You are on page 1of 18

Buletin Ristek Balitbangda Jawa Barat, vol 1, no 1, 2002

KARAKTERISASI USAHATANI SAYURAN ORGANIK DI JAWA


BARAT: STATUS DAN PROSPEK
Witono Adiyoga
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung-40391

ABSTRAK. Adiyoga, W. Karakterisasi usahatani sayuran organik di Jawa Barat: Status dan prospek.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi sistem produksi sayuran organik (existing organic vegetable
production system) di Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapang dan wawancara intensif
dengan beberapa responden, yaitu Pertanian Organik Terpadu Tidusaniy (Yayasan Bakti Dua Insan Waliyyulloh),
Perintis Pertanian Organik Cisarua (Yayasan Bina Sarana Bhakti) dan Pertanian Organik Wieke Lorentz
(Lembang), yang terpilih atas rekomendasi Jaringan Kerja Pertanian Organik Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketiga usahatani secara konsisten melakukan daur ulang hara pada bahan-bahan organik,
rotasi tanaman, polikultur, pengolahan tanah minimal serta menghindarkan penggunaan material kimiawi, baik
berupa pupuk maupun pestisida. Beberapa hal yang menjadi perhatian utama bagi produsen sehubungan
dengan kesuburan tanah adalah: membangun dan memelihara ketersediaan bahan organik dalam tanah,
mengembangkan aktivitas biologis tanah, serta memelihara keremahan tanah. Sementara itu, berkaitan dengan
proteksi tanaman, prioritas perhatian produsen secara berturut-turut adalah: (a) pengendalian gulma, (b)
pengendalian hama, dan (c) pengendalian penyakit. Hasil observasi di ketiga usahatani organik secara umum
memberikan gambaran bahwa status pertanian organik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup
baik, walaupun kontribusinya terhadap produksi total sayuran relatif masih kecil (diperkirakan masih < 1%).
Prospek pengembangan sayuran organik juga cenderung menjanjikan, sebagaimana diindikasikan oleh masih
banyaknya permintaan yang belum dapat dipenuhi karena adanya keterbatasan pasokan. Berkaitan dengan
sistem produksi sayuran organik, beberapa hal yang diidentifikasi memerlukan dukungan penelitian adalah: (a)
pengelolaan gulma, (b) perencanaan usahatani dan perancangan integrasi ekosistem, (c) pengelolaan kesuburan
organik terapan, dan (d) kualitas nutrisi dalam hubungannya dengan kultur praktis

Kata kunci: Usahatani organik; Daur ulang hara; Bebas material kimiawi, Pengendalian gulma

ABSTRACT. Adiyoga, W. dan M. Ameriana. Characterization of vegetable organic farms in West Java:
Status and prospect. The objective of this study was to characterize organic farms or existing organic vegetable
production system in West Java. Data were collected through field observations and intensive interviews with three
organic farms. Those were Tidusaniy Integrated Organic Farming (Yayasan Bakti Dua Insan Waliyyulloh), Cisarua
Pioneer Organic Farming (Yayasan Bina Sarana Bhakti) dan Wieke Lorentz Organic Farm (Lembang), selected
based on the recommendation from the Indonesian Organic Farming Network. Results show that those farms
consistently implement organic nutrient recycling, crop rotation, multiple cropping, minimum tillage, and avoid the
use of chemical fertilizers and pesticides. Issues of greatest concern on soil fertility are building and maintaining
organic matter levels, developing soil biological activity, and reducing soil compaction. Meanwhile, issues of
greatest concern on plant protection are weed management, pest management and disease management,
respectively. Characterization shows that the status of vegetable organic farms in Indonesia is still in the stage of
development as reflected by a relatively small contribution to the total vegetable supply (it is estimated less than
1%). The prospect of organic farming in Indonesia is quite promising, as indicated by increasing demand that
could not be fulfiled, because of supply shortage. With regard to the vegetable organic production system, some
areas that have been identified of requiring research support are: (a) weed management, (b) whole farm planning
design and ecosystem integration, (c) applied organic fertility management, and (d) nutritional quality in
relationships to growing practices.

Key words: Organic farming; Nutrient recycle; Free chemical material; Weed management.

1
Selama periode 1970'an, fokus kebijaksanaan pembangunan pertanian diarahkan
pada upaya peningkatan produksi, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai swa-
sembada pangan. Kebijaksanaan tersebut bertumpu pada paradigma revolusi hijau yang
mengandalkan intensifikasi penggunaan input moderen. Berbagai perubahan sebagai dampak
kebijaksanaan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan beberapa pengaruh positif
(terutama peningkatan produktivitas) serta mengurangi risiko usahatani (Ranaweera et al.,
1993). Namun demikian, di dalam perkembangannya, perubahan-perubahan di atas ternyata
mengandung biaya eksternal yang sangat signifikan berkaitan dengan aspek keberlanjutan
usahatani (masalah generasi kedua revolusi hijau). Biaya eksternal tersebut diantaranya
adalah semakin menipisnya lapisan atas tanah (topsoil), terkontaminasinya air tanah, semakin
meningkatnya biaya produksi per unit, semakin tingginya ketergantungan petani terhadap
input eksternal, dan kecenderungan semakin menurunnya keaneka-ragam hayati (Lynam &
Herdt, 1989; Waibel and Setboonsarng, 1993).
Memasuki periode tahun 2000, kebijaksanaan pembangunan pertanian diarahkan untuk
mencapai ketahanan pangan berkelanjutan melalui pendekatan pengembangan sistem
agribisnis. Sebagaimana dirumuskan oleh Kantor Menko Ekuin dan PSP, LP-IPB (2000), sistem
agribisnis terdiri dari empat sub-sistem (agribisnis hulu, pertanian primer, agribisnis hilir dan
lembaga jasa) yang terintegrasi secara fungsional. Pengembangan sistem agribisnis tersebut
kemudian dikonsepsikan sebagai suatu proses perubahan dengan tahapan: (a) agribisnis
berbasis sumberdaya, (b) agribisnis berbasis investasi dan (c) agribisnis berbasis inovasi.
Pendekatan sistem ini juga disertai dengan visi masa depan pertanian yang didukung oleh
teknologi tinggi, bioteknologi dan teknologi informasi. Sasaran dari pendekatan sistem serta
berbagai perangkat pendukung di atas pada dasarnya adalah untuk melakukan spesialisasi,
mekanisasi, pemisahan, pentahapan serta pengendalian seluruh proses produksi yang
mengarah pada industrialisasi pertanian. Dengan demikian, integrasi vertikal dari fungsi-fungsi
produksi, prosesing dan distribusi diperkirakan akan semakin meningkat -- perluasan cakupan
kegiatan mulai dari perancangan plasma nutfah sampai pembentukan preferensi konsumen --
yang disertai pula dengan semakin meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi biologis
dan teknologi informasi pada semua tingkatan di dalam sistem pertanian (Ikerd, 1997).
Melalui pendekatan ini dimungkinkan tercapainya sistem pertanian yang lebih efisien --
populasi petani yang cenderung semakin menurun, tetapi mampu menjamin ketahanan
pangan lebih banyak orang dengan kualitas yang lebih baik dan biaya yang lebih rendah.
Namun demikian, perlu dicermati pula bahwa kebijakan di atas memiliki peluang kegagalan
yang cukup tinggi, terutama jika dikaitkan dengan kondisi sektor pertanian yang sedang
mengalami masalah generasi kedua revolusi hijau. Pengalaman di negara maju menunjukkan
bahwa industrialisasi pertanian dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya degradasi
lingkungan dan pengurasan basis sumberdaya alam. Pupuk buatan dan pestisida komersial
yang merupakan elemen esensial dalam industrialisasi pertanian telah menjadi fokus
perhatian berkaitan dengan peranannya sebagai salah satu sumber utama polusi lingkungan.
Mengacu pada uraian di atas, pengembangan sistem agribisnis sebagai strategi
utama pembangunan pertanian perlu pula didukung oleh komitmen yang tinggi untuk
mewujudkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Dalam konteks ini, pertanian
berkelanjutan berperan sebagai suatu paradigma yang digunakan untuk acuan dalam
perencanaan atau pengambilan keputusan. Elemen-elemen esensial dalam pertanian
berkelanjutan adalah: (a) perlindungan terhadap sistem ekologis, (b) pemerataan atau
keadilan antar generasi, dan (c) efisiensi penggunaan sumberdaya (Dunlap et al., 1992;
Bosshard, 2000). Ketiga elemen tersebut merupakan isu-isu terpisah yang tidak dapat
dikombinasikan secara sederhana dan masih menjadi bahan diskusi hangat, terutama
menyangkut indikator-indikator pengukurannya (Andreoli and Tellarini, 2000; Steiner, et al.,

