You are on page 1of 18

BAHAN TAMBAHAN PANGAN

Food Additive atau Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan
yang secara alami BUKAN merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ....
ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain
bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental.
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 dijelaskan bahwa
BTP adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan
merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang
dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan,
pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau
pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu
komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari BTP sudah digunakan secara oleh masyarakat, termasuk dalam
pembuatan makanan jajanan. Dalam prakteknya masih banyak produsen pangan yang
menggunakan bahan tambahan yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya
tidak boleh digunakan dalam makanan. Halini disebabkan karena ketidaktahuan produsen
pangan, baik mengenai sifat-sifat dan keamanan maupun mengenai peraturan tentang BTP.
Karena pengaruh terhadap kesehatan umumnya tidak langsung dapat dirasakan atau dilihat, maka
produsen seringkali tidak menyadari penggunaan BTP yang tidak sesuai dengan peraturan.
Penyimpangan atau pelanggaran mengenai penggunaan sering dilakukan oleh produsen pangan,
yaitu:
l. Menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk makanan.
2. Menggunakan BTP melebihi dosis yang diizinkan.
BTP adalah bahan yang tidak dikonsumsi langsung sebagai makanan dan tidak
merupakan bahan baku pangan, dan penambahannya ke dalam pangan ditujukan untuk
mengubah sifat-sifat makanan seperti bentuk, tekstur, warna, rasa, kekentalan, dan
aroma, untuk mengawetkan, atau untuk mempermudah proses pengolahan. Secara
khusus kegunaan BTP di dalam pangan adalah untuk:
1. Mengawetkan pangan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau
mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan.
2. Membentuk makanan menjadi lebih balk, renyah, dan lebih enak di mulut.
3. Memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera.
4. Meningkatkan kualitas pangan.
5. Menghemat biaya.
Klasifikasi BTP
BTP dikelompokkan berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam pangan. Pengelompokan BTP
yang diizinkan digunakan pada makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
722/Menkes/Per/IX/88 adalah sebagai berikut:
1. Pewarna, yaitu BTP yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
2. Pemanis buatan, yaitu BTP yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang
tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi.
3. Pengawet, yaitu BTP yang dapat mencegah menghambat fermentasi, pengasaman atau
peruraian lain pada makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba
4. Antioksidan, yaitu BTP yang dapat mencegah atau menghambat proses oksidasi lemak
sehingga mencegah terjadinya ketengikan.
5. Antikempal, yaitu BTP yang dapat mencegah mengempalnya (menggumpalnya)
makanan yang berupa serbuk seperti tepung atau bubuk.
6. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, yaitu BTP yang dapat memberikan,
menambah atau mempertegas rasa dan aroma.
7. Pengatur keasaman (pengasam, penetral, dan pendapar), yaitu BTP yang dapat
mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keasaman makanan.
8. Pemutih dan pematang tepung, yaitu BTP yang dapat mempercepat proses pemutihan
dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu pemanggangan.
9. Pengemulsi, pemantap dan pengental, yaitu BTP yang dapat membantu terbentuknya dan
memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan.
10. Pengeras, yaitu BTP yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan.
11. Sekuestran, yaitu BTP yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan,
sehingga memantapkan warna, aroma, dan tekstur.
Selain BTP yang tercantum dalam Peraturan Menteri tersebut, masih ada beberapa BTP
lainnya yang biasa digunakan dalam makanan, misalnya:
l. Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman atau mikroba, yang dapat
rnenguraikan secara enzimatis, misalnya membuat makanan menjadi lebih empuk, lebih
larut, dan lain-lain.
2. Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral atau vitamin, baik
tunggal maupun campuran, dapat meningkatkan nilai gizi makanan.
3. Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab air sehingga mempertahankan kadar
air dan makanan.

