAR II

Disusun oleh:

Nama : Belly Lesmana


NIM : 08.01.007
Jurusan : S1- Teknik Perminyakan ‘A’
Kelompok : 2 (Dua)

LABORATORIUM KIMIA
S1 - TEKNIK PERMINYAKAN
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI
BALIKPAPAN
2009
LEMBAR PENGESAHAN
PRAKTIKUM KIMIA DASAR II

Diajukan sebagai persyaratan untuk memenuhi kurikulum Tahun Akademik


2008/2009 dalam menyelesaikan Mata Kuliah Kimia Dasar II di Jurusan S1
Teknik Perminyakan, STT Migas Balikpapan.

Disusun Oleh,
Nama : Belly Lesmana
NIM : 08.01.007

Balikpapan, 12 April 2009

( Belly Lesmana )

Disetujui Oleh,

Dosen Mata Kuliah


Kimia Dasar II

( Selvia Sarungu’, ST )

ii
KARTU ASISTENSI

NAMA : BELLY LESMANA


NIM : 08.01.007
JURUSAN : S1 - TEKNIK PERMINYAKAN
JUDUL PERCOBAAN : KIMIA DASAR II

No. Tanggal Keterangan Paraf


1 21-04-2009 1. Tambahkan pembahasan pada density
2. Buat grafik pada milimeter blok untuk :
a) x 10 gram x 20 gram

t t

v 10 gram v 20 gram

t t

2 24-04-2009 ACC

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan segala kerendahan hati dan penuh suka cita, dan
sebagai perwujudan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala petunjuk,
rahmat dan karunia yang diberikan oleh Allah SWT kepada penyusun sehingga
dapat menyelesaikan laporan praktikum Kimia Dasar II, sebagai persyaratan
untuk memenuhi kurikulum Tahun Akademik 2008 / 2009 dalam menyelesaikan
Mata Kuliah Kimia Dasar II di Jurusan S1 Teknik Perminyakan, STT Migas
Balikpapan.
Selama menyelesaikan penulisan laporan ini, mulai dari persiapan hingga
selesai, penyusun banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Maka pada
kesempatan kali ini atas bantuan dan dorongan moril maupun materiil penyusun
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sangat mendalam kepada :
1. Ibu Selvia Sarungu’, ST. selaku dosen untuk mata kuliah Kimia Dasar II serta
pembimbing dalam praktikum.
2. Rekan-rekan serta semua pihak yang telah membantu sehingga Laporan
Praktikum Kimia Dasar II ini dapat terselesaikan.
3. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan semangat dan perhatian.
Selanjutnya penyusun mengharapkan saran dan kritik yang kontruktif dan
inovatif dari para pembaca demi untuk kesempurnaan didalam berbagai aspek dari
laporan ini. Apabila terdapat kesalahan baik dari segi penyusunan maupun tata
bahasa dalam laporan ini, penyusun memohon maaf.
Akhirnya penyusun berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita
semua serta dapat dijadikan sebagai jalan pembuka pintu cakrawala dalam
dedikasi kita terhadap ilmu pengetahuan.

Balikpapan, 12 April 2009

Penyusun

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ............................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................ ii
KARTU ASISTENSI .......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................ v

BAB I KELARUTAN .................................................................... 1


1.1. Tujuan Percobaan ................................................................ 1
1.2. Teori Dasar .......................................................................... 1
1.3. Alat dan Bahan .................................................................... 14
1.3.1. Alat yang digunakan ................................................. 14
1.3.2. Bahan yang digunakan .............................................. 15
1.4. Prosedur Percobaan ............................................................. 15
1.5. Tabel Hasil Pengamatan ...................................................... 16
1.6. Pembahasan ......................................................................... 25
1.7. Kesimpulan dan Saran ......................................................... 26
1.7.1. Kesimpulan ............................................................. 26
1.7.2. Saran ........................................................................ 27
1.8. Lampiran ............................................................................. 27

BAB II DENSITY ........................................................................... 29


2.1. Tujuan Percobaan ................................................................ 29
2.2. Teori Dasar .......................................................................... 29
2.3. Alat dan Bahan .................................................................... 34
2.3.1. Alat yang digunakan ............................................... 34
2.3.2. Bahan yang digunakan ............................................ 34
2.4. Prosedur Percobaan ............................................................. 35
2.5. Tabel Hasil Pengamatan ...................................................... 36
2.6. Pembahasan ......................................................................... 37

v
2.7. Kesimpulan dan Saran ......................................................... 38
2.7.1. Kesimpulan ............................................................. 38
2.7.2. Saran ........................................................................ 39
2.8. Lampiran ............................................................................. 39

BAB III SEDIMENTASI ................................................................. 41


3.1. Tujuan Percobaan ................................................................ 41
3.2. Teori Dasar .......................................................................... 41
3.3. Alat dan Bahan .................................................................... 49
3.3.1. Alat yang digunakan ............................................... 49
3.3.2. Bahan yang digunakan ............................................ 49
3.4. Prosedur Percobaan ............................................................. 49
3.5. Tabel Hasil Pengamatan ...................................................... 51
3.6. Pembahasan ......................................................................... 52
3.7. Kesimpulan dan Saran ......................................................... 54
3.7.1. Kesimpulan ............................................................. 54
3.7.2. Saran ........................................................................ 55
3.8. Lampiran ............................................................................. 55

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi
BAB I
KELARUTAN

1.1. Tujuan Percobaan


Tujuan percobaan ini adalah untuk menentukan kelarutan dan perhitungan
panas kelarutan diferensial pada larutan jenuh asam oksalat.

1.2. Teori Dasar


Larutan adalah campuran homogen dari molekul, atom ataupun ion
dari dua zat atau lebih. Larutan jenuh didefinisikan sebagai larutan yang
mengandung zat terlarut dalam jumlah yang diperlukan untuk adanya
kesetimbangan antara zat terlarut yang larut dan yang tidak larut
(Keenan,1992).
Pembentukan larutan jenuh dapat dipercepat dengan pengadukan dan
penambahan zat terlarut yang berlebih. Banyaknya zat terlarut yang melarut
dalam pelarut yang banyaknya tertentu untuk menghasilkan suatu larutan
jenuh disebut kelarutan zat terlarut, dimana biasanya dinyatakan dalam gram
zat terlarut per 100 gram pelarut pada temperatur tertentu (keenan, 1992). Zat
padat dapat dimurnikan dengan memanfaatkan perbedaan kelarutan pada
temperatur yang berlainan. Untuk kebanyakan zat, bila larutan jenuh panas
didinginkan, maka kelebihan zat padat akan mengkristal. Proses ini dapat
dipermudah dengan membibit larutan itu dengan beberapa kristal halus zat
padat murni (Keenan,1992).
Proses ini dikenal dengan pengkristalan ulang atau rekristalisasi.
Metode ini sering digunakan sebagai cara efektif untuk membuang pengotor
dalam jumlah kecil dari dalam zat padat, karena pengotor itu cenderung
tertinggal dalam larutan (Keenan,1992).

1
Adapun faktor yang mempengaruhi kelarutan zat padat yaitu
(Underwood, 1990):
1. Temperatur atau Suhu
Umumnya kelarutan akan naik dengan kenaikan suhu, meskipun
beberapa hal yang istimewa (seperti kalium sulfat) terjadi yang
sebaliknya. Dalam beberapa hal perubahan kelarutan dengan berubahnya
suhu dapat menjadi dasar pemisahan.

2. Pelarut
Kebanyakan garam anorganik lebih larut dalam air murni daripada
pelarut organik.

3. Ion Sekutu atau sejenis


Adanya ion sekutu akan mempengaruhi kelarutan. Ion sekutu ialah ion
yang juga merupakan salah satu bahan endapan. Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa kelarutan suatu endapan akan berkurang banyak sekali
jika salah satu ion sekutu terdapat dalam jumlah berlebihan, meskipun
efek ini diimbangi dengan pembentukan suatu kompleks yang dapat
larut.

4. Ion Asing
Dengan adanya ion asing maka kelarutan akan bertambah, tetapi pada
umumnya penambahan ini sedikit, kecuali bila terjadi reaksi kimia
(seperti pembentukan kompleks) antara endapan dengan ion asing,
biasanya kenaikan larutan lebih mencolok.

5. Ph
Kelarutan garam dari asam lemah bergantung pada pH larutan.

2
6. Kompleks
Banyak endapan membentuk kompleks yang larut dengan ion dari
pereaksi pengendap sendiri, dalam hal ini kelarutan mula-mula turun
karena pengaruh ion sejenis melewati minimum dan kemudian naik
karena pembentukan kompleks menjadi nyata.

7. Konsentrasi
Bila konsentrasi lebih kecil dari kelarutan, zat padat akan terlarut dan
sebaliknya bila konsentrasi melebihi dari kelarutan, maka akan terjadi
pengendapan.

Hasil kali kelarutan akan menjelaskan hubungan antara perubahan


suatu senyawa dengan adanya pengaruh ion sekutu. Kelarutan suatu
senyawaan sangat berkurang jika ditambahkan zat lain (reagen) yang
mengandung ion sekutu dari ion tersebut. Karena konsentrasi ion sekutu ini
tinggi (dalam larutan), konsentrasi ion lainnya harus menjadi rendah dalam
larutan jenuh senyawa itu, maka kelebihan senyawa itu akan diendapkan.
Jadi jika salah satu ion harus dikeluarkan dari larutan dengan pengendapan,
maka reagen harus dipakai dengan berlebihan. Tetapi penambahan reagen
yang terlalu berlebihan memungkinkan akan memperbesar kelarutan
endapan karena terbentuknya kompleks antara senyawa dengan ion sekutu
(Vogel, 1973).
Garam NaCl yang diperoleh dari alam yaitu dengan jalan menguapkan
air laut dalam bak-bak penampungan merupakan garam NaCl yang masih
mengandung pengotor-pengotor. Untuk mendapatkan NaCl murni dapat
diperoleh dengan cara rekristalisasi (Keenan, 1983).
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu,
zat terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan
dinyatakan dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu
pelarut pada kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat
tertentu dapat larut dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut.