2
2000, Lefroy, et al., 2000; Sands and Podmore, 2000). Terlepas dari tantangan kesulitan
pengukuran tersebut, tampaknya sudah menjadi kesepakatan umum bahwa setiap elemen di
atas tetap harus dipertimbangkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan
kebijakan pembangunan pertanian (Pannell and Schilizzi, 1999; Clemetsen and Laar, 2000;
Kniper, 2000).
Produksi intensif dan permintaan sayuran sepanjang tahun, selain dihadapkan pada
masalah konversi lahan produktif yang berjalan cepat (akibat kebutuhan non-pertanian yang
secara sosio-ekonomis dianggap lebih mendesak, misalnya perumahan dan industri), juga
menghadapi masalah-masalah lain meliputi polusi air tanah (akibat penggunaan material kimiawi
berlebih dan tidak tertatanya sistem drainase), penurunan produktivitas lahan (akibat
pengelolaan lahan yang cenderung eksploitatif, tanpa memperhatikan upaya reklamasi),
tingginya tingkat residu (akibat penggunaan pestisida kimiawi yang cenderung berlebih),
rendahnya kualitas produk dan tingginya kehilangan hasil lepas panen (akibat kurang
diperhatikannya proses penanganan produk dan serangan/eksplosi hama penyakit sebagai
konsekuensi terganggunya keseimbangan ekologis) (Jansen et al., 1994). Berbagai masalah ini
pada dasarnya merupakan indikasi bahwa sistem usahatani sayuran diduga semakin menjauhi
alur model pengembangan berkelanjutan. Salah satu bentuk sistem produksi yang sejalan
dengan prinsip pertanian berkelanjutan adalah pertanian organik. Pertanian organik
dikembangkan berdasarkan sejumlah prinsip dan gagasan yang diarahkan untuk: (a)
mendorong interaksi konstruktif antara metode produksi dengan sistem dan daur ulang alami,
(b) mendorong dan meningkatkan daur ulang biologis dalam sistem usahatani yang
melibatkan mikro organisme, flora dan fauna tanah, tanaman dan hewan, (c) memelihara dan
meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, (d) memelihara keaneka-ragaman
hayati yang terdapat di dalam sistem produksi, termasuk habitat tanaman dan hewan, (e)
menggunakan seoptimal mungkin sumberdaya dapat diperbaharui yang berasal dari sistem
usahatani itu sendiri, (f) meminimalkan segala bentuk polusi yang mungkin timbul dari kegiatan
usahatani, (g) mempromosikan penggunaan dan pemeliharaan air secara tepat dan sehat, dan
(I) mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usahatani terhadap kondisi sosial
dan ekologis (Ikerd, 1999; Benbrook, 1998; Fairweather, 1999).
Walaupun masih berada pada skala industri kecil, pertanian organik mulai tumbuh
cukup pesat sebagai salah satu alternatif sistem produksi. Sebagai contoh, di beberapa
negara maju, pertanian organik telah menunjukkan kontribusi cukup signifikan terhadap sistem
pangan yang berlaku (10% di Austria, 7,8% di Switzerland), sedangkan di negara-negara
lainnya tumbuh di atas 20% per tahun (Germany, Italy, USA, France, Japan, Singapore)
(IFOAM, 1999). Beberapa negara berkembang juga mulai memiliki pasar domestik untuk
produk organik (Egypt) dan mulai mengembangkan produk organik untuk ekspor (kopi dari
Mexico, kapas dari Uganda). Pada umumnya produk organik dijual pada tingkat premium yang
cukup tinggi. Produk organik dapat dihargai 20% lebih tinggi dibandingkan dengan harga
produk serupa yang bersifat non-organik (Lohr, 1998, Thompson, 1998). Namun demikian,
profitabilitas dari usahatani organik sebenarnya sangat bervariasi, dan studi yang mempelajari
potensi jangka panjang dari premium tinggi tersebut masih sangat terbatas. Informasi serupa,
khususnya menyangkut usahatani sayuran organik di Indonesia juga masih terbatas.
Mengacu pada pertimbangan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi sistem
produksi organik sayuran yang berkembang (existing organic vegetable production system),
khususnya di Jawa Barat.

3
METODOLOGI PENELITIAN

 Dalam konteks penelitian ini, pertanian organik didefinisikan sebagai suatu sistem
pengelolaan produksi holistik yang mempromosikan dan mendorong terciptanya
keberlanjutan agroekosistem, termasuk di dalamnya keaneka-ragaman hayati/
biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologis. Sistem ini tidak menggunakan bahan-
bahan sintetis, tetapi mengupayakan optimalisasi pemanfaatan metode-metode
agronomis, biologis dan mekanis untuk memenuhi atau menjalankan setiap fungsi-fungsi
spesifik di dalam sistem. Dengan demikian, terminologi "organik" bukan merupakan
product claim, tetapi lebih bersifat process claim.
 Identifikasi kegiatan pertanian organik, khususnya untuk usahatani sayuran, dilakukan di
Jawa Barat pada bulan Oktober 1999 - Januari 2000. Penelusuran melalui lembaga
swadaya masyarakat menghasilkan informasi menyangkut keberadaan Jaringan Kerja
Pertanian Organik Indonesia (JAKER PO) yang merupakan anggota dari IFOAM
(International Federation of Organic Agriculture Movement). Menimbang cakupan
penelitian yang akan dilaksanakan (terutama menyangkut usahatani sayuran), JAKER PO
merekomendasikan dua yayasan (Tidusaniy-Ciwidey dan Bina Sarana Bhakti-Cisarua)
serta seorang organic grower (Wieke Lorentz-Lembang) yang dianggap dapat membe-
rikan gambaran umum menyangkut perkembangan usahatani sayuran organik di
Indonesia, khususnya di Jawa Barat.
 Disamping observasi lapangan, wawancara intensif dilakukan dengan setiap responden
(manajer) mengacu pada panduan pertanyaan (guide question) yang sebagian besar
bersifat terbuka (open-ended question) dan kualitatif. Pada umumnya, pertanyaan yang
diajukan cenderung bersifat eksploratif berdasarkan sekuen penyiapan lahan, penanam-
an, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama penyakit, panen dan pasca panen,
pembibitan dan pemasaran. Oleh karena cakupan penelitian yang cukup mendetil, setiap
responden rata-rata dikunjungi sebanyak tiga kali.
 Karakterisasi usahatani organik dilakukan dengan menggunakan parameter-parameter
yang merupakan modifikasi dan adaptasi dari klasifikasi usahatani konvensional vs.
organik yang dikembangkan oleh PPPG Pertanian Cianjur (1999) serta strategi
pengelolaan budidaya organik yang dikembangkan oleh Organic Farming Research
Foundation (1997). Hal ini dilakukan karena sampai saat ini belum ada standar baku
maupun sertifikasi usahatani organik di Indonesia. Berdasarkan wawancara dan
pengamatan langsung di lapangan, skoring untuk setiap parameter ditentukan mengikuti
tiga-skala skor yang menggambarkan konsistensi usahatani bersangkutan dalam
melaksanakan prinsip-prinsip usahatani organik, yaitu: 1(√) cukup konsisten, 2 (√√)
konsisten, dan 3 (√√√) sangat konsisten.
 Data dan informasi yang terhimpun kemudian secara kualitatif disintesis untuk
memperoleh gambaran menyangkut karakterisasi sistem produksi sayuran organik serta
formulasi alternatif kemungkinan pengembangan selanjutnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejalan dengan kesadaran yang semakin meningkat sehubungan dengan perlunya


upaya pelestarian lingkungan, gerakan yang berorientasi pertanian berkelanjutan cenderung
semakin mendapat dukungan, walaupun terkadang masih sekedar bersifat retorik. Pertanian

4
berkelanjutan tidak hanya menaruh perhatian terhadap masalah-masalah lingkungan dan
sosial, tetapi juga menawarkan kesempatan-kesempatan usaha yang inovatif dan layak secara
finansial, bagi produsen maupun konsumen. Salah satu pendekatan sistem produksi yang
sejalan dengan konsepsi pertanian berkelanjutan adalah pertanian organik. Sebenarnya
berbagai teknik yang digunakan dalam pertanian organik, misalnya tumpangsari, pemulsaan,
integrasi tanaman dan ternak, juga dilakukan pada sistem produksi lainnya. Namun demikian,
salah satu karakteristik unik dari pertanian organik adalah tidak digunakannya pestisida
kimiawi serta pupuk anorganik di dalam aktivitas produksi. Jika dikelola secara benar,
pertanian organik dapat mengurangi, bahkan menghilangkan polusi air, serta melestarikan air
dan lahan pertanian.

