Professional Documents
Culture Documents
(MELANOPLUS CINEREUS)
SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PROTEIN
HEWANI BAGI KESEHATAN MASYARAKAT
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
DENNY CORNELIUS
XI IA 4
SMAN 2 BALIGE
TOBASA
2008/2009
1
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Hormat saya berikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah yang berjudul:“PROSPEK TEPUNG
BELALANG KAYU (MELANOPLUS CINEREUS) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER
PROTEIN HEWANI BAGI KESEHATAN MASYARAKAT" dapat selesai. Oleh karena
itu dengankerendahan hati disampaikan terima kasih kepada:
1. Orang Tua yang memberikan dukungan kepada saya baik dalam materil maupun
moril.
Dalam pembuatan Karya Ilmiah ini saya menemukan beberapa kendala yang berarti,
yaitu:
1. Keterbatasan waktu bereksperimen.
Bapak / Ibu pembaca diharapkan dapat mempergunakan Karya Ilmiah ini untuk
menjadi dasar peningkatan kesehatan masyarakat di daerah masing – masing. Dengan
kerendahan hati saya sebagai penulis menerima kritik dan saran untuk membangun serta
memperbaiki karya tulis ini pada waktu depan.
Kiranya Karya Ilmiah yang berjudul : “PROSPEK TEPUNG BELALANG KAYU
(MELANOPLUS CINEREUS) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PROTEIN
HEWANI BAGI KESEHATAN MASYARAKAT" dapat berguna bagi para pembaca
sekalian.
Tim Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
Bab I
- Latar Belakang Penulisan 3
- Rumusan Masalah 4
- Tujuan Penulisan 5
- Metode Pengumpulan Data 5
- Ruang lingkup Penelitian 5
Bab II
- Keadaan yang diinginkan 6
- Keadaan sekarang 6
BAB III
- Analisis Masalah 7
- Pembahasan Masalah 7
BAB IV
- Populasi Penelitian 19
- Sampel Penelitian 19
- Variabel 19
- Rancangan Penelitian 19
- Teknik Pengambilan Data 20
- Prosedur Penelitian 20
- Analisis Data 22
BAB V
- Deskripsi Data 24
- Hasil Penelitian 24
- Pembahasan Hasil 24
BAB VI
- Kesimpulan 26
- Saran 26
Daftar Pustaka 27 - 28
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
mengkonsumsinya harus dikombinasikan agar bisa saling melengkapi. Perbedaan
kelengkapan itu mengakibatkan ia hanya mampu memelihara jaringan tubuh, sedangkan
protein hewani mampu memelihara jaringan tubuh dan menjamin pertumbuhannya. Protein
hewani sangat penting bagi tubuh dan tidak dapat digantikan seratus persen oleh protein
nabati.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan alternatif penganekaragaman sumber
bahan pangan dari bahan makanan lokal yang mempunyai nilai proteintinggi terutama protein
hewani. Penganekaragaman sumber bahan pangan berprotein yang sudah dikembangkan di
Indonesia adalah pembuatan tepung dari udang. Udang kering mengandung protein 62,4
persen tiap 100 gram. Sedangkan penganekaragaman sumber protein yang sudah
dikembangkan di luar negeri, salah satunya ialah pemanfaatan belalang, baik sebagai lauk
maupun sebagai makanan ringan. Di Indonesia terutama di Kabupaten Gunung Kidul,
belalang yang sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat adalah belalang kayu. Belalang
dikonsumsi masyarakat selain karena mudah didapat atau ada di setiap saat, beraroma khas,
mengandung protein yang tinggi yaitu 62,2 persen tiap 100 gramnya, juga tidak menimbulkan
efek yang beracun atau berbahaya (Sutrisno Kusworo, 2002).
Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan,
karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi
(difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang
serba praktis (Winarno, 2000 dalam Widowati, 2003). Pembuatan tepung belalang diharapkan
dapat meningkatkan nilai gizi khususnya protein hewani pada berbagai produk makanan
olahan tepung.
Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengadakan penelitian dengan judul
"Prospek Tepung Belalang Kayu (Melanoplus cinereus) sebagai Alternatif Sumber Protein
bagi Kesehatan Masyarakat ".
