Professional Documents
Culture Documents
Melalui niat yang tulus untuk ikut serta menyebarluaskan informasi yang
ada di jagat maya (internet), YAYASAN SANITARIAN BANYUMAS
(YASAMAS) berani mencetak artikel hasil down load Saudara Sugeng Abdullah.
Keberanian ini didasarkan atas kenyataan bahwa tidak semua orang mau dan mampu
membaca secara langsung di website www.promosikesehatan.com .
Ada beberapa alasan mengapa orang tidak dapat akses langsung terhadap
informasi di internet, diantaranya adalah karena gagap teknologi (gaptek) atau tidak
punya kesempatan karena ketiadaan sarana serta uang. Jadi, kepada para pemilik dan
pengelola website harap maklum dengan kondisi yang demikian. Bukan malah
sebaliknya menuduh mencuri kepada para down loader.
Harapan utama dari pencetakan artikel Sejarah Promosi Kesehatan ini
adalah membantu memberi tambahan referensi bagi para mahasiswa JKL Purwokerto
Poltekkes Semarang dan pembaca lain yang membutuhkannya. Semoga bermanfaat.
Pengurus Yasamas
PENDAHULUAN
Di era milenium ini, setiap hari bahkan setiap saat, kepada kita disajikan
pelbagai macam iklan atau upaya pemasaran pelbagai macam produk dan jasa. Iklan-
iklan itu dengan gencarnya menyapa kita melalui berbagai media, terutama TV dan
radio. Melalui internet, iklan-iklan itu juga datang silih berganti. Iklan juga
menyergap kita melalui telepon seluler. Jangan ditanya iklan melalui surat kabar dan
majalah. Juga melalui film layar lebar di gedung bioskop. Iklan-iklan juga mejeng
secara mentereng melalui billboard, spanduk, umbul-umbul, dll. Tentu saja iklan juga
muncul melalui poster, leaflet atau brosur. Belum lagi iklan melalui selebaran yang
secara berdesakan nongol di tembok-tembok, tiang listrik/telepon, pagar rumah, dll.
Ada juga iklan yang disamarkan melalui tulisan ilmiah atau tulisan populer. Jangan
dilupakan iklan atau pemasaran produk atau jasa yang dikemas secara sangat
professional dalam bentuk pameran, seminar atau pertemuan. Belum lagi iklan atau
upaya pemasaran yang dilakukan secara agresif melalui tatap mula langsung dari
rumah ke rumah dan secara berantai (multy level marketing). Demikian pula upaya
yang dilakukan melalui loby kepada pelbagai pihak, khususnya pengambil kebijakan,
agar produk atau jasanya dapat dipergunakan oleh khalayak luas. Dan masih banyak
lagi cara-cara kreatif yang dilakukan dalam rangka menjajakan suatu produk atau jasa.
Upaya-upaya itu mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap lakunya suatu
produk atau jasa. Produk atau jasa apa saja, termasuk produk atau jasa di bidang
kesehatan serta produk dan jasa yang merugikan kesehatan seperti rokok, minuman
keras, obat-obatan yang tidak layak, dll. Itu semua termasuk upaya pemasaran atau
upaya untuk mempromosikan produk atau jasa. Pada zaman dulu upaya itu disebut
propaganda.
Istilah propaganda sering dikaitkan dengan bidang politik. Namun sebenarnya
tidak selalu demikian. Bisa juga tentang masalah sosial, termasuk kesehatan. Di
zaman pra dan awal kemerdekaan dulu propaganda masalah kesehatan itu sudah
dilakukan. Pada waktu itu cara propaganda itulah yang dilakukan untuk memberi
penerangan kepada masyarakat tentang kesehatan. Propaganda pada waktu itu
dilakukan dalam bentuknya yang sederhana melalui pengeras suara atau dalam bentuk
gambar dan poster. Juga melalui film layar tancap. Cara-cara itu kemudian
berkembang, karena propaganda dirasakan kurang efektif apabila tidak dilakukan
upaya perubahan atau perbaikan perilaku hidup sehari-hari masyarakat. Maka
Masa Penjajahan
Pada tahun 1924 oleh pemerintah Belanda dibentuk Dinas Higiene. Kegiatan
pertamanya berupa pemberantasan cacing tambang di daerah Banten. Bentuk
usahanya dengan mendorong rakyat untuk membuat kakus/jamban sederhana dan
mempergunakannya. Lambat laun pemberantasan cacing tambang tumbuh menjadi
apa yang dinamakan “Medisch Hygienische Propaganda”. Propaganda ini kemudian
meluas pada penyakit perut lainnya, bahkan melangkah pula dengan penyuluhan di
sekolah-sekolah dan pengobatan kepada anak-anak sekolah yang sakit. Timbullah
gerakan, untuk mendirikan “brigade sekolah” dimana-mana. Hanya saja gerakan ini
tidak lama usianya.
Baru pada tahun 1933 dapat dimulai organisasi higiene tersendiri, dalam bentuk
Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto. Dinas ini terpisah dari Dinas
Kuratif tetapi dalam pelaksanaannya bekerjasama erat. Dalam hubungan usaha
higiene ini perlu disebutkan nama Dr.John Lee Hydrick dari Rocckefeller Fundation
(Amerika), yang memimpin pemberantasan cacing tambang mulai tahun 1924 sampai
1939, dengan menitik beratkan pada Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat. Ia
mengangkat kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische
Propaganda) dengan mengadakan penelitian operasional tentang lingkup penderita
penyakit cacing tambang di daerah Banyumas. Ia menyelenggarakan kegiatan
Pendidikan Kesehatan tentang Hygiene dan Sanitasi, dengan mencurahkan banyak
informasi tentang penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan
lingkungan serta usaha pencegahan dan peningkatan kesehatan (cacing tambang,
malaria, tbc.). Ia mengadakan pendekatan dalam upaya membangkitkan dan
menggerakkan partisipasi masyarakat (pendekatan seperti ini nanti dikenal dengan
nama “pendekatan edukatif”). Yang menonjol pada waktu itu adalah penggunaan
media pendidikan (booklets, poster, film dsb) dan juga kunjungan rumah yang
dilakukan oleh petugas sanitasi yang terdidik.
Sebagai pelaksana kegiatan pendidikan kesehatan dalam bidang Hygiene dan
Sanitasi, seorang dokter pribumi bernama Dr. Soemedi, kemudian mendirikan
Sekolah Juru Hygiene di Purwokerto. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Dr. R.
Mochtar yang kemudian menjabat sebagai Kepala Bagian Pendidikan Kesehatan
Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda Dienst). Sehubungan dengan karya atau
usaha Dr. Hydrick itu, Dr. R. Mochtar mengemukakan sbb.:
Kemudian timbul suatu pekerjaan secara teratur dalam lapangan Medisch Hyg.
Propaganda dan hygiene yang seksama di daerah-daerah desa, dibawah pimpinan
dokter-dokter. Suatu daerah percontohan diadakan di wilayah Kabupaten Banyumas .
“a state of complete physical, mental and social wellbeing and not merely the
absence of disease or infirmity”(Suatu keadaan sempurna mengenai tubuh, rohani
dan sosial, bukan saja tidak ada penjakit, uzur arau cacad).
Pada waktu itu sudah ada anggapan bahwa Pendidikan Kesehatan tidak
diperlukan, jika masyarakat telah maju. Hal ini tidak dibenarkan oleh Dr.R.Mochtar,
karena kenyataan memperlihatkan bahwa di negara-negara yang telah majupun
kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat masih diperlukan dan dilaksanakan. Cara
pendekatan, metodologi serta tehnologi yang dipergunakan disesuaikan dengan
kemajuan masyarakat setempat.
Sedangkan Dr. J. Leimena (1952) mengangkat beberapa prinsip “pioneering
job” Dr. J.L. Hydrick, khususnya yang berkaitan dengan pentingnya health education,
sbb.:
Principles : The idea underlying the organization of this intensive hygiene work was
the belief that if health education could instill in the people an understanding of the
fundamental rules of hygiene and a realization of the importance and necessity of
healthful habits of life, many diseases and condition might be brought under control
and in time might be eradicated.
Purpose : The purpose of the work is to awaken in the people a permanent interest in
hygiene and stimulate them to adopt habits and to carry out measures which will help
them secure health and remain healthy.
Cooperation of the people: In order to secure the cooperation of the people, health
education work must propose practicable measures, so that the people will be able to
give cooperation. Further it is of the greatest importance that not only the children be
taught hygiene and health, but that also the adults be taught at the same time, so that
each group will support the other. This cooperation is very valuable.
The spirit of the approach : …They should be lead, not driven. They should be
stimulated and lead to express a desire to live more hygienically. It is the task of the
health worker to create the desire.
A subject with which to begin : ….to begin with an attempt to bring about in the
people an understanding of the fundamental facts involved in the cause, transmission
and prevention of a wide spread chronic disease.
Laying the foundation for general hygienic work: If this new sanitary habits become
permanent, then there has been laid the foundation upon which general hygiene work
can be built
…..It was therefore not intended that the Division of Public Health Education should
conduct only a campaign against soil and water pollution, but it should thereby lay a
foundation for a broad general campaign for hygiene by teaching the dangers of the
pollution of soil and water.
