You are on page 1of 31

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Ilmu kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam ( IPA ) yang tidak mudah untuk didefinisikan karena luasnya bidang yang dikaji (Effendy, 2002:2). Kimia juga merupakan salah satu bidang studi yang di pelajari di sekolah menengah tingkat atas. Pengajaran ilmu kimia pada siswa sekolah menengah, memberikan suatu tantangan yang besar bagi para pengajarnya. Hal ini di sebabkan oleh sejumlah besar materi ilmu kimia, yang sebagian besar merupakan materi yang abstrak, harus di ajarkan dalam waktu yang relatif terbatas (William, Turner, Dubreuil, Fast dan Berestiansky dalam Wiseman dalam Effendy, 2002 : 2 ) Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UUSPN No.20 tahun 2003 dalam Sagala, 2003:62). Dalam pembelajaran terjadi proses komunikasi dua arah, membelajarkan dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau siswa. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan penguasaan terhadap materi pelajaran. Pembelajaran mempunyai dua karakteristik yaitu: pertama dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya 1 1

menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir. Kedua, dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus-menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berpikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri (Sagala, 2003:63). Konstruktivis beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengetahui sesuatu. Siswa mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan akan diterima bila pengetahuan itu dianggap relevan dan konsisten untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivis, pengetahuan tidak ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada siswa, tetapi harus diinterpretasikan dan dikonstruksi sendiri oleh masing-masing siswa lewat pengalamannya. Hal ini merupakan proses penyesuaian konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiranpikiran mereka (Suparno, 1997:28). Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Menurut Dahar (1989:78) hasil utama pendidikan yang harus kita capai yaitu belajar konsep. Belajar konsep ini menurut kaum konstruktivisme merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi arti entah teks, dialog, pengalaman fisis dan lainlain. Dalam mengkonstruksi konsep, siswa mengasimilasi dan mengakomodasi dalam menghubungkan pengalaman atau materi yang dipelajari 2

dengan pengertian yang sudah terdapat dalam struktur kognitif siswa. Dalam proses ini siswa sudah membawa makna tertentu dari pengalaman yang telah mereka temui, sehingga tercipta suatu anomali saat mereka harus melakukan asimilasi ataupun akomodasi konsep (Suparno:1997, 59). Penanaman konsep yang benar dalam proses pembelajaran akan menghasilkan mutu pendidikan yang berkualitas. Salah pengertian dalam memahami sesuatu ,menurut teori konstruktivisme dan teori perubahn konsep bukanlah akhir dari segala galanya karena setiap saat siswa dapat mengubah pengertian tersebut sehingga miskonsepsi tidak terus berlanjut.Kesalahan-kesalahan dalam pemahaman konsep (miskonsepsi) akan

memberikan penyesatan lebih jauh jika tidak dilakukan pembenahan. Anehnya miskonsepsi itu sering sekali tidak disadari oleh pengajar kimia. Miskonsepsi siswa dalam pembelajaran kimia perlu diidentifikasi dan diperbaiki. Terjadinya miskonsepsi pada suatu konsep, dapat menyebabkan miskonsepsi pada pokok bahasan lain, sebab konsep-konsep dalam ilmu kimia memiliki keterkaitan Untuk melihat miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat dilakukan dengan memberikan tes diagnostik. Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-

kelemahan tersebut dapat dilberikan perlakuan yang tepat (Arikunto, 1999:34). Beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang beberapa tahun terakhir telah mengidentifikasi miskonsepsi siswa pada berbagai 3

konsep dalam

ilmu kimia. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

mahasiswa pendidikan kimia seperti yang dilakukan oleh Afrida (2009), menyimpulkan bahwa: terdapat miskonsepsi siswa kelas X1 yang terdaftar semester Januari Juni tahun ajaran 2008/2009 di SMA Negeri 11 Padang terhadap konsepkonsep dalam pokok bahasan ikatan kimia, diantaranya konsep konfigurasi elektron sebesar 57,14% dan konsep struktur lewis sebesar 82,86%.Selaian itu penelitian yang telah dilakukan Seprianto (2010), menyimpulkan bahwa : terdapat miskonsepsi di kelas XI IA 1 SMA Negeri 13 Padang pada masing-masing konsep dalam pokok bahasan larutan penyangga yaitu: konsep asam Bronsted-Lowry 64,86%, konsep basa Bronsted-Lowry 78,38%, dan konsep larutan penyangga asam 66,22%. Disini terlihat bahwa masih banyak nya terdapat miskonsepsi pada pembelajaran kimia. Berdasarkan wawancara dengan guru bidang studi kimia di SMAN 6 Padang dinyatakan bahwa hasil belajar kimia siswa kelas X belum memuaskan. Hal itu terlihat dari nilai rata-rata mata pelajaran kimia pada pokok bahasan ikatan kimia belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Hasil belajar yang rendah dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor seperti motivasi, metode mengajar guru, kesiapan belajar,serta media yang digunakan. Pada penelitian kali ini penulis ingin melihat seberapa besar miskonsepsi mempengaruhi hasil belajar siswa. Berdasarkan latar belakang diatas maka akan dilakukan penelitian yang berjudul Analisis Miskonsepsi Siswa Pada Pokok Bahasan Ikatan Kimia di Kelas X SMA Negeri 6 Padang.