A. Pertanian Organik Terpadu Tidusaniy (Yayasan Bakti Dua Insan Waliyyulloh)

Lokasi Pertanian Organik Tidusaniy adalah di Desa Sukawening, Kecamatan Ciwidey,


ketinggian rata-rata 1200 m dpl, dan waktu tempuh 1,5-2 jam dari kota Bandung. Usahatani
ini mengusahakan sekitar 3 hektar lahan, yang terdiri dari 2 hektar untuk pengusahaan
sayuran dan peternakan terpadu, dan 1 hektar untuk hutan bambu.

Penyiapan lahan/pengolahan tanah

Pengolahan lahan dilaksanakan dengan sistim pengolahan lahan minimal, yang ditujukan agar
struktur tanah tidak rusak. Kedalaman olah + 30 cm, tidak menggunakan pacul, tetapi dengan
alat gacok/garpu. Lahan olah dibagi menjadi bedengan-bedengan, dengan lebar 1 m, panjang 10
m, tinggi bedengan + 20 cm dan sedikit lebih tinggi untuk musim penghujan, serta jarak antar
bedengan 0.5 m. Untuk menghindari erosi, bagian pinggir bedeng ditanami rumput pahit atau
rumut madu dan secara periodik rumput dipotong untuk kompos atau pakan ternak. Sementara
itu, kelembaban bedengan dijaga melalui penggunaan penutup tanah dari limbah organik.
Urutan kerja pengolahan lahan adalah sebagai berikut: (1) pematokan lahan untuk bedengan
dengan ukuran lebar 1 m dan panjang 10 m, (2) jarak antar bedengan 0.5 m, (3) rumput
dibersihkan, (4) rumput dikumpulkan untuk bahan kompos, (5) tanah digarpu, (6) tanah
dihaluskan dengan menggunakan gacok, (7) dibuat lubang tanam untuk tanaman yang
menggunakan bumbunan atau dibuat garitan untuk tanaman yang tidak menggunakan
bumbunan. Untuk tanah cadas/kurang subur, pengolahan tanah dilakukan dengan menggali
sedalam + 60 cm dan menukar/membalikkan lapisan olah tanah, yaitu tanah atas disimpan
dibawah dan tanah bawah disimpan diatas.

Penanaman

Lubang tanam yang telah disiapkan pada tahapan pengolahan tanah diisi dengan pupuk
organik. Lubang tersebut dibiarkan terbuka selama 1 minggu jika pupuknya belum terlalu
matang, atau dibiarkan selama 3 hari untuk pupuk yang telah matang. Untuk tanaman yang
menggunakan bumbunan, penanaman langsung dilakukan diatas pupuk kandang. Sementara
itu, untuk tanaman yang tidak menggunakan bumbunan, benih disebar diatas garitan dan
selanjutnya ditutup dengan pupuk kandang yang sudah matang.
Sistem produksi organik Tidusaniy paling tidak pernah mencoba dan sedang
mengembangkan kurang lebih 50 jenis tanaman yang secara sederhana diklasifikasikan sebagai
berikut :

5
No Kategori Tanaman
(Category) (Crop)
1. Tanaman akar Wortel, bit, lobak, empon-empon (laja/laos, jahe dll)
2. Tanaman kubis-kubisan Pecai, caisin, choy putih, kubis bulat, kubis tunas
3. Tanaman sayuran buah Jagung (baby corn, sweet corn), cabai, tomat, terung, labu siam,
oyong, baligo, labu besar

4. Tanaman kacang-kacangan Kacang panjang, kacang kapri, buncis putih, buncis hitam, kacang
tanah, kacang merah (perdu dan rambat)
5. Tanaman keras Mangga, jeruk, nangka, jambu
6. Tanaman sayuran daun Bayam merah, bayam hijau, kangkung darat potong, selada merah,
selada hijau, siong bak, peterseli
7. Tanaman pakan ternak Ubi jalar, rumput gajah
8. Tanaman pengusir OPT Bawang-bawangan, sintek, kacang babi, kenikir, kemangi
9. Tanaman perangkap OPT Tanaman bunga-bungaan yang berwarna merah dan kuning (bunga
matahari, jamur kotok )
10. Tanaman bunga-bungaan Bunga gerbera, bunga anggrek, bunga gladiul
11. Tanaman pupuk hijau Crotalaria, kacang-kacangan
12. Tanaman obat Katuk, ginseng, jawer kotok, kirinyuh, peppermint, babadotan

Keputusan dalam memilih jenis tanaman terutama didasarkan pada prediksi keadaan
musim. Untuk satu musim, rata-rata jenis sayuran/tanaman yang diusahakan berkisar antara 15-
20 jenis. Sebagai contoh, pada musim hujan jenis tanaman yang biasanya dikembangkan adalah
tanaman sayuran daun, seperti: kubis, pakcoy, sosin dan petsay. Untuk musim peralihan atau
kemarau biasanya dipilih tanaman sayuran buah, seperti: tomat, kapri, terung dll. Sementara itu,
tanaman umbi-umbian, seperti wortel dan lobak, dapat ditanam setiap saat. Jenis sayuran yang
permintaannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sayuran lain, diantaranya adalah
bayam, selada, pecai, wortel, kacang buncis, dan jagung.
Sistim pertanaman yang digunakan adalah sistim intercropping, sequential cropping,
alley cropping dan companion planting. Pertanaman dalam satu bedeng terdiri dari minimal 2
jenis tanaman. Tanaman bertajuk tinggi (tanaman sayuran buah) biasanya ditanam dibagian
tengah bedeng, sedangkan tanaman bertajuk rendah ditanam dipinggir bedeng. Jarak tanam
untuk tanaman bertajuk tinggi 50-60 cm, sedangkan untuk tanaman bertajuk rendah 5 - 50 cm
tergantung jenis tanaman. Sistem rotasi yang dilakukan mengikuti urutan sebagai berikut: legume
crop - leaf crop - fruit crop - root crop - legume crop. Penyulaman dilakukan pada pertanaman
yang ditanam dalam bentuk semaian (misalnya, tomat, kubis dll.), sedangkan penjarangan
dilakukan pada tanaman yang ditanam dalam bentuk benih/biji (misalnya, wortel). Penyulaman
maupun penjarangan biasanya dilakukan setelah tanaman berumur 2 - 4 minggu. Beberapa hal
lain yang menjadi pertimbangan dalam menentukan kombinasi jenis tanaman tumpangsari
adalah: (a) penyinaran/pemerataan cahaya, (b) perakaran tanaman, dan (c) faktor ekonomis.

Penyiangan

Berdasarkan luasan lahan yang diusahakan, penyiangan dilakukan sepuluh hari sekali.
Lahan usaha dibagi menjadi sepuluh bagian dan penyiangan dimulai dari bagian pertama,
berurut sampai bagian kesepuluh, kemudian penyiangan berikutnya kembali lagi ke bagian

6
pertama. Sebagian limbah penyiangan yang layak dikonsumsi hewan dimanfaatkan untuk pakan
ternak. Sementara itu, limbah yang tidak layak untuk pakan ternak ditumpuk dipinggir kebun
sampai membusuk dan matang. Limbah tersebut selanjutnya digunakan sebagai pupuk serasah
atau ditimbun dalam lubang tanah dicampur dengan pupuk kandang menjadi bahan kompos.

