You are on page 1of 5

Aku Sayang Ibu,..

Senja itu merah jingga, aku asyik mengamati orang-orang yang lalu lalang di depan
rumahku, terkadang ada yang berjalan tergesa-gesa tak jarang pula berjalan dengan wajah
suram dan merunduk. Sembari mencicipi minuman hangat buatan ibu di beranda rumah
kami, aku memang terlalu sering mengamati orang-orang di sekelilingku, entah mengapa
aku senang dengan proses mengamati itu banyak hal yang aku temukan dengan
pengamatanku, mungkin juga karena enneagramku adalah Pengamat. Di sampingku
seorang wanita yang sudah mulai uzur, wajahnya sangat syahdu, terlihat guratan-guratan
halus di sepanjang pelipisnya menunjukkan pertambahan usia dan ekspresi wajah yang
terus berulang-ulang sehingga terpatri dengan jelas di sudut mata dan bibirnya.

Matanya kelihatan mulai cekung, Namun bola matanya sangat meneduhkan,aku yakin
siapapun pasti merasa nyaman di sampingnya, pipinya juga sudah mulai mengendur
dimakan usia. Bagiku matanya menunjukkan ketegarannya selama ini, walaupun
terkadang aku mendapati bola mata itu kosong, terkadang terlihat berkaca-kaca mungkin
karena derita yang dialaminya cukup lama sehingga dia terlihat lebih tua dari umurnya.

Wanita itu adalah ibuku. Ibu yang selalu sabar menerima kehidupannya, ibu yang selalu
membuatku tenang kala kuresah, ibu yang selalu memberikanku pelajaran berharga
walaupun dia tak pernah menginjak bangku universitas. Dialah ibuku yang berpuluh
tahun ditinggalkan ayah untuk wanita lain. Dialah ibuku yang bertahun-tahun menjadi
penjahit dan penjual gorengan untuk membiayai hidup kami dan biaya sekolahku.

Terkadang aku terheran-heran dengan kekuatan seorang wanita, sungguh Luar biasa
perkasa menghadapi kerasnya derita hidup, ketabahan seorang wanita seperti ibuku dan
wanita-wanita lain yang mengalami hal yang serupa patut diacungi jempol. Mengapa
demikian?? karena menurutku wanita yang hebat adalah wanita yang tabah menghadapi
hidup dan mampu menjadi manusia normal, selalu berada dalam norma-norma adat dan
agama meskipun mencari uang sangat sulit di negri kita ini. Karena tak jarang wanita-
wanita yang dihimpit kesulitan cendrung menjatuhkan dirinya semakin dalam ke dalam
kenistaan hanya untuk pelampiasan kemarahan atau juga kesulitan ekonomi.

Namun ibuku tidak, bisa dibilang dia seorang wanita yang cantik, saat ditinggalkan ayah
dia masih berumur 35 tahun, masih terlalu muda untuk menjadi janda. Saat itu umurku
belum genap 10 tahun jadi aku tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya dicari oleh
ayahku pada wanita yang lain itu. Kalau saja tak kuat Iman mungkin bisa saja ibu jatuh
ke dalam kubangan syaitan saat itu. Sampai sekarang aku selalu ingat kata-kata ibuku
ketika aku mulai membantu keuangan keluarga dengan bekerja sambil kuliah, bahwa
uang yang diperoleh dari usaha yang haram walau satu sen pun akan membuat hati kita
keras akan kebenaran, tidak mau mendengar ayat-ayat Allah bahkan benci pada
peringatan akan akhirat. Sekarang Aku jadi berpikir bagaimana dengan koruptor yang
triliyunan rupiah mengambil harta rakyat yah,..

Saat itu Senja menjelang magrib, tiba-tiba aku ingin sekali menanyakan sesuatu hal pada
ibu yang sudah kusimpan rapi di hatiku, Namun entah mengapa sore ini setelah 17 tahun
ayah meninggalkan kami tanpa kabar berita, kuberanikan juga diri ini untuk menanyakan
hal ini pada ibu. Sungkan rasanya aku bertanya soal ayah lagi, bagiku ayah sudah tiada.
Entah benci pada sosok seorang ayah seperti ayahku, entah juga berusaha menganggap
ayah tidak ada dalam garis kehidupan kami. Sebenarnya dengan menanggung beban
seberat ini membuatku lebih dewasa dari usiaku saat itu. Semenjak umur 10 tahun tak
jarang aku membantu ibu berjualan gorengan di sore hari di stasiun kereta api, tak jarang
dikejar preman dan dipalak, setelah itu ibu sangat khawatir membiarkanku berjualan di
stasiun, sebagai gantinya aku menitipkan sebagian daganganku di warung-warung dekat
rumah. Dari rumah ke rumah menawarkan jasa jahitan ibu, berharap mendapat pelanggan
untuk ibu. Kalau ku ingat perjuanganku untuk sekolah dulu mungkin tidak sebanding
dengan perjuangan anak-anak di Laskar Pelangi menanggung beban yang berat, namun
itulah hidup tak pernah dikira-kira. Rasa sakit ibu yang bertahun-tahun mengajarkan aku
untuk lebih menghargainya dari apapun. Bahkan mengutamakan perasaannya daripada
perasaanku sendiri. Aku hanya ingin ibu bahagia dalam panjangnya rona derita hidupnya,
aku hanya ingin ibu selalu tersenyum walaupun ku tahu dalam senyumnya masih tersisa
luka.

