You are on page 1of 71

PENEMUAN HUKUM

Pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 :


Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa perkara dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Pasal 22 AB : bilamana seorang hakim


menolak menyelesaikan suatu perkara
dengan alasan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan tidak
menyebutnya, tidak jelas atau tidak
lengkap, maka ia dapat dituntut karena
menolak mengadili.
Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman :
Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya

Penjelasan Pasal 16 ayat (1) : hakim


sebagai organ pengadilan dianggap
memahami hukum. Pencari keadilan
datang padanya untuk mencari
keadilan. Andaikata ia tidak
menemukan hukum tertulis, ia wajib
menggali hukum tidak tertulis untuk
merumus berdasarkan sebagai orang
yang bijaksana dan bertanggung
Pasal 27 ayat (1) : hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 :
(3) Hakim wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
(4) Dalam mempertimbangkan berat
ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat-sifat
Permasalahan yang muncul adalah
bahwa dalam penemuan hukum yang
dilakukan oleh hakim muncul anggapan
seolah-olah merubah kedudukan
hukum hakim sebagai pemegang
kekuasaan penciptaan UU (Badan
Legislatif) dan bertentangan dengan
Pasal 20 AB : Hakim harus mengadili
menurut UU, kecuali yang ditentukan
dalam Pasal 11.
Ia sama sekali tidak boleh menilai-nilai
inti atau keadilan dari UU. Pasal 21 AB
menegaskan :”Tiada seorang hakimpun
dengan jalan peraturan umum,
Secara autentik pembuat UU menjelaskan Pasal
27 UU No. 14 Tahun 1970 sebagai berikut :
2. Semua masyarakat yg msh mengenal hk tdk
tertulis, serta berada dlm masa pergolakan
dan peralihan, hakim mrpkan perumus dan
penggali nilai-nilai hkm yg hidup di
kalangan rakyat. Utk itu ia hrs terjun ke
tengah-tengah masyarakat utk mengenal,
merasakan dan mampu menyelami perasaan
hk dan rasa keadilan yg hidup dlm msyrkt.
Dgn dmkn hakim dpt memberikan putusan
yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
3. Siaft-sifat yg jahat maupun yg baik dari
tertuduh wjb diperhatikan hakim dlm
mempertimbangkan pidana yg dijatuhkan.
Keadaan-kedaan pribadi seserg perlu
diperhitungkan utk memberikan pidana yg
setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan
pribadi tsbt dpt diperoleh dari keterangan
orang-orang di lingkungannya, rukun
Penjelasan Pasal 28 UU No. 4 Tahun
2004
Ratio ketentuan Pasal 22 AB jo Pasal
16 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004
adalah bahwa masyarakat pencari
keadilan tidak akan tertolong,
apabila ditinggalkan dengan
perselisihan-perselisihan yang tidak
terselesaikan, oleh karena UU tidak
mengatur, kurang jelas dan tidak
lengkap.
Maka tugas hakim adalah
menyelesaikan tiap perkara
meskipun bertentangan dengan UU
atau UU tinggal diam. Hakim wajib
membuat penyelesaian yang
dinginkan oleh masyarakat pencari
Oleh karena UUnya tidak lengkap atau tidak
jelas, maka hakim harus mencari
hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia
harus melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan
hukum sering merupakan penemuan hukum
dan tidak sekedar penerapan hukum.
Dalam penemuan hukum ada aliran progresif
yang berpendapat bahwa hukum dan
peradilan merupakan alat untuk perubahan-
perubahan sosial. Sedangkan aliran
konservatif berpendapat bahwa hukum dan
peradilan itu hanyalah untuk mencegah
kemerosotan moral.
Penemuan hukum bukan
semata-mata hanya
penerapan peraturan-
peraturan hukum
terhadap peristiwa
konkrit, tetapi sekaligus
juga penciptaan dan
pembentukan hukum.
Penemuan Hukum :
 Pelaksanaan hukum : menjalankan
hukum tanpa adanya sengketa
maupun ada sengketa.
 Penerapan Hukum : menerapkan
hukum yang abstrak sifatnya pada
peristiwa konkrit.
 Pembentukan Hukum : merumuskan
peraturan- peraturan yang
berlaku umum, bagi setiap orang.
 Penciptaan Hukum : istilah yang
kurang tepat, karena kesannya
bahwa hukum itu tidak ada,
kemudian diciptakan menjadi ada.
Penemuan hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim, atau
aparat hukum lainnya yang ditugaskan
untuk penerapan peraturan hukum umum
pada peristiwa hukum konkrit.
Penemuan hukum adalah proses
konkretisasi atau individualisasi
peraturan hukum (das sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan
peristiwa konkrit (das sein).
Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa
konkrit, konflik atau kasus yang harus
diselesaikan atau dipecahkannya dan
untuk itu perlu dicarikan hukumnya.
Dalam penemuan hukum yang penting
Menurut Van Apeldoorn, hakim harus menyesuaikan
(waarderen) UU dg hal-hal yg konkrit yg terjadi
dimasyarakat dan hakim dapat menambah
(aanvulen) UU apbl perlu. Hakim hrs
menyesuaikan UU dg hal yng konkrit, krn UU tdk
mlputi sgl kjdian yg timbul dlm masyrkt. Bukankah
pembuat UU hanya menetapkan st petunjuk hdp
yg umum saja. Pertimbangan mengenai hal-hal yg
konkrit, yaitu menyesuaikan UU dg hal-hal yg
konkrit diserahkan kpd hakim.
Kptsan hakim dapat memuat st hk dlm suasana
“werkelijkheid”yg menyimpang dr hk dlm suasana
“positiveit”. Hakim menambah UU krn pembuat UU
senantiasa tertinggal pd kjadian-kjdian yg baru
timbul dlm masyarakat.
UU itu mrpkan “momentopname” saja. Yaitu suatu
“momentopname” dr keadaan di waktu
pembuatannya. Berdsrkan dua kenyataan td mk
dpt diktkan bhw hakimpun turut serta menentukan
mana yg mrpkan hk dan mana yg tdk atau hakim
menjlnkan rechtsvinding. Scholten mngtkan bhw
mnjlnkan UU itu selalu rechtsvinding.

