You are on page 1of 37

KONSISTENSI DAN SINKRONISASI KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGHASILAN TETAP KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA (Studi Terhadap

Peraturan dan Perundang-Undangan Menyangkut Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur)

A. Latar Belakang Masalah Suatu peraturan dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, hingga peraturan daerah (Perda), dikeluarkan dan ditetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan, perhitungan, dan kajian luas yang sangat signifikan. Jika suatu peraturan perundangan telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini bisa berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan sebagainya, sudah pada tempatnya jika secara struktural, pemerintahan di bawahnya, misalnya pemerintahan provinsi (pemprop), pemerintahan kabupaten (pemkab), hingga dinas-dinas yang ada di daerah, untuk mematuhi segala peraturan dari pemerintah pusat tersebut. Hal ini tidak terlepas dari adanya ciri atau karakter dari hukum sebagai hukum normatif. Peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum, bersifat mengatur dan mengikat setiap bagian yang ada dalam peraturan perundangan tersebut. Kata perundang-undangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai yang bertalian dengan undang-undang atau seluk beluk undang-undang. Sedang kata undang-undang diartikan ketentuanketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dan sebagainya) disahkan oleh parlemen (dewan perwakilan rakyat, badan legislatif, dan sebagainya) ditandatangani oleh kepala negara (Presiden, Kepala Pemerintah, Raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat.1

W.J.S. Poerwodarminto. 2005. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka. hal. 215

Dalam dunia hukum, kata/istilah peraturan perundang-undangan mempunyai pengertian sendiri, apabila kata/istilah merupakan terjemahan dari kata wetgeving atau wettelijke regelingen, maka menurut A. Hamid, SA yang mengutip dari Kamus Hukum Fockema Andreae kata wetgeving diartikan: 1. Perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat daerah menurut tata cara yang ditentukan; 2. Keseluruhan peraturan-peraturan negara tingkat pusat dan tingkat daerah. Sedangkan kata wettelijke regeling diartikan sebagai peraturan-peraturan yang bersifat perundang-undangan.2 Berdasarkan kutipan di atas, peraturan perundang-undangan adalah keseluruhan aturan tertulis yang dibuat olehpejabat/lembaga negara Pusat dan Daerah yang berwenang untuk itu, yang isinya mengikat secara umum. Pengertian aturan tertulis adalah sebagai lawan dari aturan tidak tertulis yang lebih terkenal dengan istilah hukum adat atau hukum kebiasaan. Sedangkan pejabat/lembaga yang berwenang untuk membuat aturan tertulis adalah pejabat/lembaga yang diberikan kewenangan atribusi atau delegasi oleh UUD atau UU atau peraturan perundang-undangan lainnya, untuk membentuk aturan tertulis yang disebut peraturan perundang-undangan. Kewenangan atribusi (atributiewetgevende bevoegdheid) biasanya diberikan oleh suatu Undang-Undang Dasar (UUD) atau suatu undang-undang (UU) kepada pejabat/lembaga negara tertentu untuk membentuk peraturan perundangundangan. Kewenangan ini bersifat original (asli). Artinya sebelum ditentukan oleh suatu UUD atau UU kewenangan ini belum ada. Misalnya kewenangan DPR dan Presiden untuk membentuk undang-undang (UU) ditentukan oleh Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Contoh lain adalah Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan UU No. 22/1999 Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD diberikan kewenangan atribusi untuk membuat Perda. Sedangkan kewenangan membuat aturan delegasi (delegatie wetgevende bevoegdheid) adalah kewenangan yang bersifat derivatif. Artinya kewenangan untuk
A. Hamid, SA. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, dalam Himpunan Bahan Penataran, Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman. 1982. hal. 59-60.
2

membentuk peraturan tersebut berasal dari kewenangan atributif dari pejabat/lembaga atasannya atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya, suatu UU memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan UU tersebut kepada Pemerintah (Presiden). Artinya, Presiden/pemerintah mendapatkan kewenangan delegatif dari UU tersebut untuk membuat suatu peraturan pemerintah. Demikian pula kewenangan seorang menteri membuat suatu Keputusan Menteri (regeling) dapat berasal dari suatu UU, suatu PP, atau suatu Keppres. Sedangkan pejabat daerah yang diberikan kewenangan delegatif ini misalnya gubernur dapat membuat suatu Keputusan Gubernur yang bersifat regeling berdasarkan perintah suatu Perda Propinsi atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi lainnya. Berbagai peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk pengaturan kehidupan bernegara tersebut dapat didefinisikan sebagai hukum atau produk hukum. Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada suatu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu sistem saja.3 Berkaitan dengan adanya peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang bersifat mengikat setiap entitas atau pihak yang diatur di dalamnya, perlu dilakukan kajian tentang beberapa peraturan perundangundangan yang pada pelaksanaannya masih menimbulkan polemik dan permasalahan, hingga membuat entitas atau pihak-pihak yang diatur di dalamnya belum melaksanakan peraturan tersebut secara signifikan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang penerapan dan pelaksanaannya belum konsisten dan belum memenuhi aspek sinkronisasi adalah peraturan perundang-undangan tentang pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa.
Hans Kelsen. General Theory of Law and State . Translated by Anders Welberg. New York: Russel & Russell. 1961. hal. 30-31.
3

