You are on page 1of 20

LAPORAN KASUS I. IDENTITAS Nama Umur Jenis Kelamin Agama Alamat Pendidikan Pekerjaan Suku Bangsa : Tn.

R : 17 Tahun : Laki - Laki : Islam : Ciledug : SMA : Pelajar : Sunda

II.

ANAMNESIS Keluhan utama : Timbul bercak kehitaman pada daerah lipatan paha dan perut bagian bawah Keluhan tambahan : Gatal dan perih pada daerah lipatan paha dan perut bagian bawah Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan timbul bercak kehitaman pada daerah lipatan paha, paha, perut bagian bawah, bokong, kaki kanan dan tangan kanan sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan juga disertai dengan rasa gatal dan perih pada bagian tersebut terutama jika berkeringat. Pasien mengaku sudah pernah di obati dengan bioplacenton di dapat dengan membeli sendiri di apotek. Riwayat penyakit dahulu : (-)

Riwayat penyakit keluarga : (-)


1

III. PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Internus Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos mentis Vital sign : TD : 120/90 mmHg N : 80x/menit RR : 20x/menit S : 36,5 oC Kepala : Normocephal Mata : Conjungtiva : tidak anemis Palpebra : tidak edema Sclera : tidak ikterik Leher : Pembesaran KGB (-) THT : Liang telinga : lapang kanan / kiri Secret / Serumen : (-/-) Perdarahan : (-/-) Hidung : Deviasi septum (-) Epistaksis : (-) Thoraks : Cor : BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop (-) Paru : VBS (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen : Inspeksi : permukaan datar Palpasi : teraba supel Perkusi : thympani di 4 kuadran abdomen Auskultasi : bising usus (+) Ekstremitas : Edema (-), Sianosis (-)

IV. STATUS DERMATOLOGIS A. INSPEKSI 1) Lokalisasi : Inguinal bilateral, cruris dextra sinistra 1/3 proksimal, Suprapubik, perut bagian bawah, gluteus bilateral, cruris dextra 1/3 distal, antebrachii dextra 1/3 distal. 2) Penyebaran : - Regional 3) Jumlah : - Multipel - Bilateral

4) Bentuk kelainan 5) Ukuran 6) Konfigurasi 7) Efloresensi Primer

: - Polimorfik : - Plaque : - Konfluens : - Hiperpigmentasi, Eritema dan Plaque - Sirkumsripta

8) Efloresensi Sekunder : - Skuama dan Erosi

V.

DESKRIPSI Bagian cruris dextra 1/3 distal dan antebrachii dextra 1/3 distal Terdapat plaque eritem dan skuama pada antebrachii dextra 1/3 distal dan plaque hiperpigmentasi dan skuama pada cruris dextra 1/3 distal. Dan dengan batas tegas dan tepi aktif pada kedua bagian tersebut. Pada bagian sentral terlihat lebih tenang.

Bagian inguinal bilateral, cruris 1/3 proksimal bilateral, perut bagian bawah, gluteus, suprapubik Terdapat plaque hiperpigmentasi dengan batas tegas dengan tepi lebih aktif dan terdapat eritem pada bagian tepi. Terdapat skuama dan erosi.

VI.

RESUME

Laki-laki 17 tahun datang dengan keluhan timbul bercak kehitaman pada daerah lipatan paha, paha, perut bagian bawah, bokong, kaki kanan dan tangan kanan sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan juga disertai dengan rasa gatal dan perih pada bagian tersebut terutama jika berkeringat. Pasien mengaku sudah pernah di obati dengan bioplacenton di dapat dengan membeli sendiri di apotek. STATUS DERMATOLOGIS : 1) Lokalisasi : Inguinal bilateral, cruris dextra sinistra 1/3 proksimal, Suprapubik, perut bagian bawah, gluteus bilateral, cruris dextra 1/3 distal, antebrachii dextra 1/3 distal.