B.Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Dalam proses pembelajaran, pengetahuan dikonstruksi atau diinterpretasikan sendiri oleh siswa untuk pengembangan konsepnya, sehingga sering terjadi salah pengertian dalam memahami suatu konsep yang mereka pelajari. 2. Terjadinya miskonsepsi siswa terhadap konsep-konsep prasyarat dan konsepkonsep yang harus dikuasai siswa pada pokok bahasan ikatan kimia menyebabkan tujuan pembelajaran ikatan kimia tidak tercapai yang terlihat dari rendahnya hasil belajar siswa. 3. Miskonsepsi yang di alami oleh siswa pada suatu konsep, dapat menyebabkan miskonsepsi pada konsep lain, sebab pokok konsep-konsep dalam ilmu kimia memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. C. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: pada konsep-konsep apakah siswa mengalami miskonsepsi dan berapakah persentase miskonsepsi tersebut? D. Batasan Masalah 1. Konsep-konsep yang diteliti dibatasi pada materi ikatan kimia. 2. Data mengenai miskonsepsi siswa diperoleh dari hasil tes diagnostik bertingkat dua.

E.Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan pada konsep-konsep mana saja siswa mengalami

miskonsepsi dalam pokok bahasan ikatan kimia. 2. Mengungkap berapa persen siswa mengalami miskonsepsi pada tiap-tiap konsep dalam pokok bahasan ikatan kimia. F.Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi guru tentang gambaran miskonsepsi yang terjadi dalam diri siswa pada pokok bahasan ikatan kimia yang mungkin tidak disadari selama ini. 2. Bahan pertimbangan bagi guru untuk merencanakan pelaksanaan

pembelajaran yang sesuai agar miskonsepsi pada pokok bahasan ikatan kimia bisa diminimalkan.

BAB II KAJIAN TEORI A.KONSEP 1. Pengertian Konsep Dalam belajar kimia, pemahaman konsep merupakan syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan belajar kimia. Dahar ( 1989 : 79 ) mengemukakan bahwa Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Untuk memecahkan masalah, seorang siswa harus menegtahui aturan-aturan yang relevan, dan aturanaturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya. Amien (1987 :19 ) mendefinisikan Konsep adalah suatu ide atau gagasan yang relative sempurna dan bermakna. Nasution ( 1989 : 164 ) menyatakan bahwa konsep dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pengetahuan. Hal ini seiring dengan pendapat Dahar (1989 : 179 ) yang menjelaskan bahwa konsep merupakan dasar berfikir , konsep sangat penting bagi manusia karena konsep digunakan dalam komunikasi berfikir dan belajar. Berg dalam Effendy ( 2002 : 3 ) mengemukakan bahwa konsep adalah abstraksi dari cirri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia berfikir. Lebih jauh Effendy ( 2002 : 3 ) menuliskan bahwa konsep adalah abstraksi / gagasan yang menggambarkan ciri-ciri umum suatu objek atau peristiwa yang memungkinkan manusia untuk berfikir.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konsep