5
1.4 Metode Pengumpulan Data
6
BAB II
KEADAAN YANG DIINGINKAN DAN KEADAAN SEKARANG
7
BAB III
ANALISIS MASALAH DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Masalah
Masalah kesehatan pada masyarakat Indonesia saat ini adalah masalah yang
kompleks karena berhubungan dari berbagai aspek kehidupan yang berperan penting, yaitu
ekonomi masyarakat dan kesadaran akan kesehatan. Maka dari masalah yang ada tersebut
saya berinisiatif untuk melakukan eksperimen ini yang pertama kali saya membaca artikel
tepung Belalang pada suatu situs internet. Didalam makalah ini saya memaparkan secara jelas
tentang tepung belalang ini.
B. Pembahasan Masalah
3.1 Protein
3.1.1 Struktur Protein
Menurut Deman (1997:103) protein merupakan polimer dari sekitar 21 asam amino
yang berlainan disambungkan dengan ikatan peptida. Molekul protein merupakan rantai
panjang yang tersusun oleh matarantai asam-asam amino.
Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karboksil (-COOH)
dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah satunya terletak pada atom C tepat di
sebelah gugus karboksil. Asam-asam amino yang berbeda-beda bersambung melalui ikatan
peptida yaitu ikatan antara gugus karboksil satu asam amino dengan gugus amino dari asam
amino yang disampingnya. Apabila protein murni dianalisis unsur-unsur penyusunnya, maka
akan dapat dilihat penyusun protein sebagai berikut: C = 50 – 55%; O = 20 – 25%; N = 15 –
18%; H = 5 – 7%; S = 0,4 – 2,5%; P = sedikit; Fe = sedikit; Cu = sedikit (Slamet Sudarmadji,
dkk, 1996:121).
Menurut Winarno (2002:65-67) struktur protein dapat dibagi menjadi beberapa
bentuk yaitu:
1) Struktur Primer
Susunan linier asam amino dalam protein merupakan struktur primer. Susunan
tersebut merupakan suatu rangkaian unik dari asam amino yang menentukan sifat dasar dari
berbagai protein, dan secara umum menentukan bentuk struktur sekunder dan tersier.
2) Struktur Sekunder
Bila hanya struktur primer yang ada dalam protein, maka molekul protein tersebut
akan merupakan bentuk yang sangat panjang dan tipis. Struktur tersebut memungkinkan
terjadinya banyak sekali reaksi dengan senyawa yang lain, yang kenyataannya hal tersebut
tidak terjadi di alam. Struktur protein biasanya merupakan polipeptida yang berlipat-lipat,
8
merupakan bentuk tiga dimensi dengan cabang-cabang rantai polipeptidanya tersusun saling
berdekatan. Struktur yang demikian disebut struktur sekunder
NH2
R1 – C – H
C – OH
O
NH2
R2 – C – H –
C – OH
O
Ikatan Peptida Asam Amino I
NH2
R1 – C – H
C
O
NH
R2 – C – H
C
O OH
Ikatan Peptida Asam Amino II
.
3) Struktur Tersier
Bentuk penyusunan bagian terbesar rantai cabang disebut struktur tersier,
artinya adalah susunan dari struktur sekunder yang satu dengan struktur sekunder
bentuk lain.
4) Struktur Kuartener
Struktur primer, sekunder, dan tersier umumnya hanya melibatkan satu rantai
polipeptida. Tetapi bila struktur ini melibatkan beberapa polipeptida dalam membentuk suatu
protein, maka disebut struktur kuartener. Pada umumnya ikatan – ikatan yang terjadi sampai
terbentuknya protein sama dengan ikatan-ikatan yang terjadi pada struktur tersier.
3.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sifat Protein
Menurut Gaman dan Sherrington (1994:92-93), sifat substansi protein
ditentukan oleh strukturnya, karena struktur protein sangat banyak, maka sifatnya pun
juga sangat bervarisasi. Protein dapat mengalami suatu proses denaturasi , yaitu jika struktur
sekundernya berubah tetapi struktur primernya tetap. Bentuk molekulnya mengalami
perubahan, biasanya karena terpecah atau terbentuknya ikatan-ikatan silang tanpa
mengganggu urutan asam aminonya. Proses ini biasanya tidak dapat berlangsung balik
(irreversible), sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan kembali struktur asal protein itu.