3
Contohnya adalah etanol di dalam air. Sifat ini lebih dalam bahasa Inggris
lebih tepatnya disebut miscible.
Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni
ataupun campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau
padat. Kelarutan bervariasi dari selalu larut seperti etanol dalam air, hingga
sulit terlarut, seperti perak klorida dalam air. Istilah "tak larut" (insoluble)
sering diterapkan pada senyawa yang sulit larut, walaupun sebenarnya hanya
ada sangat sedikit kasus yang benar-benar tidak ada bahan yang terlarut.
Dalam beberapa kondisi, titik kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui
untuk menghasilkan suatu larutan yang disebut lewat jenuh (supersaturated)
yang metastabil.
Dua komponen dalam larutan adalah solute dan solvent. Solute adalah
substansi yang terlarut, sedangkan solvent adalah substansi yang melarutkan,
contohnya larutan NaCl. NaCl adalah solute dan air adalah solvent. Semua
partikel baik dari solute maupun solvent ukuran partikelnya adalah sebesar
molekul atau ion-ion. Partikel ini tersebar secara merata antara masing-
masing dan menghasilkan satu fase homogen. Karena sedemikian
menyatunya penyebaran antara solute dan solvent dalam larutan, maka sifat
fisik dari larutan sering sedikit berbeda dengan solvent murninya sendiri.
Jenis campuran ketiga ini mempunyai sifat khusus yaitu koloid. Dari ketiga
materi : padat, cair, dan gas sangat memungkinkan untuk memiliki sembilan
tipe larutan yang berbeda : padat dalam padat, padat dalam cair, gas dalam
cair, cair dalam cair, dan sebagainya. Dari berbagai macam tipe ini, larutan
yang lazim kita kenal adalah padat dalam cair, cair dalam cair, gas dalam
cair serta gas dalam gas.
Properti dari larutan antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Larutan adalah campuran homogeny dari dua atau lebih substansi, yaitu
solute dalam solvent.
2. Memiliki komposisi variable.
3. Zat terlarut dapat berupa molekul maupun ion.
4. Memiliki warna tetapi biasanya transparan.

4
5. Zat terlarut terdistribusi secara uniform dalam larutan dan tidak
terpengaruh oleh waktu.
6. Larutan memiliki komposisi kimia sama, property kimia yang sama dan
property fisika yang sama pada setiap bagian.
7. Pada banyak kasus zat terlarut dapat terpisahkan dari pelarutnya dengan
menggunakan berbagai macam alat.

Tabel 1.1.
Kombinasi dari fase-fase yang dapat dicampur

Medium Fase
Jenis Koloidal Contoh
Pendispersi Terdispersi
Padatan Padatan Sol padat Mutiara, opal
Padatan Cairan Emulsi Keju, mentega
Batu apung,
Padatan Gas Busa padat
kerupuk
Pati dalam air,
Cairan Padatan Sol gel
jello, cat
Susu,
Cairan Cairan Emulsi
mayonaise
Krim kue tar,
Cairan Gas Busa
krim cukur
Gas Padatan Aerosol padat Debu, asap
Gas Cairan Aerosol cair Awan, kabut

Suatu substansi dapat dikelompokkan sangat mudah larut, dapat larut


(moderately soluble), sedikit larut (slightly soluble) dan tidak dapat larut.
Meskipun bentuk-bentuk ini tidak sama secara akurat menjelaskan
bagaimana zat terlarut tersebut akan terlarut, namun seringkali digunakan
untuk menjelaskan kelarutan atau solubilitas. Dua istilah lain yang sering
digunakan untuk menjelaskan kelarutan atau solubilitas adalah miscible dan
inmiscible.

5
Cairan yang mampu mencampur dan membentuk larutan disebut miscible
sedangkan cairan yang tidak mampu membentuk cairan atau secara umum
saling tidak melarut (insoluble) disebut inmiscible. Sebagai contoh metal-
alkohol dan air adalah saling melarutkan miscible dalam segala proporsi.
Karbon-tetraklorida dan air adalah inmiscible membentuk dua buah lapisan
yang terpisah ketika mereka dicampur. Pernyataan kuantitatif dari jumlah zat
yang terlarut dalam solvent tertentu diketahui sebagai konsentrasi dari
larutan.

Beberapa variable seperti misalnya ukuran ion-ion, interaksi antara solute


dan solvent, dan temperature mempengaruhi kelarutan. Kelarutan dari solute
negative mudah diukur melalui percobaan. Beberapa faktor yang
berhubungan dengan kelarutan antara lain :
a. Sifat alami dari solute dan solvent
Substansi polar cenderung lebih miscible atau soluble dengan substansi
polar lainnya. Substansi non-polar cenderung untuk miscible non-polar
lainnya.

b. Efek dari temperature terhadap kelarutan


Kebanyakan zat terlarut mempunyai kelarutan yang terbatas pada
sejumlah solvent tertentu dan pada temperatur tertentu pula. Temperatur
dari solvent memiliki efek yang sangat besar dari zat lelah. Untuk
kebanyakan padatan yang terlarut pada liquid, kenaikan temperature
akan berdampak pada kenaikan kelarutan (solubilitas).

c. Efek tekanan pada kelarutan


Perubahan kecil dalam tekanan memiliki efek yang kecil pada kelarutan
dari padatan dalam cairan tetapi memiliki efek yang besar pada
kelarutan gas dalam cairan. Kelarutan gas dalam cairan berbanding
langsung pada tekanan dari gas di atas larutan. Sehingga jumlah gas

6
yang terlarut dalam larutan akan menjadi dua kali lipat jika tekanan dari
gas di atas larutan adalah dua kali lipat.

d. Kelajuan dari zat tertentu


Kelajuan dimana zat padat terlarut dipengaruhi oleh :
1. Ukuran partikel
2. Temperature dan solvent
3. Pengadukan dari larutan
4. Konsentrasi dari larutan

Efek panas dalam pembentukan larutan dapat digunakan dalam penerapan


prinsip Le-Chatrliers untuk menghitung efek temperature pada kelarutan.
Dengan menggunakan terminology da thermodinamika, bahwa kandungan
panas atau enthalpy dari system telah mengangkat sesuai dengan jumlah
energi (thermal molar vaporization atau Hv). Perubahan enthalpi untuk
proses diberikan dengan mengurangi enthalpi akhir dengan enthalpi mula-
mula.
Hv = Hakhir – Hmula-mula

Secara umum H positif untuk setiap perubahan makroskopik yang


terjadi pada tekanan konstan jka energi panas mengalir dalam system saat
perubahan terjadi, dan negatif jika panas mengalir keluar. Proses dimana
enthalpi dalam system meningkat disebut proses endotermik. Sedangakan
enthalpi yang mengalami penurunan disebut eksotermik. Perubahan enthalpi
terbatas hanya pada aliran panas jika proses tersebut terbawa keluar
sehingga tekanan mula-mula dan akhir adalah sama dan system adalah
tertutup. Pembentukan dari larutan apakah itu enditermik atau eksotermik
tergantung pada temperature dan sifat alamiah solute dan solvent. Untuk
memprediksi efek dari perubahan temperature kita dapat meggunakan
prinsip Le-Chateliers, sangat diperlukan utnuk menghitung perubahan
enthalpi untuk proses pelarutan dari kondisi larutan yang jenuh enthalpi

7
molar dari larutan ( H1) sebagai jumlah kalori dari enthalpi panas yang
seharusnya tersedia. ( H1 positif) ataupun yang seharusnya dipindahkan
( H1 negatif) untuk menjaga temperature agar tetap konstan yang mana di
dalamnya terdapat satu mol zat terlarut dalam volume yang sangat besar
yang mendekati larutan jenuh untik menghasilkan larutan jenuh.
Jika enthalpi dari larutan adalah negatif, peningkatan temperature
menyebabkan penurunan kelarutan. Kebanyakan padatan solute memilki
enthalpi positif dari larutan sehingga kelarutan mereka meningkat sesuai
dengan kenaikan temperature. Hampir perubahan kimia merupakan proses
eksotermik ataupun proses endotermik. Kebanyakan, tetapi tidak semua.
Reaksi yang terjadi secara spontan adalah reaksi eksotermik.
Salah satu contoh kesetimbangan yang sederhana adalah
kesetimbangan antara solute dengan larutan jenuhnya. Dalam hal ini
molekul padat akan lerut pada kecepatan yang sama dengan molekul yang
mengendap menjadi padat. Berhubungan dengan masalah ini, dikenallah
istilah solubilitas, yang merupakan suatu ukuran dari kadar solute yang
terkandung dalam larutan jenuh. Konstanta kesetimbangan antara padatan
dan larutan jenuh dapat dinyatakan sebagai berikut :
a2 *
k=
a2
Dimana a2 adalah aktifitas solute dalam larutan sedangkan, a2* adalah
aktifitas solute murni. a2* dapat dihubungkan dengan molaliti solute m
dengan menggunakan koefisien aktifitas , koefisien aktifitas merupakan
funsi dari T, P dan konsentrasi ; harga ini akan mendekati 1 apabila m
mendekati 0. Maka apabila dipakai hubungan tersebut dan anggapan bahwa
sebagai patokan dasar adalah solute padat murni sehingga a2* = 1.
Konstanta-konstanta kesetimbangan dapat ditulis sebagai :
K = (a2)m=ms = sm s

Dimana subscrip s menunjukkan untuk larutan jenuh, sedang dalam (a2)m=ms


adalah aktifitas solute pada larutan jenuh. Apabila suhu berubah pada

8
tekanan tetap maka ms dan s akan berubah. demikian pula K, menurut
hukum Van Hoff, untuk merubah K pada tekanan diperlukan.
k ∆H 0
δIn p=
∆T RT 2
Dimana : c = perubahan enthalpi standar pelarutan
Dengan memperhitungkan pengaruh suhu dan konsentrasi pada HDS
diperoleh :
(1 + ( In / In m) TI PI m=ms) ( HDS) m=ms / RT2
Disini: ( HDS) m=ms = panas pelarutan diferensial pada keadaan larutan jenuh
untuk suhu dan yang telah diberikan. Dalam hal ini dimana harga tidak
banyak berubah terhadap konsentrasi, maka (1 + ( In / In m) TI PI m=ms)
sama dengan satu persamaan menjadi :
d In ms/ dT = ( HDS) m=ms / RT
atau
d In ms/ d(1/T) = - ( HDS) m=ms / R

Jadi, dengan menggunakan anggapan tersebut, harga ( HDS) m=ms dapat


dihitung dari slop antara In ms, terhadap 1/T. Untuk menghitung kelarutan
biasanya digunakan solute yang larut (dalam garam) dalam 100 gram
solvent.

SATUAN KONSENTRASI LARUTAN


Sifat-sifat fisik dari suatu larutan ditentukan oleh perbandingan relatif atau
konsentrasi dari berbagai komponen larutannya. Sebenarnya ada beberapa
satuan konsentrasi larutan, tapi dalam teori ini hanya menjelaskan dua
satuan konsentrasi kelarutan.
a. Fraksi mol dan persen mol
Fraksi mol adalah perbandingan banyaknya mol suatu zat dengan jumlah
mol seluruh zat yang ada dalam campuran tersebut. Istilah lain yang
sering dipakai adalah persen mol yang tidak lain adalah 100 x fraksi mol.

