You are on page 1of 22

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Sel-sel otak dikelilingi oleh membrane yang dalam keadaan normal membrane sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K
+

dengan

konsentrasi di dalam sel neuron lebih tinggi dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dengan konsetrasi di luar sel neuron lebih tinggi. Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane sel diperlukan energy dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, perubahan patofisioloogi dari membran, serta rangsangan mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Jika keseimbangan potensial membran terganggu karena beberapa hal tersebut mengakibatkan kejang. Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Kejang dapat disebabkan oleh banyak factor, seperti penyakit, demam, rangsangan elektroshock atau pengaruh bahan kimia. Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntary manifestasi dari kejang. Sebagai seorang dokter kadang-kadang kita harus dapat memberikan pengobatan awal untuk menghentikan kejang yang terjadi. Phenobarbital dan diazepam merupakan golongan antikonvulsan yang menghambat penjalaran neurotransmitter kejang Phenobarbital diketahui memiliki efek antikonvulsi dengan membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang proses peghambatan dan mengurangi transmisi eksitasi. Sedangkan diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, Striknin dan metrazol dapat menyebab kejang. Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada tikus striknin menyebabkan kejang tonik dari badan dan semua anggota gerak. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung

1.2. Tujuan 1.2.1. Mahasiswa dapat mengamati perubahan perilaku tikus akibat obat konvulsan striknin dan metrazol dengan menghitung onset of action setelah penyuntikan 1.2.2. Mahasiswa dapat membandingkan efek mekanisme kerja dari obat konvulsan srtiknin dan metrazol 1.2.3. Mahasiswa dapat mengamati efek antikonvulsan penobarbital dan diazepam. 1.2.4. Mahasiswa dapat membandingkan efek antikonvulsan Phenobarbital dan diazepam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kejang 2.1.1. Definisi


Kejang adalah masalah neurologik yg relatif sering dijumpai. Diperkirakan bahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka. dua puncak usia untuk insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun kejang juga terjadi dari jaringan otak normal dibawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit. Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus obat, intoksikasi obat, atau enselofati obat, atau enselofati hepertrnsi. Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Istilah 'kejang' bersifat generik, dan dapat digunakan penjelasan lain yang spesifik sesuai karakteristik yang diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuran, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik sering disebut kejang. Kejang konvulsi biasanya menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter yang mungkin meluas dari satu bagian tubuh keselruh tubuh atau mungkin terjadi secara mendadak disertai keterlibatan seluruh tubuh.

2.1.2. Patofisologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebih dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemunginan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Ditingkat membrane sel, fokus keang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:

Instabilitas membrane sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan

Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi GABA

Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan kesimbangan ini menyebakan peningkatan berlebihan neurotransmitter inhibitor.
Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera

setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastic meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000/detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinal (CSS) selama dan

setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami depresi selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada otopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi bersifat neurokimiawi bukan structural. Belum ada faktor patologik yang konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, tersebut suatu lambat neurotransmitter meningkat atau

fasilitatorik,

fokus-fokus

manyingkirkan asetilkolin. 2.1.3. Jenis Kejang


Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang). Kejang parsial dimulai disuatu daerah diotak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini bergantung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot sementara apabila fokus terletak di fokus sensorik maka pasien mengalami gejala-gejala sensorik termasuk baal sensasi seperti ada yang merayap atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia dan dejavu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial. Kita harus mengamati dengan cermat dimana kejang di mulai, karena hal ini dapat memberi petunjuk tentang lokasi lesi. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya kesadaran.

Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahuli dikenal sebagai kejang psikomotorik atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip atau rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior). Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir atau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. Kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata. Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktifitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat beberapa kejang generalisata. Kejang absence (dahulu disebut petit mal) ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan pembicaraan, menatap kosong atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak, awitan jarang di jumpai setelah usia 20 tahun. Seranganserangan ini mungkin menghilang stelah pubertas atau di ganti oleh kejang tipe lain terutama kejang tonik-klonik. Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand mal) adalah kejang epilepsi klasik. Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontinensia

urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otototot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakangerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit, hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya. Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan menyebabkan efek neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebebkan oleh meningkatnya ketokolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlanjut lebih dari 15 menit, maka terjadi epilepsi ketokolamin yang menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat. Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat menyebabkan henti jantung dan nafas. Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyarankan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri . Kejang ini umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan mungkin mengalami kejang nondemam pada kehidupan selanjutnya.