Sifat, Kegunaan dan Keamanan BTP


Dari beragam jenis BTP seperti yang telah disebutkan di atas sebenarnya hanya beberapa
yang penggunaannya pada makanan lebih sering dibandingkan dengan BTP lainnya. Oleh
karena itu sifat dan keamanan BTP yang sering digunakan tersebut dijelaskan di bawah ini.
Pewarna
Penambahan bahan pewarna pada makanan dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu:
• Memberi kesan menarik bagi konsumen
• Menyeragamkan warna makanan
• Menstabilkan warna
• Menutupi perubahan warna selama proses pengolahan
• Mengatasi perubahan warna selama penyimpanan.
Penggunaan pewarna yang aman pada makanan telah diatur melalui peraturan Menteri
Kesehatan yang mengatur mengenai pewarna yang dilarang digunakan dalam rnakanan,
pewarna yang diizinkan serta batas penggunaannya, termasuk penggunaan bahan pewarna
alami. Tetapi masih banyak produsen makanan, terutama pengusaha kecil, yang
menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya
pewarna untuk tekstil atau cat. Hal ini disebabkan pewarna tekstil atau cat umumnya
mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil selama penyimpanan, serta harganya lebih
murah, dan produsen pangan belum mengetahui dan menyadari bahaya dari pewarna-
pewarna tersebut.
Beberapa pewarna terlarang dan berbahaya yang sering ditemukan pada makanan, terutama
makanau jajanan, adalah Metanil Yellow (kuning metanil) yang berwarna kuning, dan
Rhodamin B yang berwarna merah. Bahan pewarna kuning dan merah tersebut sering
digunakan dalam pembuatan berbagai macam makanan seperti sirup, kue-kue, agar, tahu,
pisang dan tahu goreng dan lain-lain. Kedua pewarna ini telah dibuktikan menyebabkan
kanker yang gejalanya tidak dapat terlihat langsung setelah mengkonsumsi, oleh karena itu
dilarang digunakan di dalam makanan walaupun dalam jumlah sedikit.
Alternatif lain untuk menggantikan penggunaan pewarna sintetetis adalah dengan menggunakan
pewarna alami seperti ekstrak daun pandan atau daun suji, kunyit, dan ekstrak buah-buahan yang
pada umumnya lebih aman. Akan tetapi penggunaan bahan pewarn alami juga ada batasannya
sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Beberapa pewarna alami yang diizinkan
digunakan dalam makanan diantaranya adalah:
• Karamel, yaitu pewarna alami berwarna coklat yang dapat digunakan untuk mewarnai
jem/jeli (200 mg/kg), acar ketimun dalam botol (300 mg/kg, dan yogurt beraroma (150
mg/kg)
• Beta-karoten, yaitu pewarna alami berwarna merah-oranye yang dapat digunakan untuk
mewarnai acar ketimun dalam botol (300 mg/kg), es krim (100 mg/kg), keju (600 mg/k,
dan lemak dan minyak makan (secukupnya).
• Klorofil, yaitu pewarna alami berwarna hijau yang digunakan untuk mewarnai jem/jeli
(200 mg/kg) atau keju (secukupnya).
• Kurkumin, yaitu pewarna alami berwarna kuning-oranye yang dapat digunakan untuk
mewarnai es krrm dan sejenisnya (50 mg/kg), atau lemak dan minyak makan
(secukupnya).
Pemanis Buatan
Pemanis buatan sering ditambahkan ke dalam makanan dan minuman sebagai pengganti
gula karena mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pemanis alami (gula), yaitu:
• Rasanya lebih manis
• Membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis
• Tidak mengandung kalori atau mengandung kalori yang jauh lebih rendah sehingga
cocok untuk penderita penyakit gula (diabetes)
• Harganya lebih manis.
Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam pengolahan pangan di Indonesia
adalah siklamat dan sakarin yang mempunyai tingkat kemanisan masing-masing 30-80
dan 300 kali gula alami, oleh karena itu sering disebut sebagai "biang gula".
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan sebenarnya siklamat dan sakarin hanya boleh
digunakan dalam makanan yang khusus ditujukan untuk orang yang menderita diabetes
atau sedang menjalani diet kalori. Amerika dan Jepang bahkan sudah melarang sama
sekali penggunaan kedua pemanis tersebut karena terbukti berbahaya bagi kesehatan. Di
Indonesia, siklamat dan sakarin sangat mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah.
Hal ini mendorong produsen rninuman ringan dan makanan jajanan untuk menggunakan
kedua jenis pemanis buatan tersebut di dalam produknya. Penggunaan pemanis tersebut
terutama didasari pada alasan ekonorni karena harga gula pasir yang cukup tinggi,
sedangkan tingkat kemanisan pemanis buatan jauh lebih tinggi daripada gula sehingga
penggunaannya cukup dalarn jumlah sedikit, yang berarti mengurangi modal.
Batas maksimum penggunaan siklamat adalah 500 mg – 3 g/kg bahan, sedangkan batas
maksimum penggunaan sakarin adalah 50 - 300 mg/kg bahan. Keduanya hanya boleh
digunakan untuk makanan rendah kalori, dan dibatasi tingkat konsumsinya sebesar 0,5
mg/kg berat badan/hari. Jadi bila berat badan kita 50 mg/kg maka jumlah maksimum
siklamat atau sakarin yang boleh dikonsumsi per hari adalah 50 x 0,5 mg atau 25 mg. Jika
kita rnengkonsumsi kue dengan kandungan siklamat 500 mg/kg bahan, maka dalam satu
hari kita hanya boleh mengkonsumsi 25/500 x 1 kg atau 50 g kue.
Penggunaan pemanis buatan yang diizinkan dalam makan adalah sebagai berikut:
• Sakarin (dan garam natrium sakarin), untuk saus, es lilin,minuman ringan dan minuman
yogurt berkalori rendah (300mg/kg), es krim, dan sejenisnya serta jem dan jeli berkalori
rendah (200 mg/kg), permen berkalori rendah (100 mg/kg), serta permen karet dan
minuman ringan fernentasi berkalori rendah (50 mg/kg).
• Siklamat (dan garam natrium dan kalsium siklamat), untuk saus, es lilin, minuman
ringan dan minuman yogurt berkalori rendah (3 g/kg), es krim, es puter dan sejenisnya
serta jem dan jeli berkalori rendah (2 g/kg), pernen berkalori rendah (1 g/kg), dan
minuman ringan fermentasi berkalori rendah (500 mg/kg).
• Sorbitol, untuk kismis (5 g/kg), jem, jeli dan roti (300 mg/kg), dan makanan lain (120
mg/kg).
• Aspartam
Pengawet
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah
rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman atau
peruraian yang disebabkan oleh mikroba. Tetapi tidak jarang produsen pangan menggunakannya
pada makanan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau
memperbaiki tekstur.
Pengawet yang banyak dijual di pasaran dan digunakan untuk mengawetkan berbagai makanan
adalah benzoat, yang umumnya terdapat dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat
yang bersifat lebih mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai
makanan dan minuman seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, jeli dan jeli,
manisan, kecap, dan lain-lain.
Penggunaan pengawet dalam makanan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan
pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk
mengawetkan makanan lainnya karena makanan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga
mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Beberapa bahan pengawet
yang umum digunakan dan jenis makanan serta batas penggunaannya pada makanan diantaranya
adalah:
• Benzoat (dalam bentuk asam, atau gararn kalium atau natrium benzoat), yaitu bahan yang
digunakan untuk mengawetkan minuman ringan dan kecap (600 mg,/kg), serta sari buah,
saus tomat, saus sambal, jem dan jeli, manisan, agar, dan makanan lain (1 g/kg).
• Propionat (dalam bentuk asam, atau garam kalium atau natrium propionat), yaitu bahan
pengawet untuk roti (2 g/kg) dan keju olahan (3 g/kg).
• Nitrit (dalam bentuk garam kalium/natrium nitrit) dan nitrat (dalam bentuk garam
kalium/natrium nitrat), yaitu bahan pengawet untuk daging olahan atau yang diawetkan
seperti sosis (125 mg nitrit/kg atau 500 mg nitrat/kg), korned dalam kaleng (50 mg
nitrit/kg), atau keju (50 mg nitrat/kg).