Pemupukan

Pupuk yang digunakan adalah pupuk serasah, yaitu limbah pertanian/gulma yang tidak
termanfaatkan untuk pakan ternak, pupuk kompos (campuran serasah/limbah dengan pupuk
kandang) dan pupuk kandang. Semua jenis pupuk tersebut dihasilkan dari kebun dan/atau
ternak sendiri. Rata-rata dosis penggunaan pupuk + 20 ton per ha. Pupuk diberikan sepanjang
garitan bedengan, setelah benih/biji disebar (bayam, wortel, dll.), atau diletakkan pada lubang
tanam untuk tanaman yang harus dibumbun terlebih dahulu (kubis, tomat, petsay, dll.). Untuk
tanaman yang pertumbuhannya dianggap agak lambat atau terhambat, biasanya ditambahkan
pupuk N dalam bentuk cair. Pupuk N tersebut berasal dari rendaman daun crotalaria (+ 5 kg)
dicampur air (+ 20 liter) yang direndam selama 2 minggu. Aplikasi pupuk dilakukan dengan
menyiramkannya ke tanah di sekitar tanaman.

Pengendalian hama penyakit

Organisme pengganggu yang sering diidentifikasi menyerang berbagai jenis tanaman


yang diusahakan, diantaranya adalah: (a) ulat dan penyakit kawat pada kubis-kubisan, (b)
pelentung serta kutu loncat pada kangkung dan bawang daun, (c) ulat grayak pada cabai, (d) ulat
buah dan busuk daun pada tomat serta cabai, (e) layu pada tomat, dan (f) penyakit karat dan
kutu daun pada kacang-kacangan. Konsep pengendalian yang digunakan pada dasarnya
mengacu pada tindakan sanitasi dan perawatan rutin. Tindakan tersebut dimaksudkan agar
gejala serangan hama penyakit dapat dideteksi secara lebih awal , sehingga kerusakan akibat
serangan dapat diminimalkan. Pada sistem ini, penggunaan pestisida organik (bio-pestisida)
tetap diposisikan sebagai alternatif pengendalian yang terakhir. Berbagai upaya organik
diarahkan untuk mewujudkan keseimbangan ekosistem, sehingga pengendalian hama dan
penyakit dapat terjadi dengan sendirinya (alami). Secara ringkas, beberapa metode
pengendalian yang ditempuh, diantaranya adalah:
♦ Menghindarkan penanaman tanaman tertentu pada musim tertentu, karena pada musim
tersebut, tanaman bersangkutan diperkirakan sangat peka terhadap serangan hama/
penyakit (misalnya, tomat pada musim hujan)
♦ Menggunakan sistem pertanaman berganda atau kombinasi (misalnya, tomat dengan kubis
– bau atau aroma tanaman tomat tidak disukai hama plutella)
♦ Menggunakan sistem pengendalian mekanis (misalnya, membuang ulat atau memusnahkan
tanaman yang terserang layu)
♦ Memutuskan siklus hidup hama/penyakit (misalnya, melalui pemberaan lahan, rotasi
tanaman dan tidak menggunakan mulsa tanaman sejenis)
♦ Menanam tanaman pengusir hama disekitar tanaman yang diusahakan
♦ Menanam tanaman perangkap disekitar tanaman yang diusahakan
♦ Menyemprot dengan bio-pestisida (dibuat dari 5 genggam daun kacang babi, direbus
dengan air 10 liter, setelah dingin disemprotkan pada tanaman tanpa harus dicairkan lagi).

7
Panen dan pasca panen

Panen dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Hasil
panen dipersiapkan untuk dijual tanpa perlakuan khusus. Setelah dibersihkan di kebun, hasil
panen diikat dan langsung diangkut ke daerah konsumen (delivery order) untuk dipasarkan per
kilogram atau per paket.

Pembibitan

Pada awalnya, sumber pengadaan bibit berasal dari toko/kios sarana produksi. Sejauh
memungkinkan, benih/bibit untuk pertanaman selanjutnya diperoleh dari upaya pembibitan
sendiri. Dengan demikian, sebagian besar varietas tanaman yang digunakan adalah open
polinated. Proporsi jumlah benih/bibit yang digunakan adalah 25% dari luar (toko) dan 75%
berasal dari pembibitan sendiri.

Pemasaran

Produk hasil panen pada umumnya dipasarkan kepada konsumen tetap yang terdiri dari
konsumen rumah tangga dan rumah sakit. Segmen konsumen produk organik dapat
diklasifikasikan sebagai konsumen kelas menengah ke atas. Konsumen dapat melakukan
pemesanan melalui telpon dan pesanan kemudian dihantarkan. Dengan demikian, rantai
tataniaga yang berlaku relatif pendek, yaitu langsung dari produsen ke konsumen. Pengalaman
produsen untuk memasarkan sayuran organik melalui supermarket ternyata kurang memuaskan
karena pada beberapa kasus seringkali disubstitusi dengan produk non-organik. Pada kasus
seperti ini, produsen belum dapat menuntut melalui jalur hukum, karena perangkat aturan
mengenai pelabelan sayuran organik masih belum tersedia. Upaya maksimal/agresif untuk
mempromosikan produk organik masih belum dilakukan. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan
kemampuan pasokan yang masih relatif terbatas serta harga produk yang relatif lebih tinggi
dibanding dengan harga produk sejenis dari pertanian non-organik. Volume panen masih relatif
rendah, yaitu berkisar antara 250-400 kg (berbagai jenis sayuran) per waktu panen.

B. Perintis Pertanian Organik Cisarua (Yayasan Bina Sarana Bhakti)

Lokasi Perintis Pertanian Organik Cisarua adalah di Desa Tugu Selatan, Cisarua,
Bogor, dengan ketinggian rata-rata 900 m dpl. Usahatani organik ini mengusahakan sekitar 4
ha lahan, dengan luas lahan efektif 1,7 ha. Usahatani alternatif Bina Sarana Bhakti merupakan
usahatani perintis (tertua, sejak tahun 1982) yang menggunakan pendekatan organik.
Disamping melakukan kegiatan usahatani, yayasan tersebut juga menyediakan atau
memberikan pelatihan pertanian organik. Tujuan pelatihan adalah untuk mempromosikan teknik
budi-daya sayuran organik dan perlunya mengkonsumsi sayuran sehat. Pengelolaan usahatani
organik ditangani oleh 11 kelompok(setiap kelompok terdiri dari 2 orang laki-laki dan satu orang
wanita). Tiga kelompok diserahi untuk menangani pembenihan/pembibitan dan 8 kelompok
bertanggung jawab untuk menangani kegiatan produksi (setiap kelompok menangani/menggarap
120-200 bedeng, setara dengan 250-400 m2).

8
Penyiapan lahan/pengolahan tanah

Pengolahan tanah pada dasarnya dilakukan dengan menerapkan sistem pengolahan


minimal (minimum tillage). Secara ringkas, pengolahan dan/atau penyiapan lahan dilakukan
dengan mengikuti tahapan: (a) lahan olah dibagi ke dalam bedengan-bedengan, dengan ukuran
lebar 1m, panjang 10 m dan jarak antar bedengan 50 cm, (b) lahan yang miring diratakan
dengan sistem terasering, (c) tanah dilonggarkan dengan menggunakan garpu, (d) rumput
dibersihkan dan permukaan tanah diratakan, (e) dibuat lubang tanam untuk tanaman yang
benihnya perlu disemai terlebih dahulu, atau dibuat garitan untuk jenis tanaman yang
menggunakan biji, (f) pada lubang tanam atau garitan diberikan pupuk kandang yang sudah
matang, dan (g) untuk menahan erosi pada setiap pinggiran bedengan ditanami rumput madu.
Perbedaan pengolahan lahan untuk musim kemarau dan musim hujan hanya terletak pada
ketinggian bedengan (untuk mengatur drainase air). Tinggi bedengan untuk musim hujan 15-20
cm, sedangkan untuk musim kemarau 10-15 cm.