Kemandirian hakim dlm menemukan dan


pembentukan hk itu, serta dpt menentukan mana
yg mrpkan hk dan mana yg tdk atau dlm mengisi
ruangan yg kosong dlm UU, adlh tdk berttangan
dg Psl 21 AB, krn kptsn hakim yg dmkn hanya
berlaku bagi para pihak yang berperkara saja dan
tdk berlaku sbg peraturan umum.
Kedudukan yurisprudensi di Indonesia sgt
berbeda dg keptsn hakim yg mrpkan
“Preseden” sebgmn yg terdpt di Inggris dan
Amerika spt yg dikemukakan oleh GRAY.
Teori Gray dikenal dg teori mgnai All the law is
judge made law. St peraturan barulah mjd
peraturan hkm apbl peraturan itu tlh
dimasukkan dlm putusan hakim.
Anggapan Gray ini berdasarkan peradilan yang
dilaksanakan di Inggris, Amerika Serikat dan
Afrika Selatan dan disebut peradilan preseden
(Presedenten rechts praak). Hakim wjb
mengikuti keputusan hakim yg kedudukannya,
menurut hierarkhi pengadilan lebih tinggi, wjb
mengikuti keputusan hakim yg lain yang
keddkannya sederajat, ttpi tlh lebih dahulu
membuat penyelesaian st perkara sejenis.
Bahkan hakim wajib mengikuti keputusan
sendiri yg dibuatnya lebih dahulu membuat
penyelesaian st perkara semacam (Stare
decisis). Hukum yang berasal dari
pengadilan preseden disebut “Judge made
law” atau “Judiciary Law”.
Terutama di Inggris sering disebut “judge
made law” itu dianggap lebih penting
daripada “statute law” (hukum yang ada di
dalam peraturan perundang-undangan).
Pentingnya “judge made law” itu diperbesar
oleh Gray dalam rumusannya : Äll the law is
judge made law”.
Paul Y Bohanan mengatakan bahwa
ada suatu suku bangsa di Liberia
bernama Suku Gola yang mempunyai
pameo tentang Hukum :
“Hukum itu laksana bunglon, dia
berubah bentuk pada tempat
yang berbeda dan hanya dapat
dikuasai oleh mereka yang tahu
seluk beluknya”.

Beberapa ahli hukum Barat


mengatakan bahwa hukum itu tidak
mempunyai materi khusus,
melainkan seluas kehidupan itu
Paul Y Bohanan membagi kalangan hukum
menjadi dua golongan :
► Golongan yang pekerjaannya
menyangkut hubungan antara hukum
seperti pengacara, hakim, kepolisian dan
para pembuat UU (Medespelers).
► Golongan yang pekerjaannya
berhubungan dengan segi intelektual
dan segi filosofis dari hukum, meliputi
mereka yang mempelajari ilmu hukum,
sejarah dan cara-cara pemerintahan dan
juga antropolog yang mengkhususkan
diri pada pendalaman cara memecahkan
sengketa yang dikenal oleh berbagai
bangsa di dunia dan bagaimana cara
mereka mempertahankan tata politik
tertentu.
Ajaran hukum fungsional dari Ter
Heide, yang penting adalah
pertanyaan bagaimana dalam situasi
tertentu dapat diketemukan
pemecahannya yang paling baik
yang sesuai dengan kebutuhan
kehidupan bersama dan dengan
harapan yang hidup di antara para
warga masyarakat terhadap
“permainan kemasyarakatan” yang
dikuasai oleh “aturan permainan”.
Penemuan hukum merupakan
problematik setiap pencari keadilan,
Hasil penemuan hukum oleh Hakim
merupakan hukum karena mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum karena
dituangkan dalam bentuk putusan. Hasil
penemuan itu juga merupakan sumber
hukum juga.
Selain hakim, pembentuk UUpun melakukan
penemuan hukum juga. Bedanya adalah
hakim menghadapi peristiwa konkrit atau
konflik, sedangkan pembentuk UU tidak.
Jadi sifatnya preskriptif. Hasil penemuan
hukum oleh pembentuk UU inipun
merupakan hukum karena mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum
disebabkan dituangkan dalam bentuk UU
Pandangan klasik berpendapat bahwa hakim dalam
menerapkan UU terhadap peristiwa hukum
sesungguhnya tidak menjalankan peranannya
secara mandiri.

Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong UU


(bouceh de la loi), sehingga tidak dapat
mengubah kekuatan hukum UU, tidak dapat
menambah dan tidak dapat pula menguranginya.
Sebab menurut Montesquieu, UU adalah satu-
satunya sumber hukum positif. Oleh karena itu
demi kepastian hukum, kesatuan hukum serta
kebebasan warga negara yang terancam oleh
kebebasan hakim, hakim harus ada di bawah
UU. Peradilan tidak lain hanyalah bentuk
silogisme. Ini merupakan aliran Legisme.
Aliran legisme hidup di abad 19 yang muncul
sebagai akibat pengaruh ajaran pemisahan
kekuasaan, mengajarkan bahwa hakim tidak
dapat menciptakan atau menemukan hukum.
Pandangan ahli hukum abad ini, hakim tidak
dapat membuat sesuatu yang baru, ia
hanya dapat menemukan dan membuka
tabir pikiran-pikiran yang terdapat dalam
UU.