• Sorbat (dalam bentuk garam kalium atau kalsium sorbat), yaitu bahan pengawet untuk
margarin, pekatan sari buah, dan keju (1 g/kg).
• Sulfit (dalam bentuk garam kalium atau natrium bisulfit atau metabisulfit), yaitu bahan
pengawet untuk potongan kentang goreng (50 mg/kg), udang beku (100 mg/kg), dan
pekatan sari nenas (500 mg/kg).
Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan bahan pengawet yang dilarang untuk
digunakan dalam makanan dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya boraks dan formalin.
Boraks banyak digunakan dalam berbagai makanan seperti baso, mie basah, pisang molen,
lemper, buras, siomay, lontong, ketupat, dan pangsit, dan selain bertujuan untuk
mengawetkan juga dapat membuat makanan lebih kompak (kenyal) teksturnya dan
memperbaiki penampakan. Akan tetapi boraks sangat berbahaya bagi kesehatan. Boraks
bersifat sebagai antiseptik dan pembunuh kuman, oleh karena itu banyak digunakan sebagai
anti jamur, bahan pengawet kayu, dan untuk bahan antiseptik pada kosmetik. Penggunaan
boraks seringkali tidak disengaja karena tanpa diketahui terkandung di dalam bahan-bahan
tambahan seperti pijer atau bleng yang sering digunakan dalam pembuatan baso, mie
basah, lontong dan ketupat.
Formalin juga banyak disalahgunakan untuk mengawetkan makanan seperti tahu dan mie
basah. Formalin sebenarnya merupakan bahan untuk mengawetkan mayat dan organ tubuh
dan sangat berbahaya bagi kesehatan, oleh karena itu dalam Peraturan Menteri Kesehatan
RI No.722/Menkes/Per/IX/88 formalin merupakan salah satu bahan yang dilarang
digunakan sebagai BTP.
Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa
Salah satu penyedap rasa dan aroma yang dikenal luas di Indonesia adalah vetsin atau
bumbu masak dan terdapat banyak merek di pasaran. Penyedap rasa tersebut mengandung
senyawa yang disebut monosodium glutamat (MSG). Peranan asam glutamat sangat
penting, diantaranya untuk merangsang dan menghantar sinyal-sinyal antar sel otak, dan
dapat memberikan citarasa pada makanan. Dalam peraturan Menteri Kesehatan RI No.
722/Menkes/Per/IX/88, penggunaan MSG dibatasi secukupnya, yang berarti tidak boleh
berlebihan.
Pengemulsi, Pemantap dan Pengental
Fungsi dari pengemulsi, pemantap dan pengental dalam makanan adalah untuk memantapkan
emulsi dari lemak dan air sehingga produk tetap stabil, tidak meleleh, tidak terpisah antara
bagian lemak dan air, serta mempunyai tekstur yang kompak. Jenis makanan yang sering
menggunakan BTP semacam ini adalah es krim, es puter, saus sardin, jem, jeli, sirup, dan lain-
lain. Bahan-bahan pengemulsi, pemantap dan penstabil yang diizinkan digunakan dalam
makanan diantaranya:
• Agar, untuk sardin dan sejenisnya (20 g/kg), es krim, es puter dan sejenisnya (10 g/kg),
keju (8 g/kg), yogurt (5 g/kg), dan kaldu (secukupnya).
• Alginat (dalarn bentuk asam, atau garam kalium atau kalsium alginat), untuk sardin dan
sejenisnya (20 g/kg), keju (5 g/kg), dan kaldu (3 g/kg).
• Dekstrin, untuk es krim, es puter dan sejenisnya (30 g/kg), yogurt (10 g/kg), dan kaldu
(secukupnya).
• Gelatin, untuk yogurt (10 g/kg) dan keju (5 g/kg).
• Gom (bermacam-macam gom), untuk es krim, es puter, sardin dan sejenisnya, serta
sayuran kaleng yang mengandung mentega, minyak dan lemak (10 g/kg), keju (8 g/kg),
saus slada (7,5 g/kg), yogurt (5 g/kg), minuman ringan dan acar ketimun dalam botol
(500 mg/kg).
• Karagen, untuk sardin dan sejenisnya (20 g/kg), es krim, es puter dan sejenisnya, serta
sayuran kaleng yang mengandung mentega, lemak atau minyak (10 g/kg), yogurt, keju
dan kaldu (5 g/kg), dan acar ketimun dalam botol (500 mg kg).
• Lesitin, untuk es krirn, es puter, keju, makanan bayi dan susu bubuk instan (5 g/kg), roti,
margarin dan minuman hasil olah susu (secukupnya).
• Karboksimetil selulosa (CMC), untuk sardin dan sejenisnya (20 g/kg), es krim, es puter
dan sejenisnya (10 g/kg), keju dan krim (5 g/kg), dan kaldu (4 g/kg).
• Pektin, untuk es krim, es puter dan sejenisnya (30 g/kg), sardin dan sejenisnya (20 g/kg),
yogurt, minuman hasil olah susu, dan sayur kalengan yang mengandung mentega, lemak
dan minyak (10 g/kg), keju (8 g/kg), jem dan marmalad (5 g/kg), sirup (2,5 g/kg), dan
minuman ringan (500 mg/kg).
• Pati asetat, untuk es krim, es puter dan sejenisnya (30 g/kg), yogurt dan sayuran kaleng
yang mengandung mentega, lemak dan minyak (10 g/kg) dan kaldu (secukupnya).
Antioksidan
Antioksidan adalah BTP yang digunakan untuk mencegah terjadinya ketengikan pada makanan
akibat proses oksidasi lemak atau minyak yang terdapat di dalam makanan. Bahan-bahan yang
sering ditambahkan antioksidan adalah lemak dan minyak, mentega, margarin, daging
olahan/awetan, ikan beku, ikan asin, dan lain-lain. Bahan antioksidan yang diizinkan digunakan
dalam makanan diantaranya :
• Askorbat (dalam bentuk asam sorbat, atau garam kalium, natrium atau kalsium), yaitu
antioksidan untuk kaldu (l g/kg), daging olahan/awetan, jem, jeli dan marmalad, serta
makanan bayi (500 mg/kg), ikan beku (400 mg/kg), dan potongan kentang goreng beku
(100 mg/kg).
• Butil Hidroksianisol (BHA), untuk lemak dan minyak makan serta mentega (200 mg/kg),
dan margarin (100 mg/kg).
• Butil Hidroksitoluen (BHT), untuk ikan beku (1 g/kg), minyak, lemak, margarin, mentega
dan ikan asin (200 mg/kg).
• Propil galat, untuk lemak dan minyak makan, margarin dan mentega (100 mg/kg).
• Tokoferol, untuk makanan bayi (300 mg/kg), kaldu (50 mg/kg), serta lemak dan minyak
makan (secukupnya).
Pengatur Keasaman (Pengasam, Penetral dan Pendapar)
Fungsi pengatur keasaman pada makanan adalah untuk membuat makanan menjadi lebih
asam, lebih basa, atau menetralkan makanan. Pengatur keasaman mungkin ditambahkan
langsung ke dalam makanan, tetapi seringkali terdapat di dalarn bahan-bahan yang
digunakan untuk membuat makanan. Beberapa pengatur keasaman yang diizinkan untuk
digunakan dalam makanan, diantaranya adalah :
• Aluminium amonium/kalium/natrium sulfat. yaitu terdapat di dalam soda kue (jumlah
yang diizinkan adalah secukupnya).
• Asam laktat, untuk makanan pelengkap serealia (15 g/kg), makanan bayi kalengan (2
g/kg), dan rnakanan-makanan lain seperti pasta tomat, jem/jeli, buah-buahan kaleng, bir,
roti, margarin, keju, sardin, es krim, es puter, dan acar ketimun dalam botol
(secukupnya).
• Asam sitrat, untuk makanan pelengkap serealia (25 g/kg), makanan bayi kalengan (15
g/kg), coklat dan coklat bubuk (5 g/kg), dan makanan-rnakanan lain seperti pasta tomat,
jem/jeli, minuman ringan, udang, daging, kepiting dan sardin kalengan, margarin, keju,
saus, sayur dan buah kaleng (secukupnya).
• Kalium dan natrium bikarbonat, untuk coklat dan coklat bubuk (50 g/kg), mentega (2
g/kg), serta makanan lainnya seperti pasta tomat, jem/jeli, soda kue, dan makanan bayi
(secukupnya).
Anti Kempal
Antikempal biasa ditambahkan ke dalam pangan yang berbentuk tepung atau bubuk. Oleh karena
itu peranannya di dalam makanan tidak secara langsung, tetapi terdapat di dalarn bahan-bahan
yang digunakan untuk membuat makanan seperti susu bubuk, tepung terigu, gula pasir, dan
sebagainya. Beberapa bahan antikempal yang diizinkan di dalam bahan-bahan untuk
makanan diantaranya:
• Aluminium silikat, yaitu untuk susu dan krim bubuk (1 g/kg).
• Kalsium aluminium silikat, yaitu untuk serbuk garam dengan rempah atau bumbu serta
merica (20 g/kg), gula bubuk (15 g/kg), dan garam meja (10 g/kg).
• Kalsium silikat, penggunaannya untuk produk-produk seperti pada penggunaan kalsium
aluminium silikat, ditambah untuk susu bubuk (10 g/kg) dan krim bubuk (1 g/kg).
• Magnesium karbonat, penggunaannya seperti pada kalsium silikat.
• Magnesium oksida dan magnesium silikat, penggunaannya seperti pada aluminium silikat.