9
Denaturasi dapat merubah sifat protein, menjadi lebih sukar larut dan makin kental. Keadaan
ini disebut koagulasi.
Koagulasi protein dipengaruhi berbagai hal, antara lain:
1) Pemanasan
Banyak protein mengkoagulasi jika dipanaskan. Misalnya, jika telur dimasak, protein
dalam bagian putih dan kuning telur mengkoagulasi. Protein
dalam putih telur mengkoagulasi lebih awal pada suhu 600C dan bagian kuning
pada suhu antara 650C dan 680C.
2) Asam
Jika susu menjadi asam, bakteri dalam susu memfermentasi laktosa, menghasilkan
asam laktat. Derajat keasaman susu menurun menyebabkan protein susu, yaitu kasein
mengkoagulasi.
3) Enzim-Enzim
Rennin yang dikenal sebagai rennet adalah enzim yang mengkoagulasi protein.
Rennet digunakan untuk membuat susu kental manis (junket) yaitu susu yang digumpalkan
atau dikoagulasikan. Rennet juga digunakan bersama-sama dengan startar bakteri untuk
membentuk dadih dalam pembuatan keju.
4) Perlakuan Mekanis
Perlakuan mekanis seperti mengocok putih telur menyebabkan terjadinya koagulasi
parsial pada protein. Ini digunakan dalam penyiapan makanan seperti dalam pembuatan
“meringue” (sejenis kembang gula dengan putih telur).
5) Penambahan Garam
Garam-garam tertentu seperti natrium klorida, dapat mengkoagulasi protein. Jika
garam ditambahkan pada air yang digunakan untuk merebus telur, putih telur tidak akan
hilang jika kulit telurnya pecah. Dalam pembuatan keju, garam sering ditambahkan pada
dadih untuk mengeraskan dan juga menekan pertumbuhan mikroorganisme.
10
3) Koordinasi Gerak
Protein merupakan komponen utama dalam otot. Kontraksi otot berlangsung akibat
pergeseran dua jenis filamen protein. Contoh lain adalah pergerakan kromosom pada proses
mitosis dan gerak sperma oleh flagel.
4) Penunjang Mekanis
Ketegangan kulit dan tulang disebabkan oleh adanya kolagen yang merupakan
protein fibrosa.
5) Proteksi Imun
Antibodi merupakan protein yang sangat spesifik dan dapat mengenal serta
berkombinasi dengan benda asing seperti virus, bakteri dan sel yang berasal dari organisme
lain. Protein berperan penting untuk membedakan antara antobodi dan antigen.
6) Membangkitkan dan Menghantar Impuls Saraf
Respons sel saraf terhadap rangsang spesifik diperantarai oleh protein reseptor.
Misalnya rodopsin suatu protein yaitu antibodi terhadap cahaya yang ditemukan pada sel
batang retina. Protein reseptor yang dapat dipicu oleh molekul kecil spesifik seperti
asetilkolin, berperan dalam transmisi impuls saraf pada sinaps yang menghubungkan sel-sel
saraf.
7) Pengaturan Pertumbuhan dan Diferensiasi
Pengaturan urutan ekspersi informasi antibodi sangat penting bagi pertumbuhan yang
beraturan serta diferensiasi sel.
8) Pertumbuhan dan Pemeliharaan
Pertumbuhan dan penambahan otot hanya mungkin bila tersedia cukup campuran
asam amino yang sesuai termasuk untuk pemeliharaan dan perbaikan. Beberapa jenis jaringan
tubuh membutuhkan asam-asam amino tertentu dalam jumlah lebih besar. Rambut, kulit, dan
kuku membutuhkan lebih banyak asam amino yang mengandung sulfur. Protein kolagen
merupakan protein utama otot urat-urat dan jaringan ikat. Fibrin dan antibodi adalah protein
lain yang terdapat di dalam otot-otot.
9) Pembentukan Ikatan-Ikatan Esensial Tubuh
Hormon-hormon seperti tiroid dan insulin adalah protein, demikian pula pada
berbagai enzim. Ikatan-ikatan ini bertindak sebagai katalisator atau membantu perubahan-
perubahan biokimia yang terjadi di dalam tubuh. Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna
merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbon dioksida adalah ikatan protein.