Hakim hanya mempelajari UU, mengadakan


analisis untuk menemukan jalan bagi hal-
hal yang tegas melalui jalan deduksi yang
logis melalui cara silogisme sehingga cara
ini disebut geometri yuridis.
Penemuan hukum oleh hakim yang didasarkan
pada UU disebut dengan Heteronom. Karena
hakim mendasarkan pada peraturan-peraturan
di luar dirinya; hakim tidak mandiri karena harus
tunduk pada UU.

Pandangan typis logicistis atau heteronom tidak


dapat dipertahankan lagi sampai tahun 1850
sebab perhatian ditujukan pada peran
penemuan hukum yang mandiri. Hakim tidak
lagi dipandang sebagai corong UU, tetapi
sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri
memberi bentuk kepada isi UU dan
menyesuaikannya dengan kebutuhan-
kebutuhan. Pandangan ini dikenal sebagai
materiil yuridis atau otonom.
Pandangan materiil yuridis atau otonom berpendapat
bahwa pelaksanaan hukum oleh hakim bukanlah
semata-mata hanyalah masalah logika murni dan
pengguna ratio yang tepat, tetapi lebih merupakan
masalah pemberian bentuk yuridis pada asas-asas
hukum materil yang menurut sifatnya tidak logis
dan tidak mendasarkan pada pikiran yang abstrak,
tetapi lebih-lebih pada pengalaman dan penilaian
yuridis.
UU tidak mungkin lengkap. UU hanyalah merupakan
suatu tahap tertentu dalam proses pembentukan
hukum dan bahwa UU wajib mencari pelengkapnya
dalam praktek hukum yang teratur dari hakim
(yurisprudensi), dimana asas yang merupakan dasar
UU dijabarkan lebih lanjut dan dikonkretisasi, diisi
dan diperhalus dengan asas-asas baru.
Dalam hal kekosongan atau ketidak jelasan UU,
hakim mempunyai tugas sendiri, yaitu memberi
pemecahan dengan penafsiran UU. Meskipun
orang makin lama meninggalkan pandangan
legistis atau positivisme UU. Tetapi pangkal
tolak penemuan hukum adalah sistem : semua
hukum terdapat dalam UU dan hanya kalau ada
kekosongan atau ketidak jelasan dalam UU saja
maka hakim boleh menafsirkan .

Di sini penemuan hukum bukan semata-mata hanya


penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap
peristiwa konkrit, tetapi sekaligus juga
merupakan penciptaan dan pembentukan hukum.
Montesquieu mengemukakan ada 3
bentuk negara dan pada setiap bentuk
negara terdapat bentuk penemuan
hukum yang cocok untuk masing-masing
bentuk negara.
Dalam etat despotique tidak ada UU.
Hakim mengadili setiap peristiwa
individual menurut apresiasi pribadinya
secara arbitrer. Terjadi penemuan
hukum otonom mutlak. Di dalam negara
idealnya, yaitu etat republicain
terdapat penemuan hukum yang
heteronom; hakim menerapkan UU
menurut bunyinya.
Dalam etat monarchique terdapat sistem
UU, baik yang rinci maupun yang tidak
rinci, yang tidak dapat diterapkan begitu
saja, tetapi harus ditafsirkan lebih dahulu
dengan mencari “jiwanya”. Kecuali
sebagai corong UU, hakim di sini juga
sebagai penafsir UU.
Di sini terdapat sistem penemuan hukum
yang mempunyai unsur-unsur heteronom
maupun otonom. Tipe-tipe ini
mencerminkan aspek tertentu dari fungsi
Hakim; hakim tidak lebih berfungsi
sebagai corong UU, kadang-kadang hakim
mempnyai sedikit banyak kebebasan
dalam menterjemahkan dan menafsirkan,
Prototype penemuan hukum heteronom
terdapat dalam sistem peradilan negara-
negara Kontinental termasuk Indonesia. Di
sini hakim bebas, tidak terikat pada
putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan
mengenai perkara yang sejenis. Hakim
berfikir deduktif dari bunyi UU (umum)
menuju ke peristiwa khusus dan akhirnya
sampai pada putusan. Dalam penemuan
hukum yang typis logistis atau heteronom,
hakim dalam memeriksa dan mengadili
perkara mendasarkan pada faktor-faktor
di luar dirinya.
Prototype penemuan hukum otonom
terdapat dalam sistem peradilan Anglo
Sakson yang menganut asas the binding
force of precedent atau stare decisis et
quita non movere.
Di sini hakim terikat pada putusan hakim
yang telah dijatuhkan mengenai perkara
sejenis dengan yang akan diputus hakim
ybs .
Dalam sistim ini putusan hakim terdahulu
mengikat, sehingga merupakan faktor di
luar diri hakim yang akan memutuskan,
tetapi hakim yang akan memutus itu
menyatu dengan hakim yang terdahulu
yang telah menjatuhkan putusan
mengenai perkara yang sejenis dan
dengan demikian putusan hakim
Hakim Anglo Saks berfikir secara induktif,
berfikir dari peristiwa khusus yang satu ke
peristiwa khusus yang lain. Akhirnya
sampai putusan. Di sini hakim
mengadakan reasoning by analogy. Pada
penemuan hukum yang materiil yuridis
atau otonom, hakim memeriksa dan
memutus perkara menurut apresiasi
pribadinya. Ia di bimbing oleh pandangan-
pandangan atau pikirannya sendiri.
Di dalam perkembangannya dua sistem
penemuan hukum itu saling
mempengaruhi, sehingga penemuan
hukum tidak lagi murni otonom dan murni
heteronom. Bahkan ada kecenderungan ke
Pada umumnya para yuris dari kalangan
penganut sistem hukum Eropa Kontinental
tidak memisahkan secara tegas antara
metode interpretasi dan metode konstruksi.
Sebaliknya para yuris yang condong kepada
sistem hukum Anglo Saxon membuat
pemisahan secara tegas antara metode
interpretasi dengan metode konstruksi
berdasarkan argumentasi bahwa metode
interpretasi hukum dilakukan dalam hal
peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk
dapat diterapkan pada peristiwa konkrit.
Interpretasi terhadap teks peraturannyapun
masih tetap berpegang pada bunyi teks itu.
Metode Penafsiran terdiri atas :
2. Interpretasi Gramatikal (menurut bahasa)
3. Interpretasi Historis
4. Interpretasi Sistematis
5. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis
6. Interpretasi Komparatif
7. Interpretasi Futuristik
8. Interpretasi Restriktif
9. Interpretasi Ekstensif
10.Interpretasi Otentik atau secara resmi
11.Interpretasi Interdisipliner
12.Interpretasi Multidisipliner
Dalam sistem penemuan hukum di Indonesia, pembentuk UU
tidak memprioritaskan kepada salah satu metode
interpretasi tertentu. Hakim bebas menentukan metode
interpretasi mana yang dianggap paling tepat,
meyakinkan, dan memuaskan. Hakim dalam hal ini
bersikap otonom dalam menentukan pilihannya. Bahkan
putusan-putusan pengadilanpun, hakim tidak pernah
menegaskan argumen atau alasan penggunaan metode
interpretasi tertentu, bahkan tidak jarang digunakan
metode interpretasi secara campur aduk atau lebih dari
satu jenis.