Penanaman

Kegiatan penanaman dilakukan setelah lubang tanam atau garitan diberi pupuk dasar,
berupa pupuk kandang/kompos matang. Jenis sayuran yang paling banyak ditanam adalah
wortel, sedangkan luas tanam sayuran lainnya diprogram cukup merata. Sistim pertanaman
yang dilakukan dalam setiap bedeng adalah sistim polikultur (2 s/d 4 jenis tanaman), dengan
memperhatikan: perakaran tanaman, kanopi daun, umur setiap jenis tanaman, tinggi rendah
tanaman dan pengambilan unsur hara dari setiap jenis tanaman.

Contoh kombinasi tanaman dalam satu bedengan:


• mentimun dengan kangkung -- mentimun ditanam di tengah, sedangkan kangkung
ditanam 2 alur pada setiap pinggir bedeng.
• bawang daun dengan wortel -- bawang daun di tengah bedeng, sedangkan wortel
ditanam beralur disetiap pinggir bedengan.
• buncis dengan kacang tanah -- buncis ditanam di tengah, sedangkan kacang tanah
ditanam beralur disetiap pinggir bedengan.
• bit dengan kacang tanah -- bit ditanam di tengah bedeng dan kacang tanah di bagian
pinggir bedeng
• kacang kapri dengan seledri -- kacang kapri ditanam di tengah bedengan dan seledri di
pinggir bedengan
• mentimun dengan kubis -- mentimun ditanam di tengah bedengan sedangkan kubis
ditanam di pinggir bedengan
• jagung dengan selada -- jagung ditanam di tengah bedeng, sedangkan selada di pinggir
bedeng
• bawang daun dan petsai -- bawang daun di tengah bedeng, sedangkan petsai ditanam
di pinggir bedeng.

Agak berbeda dengan Tidusaniy, keragaman jenis tanaman yang diusahakan di BSB
ternyata relatif lebih rendah, sebagai refleksi dari jenis usaha yang telah memiliki market outlet
lebih jelas. Berbagai jenis tanaman yang diusahakan, diantaranya adalah:

9
No Kategori Jenis Tanaman
(Category) (Crop)
1. Sayuran daun Brokoli, kubis (kubis merah, kubis putih), kubis bunga, kaelan, kenikir, petsai (Nagaoka,
Granat), caisim, sawi sendok/pakcoy, selada (selada air, selada keriting, selada head),
bayam, kangkung (kangkung darat, kangkung air), seledri, petersely, bawang daun, bawang
kucai dan kemangi
2. Sayuran buah Tomat (tomat buah, tomat cherry), cabai, terung (terung lalab, terung ungu), mentimun
(mentimun lokal, mentimun taiwan), buncis, kacang kapri, oyong, paria, zukini, jagung (jagung
manis, jagung lokal, jagung baby), labu siam
3. Sayuran umbi bit, wortel, lobak, radish dan ubi jalar
4. Sayuran bumbu Sereh, laos, kemangi
5. Kacang-kacangan Kacang tanah dan kacang merah

Pada musim hujan, selain tidak menanam jenis tanaman yang peka terhadap penyakit,
pengaturan jarak tanam juga dilakukan. Sebagai contoh, tanaman kubis pada musim kemarau
menggunakan jarak tanam 50 x 40 cm atau 50 x 50 cm, sedangkan musim penghujan 60 x 60
cm. Selain itu, ketebalan mulsa juga diatur agar lebih tipis dibandingkan dengan musim kemarau.

Penyiangan, penyulaman dan penjarangan

Dalam pertanian organik, kegiatan penyulaman, penjarangan dan penyiangan biasa


dilakukan seperti halnya pada pertanian konvensional. Penyulaman biasa dilakukan pada
tanaman yang tidak tumbuh atau mati setelah beberapa hari ditanam dan penjarangan dilakukan
pada tanaman yang ditanam disebarkan sepanjang alur/garitan (tanam biji langsung) misalnya
tanaman wortel. Melalui penjarangan ini diharapkan akan diperoleh jarak tanam optimal,
sehingga umbi wortel yang dihasilkan relatif lebih besar. Penyiangan biasanya dilakukan dua
kali, seperti halnya pada sistem pertanian konvensional, yaitu saat rumput sudah dianggap mulai
menggangu pertumbuhan tanaman. Limbah/sisa rumput dari hasil penyiangan di musim kemarau
dimanfaatkan untuk mulsa bedengan. Sementara itu, limbah pada musim hujan, selain untuk
mulsa juga dimanfaatkan sebagai bahan baku campuran pembuatan kompos. Dalam pembuatan
kompos, rumput ditumpuk berselang-seling dengan pupuk kandang dan dibiarkan selama + 3
bulan sampai matang dan siap digunakan.

Pemupukan

Jenis pupuk organik yang digunakan antara lain adalah: pupuk kandang ayam, pupuk
hijau, pupuk kompos dan pupuk cair. Komposisi pupuk cair adalah: pupuk kandang 1 karung,
daun kacang-kacangan satu karung dan air sebanyak 1 drum (+ 200 liter). Campuran ini
dibiarkan di dalam drum selama 3 sampai 4 minggu. Pupuk cair disiramkan di sekitar perakaran
tanaman dengan dosis 1 kaleng susu (+ 200 cc) larutan per tanaman, terutama untuk tanaman
yang secara visual pertumbuhannya lambat atau tidak subur. Perlakuan pupuk cair diberikan
mulai tanaman berumur 2 minggu setelah tanam atau tergantung pada kondisi tanaman
bersangkutan. Interval yang digunakan adalah 3 hari sekali sampai tanaman berumur 1 bulan
atau 7 hari sekali sampai tanaman berumur 1.5 bulan. Jenis tanaman yang biasa diberi pupuk
cair diantaranya adalah: kubis, paria, mentimun dan brokoli (biasanya diberikan pada musim
kemarau).
Dosis penggunaan pupuk kandang/kompos agak bervariasi tergantung jenis
tanamannya. Sebagai contoh, untuk tanaman tomat, kubis, cabai dan terung dosis per pohon
adalah 0.5 kg, sedangkan untuk tanaman petsai, caisim, kaelan dan selada rata-rata 0.3 kg per
pohon. Pemberian pupuk kandang biasanya dilakukan satu kali setiap musim tanam. Pupuk

10
disimpan pada setiap lubang tanam, sepanjang garitan atau disebar dipermukaan bedengan,
kemudian diaduk dengan tanah dan diratakan kembali. Untuk penggunaan pupuk hijau,
pangkasan tanaman/daun pupuk hijau yang masih segar atau sudah layu dipendam ke dalam
tanah dan setelah itu, lahan dapat langsung ditanami.