2) Penyebaran : - Regional 3) Jumlah 4) Bentuk kelainan 5) Ukuran 6) Konfigurasi 7) Efloresensi Primer

- Bilateral

: - Multipel : - Polimorfik : - Plaque : - Konfluens : - Hiperpigmentasi, Eritema dan Plaque - Sirkumsripta

8) Efloresensi Sekunder : - Skuama dan Erosi DESKRIPSI : Bagian inguinal bilateral, cruris 1/3 proksimal bilateral, perut bagian bawah, gluteus, suprapubik Terdapat plaque hiperpigmentasi dengan batas tegas dengan tepi lebih aktif dan terdapat eritem pada bagian tepi. Terdapat skuama dan erosi. Bagian cruris dextra 1/3 distal dan antebrachii dextra 1/3 distal Terdapat plaque eritem dan skuama pada antebrachii dextra 1/3 distal dan plaque hiperpigmentasi dan skuama pada cruris dextra 1/3 distal. Dan dengan batas tegas dan tepi aktif pada kedua bagian tersebut. Pada bagian sentral terlihat lebih tenang.

VII.

DIAGNOSIS BANDING Tinea cruris Tinea corporis Eritrasma Psoriasis

VIII.

LABORATORIUM (-)
4

IX.

DIAGNOSIS KERJA Tinea Cruris et Corporis

X.

RENCANA ANJURAN Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% Pemeriksaan kultur dengan agar Sabouraud Pemeriksaan Lampu Wood

XI.

PENATALAKSANAAN Sistemik : - Ketokonazol 200 mg (2x1) - Loratadin 10 mg (2x1) Topical : - Fungasol 10 gr (2x1 oles) - Salep Whitfield (2x1 oles) Edukasi kepada pasien di rumah : 1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering 2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi. 3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti pakaian yang lembab 4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak ketat dan ganti setiap hari. 5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.

XII.

PROGNOSIS Quo ad Vitam : ad bonam Quo ad Functionam : ad bonam Quo ad Sanationam : ad bonam Quo ad Cosmeticum : Dubia ad bonam

XIII.

FOLLOW UP Kontrol 2 minggu untuk melihat efek kerja obat


5

PEMBAHASAN

TINEA CRURIS
I.DEFINISI Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain.1 II.ETIOLOGI Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophython fluccosum Trichophyton mentagrophytes, Trichopyhton tonsurans.1 III. EPIDEMIOLOGI Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.2 III.PATOFISIOLOGI Cara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak langsung. Penularan langsung dapat melalui epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah: a.Faktor virulensi dari dermatofita Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal
6

afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang liapt paha bagian dalam. b.Faktor trauma Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur. c.Faktor suhu dan kelembapan Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur. d.Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik e.Faktor umur dan jenis kelamin2 IV.MANIFESTASI KLINIS 1. Anamnesis Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.2 2. Pemeriksaan Fisik Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi. Manifestasi tinea cruris : 1.Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis 2.Daerah bersisik 3.Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif 4.Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi 5.Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang tersebar dan sedikit skuama 6.Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
7

7.Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin muncul karena garukan 8.Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula folikuler 9.Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis.1

Sumber : http://dermatlas.med.jhmi.edu V.PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%. a. Pemeriksaan dengan sediaan basah Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek glass tetesi KOH 10-15 % 12 tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium.1 b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu.1 c. Punch biopsi Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc AcidSchiff, jamur akan tampak
8

merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam.2 d. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.1 VI.DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti yang telah disebutkan dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%, sediaan biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu wood.1 VII.DIAGNOSIS BANDING Candidosis intertriginosa Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida biasanya oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik lakilaki maupun perempuan. Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik endogen maupun eksogen. Faktor endogen misalkan kehamilan karena perubahan pH dalam vagina, kegemukan karena banyak keringat, debilitas, iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis orang tua dan bayi, imunologik (penyakit genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas dan kelembapan, kebersihan kulit kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air yang lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur, kontak dengan penderita. Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama ketiak, bagian bawah payudara, bagian pusat, lipat bokong, selangkangan, dan sela antar jari; dapat juga mengenai daerah belakang telinga, lipatan kulit perut, dan glans penis (balanopostitis). Pada sela jari tangan biasanya antara jari ketiga dan keempat, pada sela jari kaki antara jari keempat dan kelima, keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas seperti terbakar. Lesi pada penyakit yang akut mulamula kecil berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian meluas, berupa lenting-lenting yang dapat berisi nanah berdinding tipis, ukuran 2-4 mm, bercak kemerahan, batas tegas, Pada bagian tepi kadang-kadang tampak papul dan skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh lenting-lenting atau papul di sekitarnya berisi nanah yang bila pecah meninggalkan daerah yang luka, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit sela jari tampak merah atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang kronik, kulit sela jari menebal dan berwarna putih.1,2

Erytrasma Erytrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di
9

daerah ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat. Lesi eritroskuamosa, berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita. Tempat predileksi kadang di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginose. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. Efloresensi yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi terlihat berfluoresensi merah membara (coral red).1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapislapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner. Tempat predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas ekstensor terutama siku serta lutut dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering bagian di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan bervariasi dapat lentikular, numular atau plakat, dapat berkonfluensi.1 Dermatitis Seboroik Dermatitis Seboroik merupakan penyakit inflamasi konis yang mengenai daerah kepala dan badan. Prevalensi Dermatitis Seboroik sebanyak 1-5% populasi.Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit ni dapat mengenai bayi sampa orang dewasa. Umumnya pda bayi terjadi pada usia 3 bulan sedang pada dewasa pada usia 30-60 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan dengan batas kurang tegas. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak berskuama dan berminyak disertai eksudat dan krusta tebal.1 VIII.PENATALAKSANAAN Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur topikal saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan jarang ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.
10

Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam emapat golongan yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros,tolnaftan, haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana truktur tersebut merupakankomponen penting dalam dinding sel jamur. Goongan Alynamin menghambat keja dari squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan golongan azole.2 Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan sistemik: Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah: 1.Golongan Azol a.Clotrimazole Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream 1%, solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidakada kontraindikasi obat ini, namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas, peradangan infeksi yang luas dan hinari kontak mata.3 b.Mikonazole Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.3 c.Econazole Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali atau 4 kali dalam sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.3 d.Ketokonazole Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel

11

jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.3 e.Oxiconazole Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam bentk cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.3 f.Sulkonazole Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan solutio. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa (dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).3 2.Golongan alinamin a.Naftifine Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan pertumbuhan sel amur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. . Penggunaan pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-4minggu).3 b. Terbinafin Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu.3 3.Golongan Benzilamin a. Butenafine Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%, diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan sebanyak 4kali sehari. Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris:3

12

a. Ketokonazole Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yangberspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200mg/hari selama 2-4 minggu. b. Itrakonazole Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450 dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur.Pada penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200mg po selam 1 minggu dan dosis dapat dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh melebihi 400mg/hari.Untuk anak-anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan cisapride karena berhubunngan dengan aritmia jantung. c.Griseofulfin Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 24minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari. d.Terbinafine Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan: 12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu 20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu >40kg:250mg/ hari selama 2 minggu Edukasi kepada pasien di rumah : Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti pakaian yang lembab Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak ketat dan ganti setiap hari. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.2

1. 2. 3. 4. 5.