Putusan hakim yang didasarkan dengan pertimbangan hukum


sesuai fakta yang terungkap di persidangan, sesuai
undang-undang dan keyakinan hakim tanpa terpengaruh
dari berbagai intervensi eksternal dan internal adalah
suatu putusan hakim berkualitas yang dapat
dipertanggung-jawabkan secara profesional kpd publik.
Contoh Penemuan Hukum : Ketetapan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan No. 546/73 P tgl 14
November 1973 tentang perubahan jenis kelamin
dari pria menjadi wanita. Permohonan ini belum
ada diatur dalam UU. Untuk itu hakim melakukan
penemuan hukum.

Dasar pertimbangan hakim sangat tepat yaitu


merupakan kenyataan seseorang yang hidup dalam
masyarakat dimana terdapat dua jenis kelamin
yaitu pria dan wanita terdapat lagi orang yang
hidup diantara dua golongan tersebut. Untuk itu
hakim juga meninjau dari segi agama yang dianut
oleh pemohon yaitu Kristen Protestan yang
menentukan bahwa perubahan kelamin tidak
bertentangan dengan Agama Kristen Protestan
apabila perubahan jenis kelamin tersebut
merupakan jalan satu-satunya untuk menolong
penderitaan agar ia dapat hidup secara wajar.
Dari kasus di atas dapat dikemukakan sbb :
2. Ketetapan Pgdilan Jakarta Barat dan
Selatan pd tgl 14 Nov. 1973 adlh tepat.
Meskipun prtran hk tertulisnya blm ada,
ttpi hakim tlh menciptakan hukum sesuai
dg kebutuhan.
3. Hakim tlh berbuat sesuai dg apa yg
diperintahkan oleh ketentuan Psl 14 ayat
(1) jo Psl 27 ayat (1) UU No. 14 Thn 1970.
4. Metode konstruksi hk sbg proses berfikir
dlm menemukan atau menciptakan hk tlh
dimanfaatkan oleh Hakim.
5. Dpt ditarik suatu asas bhw UU hanya
menge nal dua pembgn jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan saja.
Sedangkan metode konstruksi hukum
dilakukan dalam hal peraturannya
memang tidak ada, jadi terdapat
kekosongan hukum (rechtsvacuum)
atau lebih tepat disebut kekosongan
Undang-Undang (wet vacuum).
Untuk mengisi kekosongan Undang-
undang ini, biasanya hakim
menggunakan penalaran logisnya
yang berupa metode analogi,
metode argumentum a contrario,
metode pengkonkritan hukum, dan
fiksi hukum.
1. Metode Argumentum Per Analogium (Analogi)
Dlm mtde ini, hakim mcari esensi yg lbh umum dr
sebuah peristiwa hkm atau perbuatan hkm baik yg
tlh diatur oleh UU maupun yg blm ada
peraturannya. Contoh : Pasal 1576 “Jual beli tidak
memutuskan hub. sewa menyewa. Dalam praktek
Apakah hibah tdk memutuskan sewa menyewa.
Hakim wjb melkkan penemuan hkm, krn peraturannya
tdk mengatur mslh hibah. Langkah yg ditempuh
hakim ialah mencari esensi dr jual beli yaitu
peralihan hak. Hibah esensinya adlh juga peralihan
hak. Dgn dmkn ditemukan jwbannya, bhw peralihan
hak mrupkn “genus (peristiwa umum), sdgkan jual
beli dan hibah msg-msg sbg spesiesnya (peristiwa
khusus). Ksmplannya hibah jg tdk memutuskan sewa
menyewa. Kasus ini menunjukkan digunakannya
metode induksi, yaitu berfikir dari yang khusus ke
yang umum. Dengan analogi, maka peristiwa yang
serupa, sejenis, atau mirip dengan yang diatur
dalam UU diperlakukan sama.
1. Metode Argumentum a Contrario
Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim
untuk menemukan hukum dengan pertimbangan
bahwa apabila UU menetapkan hal-hal tertentu
untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu
terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk
peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Jadi
esensinya mengedepankan cara penafsiran yang
berlawanan pengertian antara peristiwa konkrit
yang di hadapi dengan peristiwa yang diatur
dalam UU. Pada metode argumentum a
contrario ini titik berat diletakkan pada
ketidaksamaan peristiwanya. Di sini diperlukan
sisi negatifnya dari UU.