Pemutih dan Pematang Tepung


Pemutih dan pematang tepung adalah bahan yang dapat mempercepat proses pemutihan
dan sekaligus pematangan tepung sehingga dapat memperbaiki mutu hasil pemanggangan,
misalnya dalam pembuatan roti, kraker, biskuit, dan kue. Beberapa bahan pemutih dan
pematang tepung yang diizinkan untuk makanan diantaranya:
• Asam askorbat, yaitu digunakan untuk tepung (200 mg/kg)
• Kalium bromat, untuk tepung (150 mg-:,g) serta roti dan sejenis-nya (100 mg/kg)
• Natrium pirofosfat, untuk adonan kue (5 g/kg bahan kering), roti dan sejenisnya (3,75
g/kg tepung), wafel dan tepung campuran wafel serta serabi dan tepung campuran serabi
(3 g/kg bahan kering).
Pengeras
Pengeras ditambahkan ke dalam makanan untuk membuat makanan menjadi lebih keras atau
mencegah makanan menjadi lebih lunak. Beberapa bahan pengeras yang diizinkan untuk
makanan diantaranya:
• Kalsium glukonat, untuk mengeraskan buah-buahan dan sayuran dalam kaleng seperti
irisan tomat kalengan (800 mg/kg), tomat kalengan (450 mg/kg), buah kalengan (350
mg/kg), acar ketimun dalam botol (250 mg/kg), serta jem dan jeli (200 mg/kg).
• Kalsium klorida, penggunaannya seperti kalsium glukonat, ditambah dengan apel dan
sayuran kalengan (260 mg/kg).
• Kalsium sulfat, untuk irisan tomat kalengan (800 mg/kg), tomat kalengan (450 mg/kg),
serta apel dan sayuran kalengan (260 mg/kg).
Sekuestran
Sekuestran adalah bahan yang dapat mengikat ion logam pada makanan sehingga memantapkan
warna dan tekstur makanan, atau mencegah perubahan warna makanan. Beberapa bahan
sekuestran yang diizinkan untuk makanan diantaranya:
• Asam fosfat, untuk produk kepiting kalengan (5 g/kg), serta lemak dan minyak makan (100
mg/kg).
• Isopropil sitrat, untuk lemak dan minyak makan serta margarin (100 mg/kg).
• Kalsium dinatrium edetat (EDTA), untuk udang kalengan (250 mg/kg), jamur
kalengan (200 mg/kg), dan potongan kentang goreng beku (100 mg/kg).
• Monokalium fosfat, untuk ikan dan udang beku (5 g/kg), daging olahan/awetan (3 g/kg),
dan kaldu ( 1 g/kg).
• Natrium pirofosfat, penggunaan seperti monokalium fosfat, ditambah untuk sardin dan
produk sejenisnya (5 g/kg), dan potongan kentang goreng beku (100 mg/kg).
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2001. Materi Penyuluhan Bagi Perusahaan Makanan Industri Rumah Tangga. Dinas
Kesehatan Pemerintah Kabupaten Sleman. Sleman.