2.2. Striknin dan Metrazol Striknin sebenarnya tidak bermanfaat untuk terai, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama di antara obat yang bekerja secara sentral.

Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, tanaman yang banyak tumbuh di India. Striknin merupakan penyebab keracunan tidak sengaja (accidential poisoning) pada anak. Dalam nux vomica juga terdapat alkaloid brusin yang mirip striknin baik kimia maupun farmakologinya. Brusin lebih lemah dibandingkan striknin, sehingga efek ekstra nux vomica boleh dianggap hanya disebabkan oleh striknin. Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan Dewoto, 2007) Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007) Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung

mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral striknin.pada hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin

digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional berdasarkan rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007) Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim mikrosom sel hati dan diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam waktu 10 jam, sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007) Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma. (Louisa dan Dewoto, 2007) Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV, sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau obat penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan anastesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan yang hebat. (Louisa dan Dewoto, 2007) Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk

memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga masih ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung digunakan larutan KMnO4 0,5 atau campuran yodium tingtur dan air (1:250) atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan sensorik. (Louisa dan Dewoto, 2007) Selain striknin, obat lain yang memiliki kemampuan eksitasi kuat pada SSP adalah pentilentetrazol. Pentilentetrazol (pentametilentetrazol) yang di Amerika Serikat dikenal dengan nama dagang Metrazol dan di Eropa Krdiazol merupakan senyawa sintetik. Kejang oleh pentilentetrazol mirip hasil

perngsangan listrik pada otak dengan intensitas sebesar ambang rangsang, juga mirip sekali dengan serangan klinik epilepsy petit mal pada manusia. Dengan dosis yang lebih tinggi umumnya akan terjadi kejang klonik yang asinkron. Mekanisme kerja utama pentilentetrazol ialah penghambatan system GABAnergik, dengan demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP. 2.3. Dilantin dan Luminal 2.3.1. Mekanisme kerja dilantin (fenitoin) dalam menghambat kejang akibat strycnin dan metrazol Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada ato, C5 penting untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik, sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek sedasi, sifat yang terdapat pada mefenitoin dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin. Fenitoin mempunyai efek utama pada beberapa sistem fisiologis. Senyawa ini mengubah konduktans natrium, kalium dan kalsium, potensial membran, dan konsentrasi asam amino dan neurotransmiter norepinephrine, acetylcholine, dan GABA. Fenitoin menyekat potensiasi pascatetanik dalam preparat korda spinalis, tetapi peranan dari efek ini dalam

menekan perkembangan penyebaran seizure masih belum dapat dijelaskan. Pada konsentrasi tinggi, fenitoin juga menghambat pelepasan serotonin dan norepineprin, meningkatkan ambilan dopamin, dan menghambat aktivitas monoamine oxidase (MAO). Disamping itu, secara berlawanan, fenitoin menyebabkan eksitasi pada beberapa neuron serebral. Pengurangan permeabilitas kalsium, dengan hambatan influks kalsium melintasi membran sel, mungkin dapat menjelaskan

kemampuan fenitoin untuk menghambat berbagai macam proses sekretatorik yang dikendalikan oleh kalsium, termasuk rilis hormon dan neurotransmiter. Mekanisme kerja fenitoin kemungkinan besar melibatkan kombinasi kerja pada beberapa tingkata. Pada kondisi terapeutik, kerja utama dari fenitoin adalah menghambat kanal natrium dan menghambat terjadinya potensial aksi yang berulang.
Diazepam merupakan golongan Benzodiazepam , yang terutanma digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermamfaat untuk terapi bangkitan kejang epilepsy parsial sederhana misalnya bangkitan kronik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim. Diazepam dapat efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak dalam satu detik. Untuk mengatasi bangkitan ehjang status epileptikus , disuntikan 5 20 mg diazepam IV secara lamba . Dosis ini dapat diulang 5 20 menit sampai berapa jam. Diazepam dapat menghasilkan atau mengendalikan 80 90 % pasien bangkitan rekuren. Pemberian per rectal dengan dosis 0,5 mg atau 1 mg/ kg BB diazepam utuk bayi dan anak dibawah 11 tahun dapat menghasilkan kadar 500ml dalam waktu 2 6 menit. Bagi anak yang lebih besar dan orang dewasa pemberian per rectal tidak bermamfaat untuk mengatasi kejang akut, karena kadar puncak lambat tercapai dan kadar