merupakan suatu

abstraksi ide pikiran atau gambaran mental dari suatu objek atau peristiwa yang memiliki ciri-ciri yang sama secara umum, yang diwakili oleh satu frasa kata atau simbol. Suatu konsep dapat membantu manusia untuk berpikir dan menyusun suatu pengetahuan berdasarkan kesamaan ciri-ciri yang dimiliki secara umum, sehingga dapat memudahkan manusia untuk berkomunikasi antar sesamanya. Suatu konsep dikatakan telah dipahami secara benar adalah bila konsep tersebut sesuai dengan pemahaman masyarakat ilmiah. Gagne (dalam Effendi 2002) membagi konsep dalam dua kategori yaitu konsep konkrit dan konsep terdefinisi. Konsep konkrit adalah abstraksi atau gagasan yang ditemukan dari obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa konkrit. Konsep konkrit contohnya: konsep tentang peleburan, misalnya es bila dipanaskan akan melebur. Konsep terdefinisi merupakan gagasan yang diturunkan dari objek-objek atau peristiwa yang bersifat abstrak. Contoh konsep terdefinisi contohnya konsep atom, ion dan molekul. Konsep terdefinisi yang diturunkan dari obyek-obyek abstrak disebut juga dengan konsep mikroskopik. Vygotsky (dalam Effendi 2002) membedakan konsep menjadi dua kategori, konsep spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan yaitu konsep yang diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari (diluar sekolah). Konsep ilmiah yaitu konsep yang diperoleh siswa dari pelajaran disekolah. Dua dan saling mempengaruhi secara terus menerus. konsep ini akan selalu berhubungan

2.Perolehan Konsep Seseorang dapat membentuk konsep berdasarkan pemikiran dan pengalaman. Konsepsi merupakan pandangan seseorang terhadap konsep. Menurut Piaget pemerolehan konsep berkaitan dengan proses pembentukan skema. Skema merupakan struktur mental atau struktur kognitif yang dengan seseorang secara intelektual beradaptasi dengan mengkoordinasi lingkungan nya( Suparno,1996 : 30 ). Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan skema di sebut dengan adaptasi. Adaptasi ini meliputi dua hal yaitu assimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang telah ada di dalam pikirannya (Suparno, 1997:31). Asimilasi terjadi bila ciri-ciri perangsang atau pengalaman baru masih bersesuaian dengan skema yang telah dipunyai seseorang (Effendy, 2002:5). Dapat terjadi dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru, seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1997:32). Dalam perkembangan intelektual seseorang ,diperlukan keseimbannngan antara assimilasi dan akomodasi proses itu disebut ekuilibrasi,yakni pengaturan diri

secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses assimilasi dan akomodasi (Suparno,1997) Suparno (1997:51) menjelaskan bahwa supaya terjadi perubahan radikal atau akomodasi, dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat sebagai berikut: 1)Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada.2)Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena baru.3)Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.4) Konsep baru harus lebih baik daripada pandangan lama (yang salah). B. Miskonsepsi 1. Pengertian Miskonsepsi Tafsiran konsep seseorang atau konsepsi kadang sesuai dengan tafsiran yang dimaksud oleh para ilmuwan atau pakar dalam bidang itu kadang pula tidak sesuai. Konsepsi yang tidak sesuai dengan yang diterima para pakar dalam bidang itu disebut salah konsep atau miskonsepsi. Miskonsepsi dapat diartikan sebagai perbedaan pemahaman antara individu dengan masyarakat ilmiah (Helm dalam Effendi, 2002). Perbedaan tersebut terjadi karena berbagai faktor diantaranya adalah: proses pembelajaran, termasuk dalam hal ini metoda dan media belajar. Selain itu lingkungan pergaulan juga dapat menjadi faktor penyebab miskonsepsi pada siswa. Suparno (1998 : 95) memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, 10

kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar. Menurut pendapat Osborn yang di kutip effendi (2002) beberapa fakta yang ditemukan tentang kesalahan konsep (miskonsepsi) antara lain : a)miskonsepsi sulit diperbaiki b) seringkali sisa miskonsepsi terus menerus mengganggu ,soal soal sederhana dapat dikerjakan, tetapi pada soal yang lebih sulit miskonsepsi muncul kembali tanpa disadari. c) seringkali terjadi regresi ,yaitu siswa yang sudah pernah mengalami miskonsepsi setelah beberapa bulan akan kambuh lagi. d) dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi belum dapat dengan sepenuhnya dihilasngkan. e) guru umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa, sehingga proses belajar mengajar tidak disesuaikan dengan prakonsepsi yang dimiliki siswa. f) siswa yang pandai maupun yang kurang pandai keduanya dapat mengalami miskonsepsi. 2. Penyebab terjadinya miskonsepsi Miskonsepsi akan terbentuk bila konsepsi seseorang mengenai suatu materi tidak sesuai dengan konsepsi yang diterima oleh ilmuwan atau pakar dibidangnya. Suatu miskonsepsi siswa bisa berasal dari beberapa sebab. Miskonsepsi siswa bisa berasal dari siswa sendiri, yaitu siswa salah menginterpretasi gejala atau peristiwa yang dihadapi dalam hidupnya. Selain itu, miskonsepsi yang dialami siswa bisa juga diperoleh dari pembelajaran dari gurunya. Pembelajaran yang dilakukan gurunya mungkin kurang terarah sehingga siswa melakukan interpretasi yang salah terhadap suatu konsep, atau mungkin juga gurunya mengalami miskonsepsi terhadap suatu konsep sehingga apa yang disampaikannya juga merupakan suatu miskonsepsi. 11