9
b. Fraksi berat dan persen berat
Fraksi berat komponen dari suatu zat dalam larutan adalah perbandingan
dari jumlah garam zat dengan jumlah gram seluruh larutan. Persen berat
adalah fraksi berat x 100. Seiring lebih mudah untuk menyatakan
sebagai jumlah gram solute per 1000 gram larutan.
1. Molaritas = Molar
Molaritas yaitu jumlah mol zat yang larut dalam tiap liter larutan.
Contoh, HCL 0,1 M artinya dalam 1000 ml larutan terdapat 0,1 mol
HCL.

2. Kemolalan
Kemolalan adalah jumlah mol zat yang terdapat dalam seribu gram
pelarut.

3. Normalitas
Normalitas adalah jumlah massa ekivalen zat terlarut tiap 1000 ml
larutan, dalam hal ini hanya berlaku untuk asam dan basa.
Gram ekivalen asam (grek) = jumlah mol asam x valensi asam
Gram ekivalen basa (grek) = jumlah mol asam x valensi basa
1 grak asam ~ 1 mol H+
1 grek basa ~ 1 mol OH-
Grek asam = mol asam x jumlah H+
Grek basa = mol asam x jumlah OH-
Hubungan antara molaritas dengan Normalitas
N=axM
Dimana : N = Normalitas
a = jumlah ion H+ dan OH-
M = Molaritas

10
4. Persen Volume
Persen volume adalah jumlah militer / 1zat terlarut dalam tiap 1000
ml.

PANAS LARUTAN
Proses terbentuknya suatu larutan hampir selalu terjadi bersamaan
dengan absorpsi atau pelepasan dari energi misalnya, ketika kalium iodida
dilarutkan dalam air, campuran menjadi dingin, menunjukkan bahwa proses
melarutnya kalium iodida adalah endoterm. Kebalikannya bila litium klorida
dimasukkan ke dalam air campurannya menjadi panas menandakan bahwa
proses pelarutan disini mengeluarkan panas karena itu tergolong proses
eksoterm.
Zat Panas larutan ( a )
( kJ/mol solute )
KCl 17,2
KBr 19.9
KI 20.3
LiCl -37.0
LiI -59.0
LiNO3 -1.3
AlCl3 -321
Al2 ( SO4 )3.6H2O -230
NH4Cl 16
NH4 NO3 26

( a )
pada pengenceran tidak terhingga dalam batas tertentu panas pelarutan
besarnya tergantung pada konsentrasi dari larutan yang terbentuk. Tanda
negative menunjukkan suatu proses eksoterm.

Besarnya panas pelarutan dapat memberikan keterangan pada kita mengenai


gaya tarik relative antara bermacam-macam partikel yang membentuk

11
larutan tersebut. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mendukung absorpsi
atau pelepasan dari energi.

KELARUTAN DAN SUHU


Contoh lain dari adanya kesetimbangan dinamik ialah suatu larutan
jenuh yang masih mengandung solut yang tak larut pada suhu tertentu.
Kesetimbangan dinamik terjadi antara zat padat dengan larutan jenuhnya.
Zat padatnya akan melarut serta mengkristal dengan kecepatan yang sama.
Kelarutan dari kebanyakan garam anorganik dalam air akan bertambah
dengan naiknya suhu. Untuk beberapa pelarut, melarutkan gas dalam suatu
cairan dapat bersifat endoterm, karena energi solfatasinya demikian kecil
sehigga tak dapat menggantikan energi yang dibutuhkan untuk memisahkan
molekul-molekul solvent sesamanya.

PENGARUH TEKANAN PADA KELARUTAN


Secara umum tekanan hanya mempunyai pengaruh yang kecil pada
kelarutan tapi kelarutasn gas selalu betambah dengan bertambahnya tekanan.
Misalnya saja minuman yang megandung karbonat, ditaruh pada botol
dengan tekanan yang tinggi untuk memastikan kandungan CO2 yang besar,
dan sewaktu botol dibuka, minuman akan kehilangan karbonatnya kecuali
cepat ditutup kembali.hal yang sama juga terjadi pada ”penyakit
dekompresi”, juga dikenal sebagai “the bends”. Bila seorang penyelam atau
pekerja trowongan bawah tanah naik terlalu cepat kepermukaaan, gas
nitrogen dan oksigen yang telah larut dalam darahnya dengan tekanan tinggi
akan secara tiba-tiba dilepaskan dalam bentuk gelebung udara pada pembulu
darahnya. Keadaan ini sangat menyakitkan bahlkan dapat mengakibatkan
kematian.

12
Hukum Henry
Secara kuantitatif pengaruh tekanan pada larutan gas dinyatakan oleh
Hukum Henry yang berbunyi kelarutan gas dalam larutan cair (Cg)
berbanding lurus dengan tekanan gas diatas larutan tersebut.

Cg = kg * Pg

dimana kg adalah tetapan perbandingan yang disebut tetapan Hukum


Hendry.

TEKANAN UAP LARUTAN


Pembentukan suatu larutan hanya mempunyai sedikit pengaruh
terhasdap sifat kimia dari komponennya. Tekanan uap larutan adalah salah
satu sifat fisik yang dipengaruhi oleh adanya suatu solut. Bila solut yang
akan terdisosiasi dalam suatu solfen seperti elektrolit tidak diikut
sertakan,maka tekanan seimbang yang diberikan oleh uap solfen yang kita
sebut tekanan uap larutan (Plarutan), besarnya sebanding dengan fraksi mol
pelarut dalam larutan.Hubungan ini disebut Hukum Raoult

P larutan = X pelarut x Po pelarut

Dimana X pelarut adalah fraksi mol solvent dalam larutan.dan Po pelarut adalah
tekanan uap dari solfen murni.

LARUTAN IDEAL DAN NON IDEAL


Pada kenyataannya hanya sesdikit campuran yang benar – benar
mengikuti hokum raoult dari sekian banyak komposisi. Umumnya tekanan
uap larutan yang diukur akan lebih besar atau lebih kecil dari pada perkiraan
hukum raoult. Bila tekanan uapnya lebih besar daripada yang diperkirakan,
dikatakan mempunyai deviasi positif dari hukum Raoult. Bila tekanan
uapnya lebih kecil, larutan memperlihatkan deviasi negative.

13
TEKANAN OSMOSIS
Osmosis adalah suatu proses dimana suatu solven akan berdifusi dari
larutan yang lebih pekat melalui suatu lapisan tipis yang hanya dapat dilalui
oleh partikel solven tetapi tidak dapat dilalui oleh partikel solute. Lapisan
tipis ini disebut membran semipermiabel. Contoh dari membran ini kertas
perkamen dan beberapa senyawa anorganik seperti gelatin. Fenomena yang
sama disebut dialisis yang terjadi pada dinding sel – sel tanaman dan hewan
yang dapat dilalui oleh air, ion – ion serta molekul kecil, tetapi tidak dapat
dilalui oleh molekul – molekul besar seperti protein. Osmosis adalah salah
satu kasus dari dialisis. Pada suatu proses osmosis ada kecenderungan untuk
menyamakan konsentrasi antara dua larutan yang dihubungkan oleh suatu
membran.
Kecepatan bergeraknya molekul – molekul solven dari konsentrasi
rendah kearah larutan yang konsentrasinya tinggi akan lebih cepat dari arah
sebaliknya. Kemungkinannya disebabkan pada permukaan membran,
konsentarsi solven dilarutan yang lebih encer akan lebih besar. Akan didapat
efek yang sama, bila dua larutan dari solute yang tidak menguap dan
mempunyai konsentrasi yang tidak sama ditempatkan pada suatu wadah
tertutup. Kecepatan penguapan dari larutan yang lebih encer akan lebih
besar daripada larutan yang lebih pekat, tetapi kecepatan kembalinya sama.

1.3. Alat dan Bahan


1.3.1. Alat yang digunakan
a. Burret 50 ml
b. Corong Kaca
c. Beaker Glass 600 ml
d. Thermometer
e. Pengaduk kaca
f. Tabung reaksi
g. Pipet ukur 10 ml
h. Gelas arloji

14
i. Botol timbangan
j. Erlenmeyer 500 ml

1.3.2. Bahan yang digunakan


a. Aam Oksalat Dihidrat
b. Larutan NaOH baku (2,64) dengan indikator PP
c. Es batu
d. Garam dapur
e. Aquades

1.4. Prosedur Percobaan


1. Membuat larutan asam oksalat jenuh di dalam tabung reaksi yang sedang
pada suhu kamar, dengan cara melarutkan asam oksalat kristal ke dalam
air sampai kristalnya tidak dapat larut.
2. Mencatat suhu larutan, mengambil 20 ml dari larutan dna memasukkan
yang satu ke dalam botol timbangan sampai ketinggian 0,01 ml.
3. Menitrasi 10 ml larutan yang satunya dengan menggunakan larutan
NaOH baku (2,65) dengan indikator PP.
4. Mengulangi tahap 1 s/d 3 tetapi menggunakan es batu pada suhu 2 °C
5. Ulangi tahap 1 s/d 3 dengan suhu yang berbeda (7 °C, 12 °C, 17 °C,
22°C dan 27 °C)
6. Lakukan percobaan pada suhu yang berbeda masing-masing 2 kali
percobaan.