Memaknai apa yang diuraikan dalam kutipan tersebut di atas, ada contoh
menarik. PT Unilever dalam rangka mempromosikan produksinya berupa sabun
mandi dan pasta gigi, sering mengadakan bioskop keliling dengan layar tancap. Pada
zaman belum ada televisi, bioskop semacam ini sangat digemari oleh masyarakat,
terutama di pedesaan. Di sela-sela pertunjukan film dengan cerita tertentu sering
diselipkan pendidikan/penyuluhan kesehatan. Yaitu dengan selipan slide film yang
antara lain menunjukkan tokoh kartun yang memerankan petugas laboratorium yang
sedang meneropong secawan air mentah dengan mikroskop. Melalui alat itu terlihat
bahwa air mentah itu banyak mengandung kuman atau bakteri dengan berbagai
bentuk yang berkeliaran, berjingkrak-jingkrak dan menari-nari di dalam air tersebut.
Adegan berikutnya adalah air di cawan itu langsung diminum oleh tokoh kartiun yang
lain dengan akibat beberapa lama kemudian merasakan sakit perut dan beberapa kali
buang air besar. Lalu dijelaskan oleh narrator dari slide film tersebut itulah akibatnya
apabila kita minum air tanpa dimasak lebih dahulu. Sang narrator menganjurkan agar
air sebelum diminum agar dimasak lebih dahulu. Kemudian ditunjukkan slide film
berikutnya bahwa melalui mikroskop terlihat bahwa kuman-kuman itu pada mati dan
tidak berkeliaran lagi dalam air yang sudah dimasak. Sang narrator menjelaskan
bahwa air yang sudah dimasak aman dari gangguan penyakit. Dari silide film
sederhana ini ternyata banyak penduduk pedesaan yang memasak air sebelum
diminum.
Usaha Kesehatan Rakyat yang semula lebih ditekankan pada usaha kuratif,
lambat laun berkembang pula kearah preventif. Sebagian dari usaha kuratif
diserahkan pada “inisiatif partikelir” (1917 – 1937) seperti Zending, Missie, Bala
Keselamatan (Leger des Heils), perusahaan perkebunan. (Dr.J.Leimena, 1952). Dalam
tahun 1937 sampai meletusnya Perang Dunia ke II, Pemerintah Pusat menyerahkan
usaha kuratif kepada daerah otonom, namun tetap diawasi dan dikoordinir oleh
Pemerintah Pusat.
Seiring dengan perkembangan dalam bidang kuratif, maka usaha preventif juga
berkembang. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakkan dan dikembangkan di
perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang memang bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan para pekerja perkebunan, dan dengan demikian
meningkat pula daya kerja (arbeidscapaciteit) dan daya produksinya (productie
capaciteit) .
Pada sekitar tahun 1950 an itu masalah gizi cukup menonjol. Dengan ukuran
sesuai Nutritional Standard Values ditentukan tingkat keadaan gizi dengan
menggunakan indeks. Dengan demikian dapat ditentukan keadaan gizi: kurang,
minimal, normal, atau optimal. Golongan gizi minimal oleh Prof. Dr. Poerwo
Soedarmo disebut golongan “tidak sakit dan tidak sehat”. Sementara itu
“kwashiorkhor” dan “xerophthalmia” sebagai masalah gizi pda golongan anak para
sekolah mendapat banyak perhatian. Selain penyelidikan secara mendalam, usaha
perbaikan dilakukan melalui penyuluhan gizi dan penggalian sumber makanan
bernilai gizi.
Penerangan kepada masyarakat dilaksanakan melalui kursus yang
diselenggarakan oleh berbagai organisasi, maupun melalui pers dan radio. Pada waktu
itu diperkenalkan semboyan atau pesan : “Empat Sehat Lima Sempurna”, sesuai
dengan pola makanan Indonesia. Pesan tersebut berhasil disebar luaskan dan menjadi
populer. Pesan tersebut juga banyak terpampang di dinding-dinding sekolah.
Pengertian semboyan tersebut ternyata berhasil dihayati masyarakat. Pesan itu sangat
Pada sekitar tahun 1956, dibentuk Unit Kesehatan Masyarakat Desa dan
Pendidikan Kesehatan Rakyat (KMD/PKR). Prof. Dr. dr. Sulianti Sarosa (alm), yang
biasa disebut dengan ”dr Sul” ditetapkan sebagai pimpinan unit tersebut. Menurut
beliau, titik berat usaha kesehatan masyarakat adalah pada usaha preventif. Namun
istilah preventif ini masih kurang dipahami secara tepat oleh masyarakat, bahkan
seringkali dikira bahwa usaha preventif hanya meliputi penerangan-penerangan
kesehatan atau usaha imunisasi saja. Yang diharapkan dan dianggap penting oleh
masyarakat adalah ’pengobatan’ atau usaha kuratif.
Sebenarnya yang dimaksud dengan usaha preventif adalah bahwa upaya
kesehatan yang dijalankan tidak semata-mata untuk penyembuhan yang sakit, tetapi
lebih pada upaya untuk mencegah timbulnya penyakit serta mempertinggi derajat
kesehatan masyarakat (promotif). Hal ini berarti bahwa usaha-usaha pengobatan
ringan perlu dilakukan agar penyakit tidak bertambah parah, juga termasuk
pengobatan dalam rangka memberantas penyakit menular yang dilakukan secara
sistematis.
Dr Sul selalu mengingatkan bahwa rangkaian usaha preventif inilah yang
dimaksudkan dengan Public Health atau Usaha Kesehatan Masyarakat, yang
dirumuskan oleh Prof. Winslow, dimana pemahaman definisinya divisualkan sebagai
berikut :
2. The Control of
Communicable Disease
1. Preventing
3. The Education of the
Disease
Individual in Personal
Hygiene
2. Prolonging Life
Organized
and
Community Effort 4. The Organization of
Medical and Nursing
Service for the Early
Diagnosis and Preventive
3. Promoting Health
Treatment of Disease, and
5. The Development of
Social machinery to
ensure everyone a
standard of living
adequate for maintenance
of Health
So organizing these benefit as to enable every citizen to realize his birthright of health
and longevity
7. Usaha Pengobatan
9. S t a t i s t i k
Berhubung pada waktu itu (dan juga sampai sekarang) sebagian besar penduduk
hidup di pedesaan, maka usaha-usaha kesehatan terutama ditujukan kepada
masyarakat desa, selain karena disebabkan usaha kesehatan belum merata sampai ke
pelosok-pelosok. Konsep yang dianut oleh seluruh dunia ialah bahwa sebaiknya
usaha-usaha kesehatan itu dijalankan secara terintegrasi dan koordinasi serta perlu
mengikut sertakan masyarakat secara aktif pada penyelenggaraan usaha-usaha
kesehatan tersebut. Untuk melaksanakan rencana kesehatan masyarakat tersebut maka
Kementerian Kesehatan waktu itu, telah mengadakan percontohan didaerah Bandung
yang disebut dengan Bandung Plan dan tepat dengan waktu dimulainya Program
Nasional Pembangunan Masyarakat Desa dalam bulan Agustus 1956.
Percontohan Usaha Kesehatan Masyarakat Desa (KMD) dimulai dari
Kabupaten Bekasi pada 1956. Di sini diadakan kursus-kusrsus atau latihan mengenai
usaha KMD untuk segala jenis tenaga kesehatan dari seluruh Indonesia. Disamping
KMD di Bekasi, di setiap propinsi juga diadakan daerah percontohan KMD untuk
dijadikan tempat pelatihan bagi tenaga kesehatan setempat. Daerah-daerah
percontohan lain adalah di : Bojongloa (Bandung), Sleman (Magelang), Godean
(Yogjakarta), Mojosari (Surabaya), Metro (Lampung), Kasemen (Denpasar), Kotaraja
(Banda Aceh), Indrapura (Medan), dan Barabai (Banjarmasin). Pada waktu itu tenaga-
tenaga yang akan diterjunkan ke masyarakat dilatih dahulu secara intensif dalam suatu
pelatihan atau kursus yang diberi nama Pendidikan Kesehatan pada Rakyat (PKR).
Khusus Daerah Percontohan KMD/PKR Kecamatan Lemah Abang, Bekasi,
dipersiapkan sebagai Daerah pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam bidang Rural
Health and Health Education. Tujuan diadakannya Daerah Percontohan KMD/PKR
Lemah Abang adalah : “Menjadikan Daerah itu sebagai contoh sistem kerja dan
pengelolaan program Kesehatan Masyarakat Desa, oleh suatu Tim Kesehatan Desa
(Rural Health), dan juga sebagai daerah pelatihan lapangan (field training) tenaga-
tenaga kesehatan (medis, para medis)”.
Tim KMD/PKR Lemah Abang terdiri dari petugas kesehatan yang bertugas
sebagai full timer dan merupakan “administrative staff” dalam bidang-bidang :
• Gizi (Nutrition)
Selain dari itu ada tenaga-tenaga lapangan seperti bidan, pembantu bidan dan
beberapa sanitarians.