Menurut Berg dalam Effendy (2002) terjadinya miskonsepsi dapat disebabkan oleh gagasan gagasan yang muncul dari pikiran siswa yang bersifat pribadi. Gagasan ini umumnya kurang bersifat ilmiah, akan tetapi bila pengajar tidak berupaya untukmelihat gagasan yang dimiliki oleh siswa sebelum mengenalkan konsep yang berhubungan akan memungkinkan terjadinya salah konsep. Menurut Kirkwood dan Symington (dalam Effendy, 2002:12), penyebab terjadinya miskonsepsi dalam belajar kimia dapat ditinjau dari sisi siswa, pengajar dan materi pelajaran. Dari sisi siswa penyebab terjadinya miskonsepsi antara lain: pengetahuan yang telah diperoleh siswa dari hasil belajar sebelumnya, pengalaman, kemampuan berpikir, motivasi belajar dan kesiapan belajar. Dari sisi pengajar, miskonsepsi mungkin disebabkan metode dan pendekatan belajar yang digunakan. Dari sisi materi penyebab terjadinya miskonsepsi antara lain: konsep-konsep yang kompleks dan abstrak dan materi kajian yang terlalu padat dalam waktu yang relatif terbatas. 3. Cara mengatasi miskonsepsi Effendy (2002:17) mengemukakan langkah-langkah pokok dalam strategi mengatasi miskonsepsi pada siswa antara lain: 1) Identifikasi miskonsepsi yang dimiliki siswa Langkah ini dapat diakukan dengan pemberian tes diagnostik. Tes diagnostik didefinisikan sebagai tes yang dilaksanakan untuk menentukan secara tepat, jenis kesukaran yang dihadapi oleh para peserta didik dalam suatu mata pelajaran tertentu (Sudijono, 1998:70). Tes diagnostik ini sebaiknya diberikan 12

segera setelah proses pembelajaran selesai. Setelah tes diagnostik diberikan, jawaban siswa dianalisis untuk mengetahui kesalahan konsep (miskonsepsi) yang dimiliki siswa. 2) Penciptaan kondisi konflik Hal ini bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidakpuasan pada diri siswa terhadap konsep awal mereka atau dengan kata lain terjadi ketidakseimbangan (disekuilibrium) dalam pikiran siswa (Carey dalam Suparno, 1997:52). Upaya yang dapat dilakukan guru antara lain: pemberian suatu peristiwa yang bertentangan dengan pikiran siswa (suatu anomali), dan pemberian pengalaman langsung (seperti fakta eksperimen) yang menimbulkan kontradiksi dengan pemahaman siswa (Chin dalam Suparno,1997:51). Pada langkah ini siswa akan mulai mempersoalkan mengapa pemikiran awal mereka tidak benar. 3) Pemberian bantuan untuk terjadinya ekuilibrasi Dalam hal ini, guru dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pemberian informasi yang dapat mengarahkan siswa dalam mengatasi dan atau menyelesaikan konflik yang ada. 4) Rekonstruksi pemahaman siswa Pada langkah ini, siswa mengubah pemahamannya yang salah terhadap suatu konsep menjadi pemahaman yang benar akibat adanya konflik kognitif yang menantang siswa untuk lebih berpikir.