Dasar Pengawetan
Pangan
Yang Terjadi pada Bahan Pangan setelah Panen
Bahan pangan atau makanan jika dibiarkan di udara terbuka pada suhu kamar akan mengalami
kerusakan atau bahkan kebusukan. Kerusakan atau kebusukan bahan pangan atau makanan dapat
berlangsung cepat atau lambat tergantung dari.....
Yang Terjadi pada Bahan Pangan setelah Panen
Bahan pangan atau makanan jika dibiarkan di udara terbuka pada suhu kamar akan mengalami
kerusakan atau bahkan kebusukan. Kerusakan atau kebusukan bahan pangan atau makanan dapat
berlangsung cepat atau lambat tergantung dari jenis bahan pangan atau makanan yang
bersangkutan dan kondisi lingkungan dimana bahan pangan atau makanan diletakkan.
Bahan pangan yang berasal dan hewan seperti daging, susu, telur dan ikan dalam keadaan segar
adalah kelompok bahan pangan yang paling mudah rusak (perishable foods ). Dalam waktu
beberapa jam saja pada suhu kamar, jika tidak segera dimasak, bahan pangan dari kelompok ini
akan rusak atau busuk.
Bahan pangan yang berasal dari tanaman seperti buah-buahan dan sayuran dalam keadaan segar
adalah kelompok bahan pangan yang agak mudah rusak. Tidak seperti kelompok bahan pangan
hewani, kelompok bahan pangan ini tergantung pada jenisnya relatif dapat tahan beberapa hari
pada suhu kamar sebelum menjadi busuk. Buah-buahan seperti mangga dan pisang setelah dipetik
akan mengalami proses pematangan dan kemudian dilanjutkan dengan proses pembusukan.
Bahan pangan nabati seperti biji-bijian dan kacang-kacangan yang sudah dikeringkan adalah
kelompok bahan pangan yang sifatnya relatif awet pada suhu kamar. Dengan kadar air 14% atau
kurang umumnya bahan pangan ini dapat disimpan dalam keadaan segar dan kering cukup lama
di dalam tempat penyimpanan yang juga kering. Sebagai contoh, gabah, beras, kedelai, jagung
dan biji-bijian serta kacang-kacangan lainya dalam keadaan kering dapat disimpan beberapa
bulan di dalam gudang yang kering.
Penyebab Utama Kerusakan Bahan Pangan
Beberapa faktor dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada bahan pangan, antara lain yang
terpenting adalah sebagai berikut :
1. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba
2. Aktivitas enzim yang terdapat dalam bahan pangan
3. Aktivitas serangga, parasit dan binatang pengerat.
4. Kandungan air dalam bahan pangan
5. Suhu, baik suhu tinggi maupun rendah
6. Udara khususnya oksigen
7. Sinar
8. Waktu penyimpanan
Enzim Penyebab kerusakan Bahan Pangan
Enzim merupakan senyawa protein yang berfungsi sebagai katalis biologis yang dapat
mengendalikan berbagai reaksi biokimia yang terdapat di dalam jaringan hidup. Enzim dapat
berasal secara alami di dalam bahan pangan, atau dapat pula berasal dari mikroba yang,
mencemari bahan pangan yang bersangkutan. Enzim yang dikeluarkan oleh mokroba dapat
menimbulkan perubahan bau, warna dan tekstur pada bahan pangan.
Enzim yang terdapat secara alami di dalam bahan pangan misalnya enzim polifenol oksidase pada
buah salak, apel atau ubi kayu. Enzim dapat menimbulkan warna coklat jika buah atau ubi
dipotong. Enzim polifenol oksidase merupakan salah satu jenis enzim yang merusak bahan
pangan karena warna coklat yang ditimbulkannya. Enzim dapat pula menyebabkan
penyimpangan citarasa makanan seperh enzim lipoksidase yang menimbulkan bau langu pada
kedelai. Enzim juga dapat menyebabkan pelunakan pada buah, misalnya enzirn pektinase yang
umum terdapat pada buah-buahan. Karena merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
kerusakan pada bahan pangan, maka enzim perlu diinaktifkan jika bahan pangan yang
bersangkutan akan diawetkan.
Serangga, Parasit dan Binatang Pengerat
Serangga, parasit dan binatang mengerat termasuk ke dalam kategori hama yang dapat
menimbulkan masalah pada bahan pangan.
Serangga
Serangga merusak bahan pangan bukan hanya karena memakan bahan pangan seperti biji-bijian,
buah-buahan atau sayuran, tetapi karena luka yang ditimbulkannya pada permukaan bahan
pangan akan mengundang mikroba untuk mencemari luka tersebut dan tumbuh serta berkembang
di sana. Mikroba ini yang seterusnya akan merusak bahan pangan yang bersangkutan. Di samping
itu, air kencing dan kotoran serangga yang terkumpul pada tumpukan bahan pangan juga
merupakan tempat yang cocok bagi mikroba untuk tumbuh dan berkembang. Telur-telur serangga
dapat tertinggal di dalam bahan pangan untuk kemudian pada suatu saat akan menetas dan
berkembang.
Parasit
Parasit sepertt cacing misalnya cacing tambang atau cacing pita kadang-kadang ditemukan di
dalam bahan pangan seperti daging. Cacing tersebut umumnya masuk ke dalam tubuh hewan
melalui sisa-sisa makanan yang dimakan hewan yang bersangkutan. Cacing pita (Trichinella
spiralis) yang sering ditemukan di dalam daging babi dapat menjadi sumber penyakit bagi
manusia, jika daging yang, mengandung cacing tersebut tidak dimasak cukup panas.
Binatang Mengerat
Tikus merupakan salah satu jenis hama yang sering menyerang tanaman padi sebelum dipanen
maupun padi atau biji-bijian lainnya yang sudah dipanen yang disimpan di dalam lumbung-
lumbung. Bahaya tikus bukan hanya karena binatang ini dapat menghabiskan hasil panen kita,
tetapi juga kotorannya termasuk air kencing dan bulu yang terlepas dari kulitnya merupakan
media yang sesuai bagi pertumbuhan mikroba
Burung dapat dianggap sebagai hama bahan pangan karena kotorannya mungkin mencemari
bahan pangan dan mengundang mikroba untuk tumbuh pada bahan pangan. Hewan lain
termasuk hewan peliharaan dapat merupakan hama jika mencemari dan menimbulkan
kerusakan pada bahan pangan. Oleh karena itu, hewan-hewan ini harus dihindari agar bahan
pangan tidak tercemar mikroba.
Kandungan Air Dalam Bahan Pangan
Air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan
bahan pangan. Seperti telah diuraikan di atas, umumnya bahan pangan yang mudah rusak
adalah bahan pangan yang mempunyai kandungan air yang tinggi. Air dibutuhkan oleh mikroba
untuk pertumbuhannya. Demikian juga air dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi-reaksi
biokimia yang terjadi di dalam bahan pangan, misalnya reaksi-reaksi yang dikatalisis oleh
enzim.
Air yang dibutuhkan untuk terjadinya berbagai reaksi di dalam bahan pangan serta
tumbuhnya mikroba adalah air bebas. Air yang terikat kuat secara kimia sulit digunakan
mikroba untuk hidupnya. Oleh karena itu, dengan menambahkan gula, garam, dan senyawa
sejenis lainnya jumlah yang cukup dapat mengikat air tersebut, dan makanan menjadi awet
meskipun kandungan airnya masih cukup tinggi. Makanan seperti ini disebut makanan semi
basah, misalnya jem, jeli dan sejenisnya.
Suhu sebagai Penyebab Kerusakan Bahan Pangan
Tergantung pada jenis bahan pangan, suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat
mempercepat kerusakan bahan pangan. Oleh karena itu, jika proses pendinginan atau
pemanasan tidak dikendalikan dengan benar, maka dapat menyebabkan kerusakan bahan
pangan. Hasil pertanian hortikultura khususnya buah-buahan dan sayuran tropis sifatnya peka
terhadap suhu rendah Beberapa jenis buah-buahan dan sayuran akan mengalami kerusakan yang
disebut chilling injury atau kerusakan karena suhu rendah yang berakibat warna berubah atau
tekstur cepat menjadi lunak. Sebagai contoh, pisang yang disimpan di lemari es akan segera
mengalami pencoklatan dan pelunakan, dan jika dikeluarkan dari lemari es menjadi tidak layak
lagi untuk dimakan. Oleh karena itu buah-buahan seperti pisang dan tomat jangan disimpan di
lemari es yang terlalu dingin.
Demikian juga buah-buahan atau sayuran tropis yang dibekukan akan mengalami kerusakan,
khususnya tekstur akan menjadi lunak. Jika dikeluarkan dari lemari pembeku buah-buahan atau
sayuran tersebut akan menjadi lembek karena jaringannya rusak dan tidak lay ak lagi untuk
dimakan.
Pembekuan juga akan mengakibatkan kerusakan pada makanan yang bentuknya cair.
Misalnya, sebotol susu sapi jika dibekukan akan mengakibatkan lemak susu atau krim terpisah
cairannya. Demikian juga, pembekuan dapat menyebabkan protein susu menjadi menggumpal.
Terjadinya kerusakan bahan pangan pada suhu rendah seperti disebutkan di atas hanya
perkecualian, karena umumnya penyimpanan pada suhu rendah dapat mengawetkan bahan
pangan dan umumnya makin rendah suhunya semakin baik pengawetannya.
Seperti halnya suhu yang terlalu rendah, suhu yang terlalu tinggipun dapat menyebabkan
kerusakan bahan pangan. Umumnya pada suhu penanganan bahan pangan, setiap kenaikan 100C,
kecepatan reaksi kimia naik 2 kalinya. Beberapa contoh, kerusakan karena suhu tinggi misalnya
protein menggumpal, emulsi pecah, keringnya bahan pangan karena airnya menguap dan
rusaknya vitamin.
Udara Khususnya Oksigen sebagai Penyebab Kerusakan Bahan Pangan
Udara khususnya oksigen yang terkandung di dalamnya merupakan penyebab utama ketengikan
bahan pangan yang berlemak. Demikian juga, oksigen dapat merusak vitamin, terutama vitamin
A dan C. Oksigen juga dapat menimbulkan kerusakan warna sehingga produk pangan jadi pucat.
Oksigen adalah komponen penting bagi hidupnya mikroba aerobik khususnya kapang, karena itu
sering ditemukan di permukaan bahan pangan atau di celah-celahnya.
Sinar Merupakan Faktor Penyebab Kerusakan Bahan Pangan
Kerusakan bahan pangan karena sinar terlihat jelas pada makanan yang berwarna. Warna bahan
pangan atau makanan dapat menjadi pucat karena pengaruh sinar. Hal ini terlihat jelas pada
produk-produk makanan berwarna yang dipajang di etalase warung umumnya warna pudar
karena setiap hari tersinari matahari.
Sinar juga dapat merusak beberapa vitamin yang terkandung dalam bahan pangan, misalnya
vitamin B2, vitamin A dan vitamin C. Susu yang disimpan di dalam botol transparan juga dapat
rusak karena sinar, yaitu menimbulkan bau tengik akibat terjadinya oksidasi. Demikian juga
minyak kelapa yang disimpan dalam botol transparan akan mudah menjadi tengik jika tersinari
matahari secara terus-menerus.
Waktu Merupakan Faktor Penyebab Kerusakan Bahan Pangan
Sesudah bahan pangan dipanen, diperah, (susu) atau disembelih (daging), ada waktu sesaat yang
dipunyai bahan pangan untuk memberikan mutu puncaknya, akan tetapi sesudah itu mutu akan
turun terus-menerus. Penurunan mutu karena faktor waktu ini sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor kerusakan bahan pangan lainnya seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Pengawetan pada Bahan Pangan
Jika bahan pangan ingin dikonsumsi dalam kondisi mutu puncaknya, ada 2 cara paling sederhana
yang dapat dilakukan yaitu :
1. Pertahankan bahan pangan dalam keadaan hidup selama mungkin, atau tidak membunuh
hewan atau tanaman sampai pada saatnya dimasak untuk dimakan. Sebagai contoh ikan atau
udang yang dipelihara di akuariurn atau kolam dan memasaknya pada saat akan dimakan pada
prinsipnya tidak mengalami kerusakan yang serius. Demikian halnya dengan ayam yang
dipelihara di kandang atau buah yang dibiarkan matang di pohon.
2. Jika hewan atau ikan harus dibunuh, agar lebih awet bahan pangan ini harus dibersihkan.
dibungkus dan didinginkan. Meskipun demikian, cara-cara ini hanya dapat menghambat
kerusakan sesaat, misalnya hanya untuk beberapa jam atau hari. Dengan cara ini mikroba atau
enzim yang terdapat secara alami dalam bahan pangan tidak akan secara total mati atau
diinaktifkan, sehingga masih memungkinkan untuk merusak. Untuk penyimpanan jangka
panjang, metode pengawetan harus dilakukan dengan cara membunuh mikroba atau
menginaktifkan enzim yang menjadi penyebab kerusakan.
Pengendalian Mikroba Agar Tidak Merusak Bahan Pangan