IX.KOMPLIKASI Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.2
13

X.PROGNOSIS Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.1

14

TINEA CORPORIS
1.1. DEFINISI Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). Tinea corporis termasuk semua infeksi dermatofitosis superfisial di luar dari kulit kepala, janggut, wajah, tangan, kaki, dan selangkangan. Predileksi terdapat pada daerah leher, ekstremitas atas dan bawah, dan batang tubuh.1 1.2. EPIDEMIOLOGI T. rubrum adalah agen menular yang paling umum di dunia dan merupakan sumber dari 47% dari kasus tinea corporis.Trichophyton tonsurans adalah yang paling umum dermatofit menyebabkan tinea capitis, dan orang-orang dengan infeksi tinea capitis anthropophilic lebih mungkin untuk mengembangkan terkait tinea corporis. Oleh karena itu, prevalensi tinea corporis yang disebabkan oleh T. tonsuransmeningkat. Microsporum canis adalah organisme kausatif ketiga yang paling umum dan terkait dengan 14% dari infeksi tinea corporis. Sebuah studi 5 tahun dari Kuwait yang mencakup 2.730 pasien melaporkan bahwa infeksi jamur kulit tetap lazim di negara itu, khususnya daerah Modal. Dalam pasien dengan dermatofit, 6 spesies yang terisolasi. Mereka termasuk Trichophyton mentagrophytes (39%), M canis (16%), T rubrum (10%), Epidermophyton floccosum (6,2%), Trichophyton violaceum (2,4%), dan Trichophyton verrucosum (0,4%) Tinea corporis terjadi baik pada pria maupun wanita. Wanita usia subur lebih mungkin untuk mengembangkan tinea corporis sebagai hasil dari mereka yang lebih besar frekuensi kontak dengan anak yang terinfeksi. Tinea corporis mempengaruhi orang dari semua kelompok umur, tetapi prevalensi tertinggi di preadolescents. Tinea corporis yang diperoleh dari hewan lebih umum pada anak-anak. Tinea corporis yang merupakan penyakit sekunder dari tinea capitis biasanya terjadi pada anakanak karena tinea capitis lebih umum pada populasi ini.2 1.3. ETIOLOGI Berbagai macam organisme dapat menyebabkan infeksi jamur tipe ini. Microsporum canis, T.rubrum, T.mentagrophytes adalah organisme penyebab yang paling sering. T. Tonsurans juga merupakan penyebab meningkatnya tinea corporis.1 1.4. PATOGENESIS Dermatofit terutama hidup pada daerah yang mati, lapisan korneum kulit, rambut, dan kuku, yang menarik untuk lingkungan yang hangat, lembab kondusif untuk proliferasi jamur. Jamur dapat melepaskan keratinase dan enzim lain untuk menyerang lebih dalam stratum korneum, walaupun biasanya kedalaman infeksi terbatas pada epidermis. Mereka umumnya tidak menyerang secara mendalam, karena mekanisme pertahanan host spesifik yang dapat termasuk aktivasi serum faktor inhibitor, komplemen, dan leukosit polimorfonuklear.

15

Setelah masa inkubasi 1-3 minggu, dermatofit menginvasi perifer dalam pola sentrifugal. Sebagai tanggapan terhadap infeksi, perbatasan aktif memiliki peningkatan proliferasi sel epidermis dengan skala yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan mekanisme defensi secara parsial sehingga terjadi penumpukan kulit yang terinfeksi dan meninggalkan kulit yang sehat di bagian tengah hingga bagian lesi. Eliminasi dermatofit dicapai oleh sel imunitas. Trichophyton rubrum adalah dermatofit umum dan, karena dinding selnya, yang tahan terhadap eradikasi. Pelindung ini berisi mannan, yang dapat menghambat sel imunitas, menghambat proliferasi keratinosit, dan meningkatkan resistensi organisme untuk pertahanan alami kulit.2 1.5. GEJALA KLINIS (GAMBARAN LESI) Kecil hingga besar, plak yang berbatas tegas dengan atau tanpa pustula atau vesikula, biasanya pada bagian tepi. Gambaran tepi yang lebih aktif disertai bagian tengah yang lebih tenang menghasilkan konfigurasi cincin konsentris atau lesi arkuata; fusi menghasilkan pola lesi berputar. Tunggal dan kadang-kadang beberapa tersebar lesi. Bullae. Lesi granulomatosa (granuloma Majocchi's). Psoriasiform plak. Lesi verukosa. Lesi infeksi zoophilic (dari hewan) lebih inflamasi, dengan vesikulasi ditandai dan krusta pada tepi, bullae.4