13

C. Tes diagnostic Tes diagnostik adalah suatu model tes yang digunakan untuk mengetahui kesulitan belajar siswa dalam mempelajari suatu materi pada bidang studi tertentu. Materi yang ditanyakan pada tes diagnostik ditekankan pada konsep-konsep tertentu yang dianggap sulit dipahami oleh siswa. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Arikunto (1999;34) bahwa tes diagnotik digunakan untuk mengetahui kelemahankelemahan siswa, sehingga berdasarkan kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat. Menurut Arikunto (1999: 44), fungsi tes diagnostik antara lain: a. Menentukan apakah bahan prasyarat telah dikuasai atau belum. b. Menentukan tingkat penguasaan siswa terhadap bahan yang dipelajari. c. Mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan dalam menerima pelajaran yang akan dipelajari. d. Menentukan kesulitan-kesulitan belajar yang dialami siswa untuk menentukan cara yang khusus untuk mengatasi dan memberikan bimbingan. Bentuk tes diagnostik yang sering digunakan adalah tes pilihan ganda. Tes ini pada pokoknya menghadapkan kepada siswa sejumlah alternatif jawaban, umumnya antara tiga sampai lima alternatif untuk setiap soal dan tugas siswa adalah memilih salah satu diantara alternatif tersebut berdasarkan suatu dasar pertimbangan tertentu (kadang-kadang sebagai variasi, tidak ditentukan harus memilih satu, tetapi dimana perlu, harus lebih dari satu yang dipilih) (Slameto, 2001:59). Tes pilihan ganda mempunyai beberapa kebaikan, diantaranya: lebih fleksibel dan efektif, mencakup hampir seluruh bahan pelajaran, koreksi dan 14

penilaiannya mudah dan objektif, serta dapat dipakai berulang-ulang. Akan tetapi, tes pilihan ganda juga mempunyai beberapa kelemahan. Selain sulit serta membutuhkan waktu yang lama dalam menyusun soalnya, jawaban siswa belum tentu menunjukkan hasil/kemampuan yang sebenarnya. Sebab, siswa kemungkinan hanya kira-kira saja (Slameto, 2001:41). Treagust (dalam Irwan, 2009:13) merancang model tes pilihan ganda untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa secara lebih sensitif dan efektif, dimana Treagust menyebutnya sebagai two-tier diagnostic test atau tes diagnostik bertingkat dua. Dalam model tes tersebut, setiap item tes terdiri dari dua tingkat soal. Tingkat pertama berupa suatu pertanyaan dengan dua sampai lima pilihan jawaban. Namun, pada tingkat kedua terdiri dari beberapa pilihan jawaban yang merupakan alasan pemilihan jawaban pada tingkat pertama. Diantara beberapa pilihan jawaban pada tingkat kedua ini, terdapat jawaban yang benar dan selainnya merupakan jawaban yang mengidentifikasikan miskonsepsi yang dialami siswa. Pada tes diagnostik bertingkat dua ini, identifikasi miskonsepsi siswa pada batasan-batasan dan konteks yang jelas lebih mudah dilakukan. Pengelompokkan tingkat pemahaman siswa

berdasarkan kriteria penilaian tes diagnostik bertingkat dua ditampilkan pada tabel 1.

15

Tabel 1. Kriteria

Pengelompokan Tingkat Pemahaman Siswa berdasarkan Tes

Diagnostik Bertingkat Dua. Kriteria Penilaian No. Tingkat pemahaman 1. 2. Paham Miskonsepsi Tingkat pertama Benar Benar Salah (Kosong) 3. Tidak paham Salah (Kosong) Tingkat kedua Benar Salah (Kosong) Benar Salah (Kosong)

D. Deskripsi Materi Ikatan kimia adalah gaya tarik-menarik yang kuat antara atom-aton tertentu di dalam suatu zat. Perubahn kimia atau reaksi kimia terjadi karena penggabungan atau pemisahan atom-atom dengan cara tertentu sehingga terbentuk zat yang lebih stabil. 1. Susunan Electron Stabil a. Susunan elektron yang stabil mempunyai 8 elektron pada kulit terluar ( octet ) sebagaimana yang dimimiliki oeleh atom-atom unsure gas mulia,kecuali helium ( dua electron atau duplet ) b. Menurut Kossel dan Lewis (1916) ,keadaan seperti ini merupakan keadaan paling stabil yang dimiliki atom-atom unsure gas mulia ( octet ). c. Atom dari unsur-unsur lain berusaha memiliki konfigurasi elektron yang stabil seperti konfigurasi elektron atom unsure gas mulia. d. Kecendrungan memiliki konfigurasi electron stabil merupan salah satu factor penyebab terjadinya ikatan kimia. 16