Pengendalian hama penyakit

Salah satu upaya peengendalian yang biasa dilakukan pada sistem pertanian organik
adalah tidak menanam komoditas tertentu yang dianggap peka pada musim tertentu. Dalam
perencanaan pola tanam di lapangan, pengelola biasanya membagi musim menjadi musim
penghujan, peralihan dan kemarau. Pada musim penghujan, jenis tanaman yang dianggap cocok
adalah sayuran daun atau famili Brassica. Penanaman sayuran Solanaceae dihindari pada
musim ini, karena sayuran dari keluarga Solanaceae peka terhadap penyakit busuk daun.
Sementara itu, pada musim peralihan dan musim kemarau, semua jenis sayuran dapat
diusahakan. Namun demikian, perlu pula diperhatikan penanaman tanaman pendukung,
misalnya tanaman pengusir hama (kemangi, bawang-bawangan dan tagetes), karena pada
musim tersebut populasi hama cukup tinggi. Pengendalian hama dengan cara mekanis dan
penyemprotan dengan bio-pestisida merupakan kegiatan yang biasa dilakukan di pertanian
organik.
Jenis OPT yang sering ditemui antara lain: ulat Plutella, ulat Crosidolomia, ulat
Spodoptera, kutu anjing, aphid, bengkak akar, batang kawat, Phytopthora, Alternaria dan layu
bakteri. Berbagai metode pengendalian yang dilakukan adalah:
• Mekanis -- pengendalian OPT secara mekanis dilakukan apabila tingkat serangan relatif
rendah dan memungkinkan untuk dilakukan secara manual
• Pestisida botani -- penggunaan pestisida botani dilakukan apabila serangan OPT sudah
dianggap melewati ambang ekonomi. Contoh pestisida botani diantaranya:
• daun kacang babi ditumbuk, setelah agak halus dicampur air, lalu diaduk
dan disaring selanjutnya disemprotkan tanpa harus dicairkan lagi.
• daun Mindi dan buahnya ditumbuk dicampur air, disaring dan selanjutnya
disemprotkan pada tanaman
• daun Suren, dengan komposisi campuran: 2 ons daun suren dicampur
dengan satu liter air.
• Pengaturan jenis tanam – menyesuaikan jenis tanaman yang diusahaakan dengan
musim, misalnya pada musim hujan dihindari menanam jenis tanaman yang peka
terhadap serangan penyakit layu phytopthora (tomat, kentang, dll).
• Menanam jenis tanaman pengusir hama -- menanam jenis tanaman yang aroma atau
baunya tidak disukai oleh jenis hama-hama tertentu, misalnya bawang-bawangan,
kemangi, tegetes dll.
• Rotasi tanaman -- pergiliran tanaman untuk memotong siklus hidup OPT jenis tanaman
sefamili, disamping untuk memelihara tingkat kesuburan tanah. Pola rotasi umum yang
dilakukan adalah: jenis Brassica -- jenis sayuran buah -- jenis sayuran akar/umbi -- jenis
pupuk hijau. Sehubungan dengan pola rotasi tersebut, jenis tanaman dibagi ke dalam
tiga kelompok berdasarkan kebutuhan unsur hara, yaitu (a) kelompok boros hara -- jenis
tanaman brassica, (b) kelompok kebutuhan hara sedang -- cabe, buncis, wortel,
bawang-bawangan, ubi jalar, dll., (c) kelompok pembangun hara -- jenis tanaman
kacang-kacangan. Kelompok tanaman pembangun hara ini biasanya ditanam setelah
rotasi tiga musim tanam sayuran.
• Sanitasi -- menjaga kebersihan lingkugan di sekitar kebun

11
• Membakar tanaman yang sakit -- memotong siklus hidup penyakit, misalnya bengkak
akar pada tanaman kubis atau busuk daun pada tanaman tomat. Sisa pembakaran
tanaman masih dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.
• Cara lain untuk memotong siklus OPT -- dalam 1 tahun hanya menanam satu kali jenis
tanaman yang sama dalam bedeng yang sama dan menanam tanaman kacang-kacang-
an dalam periode 2 tahun sekali pada setiap bedeng untuk mempertahankan kesuburan.

Panen dan pasca panen

Secara reguler, panen dilakukan tiga kali dalam seminggu, yaitu hari Senin, Rabu dan
Jumat. Penentuan jadwal panen pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh jenis tanaman
bersangkutan: (a) tanaman siap panen -- buncis, kacang kapri, kubis bunga, brokoli, (b) jadwal
panen sesuai permintaan atau kapasitas jual -- ubi jalar, wortel, pakcoy, selada, dan (c) panen
dilakukan dengan cara menseleksi terlebih dahulu, biasanya untuk tanaman yang tidak habis
sekaligus -- jagung, bayam, lobak, dan tomat. Sayuran yang tidak layak jual, tetapi masih layak
makan biasanya dibagikan kepada karyawan, sedangkan yang tidak layak makan dimanfaatkan
untuk makanan ikan (kolam), bahan kompos atau mulsa. Penyortiran dilakukan berdasarkan
ukuran (besar/sedang/kecil) dan layak/tidak layak jual secara visual (terlalu tua, busuk atau
bentuk tidak normal). Sementara itu, pengemasan dilakukan dalam bentuk ikatan-ikatan kecil
menggunakan tali bambu, untuk jenis sayuran seperti: buncis, caisim, bayam, kangkung, selada,
pakcoy, daun ketela pohon, lobak, bit, kenikir dll. Untuk sayuran lain (wortel, baby corn, kapri, ubi
jalar, labu siam dan tomat) pengemasan dilakukan menggunakan kertas koran per 0.5-1 kg.

Pembibitan

Sebagian besar benih/bibit yang memungkinkan diproduksi/diperbanyak sendiri


dilakukan oleh kelompok produksi benih/bibit. Sebagian lagi sisanya diperoleh dari dari toko
sarana produksi. Proporsi jumlah benih/bibit yang digunakan adalah 20% berasal dari luar (toko)
dan 80% berasal dari pembibitan sendiri.

Pemasaran

Dua konsumen utama produk sayuran organik dari BSB adalah kelompok konsumen
rumah tangga berlangganan dan institusi rumah sakit (St. Carolus). Konsumen berlangganan
mendapatkan jatah pengiriman sayuran satu kali per minggu, yaitu hari Selasa (jadwal panen
Senin), atau hari Kamis (jadwal panen Rabu), atau hari Sabtu (jadwal panen Jumat). Pengiriman
seminggu sekali ini dilakukan karena keterbatasan volume sayuran yang dapat dipanen sesuai
jadwal. Jenis dan bobot sayuran yang dikirimkan kepada konsumen disesuaikan dengan
besarnya uang sumbangan yang diberikan kepada yayasan, sebagai ongkos pengganti biaya
produksi. Dengan demikian, pengiriman sayuran ke konsumen biasanya dalam bentuk paket
(terdiri beberapa jenis sayuran dengan bobot yang telah ditentukan). Contoh beberapa paket
sayuran ditunjukkan pada bagian akhir uraian ini.
Konsumen dapat menolak jenis sayuran yang kurang disukai, setelah dikonfirmasikan
terlebih dahulu dengan produsen. Konsumen juga dapat meme-san jenis sayuran tertentu dalam
jumlah relatif lebih banyak dan mendiskusikan besarnya pembayaran yang dibebankan, selama
produsen masih sanggup untuk memenuhi kebutuhan pesanan tanpa harus merusak pola tanam
yang telah ditetapkan. Intensitas komunikasi antara konsumen dengan produsen relatif tinggi.
Produsen juga memerlukan informasi mengenai jumlah anggota keluarga disetiap keluarga
konsumen sebagai dasar dalam menentukan jumlah dan bobot sayuran dalam paket.

12
Konsumen rumah tangga pada umumnya berdomisili di Jakarta, namun ada pula pembeli yang
datang langsung ke lokasi usahatani pada saat panen. Konsumen tamu biasanya memperoleh
sayuran dalam jumlah yang terbatas karena volume panen sudah disesuaikan dengan
permintaan pasar konsumen langganan.
Hasil panen sayuran langsung dikirim ke agen/kolektor/pengumpul di Jakarta dan
selanjutnya akan diambil oleh konsumen langganan sesuai dengan paket-paket yang telah
ditetapkan sebelumnya. Besarnya sumbangan atau harga jual sayuran pada umumya ditetapkan
berdasarkan nilai input produksi, biaya penelitian, dan nilai tambah yang diperoleh konsumen
apabila mengkonsumsi sayuran sehat. Pengalaman produsen menunjukkan bahwa prospek
usahatani produk organik cenderung semakin membaik. Hal ini diindikasikan dari banyaknya
permintaan konsumen yang terpaksa ditolak karena keterbatasan volume panen serta luas lahan
yang dimiliki produsen.