15
1.5. Tabel Hasil Pengamatan
Dari percobaan yang telah dilakukan didapat hasil percobaan sebagai
berikut:
Tabel 1.2
Hasil Percobaan
Massa
Volume NaOH
Suhu (larutan + botol
Rata – Rata 2,64 N (ml) Rata – Rata
(0C) timbang) (gr)
I II I II
2 22,5422 22,5422 22,5422 3,60 3,65 3,625
7 22,6966 22,6970 22,6968 3,90 3,80 3,850
12 22,6711 22,6713 22,6712 4,15 4,10 4,125
17 22,7805 22,7807 22,7806 4,55 4,50 4,525
22 22,8426 22,8430 22,8428 5,70 5,65 5,675
27 22,8756 22,8760 22,8758 5,95 6,00 5,975

Diketahui massa botol timbang = 12,5270 gram

Perhitungan
Massa rata –rata dari masing – masing suhu
1. Suhu 20C
22,5422 gr + 22,5422 gr
m rata – rata = = 22,5422 gram
2
2. Suhu 70C
22,6966 gr + 22,6970 gr
m rata – rata = = 22,6968 gram
2
3. Suhu 120C
22,6711 gr + 22,6713 gr
m rata – rata = = 22,6712 gram
2
4. Suhu 170C
22,7805 gr + 22,7807 gr
m rata – rata = = 22,7806 gram
2

16
5. Suhu 220C
22,8426 gr + 22,8430 gr
m rata – rata = = 22,8428 gram
2
6. Suhu 270C
22,8756 gr + 22,8760 gr
m rata – rata = = 22,8758 gram
2

Volum rata – rata NaOH 2,64 N dari masing – masing suhu


1. Suhu 20C
3,60 ml + 3,65 ml
V rata – rata = = 3,625 ml
2
2. Suhu 70C
3,90 ml + 3,80 ml
V rata – rata = = 3,850 ml
2
3. Suhu 120C
4,15 ml + 4,10 ml
V rata – rata = = 4,125 ml
2
4. Suhu 170C
4,55 ml + 4,50 ml
V rata – rata = = 4,525 ml
2
5. Suhu 220C
5,70 ml + 5,65 ml
V rata – rata = = 5,675 ml
2
6. Suhu 270C
5,95 ml + 6,00ml
V rata – rata = = 5,975 ml
2

17
Tabel 1.3.
Hasil Perhitungan

Suhu V NaOH Normalisasi Molaritas Mol asam W asam W


(0C) rata – asam oksalat asam oksalat oksalat oksalat pelarut
rata (ml) (N) (M) (mmol) (gr) (gr)
2 3,625 0,9570 0,4785 4,7850 0,4307 9,6115
7 3,850 1,0164 0,5082 5,0820 0,4574 9,7394
12 4,125 1,0890 0,5445 5,4450 0,4901 9,6811
17 4,525 1,1946 0,5973 5,9730 0,5376 9,7430
22 5,675 1,4982 0,7491 7,4910 0,6742 9,6686
27 5,975 1,5774 0,7857 7,8570 0,7098 9,6660
4,629 1,2221 0,61055 6,1055 0,5499 9,6849

Perhitungan
Perhitungan normalitas asam oksalat
1. Suhu 20C
V NaOH rata – rata = 3,625 ml
N1 . V1 = N2 . V2
2,64 N × 3,625 ml
N2 = = 0,9570 N
10
2. Suhu 70C
V NaOH rata – rata = 3,850 ml
N1 . V1 = N2 . V2
2,64 N × 3,850 ml
N2 = = 1,0164 N
10
3. Suhu 120C
V NaOH rata – rata = 4,125 ml
N1 . V1 = N2 . V2
2,64 N × 4,125 ml
N2 = = 1,0890 N
10

18
4. Suhu 170C
V NaOH rata – rata = 4,525 ml
N1 . V1 = N2 . V2
2,64 N × 4,525 ml
N2 = = 1,1946 N
10
5. Suhu 220C
V NaOH rata – rata = 5,675 ml
N1 . V1 = N2 . V2
2,64 N × 5,675 ml
N2 = = 1,4982 N
10
6. Suhu 270C
V NaOH rata – rata = 5,975 ml
N1 . V1 = N2 . V2
2,64 N × 5,975 ml
N2 = = 1,5774 N
10

Perhitungan molaritas
1. Suhu 20C
N 0,9570 N
M= = = 0,4785 M
eq 2
2. Suhu 70C
N 1,0164 N
M= = = 0,5082 M
eq 2
3. Suhu 120C
N 1,0890 N
M= = = 0,5445 M
eq 2
4. Suhu 170C
N 1,1946 N
M= = = 0,5973 M
eq 2

19
5. Suhu 220C
N 1,4982 N
M= = = 0,7491 M
eq 2
6. Suhu 270C
N 1,5774 N
M= = = 0,7857 M
eq 2

Perhitungan mol asam oksalat


1. Suhu 20C
n = M . V = 0,4785 M x 10 = 4,7850 mmol
2. Suhu 70C
n = M . V = 0,5082 M x 10 = 5,0820 mmol
3. Suhu 120C
n = M . V = 0,5445 M x 10 = 5,4450 mmol
4. Suhu 170C
n = M . V = 0,5973 M x 10 = 5,9730 mmol
5. Suhu 220C
n = M . V = 0,7491 M x 10 = 7,4910 mmol
6. Suhu 270C
n = M . V = 0,7857 M x 10 = 7,8570 mmol

Perhitungan massa asam oksalat


1. Suhu 20C
Wasam oksalat = n . BM
4,785 mmol
Wasam oksalat = . 90 gr = 0,4307 gram
1000ml mol

2. Suhu 70C
Wasam oksalat = n . BM
5,082 mmol
Wasam oksalat = . 90 gr = 0,4574 gram
1000ml mol

20
3. Suhu 120C
Wasam oksalat = n . BM
5,445 mmol
Wasam oksalat = . 90 gr = 0,4901 gram
1000ml mol

4. Suhu 170C
Wasam oksalat = n . BM
5,9730 mmol
Wasam oksalat = . 90 gr = 0,5376 gram
1000ml mol

5. Suhu 220C
Wasam oksalat = n . BM
7,491 mmol
Wasam oksalat = . 90 gr = 0,6742 gram
1000ml mol

6. Suhu 270C
Wasam oksalat = n . BM
7,857 mmol
Wasam oksalat = . 90 gr = 0,7098 gram
1000ml mol

Perhitungan massa larutan dan massa H2O


1. Suhu 20C
Wlar = W (bl + lar.asam oksalat) – Wbotol timbang
Wlar = 22,5422 gram – 12,500 gram = 10,0422 gram
WH2O = Wlar – Wasam oksalat
WH2O = 10,0422 gram – 0,4307 gram = 9,6115 gram
2. Suhu 70C
Wlar = W (bl + lar.asam oksalat) – Wbotol timbang
Wlar = 22,5422 gram – 12,500 gram = 10,0422 gram
WH2O = Wlar – Wasam oksalat
WH2O = 10,0422 gram – 0,4574 gram = 9,7394 gram

21
3. Suhu 120C
Wlar = W (bl + lar.asam oksalat) – Wbotol timbang
Wlar = 22,5422 gram – 12,500 gram = 10,0422 gram
WH2O = Wlar – Wasam oksalat
WH2O = 10,0422 gram – 0,4901 gram = 9,6811 gram
4. Suhu 170C
Wlar = W (bl + lar.asam oksalat) – Wbotol timbang
Wlar = 22,5422 gram – 12,500 gram = 10,0422 gram
WH2O = Wlar – Wasam oksalat
WH2O = 10,0422 gram – 0,5376 gram = 9,7430 gram
5. Suhu 220C
Wlar = W (bl + lar.asam oksalat) – Wbotol timbang
Wlar = 22,5422 gram – 12,500 gram = 10,0422 gram
WH2O = Wlar – Wasam oksalat
WH2O = 10,0422 gram – 0,6742 gram = 9,6686 gram
6. Suhu 270C
Wlar = W (bl + lar.asam oksalat) – Wbotol timbang
Wlar = 22,5422 gram – 12,500 gram = 10,0422 gram
WH2O = Wlar – Wasam oksalat
WH2O = 10,0422 gram – 0,7098 gram = 9,6660 gram

Perhitungan molalitas solute untuk larutan jenuh (ms)


1. Suhu 20C
1000
ms =n.
W pelarut

4,7850mmol 1000
ms =
1000 9,6115 gram

ms = (4,7850 x 10-3) . (104,042) = 0,4978 m

22
2. Suhu 70C
1000
ms =n.
W pelarut

5,0820mmol 1000
ms =
1000 9,7394 gram

ms = (5,0820 x 10-3) . (104,6757) = 0,5218 m


3. Suhu 120C
1000
ms =n.
W pelarut

5,4450mmol 1000
ms =
1000 9,6811 gram

ms = (5,4450 x 10-3) . (103,294) = 0,5624 m


4. Suhu 170C
1000
ms =n.
W pelarut

5,9730mmol 1000
ms =
1000 9,7430 gram

ms = (5,9730 x 10-3) . (102,6378) = 0,6131 m


5. Suhu 220C
1000
ms =n.
W pelarut

7,4910mmol 1000
ms =
1000 9,6686 gram

ms = (7,4910 x 10-3) . (103,4276) = 0,7748 m


6. Suhu 270C
1000
ms =n.
W pelarut

7,8570mmol 1000
ms =
1000 9,6660 gram

ms = (7,8570 x 10-3) . (103,4554) = 0,8128 m

23
Tabel 1.4.
Kelarutan Terhadap Suhu

Suhu (0C) Kelarutan gr/ 100 gr solvent


2 4,4802
7 4,6962
12 5,0616
17 5,5179
22 6,9732
27 7,3152

Perhitungan
Perhitungan kelarutan asam oksalat (s)
1. Suhu 20C

s=
(m . BM ) = (0,4978 × 90) = 44,802 = 4,4802 gram
10 10 10
2. Suhu 70C

s=
(m . BM ) = (0,5218× 90) = 46,962 = 4,6962 gram
10 10 10
3. Suhu 120C

s=
(m . BM ) = (0,5624 × 90) = 50,616 = 5,0616 gram
10 10 10
0
4. Suhu 17 C

s=
(m . BM ) = (0,6131× 90) = 55,179 = 5,5179 gram
10 10 10
5. Suhu 220C

s=
(m . BM ) = (0,7748× 90) = 69,732 = 6,9732 gram
10 10 10
6. Suhu 270C

s=
(m . BM ) = (0,8128 × 90) = 73,152 = 7,3152 gram
10 10 10

24
1.6. Pembahasan
Larutan adalah campuran homogen dari molekul, atom ataupun ion
dari dua zat atau lebih. Larutan jenuh didefinisikan sebagai larutan yang
mengandung zat terlarut dalam jumlah yang diperlukan untuk adanya
kesetimbangan antara zat terlarut yang larut dan yang tidak larut
(Keenan,1992). Adapun faktor yang mempengaruhi kelarutan zat padat
(Underwood, 1990) salah satunya adalah temperatur / suhu. Umumnya
kelarutan akan naik dengan kenaikan suhu, meskipun beberapa hal yang
istimewa (seperti kalium sulfat) terjadi yang sebaliknya. Dalam beberapa hal
perubahan kelarutan dengan berubahnya suhu dapat menjadi dasar
pemisahan. Berdasarkan data hasil perhitungan kelarutan asam oksalat
terhadap suhu dapat dibuat grafik sebagai berikut :

Grafik 1.1.
Pengaruh suhu terhadap kelarutan

6
S(gr/100gr solvent)

0
2 7 12 17 22 27

T (C)

Berdasarkan grafik di atas kita dapat melihat bahwa seiring dengan


meningkatnya suhu maka nilai kelarutan juga semakin besar, itu berarti
bahwa nilai kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh suhu, kelarutan berbanding

25
lurus dengan kenaikan suhu, sehingga nilai Normalitas asam oksalat,
Molaritas asam oksalat, Mol asam oksalat (mmol), W asam oksalat (gr), dan
W pelarut (gr) juga berbanding lurus dengan peningkatan suhu.