Adapun beberapa peraturan perundangan yang dapat mewakili tentang penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa di sini adalah Pasal 212 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tgl 16 April 2009 Perihal Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa di Seluruh Indonesia yang ditujukan kepada Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Beberapa peraturan perundangan tersebut selanjutnya, oleh beberapa daerah yang telah memenuhi butir-butir perundangan yang ada, ditindaklanjuti dengan pengeluaran peraturan pemerintah daerah (Perda) dan peraturan bupati (Perbup). Seperti halnya Kabupaten Madiun, untuk mengakomodasi dan menindaklanjuti beberapa peraturan yang ditetapkan pejabat di atasnya, untuk pengaturan masalah penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa, pada tanggal 5 Februari 2010 telah ditetapkan Peraturan Bupati Madiun Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa serta Perangkat Kelurahan Selain Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Madiun Tahun Anggaran 2010. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa peraturan perundangan sebagai produk hukum wajib dan perlu diterapkan dan dilaksanakan oleh perangkat yang disebutkan di dalam peraturan tersebut. Dalam hal ini, peraturan tentang penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, harus dilaksanakan dan dipenuhi oleh atasan langsung dari para kepala desa dan perangkat desa yang ada di seluruh Indonesia, dalam hal ini Bupati atau Pemerintahan Kabupaten. Fenomenanya, di seluruh Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, hanya ada beberapa daerah yang telah melaksanakan ketentuan pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa. Salah satunya adalah Kabupaten Madiun. Sedangkan beberapa daerah yang ada, misalnya Kabupaten Magetan dan Kabupaten

Ngawi, belum dapat memenuhi peraturan tentang pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa tersebut. Sebagai penjelasan, bahwa pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat, telah menetapkan beberapa peraturan yang mengatur tentang pemberian gaji tetap bagi kepala desa dan perangkat desa. Ketetapan-ketetapan tersebut dapat dilihat pada Pasal 212 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: (1) Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. (2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa. (3) Sumber pendapatan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: pendapatan asli desa; bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota; bantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; hibah dan sumbangan dari pihak ketiga. (4) Belanja desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. (5) Pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa. (6) Pedoman pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.4 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 27 disampaikan bahwa:5 (1) Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa. (2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDes.

Pasal 212 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal

27.

(3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota. Sebenarnya, dalam hal pemberian penghasilan tetap, antara ketetapan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, masih terdapat ketidaksinkronan, khususnya dalam hal pihak yang memberikan bantuan keuangan tunjangan penghasilan kepala desa/perangkat desa. Jika merujuk pada PP 72/2005, khususnya pasal 27 di atas, yang diperkuat dengan pasal 68 huruf (d), disebutkan bahwa menyebutkan bahwa Bantuan dari pemerintah diutamakan untuk tunjangan penghasilan kepala desa dan perangkat desa. Bantuan dari Propinsi dan Kabupaten/kota digunakan untuk percepatan atau akselerasi pembangunan desa.6 Jadi pemahaman dari PP itu semestinya yang memberikan bantuan keuangan tunjangan penghasilan kepala desa/perangkat desa adalah pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah dan penganggaran penghasilan tetap/tunjangan kepala desa/perangkat desa ditetapkan dalam APBDes sesuai kemampuan keuangan desa. Hal ini bertentangan dengan isi Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, yang jika dipahami, menyatakan bahwa yang berkewajiban memberikan penghasilan tetap kepala desa/perangkat desa adalah pemerintah daerah. Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah pengaturan desa, maka peneliti menganggap terdapat suatu permasalahan dalam hal ketetapan tentang pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa/perangkat desa. Hal ini dapat diungkapkan dalam dua hal, yaitu adanya ketidakkonsistenan (no consistency) terhadap kepatuhan pada peraturan yang dibuat, dimana dari seluruh pemerintah daerah di Indonesia yang notabene secara struktural merupakan bawahan dari pemerintah pusat dan kementerian dalam negeri, belum semuanya dapat melaksanakan aturanaturan dan ketetapan-ketetapan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran
6

Ibid, pasal 68 (d).

(SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009 tersebut yang berkaitan dengan pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa/perangkat desa. Selain itu, dari sudut pandang sinkronisasi, terdapat ketidaksinkronan aturan, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dengan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, terutama berkaitan dengan pihak yang berkewajiban membayarkan tunjangan/penghasilan tetap bagi kepala/perangkat desa. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisis permasalahan yang ada melalui penelitian dengan judul: KONSISTENSI DAN SINKRONISASI KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGHASILAN TETAP KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA (Studi Terhadap Peraturan dan Perundang-Undangan Menyangkut Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: Mengapa dalam penerapan dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tentang penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa di Indonesia, yaitu UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009 masih terdapat sebagian pemerintah daerah yang belum melaksanakan ketentuan tersebut? Apakah di antara beberapa peraturan yang mengakomodasi masalah penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, telah memenuhi unsur-unsur konsistensi dan sinkronisasi peraturan hukum? C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui penyebab bahwa dalam penerapan dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tentang penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, masih terdapat sebagian pemerintah daerah yang belum melaksanakan ketentuan tersebut. b. Untuk mengetahui konsistensi dan sinkronisasi peraturan tentang penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa, yaitu UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar Magister dalam bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Kebijakan Publik pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas, serta mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum. Selain itu, juga untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Merupakan salah satu sarana untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan thesis guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar

Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum dan Kebijakan Publik pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta; b. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, yaitu hukum kebijakan publik dalam rangka pembinaan hukum nasional di Indonesia, terutama mengenai konsistensi dan sinkronisasi peraturan pemerintah sebagai produk hukum dan aspek kepatuhan dalam melaksanakannya. 2. Manfaat Praktis a. Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun langsung ke masyarakat dan mengaplikasikannya dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan hukum; b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, maupun pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang ada. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan literatur yang berguna bagi pengetahuan masyarakat. E. Landasan Teori 1. Konsistensi dan Sinkronisasi Hukum a. Definisi Konsistensi Hukum Secara harfiah, konsistensi berasal dari bahasa Inggris, consist yang artinya ketaatan, ketepatan.7 Sedangkan dalam kaitannya dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah, sesuai pasa 32 UU No 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa: (1) Dalam menyelenggarakan asas dekonsentrasi, Pemerintah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah untuk mengurus urusan pemerintahan tertentu.
7

W.J.S. Poerwodarminto. Opcit. halaman 127.

(2) Sebagian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilimpahkan kepada Gubernur meliputi: a. melestarikan dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan menciptakan, memelihara kesatuan dan kerukunan asional, serta menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memelihara konsistensi dan keserasian antara kebijakan Pemerintah dengan kebijakan Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota di wilayahnya untuk memelihara dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;8 Berdasarkan pengertian tersebut, konsistensi hukum dapat diuraikan sebagai ketaat-asasan bagi pihak-pihak yang diatur dalam suatu peraturan terhadap berbagai kebijakan dan keputusan yang disampaikan dalam peraturan sebagai produk hukum. b. Definisi Sinkronisasi Hukum Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkronisasi berarti penyelarasan, penyesuaian, berasal dan kata sinkron yaitu, serentak, sejalan, sejajar, sesuai dan selaras.9 Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup salah satunya adalah penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.10 Dalam penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal maupun horizontal, maka yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Hal itu dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan tersebut.
8

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Anton. M. Moeliono.Kamus besar Bahasa Indonesia. Ctk. Pertama. Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD. Graha Pustaka. Jakarta . 1989. hlm. 845 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Statu Tinjauan Singkat). Ctk. Pertama PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006. hlm 14.
10

Mengenai penelitian ini, dapat dipergunakan sebagai titik tolak Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Memorandum Sumber Tertib Hukum DPR-GR tanggal 9 Juni 1966).11 Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum dapat dilakukan atas dasar paling sedikit dua titik tolak, yakni taraf sinkronisasi secara vertikal dan secara horisontal. Apabila titik tolak vertikal yang diambil, maka yang diteliti adalah taraf sinkronisasi peraturan atau perundang-undangan menurut hierarkinya Apabila penelitian dilakukan terhadap taraf sinkronisasi secara horizontal, maka yang diteliti adalah sampai sejauh mana suatu peraturan perundangundangan yang mengatur bidang yang mempunyai hubungan fungsional, adalah konsisten taraf sinkronisasi secara horisontal dan pelbagai macam tertentu.12 Mengenai penelitian terhadap taraf sinkronisasi secara horisontal, dapat dilakukan secara lebih terperinci dengan membuat inventarisasi yang sejajar. Dengan menempatkan perundang-undangan yang sederajat pada posisi yang sejajar, akan lebih mudah untuk mengadakan identifikasi terhadap taraf sinkronisasinya yang rendah, sedang atau tinggi. Taraf sinkronisasi ditelaah dengan mengkaji perundangundangan suatu bidang kehidupan tertentu, sesuai dengan peningkatan perundang-undangan. Apabila dilakukan penelitian taraf sinkronisasi horizontal, maka yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama.13
11

ibid. hlm 17.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ctk. Ketiga, Universitas Indonesia (UIPress) Jakarta, 1986, hlm. 256. 13 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Op cit. hlm 19