Contoh : masa iddah bagi janda yang hendak kawin


lagi yaitu 130 hari. Hakim menerapkan metode
ini sehingga seorang duda tidak perlu menunggu
waktu tertentu.
1. Metode Penyempitan/Pengkonkritan Hukum
(Rechtsvervijnings).
Bertuj utk mengkonkritkan/menyempitkan st atran hkm
yg terlalu abstrak, luas, dan umum, spy dpt
diterapkan thdp st prstw tertt.Cth : Psl 1365
KUHPdt, sblm thn 1919, pd waktu aliran legisme,
hakim mengidentikkan perbuatan melawan hkm adlh
perbuatan yg melanggar UU. Kmdn stlh keluarnya
Ptsn HR 31 Januari 1919 dlm kasus Lindenbauw vs
Cohen, tlh menyempitkan arti perbuatan melawan
hukum itu, adlh berbuat atau tidak berbuat :
3. Melanggar hak subyek hukum lain.
4. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
5. Bertentangan dengan nilai kepatutan yang
seyogyanya diindahkan dalam kehidupan bersama
terhadap integritas subyek hukum maupun harta
bendanya.
1. Fiksi Hukum
Metode penemuan hukum melalui fiksi hukum
ini bersumber pada fase perkembangan
hukum dalam periode menengah, yaitu
setelah berakhirnya periode hukum primitif.
Esensi fiksi hukum merupakan metode
penemuan hukum yang mengemukakan fakta-
fakta baru, sehingga tampil suatu
personifikasi baru. Fungsi fiksi hukum di
samping untuk memenuhi hasrat menciptakan
stabilitas hukum, juga untuk mengisi
kekosongan UU. Fiksi hukum itu bermaksud
untuk mengatasi konflik antara tuntutan-
tuntutan baru dengan sistem hukum yang
ada.
Rudolph von Jhering menyebutkan ada 3
syarat utama untuk melakukan
konstruksi hukum, yaitu :
 konstruksi hukum harus mampu
melihat semua bidang hukum positif.
 dalam pembuatan konstruksi hukum
tidak boleh ada pertentangan logis di
dalamnya atau tidak boleh
membantah dirinya sendiri.
 konstruksi hukum mencerminkan
faktor keindahan yaitu konstruksi
hukum itu bukan merupakan sesuatu
yang dibuat-buat dan konstruksi
harus mampu memberikan gambaran
yang jelas tentang sesuatu hal itu.
Pembentukan UU dewasa ini
cenderung tidak kasuistis tetapi
bersifat umum. Akibatnya terjadi
pergeseran dari “hakim terikat”
menjadi “hakim bebas”. Dari
“Normgerechtigkeit” (keadilan
menurut UU) ke arah
“Einzelfallgerechtigkeit” (keadilan
menurut hakim). Dari
“systeemdenken” (berfikir dengan
mengacu kepada sistem : system
oriented) ke arah
“probleemdenken” (berfikir dengan
mengacu kepada masalahnya :
problem oriented).
Bukan hakim saja yang menyebabkan
pergeseran dari bentuk penemuan
Antara penemuan hukum yang heteronom
dengan otonom tidak ada batas yang tajam. Di
dalam praktek penemuan hukum kita jumpai
kedua unsur tersebut yaitu Heteronom dan
otonom.
Putusan pengadilan negara-negara Anglo Saks
merupakan hasil penemuan hukum otonom
sepanjang pembentukan peraturan dan
penerapan peraturan itu dilakukan oleh hakim
berdasarkan hati nuraninya, tetapi sekaligus
juga bersifat heteronom karena hakim terikat
pada putusan-putusan sebelumnya.
Hukum Indonesia mengenal penemuan hukum
heteronom sepanjang hakim terikat pada UU,
tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai
unsur-unsur otonom yang kuat, karena hakim
seringkali harus menjelaskan atau melengkapi
UU menurut pandangannya sendiri.
Putusan Hakim
Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara
terutama yang dipentingkan adalah fakta
atau peristiwanya dan bukan hukumnya.
Peraturan hukum hanyalah alat, sedangkan
yang bersifat menentukan adalah
peristiwanya. Ada kemungkinannya terjadi
suatu peristiwa, yang meskipun sudah ada
peraturan hukumnya namun berbeda
penyelesaiannya. Untuk itu hakim harus
mengetahui secara obyektif duduk
perkaranya sebagai dasar untuk mengambil
keputusan.
Peristiwa yang sebenarnya akan diketahui oleh
hakim dari pembuktian. Dari pembuktian ini
hakim dapat mengkonstatir peristiwa yang
menjadi sengketa, selanjutnya hakim harus
menentukan peraturan hukum yang menguasai
sengketa antara kedua belah pihak. Hakim
harus menemukan hukumnya, ia harus
mengkualifisir peristiwa yang telah
dianggapnya terbukti. Hakim dianggap tahu
hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan
hukumnya adalah urusan hakim. Oleh karena
itu hakim dalam mempertimbangkan
keputusannya wajib karena jabatannya
melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak
dikemukakan lagi oleh para pihak.
Hakim Dan Penafsiran
Hakim merupakan wujud dan kepentingan
lebih besar dari kebutuhan yang
mendesak di negara-negara yang memilih
hakim.
Hakim pada dasarnya memainkan peran
sentral dalam proses komunikasi di
pengadilan yaitu melalui interpretasi.
Interpretasi dimaksudkan untuk
menjelaskan praktek sosial tertentu dan
struktur terhadap tatanan nilai tertentu.
Dworkin menyebutkan “ bilamana hukum
merupakan konsep interpretip, ilmu
hukum apapun yang ingin dianggap layak
menyebut ilmu haruslah dibangun atas
Hakim tidak saja dituntut untuk
memahami hukum yang telah
dipositipkan, tetapi lebih dari itu hakim
harus pula memahami makna yang
terkandung di balik hukum yang telah
dipositifkan tersebut (asas, nilai-nilai).
Seorang hakim harus sadar akan
ideologi dan subjektivitasnya sendiri,