• Adanya regular Lemah Abang team staff meeting, dan keterbukaan (lokal),
setiap hari Senin sebelum kelapangan.
Dengan demikian pada saat itu, istilah Pendidikan Kesehatan telah dipergunakan
secara resmi.
Pada sekitar tahun 1960-an malaria merupakan salah satu penyakit rakyat yang
berkembang dengan subur. Ratusan ribu jiwa mati akibat malaria. Berdasarkan
penyelidikan dan pengalaman, sebenarnya penyakit malaria di Indonesia dapat
dilenyapkan. Untuk itu cara kerja harus dirubah dan diperbarui. Maka pada September
1959 dibentuk Dinas Pembasmian Malaria (DPM) yang kemudian pada Januari 1963
dirubah menjadi Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM). Pembasmian
malaria tersebut ditangani secara serius oleh pemerintah dengan dibantu oleh USAID
dan WHO. Direncanakan bahwa pada tahun 1970 malaria hilang dari bumi Indonesia.
Pada akhir tahun 1963, dalam rangka pembasmian malaria dengan racun
serangga DDT, telah dijalankan penyemprotan rumah-rumah di seluruh Jawa, Bali
dan Lampung, sehingga l.k. 64,5 juta penduduk telah mendapat perlindungan dari
kemungkinan serangan malaria. Usaha itu juga dilanjutkan dengan nusaha surveilans
yang berhasil menurunkan ”parasite index” dengan cepat, yaitu dari 15 % menjadi
hanya 2%.
Pada saat itulah, tepatnya pada tanggal 12 November 1964, peristiwa
penyemprotan nyamuk malaria secara simbolis dilakukan oleh Bung Karno selaku
Presiden RI di desa Kalasan, sekitar 10 km di sebelah timur kota Yogyakarta.
Meskipun peristiwanya sendiri merupakan upacara simbolis penyemprotan nyamuk,
tetapi kegiatan tersebut harus dibarengi dengan kegiatan pendidikan atau penyuluhan
kepada masyarakat. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Hari Kesehatan Nasional
(HKN), yang setiap tahun terus menerus diperingati sampai sekarang. Sejak itu, HKN
dijadikan momentum untuk melakukan pendidikan/penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat.
Tetapi pemberantasan malaria dengan cara penyemprotan tersebut ternyata
tidak dapat diteruskan karena tiadanya biaya. Bantuan dari USAID dan WHO
berhenti. Juga karena adanya pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965.
Pada tahun 1967, Prof. Dr. GA Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan, dengan
Surat Keputusan No. 091/III/Ad.Um/’67, telah menetapkan Susunan Organisasi
Departemen Kesehatan. Dalam struktur organisasi tersebut antara lain ditetapkan
bahwa unit yang melaksanakan tugas pendidikan kesehatan adalah Bagian Pendidikan
Kesehatan Masyarakat (Bagian PKM) yang berada di Biro Pendidikan, Sekretariat
1. Fungsi dan Peran PKM baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten:
Yaitu bahwa Fungsi Bagian PKM di Pusat antara lain adalah Bimbingan
Konsepsionil, Bimbingan Tehnis dan Penyaluran Bantuan Materiil
2. Struktur Organisasi:
Diusulkan kedudukan Bagian PKM ditingkatkan menjadi Biro karena
merupakan salah satu tugas pokok Departemen (Basic Six)
Pada tahun 1975, Struktur Bagian PKM berubah, dari eselon III menjadi eselon
II, tetapi tidak sebagai Biro, melainkan sebagai salah satu direktorat pada Direktorat
Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Ditjen Binkesmas). Yang berubah
ternyata tidak hanya eselonnya, tetapi juga istilah (nomenklatur).
Pada waktu itu ada kebijakan Pemerintah dalam penggunaan nomenklatur
(istilah/nama institusi), yaitu bahwa istilah Pendidikan hanya boleh dipergunakan di
lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan di luar Depdiknas,
DKI PKM
Salah satu kegiatan yang menonjol pada era penyuluhan kesehatan ini adalah
adanya Daerah Kerja Intensif Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (disingkat DKI
PKM) yang mula-mula muncul awal tahun 1970-an. Ini berawal dari pengalaman
kerja lapangan (field work experience) para ”Student Health Education Specialist”
(calon Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat) di Bandung. Sebelum tugas
belajar di Amerika, mereka diterjunkan di berbagai kecamatan di daerah kabupaten
dan kota Bandung. Selama di lapangan ini mereka mengembangkan daerah kerja
percontohan (demonstration area) pendidikan kesehatan masyarakat, yaitu suatu
daerah yang masyarakatnya berperan aktif dalam pembangunan kesehatan. Mereka
belajar teori dalam kelas dengan bimbingan konsultan WHO (Dr. CH Pyaratna) dan
USAID (Mr. John Nelson) yang dibantu oleh dua orang supervisor Indonesia, yaitu
Bapak Drs. Putulawa Udayana dan Bapak Dr. I.B. Mantra. Teori-teori dari dalam klas
tersebut dicoba dipraktekkan di lapangan, secara langkah demi langkah, dalam
nrangka pembinaan masyarakat, yang dilakukan bersama staf Puskesmas dan
Kecamatan. Selama sekitar setahun mereka bolak balik antara kelas dan lapangan ini.
Setelah mereka kembali belajar dari Amerika, mereka ditempatkan di pusat dan
daerah. Bertolak dari pengalaman Bandung yang dipadukan dengan pengalaman-
pengalaman sebelumnya maka dikembangkanlah Daerah Kerja Intensif Penyuluhan
Kesehatan Masyarakat (DKI PKM) yang langsung dikoordinasikan oleh Direktorat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, d.h.i. Sub Direktorat Pengembangan Metoda dan
Tehnik yang dipimpin oleh Dr. IB Mantra, mantan supervisor program kerja lapangan
(work experience) HES di Bandung. Sesuatu yang khas dari DKI PKM ini adalah
pendekatannya yang benar-benar melibatkan peranserta masyarakat, bahkan berupaya
untuk memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini kemudian hari disebut dengan
pendekatan edukatif.
Pendekatan Edukatif
5. Pelaksanaan:
Hal yang penting dalam tahap pelaksanaan adalah mempersiapkan tenaga-
tenaga pelaksana, termasuk penanggung jawaban pelaksana program.
6. Penilaian:
Pada waktu pelaksanaan program diperlukan pengawasan, monitoring sampai
dengan evaluasi terhadap program atau kegiatan-kegiatan tersebut. Monitoring
dan evaluasi program bukan sekedar apakah kegiatan-kegiatan telah berjalan
sesuai dengan perencanaannya, tetapi juga apakah program mempunyai
dampak terhadap penurunan atau hilangnya masalah. Dengan perkataan lain,
apakah program tersebut mempunyai pengaruh terhadap peningkatan
kesehatan msyarakat.
Munculnya PKMD
Pada sekitar tahun 1982 ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional oleh Menteri
Kesehatan RI (waktu itu Dr. Suwardjono Suryaningrat) yang menetapkan
pembangunan kesehatan sebagai suatu sistem dari supra sistem pembangunan
nasional. Selanjutnya berdasarkan Ketetapan MPR No. II/1983 tentang GBHN,
disebutkan bahwa “Dalam rangka mempertinggi taraf kesehatan dan kecerdasan
rakyat, pembangunan kesehatan termasuk perbaikan gizi perlu makin ditingkatkan
dengan mengembangkan Sistem Kesehatan nasional (SKN).”
Peningkatan kesehatan dilakukan dengan melibatkan peran serta (partisipasi)
masyarakat berpengahasilan rendah baik di desa maupun di kota. Panca Karsa Husada
sebagai tujuan pembangunan panjang bidang kesehatan mencakup: (1) Peningkatan
kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan; (2)
Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan; (3) Peningkatan
status gizi masyarakat; (4) Pengurangan kesakitan dan kematian; dan (5)
Pengembangan keluarga sehat sejahtera dengan makin diterimanya norma keluarga
kecil bahagia dan sejahtera.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan dikaitkan dengan komitmen
Indonesia untuk mengimplementasikan primary health care, ditetapkan hal-hal
sebagai berikut:
Penyebarluasan PKMD
Munculnya Posyandu
1. Untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi dan anak balita, dan
angka kelahiran.
2. Meja 2: Melayani penimbangan bayi, balita, dan ibu hamil, dalam rangka
memantau perkembangan bayi, balita, dan janin dari ibu yang sedang hamil,
yang dilayani oleh kader kesehatan.
Demikianlah, dalam PKMD dan Posyandu ini mengingatkan kita pada jargon
4. Bentuk acara lain, misalnya tentang mereka (petugas kesehatan atau kader
kesehatan) yang berhasil membangun kesehatan masyarakat di wilayahnya.
Selain itu juga pesan-pesan kesehatan melalui sandiwara boneka ”Si Unyil”,
”Ria Jenaka”, dll. Sementara itu lagu ”Aku Anak Sehat” juga sering
berkumandang melalui TVRI.
Acara-acara tersebut cukup berjalan dengan baik. Khusus acara nomor 2 dan 3
sangat merangsang desa-desa lain, dan sering sekali mendapat dukungan kuat dari
Pemerintah Daerah setempat.