Begitu pula bahan-bahan lain yang berperan dalam penggumpalan darah.
10) Pengatur Keseimbangan Air
Cairan tubuh terdapat di dalam tiga kompartemen yaitu intraselular (di dalam sel),
ekstraselular atau interselular (di antara sel), intravaskular (di dalam pembuluh darah).
Kompartemen-kompartemen ini dipisahkan satu sama lain oleh membran sel. Distribusi
cairan di dalam kompartemen-kompartemen ini harus dijaga dalam keadaan seimbang atau
homeostasis. Keseimbangan ini diperoleh melalui antibodi kompleks yang melibatkan protein
11
dan elektrolit. Penumpukan cairan di dalam jaringan dinamakan oedema dan merupakan
tanda awal kekurangan protein.
11) Pemelihara Netralitas Tubuh
Protein tubuh bertindak sebagai buffer, yaitu bereaksi dengan asam dan basa untuk menjaga
pH pada taraf konstan. Sebagian besar jaringan tubuh berfungsi dalam keadaan pH netral atau
sedikit alkali (pH 7,35 – 7,45).
12) Sumber Energi
Sebagai sumber energi, protein ekivalen dengan karbohidrat, karena menghasilkan 4
Kal/gram protein. Namun, protein sebagai sumber energi relative lebih mahal. Baik dalam
harga maupun dalam jumlah energi yang dibutuhkan untuk metabolisme energi.
12
Tabel 1
Angka Kecukupan Protein yang Dianjurkan (per orang per hari)
Golongan Umur Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm) Protein (g)
1234
Berat Badan Tinggi Badan
Umur (Kg) (Cm) Protein
0 – 6 bulan 5,5 30 12
7 – 12 bulan 8,5 45 15
1 – 3 tahun 12 56 23
4 – 6 tahun 18 62 32
7 – 9 tahun 24 62 37
Pria:
10 – 12 tahun 30 60 45
13 – 15 tahun 45 71 64
16 – 19 tahun 56 160 66
20 – 45 tahun 62 165 55
46 – 59 tahun 62 165 55
60 tahun 62 165 55
Wanita:
10 – 12 tahun 35 140 54
13 – 15 tahun 46 153 62
16 – 19 tahun 50 154 51
20 – 45 tahun 54 156 48
46 – 59 tahun 54 154 48
60 tahun 54 154 48
Hamil
Menyusui:
0 – 6 bulan 60 16
7 – 12 bulan 71 12
Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 1998 dalam Sunita Almatsier
(2001:99)
Tabel 2
13
Bahan Makanan Sumber Protein
Kadar Protein
No. Nama Bahan Makanan (%)
1 Daging ayam 18,2
2 Daging sapi 18,8
3 Telur ayam 12,8
4 Susu sapi segar 3,2
5 Keju 22,8
6 Bandeng 20
7 Udang segar 21
8 Kerang 8
9 Beras tumbuk merah 7,9
10 Beras giling 6,8
11 Kacang hijau 22,2
12 Kedelai basah 30,2
13 Tepung terigu 8,9
14 Jagung kuning (butir) 7,9
15 Pisang ambon 1,2
16 Durian 2,5
Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan 1981 dalam Anna P. (1994:82)
3.1.6 Akibat Kekurangan Protein
Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah.
Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak di
bawah lima tahun (balita). Istilah kwashiorkor pertama diperkenalkan oleh Dr. Cecily
Williams pada tahun 1933 ketika ia menemukan keadaan ini di Ghana, Afrika (Sunita
Almatsier, 2001:101).
Kwashiorkor seringkali dinyatakan sebagai busung lapar atau hongeroedem-HO.