sehingga keduanya tidak akan
mengintervensi proses interpretasi.
Untuk mengungkap makna teks sebuah
aturan tertentu, hakim harus mulai
dengan pembacaan awal, yang kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan analitis,
agar kunci dan gagasan-gagasan sentral
Melalui gagasan-gagasan sentral ini
hakim diharapkan dapat menemukan
makna yang tersembunyi dan
mengembangkan makna-makna baru.
Hakim harus membaca secara
kontekstual artinya hakim harus
memiliki kreativitas untuk membaca
realitas faktual dan “realitas simbolis”.
Karena harus diakui bahwa proses
interpretasi juga sebuah proses
dekoding yang tiada henti, dimana
penafsir harus memperhatikan atau
mempertimbangkan makna sosio
kultural kontekstual dengan
menggunakan kritik historis.
Seorang hakim juga harus
memperhatikan bahwa level makna yang
dapat dicapai memiliki tingkatan-
tingkatan tertentu, ada level metafor
dan ada level yang hakiki.
Untuk mengungkap ketiga makna tersebut
hakim harus mencoba untuk berfikir
transseden, kritis dan progresif .
Transeden berarti optimalisasi nurani
dalam melakukan penafsiran. Kritis
adalah penggunaan nalar namun tidak
bersifat “take for granted”. Progresif
adalah upaya untuk terus menemukan
makna-makna baru dan tidak terbelnggu
oleh makna absolut. UU bagi seorang
hakim hanyalah teks yang belum selesai
Hakim, Pengadilan dan Perselisihan
Keputusan hakim di pengadilan akan
menjadi pusat dari sistem hukum.
Sistem hukum akan selalu
bergantung pada bagaimana konsep-
konsep yang relevan didefinisikan.
Dalam masyarakat Barat, apa yang
ditulis sebagai “proses pengadilan”
dapat diidentifikasi sebagai
kerangka penjelasan dari praktek
kelembagaan hukum.
Dalam pemikiran hukum Anglo
Amerika, disebutkan bahwa esensi
hukum di dalam sistem hukum
adalah seberapa jauh proses
Ehrlich menyatakan bahwa pusat dari
seluruh kehidupan hukum bukanlah
terletak di ruang sidang namun
Blackstone menyebutkan hakim adalah
tempat penyimpanan hukum, yaitu ‘orang
bijak yang hidup”.
Oliver Wendell mendefinisikan hukum lebih
bersifat polemis, yaitu sebagai kebijakan-
kebijakan dari apa yang akan diputuskan
dalam sidang (Holems dalam Roger
Cotterell, 1992 : 205). Pernyataan Holmes
sangat membantu untuk menentukan
sebuah kebiasaan dalam pemikiran
“realisme hukum” di Amerika, dimana
hukum harus dipahami dalam bentuknya
John Chipman Gray, bahwa UU dibuat oleh
pembuat UU bukanlah hukum, namun
hanyalah sumber hukum, karena makna
serta dampak dari hukum itu sendiri
ditetapkan hanya pada saat hukum itu
telah dipertimbangkan dalam kasus
sebelum sidang itu dimulai. Keputusan
hakimlah yang merupakan hukum itu
sendiri.
Pandangan-pandangan seperti ini
dipengaruhi karakter khas sistem hukum
Amerika. Pemisahan formal antara badan
eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam
konstitusi Amerika Serikat didukung oleh
tradisi politik yang kuat bersamaan
dengan adanya tradisi dari hukum di
Inggris dan sebuah profesi hukum yang
sangat independen, membantu
menciptakan kondisi strata tertinggi dari
Di Inggris juga, badan yudikatif
dipilih dari tingkatan dan
gambaran status dari sebuah
profesi hukum independen, dan
dimana doktrin hukum masih
menggambarkan prinsip serta
konsep fundamental yang berakar
dalam tradisi hukum secara umum
dari hukum yang dibuat oleh
hakim, kesamaan status yang
tinggi dari para hakim
berhubungan dengan sentralitas
pemahaman mereka sebagai
Becker menekankan keadilan atau sikap
tidak memihak sangatlah penting bagi
eksistensi pengadilan atau sebagai
“jantung utama dari proses hukum”.
Pusat dari doktrin dalam proses hukum,
perselisihan merupakan justifikasi dan
fokus kerja pengadilan, serta
independensi dari aktivitas hukum,
sebagai landasan keberadaan
pengadilan.
Pentingnya kebebasan dalam pandangan
tradisional tentang hukum dan
pengadilan dijelaskan oleh seorang
pengacara Amerika, Henry Lumis; “saat
sebuah keputusan dikendalikan atau
dipengaruhi oleh apapun dari luar atau
bentuk pengaruh ataupun tekanan
eksternal, saat itulah pengadilan tidak
“seseorang yang mengambil keputusan
dengan didasari atau dipengaruhi oleh
pemikiran orang lain, bukanlah seorang
hakim. Pengadilan harus bebas dari
intimidasi, kendali, maupun pengaruh, di
luar itu tidak ada lagi yang disebut
sebagai pengadilan.
Martin Saphiro menjelaskan bentuk ideal
pengadilan terdiri dari 4 elemen yaitu :
3. Hakim yang independen
4. Menggunakan norma-norma yang telah
ada sebelumnya
5. Mencari cara kerja lawan
6. Untuk mencapai sebuah keputusan
dikotomi dimana satu dari kelompok
yang berselisih dinyatakan benar
Saphiro menyebutkan bahwa tidak
ada satupun dari elemen-elemen
diatas yang tetap berlaku bagi
seluruh sistem hukum utama untuk
seluruh lingkup masyarakat
kontemporer dan historik.
Pengadilan Inggris menikmati
kebebasan yang besar dari campur
tangan pemerintah dalam kasus-
kasus tertentu, meski pemerintah
tetap tidak ragu-ragu untuk
memutar balikan sejumlah
keputusan pengadilan yang telah
Hermeneutika hukum sebagai
teori penemuan hukum baru