1.7. Kesimpulan dan Saran


1.7.1. Kesimpulan
1. Kelarutan asam oksalat meningkat seiring dengan kenaikan suhu.
2. Setiap satuan konsentrasi kelarutan memiliki perbandingan relatif
dari komponen lainnya.
3. Bila larutan jenuh panas didinginkan, maka kelebihan zat padat
akan mengkristal.
4. Banyaknya zat terlarut yang melarut dalam pelarut yang
banyaknya tertentu untuk menghasilkan suatu larutan jenuh
disebut kelarutan zat terlarut, dimana biasanya dinyatakan dalam
gram zat terlarut per 100 gram pelarut pada temperatur tertentu.
5. Semakin tinggi suhu pelarut, maka semakin banyak pula volume
solute yang dapat terlarut.
6. Semakin tinggi suhu pelarut, maka semakin banyak pada jumlah
mol asam oksalat yang terlarut.

7. Suatu kelarutan dipengaruhi oleh molalitas suatu larutan dan juga


berat molekul dari larutan itu sendiri.

8. Semakin tinggi suhu yang digunakan, semakin besar kelarutan


yang terjadi pada suatu larutan

9. Semakin besar berat molekul suatu larutan, semakin besar pula


jumlah mol yang dihasilkan oleh larutan tersebut

26
1.7.2. Saran
1. Pada saat sebelum melakukan percobaan praktikum diharapkan
alat – alat praktek disiapkan dengan baik dan benar sesuai dengan
percobaan praktikum dan dalam kondisi bersih.

2. Saat melakukan percobaan praktikum diharapkan harus teliti dan


mengikuti prosedur percobaan yang telah disiapkan.

3. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, sebaiknya lakukan


pengulangan pada percobaan.

1.8. Lampiran

Daftar Notasi
No. Lambang Keterangan Satuan
1. ∆ H DS Panas pelarutan J
mol
differensial
2. BM Berat molekul gr
mol
relatif
3. m Molalitas mol
1000 gr solvent
4. N Normalitas grek
L
5. S Kelarutan gr
100 gr solvent
6. T Temperatur K
7. Wbt Massa botol gr
8. WH2O Massa pelarut gr
9. Wlar Massa larutan gr

27
Gambar – Gambar Alat Yang digunakan

Buret 50 ml Corong Kaca

Beaker Glass Thermometer

Pengaduk Kaca Pipet Tetes

Timbangan Elenmeyer

28
BAB II
DENSITY

2.1. Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah mengukur dan menghitung densitas
padatan kristal zat yang tidak larut pada air.

2.2. Teori Dasar


Massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda.
Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa
setiap volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa
dibagi dengan total volumenya. Sebuah benda yang memiliki massa jenis
lebih tinggi (misalnya besi) akan memiliki volume yang lebih rendah
daripada benda bermassa sama yang memiliki massa jenis lebih rendah
(misalnya air). Satuan SI massa jenis adalah kilogram per meter kubik
(kg·m-3). Massa jenis berfungsi untuk menentukan zat. Setiap zat memiliki
massa jenis yang berbeda. Dan satu zat berapa pun massanya berapa pun
volumenya akan memiliki massa jenis yang sama.
Rumus untuk menentukan massa jenis adalah
m
ρ=
V
Dimana : adalah massa jenis
m adalah massa zat
v adalah volume

Molekul-molekul zat padatan tersusun sangat rapat apabila


dibandingkan dengan molekul pembentuk zat cair ataupun gas. Zat memiliki
volume dan bentuk tertentu yang cenderung tetap. Molekul-molekul zat juga
mengalami gerakan namun sangat terbatas. Gas dan cairan mempunyai gaya
tarik yang lebih rendah dibandingkan spesi-spesi penyusun padatan, spesi

29
penyusun padatan seperti atom, molekul atau ion, relatif sangat kuat
sehingga spesi-spesi tersebut juga terikat dengan ikatan yang relatif sangat
kuat. Hal ini menyebabkan suatu padatan mempunyai volume dan bentuk
yang relatif tetap, dan hampir tidak dapat dimampatkan kecuali dengan
tekanan yang besar.
Berdasarkan pada susunan spesi terkandung di dalam padatan. Padatan
ada 2 macam yaitu padatan amorf dan padatan kristalin. Padatan kristalin
mempunyai susunan spesi yang teratur dalam tiga dimensi sedangkan
padatan amorf mempunyai susunan spesi yang tidak teratur.
A. Padatan kovalen
Dalam padatan kovalen atom-atom dihubungkan satu sama lain oleh
ikatan kovalen yang membentuk struktur tiga dimensi. Unsur bukan
logam membentuk sumber utama dari contoh seperti karbon, silikon, dan
silikon karbit.

B. Padatan Ionis
Dalam padatan ionis, konstituennya adalah ion positif dan negatif. Ion
ini disatukan oleh gaya elektrostatis yang memberikan kenetralan listrik
secara keseluruhan. Padatan ion mempunyai titik leleh dan titik didih
yang sangat tinggi karena ikatan yang sangat kuat antara ion-ion seluruh
kristal dan mempunyai daya hantar listrik yang buruk karena elektron
terikat sangat kuat baik positif maupun negatif.

C. Padatan Molekuler
Konstituen utama dari molekuler adalah molekul, tetapi dapat pula
berupa atom dari gas yang langka. Molekul disatukan oleh gaya lemah
yang disebut gaya Van Der Waals.

D. Padatan Logam
Kebanyakan unsur dalam tabel susuna berkala adalah logam, dan
kristal dari logam ini terdiri dari satuan sel kubik rapat maupun satuan

30
sel heksagonal yang tersusun rapat. Kristal adalah padatan dengan
susunan atom atau molekul teratur, sedangkan amorf sebaliknya. Kristal
memiliki struktur yang bermacam-macam seperti kun\bik, tetragonal,
oktagonal, rombohedral.
Densitas didefenisikan sebagai massa per satuan volume. Satuan
yang digunakan umumnya (lb/ft3) atau (gram/cm3). Spesific Gravity
(SG) adalah perbandingan antara densitas dari zat terhadap densitas dari
referensi atau dapat dituliskan / ref. Untuk padatan dan cairan zat
referensi umumnya ialah air pada suhu 4°C. Untuk kebanyakan kerja
teknik, spesifik gravity dapat diberikan mempunyai nilai yang sama
dengan harga density, tetapi spesifik gravity tidak mempunyai dimensi.
Bulk (apparent) density ( b) ialah total massa per satuan total volum.
Sebagai contoh true density dari quartz adalah 2,65 gr/cm3, tetapi pasir
quartz bermassa 2,65 gram dapat mempunyai total atau bulk volum 2
cm3 dan mempunyai bulk density b sebesar 1,33 gram/cm3.
Bulk density termasuk sifat intrinsik dari zat karena sifat ini
bervariasi dengan ukuran distribusi partikel dan lingkungannya.
Porositas dari padatan itu sendiri dari material yang berongga atau
berpori juga mempengaruhi bulk density. Untuk material yang tidak
berpori true density ( ) sama dengan bulk density ( b).
Sifat ekstensif zat adalah sifat zat yang dipengaruhi oleh jumlah
dari zat yang terkandung misalnya volum dan massa, sedangkan sifat
intrinsik zat adalah sifat yang tidak dipengaruhi oleh jumlah materi
penyusunnya misalnya suhu, tekanan dan densitas.
Massa jenis padatan kristal dapat dihitung dari berat padatan kristal
dibagi dengan volum sel. Massa jenis ini didefenisikan sebagai :
s= Ws / Vs ..................................................................................................... (1)
Dimana : adalah densitas kristal, Ws adalah berat kristal dan Vs adalah
volume kristal.
Penggunaan picnometer yang diketahui volumenya dan kemudian
ditimbang dalam keadaan kosong, setelah itu dilanjutkan dengan

31
menimbang sample dari zat padat yang telah dipelajari. Perbedaanya
akan memberikan berat padatan (Ws). Akhirnya picnometer yang sudah
diisi dengan padatan ditambahkan dengan liquid yang telah diketahui
berdasarkan perbedaannya. Selama volume total dari picnometer
diketahui, kemudian dapat menghitung volum solid (Vs) yang ditempati
oleh solid.
Perhitungan sample solid (zat padat) diperoleh :
Ws = W2 – W1 .............................................................................................. (2)
Dimana : W1 adalah berat picnometer kosong, W2 adalah berat dari
picnometer kosong ditambahkan dengan berat sample padatan.
Berat air yang terdapat dalam picnometer W1 adalah :
W1 = W3 – W1 ............................................................ (3)
Dimana W3 adalah berat picnometer ditambah dengan berat sample dan
berat air. Jika dinsitas cairan (air) ditunjukkan berdasarkan persamaan
(3) dimana volume sample solid diberikan :
Vs = V – VL = ( 1V + W2 – W3 / 1) .......................... (4)
Dimana V adalah volume total dari picnometer. Dari persamaan (1), (2)
dan (4), kita akan memperoleh persamaan baru sebagai berikut :
s = (Ws / Vs) = ( 1 (W2 – W1) / 1V + W2 – W3) ..... (5)
nilai V dan 1 penting diketahui untuk menentukan W1, W2, dan W3
yang bertujuan untuk menghitung densitas solid.
Biasanya pada perhitungan tidak selamanya akan tepat 100 % karena
adanya efek gelembung udara pada picnometer pada saat penimbangan.
Dibandingkan dengan penimbangan pada saat vakum, kita dapat
menggunakan rumus sederhana yang diberikan oleh Baurer untuk
mengkoreksi hasil akhir perhitungan. Rumus ini memberikan densitas
yang terkoreksi ( ) yaitu :
P* = + 0,0012 [1 – ( / 1)] ...................................... (6)
Menurut persamaan (5) ketidaksamaan dalam akan bergantung pada
ketidakpastian pada setiap lima variable, bagaimanapun juga nilai dari
1 diketahui dari enam perhitungan penting dan ketidakpastian dapat

32
diabaikan jika dibandingkan dengan variable lain. Dengan ini kita dapat
mengembangkan perlakuan pengembangan kesalahan dengan
mengambil referensial dari kedua ruas persamaan (5) kita peroleh
persamaan :
Kita catat bahwa persamaan (dW2 – dW1) lebih kecil dari pada (dW2 –
dW3 + 1dV) dalam substansi nilai kesalahan untuk diferensial dan juga
(W2 – W1) kira-kira lima kali nilai dari (W2 – W3 + 1dV).