12

Taraf sinkronisasi secara vertikal dalam penelitian ini adalah sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ tanggal 16 April 2009, dan Peraturan Bupati sebagai suatu ketentuan perundang-undangan dan peraturan pemerintah pusat yang berkaitan dengan penetapan pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa. 2. Tinjauan tentang Hierarki Norma Hukum a. Tinjauan Umum Teori Stufenbau Hans Kelsen Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufenbau), dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjangjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan Pre-supposed.14 Perlu dicatat bahwa norma dalam negara, di manapun adanya, selalu akan berjenjang, bertingkat dan merupakan suatu "regressus". Menurut Hans Kelsen, norma hukum (Legal Norm) tersebut dapat dibedakan antara general norm dan individual norm. Termasuk dalam general norm adalah Custom dan Legislation. Hukum yang diciptakan
Maria Farida Indarti S, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Ctk. Kedua. Kanisius, Yogyakarta, 1998, Hlm. 25
14

dari Custom disebut "customary law, sedangkan hukum yang diciptakan oleh badan legislatif (law created by legislative) disebut statute. Kemudian norma-norma individual meliputi "putusan badan yudisial" disebut "judicial acts, "putusan badan administrasi, disebut administrative acts", dan "transaksi hukum" atau "legal transaction yaitu berupa contract dan treaty.15 Hans Nawiasky, salah seorang murid dan Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Menurutnya, bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas: Kelompok 1 : Staatsfundamentalnorm Negara) Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang formal) Kelompok IV : Verordnung & Autonomic Satzung (Aturan Pelaksana dan aturan otonom) Kelompok-kelompok norma hukum tcrsebut hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam setiap kelompoknya. Menurut Hans Nawiasky isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.
Rosjisi Ranggawijaya, Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandung, 1998, hlm. 27.
15

(Norma

Fundamental

Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik yang disepakati oleh suatu bangsa. Aturan Dasar negara atau Aturan Pokok negara (Staatsgrundgeset) merupakan kelompok norma hukum dibawah Norma Fundamental negara. Norma-norma dari Aturan Dasar/Pokok negara ini merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma sekunder. Di negara kita maka Aturan Dasar Pokok negara ini tertuang dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta dalam Hukum Dasar tidak tertulis yang sering disebut Konvensi Ketatanegaraan. Aturan Dasar/Pokok negara ini merupakan landasan bagi pembentukan undang-undang (Formell Gesetz) dan peraturan lain yang lebih rendah. Kelompok norma-norma hukum yang berada dibawah Aturan Dasar/Pokok negara adalah Formell Gesetz atau diterjemahkan dengan undang-undang (formal). Berbeda dengan kelompok-kelompok norma di atasnya maka norma-norma dalam suatu undang-undang sudah merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-Norma hukum dalam undang-undang ini tidak saja hanya norma yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu sudah dapat ditekan oleh norma sekunder disamping norma primernya, sehingga undang-undang sudah dapat mencantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain itu, undang-undang ini merupakan norma-norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif. Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonom Satzung).

Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini merupakan peraturanperaturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, di mana peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan peraturan otonom bersumber dan kewenangan atribusi.16 b. Tata Susunan Norma Hukum Republik Indonesia Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusinya, maka terbentuklah sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Apabila kita bandingkan dengan teori jenjang norma (stufentheorie) dan Hans Kelson dan teori jenjang norma hukum (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtshormen) dan Hans Nawiasky terdahulu, kita dapat melihat adanya cerminan dan kedua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum Republik Indonesia. Di dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan Norma Fundamental negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, yang kemudian berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta Hukum Dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar negara atau Aturan Pokok negara (staatsgrundgesetz), undang-undang (Formell Gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya.17 Di dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan mengenai

16 17

Maria Farida. op.cit. hlm 27-35 Ibid. hlm 39

jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: (a) (b) (c) Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan undang; Peraturan Pemerintah; (d) Peraturan Presiden; (e) Peraturan Daerah. 3. Undang-Undang Organik Berdasarkan dari materinya, dapat digolongkan adanya undangundang organik dan undang-undang pokok. Di mana suatu undang-undang dapat saja berupa undang-undang organik dan sekaligus berupa undangundang pokok. Yang dimaksud dengan undang-undang organik ialah undangundang yang mengatur selanjutnya apa-apa yang telah ditentukan lebih dulu dalam undang-undang dasar. Dengan kata lain, undang-undang organik ialah undang-undang pelaksana undang-undang dasar. Kalau dalam UUD 1945 ini, sesuatu hal tidak secara rinci diatur, maka untuk pelaksana ketentuan itu dibuat undang-undang organik. Hak inisiatif untuk menyusun Rancangan UU (RUU) diberikan kepada MPR maupun Pemerintah (Presiden).18 Undang-undang organik adalah undang-undang yang dibuat karena perintah langsung undang-undang dasar. Sedangkan undang-undang pokok adalah undang-undang yang, mengatur pokok-pokoknya saja dan materinya Pengaturan lebih lanjut daripada aturan-aturannya akan diatur dengan undang-undang lain atau peraturan-peraturan lainnya. Perlu dijelaskan disini, bahwa pembedaan undang-undang menjadi undang-undang organik atau bukan, juga menjadi undang-undang pokok atau bukan, itu adalah pembedaan karena melihat materinya saja. Jadi
18

Pemerintah

Pengganti

undang-

M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Ctk. Pertama, Bandar maju, Bandung, 2002, Hlm.