Hans Georg Gadamer dalam Bukunya “Truth


and Method” mengilustrasikan pada mulanya
hermeneutika berkembang di bawah pengaruh
inspirasi ilmu hukum sebagaimana diresepsi
oleh kodifikasi Yustisianus (Corpus Iuris
Iustiniani) dari abad ke enam sesudah kristus.
Di Italia pada abad ke 12 timbul kebutuhan
pada suatu metode yang membuat teks-teks
yudisial yang berlaku dari suatu periode
historikal terdahulu lewat interpretasi dapat
diterapkan untuk suatu jenis (tipe) masyarakat
yang sama sekali berbeda. Selanjutnya
hermeneutika diperluas dari penafsiran teks
mjd suatu metode utk dpt menginterpretasi
perilaku manusia pd umumnya.
Seperti ciri khas aliran hukum Eropa Kontinental,
pembuatan kodifikasi di Prussia (abad XVIII),
Code Napoleon di Perancis (1804), Belanda
(1838), Jerman (1896, tetapi berlaku 1 Januari
1900), Swiss (abad ke XX). Setelah kodifikasi,
pemikiran dan perkembangan hukum menjadi
semakin sempit dan kaku, karena mereka
bangga dengan kodifikasinya sehingga tidak
perlu lagi mempelajari UU dan hukum dari
negara lain.
Sistem Hukum Eropa Kontinental ditandai oleh
model pemikiran abstrak yang melahirkan
konsep-konsep hukum abstrak, terkonsep
dengan baik seperti dalam Kitab-kitab Undang-
undang, dengan konsep yuridis yang sistematis,
Dalam sistem hukum Anglo Saxon,
melakukan pendekatan secara induktif,
dengan mengandalkan putusan-putusan
hakim, tanpa mengedepankan Undang-
undang, dan tidak memiliki Kitab Undang-
Undang, sehingga para pemikir-pemikir
hukum dalam sistem hukum Anglo saxon
adalah para hakim. Sedangkan dalam
sistem Eropa Kontinental adalah para
Profesor dan Universitas, dan dalam
sistem hukum Anglo Saxon, hukum
dianalisis tidak secara abstrak, tetapi
secara konkrit, berdasarkan atas
pengalaman dan kasus-kasus tanpa
terlalu banyak melakukan generalisasi,
Gadamer memprediksikan bahwa hermeneutika
sebagai sebuah fenomena pemahaman dan
penafsiran yang benar terhadap apa yang
dipahami bukan hanya merupakan masalah yang
cocok bagi methodologi ilmu pengetahuan
kemanusiaan (humaniora).
Dalam perkembangan ilmu hukum di Inggris,
menurut Peter Goodrich, sejarah hermeneutika
hukum mulai berkembang sejak abad ke 16. ia
mulai muncul sebagai hasil dari serangkaian
faktor sosial eksternal dalam perkembangan ilmu
hukum, termasuk perkembangan dunia
percetakan dan penerjemahan kitab Injil. Realitas
sejarah ini dibenarkan Francis Lieber dlm “Legal
and Political Hermeneutics” (1938)
Paradigma hermeneutika dalam ilmu hukum
mengalami perkembangan pesat dan
signifikan baru di era abad ke 20.
hermeneutika hukum hadir mengambil
posisi tengah antara dua tendensi
(kecenderungan) yang saling berlawanan
dan inhern dalam pandangan dunia secara
ilmiah atau pandangan ilmiah tentang dunia
(scientific worldview) wetenschappelijk
wereldbeeld) yaitu antara “tendensi
nihilistik” dengan “tendensi Emansipatorik”
di satu pihak. Di pihak lain hermeneutika
hukum juga berada pada posisi antara aliran
filsafat “positivisme logikal” dengan
“rationalisme kritikal”.
Positivisme logikal (termasuk tendensi
nihilistik) dan rsionalisme Kritikal (termasuk
Emansipatorik) keduanya
mempropagandakan ideal ketunggalan ilmu
berdasarkan keilmu-alaman. Para
penentangnya memaparkan bahwa
sesungguhnya metode keilmu-alaman tidak
memadai untuk mempelajari prilaku
manusia. Karena itu ilmu-ilmu sosial akan
mensyaratkan suatu jenis metode
tersendiri, yakni metode mengerti atau
memahami (verstehen) dengan
menginterpretasi, atau disebut juga
hermeneutika.
Pengadilan dan Penafsiran
Harry Bredemer (Law as an Integrative Mechanism) :
“hukum itu bagi kebanyakan orang merupakan
sesuatu yang sedapat mungkin dihindari saja”.
Menghadapi kondisi hukum, Satjipto Rahardjo :