plasmanya rendah. Walaupun diazepam telah sering digunakan unuk mengatasi konvulsi rekuren, belum dapat dibandingkan mamfaatnya setelah digunakan obat lain, seperti barbiturate atau anastesi umum , untuk ini masih diperlukan uji terkendali perbandingan efektifitas. Efek samping berat dan berbahaya yang menyertai penggunaan diazepam iv ialah obstruksi saluran nafas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Disamping ini dapat terjadi depresi nafas sampai henti nafass, hipotensi, henti jantung dan kantuk.

2.3.2. Mekanisme kerja luminal (Phenobarbital) dalam menghambat kejang akibat striknin dan metrazol Sebagai antiepilepsi, fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi. Barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi pembentukan fosfat berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk mensintesis neurotransmiter misalnya Ach, dan untuk repolarisasi membran sel neuron setelah depolarisasi. Data terbaru menunjukkan bahwa phenobarbital secara selektif menekan neuron abnormal, menghambat penyebaran, dan menekan firing (rangsangan depolarisasi) dari neuron fokus. Seperti fenitoin, phenobarbital menekan high frequency-repetitive firing pada neuron yang dikultur, melalui kerjanya pada konduktans natrium, tetapi hanya pada konsentrasi tinggi. Juga pada konsentrasi tinggi, barbiturat menyakat beberapa arus Ca
2+

phenobarbhital terikat pada suatu situs pengatur alosentrik pada reseptor GABA-benzodiazepin , dan memperkuat arus masuk yang diprakarsai oleh reseptor GABA dengan memperlama pembukaan kanal ion Cl-. Phenobarbhital juga menyekat respons eksitatorik yang diinduksi oleh glutamate, terutama yang diprakarsai oleh aktivitas reseptor AMPA. Baik penguatan inhibisi yang diprakarsai oleh GABA maupun pengurangan eksitasi yang diprakarsai oleh glutamate dilihat pada konsentrasi phenobarbhital yang mempunyai relevansi terapeutik.

2.4. Mekanisme Kerja Toksin dalam Menimbulkan Kejang Tetanus dimulai ketika spora dari Clostridium tetani memasuki jaringan rusak. Spora mengubah menjadi bakteri berbentuk batang dan menghasilkan racun saraf tetanospasmin (juga dikenal sebagai toksin tetanus). Tetanospamin adalah toksin yang menyebabkan spasme bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara : a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot. b. Karakteristik dari tetanus (seperti strikmin) terjadi karena toksin

mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord. c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside. d. Beberapa penderita mengalami gangguan di Autonomik Nervous System (ANS) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikardi, aritmia jantung, peninggian katekolamine dalam urine. Kerja dari tetanospamin adalah analog dari strikmine, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuro spinal dan menginhibisi terhadap batang otak. Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang

menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensyarafi otot masester sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masester adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap aferen tidak hanya menimbulkjan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas. Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu : a. Toksi diabsorbsi melalui ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa ke kornu anterior susunan syaraf pusat.

b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam aliran darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan syaraf pusat. Toksin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara sentripetal atau secara retrograd mencapai CNS. Penjalaran terjadi di dalam axis silinder dari sarung perineural. Teori baru mengatakan toksin menyebar melalui aliran darah (hematogen) dan jaringan sistem limpatik. Masa inkubasi 5-14 hari tetapi bisa lebih pendek (1 hati atau lebih lama atau beberapa minggu).