Cara paling penting untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri, kapang dan kamir adalah

pemanasan, pendinginan, pengeringan, penambahan asam, gula, garam, pengasapan, pembuangan

udara, penambahan bahan kimia dan radiasi. Sebagian cara tersebut dapat menyebabkan

kerusakan bahan pangan, oleh karena itu perlu ada keseimbangan dalam penerapannya. Sebagai
contoh. aplikasi cara pemanasan pada suhu tinggi cukup hanya digunakan untuk memusnahkan

mikroba tanpa memasak bahan pangan itu sendiri. Demikian juga dosis radiasi yang digunakan

cukup hanya untuk memusnahkan spora bakteri dengan pengaruh sangat minimum terhadap

komponen bahan pangan. Dengan demikian, dalam pengawetan pangan pertimbangan atas

perlakuan dan dosis yang digunakan sangat penting untuk memperoleh hasil yang optimum.

Pemanasan
Umumnya bakteri, kapang dan kamir paling baik tumbuh pada suhu antara 16 sampai 370 C.
Mikroba yang tahan panas atau termofil mungkin masih dapat tumbuh pada kisaran suhu 65
sampai 820C. Umumnya bakteri akan terbunuh pada suhu antara 82 sampai 930C. Meskipun
demikian spora bakteri tidak akan terbunuh pada suhu air mendidih 1000C selama 30 menit.
Untuk lebih meyakinkan bahwa semua mikroba mati, suhu harus dinaikkan sampai 1210C dengan
pemanasan uap dan bahan pangan dipertahankan pada suhu ini selama 15 menit atau lebih.
Pemanasan pada suhu seperti ini dapat dilakukan dengan uap dibawah tekanan sampai 15 psi di
dalam suatu retort atau autoklaf. Tabel di bawah ini menunjukkan hubungan antara suhu dengan
pertumbuhan mikroba.
Tabel 1. Hubungan antara Suhu dan Pengaruhnya terhadap Mikroba

