You are on page 1of 5

TINJAUAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PERKOTAAN PENGERTIAN PKL Menurut Sidharta (2002), secara umum dapat didefiniskan

n bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar-pedestrian) yang keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik visual, lingkungan dan pariwisata. Istilah PKL erat kaitannya dengan istilah di Prancis tentang pedestrian untuk pejalan kaki di sepanjang jalan raya, yaitu Trotoir (baca: trotoar). Di sepanjang jalan raya kebanyakan berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5 m). Pada perkembangan berikutnya para pedagang informal akan menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang Lima Kaki, sedangkan di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima atau PKL. (Widjajanti, 2000:28) Menurut Bromley (1991), dalam Mulyanto (2007), pedagang kaki lima (PKL) merupakan kelompok tenaga kerja yang banyak di sektor informal. Pandangan Bromley, pekerjaan pedagang kaki lima merupakan jawaban terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkai dengan migrasi desa ke kota yang besar, pertumbuhan penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat di sektor industri, dan penyerapan teknologi yang padat moral, serta keberadaan tenaga kerja yang berlebihan. Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan PKL. Beberapa pasal terkait dengan definisi PKL, tempat usaha dan pemberdayaannya dapat diuraikan sebagai berikut: Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, (8) Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usaha dagang dan jasa formal dalam waktu yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sebagai tempat usahanya, baik dengan menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dan atau dibongkar pasang; CIRI-CIRI PKL Pedagang Kaki Lima menurut Abidin (1992) mempunyai ciri-ciri yang tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri pokok sektor informal, yaitu: a. b. Kelompok ini merupakan pedagang yang terkadang juga menjadi produsen sekaligus, misalnya pedagang makanan dan minuman yang dimasak sendiri. Perkataan Pedagang Kaki Lima memberikan konotasi bahwa mereka umumnya menjajakan barang-barang dagangannya pada gelaran tikar atau pinggir-pinggir jalan, atau di muka toko yang dianggap strategis. Pedagang Kaki Lima biasanya menjual barang eceran.

c.

d.

e. f.

g. h.

i. j. k.

Pedagang Kaki Lima umumnya bermodal kecil bahkan tidak jarang mereka merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan jerih payah. Pada umumnya Pedagang Kaki Lima merupakan kelompok marginal bahkan ada pula yang tergolong kelompok submarginal. Pada umumnya kualitas barang yang diperdagangkan oleh para Pedagang Kaki Lima mengkhususkan diri dalam penjualan barang-barang cacat sedikit dengan harga yang lebih murah. Omset penjualan Pedagang Kaki Lima ini umumnya tidak besar. Para pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah. Kasus dimana Pedagang Kaki Lima berhasil secara ekonomis sehingga akhirnya dapat menaiki tangga dalam jenjang hirarki pedagang sukses agak langka atau jarang terjadi. Barang yang ditawarkan Pedagang Kaki Lima biasanya tidak standar dan "shifting"jenis barang yang diperdagangkan seringkali terjadi. Tawar-menawar antara penjual dan pembeli merupakan relasi diri yang khusus usaha perdagangan para Pedagang Kaki Lima. Terdapat jiwa kewiraswastaan yang kuat

LANDASAN KAJIAN PKL Teori Konflik, yaitu konflik konservatif dan radikal konflik dimana konflik muncul diantara kelompok yang mencoba mengontrol situasi. Menurut Coser konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungka, atau dieliminir saingan saingannya. Teori Kemauan Bebas ( free will ), menyatakan bahwa manusia itu bisa bebas menurut kemauannya, untuk menjamin agar setiap perbuatan berdasarkan kemauan bebas itu cocok dengan keinginan masyarakat maka manusia harus diatur dan ditekan yaitu dengan : Norma norma sosial, hukum, dan pendidikan. Paradigma Konflik dan Alienasi Karl Marx (18181883) yang lebih banyak memperhatikan (concern) pertentang kelas (borjuis dengan proletar) dan orang kaya dan kaum miskin dalam paradigma konflik dan alienasi ini berpedapat kaum kapitalis-lah yang menyebabkan kemiskinan meluas atau semakin makmur kaum kapitalis semakin bertambah orang miskin. Pendapatnya ada benarnya yang dibuktikan dengan banyaknya unjuk rasa dan demonstrasi kaum buruh yang menentang dan menuntut kenaiakan gaji dan tunjangan sementara perusahaan besar semakin mengakumulasi investasi di negara lain. Bahkan beberapa perusahaan besar yang mempekerjakan ribuan buruh yang terancam PHK yang kemudian memaksa mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berbagai cara yang salah satunya meupakan bagian dari sector informal. ( Dikutip dari Johnson, Doyle.1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : PT Gramedia )