Penderita penyakit ini sangat khas, terutama bagian perut yang buncit. Penyakit yang akhir-
akhir ini telah menghipnotis semua komponen bangsa. Seluruh media massa, baik cetak,
elektronik maupun radio telah menjadikan busung lapar ini sebagai komoditas utamanya
(Dadan Rohdiana:2005).Selama periode Januari hingga Juni 2005, sebanyak 48 anak
penderita gizi buruk meninggal dunia. Secara keseluruhan, pada 2005 ini ada 13.449 kasus
gizi buruk di Jawa Tengah (Jateng), dari kasus gizi buruk ini, yang berhasil disembuhkan baru
3.875 anak. Secara umum, kasus gizi buruk ini dialami warga hampir di setiap kabupaten dan
kota di Jawa Tengah. Kasus gizi buruk paling banyak, dialami penduduk Kabupaten
Grobogan, yakni sebanyak 892 kasus penderita, berikutnya disusul Kabupaten Blora yang
jumlahnya mencapai 859 kasus, Rembang 710 kasus, Wonogiri 622 kasus, dan Pekalongan
yang mencapai 653 kasus, yang paling sedikit di Kota Tegal 29 kasus, Kota Salatiga 39 kasus,
Kota Pemalang 6 kasus, dan Kota Magelang 73 kasus (Siswono:2005).
Tanda-tanda klinis pada penderita kwashiorkor menurut Supariasa, dkk (2002:131)
ialah sebagai berikut:
14
1) Oedem umumnya di seluruh tubuh dan terutama pada kaki.
3) Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan
duduk, anak berbaring terus-menerus
.
4) Perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis.
6) Pembesaran hati.
9) Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam
terkelupas.
Tabel 3
Konversi dari Kadar N menjadi Kadar Protein Berbagai Macam Bahan
No. Bahan Faktor Konversi
15
1 Bir, sirup, biki-bijian, ragi, makanan ternak, 6,25
2 buah-buahan, teh, anggur 5,95
3 Beras 5,7
4 Roti, gandum, makaroni, bakmi 5,46
5 Kacang tanah 5,75
6 Kedelai 5,18
7 Kenari 6,38
8 Susu kental manis 6,38
Slamet Sudarmadji, dkk. (1997:70).
2) Klass : Insecta
3) Ordo : Orthoptera
4) Subordo : Caelifera
5) Superfamili: Acridoidea
6) Famili : Acrididae
7) Subfamili : Cyrtacanthacridinae
8) Genus : Melanoplus
Belalang kayu memiliki wajah tegak atau hampir demikian. Pinggir ekor mengarah
ke belakang dan bersudut di bagian tengah. Sayap panjang mencapai atau melewati abdomen.
3.2.2 Daur Hidup Belalang
Berdasarkan data dari Hasegawa (1996:4-5) belalang mengalami metamorfosis tidak
sempurna, yaitu dari telur menjadi nimpa, dan akhirnya menjadi imago atau belalang dewasa.
Telur belalang kecil, bentuknya seperti pisang, panjangnya + 0,25 cm. Telur yang berwarna
kuning atau coklat akan semakin cerah ketika nimpa tumbuh di dalamnya. Kurang lebih
seminggu, telur akan menetas. Tubuh nimpa yang sedang tumbuh dapat dilihat melalui
dinding telur. Ketika nimpa mencapai permukaan tanah, ia menunggu sampai kaki dan
antenanya mengeras. Ketika nimpa menetas, tubuhnya menyimpan makanan yang cukup
16
sampai mereka dapat mencari makanan sendiri. Nimpa makan secara terusmenerus dan
tumbuh dengan pesat. Akan tetapi, kulit luarnya yang keras (eksoskeleton) tidak ikut tumbuh,
sehingga ia harus membuang kulitnya yang lama. Di bawah kulitnya yang lama terdapat kulit
baru yang lebih besar. Pergantian kulit terjadi seminggu sekali. Nimpa bisa berganti kulit
sampai enam kali sebelum menjadi belalang dewasa (Hasegawa, 1996:6-14). Setelah berganti
kulit yang terakhir, nimpa berubah menjadi belalang dewasa. Belalang membengkokkan
abdomennya dan menarik ovipositornya yang panjang dari kulitnya yang lama. Belalang
dewasa yang baru saja muncul dari kulitnya yang lama merentangkan sayapnya dan memanjat
daun rumput kembali. Seperti nimpa, belalang dewasa juga memakan kulitnya yang lama
(Hasegawa, 1996:20).