38.

bukan pembedaan formal. Oleh karena itu undang-undang organik atau undang-undang pokok, formal bentuknya adalah undang-undang.19 Contoh Undang-Undang Organik adalah Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan perintah langsung dari UUD 1945. Dalam Pasal 28A-I UUD 1945 mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian berdasar amanat dari UUD 1945 inilah lahir Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. 4. Tinjauan tentang Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan Konstitusi diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan untuk membangun atau mengatur sebuah pemerintahan negara. Seperti yang dikatakan oleh K.C. Wheare bahwa Constitution interpreted as a set order applied to build or arranges a state government.20 Dalam definisi yang lain, konstitusi diartikan sebagai sebuah dokumen yang berisi perangkat aturan pokok tentang pemerintahan sebuah negara. Konstitusi dalam arti ini akan menunjukkan sebuah gambaran tentang keseluruhan sistem pemerintahan dalam suatu negara. Dengan demikian, konstitusi berkududukan sebagai hukum yang fundamental sifatnya, dan hukum yang tinggi kedudukannya. Sebagai konsekuensi dari pengertian konstitusi yang demikian ini adalah : (1) adanya pengaturan tentang pembentukan lembaga negara; (2) adanya pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga negara tersebut; (3) sebagai konsekuensinya adalah adanya pembatasan kewenangan terhadap lembaga-lembaga negara. Menurut S.A. de Smith, constitution is interpreted as a document containing fundamental order peripheral about goverment of a state. Constitution in this meaning will show a picture about overall of
Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum tata Negara di Indonesia, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1987, Hlm. 132-133. K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, (London : Oxford University Press), hlm. 1. www.law.duke.edu/journals/djclpp/index.php?action=showitem&id=143.
20 19

government system in a state. Thereby, constitution berkududukan as basal law in character, and high law domiciled it. As consequence from understanding of such constitution is : ( 1) existence of arrangement about forming of state institute; ( 2) existence of authorization to the state institutes; ( 3) as its (the consequence is existence of demarcation of authority to state institutes.21 Dimana seperangkat aturan ini juga mempunyai asas sebagai jantungnya hukum. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul Perundang-undangan dan Yurisprudensi, memperkenalkan enam asas perundang-undangan yaitu: a. Undang-undang tidak berlaku surut Arti daripada asas ini adalah, bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undangundang tersebut, dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku. b. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, jika pembuatnya sama (Lex Specialis derogat lex generalis). Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut. d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undangundang yang berlaku terdahulu (Lex posteriore derogate lex priori).

S.A. de Smith. Constitutional and Administrative Law , (Middlesex : Penguin Education). 1973. hlm. 17-18. www.law.duke.edu/journals/djclpp/index.php?action=showitem&id=143

21

Yang dimaksudkan dengan asas ini adalah bahwa undangundang lain (yang lebih dahulu berlaku) di mana diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru (yang berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut (pencabutan undang-undang secara diam-diam). e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat Asas ini dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar Sementara Pasal 95 ayat (2). Makna dan asas ini, adalah: (1) Adanya kemungkinan bahwa isi undang-undang menyimpang dan undang-undang dasar, (2) Hakim atau siapa pun juga tidak mempunyai hak uji material terhadap undang-undang tersebut. Artinya isi undang-undang itu tidak boleh diuji apakah bertentangan dengan undang-undang dasar atau/dan keadilan apa tidak; hak tersebut hanya dimiliki oleh pembuat undang-undang tersebut. Hak uji formil, yaitu hak untuk menyelidiki apakah undang-undang tersebut pada saat dibentuknya adalah sesuai dengan acara yang sah, tetap dimiliki oleh hakim. f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu melalui pembaruan atau pelestarian (asasWelvaartstaat ). Dalam kaitan ini Amiroeddin Syarif menetapkan adanya lima asas perundang-undangan, yaitu: 1) Asas Tingkatan Hierarki 2) Undang-undang tak dapat diganggu gugat 3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undangundang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis) 4) Undang-undang tidak berlaku surut 5) Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat lex priori)

Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan maka terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya bahwa lima asas adalah sama, dan perbedaannya bahwa Purnadi dan Soerjono Soekanto menambahkan satu asas lagi yaitu asas welvaarstaat.22 Dalam teori tata urutan (hierarki) peraturan perundangundangan sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen, terdapat asasasas atau prinsip-prinsip tata urutan, yaitu bahwa: 1) Perundang-undangan mengubah dapat. 2) Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya. 3) Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Ketentuan-ketentuan perundangundangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. 4) Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundangundangan yang lebih rendah. Tetapi hal yang sebaliknya dapat.23 5. Tinjauan tentang Pemerintahan Desa, Kepala Desa, dan Perangkat Desa a. Pengertian Desa
Rosjidi Ranggawidjaja. Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandar Maju, Bandung . 1998.hlm. 47 48. 23 Ibid
22

yang

rendah

derajatnya

tidak

dapat

atau

mengenyampingkan

ketentuan-ketentuan

perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya

Desa adalah pemukiman yang letaknya di luar kota. Biasanya penduduknya beraktivitas sebagai petani. Dalam pengertian luas, desa adalah merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsurunsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain.24 Desa merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, merupakan pemerintahan terendah di bawah camat. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten 25 (Wijaya, 2002:65). Rumusan defenisi Desa secara lengkap adalah sebagai berikut:26 Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat Dengan adanya pengaturan desa dalam bab XI tersebut diharapkan Pemerintah Desa bersama masyarakat secara bersamasama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206, yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

24 25

Nanang Kosasih, 2005, Pola Keruangan Desa dan Kota, www.Pustekkom.com.

