Surat untuk para guru 20: Terima kasih, maaf, dan permisi
Leo Sutrisno
Anakku, Setia Nugraha,
Ketika engkau menengok Bapak beberapa waktu yang lalu, Bapak sempat ’menguping’ pembicaraanmu dengan kakakmu. Engkau mengatakan bahwa anak-anak sekarang, generasi siswa-siswimu, tidak dapat mengucapkan kata terima kasih. Misalnya, pada suatu hari engkau membagikan kertas ulangan. Dari 45 siswa hanya tiga orang yang mengucapkan ’terima kasih’ kepadamu. Di waktu yang lain, di dalam oplet, angkot, engkau menggeser dudukmu sedikit agar orang yang baru naik memperoleh tempat duduk yang agak longgar di sebelahmu. Kau tunggu hingga penumpang tersebut turun dari oplet ternyata, ia juga tidak terucap kata terima kasih. Pada kesempatan lain, di ruang guru, engkau menyerahkan koran yang baru datang kepada kepala sekolahmu. Ternyata sama juga. Pak Kepala Sekolah itu tidak mengucapkan terima kasih kepadamu. Jadi, bukan hanya generasi muda dan anak-anak yang kurang ’terampil’ mengucapkan kata ’terima kasih’. Bapak ingin menambahkan dua kata yang lain, yaitu: maaf dan permisi. Misalnya, apabila ada seorang siswa datang terlambat di kelas tanpa ’ba’ tanpa ’bu’ langsung menuju tempat duduknya. Kenapa ia tidak mengatakan. ”Maaf pak, saya terlambat karena .....”. Ia pun tidak mengetuk pintu lebih dahulu, Kata ’permisi’, sama sekali tidak terdengar. Kata ’maaf’ dan ’permisi’ sudah sangat jarang diucapkan. Mengapa? Ada banyak penjelasan. Salah satu di antaranya adalah sebagian besar orang Indonesia tengah mengalami mobilita vertikal. Menjadi semakin kaya, menjadi semakin pandai, menduduki posisi sebagai pejabat, atau lulus S-2 dab -3 dsb ternyata tidak menjadikan yang bersangkutan semakin arif. Bahkan sebaliknya. Ada beberapa orang yang semakin, maaf kasar, semakin pongah, ojo dumeh. Sebagai orang-orang yang mengalami mobilita vertikal ini, justru menciptakan kaum feodal baru baik dalam keluarga maupun di luar keluarga. Lihat saja misalnya, banyak para bapak yang menggunakan gelas minum paling besar di antara gelas minum anggota keluraga yang lain. Banyak orang memarkir kedaraannya secara sebarang, sekalipun menutup kendaraan yang lain dengan alasan ada tukang parkir yang akan mengaturnya. Tetapi tunggu, pada saat mengambil kendaraannya, tidak terucap kata terima kasih karena sudah diparkirkan pada tempat yang selayaknya. Banyak di antara kita yang sedang mengalami mobilita vertikal berperilaku seperti ’tuan besar’ atau ’nyonya besar’. Mereka menempatkan orang lain sebagai ’pelayannya’. Karena itu, tidak perlu mengucap ’terima kasih’, ’maaf’ dan ’permisi’. Sungguh bagai ’bangsawan baru’ yang minta disembah dan dihormati orang lain. Minta dilayani. Tetapi, engkau juga perlu hati-hati. Ada beberpa suku di Indonesia ini yang tidak memiliki kosa kata ’terima kasih’ dalam bahasanya. Karena itu, rasa terima kasih diekspresikan dengan cara yang lain. Beberpa sub etnis Dayak di Kalbar ada yang demikian. Mereka memang tidak mengucapkan ’terima kasih’ tetapi dengan perubahan sikap dan air muka menjadi petanda rasa terima kasih. Dalam pergaulan internasional, tiga kata ini, terima kasih, maaf, dan permisi – thank you, sorry, excuse me, menjadi salah satu petanda tingkat keberadaban kita. Ketiga kata itu menjadi petanda seberapa tinggi kita menempatkan orang lain terhadap kita. Semakin sering ketiga kata itu diucapkan dengan tulus semakin tinggilah kita menempatkan orang lain terhadap kita. Sebaliknya, semakin ’nyinyir’ dalam menggunakan kata-kata itu semakin rendahlah posisi orang lain itu menurut kita. Dan, padangan semacam itu tidak dapat diterima secara internasional. Kita mesti menempatkan orang lain sederajad dengan kita. Karena itu tiga kata itu hukumnya wajub digunakan dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun. Nah, engkau sebagai guru, hukumnya juga wajib, membiasakan anak muridmu menggunakan ketiga kata itu dengan tulus. Engkau harus melatih dalam keseharian mereka di sekolah. Dan, jangan lupa engkau sendiri juga harus demikian. Berterima kasihlah dengan tulus, kepada siapapun yang memberi sesuatu kepadamu, betapa pun kecilnya. Minta maaflah dengan kesungguhnan hati, betapa pun kecilnya pelanggaran yang kau lakukan. Minta ijinlah, permisilah kepada siapa saja dengan kerendahan hati, untuk segala sesatu yang bakan engkau lakukan jika harus mengganggu kenyamanan orang lain walaupuh hanya beberapa saat saja. Sebagai seorag guru engkau harus bisa menjadi teladan bagi siswa- siswimu. Saya kira sudah saatnya, Bapak mengakhiri surat ini, maaf kalau agak panjang. Doa Bapak dan Ibu selalu menyertaimu sekeluarga! Bapak.