Pada sekitar tahun 1980-an itu ada drama TV ”Losmen” yang sangat digemari
masyarakat. Kemudian Menkes pada waktu itu, Dr. Soewardjono Soerjaningrat
memanggil Dr. IB Mantra, Kapus PKM waktu itu untuk menjajagi adanya sinetron
seperti ”Losmen”. Diadakanlah pendekatan kepada Ami Priyono dan Wahyu
Sihombing. Disepakatilah harga per episode waktu itu Rp. 25 juta bersih. Padahal
drama Losmen hanya Rp. 14 juta. Setelah dibuat proposal, Bappenas memberikan
persetujuan, bahkan harganya menjadi Rp. 30 juta karena harus dilakukan melalui
tender.
Maka dirancanglah sinetron khusus untuk menyebar luaskan pesan-pesan
kesehatan ini, yang diberi nama: Dr. Sartika. Skenario naskah disusun oleh Ibu
Maryati Sihombing. Sedangkan konsultan materi adalah program-program di
lingkungan Depkes. Pengatur pesan-pesan kesehatan menjadi tanggungjawab Pusat
PKM dengan ”contact person” : Drs. Oendang Badruzzaman, staf Pusat PKM. Para
bintangnya antara lain: Dewi Yull yang memerankan Dr. Sartika, Dwi Yan sebagai
Dr. Imam, dll. Tetapi ada saja kecolongan. Misalnya cuci tangan di ember. Maka
selain meneliti naskah, diperlukan pula supervisi ke lapangan. Maka dalam setiap
”shooting” yang dilakukan di luar studio, staf PKM pada umumnya selalu
menlakukan supervisi lapangan.
Program sinetron Dr. Sartika ini mendapat sambutan hangat masyarakat.
Selain kedua sinetron tersebut, juga ada sinetron lepas dengan judul ”Relung
Hati”, yang dibintangi oleh Drg. Fadli dan Minati Atmanagara, untuk
mempromosikan dokter Inpres. Sinetron lepas lainnya adalah ”Pengakuan” yang
dibintangi oleh Leila Anggraeni dll, untuk menunjang program Kesehatan Ibu dan
Anak. Sedangkan untuk menunjang program air dibuat film dengan judul : ”Cintaku
pada Gemericik Air”.
Kemudian pada sekitar tahun 1994 persoalan HIV/AIDS mulai marak. Pada
waktu itu di Ford Foundation Perwakilan Indonesia ada Dr. Rosalia (orang Itali yang
bersuamikan orang Indonesia) yang sangat peduli dengan HIV/AIDS. Melalui Ford
Foundation disponsorilah berbagai kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, antra lain
sinetron di televisi. Maka dibuatlah sinetron, dengan judul: ”Kupu-kupu ungu”.
Sutradara dan penulis skenario adalah Nino Riantarno, dengan bintang utamanya:
Nurul Arifin. Untuk menulis skenario tersebut berkumpul beberapa orang pakar yang
mewakili beberapa unit program di Depkes dan beberapa unsur swasta/LSM.
”Contact person” dari Pusat PKM adalah Ir. Ninik Suharini Sahal. Sinetron ini
disiarkan di RCTI, dibuat sampai 13 episode, menyajikan persoalan HIV/AIDS dari
berbagai segi pandang, termasuk HIV/AIDS pada anak, ibu rumah tangga, Pekerja
Seks Komersial, ODHA, dll. Beberapa judul sinetron ini bahkan diminta untuk
disajikan pada festival film Asia di Amsterdam pada sekitar tahun 1995 dan di
Kualumpur pada sekitar tahun 1999.
Penyuluhan melalui televisi selain melalui sinetron juga melalui acara-acara
“Dream children, dream, otherwise you won’t have anything to live for”
(The 4th ICHP, Jakarta, 1997)
7. Pada promosi kesehatan, peran kemitraan lebih ditekankan lagi, yang dilandasi
oleh kesamaan (equity), keterbukaan (transparancy) dan saling memberi
manfaat (mutual benefit). Kemitraan ini dikembangkan antara pemerintah
dengan masyarakat termasuk swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat, juga
secara lintas program dan lintas sektor.
Pada tahun 1998 Presiden Soeharto digantikan oleh Presiden Habibie. Sebagai
Menteri Kesehatan ditetapkan Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek. Setelah melalui
persiapan antara lain pertemuan dengan para pakar, pertemuan nasional dengan
daerah-daerah, pertemuan lintas sektor dan dengar pendapat dengan DPR, pada 1
Maret 1999 oleh Presiden Habibie dicanangkan : “Gerakan Pembangunan yang
Berwawasan Kesehatan”, atau dikenal dengan “Paradigma sehat”. Sebagai
konsekwensinya adalah bahwa semua pembangunan dari semua sektor harus
mempertimbangkan dampaknya di bidang kesehatan, minimal harus memberi
kontribusi dan tidak merugikan pertumbuhan lingkungan dan perilaku sehat.
Disebutkan bahwa visi pembangunan kesehatan adalah: Indonesia Sehat 2010, dengan
misi: (1) Menggerakkan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan; (2)
Mendorong kamandirian masyarakat untuk hidup sehat; (3) Meningkatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu; dan (4) Meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat termasuk lingkungannya. Salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 tersebut
adalah : perilaku sehat, disamping dua pilar lainnya yaitu: lingkungan sehat dan
pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata.
Ditetapkan pula strategi pembangunan kesehatan beserta program-program
pokoknya. Dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) disebutkan bahwa
salah satu program pokok pembangunan kesehatan adalah peningkatan perilaku sehat
dan pemberdayaan masyarakat, yang karenanya menempatkan promosi kesehatan
sebagai salah satu program unggulan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2004-2009 dan Rencana Strategis (Renstra) Depkes 2005-2009
juga disebutkan bahwa Promosi Kesehatan merupakan program tersendiri dan
diposisikan pada urutan pertama. Ini menegaskan bahwa Paradigma Sehat dengan
Visi Indonesia Sehat-nya tersebut sangat sesuai dengan Deklarasi Jakarta, dan dengan
demikian promosi kesehatan (termasuk PHBS), yang berorientasi pada perilaku hidup
Pada era ini juga ditandai dengan berkembangan jaringan (networking) dan
kemitraan (partnership) antara unit promosi kesehatan dengan berbagai pihak, baik
sektor pemerintah maupun swasta dan masyarakat, baik regional maupun global.
Secara nasional dapat disebutkan a.l. : (1) Forum Komunikasi Promosi
Kesehatan, yang anggotanya adalah unit atau lembaga (pemerintah dan masyarakat)
yang peduli dengan upaya promosi kesehatan; (2) Koalisi Indonesia Sehat (anggota:
berbagai unit pemerintah dan swasta serta masyarakat yang peduli pada Indonesia
Sehat); (3) Forum Komunikasi Penanggulangan Masalah Tembakau (anggota: unit,
organisasi profesi dan lembaga peduli masalah rokok/tembakau); (4) Jaringan
Penanggulangan Penyakit Tidak Menular; (5) Dan lain-lain, seperti: Forum
Pengembangan Kota Sehat, Forum Penanggulangan Penyakit TBC, dll.
Secara regional dan global dapat disebutkan: Mega country Health Promotion
Network, yaitu jaringan sekitar 10 negara di dunia yang berpenduduk 100 juta lebih
dalam bidang promosi kesehatan; International Network for Health Promotion
Foundation (Indonesia diwakili oleh Unit Promkes sebelum mempunyai Yayasan
Promosi Kesehatan yang mandiri); International Union for Health Promotion and
Education (organisasi profesi Promosi kesehatan yang bersifat internasional), dll.
Dalam kaitan itu diselenggarakan beberapa kali pertemuan internasional (di Geneva,
Jakarta, Meksiko, Bangkok, Melbourne, dll).
Dalam rangka pengembangan jaringan dan kemitraan itu maka sejak tahun
2000, penyelenggaraan Hari Kesehatan Nasional dilakukan bersama oleh swasta dan
sektor di luar Depkes, sedangkan Depkes dalam hal ini Promosi Kesehatan berperan
sebagai sekretariatnya. Dengan penyelenggaraan oleh swasta itu terasa bahwa Hari
Kesehatan lebih bergema. Demikianlah maka sejak tahun 2000, pada setiap acara
Pada tahun 2004 oleh Menteri Kesehatan (Dr. Achmad Sujudi) ditetapkanlah
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang baru, sebagai pengganti SKN lama (tahun
1982). SKN baru ini dimaksudkan antara lain untuk mempertegas makna
pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia dan
memperjelas penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai visi dan misinya.