Wijaya, HAW. 2002. Pemerintahan Desa/Marga: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Desa (Suatu Telaah Administrasi Negara) . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
26

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, hal. 47.

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.27 Revitalisasi peran dan fungsi Pemerintah Desa dalam pembangunan nasional merupakan langkah tepat dan strategis yang perlu dilaksanakan. Revitalisasi peran dan fungsi dimaksud ada empat hal strategis yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yaitu penataan kewenangan desa, penataan keuangan desa, manajemen pemerintahan desa dan pembangunan pedesaan dan partisipasi masyarakat.28 Dalam rangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka perlu ditopang oleh sistem dan tatanan pemerintah daerah yang kuat dan mandiri dimana pada tingkatan baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, peran dan fungsi pemerintah desa mempunyai kedudukan yang sangat penting sebagai pilar-pilar penopang kemandirian daerah. Pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan badan Permusyawaratan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal asul dan adat
27 28

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 1 ayat 5-7. www.finrollnews.com. 9 Juni 2009.

istiadat

setempat

yang

diakui

dan

dihormati

dalam

sistem

pemerintahan NKRI. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adatistiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: 1) Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; 2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; 3) Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan 4) Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa. b. Pengertian Keuangan Desa Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa. Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima Kepala Desa dan Perangkat Desa ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa. Penghasilan tetap paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota.29 UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan Desa (atau dengan nama lain) sebagai sebuah pemerintahan yang otonom. Untuk melaksanakan fungsinya, Desa diberikan dana oleh Pemerintah melalui pemerintahan atasan Desa. Oleh karena itu, Desa dibekali dengan pedoman dan petunjuk teknis perencanaan dan pengelolaan keuangan desa. Menurut IRE Yogyakarta, good governance dalam pengelolaan keuangan desa meliputi:
29

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, opcit, pasal 27 ayat 1-3.

Penyusunan APBDes dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

Informasi tentang keuangan desa secara transparan dapat diperoleh oleh masyarakat. APBDes disesuaikan dengan kebutuhan desa. Pemerintah Desa bertanggungjawab penuh atas pengelolaan keuangan. Masyarakat baik secara langsung maupun lewat lembaga perwakilan melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah desa.

6. Tinjauan tentang Penghasilan Tetap Ada berbagai rumusan mengenai pengertian gaji, diantaranya seperti yang diuraikan di bawah ini : a. Menurut Hadi Poerwono, memberikan definisi gaji sebagai berikut: Gaji ialah jumlah keseluruhan yang ditetapkan sebagai pengganti jasa yang telah dikeluarkan oleh tenaga kerja meliputi masa atau syaratsyarat tertentu.30 b. Sedangkan menurut Dewan Penelitian Perburuhan Nasional, memberikan definisi gaji sebagai berikut : gaji ialah suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari pemberian kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa-jasa yang telah dan akan dilakukan berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidupnya yang layak bagi kemanusiaan dan produksi dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan Undang-Undang dan peraturan, kemudian dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja. F. Penelitian yang Relevan
Hadi Poerwono. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Cetakan Keempat. Jakarta. Gramedia.1983. halaman 186.
30

Penelitian

tentang

KONSISTENSI

DAN

SINKRONISASI

KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGHASILAN TETAP KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA (Studi Terhadap Peraturan dan PerundangUndangan Menyangkut Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur), yang membahas tentang konsistensi dan sinkronisasi peraturan serta perundang-undangan yang mengatur masalah pemberian penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pengamatan penulis, bahwa baik di Perpustakaan Fakultas Hukum, Perpustakaan Pusat, maupun Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan sumber-sumber informasi lain yang dapat diakses penulis, belum terdapat penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan penulis.

G. Kerangka Berpikir Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 PP No. 72 Tahun 2005 Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ

Peraturan Bupati Madiun Nomor 7 Tahun 2010

Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa

Konsistensi Hukum Sinkronisasi Hukum Sebeb-sebab Melaksanakan/Tidak Melaksanakan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa merupakan dua aturan yang ditetapkan pemerintah pusat yang mengakomodasi perihal pemberian bantuan penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa di seluruh Indonesia. Pada beberapa pasal dalam aturan-aturan tersebut, yaitu Pasal 212 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan pasal 27 serta 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 telah dijelaskan mengenai keuangan desa dan pengelolaannya, termasuk dalam hal pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa. Sebelum ketentuanketentuan dalam dua aturan tersebut dapat dilaksanakan dengan maksimal, pada tanggal 16 April 2009 Menteri Dalam Negeri RI mengeluarkan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ yang intinya mengatur tentang pengelolaan keuangan pemerintah daerah, termasuk tentang penentuan pihak yang berkewajiban memberikan penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa tersebut. Di antara beberapa peraturan yang berkaitan dengan pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa tersebut, yaitu antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ, terdapat perbedaan tentang pihak-pihak yang berkewajiban memberikan penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa.