Perubahan prilaku dan pikiran hakim lebih
diperlukan daripada “perubahan hukum”. Keadilan
yang bisa diberikan pengadilan selama ini masih
terbatas kepada keadilan formal prosedural,
sehingga tepat dikatakan masa ini adlh masa
kegelapan pengadilan dlm penyelesaian perkara.
Pengadilan lupa bahwa pasar keadilan terletak pada
adanya kaidah yang telah diresapi masyarakat
serta adanya tekanan psikologik antar sesama
warga masyarakat, bukanya pada pasal-pasal
peraturan yang tertulis yang dibuat secara formil
(Edwin M. Schur, 1967, 127 – 135)
Hakim Brandeis : Hakim lebih peduli menyelesaikan
perkara berdasarkan rule of law daripada
menyelesaikannya dengan benar dan adil. Apabila
prosedur formal menjadi tujuan utama, maka dapat
dipastikan bahwa pihak yang merasa dirugikan
akan menolak untuk menyelesaikan perkara
melalui pengadilan.
Wajah pengadilan harus dinilai berdasarkan tiga
kriteria : Efektivitas, Efisiensi, Kejujuran.
Efektivitas : Apakah pengadilan mencapai tujuan
untuk apa didirikan.
Efisiensi : Pembiayaan dari apa yang dilakukan
pengadilan dihubungkan dengan apa yang mereka
capai.
Kejujuran : Bagaimana pengadilan memperlakukan
masyarakat dengan sepantasnya, secara hukum
dan moral, tanpa mengindahkan keefektivan
mereka dalam memutus perkara atau efisiensi
Pengadilan dan Distorsi Komunikasi
Distorsi komunikasi merupakan tidak
terserapnya infromasi keadilan secara timbal
balik di antara pengadilan, media dan
masyarakat.
Distorsi muncul ketika media mencoba
menampilkan berita keadilan dengan gaya
bahasa yang kurang disenangi pengadilan.
Menurut pengadilan, media telah memutar
balikan fakta, dan tidak menjelaskan segala
sesuatu apa adanya. Menurut Media,
pengadilan adalah lembaga sehari-hari yang
dapat dieksploitasi untuk konsumsi publik.
Kenyataanya pngadilan ditentukan oleh Opini
umum. (AV. Dicey, 1905), artinya pengadilan
akan terlaksana atas dasar kekuatan opini,
Hal ini di dasarkan atas :
2. Hukum dalam masyarakat secara
keseluruhan merupakan suatu sistem
yang ke dalam merangkum bagian-
bagian yang saling berserasi dan keluar
berada di dalam keadaan yang berserasi
dengan keseluruhan jaringan hubungan
intern yang ada, berati hukum berada
dalam keseluruhan masyarakat .
3. Hukum merupakan suatu unsur yang
merembes serta memasuki setiap
pranata sosial yang ada dan selanjutnya
selalu memainkan peranan yang
Edwin Sutherland : Apabila kekuatan mores
telah mencukupi, adanya hukum tidaklah
akan diperlukan, sedang apabila kekuatan
mores tidak mencukupi, hukum pastilah tidak
akan efektif.
Ronald Dworkin : Hal di atas menyangkut
ketidak sepahaman yang mungkin terjadi
baik dalam UU maupun berdasarkan fakta
yang terjadi. Hakim, Jaksa dan Advokat
kadang berdebat untuk satu “kata” yang
mungkin tidak bermakna secara teoritis. Bisa
terjadi problem yang dihadapi pengadilan
tidak dapat ditangkap dan tidak dipahami
masyarakat. Ttp masyarakat dan media, lbh
menunggu out put, bgmn pengadilan
menangani kasus-kasus besar, menemukan
hukum, membentuk/menciptakan hukum dan
Dworkin : Pandangan masyarakat tentang hukum
bahwa hukum itu semata-mata adalah fakta
sederhana sementara pengadilan telah memutus
berdasar kepada pertimbangan hukum yang sudah
ada, sementara masyarakat dan media tidak
menyukai cara ini.
Pengadilan merupakan sesuatu yang misterius, dan
hakim dapat mengatakan bahwa memutus adalah
sebuah seni bukan ilmu dan bahwa hakim yang
baik adalah mereka yang mampu
mengkombinasikan penafsiran, ketrampilan,
kebijakan politik dan pemahaman tentang peran
dirinya sebagai hakim, ke dalam suatu putusan
intuitif, bahwa dia melihat hukum lebih baik dari
yang dipersangkakan.

You might also like