2.5. Mekanisme Kerja Antikonvulsan dalam mengatasi kejang Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebaran kejang. Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat membatasi proses penyebaran daripada mencegah proses insiasi. Dengan demikian ada dua mekanisme kerja, yaitu : peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion : Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmitor, meliputi : 1. Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson, contoh: fenitoin dan karbamazepin (pada dosis terapi), fenobarbital dan asam valproat (dosis tinggi), lamotrigin, topiramat, zonisamid. 2. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus (yang berperan sebagai pacemaker untuk membangkitakan cetusan listrik umum di korteks). Contoh : etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam. 3. Peningkatan inhibisi GABA a. Langsung pada kompleks GABA dan kompleks Cl-. Contoh : benzodiazepin, barbiturat b. Menghambat degredasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake dan metabolisme GABA. Contoh : taigabin, vigrabatrin, asam valproat, gabapentin

4. Penurunan eksitasi glutamat, yakni melalui : a. Blok reseptor NMDA, misalnya lamotrigin b. Blok reseptor AMPA, misalnya fenobarbital, topiramat

BAB III METODE PRAKTIKUM 3.1. Metode Kerja 3.1.1. Alat


spuit 1 cc dan 3 cc timbangan digital stopwatch

3.1.2. Bahan
spuit 1 cc dan 3 cc timbangan digital stopwatch tikus 4 ekor setiap kelompok obat konvulsan : i. injeksi striknin 10cc/kgBB i.p ii. injeksi metrazol dosis 10cc/kgBB i.p obat antikonvulsan : i. injeksi fenobarbital 10cc/kgBB i.p ii. injeksi diazepam dosis 10cc/kgBB i.p

3.1.3. Langkah Kerja

1. Masing-masing tikus ditimbang dengan menggunakan timbangan digital

2. Tikus I diberikan striknin secara i.p dosis 10 cc/kgBB, tepat pada saat penyuntikan stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus tersebut mati. 3. Tikus II diberikan metrazol secara i.p dosis 10 cc/kgBB, tepat pada saat penyuntikan stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus tersebut mati. 4. Tikus III diberikan injkesi Phenobarbital secara ip dosis 10 cc/kgBB, setelah 20 menit kemudian suntikan ip striknin dosis 10 cc/kgBB, tepat pada saat penyuntikan striknin stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus tersebut mati. 5. Tikus IV diberikan injkesi Phenobarbital secara ip dosis 10 cc/kgBB, setelah 20 menit kemudian suntikan ip metrazol dosis 10 cc mg/kgBB, tepat pada saat penyuntikan metrazol stopwatch dinyalakan, catat pada menit keberapa tikus tersebut kejang dan catat jumlah kejang dalam waktu 10 menit, stopwatch harus dijalankan dan catat pada menit keberapa tikus tersebut mati.

HASIL PENGAMATAN : Gejala sebelum konvulsi (menggaruk- garuk) I Striknin II III IV V VI I


2,0 0 0,0 7 5,0 0

OBAT

Waktu timbul konvulsi (menit) II


2,5 5 1,1 3 3,0 1

Tipe konvulsi VI
3,2 6 4,0 0

Waktu kematian (menit) V TK S C T S UC VI TK S C TK S UC I 5,00 II 3,5 8 6,0 6 III 5,0 0 4,0 0 7,0 0 IV 3,0 5 7,5 3 V 4,1 7 VI 3,5 2 5,0 0

III
4,0 0 2,0 0 5,0 0

IV
2,5 1 2,0 0

V
3,4 8 2,0 1

I K S UC TK S UC K S UC

II T S UC T S UC T S UC

III T S UC TK S UC TK S UC

IV K S C TK AS UC

Metrazole Phenobarbital + Striknin Phenobarbital + Metrazole Diazepam + Striknin Diazepam + Metrazole Ket. K : Klonik T : Tonik S : Simetris AS : Asimetris

1,56 18,3 7


4,3 1 4,0 0

T S C

K S C

C : Coordinated UC : Uncoordinate

BAB IV PEMBAHASAN

Dari hasil praktikum yang dilakukan diperoleh data-data dari enam kelompok yang melaksanakan praktikum. Pada perhitungan waktu mati tikus yang diberikan dengan striknin saja mengalami kematian cepat karena tidak ada anticonvulsi yang diberikan untuk melawan efek striknin, sedangkan pada tikus yang diberi Phenobarbital dan diazepam waktu kematian lebih lama tikus III dan tikus IV yang belum mati sampai menit ke 15 diinjeksi striknin kembali. Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan, efek selanjutnya adalah kematian pada tikus yang disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan pernapasan. Striknin ternyata juga merangsang medulla spinalis secara langsung sehingga konvulsinya disebut juga konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007) Pada tikus yang diberikan metrazol mula kejang cepat, Kejang oleh metrazol mirip hasil perangsangan listrik pada otak dengan intensitas sebesar ambang rangsang, juga mirip sekali dengan serangan klinik epilepsy petit mal pada manusia. Dengan dosis yang lebih tinggi umumnya akan terjadi klonik yang asiknron. Mekanisme kerja utama metrazol ialah penghambatan system GABA-ergik, dengan demikian akan meningkatkan eksitabilitas SSP; adanya efek perangsangan secara langsung masih belum dapat disingkirkan.