Jadi sangat dimungkinkan untuk mengabaikan suku pertama ruas kanan


persamaan (7) untuk mendapatkan pendekatan ketidakpastian
perhitungan. Kadi limit error pada , ( ) didekati dengan :
Dimana (W2), (W3) dan (V) adalah limit kesalahan dalam masing-
masing kuantitas W2, W3 dan V. kita dapat mengambil batas yang
beralasan untuk kesalahan (W2) = 0,001 gram dan (W1) = 0,002 gram.
Nilai tertinggi untul (W3) meliputi kegagalan memperoleh nilai
sebenarnya dari pengisian pecnometer dengan air. Untuk (V) kita ambil
0,004 cm3, nilai ini diberikan instruktur.
Nilai yang didapat untuk dua sample menyimpang dari rata-rata
ditunjukkan limit dari kesalahan. Bagaimana juga perbedaan yang jauh
lebih besar dari pada itu harus mempertimbangkan fakta bahwa
kontribusi dari setiap kesalahan dalam V adalah sama dalam kedua
pengerjaan. Berdasarkan bahwa material yang dipelajari mungkin tidak
homogeny, jadi untuk menghasilkan dua sample yang sedikit perbedaan
densitasnya, kita menduga kemungkinan pecah atau celah tidak dapat
dimasuki liquid terdapat pada sample I, atau dalam dua sample dalam
tingkatan berbeda. Pada asumsi ini terbesar akan ditempatkan pada nilai
yang tertinggi, kita namakan sample II, meskipun dasar dari hasil untuk
dua sample tidak terdapat bukti internal bahwa sample II dengan literatur
adalah memuaskan, tetapi pada umumnya indikasi terbaik dari kenyataan
akan sangat baik persetujuan hasil untuk beberapa sample.
Persamaan (8) dan (9) menunjukan bahwa kontribusi terbesar
untuk keseluruhan kesalahan datang dari ketidakpastian volume dari

33
picnometer. Ketelitian eksperimen menunjukkan bahwa mengukur berat
picnometer yang diisi dengan air saja, nilai v yang lebih baik dapat
diperoleh. Ini dapat mempengaruhi ketidakpastian densitas tetapi tidak
meningkatkan persetujuan di antara dua sample.
Dimana :
Massa air = W1 – W
Maka massa jenis padatan dapat diperoleh dengan persamaan :
Ps = [Ws / (W1 –W) ]

E. Metode Flotasi
Metode ini memakai campuran 2 larutan yang dapat larut. Untuk kristal
organic polar yang tidak mengandung komponen yang lebih ringan dari
oksigen, hidrokarbon ringan seperti kerosin ( = 0,79 gram/cm3 pada T =
25°C) dan Methylen Iodida ( = 3,32 gram/cm3 pada T = 25°C) dan
biasanya mempunyai nilai yang memuaskan.

2.3. Alat dan Bahan


2.3.1. Alat yang digunakan
a. 1 buah picnometer 10 ml
b. 1 nuah beaker glass 600 ml
c. 1 buah pipet tetes
d. Thermometer

2.3.2. Bahan yang digunakan


a. Padatan kristal
b. Aquades

34
2.4. Prosedur Percobaan
A. Standarisasi
1. Menimbang picnometer kosong dan mencatat beratnya (W1)
2. Mengisi picnometer dengan air, mengatur agar tidak terdapat
gelembung udara dan menimbangnya (W0)
3. Menentukan suhu air
4. Menghitung volume picnometer dengan menggunakan air pada suhu
yang telah diketahui

B. Menimbang massa padatan dan menghitung densitasnya


1. Menimbang picnometer dengan padatan dan mencatat beratnya (W2)
2. Menimbang picnometer dengan padatan dan air dan mencatatnya
(W3)
3. Menghitung densitas padatan dengan rumus :
Ws ρ (W − W1 )
θs = = 1 2
Vs ρ1V + W2 − W3
4. Menghitung error limit
ρ2
r 2 (1) =
(ρ1V + W2 −W )
[ρ 1
2
r 2 (V ) + r 2 (W2 ) + r 2 (W3 ) ]
3

Catatan :
Padatan yang digunakan adalah air

35
2.5. Tabel Hasil Pengamatan

Tabel 2.1.
Hasil standarisasi volume piknometer

Piknometer W0 pikno kosong + air


1 2 3
W0 pikno kosong + air 22,1236 22,1230 22,1216
W1 pikno kosong 11,9184 11,9180 11,9177
Perhitungan
22,1236 + 22,1230 + 22,1216
W0 rata – rata = = 22,1227 ml
3
11,9184 + 11,9180 + 11,9177
W1 rata – rata = = 11,9180 ml
3

Tabel 2.2.
Hasil penimbangan piknometer 10 ml dengan kristal batu kapur (CaCO3) 10 mesh

Run W1 W2 W3
1 11,9184 14,4184 24,6236
2 11,9180 14,418 24,6230
3 11,9177 14,4177 24,6216

Perhitungan
11,9184 + 11,9180 + 11,9177
W1 rata – rata = = 11,9180 ml
3
14,4184 + 14,418 + 14,4177
W2 rata – rata = = 14,4180 ml
3
24,6236 + 24,6230 + 24,6126
W3 rata – rata = = 24,6197 ml
3

36
Tabel 2.3.
Hasil Perhitungan standarisasi volume piknometer

Piknometer W0 rata - W1 rata - rata Wair Vp


rata
10 ml 22,1227 11,9180 10,2047 10,2461

ρ air = 0,99596 gr/ml

Perhitungan
22,1236 + 22,1230 + 22,1216
W0 rata – rata = = 22,1227 ml
3
11,9184 + 11,9180 + 11,9177
W1 rata – rata = = 11,9180 ml
3
Wair rata – rata = W0 – W1 = 22,1227 – 11,9180 = 10,2047 gr

Wair 10,2047
Vair = = = 10,2461 ml
ρ air 0,99596

ρ (W2 − W1 ) 0,99596 (14,418 − 11,9180)


θ= =
ρ V + (W2 − W3 ) 0,99596 ×10 + (14,4180 − 24,6197)
2,4899 2,4899
= = = - 10,2846 gr/ml
9,9596 − 10,2017 − 0,2421

2.6. Pembahasan
Massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda. Semakin
tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap
volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi
dengan total volumenya. Sebuah benda yang memiliki massa jenis lebih
tinggi (misalnya besi) akan memiliki volume yang lebih rendah daripada
benda bermassa sama yang memiliki massa jenis lebih rendah (misalnya
air). Massa jenis berfungsi untuk menentukan zat. Setiap zat memiliki massa
jenis yang berbeda.

37
Dalam satu zat berapa pun massanya berapa pun volumenya akan
memiliki massa jenis yang sama. Misalnya air, massa jenisnya adalah 1
gram/cm3. Selain karena angkanya yang mudah diingat dan mudah dipakai
untuk menghitung, maka massa jenis air dipakai perbandingan untuk rumus
ke-2 menghitung massa jenis, atau yang dinamakan 'Massa Jenis Relatif'.
Rumus massa jenis relatif = Massa bahan / Massa air yang volumenya
sama.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap data yang diperoleh
didapatkan nilai densitas dari CaCO3 sebesar -10,2846 gr/ml. Untuk
menghitung densitas CaCO3 menggunakan rumus :
ρ (W2 − W1 )
θ=
ρV + (W2 − W3 )
Pada data di atas didapat density bernilai negatif, hasil ini sangatlah tidak
masuk akal. Setelah diteliti ternyata data hasil praktikum yang diperoleh
adalah salah, pada data yang ada Vair adalah sebesar 10,2461 ml sementara
Vpicnometer hanya 10 ml, ternyata volume air lebih besar dari pada volume
picometer, itu merupakan hal yang kurang wajar. Hal ini terjadi mungkin
karena kurang telitinya praktikan dalam mencatat data saat praktikum, atau
dapat juga disebabkan karena kecerobohan praktikan dalam menjalankan
praktikum.

2.7. Kesimpulan dan Saran


2.7.1. Kesimpulan
Dari percobaan penentuan densitas kristal padat ini diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Densitas kristal padat dipengaruhi oleh ukuran kristal tetapi tidak
dipengaruhi oleh banyaknya kristal.
2. Volume picnometer berbanding terbalik terhadap harga densitas.
3. Densitas CaCO3 adalah -10,2846 gr/ml.

38
2.7.2. Saran
1. Pada saat sebelum melakukan percobaan praktikum diharapkan
alat – alat praktek disiapkan dengan baik dan benar sesuai dengan
percobaan praktikum dan dalam kondisi bersih.

2. Saat melakukan percobaan praktikum diharapkan harus teliti dan


mengikuti prosedur percobaan yang telah disiapkan.

3. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, sebaiknya lakukan


pengulangan pada percobaan.

2.8. Lampiran

Daftar Notasi
W0 = Berat piknometer dan air , gr
W1 = Berat piknometer kosong , gr
W2 = Berat piknometer dan kristal padat , gr
W3 = Berat piknometer dan kristal padat serta air , gr
θ = Densitas kristal padat , g/ml
r = Error limit/batas kesalahan
ρ = Densitas air , g/ml
V = Volume piknometer , ml

39
Gambar - Gambar Alat Yang Digunakan

Picnometer Beaker Glass

Pipet Tetes Thermometer

40
BAB III
SEDIMENTASI

3.1. Tujuan Percobaan


Percobaan ini bertujuan untuk menghitung kecepatan sedimentasi suatu
suspensi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi, gaya drag dan gaya apung
dengan metode grafik.