Permasalahan ini mengakibatkan tertundanya proses pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa, yang memicu reaksi keras para perangkat desa di tanah air, khususnya di daerah Jawa. Hal ini dapat diidentifikasikan dari munculnya demonstrasi yang dilakukan para perangkat desa berkaitan dengan pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa tersebut. Hal ini mengarah pada adanya suatu bentuk ketidaksinkronan dari peraturan-peraturan tentang pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ. Selain dari permasalahan tersebut, ternyata pada kenyataan yang ada, terdapat beberapa daerah yang telah memenuhi ketentuan tentang pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa tersebut, meskipun sebagian pemerintah kabupaten sebagi atasan langsung dari para kepala desa dan perangkat desa tersebut masih mempermasalahkan tentang penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa. Salah satu pemerintah kabupaten yang telah memenuhi ketentuan tentang pemberian penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa tersebut adalah Pemerintah Kabupaten Madiun, yaitu melalui Peraturan Bupati Madiun Nomor 7 Tahun 2010. Dalam hal ini, penulis menganggap bahwa di antara pemerintah daerah yang ada, terdapat suatu bentuk ketidakkonsistenan dalam melaksanakan ketentuan yang ada. H. Metode Penelitian Adapun dalam penelitian ini, metode yang digunakan penulis adalah sebagai berikut. 1. Jenis Penelitian Berdasarkan jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian nondoktrinal. Jika dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif.

Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, ata di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.31 Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Jadi dari pengertian tersebut penulis berusaha untuk melukiskan keadaan dari suatu objek yang dijadikan permasalahan. Dari lima konsep hukum yang dikemukakan Soetandyo Wignjosoebroto, yaitu: a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal; b. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundangundangan; c. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto tersistematisasi sebagai judge made law; d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik; dan e. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik perilaku pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi mereka32 maka penelitian ini menggunakan konsep hukum kedua, yaitu hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kantor Pemerintah Kabupaten Madiun, khususnya pada bagian hukum dan Kantor Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun, yang ditempat ini banyak ditemui perangkat desa
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Ctk. Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2006. hal. 10. 32 Setiono. Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Program Studi Ilmu Hukum. Pasca Sarjana UNS. Surakarta. 2005. hal. 20-21.
31

sebagai bagian dari nara sumber penelitian. Penelitian ini juga merupakan penelitian studi pustaka, sehingga pelaksanaannya juga dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum dan perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret, Surakarta, serta beberapa tempat yang memungkinkan sebagai sumber data penelitian. 3. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data Dalam penelitian hukum, data yang digunakan dapat dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan bahanbahan kepustakaan. Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dinamakan data primer (data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.33 1) Data Primer Merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan atau dari lokasi penelitian. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan pegawai Kantor Kabupaten Madiun, yaitu bagian hukum pemerintahan serta dengan beberapa perangkat desa di Kabupaten Madiun. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan beberapa nara sumber yang relevan dengan penelitian. 2) Data Sekunder Adalah jenis data yang mendukung dan menunjang kelengkapan data primer melalui bahan kepustakaan, buku-buku dan artikel ilmiah, internet, serta sumber-sumber yang lain. b. Sumber Data Sumber data adalah tempat di mana penelitian ini diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu

33

Ibid. hal. 12.

tempat di mana diperoleh data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: 1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat. 34 Bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/1303/SJ perihal Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa di Seluruh Indonesia, serta Peraturan Bupati Madiun Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa serta Perangkat Kelurahan Selain Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Madiun Tahun Anggaran 2010. 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.35 Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini meliputi: literatur, buku dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 3) Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
36

Bahan hukum tertier dalam penelitian ini meliputi: Kamus Besar

Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. 4. Teknik Pengumpulan Data

34

Ibid Ibid Ibid

35 36

Teknik yang dipakai dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik Penelitian Kepustakaan yaitu teknik yang berupa studi kepustakaan terhadap buku-buku dan literatur serta peraturan perundangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti. 5. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.37 Teknik analisis data adalah suatu uraian tentang cara-cara analisis, yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif. Penganalisisan data merupakan tahap yang paling penting dalam penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis.38 Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengolahan data yang pada hakekatnya untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang dilakukan berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian dikaji dengan menggunakan norma secara materiil atau mengambil isi data disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya diambil kesimpulan/verifikasi sehingga akan diperoleh kebenaran obyektif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah menggunakan logika deduksi. Logika deduksi yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Ctk kedua, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. 2002, Hlm. 143
38 37

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Ctk ketiga, niversitas Indonesia (UIPress), Jakarta. 1986. Hlm. 251

permasalahan konkret yang dihadapi.39 Bahan-bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud, penulis uraikan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. I. Jadwal Penelitian Kegiatan Proposal Tesis Pengumpulan Data Menyusun Data Mengolah Data Penyusunan Hasil Penelitian Pengumpulan Data Mengolah dan Menyusun Data Ujian Tesis Revisi dan Penggandaan 7/2010 Bulan/Tahun 8/2010 9/2010 10/2010

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif , Malang, Banyumedia Publishing, 2007, hal.393.