Disebutkan bahwa SKN adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya
Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti
dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan pada hakekatnya SKN adalah
juga merupakan wujud dan sekaligus metode penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, yang memadukan berbagai upaya Bangsa Indonesia dalam satu derap
langkah guna menjamin tujuan pembangunan kesehatan. Sedangkan tujuannya adalah
terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik
masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya
guna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Apa kaitannya dengan Promosi Kesehatan? Dalam SKN tersebut disebutkan
adanya 7 prinsip dasar. Prinsip ke 4 adalah Prinsip Pemberdayaan dan Kemandirian
Masyarakat, dan prinsip ke 5 adalah Prinsip Kemitraan. Tanpa mengurangi arti upaya
kesehatan lainnya, kedua prinsip tersebut sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
upaya promosi kesehatan. Selain itu SKN ini terdiri 6 subsistem, salah satunya adalah;
Subsistem Pemberdayaan Masyarakat. Disebutkan bahwa Subsistem pemberdayaan
masyarakat adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya perorangan, kelompok
dan masyarakat umum di bidang kesehatan secara terpadu dan saling mendukung
guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Sedangkan tujuannya adalah terselenggaranya upaya pelayanan, advokasi dan
pengawasan sosial oleh perorangan, kelompok dan masyarakat di bidang kesehatan
dsn seterusnya. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat dengan segala uraiannya itu
tentu saja merupakan ranah (domein) Promosi Kesehatan.
Kurun waktu 2000 an ini juga merupakan era globalisasi. Batas-batas antar
negara menjadi lebih longgar. Persoalan menjadi lebih terbuka. Berkaitan dengan era
globalisasi ini dapat menimbulkan pengaruh baik positif maupun negatif. Di satu
pihak arus informasi dan komunikasi mengalir sangat cepat. Ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang pesat. Dunia menjadi lebih terpacu dan maju. Di pihak lain
penyakit menular yang ada di satu negara dapat menyebar secara cepat ke negara lain
apabila negara itu rentan atau rawan. Misalnya AIDS, masalah merokok,
penyalahgunaan NAPZA, dll sudah menjadi persoalan dunia. Demikian pula budaya
negatif di satu bangsa/negara dengan cepat juga dapat masuk dan mempengaruhi
budaya bangsa/negara lain.
Sementara itu khususnya di bidang Promosi Kesehatan, dalam era globalisasi
ini Indonesia memperoleh banyak masukan dan perbandingan dari banyak negara.
Melalui berbagai pertemuan internasional yang diikuti, setidaknya para delegasi
memperoleh inspirasi untuk mengembangkan promosi kesehatan di Indonesia.
Beberapa pertemuan itu adalah sebagai berikut :
Promosi Kesehatan adalah upaya yang menekankan pada proses dengan tetap
memperhatikan hasil (the process as well as content). Beberapa hal yang dapat dicatat
sebagai profil promosi kesehatan, secara rinci dapat dilihat di buku : Profil Promosi
Kesehatan 2003, sedangkan secara garis besar adalah sebagai berikut:
6.
Pada era promosi kesehatan dalam kurun waktu 1995-2005 ini, nampaknya
banyak yang dilakukan, tetapi hasilnya perlu banyak diberi tanda tanya. Visi
Indonesia Sehat belum bergema. Paradigma Sehat baru di tataran konsep dan retorika.
Kenyataan sehari-hari masih kental dengan paradigma lama. Dalam pembangunan
kesehatan, promosi Kesehatan belum memberikan sumbangan nyata. Berbagai
gerakan masyarakat yang telah dicanangkan Presiden, misalnya Gerakan Jumat
Bersih, tidak berjalan sesuai rencana. Beberapa kesepakatan juga belum ditindak
lanjuti secara nyata. Forum jejaring dengan para mitra belum optimal
perkembangannya. Tenaga Promkes juga masih belum profesional sepenuhnya. Di
daerah tenaga promkes banyak yang harus mutasi secara terpaksa atau harus pindah
posnya. Yang jelas: Masyarakat miskin belum dapat dientaskan dari derita.
Sedangkan masyarakat lainnya masih jauh dari budaya sehat, hidup yang produktif
dan sejahtera.
Apabila ditelaah, mengapa demikian? Banyak pakar menyoroti bahwa dalam
kurun waktu sekitar tahun 2000an itu bangsa kita kurang mempunyai spirit
perjuangan. Kita banyak terpaku dengan proyek dan anggaran. Ada juga pakar yang
menyatakan bahwa sedikitnya 30 % anggaran bocor di tengah jalan. Dari sekian
banyak kegiatan hanya sedikit sekali yang benar-benar langsung dan memberikan
perhatian kepada rakyat kecil di lapangan. Dengan demikian kepentingan masyarakat
khususnya rakyat miskin banyak terabaikan. Keadaan seperti itu juga berpengaruh
pada kegiatan promosi kesehatan. Informasi sederhana yang seharusnya sangat
diperlukan rakyat agar dapat hidup sehat, kurang mereka dapatkan. Bimbingan
Pada tahun 1967 Menteri Kesehatan Siwabessy, dengan Surat Keputusan No.
091/III/Ad.Um/’67, menetapkan susunan organisasi Depkes yang baru. Dalam
struktur organisasi tersebut unit yang mengurusi Pendidikan Kesehatan Masyarakat
(PKM) ditetapkan sebagai salah satu bagian di bawah Biro V (Pendidikan), yang
berada di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Bagian-bagian lain yang
berada dalam Biro V itu antara lain adalah: Bagian Pendidikan Institusi, Bagian
Perrpustakaan, dll. Sebagai suatu bagian, maka Bagian PKM tersebut setara dengan
eselon III. Sebagai kepala bagian PKM ditetapkan Drs. Koento Hidayat, sedangkan
sebagai kepala biro V adalah: Dr. Wiryawan Djoyosugito, MPH.
Status organisasi yang setara dengan eselon III di lingkungan Sekretariat
Jenderal Departemen Kesehatan tersebut memberikan implikasi dua hal penting.
Pertama bahwa unit pendidikan kesehatan merupakan unit kerja yang memiliki
kewenangan dan ruang lingkup kerja yang lebih terbatas. Kedua, unit tersebut tidak
memiliki akses untuk menyelenggarakan kegiatan operasional pendidikan kesehatan
termasuk pembinaan kedaerah atau lapangan.
• Pengembangan Sumber Daya Manusia PKM, yang pada saat itu dirasakan
sebagai kebutuhan mendesak, yaitu dengan pembentukan sebuah proyek yang
dikenal dengan nama Health Education Manpower Development Project, atau
Proyek Pengembangan Tenaga Pendidik Kesehatan Masyarakat. Bagian PKM
pada khususnya dan Biro V serta unit lain terkait melakukan kerjasama
dengan kelompok ahli dari luar negeri melakukan rekruitmen ketenagaan yang
berasal dari berbagai disiplin kesarjanaan, baik kedokteran dan sosial. Sebagai
pimpinan proyek ditunjuk Dr.Soeharto Wiryowidagdo MPH. Setelah melalui
tahap pendidikan di dalam dan luar negeri, kelompok inilah yang kemudian
disebarluaskan pada berbagai tatanan organisasi dilingkungan Departemen
Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi dan Institusi Pendidikan. Sebagian besar
dari kelompok yang ditempatkan dilingkungan Departemen Kesehatan berada
di kantor Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (Dit.PKM), dan Pusat
Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat). Hanya beberapa orang saja yang
ditempatkan pada institusi pendidikan.
Setelah selama sekitar 8 tahun menjadi Bagian, pada tahun 1975 berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 125 Tahun 1975, Bagian PKM Biro V
Pendidikan Depkes tersebut berkembang menjadi Direktorat Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat (PKM) pada Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat
(Binkesmas). Diangkat sebagai Kepala Direktorat adalah Dr. Pudjiastuti Pranjoto,
MPH, yang memperoleh pendidikan tentang Health Education di University of
Berkeley, USA. Salah satu Kepala Subditnya adalah Dr. I.B. Mantra, MSc., yang
setelah selesai dari kegiatan Work Experience di Bandung (beliau sebagai salah
seorang supervisornya), beliau belajar di Harvard University, USA. Pada masa inilah
pemantapan pendidikan Health Education Specialist baik di dalam maupun di luar
negeri, pengembangan tenaga Wakil Koordinator (Wator) di tingkat kabupaten, serta
diperkenalkannya daerah percontohan PKM yang disebut Daerah Kerja Intensif (DKI)
PKM.
Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 558 Tahun 1984,
unit Direktorat PKM Ditjen Binkesmas tersebut berubah menjadi Pusat PKM di
bawah Sekretariat Jenderal. Sebagian tugas pokok Direktorat PKM tersebut ditambah
dengan beberapa tugas lain menjadi Direktorat baru yaitu Direktorat Bina Peran Serta
Masyarakat (BPSM) yang tetap berada di lingkungan Ditjen Binkesmas. Sementara
itu di bawah Ditjen Binkesmas juga ada Direktorat Bina Puskesmas, yang kemudian
menjadi motor pengembangan kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa
(PKMD). Kepala Pusat PKM adalah Dr. I.B. Mantra, MSc, dan Kepala Direktorat
BPSM adalah Dr. Sonya Roesma, SKM, sedangkan Kepala Direktorat Bina
Puskesmas adalah Dr. Soeharto Wiryowidagdo, MPH. Pada periode inlah Pusat PKM
Issu ini yang menjadi dasar pemikiran mengapa pada awalnya unit organisasi
pendidikan kesehatan berada pada Biro V, di lingkungan Sekretariat Jendral,
bukan berada di lingkungan Direktorat Jendral yang memberikan layanan
langsung kepada masyarakat. Berada di lingkungan Sekretariat Jendral
memberikan kesempatan kepada Bagian 4 Pendidikan Kesehatan untuk
memberikan layanan secara lebih luas, artinya kepada semua unit organisasi
yang berada pada berbagai Direktorat Jendral, dilingkungan Departemen
Kesehatan. Diharapkan dengan hanya ada satu unit organisasi pendidikan
kesehatan, pengembangan dan pelayanan yang diberikan kepada seluruh
program akan relatif lebih mudah. Berbeda dengan unit organisasi lain yang
juga berada pada lingkungan Sekretariat Jendral seperti Biro Kepegawaian,
ternyata keberadaan unit organisasi kepegawaian tersebut muncul dan
diperkuat juga oleh unit organisasi kepegawaian pada tiap Direktorat Jendral.