3.2. Teori Dasar


Sedimentasi adalah suatu proses yang bertujuan untuk memisahkan atau
mengendapkan zat-zat padat atau tersuspensi non koloidal dalam air.
Pengendapan dapat dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Cara yang
sederhana adalah dengan membiarkan padatan mengendap dengan sendirinya.
Setelah partikel partikel mengendap maka air yang jernih dapat dipisahkan dari
padatan yang semula tersuspensi di dalamnya.
Cara lain yang lebih cepat dengan melewatkan air pada sebuah bak
dengan kecepatan tertentu sehingga padatan terpisah dari aliran air tersebut dan
jatuh ke dalam bak pengendap. Kecepatan pengendapan partikel yang terdapat
di air tergantung pada berat jenis, bentuk dan ukuran partikel, viskositas air dan
kecepatan aliran dalam bak pengendap. Pada dasarnya terdapat dua jenis alat
sedimentasi yaitu jenis rectangular dan jenis circular.
Sedimentasi adalah suatu proses pemisahan suspensi dengan cara
pengendapan sehingga cairan bening dan slurry yang kandungan padatannya
lebih tinggi. Beberapa metode pemisahan mekanik didasarkan pada gerakan
partikel solid atau liquid dalam suatu fluida. Fluida tersebut dapat berupa gas
atau liquid, baik mengalir maupun diam. Pemilihan metode yang digunakan
dalam proses pemisahan partikel solid dan liquid didasarkan pada jenis
solid, perbandingan solid dengan liquid di dalam campuran, viskositas
larutan dan faktor-faktor lain.

41
Pada metode settling dan sedimentasi, partikel-partikel solid
dipisahkan dari fluida oleh gaya gravitasi yang bekerja pada partikel dengan
bermacam-macam ukuran dan densitas. Sedangkan pada metode pemisahan
sentrifugal, partikel-partikel solid dipisahkan oleh gaya sentrifugal yang
bekerja pada partikel-partikel tersebut. Metode settling dan sedimentasi
banyak diterapkan untuk mengambil atau memisahkan solid dari limbah
cair, mengendapkan lumpur dari mother liquor, memisahkan makanan
bentuk solid dari makanan cair, memisahkan slurry dari proses leaching
keldelai, dan lain-lain.
Sebagian besar proses settling dan sedimentasi bertujuan untuk
memindahkan partikel dari aliran fluida sehingga fluida tersebut bersih dari
partikel-partikel kontaminan. Pada proses yang lain partikel diambil sebagai
produk, seperti recovery fase tersispersi dalam ekstraksi liquid-liquid. Selain
itu partikel juga dapat disuspensikan dlam fluida sehingga partikel-partikel
tersebut dapat dipisahkan dalam ukuran atau densitas yang berbeda.

Mekanisme sedimentasi dan Teori gerakan melalui fluida


Mekanisme sedimentasi ni dapat digambarkan dari pengamatan tes selama
pengendapan secara batch dari suatu slarry dalam sebuah silinder gelas.

Zz

(a) (b) (c) (d) (e)


Gambar 3.1.
Proses batch sedimentasi

Keterangan gambar 3.1. :


A : daerah liquida yang jernih
B : daerah liquida dengan konsentrasi yang uniform

42
C : daerah liquida dengan distribusi ukuran yang berbeda dan
konsentrasi yang uniform
D : daerah liquida yang terdiri dari partikel-partikel yang lebih berat
dan lebih cepat mengendapnya

1. Pada gambar 3.1. (a) menunjukkan suspense yang terdistribusi secara


seragam di dalam zat cair dalam keadaan siap mengendap. Kedalaman
total suspense itu adalah Z0. Jika tidak terdapat pasir di dalam
campuran itu, zat padat yang pertama menampakkan diri adalah
endapan pada dasar bejana pengendapan yang terdiri dari flok yang
berasal dari bagian bawah campuran.

2. Pada gambar 3.1. (b) zat padat yang berupa flok membentuk suatu
lapisan yang dinamakan daerah D. Di atas daerah D itu terbentuk lagi
lapisan lain, yaitu daerah C yang merupakan lapisan transisi dimana
kandungan zat padatnya bervariasi dari yang seperti pulpa asal sampai
seperti di dalam daerah D. Di atas daerah C yang terdapat daerah B
yang terdiri dari suspense homogeny yang konsentrasinya sama
dengan pulpa asal. Di atas daerah B terdapat daerah A yang merupakan
lapisan liquid yang jernih. Pada pulpa yang berflokulasi dengan baik,
batas antara daerah A dan B itu tajam. Tetapi jika terdapat partikel
yang tidak dapat mengendap, daerah A menjadi keruh dan batas antara
daerah A dan B kabur.

3. Pada gambar 3.1. (c), menunjukkan bahwa selama berlangsungnya


pengendapan, kedalaman daerah A dan D bertambah, sedangkan total
daerah C tetap dan daerah B berkurang.

4. Pada gambar 3.1. (d), menunjukkan bahwa setelah pengendapan


selanjutnya, daerah B dan C hilang dan seluruh zat padat itu akan

43
berkumpul pada daerah D, kemudian terjadi suatu pemampatan
(compression) dimana pemampatan itu bermula disebut titik kritis.

5. Pada gambar 3.1. (e), menunjukkan pemampatan sebagian dari zat cair
yang ikut bersama flok ke dalam daerah D akan terpress keluar jika
bobot endapan itu menghancurkan struktur flok. Selama pemampatan
itu berlangsung, sebagian zat cair di dalam flok itu menyembur keluar
dan ketebalan daerah ini akan berkurang. Akhirnya, jika bobot zat
padat itu telah mencapai kesetimbangan mekanik dengan kekuatan
tekanan flok, proses pengendapan itu akan berhenti. Pada saat ini,
lumpur tersebut sudah mencapai tinggi akhirnya.
“Keseluruhan proses yang terlihat pada gambar 3.1. dinamakan sedimentasi.”

Teori Gerakan Partikel Melalui Fluida


Ketika partikel bergerak melalui fluida, sejumlah gaya akan bekerja pada
partikel. Terdapat tiga gaya utama yang bekerja pada partikel, yaitu:
1. Gaya Gravitasi (Fg)
Gaya yang ditimbulkan akibat gaya gravitasi bumi yang besarnya
dinyatakan dalam persamaan:
Fg = m . g ......................................... (1)

2. Gaya Apung (Fh)


Gaya ini arahnya sejajar dengan gaya gravitasi, tetapi mempunyai arah
yang berlawanan. Jika partikel yang jatuh dianggap mempunyai massa
(m) sebesar kg dengan kecepatan (v) m / dtk, densitas ( ρ p) km/m3,
densitas fluida ( ρ ) km / m3 dan Vp adalah volum partikel, maka besar
gaya apung yang bekerja pada partikel adalah:
m.g .ρ
Fb = = V p .ρ .g …………………(2)
ρp

44
3. Gaya Drag (FD)
Gaya ini terjadi jika ada gerakan antara fluida dan partikel dan bekerja
melawan arah gerakan dari partikel serta sejajar arah gesekan, tetapi
berlawanan arah dengan gaya gravitasi. Harga drag force sebanding
dengan kecepatan (v2 / 2). Harga ini dilipatkan dengan densitas fluida
dan luas permukaan partikel yang terproyeksi pada arah gerakan
partikel. Harga drag force dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut:
v2
FD = C d ρ . A …………………….(3)
2
Dimana Cd adalah koefisien drag (tidak bersedimentasi)
FD FB

FG

Gambar 3.2.
Gaya – gaya yang bekerja dalam suatu partikel di dalam fluida

Berdasarkan ada tidaknya pengaruh terhadap jatuhnya suatu


partikel yang akan mengendap, mekanisme sedimentasi dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:
1. Free Settling
Peristiwa ini juga terjadi jika jarak antara partikel dan jarak antara
dinding silinder dengan partikel cukup jauh sehingga
mempengaruhi proses jatuhnya partikel dalm suatu fluida.
Gaya total yang terdapat dalam partikel adalah sebagai berikut:
F = Fg – Fb – Fd……………………(4)

45
Gaya total ini sama dengan gaya yang bekerja pada partikel, yang
mempercepat partikel, sehingga persamaan diatas menjadi:
m . (dv / dt) = Fg – Fb – Fd……..…….(5)
Partikel yang jatuh akan menjalani gerakan dipercepat dan
akhirnya mengalami gerakan dengan percepatan konstan, dimana
periode jatuhnya partikel merupakan hal yang sangat penting. Jika
kita masukkan harga ini dari masing – masing persamaan gaya
pada persamaan yang terakhir dengan keadaan kecepatan dv / dt =
0.

2. Hindraed Settling
Hindraed terjadi akibat adanya gerakan partikel dalam fluida
tergantung oleh partikel lain dan oleh dinding tabung karena jarak
antara partikel dengan dinding tabung berdekatan. Koefisien drag
dalam hal ini lebih besar dari free settling karena adanya partikel –
partikel satu sama lain.
Peralatan yang terdapat dalam settling dan sedimentasi, yaitu:
1. Simple Gravity Settling Tank
Alat ini digunakan untuk memindahkan fase liquid terdispersi
oleh settling ke fase yang lain. Kecepatan secara horizontal ke
kanan harus cukup lambat mengikuti waktu dari droplets kecil
agar naik dari bawah ke permukaan atau dari bawah ke
permukaan dan menjadi satu.

2. Peralatan untuk Klasifikasi


Klasifikasi tipe sederhana adalah salah satu dari tangki
berukuran besar yang dibagi menjadi beberapa daerah. Liquid
slurry yang masuk tangki mengandung range ukuran partikel
padat. Kecepatan linear feed masuk meningkatkan sebagai hasil
perluasan dari luas daerah pada saat masuk.

46
3. Spitzkasten Classifier
Type lain dari gravitasi settling chamber adalah spitzkasten
yang terdiri dari tabung seri berbentuk kerucut yang
diameternya meningkat searah dengan aliran.

4. Sedimentasi Thickner
Dalam skala industry, proses settling dilakukan pada sebuah
thickner yang disebut dengan continous thickner. Pada
umumnya, thickner dilengkapi dengan pengaduk radial yang
digerakkan dengan lambat dari suatu proses sentral. Lengan –
lengan pengaduk Lumpur secara perlahan – lahan dan
mengumpilkannya ke tengah sehingga dapat mengalir ke dalam
bukaan besar yang bermuara pada pipa masuk pompa Lumpur.

Gambar 3.3.
Skema alat continous thickner

Terdapat tiga daerah utama dalam continous thickner, yaitu


daerah klasifikasi dimana liquid jernih keluar sebagai aliran
overflow, daerah suspension settling dan daerah pemekatan
dimana sludge dipisahkan sebagai underflow.