39

DAFTAR PUSTAKA

Anton. M. Moeliono.Kamus besar Bahasa Indonesia. Ctk. Pertama. Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD. Graha Pustaka. Jakarta . 1989. A. Hamid, SA. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, dalam Himpunan Bahan Penataran, Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman. 1982 Hadi Poerwono. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Cetakan Keempat. Jakarta. Gramedia.1983. Hans Kelsen. General Theory of Law and State . Translated by Anders Welberg. New York: Russel & Russell. Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum tata Negara di Indonesia, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1987, Hlm. 132-133. Johnny Ibrahim. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang. Banyumedia Publishing. 2007. K.C. Wheare. 1966. Modern Constitutions, (London : Oxford University Press). www.law.duke.edu/journals/djclpp/index.php?action=showitem&id=143. Lexi J Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Ctk kedua. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2002. Maria Farida Indarti S. Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar pembentukannya. Ctk. Kedua. Kanisius. Yogyakarta. 1998. dan

M. Solly Lubis. Hukum Tata Negara. Ctk. Pertama. Bandar maju. Bandung. 2002. Nanang Kosasih. 2005. Pola Keruangan Desa dan Kota. www.Pustekkom.com. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Rosjidi Ranggawidjaja. Pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, Ctk. Pertama, Bandar Maju, Bandung . 1998. Setiono. Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Program Studi Ilmu Hukum. Pasca Sarjana UNS. Surakarta. 2005.

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Statu Tinjauan Singkat). Ctk. Pertama PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Ctk ketiga, Indonesia (UI-Press). Jakarta. 1986. Universitas

S.A. de Smith. Constitutional and Administrative Law, (Middlesex : Penguin Education). 1973. www.law.duke.edu/journals/djclpp/index.php? action=showitem&id=143 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Wijaya, HAW. Pemerintahan Desa/Marga: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Desa (Suatu Telaah Administrasi Negara). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002. W.J.S. Poerwodarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PT. Balai Pustaka. Jakarta. 2005. www.finrollnews.com. 1 Juni 2010.

KONSISTENSI DAN SINKRONISASI KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGHASILAN TETAP KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA (Studi Terhadap Peraturan dan Perundang-Undangan Menyangkut Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur)

PROPOSAL TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama: Hukum dan Kebijakan Publik

Diajukan Oleh: MUHAMAD ZAHROWI NIM: S310409017

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

KONSISTENSI DAN SINKRONISASI KETENTUAN HUKUM TENTANG PENGHASILAN TETAP KEPALA DESA DAN PERANGKAT DESA (Studi Terhadap Peraturan dan Perundang-Undangan Menyangkut Pemberian Bantuan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Madiun, Jawa Timur)

PROPOSAL Disusun oleh: MUHAMAD ZAHROWI NIM: S310409017

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing

Jabatan Pembimbing I

Nama .

Tanda Tangan

Tanggal .

Pembimbing II

Mengetahui Ketua Program Ilmu Hukum

Prof. Dr. Setiono, S.H., M.S. NIP. 19440505 196902 1 001

DAFTAR ISI Halaman A. LATAR BELAKANG MASALAH........................................................... 1 B. PERUMUSAN MASALAH....................................................................... 7 C. TUJUAN PENELITIAN............................................................................ 8 D. MANFAAT PENELITIAN........................................................................ 9 E. LANDASAN TEORI.................................................................................. 9 1. Konsistensi dan Sinkronisasi Hukum................................................... 9 2. Tinjauan tentang Hierarki Norma Hukum............................................ 12 3. Undang-Undang Organik...................................................................... 16 4. Tinjauan tentang Asas-Asas Peraturan Perundang-undangan.............. 17 5. Tinjauan tentang Pemerintahan Desa, Kepala Desa, dan Perangkat Desa...................................................................................................... 21 7. Tinjauan tentang Penghasilan Tetap..................................................... 24 F. PENELITIAN YANG RELEVAN............................................................. 25 G. KERANGKA BERPIKIR........................................................................... 26 H. METODE PENELITIAN........................................................................... 28 1. Jenis Penelitian..................................................................................... 28 2. Lokasi Penelitian.................................................................................. 29 3. Jenis dan Sumber Data.......................................................................... 29 4. Teknik Pengumpulan Data................................................................... 31 5. Teknik Analisis Data............................................................................ 31 I. JADWAL PENELITIAN ........................................................32 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 33

You might also like