Konfigurasi Electron Unsure-Unsur Gas Mulia Unsur 2He


10

Konfigurasi elektron 2 28 288 2 8 18 8 2 8 18 18 8 2 8 18 32 18

Electron valensi 2 8 8 8 8 8

Ne Ar Kr Xe Rn

18

36

54

86

e. Cara mendapatkan konfigurasi electron yang stabil: 1) Melepaskan electron valensi nya sehingga terbentuk ion positif yang bermuatan sejumlah electron yang dilepaskannya. Na : 2e 8e 1e Mg : 2e 8e 2e Na+ Mg2+ : 2e 8e + 1e : 2e 8e + 2e

Unsur-unsur yang cenderung melepaskan elektronadalah unsure logam yang berada pada golongan IA,IIA, dan IIIA ( elektron valensi 1, 2,dan 3 )

2) Menarik electron dari luar sehingga bermuatan negative sebesar electron yang ditariknya. F O : 2e 7e + 1e : 2e 6e + 2e FO2: 2e 8e : 2e 8e

17

Unsur-unsur yang cenderung menarik electron adalah unsure nonlogam yang berada pada golongan VA,VIA, dan VIIA ( elektron valensi 5, 6,dan 7 ) 3) Pemilikan bersama pasangan elektron, yaitu : Penggunaan bersama pasangan electron dari dua atom yang berikatan sehingga terbentuk pasangan electron terikat sebanyak electron yang saling dipinjamkan.

2. Ikatan Ion a. Ikatan ion adalah ikatan kimia yang terbentuk akibat gaya tarik-menerik antara ion positif ( kation ) dengan ion negative ( anion ) atau akibat serah terima se-elektron dari satu atom ke atom yang lain. b. Ikatan ion terjadi antara atom logam ( golongan IA, kecuali H dan golongan IIA ) dengan unsure non logam ( golongan VIA dan golongan VIIA ). c. Pelepasan dan penerimaan electron tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

18

Kekuatan ikatan ion Kekuatan ikatan ion suatu senyawa dapat diprediksikan dari perbedaan skala keelektronegatifan unsur pembentuknya. Makin besar beda skala

keelektronegatifannya makin kuat ikatan ionnya. 3. Ikatan Kovalen a. Ikatan kovalen adalah ikatan yang terjadi akibat pemakaian bersama pasangan elektron oleh dua atom yang berikatan. b. Ikatan kovalen terbentuk diantara dua atom yang sama-sama ingin menangkap elektron (semilogam dan bukan logam )

19

c. Dalam melukiskan ikatan kovalen , kita menggunakan apa yang disebut rumus LEWIS, yaitu setiap electron valensi ( electron pada kulit terluar ) dilambangkan dengan tanda ( titik, silang, kros atau yang lain ). Contoh :

Untuk memudahkan pemikiran rumus Lewis perlu diperhatikan : Pembentukan ikatan kimia merupakan upaya atom suatu unsure untuk mencapai susnan octet ( 8 elektron terluar ) atau duplet ( dua electron terluar ) Pasangan electron terikat digambarkan di antara dua atom yang berikatan. Sepasang electron dapat digambarkan dengan satu garis.

20

Berdasarkan jumlah pasangan electron yang digunakan bersama, ikatan kovalen dapat dibedakan menjadi : Ikatan tunggal ( dilambangkan dengan satu garis ikatan ) melibatkan sepasang elektron. Ikatan kovalen rangkap ( melibatkan lebih dari sepasang electron ) Dua (2) pasang electron disebut ikatan rangkap dua . Tiga (3) pasang electron disebut ikatan rangkap tiga.

4. Sifat-Sifat Senyawa Ion Dan Senyawa Kovalen 1. Ikatan ion jauh lebih kuat dari pada ikatan kovalen karena ikatan ion terjadi akibat gay Coulomb ( gaya elektrostatis ) , sedangkan ikatan kovalen terjadi karena pemakaian bersama pasangan electron ikatan. 2. Perbandingan sifat fisika senyawa ion dengan senyawa kovalen. Senyawa ion Senyawa kovalen Mempunyai titik didih dan titk Mempunyai titik didih dan titk leleh yang Cairan dan menghantar elektrolit ) Semua senyawa elektrovalen pada Pada suhu kamar berwujud padat. 5. Ikatan Kovalen Koordinasi suhu kamar ada yang berwujud padat ,cair maupun gas. tinggi. larutannya listrik ( bersifat leleh yang listrik. rendah. dapat Cairan tidak dapat menghantar

21

a. Ikatan kovalen koordinasi adalah ikatan kovalen dengan pasangan electron yang digunakan secara bersama hanya berasal dari salah satu atom yang berikatan. b. Ikatan kovalen koordinasi hanya dapat terbentuk apabila salah satu atom mempunyai Pasangan Electron Bebas (PEB) Contoh : senyawa SO3 memiliki 1 ikatan rangkap dan 2 ikatan kovalen koordinasi.