Sementara itu organisasi pendidikan kesehatan hanya berada pada lingkungan
Sekretariat Jendral saja.
Walaupun demikian, unit organisasi pendidikan kesehatan secara konsep tetap
dituntut untuk memberikan pelayanan kepada seluruh unit organisasi di
lingkungan Departemen Kesehatan. Ternyata dalam jangka panjang, hal ini
menjadi kendala yang mengakibatkan tidak optimalnya pelayanan pendidikan
kesehatan untuk seluruh program, dan lebih jauh memberikan kesan seolah
tanpa unit organisasi pendidikan kesehatanpun kebutuhan terhadap layanan
pendidikan kesehatan dapat dipenuhi.
Pada sisi lain, penerapan prinsip ini mengandung resiko yang menyangkut
pendanaan yang memang selalu sangat terbatas jumlahnya. Dengan hanya
berada di lingkungan Sekretariat Jendral saja dan itupun hanya merupakan
satu dari lima bagian yang ada, praktis perolehan alokasi anggaran sangat
terbatas. Pada perkembangan selanjutnya, pada waktu menjadi Pusat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, ada 4 bidang, yang salah satu bidangnya
menguryusi penyuluhan program kesehatan. Bidang tersebut mempunyai
empat sub bidang, yang masing-masing mengurusi program-program yang ada
di unit kerja utama Depkes, yaitu di empat direktorat jenderal. Dengan adanya
bidang khusus tersebut diharapkan kerjasama antara unit PKM dengan unit
program berjalan baik. Pada kenyataannya beberapa program dapat berjalan
lancar, tetapi ada juga beberapa program yang jalannya tersendat.
Kiranya perlu pula dimunculkan issu atau wacana tentang perlunya unit
Promosi Kesehatan menjadi eselon I. Mengapa tidak? Dilihat dari berbagai
pertimbangan, kiranya cukup pantas untuk menjadikan Promosi Kesehatan sebagai
eselon I, yang langsung berada di bawah Menteri.
Pendirian FKM-UI
Kepemimpinan FKMUI
Untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi Fakultas dan juga untuk
lebih memacu perkembangannya, maka pada tanggal 10 April 1972 Rektor
Universitas Indonesia membentuk apa yang dikenal dengan Staf Inti FKMUI yang
terdiri dari : Iwan Sutjahja, dr.MPH (sebagai ketua), Does Sampoerno, dr.MPH
(Sekretaris); dan empat orang anggota, yaitu : Budi Harsana, dr.MPH, Kusuma Surya
Gani, dr.MPH, Sujana Jatiputra, dr.MPH dan Gambiro Prawirosudirdjo, dr.MPH.
Dengan bantuan berbagai pihak, antara lain Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI (Dirjen Pendidikan Tinggi), rektor UI, Konsorsium Ilmu Kedokteran,
Departemen Kesehatan, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), USAID, CMB,
University of Hawai, maka pada bulan September 1972 selesailah disusun oleh staf
inti Rencana Lima Tahun Pengembangan FKM UI.
Dalam perkembangan selanjutnya dari staf inti ini, dibentuklah 3 macam
panitia, yaitu sebagai berikut :
Sejak April 2004 anggota kedekanan FKMUI berubah, meliputi Dekan, Wakil Dekan
I yang membawahi Bidang Akademik, dan wakil Dekan II yang membawahi bidang
Non Akademik. Anggota kedekanan untuk tahun 2004-2008 adalah : Prof. dr.
Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH (Dekan), Bambang Wispriyono, Drs, Spt, PhD.
(Wakil Dekan I), dan Prastuti Chusnun Soewondo, SE,MPH,Ph.D. (Wakil Dekan II).
Pada sekitar tahun 1971 dengan bantuan WHO dan USAID dibentuk Proyek
Pengembangan Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat, atau Health
Education Manpower Development Project, yang lebih dikenal dengan Proyek HES.
Proyek tersebut selain bermaksud mengadakan tenaga ahli atau spesialis dalam bidang
Program peminatan
Pada waktu Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) belum ada, pada dasarnya
materi Pendidikan Kesehatan/Health Education (selanjutnya disingkat HE) sudah
diberikan kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) dalam perkuliahan ilmu
kesehatan masyarakat. Di samping HE yang diberikan dalam kedudukannya sebagai
Sarjana Non
Mahasiswa/Tahun Dokter/Drg Paramedis
Kesehatan
HE/HP dalam
HE/HP dalam kesmas (1 thn);
1965-1972 Belum ada
kesmas/PH (1 tahun) setelah 1970
menjadi 2 tahun
HE/HP dalam Hanya ada HES;
kesmas/PH (1 tahun); HE dlm kesmas (1
HE/HP dalam
1973-1977 Bagi mahasiswa HES th), kuliah pre klinik
kesmas (2 tahun)
plus 1/2 tahun praktek (1/2 th) dan di
HE di lapangan lapangan HE (1/2 th)
Paket peminatan dgn Tidak ada
Pendidikan 2 tahun
kuliah tertentu; HE mahasiswa lulusan
1977-sekarang dgn peminatan yang
harus diikuti semua akademi langsung
dipilih
mahasiswa (1 tahun) masuk S2
Arti penting pendidikan kesehatan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 70-
an menuntut dikembangkannya tenaga khusus penyuluhan kesehatan yang disebut
sebagai Health Education Specialist. Sekitar tahun 1968 dalam Rapat Kerja
(Workshop) Nasional a.l. dikemukakann tentang pentingnya pendidikan kesehatan
dan kemudian diputuskan bahwa Pendidikan Kesehatan merupakan suatu usaha utama
dan mutlak untuk merealisasikan puskesmas. Dan dalam kesempatan itu
direkomendasikan a.l. “pengembangan staff yang qualified melalui pendidikan Health
Education Specialist”.
Rekomendasi ini baru dapat diwujudkan pada tahun 1971 dalam bentuk
Pendidikan Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat (Health Education
Specialist). Upaya ini mendapatkan dukungan dana dan konsultan dari WHO dan
USAID dan disebut sebagai Health Education Manpower Development Project.
Tenaga-tenaga ini diharapkan menjadi advocator, motivator dan katalisator bagi
penyusunan kebijakan dan keputusan pembangunan kesehatan masyarakat. Tenaga-
tenaga ini direkrut dari berbagai disiplin ilmu dan dididik dalam berbagai perguruan
tinggi di luar dan di dalam negeri. Mereka dididik dan dipersiapkan untuk menjadi
tenaga pengelola PKM di tingkat nasional dan provinsi. Sejatinya, tenaga-tenaga ini
dipersiapkan untuk menduduki jabatan atau fungsi penyuluhan kesehatan pada
institusi kesehatan utamanya penyuluhan kesehatan di pusat dan provinsi maupun
institusi di luar kesehatan.
Ada dua model yang dikembangkan melalui pendidikan tenaga ahli PKM ini
yaitu pendidikan model BOC dan pendidikan model FKM-UI. Pendidikan model
pertama melalui tahapan basic orientation course (BOC) selama 6 bulan di Cilandak
diikuti dengan pengalaman lapangan selama 6-12 bulan di Bandung dan dilanjutkan
dengan pendidikan S2 (Master) di universitas-universitas di Amerika Serikat selama 1
tahun. Model pertama berlangsung selama 2 angkatan mencakup 31 orang.
Pendidikan model kedua melalui pra-SKM selama 6 bulan, diikuti pendidikan SKM
(Master) selama 1 tahun dan diakhiri dengan pengalaman lapangan selama 6 bulan.
Seluruhnya diselenggarakan di FKM-UI. Model kedua juga berlangsung selama 2
angkatan berjumlah 30 orang.
Selama mengikuti kegiatan pengalaman lapangan (work experience program),
peserta (calon HES khususnya angkatan I dan II) ditempatkan di Puskesmas. Mereka
melakukan study untuk mengenali masyarakat dengan menggunakan antropological
approach. Mereka tinggal di desa dan hidup bersama masyarakat desa. Hasil study itu
disampaikan kepada masyarakat desa, lalu diadakan temu atau musyawarah desa
untuk menyepakati hal-hal yang perlu dilakukan untuk membangun masyarakat
desanya. Model inilah yang kemudian nanti berkembang menjadi apa yang disebut
dengan “Pendekatan Edukatif”.