No. Suhu Pengaruh Suhu pada Mikroba


(0C)
1. 121 Suhu uap pada tekanan 15 psi selama 15 sampai 20 menit
membunuh semua bentuk bakteri termasuk sporanya
2. 116 Suhu uap pada tekanan 10 psi selama 30 sampai 40 menit
membunuh semua bentuk bakteri termasuk sporanya
3. 110 Suhu uap pada tekanan 10 psi selama 30 sampai 40 menit
membunuh semua bentuk bakteri termasuk sporanya
4. 104 Suhu uap pada tekanan 2 psi
5. 100 Suhu mendidih air murnipada permukaan air laut.
Membunuh sel vegetatif setelah pemanasan cukup lama,
tetapi tidak membunuh spora
6. 93 Umumnya sel bakteri, kapang dan kamir yang sedang
tumbuh dapat mati pada suhu ini
7. 82,2 Bakteri termofilik tumbuh pada kisaran suhu ini
8. 76,7 Pasteurisasi susu selama 30 menit membunuh bakteri
patogen yang menimbulkan penyakit pada manusia
kecuali sporanya
9. 37,8 Kisaran pertumbuhan yang aktif bagi bakteri, kapang dan
kamir
10 10 Pertumbuhan mikroba pada umumnya terhambat
.
11. 4,4 Pertumbuhan optimum mikroba psikrofil
12 -18 Pembekuan. Pertumbuhan mikroba terhenti
.
Pemanasan pada suhu tinggi contohnya adalah pengalengan pangan. Dalam proses ini, suhu dan
waktu proses ditetapkan sedemikian rupa sehingga kombinasinya dapat membunuh spora bakteri
yang paling tahan panas. Tidak semua bahan pangan membutuhkan panas yang sama untuk
sterilisasi, tergantung pada jenis pangannya, wadah yang digunakan dan isi kalengnya apakah
mengandung banyak cairan atau tidak.
Terdapat 3 cara pemanasan atau proses termal yang umum dilakukan dalam pengolahan pangan,
yaitu : blansir (blanching), pasteurisasi dan sterilisasi komersial.
Blansir (Blanching)
Blansir adalah proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang dari 1000C selama beberapa
menit dengan menggunakan air panas atau uap air panas. Contoh blansir misalnya mencelupkan
sayuran atau buah di dalam air mendidih selama 3 sampai 5 menit atau mengukusnya selama 3
sampai 5 menit. Tujuan blansir terutama adalah untuk menginaktifkan enzim yang terdapat secara
alami di dalam bahan pangan, misalnya enzim polifenolase yang menimbulkan pencoklatan.
Blansir umumnya dilakukan jika bahan pangan akan dibekukan atau dikeringkan. Sayuran hijau
yang diberi perlakuan blansir sebelum dibekukan atau dikeringkan mutu warna hijaunya lebih
baik dibandingkan dengan sayuran yang tidak diblansir terlebih dahulu.
Dalam pengalengan sayuran dan buah-buahan blansir juga bertujuan untuk menghilangkan gas
dari dalam jaringan tanaman, melayukan jaringan tanaman agar dapat masuk dalam jumlah lebih
banyak dalam kaleng, menghilangkan lendir dan memperbaiki warna produk.
Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh mikroba
patogen atau penyebab penyakit seperti bakteri penyebab penyakit TBC, disentri, diare dan
penyakit perut lain. Panas yang diberikan pada pasteurisasi harus cukup untuk membunuh
bakteri-bakteri patogen tersebut, misalnya pasteurisasi susu harus dilakukan pada suhu 600C
selama 30 menit. Pada suhu 600C selama 30 menit setara dengan pemanasan pada suhu 72 0C
selama 15 detik. Pasteurisasi yang terakhir ini sering disebut dengan proses HTST (High
Temperature Short Time) atau pasteurisasi dengan suhu tinggi dalam waktu singkat. Disamping
pada produk susu, pasteurisasi juga umumnya dilakukan pada produk sari buah-buahan asam.
Satu hal yang penting adalah pasteurisasi hanya bakteri patogen saja yang dibunuh, sedangkan
bakteri lain yang lebih tahan panas bisa saja masih terdapat hidup dalam bahan pangan yang
dipasteurisasi. Dengan demikian, meskipun bakteri ini tidak menimbulkan penyakit tetapi jika
tumbuh di dalam produk pangan dapat menyebabkan kerusakan/kebusukan. Oleh karena itu,
produk-produk yang sudah dipasteurisasi harus disimpan di lemari es sebelum digunakan dan
tidak boleh berada pada suhu kamar karena sebagian mikroba yang masih hidup dapat
melangsungkan pertumbuhannya. Di dalam lemari es masa simpan produk pasteurisasi seperti
susu atau sari buah umumnya hanya 2 minggu.
Sterilisasi Komersial
Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada bahan pangan yang sifatnya
tidak asam atau lebih dikenal dengan bahan pangan berasam rendah. Yang tergolong bahan
pangan berasam rendah adalah bahan pangan yang memiliki pH lebih besar dari 4,5, misalnya
seluruh bahan pangan hewani seperti daging, susu, telur dan ikan, beberapa jenis sayuran seperti
buncis dan jagung.
Bahan pangan berasam rendah memiliki resiko untuk mengandung spora bakteri Clostridium
botulinum yang dapat menghasilkan toksin mematikan jika tumbuh di dalam makanan kaleng.
Oleh karena itu, spora ini harus dimusnahkan dengan pemanasan yang cukup tinggi. Sterilisasi
komersial adalah pemanasan pada suhu di atas 1000C, umumnya sekitar 121,10C dengan
menggunakan uap airselama waktu tertentu dengan tujuan untuk memusnahkan spora bakteri
patogen termasuk spora bakteri Clostridium botulinum. Dengan demikian, sterilisasi komersial ini
hanya digunakan untuk mengolah bahan pangan berasam rendah di dalam kaleng, seperti kornet,
sosis dan sayuran dalam kaleng. Susu steril dalam kotak adalah contoh produk lain yang diproses
dengan sterilisasi komersial. Tetapi prosesnya berbeda dengan pengalengan. Susu steril dalam
kotak diproses dengan pengemasan aseptik yaitu suatu proses sterilisasi kontinyu dimana produk
susu yang sudah disterilkan dimasukkan ke dalam kotak yang sudah disterilkan dalam lingkungan
yang juga aseptik. Proses pengemasan aseptik umumnya digunakan untuk sterilisasi komersial
produk-produk yang bentuknya cair.
Produk yang sudah diproses dengan sterilisasi komersial harus disimpan pada kondisi
penyimpanan yang normal, yaitu pada suhu kamar. Harus dihindari penyimpanan pada suhu yang
lebih tinggi (sekitar 500C), karena bukan tidak mungkin jika ada spora dari bakteri yang sangat
tahan panas masih terdapat di dalam kaleng dapat tumbuh dan berkembang biak di dalamnya dan
menyebabkan kebusukan.
Pendinginan dan Pembekuan
Pertumbuhan bakteri di bawah suhu 100C akan semakin lambat dengan semakin rendahnya suhu.
Pada saat air dalam bahan pangan membeku seluruhnya, maka tidak ada lagi pembelahan sel
bakteri. Pada sebagian bahan pangan air tidak membeku sampai suhu –9,50C atau di bawahnya
karena adanya gula, garam, asam dan senyawa terlarut lain yang dapat menurunkan titik beku air.
Lambatnya pertumbuhan mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi dasar dari proses
pendinginan dan pembekuan dalam pengawetan pangan. Proses pendinginan dan pembekuan
tidak mampu membunuh semua mikroba, sehingga pada saat dicairkan kembali (thawing), sel
mikroba yang tahan terhadap suhu rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan
masalah kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan.
Pendinginan
Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil
sekali terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan seperti di
dalam lemari es sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan
buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan
terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan
tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 130C karena akan mengalami chilling
injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu terlalu rendah
kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan
menjadi lunak karena teksturnya rusak.
Pembekuan
Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu
jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar –180C, meskipun umumnya produk beku