Rp. 25 000 Rp. 25 000

Bayam cabut 0,25 kg Bayam cabut 0,25 kg


Buncis 0,25 Buncis 0,25
Caisin 0,25 Baby corn 0,25
Jagung 0,25 Labu siam 1,00
K. panjang 0,25 Sawi hijau 0,50
K. tanah 0,50 Ubi 2,00
Labu siam 1,00 Wortel 5,00
Kubis bunga 0,25 Kangkung darat 0,25
Oyong 0,50 Petsai 0,25
Sawi hijau 0,50
Ubi 1,00
Wortel 3,00
Mentimun lokal 0,25

Rp. 20 000 Rp. 10 000

Bayam cabut 0,25 kg Buncis 0,25 kg


Buncis 0,25 Baby corn 0,25
Kucai 0,25 Kangkung 0,25
Caisin 0,25 Labu siam 0,50
Jagung 0,25 Kubis putih 0,25
Kaelan 0,25 Lobak 1,00
Kubis bunga 0,25 Sawi hijau 0,30
Kubis putih 0,50 Wortel 0,50
Peterseli 0,10
Sawi hijau 0,50
Selada head 0,25
Ubi 1,00
Ginseng 0,50
Radish 0,25
Wortel 1,00

C. Pertanian Organik Wieke Lorentz (Lembang)

Lokasi pertanian organik ini adalah di Desa Langensari, Kecamatan Lembang,


Bandung, dengan ketinggian rata-rata 1200 m dpl. Pertanian organik tersebut berada di

13
daerah peri-urban Bandung, sehingga aksesnya ke konsumen secara fisik, jauh lebih baik
dibandingkan dengan dua pertanian organik terdahulu. Luas lahan yang diusahakan
sebenarnya relatif lebih sempit, yaitu 4 500 m2, namun lebih memperlihatkan karakteristik
integrated organic farming system dibandingkan dengan lainnya. Bermacam ternak (ayam,
kambing, angsa, bebek) diusahakan secara terintegrasi dengan usahatani sayuran. Usahatani
ini bahkan mampu menjual kelebihan produksi pupuk kandang ke petani lain. Berbagai aspek
usahatani/budidaya (pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, pengendalian hama
penyakit, panen dan pasca panen serta pembibitan) yang dilakukan tidak jauh berbeda
dengan kedua pertanian organik terdahulu. Usahatani ini juga memiliki ciri-ciri ke"organik"an
sebagai berikut: (a) tidak menggunakan pupuk buatan dan pestisida kimiawi, (b) pengusahaan
sayuran disesuaikan pada kemampuan lahan, dengan komposisi penanaman komoditas yang
lebih mengutamakan keamanan lahan jangka panjang, (c) sistem pertanaman polikultur yang
diarahkan untuk mendukung keseimbangan ekosistem. Namun dari sisi pemasaran, sesuai
dengan kemampuan pemasokan, usahatani ini cenderung bersifat menunggu kunjungan
tamu/pembeli. Walaupun demikian, pada saat-saat tertentu, berdasarkan kesepakatan
sebelumnya, usahatani ini terkadang juga mengisi/memenuhi permintaan konsumen
langganan usahatani sayuran organik Tidusaniy, khususnya untuk sayuran daun.

Berkaitan dengan bobot ke”organik”an, beberapa hal yang dapat ditarik dari hasil
karakterisasi untuk ketiga sistem di atas adalah:
• Secara umum, Perintis Pertanian Organik Cisarua (Yayasan Bina Sarana Bhakti)
merupakan yang terbaik (dengan skala usaha terbesar) dan dapat digunakan sebagai
acuan atau model untuk pengusahaan sayuran secara organik
• Pertanian Organik Terpadu Tidusaniy (Yayasan Bakti Dua Insan Waliyyulloh) merupakan
kedua terbaik (terutama karena relatif masih baru dan berada pada tahap akhir
perintisan). Usahatani ini termasuk skala sedang dan memiliki kelebihan dibandingkan
lainnya, karena mampu memasok susu kambing Etawa dalam jumlah cukup besar.
• Pertanian Organik Wieke Lorentz (Lembang) merupakan ketiga terbaik, karena relatif
masih baru dan skalanya relatif kecil. Namun demikian, usahatani ini lebih memperlihatkan
karakteristik integrated organic farming system dibandingkan dengan lainnya. Sebagai
contoh, seluruh kebutuhan pupuk kandang sudah dapat dipenuhi dari ternak sendiri.
• Ditinjau dari skala pengusahaan, Perintis Pertanian Organik Cisarua (Yayasan Bina
Sarana Bhakti) telah dapat dikategorikan ke dalam skala semi-industri. Pertanian Organik
Wieke Lorentz (Lembang) masih termasuk ke dalam skala rumah tangga (kombinasi
antara motivasi bisnis dan kegemaran). Sementara itu, Pertanian Organik Terpadu
Tidusaniy (Yayasan Bakti Dua Insan Waliyyulloh) terdapat di antara keduanya.

Secara umum, hasil observasi di ketiga usahatani di atas memberikan gambaran


sementara bahwa status pertanian organik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang
cukup baik, walaupun kontribusinya terhadap produksi total sayuran relatif masih kecil
(diperkirakan masih < 1%). Sampai dengan tahun 1988, anggota Jaringan Kerja Pertanian
Organik tercatat sebanyak 31 lembaga swadaya masyarakat. Sementara itu, pada bulan
Pebruari 2000, bahkan telah terbentuk Masyarakat Pertanian Organik Indonesia yang
bersekretariat di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Hal ini secara tidak langsung
merupakan suatu refleksi meningkatnya tingkat kesadaran akan pentingnya konsumsi sayuran
sehat/bersih. Prospek pengembangan sayuran organik juga cenderung menjanjikan,
sebagaimana diindikasikan oleh masih banyaknya permintaan yang belum dapat dipenuhi
karena adanya keterbatasan pasokan.

14
Karakterisasi sistem berdasarkan prinsip-prinsip pertanian organik yang telah dilaksanakan (System
characterization based on the implemented organic farming principles)

No Kegiatan Pertanian Organik Ciwidey Cisarua Lembang


(Activity) Organic Farming)

1. Persiapan benih Sebagian besar benih/bibiit bersumber dari produksi √√ √√√ √


(Seed preparation) sendiri dan berasal dari tumbuhan alami
2. Pengolahan tanah Olah tanah minimal untuk memacu perkem-bangan √√√ √√√ √√√
(Land preparation) organisme tanah dan menjaga aerasi tanah
3. Penanaman Multikultur √√√ √√√ √√√
(Planting)
Rotasi tanaman √√√ √√√ √√√
Kombinasi tanaman dalam satu luasan lahan tertentu √√√ √√√ √√√
Tanaman pendamping (Companion planting) √√√ √√√ √√
Penanaman tanaman habitat predator, tanaman √√ √√√ √
pagar, penolak hama, perangkap hama
Tanaman pupuk hijau material pestisida hayati dan √√√ √√√ √√
obat-obatan
4. Pemupukan Menggunakan pupuk organik (pupuk hijau, kompos, √√√ √√√ √√√
(Fertilization) kandang)
5. Pengendalian hama Metode pengendalian mekanis (membuang ulat atau √√√ √√√ √√√
penyakit (Plant memusnahkan tanaman terserang layu)
protection)
Melakukan pengaturan waktu tanam √√ √√√ √√
Memutuskan siklus hidup hama/ penyakit (pemberaan √√ √√√ √
lahan, rotasi tanaman dan tidak menggunakan mulsa
tanaman sejenis)
Menyemprot dengan bio-pestisida √√ √√ √√
Sanitasi -- menjaga kebersihan lingkugan di sekitar √√ √√√ √
kebun
6. Panen dan pasca Terprogram/terjadwal dan menggunakan kemasan √√ √√√ √
panen (Harvest and daur ulang
post-harvest)
Catatan (Note): semakin banyak jumlah tanda √ , semakin tinggi konsisten usahatani bersang-kutan melaksanakan prinsip-
prinsip usahatani organik (as the number of √ increases, the more consistent the respective farm implements the organic
farming principles)

Kegiatan karakterisasi ternyata mengalami kesulitan dalam memperoleh informasi


menyangkut aspek finansial usahatani sayuran organik. Metode pengumpulan data melalui
wawancara ternyata kurang efektif untuk menghimpun informasi tersebut. Sejauh
memungkinkan (seijin manajer/produsen), pengumpulan data usahatani melalui farm-record
keeping tampaknya perlu dijajagi. Terlepas dari kesulitan di atas, salah seorang pengelola
memberikan gambaran bahwa masa pengembalian investasi untuk usahatani sayuran organik
seluas 2-3 hektar, diperkirakan berkisar antara 6-7 tahun. Masa pengembalian tersebut dapat
dipercepat menjadi 4-5 tahun, seandainya usahatani sayuran diintegrasikan dengan usaha
ternak kambing Etawa. Kegiatan karakterisasi juga mengidentifikasi beberapa hal yang
memerlukan dukungan penelitian, terutama menyangkut (a) pengelolaan gulma, (b)
perencanaan usahatani dan perancangan integrasi ekosistem, (c) pengelolaan kesuburan
organik terapan, dan (d) kualitas nutrisi dalam hubungannya dengan kultur praktis.
Strategi pembangunan pertanian yang menekankan pada kebijakan pengembangan
sistem agribisnis perlu didukung oleh kebijakan penyangga menyangkut sistem pertanian
berkelanjutan, agar masalah generasi kedua revolusi hijau yang sedang dihadapi tidak
semakin memburuk. Kebijakan penyangga tersebut harus lebih bersifat operasional, agar tidak
lagi hanya sekedar bersifat retorik atau jargon pembangunan. Sampai saat ini, kenyataan
menunjukkan bahwa perkembangan pertanian organik di Indonesia sebagian besar merupa-