Peserta juga mengembangkan program pendidikan kesehatan yang melekat
pada masing-masing program kesehatan. Mereka ini mula-mula mengikuti kegiatan
setiap petugas puskesmas (bidan, perawat, sanitarian, petugas UKS, tenaga gizi, juga
dokter), kemudian bersama masing-masing mereka mendiskusikan aspek pendidikan
kesehatan yang dapat dilakukan oleh masing-masing tenaga kesehatan itu dalam
Dengan berkembangnya waktu dan keadaan, sekitar akhir tahun 1980-an dan
awal 1990-an lahir suatu konsep pemikiran tentang profesionalisme tenaga birokrasi
pemerintahan melalui jabatan fungsional. Artinya untuk meningkatkan pelayanan
publik, struktur yang ada sekarang sudah tidak memadai lagi dan harus didukung oleh
tenaga fungsional yang bermakna professional yang menguasai ilmu dan teknologi
profesi yang bersangkutan dan terampil melaksanakannya.
Untuk mengembangkan program PKM jelas diperlukan jabatan fungsional
PKM disamping tentunya tenaga jabatan struktural yang sudah ada di berbagai
tingkatan administratif. Pada waktu itu di lingkungan kesehatan sendiri baru dibentuk
beberapa tenaga jabatan fungsional seperti dokter, dokter gigi dan perawat. Lalu
diikuti dengan tenaga professional yang bersifat umum seperti penata komputer,
pustakawan, arsiparis, dll. Sedangkan di lingkungan pertanian misalnya dibentuk
penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, kehutanan dan lain-lain.
Pembentukan jabatan fungsional penyuluh Kesehatan masyarakat sebenarnya
dimulai pada tahun 1989, tetapi baru intensif dilakukan pada tahun 1992. Selanjutnya.
Proses pembahasannya melibatkan berbagai pihak seperti MENPAN, BAKN
(sekarang BKN), Biro kepegawaian Depkes., Pusat PKM, Direktorat BPSM, Unit
PKM Provinsi, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi bahkan sector-sektor lain yang
sudah berpengalaman dalam membentuk dan mengembangkan jabatan fungsional
masing-masing. Kendala utama yang dihadapi hádala pengakuan terhadap penyuluhan
kesehatan sebagai sutau profesi.
Setelah melalui proses panjang dengan kerja keras dan melelahkan serta
mengalami masa-masa yang sulit, akhirnya Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara (MENPAN) menetapkan terbentuknya Jabatan Fungsional Penyuluh Keshatan
Masyarakat (PKM) pada tahun 2000 melalui Keputusan MENPAN No.
58/M.PAN/VIII/2000 tanggal 14 Agustus 200. Keptusan ini mengacu pada KEPPRES
No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Pegawai negeri Sipil. Terbentuknya
jabatn fungsional PKM ini dari awal kurang menjanjikan, karena sudah diberikan
batasan bahwa sepanjang kondisi keuangan negara Belem memungkinkan makan
tunjang jabatan tidak disediakan. Tetapi untunglah angka kreditnya sudah dapat
• Pusat: Pusat Promosi Kesehatan dan Unit lain di dalam dan di luar Depkes.
Bagaimana ke depan
2. Peran sebagai “penjaja” (social marketer), yang harus dengan penuh percaya
diri dan ulet mengajak masyarakat untuk menerima dan pempraktekkan pesan-
pesan sehat yang dijajakannya. Peran ini harus dilakukan secara lantang
melalui berbagai media, dan agar lebih efektif harus disertai contoh atau
ketauladanan dari sipenjaja sendiri. Dengan sendirinya ia memerankan diri di
depan sebagai contoh, atau “ing ngarsa sung tulodo”.
Dari semuanya itu, kata kuncinya adalah semangat dan tekad pantang
menyerah. Kita perlu belajar dengan apa yang disampaikan oleh Thomas Alfa Edison,
sebagaimana dikutip pada awal bab ini.
Promosi Kesehatan di Indonesia telah mempunyai visi, misi dan strategi yang
jelas, sebagaimana tertuang dalam SK Menkes RI No. 1193/2004 tentang Kebijakan
Nasional Promosi Kesehatan. Visi, misi dan strategi tersebut sejalan dan bersama
program kesehatan lainnya mengisi pembangunan kesehatan dalam kerangka
Paradigma Sehat menuju Visi Indonesia Sehat.
Visi Promosi Kesehatan adalah: “PHBS 2010”, yang mengindikasikan tentang
terwujudnya masyarakat Indonesia baru yang berbudaya sehat. Visi tersebut adalah
benar-benar visioner, menunjukkan arah, harapan yang berbau impian, tetapi
bukannya tidak mungkin untuk dicapai. Visi tersebut juga menunjukkan dinamika
atau gerak maju dari suasana lama (yang ingin diperbaiki) ke suasana baru (yang
ingin dicapai). Visi tersebut juga menunjukkan bahwa bidang garapan Promosi
kesehatan adalah aspek budaya (kultur), yang menjanjikan perubahan dari dalam diri
manusia dalam interaksinya dengan lingkungannya dan karenanya bersifat lebih
lestari.
Misi Promosi Kesehatan yang ditetapkan adalah: (1) Memberdayakan individu,
keluarga dan masyarakat untuk hidup sehat; (2) Membina suasana atau lingkungan
yang kondusif bagi terciptanya phbs di masyarakat; (3) Melakukan advokasi kepada
para pengambil keputusan dan penentu kebijakan. Misi tersebut telah menjelaskan
tentang apa yang harus dan perlu dilakukan oleh Promosi Kesehatan dalam mencapai
visinya. Misi tersebut juga menjelaskan fokus upaya dan kegiatan yang perlu
dilakukan. Dari misi tersebut jelas bahwa berbagai kegiatan harus dilakukan
serempak.
Selanjutnya strategi Promosi Kesehatan yang selama ini dikenal adalah ABG,
Pada saat ini ada kurang lebih 1.000 orang bekerja sebagai pengelola promosi
kesehatan di pusat dan daerah, walaupun sebagian masih merupakan tenaga rangkap.
Kualitas SDM pengelola promosi kesehatan juga telah ditingkatkan dan telah
ditetapkan adanya jabatan fungsional Penyuluh Kesehatan Masyarakat (PKM).
Tunjangan jabatan fungsional juga telah keluar sejak akhir tahun 2004.
Banyak sekali kelemahan yang harus diperbaiki untuk menghadapi masa depan.
Pertama adalah SDM Promosi kesehatan. Selain baik dari segi jumlah maupun
mutunya belum memadai, jabatan fungsional PKM juga belum mantap. Selanjutnya
saling hubung (linkage) di bidang promosi kesehatan antara pusat, provinsi dan
kabupaten/kota sangat kurang. Apa yang dipikirkan dan dilakukan di pusat sering
tidak berhubungan dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan di provinsi,
kabupaten/kota. Demikian pula sebaliknya.
Sementara itu posisi organisasi pengelola kesehatan juga belum stándar: Ada
yang berada di posisi lini, ada yang berada di posisi penunjang. Ada yang langsung
dibawah pimpinan unit, ada pula yang berada dibawah sub unit. Selanjutnya Promosi
kesehatan juga belum terintegrasi benar dengan program-program kesehatan. Promosi
kesehatan juga belum dapat berperan di arus tengah pembangunan kesehatan.
Sedangkan sistem informasi perilaku sehat belum berkembang sepenuhnya. Promosi
kesehatan juga belum sepenuhnya berdasarkan fakta (evidence based).
Selain itu masih banyak masalah khususnya dalam pengoperasionalan misi dan
strategi, yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, bina suasana dan
advokasi. Berbagai permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Banyak Peluang
Selain hal-hal tersebut di atas perlu dikemukakan pula banyaknya peluang yang
ada. Globalisasi dan kemajuan IPTEK khususnya di bidang telekomunikasi dan
informatika merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan untuk mengembangkan
promosi kesehatan. Sistem pemerintahan desentralisasi yang memberikan bobot pada
otonomi daerah memungkinkan berkembangnya promosi kesehatan sesuai dengan
kebutuhan setempat. Selanjutnya digalakkannya praktik good governance akan
memacu peningkatan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
Sementara itu tatanan yang tersebar secara luas dan merata di masyarakat
(sekolah, tempat kerja, tempat umum, sarana kesehatan, juga tempat tinggal)
merupakan lahan yang perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pengelola dari
masing-masing tatanan tersebut perlu diajak sebagai mitra untuk menggerakkan
perilaku hidup sehat di masing-masing tatanan tersebut.
Dorongan dari dunia internasional juga dapat dimanfaatkan untuk memacu
promosi kesehatan di Indonesia. Kesepakatan-kesepakatan global, khususnya yang
berkaitan dengan promosi kesehatan dan peningkatan perilaku sehat perlu dikaji
kembali (direview) dan ditindak lanjuti. Hal itu misalnya yang tertuang dalam
Deklarasi Jakarta (1997), Pernyataan para Menteri Kesehatan di Mexiko (2000),
Deklarasi Vientiane tentang Healthy ASEAN Lifestyle (2002), the Bangkok Charter
(2005), dll.