Sumber : hardinmd.lib.uiowa.edu 1.6. DIAGNOSIS Ditemukannya lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadangkadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadangkadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercakbercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.1

16

1.7. PEMBANTU DIAGNOSIS Diagnosis relatif mudah dibuat dengan menemukan jamur dibawah mikroskop pada kerokan kulit. Kerokan kulit dapat dikultur dengan menggunakan medium yang cocok. Pertumbuhan dari jamur pada media kultur paling sering muncul dalam waktu 1 atau 2 minggu.1 1.7.1. PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS Sampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan usapan lesi kulit. Bagian yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada gelas objek steril selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10%. Sediaan dibiarkan pada temperatur kamar selama 2-5 meni, dilayangkan beberapa kali di atas api kecil dan dilihat di bawah mikroskop. Adanya hifa atau konidia menunjukkan infeksi disebabkan oleh jamur.1 1.7.2. KULTUR BAKTERI Bila pemeriksaan positif (ditandai adanya hifa atau konidia pada hasil scrapping) dilanjutkan dengan kultur bakteri. Infeksi positif oleh jamur dikerok dengan skalpel, hasil kerokan diencerkan dengan akuades hingga 10-2. Hasil pengenceran dikultur pada media nutrient agar, diinkubasi 370C, 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung. Jenis bakteri diidentifikasikan dengan pewarnaan Gram. Bakteri teridentifikasi Gram + atau bentuk kokus dikultur kembali dengan media MSA (Mannitol Salt Agar) dan diuji katalase. Bakteri Gram dan bentuk batang dikultur dengan media reaksi biokimia seperti triple sugar iron agar (TSI), sulfur indole motility agar (SIM), dan simon citrate agar. Dari hasil kultur bakteri dijumpai pada setiap tinea Staphylococcis aureus, Enterobacter aerogenes danStaphylococcus faecalis. Staphylococcus aureus paling banyak dijumpai pada tinea corporis, tinea pedis, dan tinea kruris.1,4 1.7.3. HISTOLOGI Biopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin dari tinea corporis menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan infiltrat superfisial. Neutrofil dapat dilihat dalam stratum korneum yang merupakan petunjuk diagnostik signifikan. Septa percabangan hifa terkadang dapat terlihat dalam stratum korneum dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin, tetapi pewarnaan jamur khusus misalnya asam-Schiff, Gomori perak methenamine mungkin diperlukan.4 1.8. DIAGNOSIS BANDING 1.8.1. DERMATITIS SEBOROIKA Tempat predileksinya di kulit kepala, lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.1 1.8.2. PSORIASIS