PKL KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG Keberadaannya sebagai sektor informal merupakan bagian yang sebenarnya memiliki ketahanan yang cukup handal dibandingkan sektor-sektor usaha lainnya. Terbukti di saat unit-unit usaha lainnya tersingkir akibat badai krisis ekonomi, justru sektor ini tumbuh dan berkembang hampir di setiap kota besar termasuk Semarang. Meskipun begitu keberadaan PKL mempunyai tingkat kerentanan yang cukup tinggi manakala tidak mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah (Waluyo, 2006). Konsep inovasi yang biasanya digunakan dalam konteks penelitian dan pengembangan suatu industri saat ini sudah mulai digunakan dalam konteks pembangunan kota. Inovasi perkotaan merupakan solusi baru untuk memecahkan masalah di perkotaan yang dapat meningkatkan nilai tambah untuk orang-orang yang tinggal di kota (Aryani, 2011). Salah satu permasalahan yang sering terjadi di kota-kota besar di Indonesia adalah kemunculan Pedagang Kaki Lima (PKL). Adanya pedagang kaki lima cenderung dianggap sebagai suatu permasalahan karena menimbulkan kesemrawutan maupun kemacetan di kota. Permasalahan PKL yang sering terjadi di kota-kota di Indonesia cenderung diselesaikan dengan cara penggusuran yang menggunakan kekerasan. Oleh karenanya perlu dilakukan pendekatan-pendekatan khusus dan inovasi baru dalam menangani masalah PKL baik yang muncul secara alami maupun sebagai dampak dari adanya kegiatan tertentu. Salah satunya adalah munculnya PKL di Kawasan Tembalang yang semakin hari semakin menjamur di sepanjang koridor jalan masuk dari pintu gerbang masuk hingga kawasan pendidikan UNDIP Tembalang. Hal ini tidak dipungkiri munculnya PKL tersebut adalah sebagai akibat adanya kawasan pendidikan UNDIP Tembalang. Dari sisi lain (pelaku) dapat dilihat bahwa PKL adalah sudah menjadi sebuah profesi yang mudah dan cepat dalam membantu perekonomian, dengan modal sedikit dan menempati ruang seadanya sudah bisa menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi di kawasan pendidikan UNDIP Tembalang yang jelas permintaan kebutuhan akan mahasiswa sangat berpotensi untuk mendirikan usaha kecil seperti PKL. Konsep dan Pendekatan Top Down (1) Kebijakan penataan PKL yang dilakukan adalah dengan penataan berdasarkan kawasan/lokasi (zonasi) dan waktu berdagang. Untuk mewujudkan kebijakan ini maka Pemerintah Kota akan mengkaitkannya dengan prosedur perijinan untuk jenis usaha/dagang tertentu. Diharapkan dengan pemberian ruang dan waktu yang cukup bagi pelaku PKL (termasuk komunitas/paguyuban-paguyuban PKL), masyarakat/LSM, dan stake holder lainnya maka kebijakan daerah terkait dengan pengelolaan PKL memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. (2) Penetapan lokasi PKL (berdasarkan kebijakan yang ada) harus dikomunikasikan kepada para pelaku PKL, hal ini diperlukan untuk menampung aspirasi dari para paguyuban PKL yang tentunya juga melibatkan semua pihak yang terkait. Proses tersebut dapat difasilitasi oleh pemerintah setempat, sehingga diharapkan dapat terjadi sebuah kesepakatan dan komitmen bersama.