Berbagai Tantangan
Selanjutnya banyak tantangan yang harus dihadapi pada masa yang akan
datang, yang diperkirakan akan semakin kompleks. Globalisasi, di satu pihak dapat
membuka lebih banyak peluang dan kesempatan. Tetapi globalisasi, yang juga
ditandai dengan meningkatnya persaingan bebas, akan mengharuskan segenap
komponen bangsa untuk meningkatkan daya saing. Teknologi, transportasi dan
Berbagai rencana aksi tersebut perlu dilandasi dengan tekad dan semangat yang
mantap. Kita berharap bahwa hari esok harus lebih baik daripada hari ini dan kemarin.
Dengan demikian kita akan termasuk orang yang beruntung, sebagaimana kata orang
yang sangat bijak, yang dikutip di awal bab ini.
Sejarah tergantung pada para pelakunya. Para pelaku itu banyak yang sudah
mendahului kita menghadap Sang Pencipta. Di antara yang tinggal banyak yang
sudah purna bakti dan bertebaran di berbagai tempat. Banyak di antara para
pelaku itu masih berbuat untuk masyarakat dan bangsa dengan caranya masing-
masing.
Inilah kesan dan pesan dari sebagian para pelaku sejarah dan para pengamat atau
pemerhati Promosi Kesehatan itu.
Dokter Sayoga
(Mantan BOC I, terakhir pejabat DEPDIKNAS Provinsi Jawa Barat)
Yang dimaksud sekolah adalah semua jenjang pendidikan di tingkat dasar dan
menengah yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen
Agama. Para murid atau siswa sudah dalam keadaan terorganisasikan dan dalam
keadaan siap untuk menerima segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan Promosi
Keshatan. Demikian pula para pengasuh atau gurunya. Promosi Kesehatan tidak
hanya dalam bentuk pendidikan atau penyuluhan kesehatan, baik secara intra
kurikuler atau ekstra kurikuler, melainkan juga dilengkapi dengan Pelayanan
Kesehatan Sekolah. Berkenaan dengan Otonomi Daerah, maka kegiatan Pelayanan
Kesehatan Sekolah disesuaikan dengan kemampuan daerah masingt-masing.
Menurut pengamatan dan pengalaman saya di lapangan terbukti bahwa
pendidikan kesehatan dan Pelayanan Kesehatan Sekolah belum berjalan dengan
optimal, bahkan hanya dilaksanakan sekadarnya saja. Initerjadi karena buku-buku,
sarana dan sumber daya manusianya tidak tersedia atau kurang memadai.
Apakah yang dapat dilakukan oleh Departemen Kesehatan atau khususnya oleh
Pusat Promosi Kesehatan? Ini mengingat para siswa yang jumlahnya jutaan itu
mempunyai potensi sebagai pembaru perilaku kesehatan (Agent of change for positive
health behaviour) yang merupakan salah satu tujuan dari promosi kesehatan.
Setelah lulus, tidak langsung bekerja dengan penempatan sebagai staf pengajar
Fakultas Kedokteran, tetapi mengikuti program Departemen Kesehatan ke daerah
dengan wabah selama 2 minggu bersama dokter yang baru lulus dengan penempatan
di daerah/puskesmas waktu itu ke Palembang (wabah cacar tahun 1961). Sebelum
berangkat memperoleh pelatihan di Departemen Kesehatan Jakarta dengan supervisi
almarhum dr. Bagiastra dan dr. Abdulkadir (kegiatan ini merefleksikan suatu
kerjasama antar Departemenn Pendidikan dan Departemen Kesehatan yang baik).
Dalam kurun waktu (1963-1965) saya bertemu dengan Ibu Koesnaniah,
almarhum Ibu Tati dan alamarhum Liem Tjae Lie sewaktu bertugas sebagai Kepala
BKIA Pendidikan mahasiswa FKUI di Jl. Kwini, di gedung Departemen Kesehatan
bagian belakang yang bersebelahan dengan bagian Pendidikan Kesehatan Departemen
Kesehatan. Dari hubungan ini diperoleh bekal pengalaman kerja berkaitan dengan
Kesehatan Masyarakat dan Pendidikan Kesehatan. Kegiatan BKIA meliputi
penimbangan para ibu hamil, bayi/balita sehat, pemberian imunisasi pada bayi/balita
maupun ibu hamil sehat serta vitamin dan makanan tambahan (pada waktu itu susu
bubuk persahabatan USA-RI, Vit A D, Fe), dan pendidikan kesehatan dengan
menggunakan pamflet-pamflet tertentu dan kartu gizi dilaksanakan baik di puskesmas
maupun waktu kunjungan rumah dilaksanakan bersama mahasiswa yang kuliah kerja
PH (Public Health) di BKIA dan staf paramedis yang ada. Jika disimak kembali maka
saya dapat mengatakan bahwa pelaksanaan promosi kesehatan yang baik erat
berhubungan dengan pendidikan kesehatan yang diberikan, jelas kegiatan
penyuluhan/HE. Keadaan ini mendukung pernyataan Leavell & Clark ” health
education is vitally important the procedures in promoting health” (1953). Keadaan
ini disadari oleh dr. Leimena dengan tulisan beliau (1956) sbb: public health of to day
can not be solved without health education; and it is also true that this activity can
aonly be carried out by capable worker. Kata capable workers menurut saya meliputi
kemampuan bidang pekerjaan kesmas (substansi) dan bidang komunikasi serta
hubungan antarpribadi ( HAM).
”It can, in general be said that all activiteis in the field of public will not have
satisfactory result, unless appropriate education and information on those problems
are provided efficiently to the public “ ( Leimena, 1956.)
• Profesi dokter baik dan mulia, profesi pedagang pun baik dan mulia, tetapi bila
keduanya ada pada satu orang maka menjadi tidak baik dan tidak mulia.
• Seorang Dokter bertutur kepada putri tercintanya : “ Nak, kamu tidak usah
ikuti jejak ayahmu menjadi dokter, karena dokter adalah pekrjaan mulia dan
kemulyaan itu pudar bila kamu menjadi kaya raya karenanya “ ( Dan memang
Awal pelajaran HE/PKM waktu semester 2 Tahun 1974 di APK Jakarta, saya
tidak tertarik pelajaran ini. Assisten Ibu Koesnaniah Wirja Mihardja, 3 orang yaitu :
Rachmat Hartono BSc, Bambing Ristanto, BSc, dan Bambang Hartono, BSc., yang
sekarang menjabat kepala Pusat promosi Kesehatan. Karena kala itu adalah Rachmat
Hartono, BSc yang sambil merokok memberi kuliah. Yang menarik adalah Bambang
Hartono,…. Bahan kuliah, kuis yang stensilan kertas duplikator masih tersimpan?
Karena alur kuliah 2 semester dibuat skematis, kotak-perkotak mulai pengenalan dari
Public Health sampai aplikasi pada program kesehatan tertentu, bahkan rancangan
membuat media dikenal mengikuti langkah alur diagnosa edukatip.
Alhasil, tugas pertama di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan di tahun 1977, di
Seksi Hygienen&Sanitasi, tetapi juga berteman dengan Koordinator HE/PKM
Kabupaten, tugas-tugas PKM malah melekat. Pada tahun tahun itulah sudah
dikenalkan dengan Daerah Kerja Intesif PKM, yang kala itu mencakup seluruh
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, masing-masing pada 1 Kecamatan, pada satu
Desa. Awalnya HE/PKM dibenci tetapi malah melekat sampai dengan sekarang ini
(ada peribahasa Jawa : Genting-Nyanding,……ini mengajarkan pada kita kalau kita
benci, malah mendekat atau melekat). Tiga tahun kemudian, pada awal April 1980,
tugas berpindah di Dinas Kesehatan Provinsi, kala itu di Unit PKM ( belum
Organisasi Struktural) yang sifatnya fungsional, Kepala Unit PKM adalah, dr. H.
Aisyah R. Pananrang…. Inilah yang turut membina saya, dan ternyata teman
seangkatan Bapak Bambang Hartono sewaktu Training PKM yang 3 bulan di
Murnajati Malang….di Unit PKM kala itu hanya ada 6 orang staf tehnis, yaitu 1 orang
dokter (Ibu dr. Aisyah R Pananrang) 2 lulusan APK dan 2 orang Lulusan Akper, 1
orang tamatan SAM yang menangani AVA. Tahun 1979 satu staf Teknis Bapak
Sumardin Makka, Bsc. Tubel ke FKM-UI. Baru tugas 3 bulan, giliran Ibu dr. Aisyah
R. Pananrang, menyusul tubel ke FKM-UI, yang pada akhirnya operasional Unit
PKM Provinsi dikelola 3 staf teknis dan Pelaksana tugas Kepala Unit yaitu Dr. MN.
Anwar SKM. (sudah Almarhum) yang merangkap sebagai kepala Dinas Kesehatan
Kota Makassar.
10. Selain itu juga diperlukan adanya Organisasi Profesi Promosi Kesehatan yang
kuat, yang berperan antara lain sebagai mitra, pemikir, pemasok, pengamat
dan pengkritik kegiatan promosi kesehatan di lapangan.