15
kan inisiatif dari lembaga swadaya masyarakat. Jika strategi pembangunan di atas akan
ditempuh, maka pemerintah perlu berperan lebih aktif lagi, karena pertanian organik dan
produk organik merupakan bagian integral dari pertanian berkelanjutan. Dalam hal ini,
pemerintah dapat berfungsi sebagai fasilitator melalui berbagai kebijakan spesifik (misalnya,
standarisasi proses/produk organik, pelabelan produk organik) yang dapat memberikan
insentif bagi produsen untuk mengadopsi sistem produksi organik dan insentif bagi konsumen
untuk mengkonsumsi produk bersih/sehat. Lebih jauh lagi, operasionalisasi kebijakan tersebut
perlu dilaksanakan secara hati-hati dan konsisten, agar tidak terjebak pada pola pikir pertanian
konvensional yang selalu menekankan pada aspek teknis dan skala makro. Operasionalisasi
kebijakan harus disertai dengan kesadaran bahwa pengembangan pertanian organik memiliki
nilai-nilai dan ukuran tersendiri, berdasarkan pada keselarasan alam. Beberapa nilai yang
secara implisit terkandung dalam pengembangan pertanian organik adalah: spesifik lokal,
tingkat produksi optimal, sistem produksi berkelanjutan, prinsip konservasi dan sesuai dengan
budaya masyarakat setempat.

KESIMPULAN

• Keragaman antar usahatani ditinjau dari aspek teknik budidaya relatif sangat rendah dan
ketiganya secara konsisten melakukan daur ulang hara pada bahan-bahan organik, rotasi
tanaman, polikultur, pengolahan tanah minimal serta menghindarkan penggunaan material
kimiawi, baik berupa pupuk maupun pestisida.
• Berkaitan dengan kesuburan tanah, beberapa hal yang menjadi perhatian utama bagi
produsen, secara berturut-turut adalah: (a) membangun dan memelihara ketersediaan
bahan organik dalam tanah, (b) mengembangkan aktivitas biologis tanah, serta (c)
memelihara keremahan tanah. Sementara itu, sehubungan dengan proteksi tanaman,
prioritas perhatian produsen secara berturut-turut adalah: (a) pengendalian gulma, (b)
pengendalian hama, dan (c) pengendalian penyakit.
• Hasil observasi di ketiga usahatani organik secara umum memberikan gambaran bahwa
status pertanian organik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup baik,
walaupun kontribusinya terhadap produksi total sayuran relatif masih kecil (diperkirakan
masih < 1%). Semakin banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang
pertanian organik merupakan suatu indikator dan refleksi meningkatnya tingkat kesadaran
akan pentingnya konsumsi sayuran sehat/bersih. Prospek pengembangan sayuran
organik juga cenderung menjanjikan, sebagaimana diindikasikan oleh masih banyaknya
permintaan yang belum dapat dipenuhi karena adanya keterbatasan pasokan.
• Berkaitan dengan sistem produksi sayuran organik, beberapa hal yang diidentifikasi
memerlukan dukungan penelitian adalah: (a) pengelolaan gulma, (b) perencanaan
usahatani dan perancangan integrasi ekosistem, (c) pengelolaan kesuburan organik
terapan, dan (d) kualitas nutrisi dalam hubungannya dengan kultur praktis

DAFTAR PUSTAKA

Andreoli, M and V. Tellarini. 2000. Farm sustainability evaluation: Methodology and practice.
Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 43-52.

16
Benbrook, C. 1998. Organic farming: Facing choices at the crossroads. Paper presented at
"Sharing the Lessons of Organic Farming Conference", University of Guelph, Ontario,
Canada, January 31, 1998.
Bosshard, A. 2000. A methodology and terminology of sustainability assessment and its
perspectives for rural planning. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 29-41.
Clemetsen, M. and J. Laar. 2000. The contribution of organic agriculture to landscape quality
in the Sogn og Fjordane region of Western Norway. Agriculture, Ecosystem and
Environment, 77: 125-141.
Dunlap, R.E., C.E. Beus, R.E. Howell, and J. Waud. 1992. What is sustainable agriculture? An
empirical examination of faculty and farmer definitions. Journal of Sustainable
Agriculture. 3: 5-39.
Fairweather, J.R. 1999. Understanding how farmers choose between organic and conventional
production: Results from New Zealand and policy implications. Agriculture and Human
Values, 16: 51-63.
IFOAM. 1999. A short overview and facts on worldwide organic agriculture. Available at
http://ecoweb.dk/ifoam/orgagri/oaworld.html
Ikerd, J. 1997. Sustainable agriculture: A positive alternative to industrial agriculture. American
Journal of Alternative Agriculture. 3: 174-182.
Ikerd, J. 1999. Organic agriculture faces the specialization of production systems: Specialized
systems and the economical stakes. Paper presented at the international conference, "
Organic Agriculture Faces the Specialization of Production Systems", Lyon, France,
December 6-9, 1999.
Jansen, H. G., D. Poudel, D. J. Midmore, R. K. Raut, P. R. Pokhrel, P. Bhurtyal & R. K.
Shrestha. 1994. Sustainable peri-urban vegetable production and natural resources
management in Nepal: Results of a diagnostic survey. Working Paper no. 8. AVRDC,
Taiwan.
Kantor Menko Ekuin dan PSP LP-IPB. 2000. Kebijaksanaan pembangunan agribisnis nasional.
Makalah Diskusi Kebijakan Pembangunan Agribisnis Nasional, Bogor, 25 Januari 2000.
Kniper, J. 2000. A checklist approach to evaluate the contribution of organic agriculture to
landscape quality. Agriculture, Ecosystem and Environment, 77: 143-156.
Lefroy, R.D.B., H. Bechstedt and M. Rais. 2000. Indicators for sustainable land management
based on farmer surveys in Vietnam, Indonesia, and Thailand. Agriculture, Ecosystem
and Environment, 81: 137-146.
Lohr, L. 1998. Implication of organic certification for market structure and trade. Paper presented
at the Annual Meeting of the American Agricultural Economics Association, Salt Lake
City, Utah, August 2-5, 1998.
Lynam, J. K. & R. W. Herdt. 1989. Sense and sustainability: Sustainability as an objective in
international agricultural research. Agricultural Economics, 3(4): 381-398.
Organic Farming Research Foundation. 1997. Final results of the third biennial national
organic farming farmers' survey. Available at http://www.ofrf.org/survey/1997.html
Pannell, D.J. and S. Schilizzi. 1999. Sustainable agriculture: A question of ecology, equity,
economic efficiency or expedience? Journal of Sustainable Agriculture. 13(4): 57-66.
PPPG Pertanian Cianjur. 1999. Apa itu pertanian organik? Indah Offset, Malang

17
Ranaweera, N., J. M. Dixon and N. S. Jodha. 1993. Sustainability and agricultural
development: A farming systems perspective. Journal of the Asian Farming Systems
Asso., 2(1): 1-15.
Sands, G. R. and T.H. Podmore. 2000. A generalized environmental sustainability index for
agricultural system. Agriculture, Ecosystem and Environment, 79: 29-41.
Steiner, K., K. Herweg and J. Dumanski. 2000. Practical and cost-effective indicators and
procedures for monitoting the impacts of rural development projects on land quality and
sustainable land management. Agriculture, Ecosystem and Environment, 81: 147-154.
Thompson, G.D. 1998. Consumer demand for organic foods. Paper presented at the Annual
Meeting of the American Agricultural Economics Association, Salt Lake City, Utah,
August 2-5, 1998.
Waibel, H. and S. Setboonsarng. 1993. Resource degradation due to chemical inputs in
vegetable-based farming systems in Thailand. Journal of the Asian Farming Systems
Association, 2(1): 107-120.

18

You might also like