6. Kepolaran Ikatan a. Ikatan Kovalen Polar .Ikatan kovalen polar terjadi jika pasangan electron yang dipakai bersama , tertarik lebih kuat ke salah satu atom berikatan. Kepolaran senyawa akan bertambah jika beda keelektronegatifan atom-atom yang berikatan semakin besar.

b. Ikatan Kovalen Nonpolar 22

Ikatan kovalen plar terjadi jika pasangan electron yang dipakai bersama, tertarik sama kuat ke semua atom yang berikatan.

Perbedaan Senyawa Polar dan Nonpolar Senyawa Polar Senyawa Nonpolar 1. Ikatan yang terjadi adalah 1. Ikatan yang terjadi adalah ikatan polar. 2. Terjadi (antar negatif ) 3. Senyawa yang terbentuk berwujud cair/ padat. 4. Titik didih relative tinggi 5. Tertarik ke medan magnet dan listrik. 7.Ikatan Logam a. Atom-aton logam mempunyai electron valensi yang kecil, sehingga electron valensi dapat bergerak bebas dan sangat mudah dilepaskan, akibatnya electron-elektron valensi tersebut bukan hanya milik salah satu ion logam , tetapi merupakan milik bersama ion-ion logam yang berada dalam kisi Kristal logam. gaya muatan elektrostatika positif dan ikatan nonpolar. 2. Terjadi gaya Van der Waals karena adanya dipole induksi. 3. Ikatan tidak begitu kuat , sehingga berwujud cair. 4. Titik didih rendah 5. Tidak tertarik ke medan magnet dan listrik.

23

b. Elektron valensi dalam logam, membaur membentuk awan electron yang menyelimuti ion-ion positif logam yang telah melepaskan sebagian electron valensi nya. Akibatnya terjadi interaksi antara kedua muatan ( electron bermuatan negative dengan ion logam bermuatan positif ) yang berlawana dan membentuk ikatan logam. c. Unsur-unsur logam menunjukkan sifat yang khas, seperti umumnya berupa zat padat pada suhu kamar, dapat ditempa dan merupakan penghantar listrik dan panas yang baik. d. Gaya tarik-menarik ini cukup kuat, sehingga pada umumnya unsure logam mempunyai titik didih dan titik leleh yang tinggi. Kekuatan ikatan logam dipengaruhi oleh : 1. Jari-jari atom, makin besar jari-jari atom menyebabkan ikatan logam semakin lemah. 2. Jumlah electron valensi, makin banyak electron valensinya ikatan logam semakin kuat. 3. Jenis electron s, p, atau d. Logam-logam blok s ikatannya paling lemah dan logam-logam blok d ikatan logamnuya paling kuat.

E. Kerangka Konseptual

24

Berdasarkan latar belakang dan kajian teori yang telah dikemukakan terdahulu, dapat dibuat suatu kerangka konseptual,yakni di dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antara guru dengan siswa, dimana dalam kegiatan tersebut guru berperan sebagai pemberi informasi kepada sekelompok siswa. Pengetahuan yang akan diperoleh siswa dalam kegiatan pembelajaran tersebut berupa konsep-konsep, jadi dalam hal ini dituntut pemahaman siswa terhadap konsepkonsep. Pemahaman siswa terhadap suatu konsep mungkin berbeda dengan pemahaman yang secara umum diterima masyarakat ilmiah yang disebut miskonsepsi. Miskonsepsi siswa pada suatu konsep dapat mengganggu siswa dalam menerima konsep berikutnya yang berhubungan. Disini peneliti menganalisis kesalahan konsep (miskonsepsi) siswa. Jika siswa mengalami miskonsepsi, dapat diupayakan perbaikan misalnya saat pelaksanaan program remedial, agar proses pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan konsep siswa

Sehubungan dengan hal tersebut maka kerangka konseptual tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. 25