47
Untuk menentukan luas penampang thickner dan kedalaman-
nya diperlukan data – data dari daerah batch settling. Daerah
suspension settling adalah ekivalen dengan daerah B dan C
pada batch settling. Luas penampang thickner harus cukup
untuk menyediakan kapasitas suspension settling seperlunya
pada semua tingkatan konsentrasi partikel. Luas ini dapat
dihitung dari konsentrasi yang berbeda dan hubungannya
dengan laju pengendapan, daerah minimum pengendapan pada
thickner. Dalam industry, alat continous thickner dipergunakan
untuk waste water treatment.
Besarnya kecepatan pengendapan tergantung pada beberapa
factor, yaitu:
1. Konsentrasi
Jika konsentrasinya semakin besar maka drag force juga
semakin besar. Drag force atau gaya seret ini bekerja pada
arah yang berlawanan dengan gerakan partikel dalam
fluida. Gaya seret ini disebabkan oleh adanya transfer
momentum yang arahnya tegak lurus permukaan partikel
dalam bentuk gesekan. Maka dengan adanya drag force
yang arahnya berlawanan dengan arah partikel ini akan
menyebabkan gerakan partikel menjadi lambat. Dengan
adanya kenaikan konsentrasi akan menurunkan kecepatan
pengendapan.

2. Ukuran Partikel
Ukuran partikel berpengaruh langsung terhadap diameter
partikel. Sedangkan kecepatan pengendapan berbanding
terbalik dengan diameter partikel. Hal ini disebabkan
karena adanya gaya angkat yang dialami oleh partikel
semakin besar dengan bertambah besarnya luas permukaan
sehingga kecepatan pengendapan semakin menurun.

48
3. Jenis Partikel
Setiap partikel dari jenis yang berbeda akan mempunyai
densitas yang berbeda pula. Sedangkan densitas partikel
berpengaruh langsung pada besarnya kecepatan
pengendapan. Sedangkan kecepatan pengendapan
berbanding lurus dengan densitas partikel. Dimana semakin
besar densitas partikel, maka semakin besar pula kecepatan
pengendapannya.

3.3. Alat dan Bahan


3.3.1. Alat yang digunakan
a. Gelas kimia
b. Stopwatch
c. Pengaduk
d. Ayakan
e. Picnometer
f. Neraca Analytic
g. Beaker glass

3.3.2. Bahan yang digunakan


a. Air
b. CaCO3

3.4. Prosedur Percobaan


a. Menghitung densitas partikel CaCO3
b. Menentukan ukuran partikel CaCO3 dan yang akan dipelajari pada
percobaan sedimentasi ini akan menggunakan ayakan 10 mesh.
c. Menimbang 10 dan 25 gram partikel CaCO3
d. Memasukkan partikel yang sudah ditimbang tersebut ke dalam gelas
ukur berisi air sampai volumenya 100 ml dan pengaduknya hingga rata
e. Mencatan tinggi suspensi awal di dalam gelas ukur sebagai Zo

49
f. Mencatat tinggi batasan lapisan tiap 1 menit sekali dan melanjutkan
sampai batas lapisan konstan Z.

Diagram Alur Percobaan

Menghitung densitas partikel – partikel BE dan CaCO3.

Melakukan pengayakan untuk ukuran 10 dan 20 mesh


pada masing – masing partikel.

Menimbang 25 gram dan 10 gram partikel CaCO3 untuk


masing – masing ukuran.

Memasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml, serta menambahkan


air ke dalam gelas ukur sampai volumenya 100 ml.

Mencatat tinggi batas lapisan suspensi awal di dalam gelas ukur (Z0)
setiap 1 menit sekali dan melanjutkan sampai tinggi batas lapisan
hamper konstan (Z).

50
3.5. Tabel Hasil Pengamatan
Dari percobaan yang telah dilakukan, hasil yang didapatkan antara lain :
Tabel 3.1
CaCO3 sebanyak 25 gram pada tabung reaksi

Waktu (t) Tinggi (x) Kecepatan (v)


( menit ) ( cm ) ( cm/menit )
1 13 3,4
2 11,3 1,7
3 10,3 1
4 9,7 0,6
5 9 0,7
6 8,5 0,5
7 8,1 0,4
8 7,6 0,5
9 7,2 0,4
10 7 0,2
11 6,9 0,1
12 6,8 0,1
13 6,65 0,15
14 6,6 0,05
15 6,55 0,05
16 6,5 0,05
17 6,5 0
18 6,5 0
19 6,5 0
20 6,45 0,05
21 6,4 0,05
22 6,4 0
23 6,4 0
24 6,4 0
25 6,4 0
26 6,4 0

51
Perhitungan
v v1 + ... + v 26 10
v= = = = 0,3846 cm/menit
n 26 26

Tabel 3.2
CaCO3 sebanyak 10 gram pada tabung reaksi

Waktu (t) Tinggi (x) Kecepatan (v)


( menit ) ( cm ) ( cm/menit )
1 Tidak tampak -
2 Tidak tampak -
3 2,1 3,23
4 1,9 0,2
5 1,8 0,1
6 1,8 0
7 1,8 0
8 1,8 0
9 1,8 0
10 1,8 0

Perhitungan
v v3 + ... + v10 3,53
v= = = = 0,4413 cm/menit
n 8 8

3.6. Pembahasan
Sedimentasi adalah suatu proses pemisahan suspensi dengan cara
pengendapan sehingga cairan bening dan slurry yang kandungan padatannya
lebih tinggi. Pengendapan dapat dilakukan dengan memanfaatkan gaya
gravitasi. Cara yang sederhana adalah dengan membiarkan padatan mengendap
dengan sendirinya. Setelah partikel partikel mengendap maka air yang jernih
dapat dipisahkan dari padatan yang semula tersuspensi di dalamnya.
Dalam percobaan pengamatan praktikum, dapat kita lihat bahwa pada
bahan – bahan yang terdiri dari air dan kapur ( CaCO3 ). Saat memasukan bahan

52
ke dalam gelas ukur terlebih dahulu CaCO3 kemudian dilanjutkan dengan
memasukkan air hingga sampai ketinggian 100 ml. Kemudian menggunakan
pengaduk untuk mencampurkan larutan tersebut hingga sampai rata tercampur
rata dengan air.
Setelah diaduk dengan rata menggunakan pengaduk kemudian
menggunakan stopwatch harus diperhatikan setiap 1 menit harus dicatat tinggi
batasan suspense awal sampai batas lapisan konstan Z. Dapat kita ketahui
apabila dari awal kita salah menimbang CaC03 ( kapur ) untuk melakukan
praktikum sesuai dengan prosedurnya pada saat mencatat waktu setiap 1 menit
akan memerlukan waktu yang lama sampai batasan lapisan suspensi hingga ke
basatan konstan. Sebaliknya apabila CaCO3 sedikit dilarutkan maka semakin
cepat waktu yang diperlukan terbentuknya endapan kapur.
Dari percobaan yang telah dilakukan jika dituangkan ke dalam sebuah
grafik menjadi seperti grafik di bawah :

Grafik 3.1.
Perbandingan ketinggian dan waktu pengendapan
14

12

10
ketinggian (cm)

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
menit ke-
Air dan kapur 25 gram Air dan kapur 10 gram

Jika diperhatikan grafik 3.1. di atas, dapat disimpulkan bahwa massa kapur
yang digunakan turut mempengaruhi terhadap waktu pengendapannya. Pada
grafik dengan garis yang berwarna hijau, massanya lebih besar dari pada
massa kapur yang digunakan pada grafik dengan garis berwarna merah,
sehingga dihasilkan waktu pada grafik dengan garis yang berwarna hijau

53
untuk mengendap jauh lebih lama dengan waktu yang diperlukan untuk
mengendap pada grafik dengan garis berwarna merah.

Grafik 3.2.
Perbandingan kecepatan dan waktu pengendapan
4
3,5
kecepatan (cm/menit)

3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
menit ke-
Air dan kapur 25 gram Air dan kapur 10 gram

Sedangkan pada grafik 3.2. di atas, terlihat jelas sekali bahwa semakin lama
kecepatan yang diperlukan untuk mengendap semakin lama semakin kecil,
hingga pada akhirnya akan berhenti (v = 0) akan menghasilkan endapan.

3.7. Kesimpulan dan Saran


3.7.1. Kesimpulan
1. Semakin besar massa kapur yang dicampur dengan air, semakin
lama waktu yang dibutuhkan kapur untuk terbentuknya endapan.
2. Massa kapur yang dicampur dalam air, berbanding lurus terhadap
waktu yang diperlukan untuk terbentuknya endapan.
3. Banyaknya pengadukan juga turut mempengaruhi waktu untuk
mengendap.
4. Lamanya waktu berbanding terbalik dengan ketebalan lapisan
suspensi yang terbentuk.
5. Semakin tinggi konsentrasi, maka semakin tinggi kecepatan
pengendapannya.

54
3.7.2. Saran
1. Sebelum melakukan percobaan, sebaiknya peralatan dibersihkan
terlebih dahulu.
2. Lakukan percobaan sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan.
3. Hati – hati dalam menggunakan peralatan pada saat percobaan
dilakukan.
4. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, sebaiknya lakukan
pengulangan pada percobaan.

3.8. Lampiran

Daftar Notasi
A = luas permukaan partikel
µ = viskositas fluida(gr/cm.dt)
CD = koefisien drug
CO = konsentrasi awal (gr/lt)
Cn = konsentrasi under flow(gr/cm3)
Cv = konsentrasi akhir jenuh(gr/cm3)
Dp = diameter partikel (cm)
Fd = gaya drag(N)
Fb = gaya apung(N)
Fg = gaya gravitasi (N)
g = percepatan gaya gravitasi (m/dt2)
K = kriteria pengendapan
Lo = rate padatan(cm3/dt)
Lu = rate underflow (cm3/dt)
Li = rate volumetrik saat l (cm3/dtk)
m = massa(gr)
NRe = bilangan Reynold
S = luas permukaan continuous thicneker (cm3)
t = waktu(menit)

55
Vt = slope (-dz/dt)
Vp = volume partikel(cm3)
Vs = kecepatan hindered(cm/dt)
Vt = kecepatan terminal(cm/dt)
Z = bidang batas(cm)
Zi = bidang batas setelah waktu t (cm)
Zo = bidang batas mula-mula (cm)
ρf = densitas fluida(gr/cm3)
ρs = densitas slurry(gr/cm3)
ρp = densitas partikel(gr/cm3)
ρu = densitas underflow(gr/cm3)
ρa = densitas air(gr/cm3)

56
Gambar – Gambar Alat Yang Digunakan

Gelas Ukur Stopwatch

Pengaduk Kaca Picnometer

Beaker Glass Neraca Analitic

57
DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org

Sarungu’ Selvia, ST., “Modul Penuntun Praktikum Kimia Dasar II”


Balikpapan.2009

www.ayobelajar.com

www.e-dukasi.net

www.google.co.id

You might also like