(3) Kebijakan penataan PKL lebih berorientasi kepada masyarakat, dalam hal ini adalah paguyuban PKL. Penetapan lokasi diserahkan kepada paguyuban secara langsung dengan pertimbangan bahwa mereka lebih mengetahui segala sesuatunya sendiri. Hal ini tentunya tidak lepas begitu saja, namun masih ada keterlibatan pemerintah dalam memfasilitasi proses pendampingan baik secara teknis, realistis dan dapat diaplikasikan. Konsep dan Pendekatan Bottom Up (1) Penataan PKL Berbasis Pedagang, Ketertiban Dan Keindahan Kota. Fasilitasi, mediasi dan advokasi merupakan kunci utama dalam kegiatan penataan PKL ini. Dengan pendampingan ini diharapkan arah dan tujuan penataan PKL dapat tercapai secara bersama-sama. Hal ini tentunya tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai fasilitator yang diwujudkan dalam bentuk program baru seperti Penataan PKL Berbasis Pedagang (khususnya PKL) dengan konsep pemberdayaan. Adanya persamaan persepsi antara instansi pemerintah dengan PKL dalam memaknai konsep ketertiban dan keindahan kota dapat menjadi modal awal untuk menata para PKL tersebut. Karakteristik PKL seringkali tidak dapat mengikuti implementasi konsep keindahan dan ketertiban yang menjadi acuan para pejabat pemerintah, oleh karena itu dalam menata PKL perlu diikutsertakan. Penataan terhadap PKL harus dilakukan dengan memperhatikan aspek keindahan, ketertiban dan kepentingan PKL itu sendiri. Kepentingan ekonomi PKL perlu dipertimbangkan dengan menyediakan tempat yang tidak menjauhkan PKL dari para konsumennya, sehingga eksistensi mereka tetap bisa dipertahankan tanpa merusak aspek keindahan dan ketertiban kota. (2) Pendekatan persuasif tanpa adanya kekerasan. Hal ini mengadopsi dari penataan PKL yang ada di Surakarta. Bentuk dari penataan PKL ini meliputi penentuan kawasan PKL dan pembuatan kantung-kantung PKL. Hal ini dilakukan melalui cara yang dinamakan relokasi, shelterisasi, tendanisasi dan gerobakisasi. Gagasan ini muncul untuk menjawab masalah-masalah keterbatasan ruang terbuka publik yang lahannya sering digunakan PKL untuk berjualan. Adapun kriteria inovasi yang dinilai antara lain kebaruan, dampak, kesetaran, kelayakan secara ekonomi dan finansial, keberlanjutan lingkungan, dapat dialihkan dan kelayakan secara politik. Persepsi mengenai kesetaraan dan keterlibatan pihak yang terkena dampak dalam proses pembinaan menjadi kesepakatan bersama dalam pengambilan keputusan. Penataan PKL ini juga melibatkan berbagai stakeholder dengan kepentingan dan perannya masing-masing dari tingkat atas hingga tingkat bawah. Biaya, pengembangan inovasi baru, dan keberlanjutan dalam program ini masih menjadi hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipikirkan untuk tahap selanjutnya. (3) Pengorganisasian, Pembangunan dan Pengembangan Masyarakat Pedagang Dalam kegiatan ini lebih difokuskan pada pembinaan kepada para PKL mengenai kebersihan, keindahan dan ketertiban (K3). Hal ini dilakukan secara berkelanjutan

dengan membuat berbagai aturan bersama yang difasilitasi oleh pemerintah setempat mengenai aturan-aturan baru dalam mewujudkan K3. Aturan meliputi hal-hal teknis termasuk sanksi-sanksi yang mengikat semua pihak dan menjadi aturan dan komitmen bersama seluruh pelaku PKL. Disamping itu diperlukan pengawasan sebagai bentuk untuk mewujudkan aturan yang telah disepakati. Ada empat bentuk pengawasan yang dipergunakan,yakni pengawasan yang didasarkan kepada bentuknya terbagi atas dua macam, yakni pengawasan melekat dan fungsional. Pengawasan yang didasarkan kepada sifatnya juga terbagi kedalam dua jenis,yakni pengawasan preventif dan represif. Diharapkan dengan pendekatan ini PKL menjadi lebih tertib dan mampu mendukung nilai keindahan kota tanpa harus terjadi penggusuran serta menjadi lebih mandiri dan berkelanjutan dalam menerapkan aturan yang telah disusunnya sendiri dan bukan lagi menjadi permasalahan lagi di kota-kota. Rencana Penataan PKL 1. Relokasi. Pemindahan PKL pada lokasi baru yang strategis dengan tetap mempertimbangkan aspek ekonomi bagi PKL 2. Pengelompokan PKL menurut jenis dagangan, waktu berdagang, luasan, sifat dan lain-lain melalui konsep shelterisasi, tendanisasi dan gerobakisasi 3. Pembinaan dan pengawasan yang berkelanjutan berbasis pedagang 4. Penataan PKL berbasis pemberdayaan masyarakat 5. Pengaturan dan manajemen penataan PKL melalui pengorganisasian, pembangunan dan pengembangan masyarakat Penggusuran/ relokasi buka satu-satunya solusi dalam pentaan PKL, karena PKL juga

manusia heheheperlu diMANUSIAkan secara manusiawi

You might also like