Guru

Proses Pembelajaran

Siswa

Gambar 1.Kerangka Konseptual


Pemahaman Siswa terhadap Suatu Konsep

Paham

Miskonsepsi

Tidak Paham

Mengganggu

Perlu Diketahui / Didiagnosa

Tingkat Penguasaan Konsep Siswa Lebih Baik

BAB III METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan yaitu penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan dan menginterpretasikan suatu gejala, peristiwa atau kejadian dengan apa adanya tanpa memberikan perlakuan dan manipulasi variabel (Arikunto, 1997:9). Dalam hal ini, penelitian deskriptif memiliki data atau gejala data tersebut masih ada sekarang (Zafri, 2000:17). Dalam penelitian ini fenomena fenomena yang ditemukan apa adanya tidak diberi perlakuan. Miskonsepsi dilihat dari data tes diagnostik. B. Subjek Penelitian

26

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 6 Padang yang terdaftar semester Juli Desember tahun ajaran 2010/2011 yang terdiri dari dua kelas. Penelitian ini dilakukan di kelas X3 dan X5 , dimana kelas ini tidak homogen dengan guru yang sama. C. Variabel dan Data 1. Variabel Penelitian Variabel merupakan gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati (Sugiyono, 2007:2). Variabel dalam penelitian ini adalah miskonsepsi siswa terhadap konsep-konsep pada pokok bahasan ikatan kimia.

2. Data Penelitian Analisis kurikulum Analisis materi pelajaran kimia Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa hasil tes diagnostik bertingkat dua yang diberikan kepada siswa. Menentukan konsep D. Kerangka Operasional Dalam mengungkap miskonsepsi yang terjadi pada siswa ada beberapa tahap Penyusunan instrumen (tes diagnostik) penelitian yang dilakukan. Tahap-tahap tersebut lebih jelasnya diringkaskan dalam kerangka operasional pada gambar berikut Validasi tes

Pemberian tes

Analisis data 27 Kesimpulan

Gambar 2. Skema Kerangka Operasional Penelitian E.Teknik Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah tes diagnostik bertingkat dua. Dengan mengggunakan tes ini, diketahui tingkat pemahaman siswa terhadap konsep-konsep prasyarat dan konsep-konsep yang harus dikuasai siswa pada pokok bahasan ikatan kimia. Tes tersebut berupa pilihan ganda dengan beberapa pilihan jawaban disertai beberapa alternatif alasan siswa berdasarkan jawaban pertamanya. Instrumen disusun berdasarkan indikator pembelajaran yang terdapat dalam silabus pembelajaran kimia kelas X khususnya pada pokok bahasan ikatan kimia. Sebelum diberikan kepada siswa, instrumen ini divalidasi terlebih dahulu. Validasi instrumen yang dilakukan adalah dari segi validitas isi. Sebuah instrumen dikatakan memiliki validitas isi jika isi instrumen merupakan materi 28

pelajaran yang telah diajarkan (Sugiyono, 2007:272). Instrumen yang akan digunakan pada penelitian ini divalidasi ke beberapa orang dosen kimia sebagai validator. Dalam hal ini instrumen divalidasi dengan mendiskusikannya bersama beberapa orang dosen kimia. Dengan demikian, layak atau tidak layaknya instrumen tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan beberapa orang dosen kimia. F. Teknik Analisis Data Data hasil tes dikelompokkan menjadi tiga kelompok pemahaman, yaitu : paham, miskonsepsi dan tidak paham. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik deskriptif dengan menggunakan perhitungan persentase (%) untuk mengetahui besarnya miskonsepsi siswa pada masing-masing konsep. % Jawaban =
P 100 % N

Keterangan: P = Jumlah Siswa pada Kelompok Pemahaman, yaitu: paham, miskonsepsi dan tidak paham. N = Jumlah Seluruh Siswa yang Mengikuti Tes.

29

DAFTAR PUSTAKA Afrida, Monalisa. 2009. Analisis Miskonsepsi Siswa pada Pokok Bahasan Ikatan Kimia Kelas X di SMAN 11 Padang. Padang: FMIPA UNP. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka cipta. . 1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi aksara. Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Effendy. 2002. Upaya untuk Mengatasi Kesalahan Konsep dalam Pengajaran Kimia dengan Menggunakan Strategi Konflik Kognitif. Media Komunikasi kimia, Jurnal Ilmu Kimia dan Pembelajaran, 2(6)1-22 Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

30

Purba, Michael. 2006. Kimia untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga. Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. . 2001. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Seprianto.2010.Analisis Miskonsepsi Siswa pada Pokok Bahasan Larutan Penyangga di Kelas XI SMA Negeri 13 Padang.Padang : FMIPA UNP Sudijono, Anas. 1998. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Gramedia. Zafri. 2000. Metoda Penelitian Pendidikan. Padang: FIS UNP.

31

You might also like