3.2.3 Kandungan Gizi Belalang
Kandungan gizi belalang per 100 gram bagian yang dapat dimakan adalah sebagai
berikut:
Tabel 4
Belalan Energi
g (Kal) Air (%) Protein Lemak Karbohidrat
Mentah 17062 26 83 85 5
Kering 4207 62 210 415 8
17
Udang segar terdiri dari cephalothorax yang merupakan 36-49 persen, daging 24-41
persen dan kulit abdominal 17-23 persen. Daging mengandung carotenoid yang cukup tinggi.
Udang mengandung lisin dan histidin rendah, tetapi kaya akan tirosin, triptofan, dan sistin.
3.3.1 Klasifikasi Udang Windu
Menurut IPTEKnet (2005) klasifikasi udang windu ialah sebagai berikut :
1) Klas : Crustacea (binatang berkulit keras)
3) Superordo : Eucarida
7) Genus : Panaeous
2) Limbah pengolahan udang yang berupa jengger (daging di pangkal kepala) dapat
dimanfaatkan untuk membuat pasta udang dan hidrolisat protein.
3) Limbah yang berupa kepala dan kaki udang dapat dibuat tepung udang,
sebagai sumber kolesterol bagi pakan udang budidaya.
4) Limbah yang berupa kulit udang mengandung chitin 25 persen dan di negara
maju sudah dapat dimanfaatkan dalam industri farmasi, kosmetik, bioteknologi, tekstil, kertas,
pangan, dan lain-lain.
18
dengan sifatnya yang tidak mudah larut dalam air.
BAB IV
19
METODE PENELITIAN
4.1 Populasi Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2002:79) populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian
atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah tepung belalang kayu dan tepung
udang windu yang dibuat dengan cara yang sama.
4.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2002:79). Sampel dalam penelitian
ini tepung belalang kayu (Melanoplus cinereus) dan tepung udang windu (Panaeneous
monodon). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah random sampling. Hal ini
berarti setiap populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel.
Besar sampel yang diambil yaitu 10 kelompok tepung belalang kayu dan 10 kelompok tepung
udang windu yang masing-masing sebanyak satu gram, hal ini dikarenakan besar sampel yang
diperlukan untuk setiap pengambilan data dengan metode Kjeldahl adalah satu gram.
4.3 Variabel
20
Data yang diambil berupa data primer yang diperoleh dari sampel secara langsung,
yaitu kadar protein tepung belalang kayu dan kadar protein tepung udang windu yang diukur
dengan metode Kjeldahl.
2) Udang windu 1 kg
3) H2SO4 pekat 25 ml
4) H2SO4 26,3% 50 ml
5) KHSO4 1 g
6) CuSO4 3 g
8) NaOH 0,1 N
9) Metil orange.
2) Panci
4) Kompor
6) Ayakan tepung
7) Cawan
8) Timbangan analitik
9) Oven listrik
21
Pembuatan tepung belalang kayu dan tepung udang windu dilakukan di Laboratorium
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang pada
tanggal 13-16 Oktober 2005. Cara pembuatan tepung belalang kayu dan tepung udang windu
adalah sama, yaitu melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1) Tahap Pembersihan
Pada tahap ini belalang kayu dibersihkan dengan cara membuang sungut, sayap, dan
kotorannya, sedangkan udang windu dibersihkan dengan cara memisahkan cangkang dari
bagian daging, kemudian udang windu dikupas dan dibuang sungutnya, yang diambil hanya
bagian daging udang windu. Setelah dibersihkan belalang kayu dan udang windu dicuci
dengan air bersih.
2) Tahap Perebusan
Belalang kayu dan udang windu yang sudah bersih kemudian direbus. Perebusan
dilakukan selama 10 menit.
3) Tahap Pengeringan
Setelah direbus belalang kayu dan udang windu ditiriskan, kemudian dikeringkan.
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering oven listrik selama 6 jam dengan
suhu pengeringan 600C.
4) Tahap Penggilingan
Belalang kayu dan udang windu yang sudah kering, digiling sampai halus dengan
menggunakan blender.
5) Tahap Pengayakan
Belalang kayu dan udang windu yang sudah digiling, kemudian diayak dengan
ayakan tepung dengan ukuran 114 mash.