17

Lesi lebih merah, skuama, lebih banyak dan lamelar. Kelainan kulit pada tempat predileksi yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena. Adanya lekukan-lekukan pada kuku dapat menolong untuk menentukan diagnosis.1 1.8.3. PITIRIASIS ROSEA Distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea corporis tanpa herald patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea corporis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat memastikan diagnosisnya.1 1.9. TERAPI Pengobatan ini dipilih berdasarkan lokasi infeksi, etiologi dan kemampuan penetrasi obat. Kemampuan penetrasi dan retensi di lokasi infeksi menentukan keefektifan dan berapa frekuensi yang diperlukan. Tujuan utama dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah komplikasi. Untuk lesi lokal dari tinea corporis, pengobatan topikal dapat digunakan, untuk lesi yang menyeluruh atau inflamasi (kerion), termasuk pasien dengan immunocompromise indikasi untuk terapi oral.1 1.9.1. TOPIKAL Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit jarang menginvasi ke jaringan yang hidup. Terapi topikal sebaiknya dioleskan hingga 2 cm diluar dari lesi sebanyak 1 atau 2 kali sehari selama 2 minggu, tergantung agen yang digunakan.Golongan azole dan allylamine topikal menunjukkan efisiensi yang tinggi. Agen ini menginhibisi sintesis dari ergosterol, sel membran sterol mayor dari jamur. Topikal azole (contoh : econazole, ketoconazole, clotrimazole, miconazole, oxiconazole, sulconazole, sertaconazole) menghambat enzim lanosterol 14-alfa-demethylase, sitokrom P450 yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Inhibisi dari enzim ini menghasilkan membran sel jamur menjadi tidak stabil dan menyebabkan membran sel menjadi lisis. Dermatofit yang lemah tidak dapat bereproduksi dan dapt terbunuh perlahan dengan fungistatik. Sertaconazole nitrat merupakan topikal azole yang terbaru. Kemampuannya dapat sebagai fungisidal dan anti inflamasi dan bersifat broadspektrum.5 Allylamine (contoh : naftifine, terbinafine) dan berhubungan dengan benzylamine butenafine yang menghambat squalene epoxidase, dimana mengubah squalene menjadi ergosterol.Inhibisi dari enzim ini menyebabkan squalene (substansi toksik bagi sel jamur) terakumulasi intraseluler dan menyebabkan kematian sel yang cepat. Allylamine mengikat efektif pada stratum korneum karena bersifat lipofilik. Selain itu dapat juga penetrasi hingga ke folikel rambut.5 Ciclopirox olamine adalah agen topikal fungisidal. Ini menyebabkan membran menjadi tidak stabil dengan berakumulasi di dalam sel jamur dan mengganggu transport asam amino yang melewati membran sel jamur. Topikal kortikosteroid potensi rendah hingga sedang dapat ditambahkan ke dalam regimen antifungal topikal untuk menghilangkan gejala. Steroid dapat menghilangkan komponen
18

inflamasi dari infeksi dengan cepat, tetapi steroid sebaiknya hanya diberikan untuk terapi awal. Penggunaan steroid jangka panjang dapat menimbulkan infeksi yang menetap dan berulang, dapat juga menyebabkan atrofi kulit, striae, dan teleangiektasis.3

1.9.2. SISTEMIK Terapi sistemik diindikasikan untuk tinea corporis yang infeksinya meluas, imunosupresi, resisten terhadap terapi topikal antijamur, dan komorbid dengan tinea kapitis dan tinea unguium. Mekanisme kerja dari oral micronized griseofulvin melawan dermatofit yaitu dengan mengganggu mikrotubulus spindle mitosis pada metafase, menyebabkan mitosis sel jamur menjadi terhambat. Dosisnya adalah 10 mg/kg/hari selama 4 minggu. Sistemik azole (contoh : fluconazole, itraconazole, ketoconazole) fungsinya sama dengan agen topikal, yang menyebabkan destruksi dari membran sel. o Ketoconazole oral 3-4 mg/kg/hari. Jarang digunakan untuk infeksi dermatofit karena dapat meningkatkan resiko hepatitis. o Fluconazole 50-100 mg/hari atau 150 mg 1 x seminggu untuk 2-4 minggu. o Itraconazole oral 100 mg/hari untuk 2 minggu menunjukkan efisiensi yang tinggi. Dengan meningkatkan dosis menjadi 200 mg/hari, lamanya terapi dapat dikurangi hingga 1 minggu. Terbinafine oral 250 mg/hari selama 2 minggu.3 1.10. PROGNOSIS Untuk tinea corporis yang sifatnya lokal prognosisnya baik.4

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi, dkk. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. FKUI. Jakarta 2. Anonymous. Tinea corporis, tinea cruris and tinea pedis. (serial online) 2010. Dikutip dari:http://www.doctorfungus.org/mycoses/human/other/tineacorporis_cr uris_pedis.htm#TineaCruris 3. Gunawan, Gan Sulistia, dkk. 2008. Farmakologi dan Terapi edisi 5. FKUI. Jakarta 4. Mansjoer, A, dkk. Tinea Korporis. Dalam Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi Kedua. Jakarta: Media Ausculapius; 2000. 5. Anonymous. Tinea corporis Treatment. (serial online). 2010. Dikutip dari: http://www.umm.edu/ency/article/000877trt.htm

20

You might also like