Pada tikus yang diberikan Phenobarbital+striknin mula kejang cukup lama, hal ini terjadi karena efek Phenobarbital yang membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang sehingga striknin tidak memberikan pengaruh besar pada tikus. Kematian pada tikus ini oleh karena pemberian striknin dengan kadar yang berlebihan sehingga kerja striknin dapat melampaui kerja Phenobarbital dan terjadi keracunan striknin. Pemberian phenobarbital+metrazol pada tikus tidak memberikan efek, hal ini disebakan oleh karena efek Phenobarbital yang membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang sehingga metrazol tidak memberikan pengaruh pada tikus. Pada tikus yang diberikan diazepam+striknin, Seperti halnya Phenobarbital diazepam juga merupakan golongan antikonvulsan yang menghambat penjalaran neurotransmitter kejang ke otak, hal ini juga menyebabkan pemberian striknin tidak memberikan efek kejang yang berarti. Pemberian striknin dengan dosis yang berlebihan menyebabkan terjadinya keracunan striknin sehingga menyebabkan kematian pada tikus. Pemberian diazepam+metrazol pada tikus tidak memberikan efek apa-apa karena diazepam mampu menghambat penjalaran neurotransmitter kejang ke otak, hal ini juga menyebabkan pemberian metrazol tidak memberikan efek kejang.

BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan dari praktikum dapat disumpulkan: 1. pemberian striknin pada hewan coba memberikan gejala awal berupa garukgaru hewan coba dan efek kejang tonik-klonik yang simetris terkoordinasi dengan onset yang lebih lama dibandingkan metrazol namun lebih cepat dibandingkan fenobarbital+striknin dan diazepam+metrazol. Pada hewan coba dengan pemberian striknin mati dengan waktu tercepat. 2. pemberian metrazol pada sebagian besar hewan coba tidak memberikan gejala garuk-garuk, tetapi memberikan efek kejang klonik yang simetris tidak terkoordinasi pada hewan coba, dengan onset yang paling cepat dibandingkan striknin, fenobarbital+striknin, dan diazepam+metrazol. Pada hewan coba denan pemberian metrazol dengan waktu kematian lebih lama dari striknin. 3. pemberian fenobarbital+striknin pada sebagian besar hewan coba memberikan gejala garuk-garuk dan efek kejang tonik klonik simetris tidak terkoordinasi dengan onset dan waktu kematian terlama. 4. pemberian fenobarbital+metrazol tidak memberikan gejala awal dan efek kejang. 5. pemberian diazepam+striknin pada sebagian besar hewan coba tidak

memberikan gejala awal, tetapi memberikan efek kejang klonik simetris terkoordinasi terus menerus, dengan onset lebih cepat dari fenobarbital+stiknin, tetapi lebih lambat dibandingkan yang lain. 6. pemberian diazepam+metrazol pada sebagian besar tidak memberikan gejala awal, efek kejang dan mati

5.2. Saran alat dan obat sebaiknya disediakan untuk masing-masing kelompok

materi praktikum sebaiknya diberikan sebelum praktikum sehingga bisa dipersiapkan Perlu diajarkan cara menyuntik obat yang tepat ke hewan coba agar hasil percobaan sesuai dengan teori yang ada. Peserta praktikum perlu menjaga suasana ruangan praktikum dari keributan agar tdak mempengaruhi hasil dari percobaan.

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal. 354356

Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam : Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 247-248

Marjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. 11th ed Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 2006.

Medicastore. 2008. Kejang. Apotek Online dan Media Informasi Obat Penyakit. (online), (http://www.medicastore.com, diakses 4 Mei 2008)

Mycek, MJ dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika : Jakarta, hal. 90; 149

Utama H. & Gan. V . 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi . Dalam : Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 179-181; 186; 188

You might also like