6) Tahap Penyimpanan
Tepung belalang kayu dan udang windu yang sudah halus disimpan dengan kemasan
plastik dan ditutup rapat.
22
2) Tambahkan 1 g K2SO4, 3 g CuSO4, dan 25 ml H2SO4 pekat, kemudian
dipanaskan sampai larutan berwarna jernih.
5) Kemudian titrasi 10 ml destilat dengan NaOH 0,1 N dan metil merah sampai
terjadi perubahan warna menjadi orange, kemudian dilakukan penetapan
blanko.
23
hipotesis nol, Lo dibandingkan dengan nilai kritis L untuk taraf nyata yang dipilih.
Kriterianya adalah tolak hipotesis nol bahwa populasi berdistribusi normal jika Lo yang
diperoleh dari data pengamatan melebihi L dari daftar, dalam hal lainnya hipotesis nol
diterima (Sudjana, 1996:466-467).
4.9.2 Uji Kesamaan Dua Varians
Populasi-populasi dengan varians yang sama besar dinamakan populasi dengan
varians yang homogen. Uji kesamaan varians dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
F = Ho ditolak hanya jika F > F ½ ( v1,v2) dengan F ½ ( v1,v2) didapat daftar
distribusi F dengan peluang ½ , sedangkan derajat kebebasan v1 dan v2 masing-masing
sesuai dengan dk pembilang dan penyebut dalam rumus, dengan = taraf nyata (Sudjana,
1996:250). varians terbesar varians terkecil
4.9.3 Analisis Perbedaan Kandungan Protein
Pengujian perbedaan kandungan protein menggunakan uji t, dengan rumus sebagai
berikut:
Simpulan uji tersebut dapat ditentukan, bila t hitung lebih kecil dari tabel pada taraf
signifikansi 5% berarti pengujian signifikan sehingga hasil tersebut berarti Ha dalam
penelitian ini diterima dan Ho ditolak, bila t hitung lebih besar dari t tabel pada taraf
signifikansi 5% berarti pengujian tidak signifikan sehingga hasil tersebut berarti Ha dalam
penelitian ini ditolak dan Ho diterima (Agresti, 1999:222-223).
M1 – M2
(x1 – x1)2 + (x2 – x2)2
t = n1 + n2 – 2
24
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
25
kualitas protein kurang baik maka kuantitas kadar protein yang besar menjadi kurang berarti
karena sulit dicerna oleh tubuh.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan varians sampel tidak homogen, hal ini dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain ialah bahan yang diolah, peralatan yang
digunakan, proses pembuatan tepung, ataupun proses uji kadar protein. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah belalang kayu dalam keadaan masih hidup dan udang
windu dalam keadaan hidup dan segar juga. Bahan yang diolah dalam penelitian dalam
kualitas baik, sehingga kadar protein belalang dan udang dalam keadaan sesungguhnya.
Sedangkan peralatan yang digunakan ialah peralatan yang masih layak digunakan dan dalam
keadaan bersih. Proses pembuatan tepung dapat berpengaruh terhadap kadar protein, yang
pertama tahap pembersihan, pada tahap ini tidak berpengaruh terhadap kadar protein. Tahap
kedua ialah perebusan, pada tahap ini bahan direbus dalam air mendidih selama 10 menit,
proses ini dapat menurunkan kadar protein, karena sifat protein yang mengkoagulasi bila
dipanaskan. Tahap ketiga adalah pengeringan, tahap ini juga dapat menurunkan kadar protein
dalam tepung belalang maupun tepung udang karena proses pemanasan. Tahap keempat yaitu
penggilingan, pada proses penggilingan molekul protein dihancurkan, hal ini dapat
menurunkan kadar protein juga. Tahap kelima ialah pengayakan, pengayakan dilakukan untuk
mendapatkan tepung yang homogen kehalusannya,sehingga proses ini juga tidak berpengaruh
terhadap kadar protein.