mempunyai suhu lebih rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet
karena mikroba tidak dapat tumbuh dan enzim tidak aktif. Sayuran dan buah-buahan umumnya
diblansir dahulu untuk menginaktifkan enzim sebelum dibekukan. Bahan pangan seperti daging
dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan, ikan dapat disimpan selama 8 sampai 12 bulan dan
buncis dapat disimpan antara 12 sampai 18 bulan.
Pengeringan
Kondisi pertumbuhan yang baik pada mikroba umumnya mengandung sekitar 80% air. Air ini
diperoleh dari bahan pangan tempat tumbuhnya. Jika air yang terdapat dalam bahan pangan
tersebut dihilangkan maka tidak ada lagi air yang dapat digunakan untuk tumbuhnya sehingga
mikroba tidak dapat tumbuh dan berkembang biak.
Bakteri dan kamir umumnya membutuhkan air relatif lebih banyak untuk pertumbuhannya
dibandingkan dengan kapang. Kapang sering ditemukan tumbuh pada makanan setengah basah
dimana bakteri dan kamir sulit tumbuh. Sebagai contoh pada buah-buahan kering atau roti,
umumnya kapang masih dapat tumbuh dengan subur.
Demikian pentingnya kebutuhan air untuk pertumbuhan bagi mikroba, maka menurunkan kadar
air bahan pangan dengan cara pengeringan merupakan metode pengawetan yang efektif terhadap
serangan mikroba. Pengeringan pangan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
dengan penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan pengeringan buatan menggunakan alat
pengering.
Seperti halnya pembekuan, pengeringan baik parsial maupun penuh tidak dapat mematikan
semua mikroba yang ada dalam bahan pangan yang dikeringkan tersebut. Produk pangan kering
umumnya kurang steril sehingga meskipun bakteri tidak dapat tumbuh pada makanan kering
pertumbuhan mikroba dapat terjadi kembali jika makanan kering tersebut dibasahkan kembali,
kecuali jika makanan tersebut segera dikonsumsi atau disimpan pada suhu rendah.
Pemberian Asam
Asam pada konsentrasi yang cukup dapat menyebabkan kerusakan protein yang disebut
denaturasi. Oleh karena sel mikroba terbentuk dari protein, maka pemberian asam dari mikroba
lainnya sehingga sering asam yang dihasilkan oleh sejenis mikroba dalam suatu proses fermentasi
akan menghambat pertumbuhan jenis mikroba lain dalam bahan pangan tersebut. Dengan
demikian pada proses fermentasi tersebut akan terjadi proses seleksi, yaitu mikroba pembusuk
yang umumnya bersifat proteolitik akan terhambat pertumbuhannya.
Dalam pengawetan dengan asam, asam dapat dihasilkan oleh kultur bakteri pembentuk asam
yang ditambahkan ke dalam bahan pangan. Asam juga dapat ditambahkan dengan sengaja dalam
bentuk senyawa kimia seperti asam sitrat atau asam fosfat ke dalam minuman. Beberapa bahan
pangan seperti sari buah jeruk atau sari buah nanas sudah mengandung asam secara alami
sehingga secara alami pula memberikan pengaruh pengawetan terhadap sari buah tersebut. Pada
umumnya derajat keasaman pada bahan pangan yang dapat diterima secara organoleptik tidak
pernah cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroba secara keseluruhan. Oleh sebab itu
sselalu ada proses pengawetan tambahan terhadap bahan-bahan pangan sejenis ini.
Kombinasi asam dengan panas memberikan pengaruh pemusnahan mikroba yang lebbih tinggi.
Bahan pangan yang memiliki pH lebih rendah umumnya membutuhkan waktu sterilisasi yang
relatif lebih singkat pada suhu yang sama dibandingkan dengan bahan pangan yang memiliki pH
lebih tinggi. Sebagai contoh,untuk memusnahkan spora pada sop jagung dengan pH 6,45
dibutuhkan pemanasan pada suhu 1000C selama 255 menit, sedangkan pada buah per dengan pH
3,75 hanya dibutuhkan pemanasan pada suhu 1000C selama 30 menit.
Pemberian Gula dan Garam
Gula dan garam merupakan bahan yang efektif untuk pengawetan karena sifatnya yang dapat
menarik air dari dalam sel mikroba sehingga sel menjadi kering karena proses osmosis.
Pengawetan pangan dengan pemberian garam dilakukan pada pengasinan ikan, sedangkan
pemberian gula dilakukan pada pengawetan buah-buahan dalam sirup dalam bentuk manisan.
Jenis mikroba yang berbeda mempunyai kepekaan terhadap osmosis oleh gula atau garam yang
berbeda pula. Kapang dan kamir umumnya lebih toleran terhadap gula dan garam daripada
bakteri. Oleh sebab itu dalam pangan bergula seperti jem atau jeli, kapang dan kamir kadang-
kadang ditemukan sedangkan bakteri tidak dapat tumbuh.
Pengasapan
Pengasapan adalah salah satu cara pengawetan pangan yang sudah dipraktekkan sejak lama
dalam pengasapan daging dan ikan. Bandeng asap adalah salah satu produk pengasapan yang
sudah banyak dijual di pasar.
Proses pengawetan yang ditimbulkan dari pengasapan terjadi karena kombinasi beberapa faktor.
Asap sebagai hasil pembakaran kayu mengandung sejumlah kecil formaldehide dan senyawa lain
yang bbersifat sebagai pengawet. Disamping itu dalam pengasapan jugaada faktor panas yang
diberikan yang berfungsi membunuh mikroba. Pengasapan juga menyebabkan bahan pangan
yang diasap menjadi kering karena menguapnya airdari dalam bahan pangan yang juga
memberikan pengaruh pengawetan.
Pengasapan selain untuk tujuan pengawetan juga bertujuan untuk memberikan citarasa asap yang
khas pada bahan pangan. Jika pemberian citarasa lebih diutamakan seringkali pengasapan ini
dikombinasikan dengan metode pengawetan lain, misalnya dengan pengalengan atau pendinginan
dan pembekuan.
Pembuangan Udara
Membuang udara dari kemasan yang berisi bahan pangan merupakan salah satu cara pengawetan
karena mikroba pembusuk aerobik membutuhkan udara khususnya oksigen untuk hidup.
Pembuangan udara ini juga dapat mencegah terjadinya oksidasi minyak dan lemak. Cara-cara
yang sudah dipraktekkan untuk menghindari kontak oksigen dengan bahan pangan misalnya
pemberian pelapis lilin pada keju atau melapisi bahan pangan dengan film plastik elastis yang
kedap oksigen. Cara-cara lain adalah mengganti udara dalam kemasan dengan gas nitrogen atau
memasukkan tablet penyerap oksigen ke dalam kemasan.
Penambahan Bahan Tambahan Pangan
Banyak bahan kimia yang dapat membunuh mikroba atau menghentikan pertumbuhannya tetapi
beberapa bahan kimia ini tidak diijinkan untuk digunakan dalam makanan dan minuman.
Sejumlah kecil bahan tambahan pangan yang bersifat pengawet yang diperbolehkan untuk
ditambahkan ke dalam bahan makanan misalnya : asam benzoat atau natrium benzoat, asam
sorbat, natrium atau kalsium propionat dan sulfur oksida. Asam atau natrium benzoat umum
ditambahkan ke dalam pangan berkadar gula tinggi seperti sirup, jem jeli, minuman dsb. Natrium
dan kalsium propionat sering ditambahkan ke dalam produk bakery seperti roti, biskuit dan
sejenisnya. Sedangkan sulfur dioksida sering ditambahkan sebagai pemutih meskipun senyawa
ini juga berfungsi sebagai pengawet, misalnya pada produk-produk kering putih seperti tepung
pisang, manisan pala dsb. Bahan pengawet ini hanya diperbolehkan digunakan dalam dosis
tertentu saja.
Radiasi
Pertumbuhan mikroba dapat dihambat dengan berbagai jenis radiasi seperti radiasi sinar-X,
radiasi sinar ultra violet dan radiasi ionisasi yang disebut iradiasi. Dengan dosis tertentu radiasi
dapat mematikan mikroba dan menginaktifkan enzim dalam bahan pangan. Radiasi ionisasi atau
iradiasi dengan sinar-g saat ini umum dilakukan untuk berbagai jenis bahan pangan mentah dari
mulai rempah-rempah sampai udang beku.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2001. Materi Penyuluhan Bagi Perusahaan Makanan Industri Rumah Tangga. Dinas
Kesehatan Pemerintah Kabupaten Sleman. Sleman.

You might also like