Tahap yang terakhir adalah penyimpanan, proses ini tidak berpengaruh terhadap
kadar protein karena sampel dalam penelitian ini langsung diuji setelah proses pembuatan
tepung dilakukan. Prospek pemanfaatan belalang kayu sebagai sumber protein hewani bagi
masyarakat terbuka luas. Kebutuhan konsumsi belalang kayu bisa ditingkatkan dengan
kampanye penyadaran, sedangkan sediaan belalang kayu di alam masih sangat besar dan
biaya investasi yang diperlukan relatif kecil. Pada kondisi krisis ekonomi seperti saat ini,
mengkonsumsi belalang kayu merupakan salah satu alternatif yang baik. Persoalannya, masih
banyak warga masyarakat yang belum terbiasa melakukannya. Penduduk pada beberapa
daerah mengkonsumsi belalang kayu, namun tidak populer di daerah lain meski justru
terdapat belalang kayu di daerah tersebut. Maka perlu memasyarakatkan cara memasaknya
untuk mendapatkan cita rasa yang nikmat. Dari sudut pandang agama, mengkonsumsi
belalang bukanlah suatu hal yang diharamkan.
Konsumsi belalang kayu dapat meningkatkan asupan protein hewani yang bermanfaat
bagi kesehatan masyarakat, sehingga kasus kekurangan protein pada masyarakat terutama
masyarakat ekonomi lemah dapat dihindari.
26
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang saya ambil adalah tepung belalang dapat digunakan untuk
memenuhi asupan gizi. Tepung ini mempunyai tingkat atau kadar protein yang hampir sama
dengan kadar protein dari tepung Udang Windu yang di mana mempunyai harga lebih mahal
daripada harga tepung Belalang. Tepung Belalang ini selain murah juga mudah di temui pada
kebun rumah kita masing – masing.
B. Saran
Saya menyarankan bagi para pembaca untuk mempublikasikan hal ini kepada
masyarakat agar dapat tersosialisasi dengan baik. Sehingga masyarakat Indonesia dapat
mengutip materi ini dan berusaha untuk terlepas dari masalah kesehatan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Agresti, Alan. 1999. Statistical Methods for Social Sciences. 3th. Ed. New Jersey:
Prontice Hall Inc Upper Saddle River.
Anna Poedjiadi. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.
Borror, triplehorn, dan Johnson. 1992. Serangga. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Dadan Rohdiana. 2005. Perut Membulat, Nestapa Menerpa. Sayas, 23 Juni 2005.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605//cakrawala/penelitian.htm
Deman, M. john. 1997. Kimia Makanan. Bandung: ITB.
Elvy Syukriyati Muchtar. 2000. Substitusi Tepung Udang dalam Pembuatan
Prawn Stick dari Tepung Kasava. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Gaman dan Sherrington. 1994. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikro Biologi. Edisi II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hardinsyah dan Briawan. 2000. Daftar Kandungan Zat Gizi Bahan Makanan.
Bogor: Fakultas Pertanian-IPB.
Hasegawa. 1996. Belalang. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
http://www.exhibits.pacsci.org/metamorphosis.html. Diakses 20 Desember 2005.
http://www.mun.ca/biology/scarr/Arthropoda.htm. Diakses 20 Desember 2005.
IPTEKnet. 2005. Budidaya Udang Windu. 31 Juli 2005. http://www.iptek.net.
PdPersi. 2005. Kiat Mencegah Anak Terkena Busung Lapar. 10 Juni 2005.
http://www.pdpersi.co.id.
Siswono. 2005. 48 Anak Kekurangan Gizi di Jawa Tengah Meninggal Dunia.
http://www.mediaindo.co.id/
Slamet Sudarmajdi, Bambang Haryono, dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty yogyakarta.
Soekidjo Notoatmojo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
50
51
Stryer, Lubert. 2000. Biokimia. Volume 1. Alih bahasa: Mohamad Sodikin, dkk.
Jakarta: EGC.
Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Bandung: Transito.
Sunita Almatsier. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Supariasa, Bachyar Bakri, dan Ibnu Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
28
Sutrisno Koswara. 2002. Serangga sebagai Bahan Makanan. Senin 8 April 2002.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0204/08/iptek/SERA29.htm.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Widowati. 2003. Prospek Tepung Sukun sebagai Produk Makanan Olahan dalam
Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan. http://www.rudyct.tripod.com/
pps702 _71034/ papers71034.htm.
Winarno, FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
utama.
29
30