/“Ibu,..Saat ayah pergi dulu, mengapa ibu tak menahannya??”/ sedikit gugup kutanyakan
hal ini pada ibu, aku khawatir jika lukanya kembali terasa perih sekali.

/”Asri, Apakah seseorang yang telah buta mampu melihat orang-orang di sekelilingnya??
Tentu saja jawabannya tidak, mungkin matanya buta namun hatinya tidak, dia masih bisa
merasakan keberadaan orang-orang di sekitarnya. Saat ayahmu pergi, Ayahmu tidak buta
sama sekali, dia masih bisa melihat Ibu dan kamu. Namun Hatinya tidak di sini, hatinya
dan pikirannya sudah melayang jauh untuk wanita lain. Lalu apa ada alasan lain
menahannya untuk tidak pergi??//

Aku terenyuh dengan jawaban ibu, sebenarnya aku menyesal menanyakan masalah ayah
pada ibu lagi, aku yakin hatinya sangat sakit. Aku terbiasa merasakan perubahan emosi
ibu dan kepedihan yang ibu rasakan, aku ingat malam itu ayah melangkah keluar rumah
dengan tas besar berisi semua baju-bajunya. Ibu mengikutinya dari belakang sambil
menarik lengan ayah. Ibu menangis tapi tidak meraung-raung apalagi sambil berteriak,
ibu terus saja memperingatkan ayah bahwa masih ada aku yang sangat membutuhkan
kasihsayang ayahnya.

/”Pak,..ingat Allah pak,..ingat anak kita Asri pak,..ibu terisak di samping ayah yang tidak
memperdulikannya, sekarang aku baru tahu mengapa ibu mengingatkan ayah untuk tidak
pergi demi aku. Seorang sahabatku berkomentar tentang kejenuhannya dengan
banyaknya pemberitaan trend kawin cerai dalam dunia entertainment bahkan sudah
menjalar pada kita seperti virus yang menggerogoti diam-diam.

/”Jika orangtua bercerai, masing-masing dari ibu dan ayah bisa melaluinya dan tetap bisa
survive, tapi anak yang menjadi korban cerai apa mereka bisa survive seperti
orangtuanya?? Rasanya tidak, kalaupun bisa tentu banyak dipengaruhi berbagai faktor
misalnya perbedaan usia, waktu merecovery hatinya tentu akan relatif berbeda untuk
masing-masing anak. Namun kebanyakan anak korban perceraian trauma dengan
perceraian orangtuanya dan pasti akan membekas di sudut hatinya yang paling dalam.

Sepertinya sudah menjadi cerita lama saat seorang laki-laki jatuh cinta pada wanita lain,
maka tanggung jawabnya pada anak dan istri sirna sudah dari benaknya. Ingin sekali aku
menanyakan tentang perasaan wanita lain itu jika dia berada di posisi ibuku??.. Ingin
sekali aku bertanya pada ayah apa yang dia harapkan pada wanita lain itu??..namun
sekarang aku telah membuang jauh-jauh semua pertanyaan itu dan memilih diam hanya
untuk membuat ibu lebih ikhlas dengan kepergian ayah.

Aku juga terheran-heran, hampir tidak pernah aku mendapatkan kata-kata yang selalu
menyudutkan sosok ayahku dari mulut ibu. Padahal jika dilihat dari sudut manapun ibu
pantas mengajarkanku untuk membenci ayah. Tapi ibu tak pernah melakukannya,
seburuk apapun, senista apapun, sebejat apapun dia tetap ayahmu ucap ibu suatu kali
saatku memaki ayah yang tak pernah mengirimi kami kebutuhan hidup bahkan tak pernah
memberikan kabar berita pada kami, sementara saat itu ibu sakit keras harus dibawa ke
rumah sakit untuk perawatan yang lebih intensif karena ibu menderita diabetes melitus.
Seperti cerita-cerita di sinetron cobaan memang sering melanda hamba-hambaNya yang
dikasihi. Aku mendapatkan pinjaman dari pak RT yang baik hati dengan jaminan cincin
kawin ibu, namun pak RT yang baik hati itu ikhlas membantu kami tanpa
jaminan”Semoga Allah membalas kebaikan beliau”.

Hari demi hari, bulan yang terus berlalu berganti tahun aku melaluinya bersama ibu, terus
berada di sampingnya berharap memberikan hal yang terbaik yang pernah aku miliki
untuk ibuku selama aku berada di sampingnya. Setiap kali dia sakit aku teramat khawatir
melihat tubuhnya yang semakin hari semakin kurus dan lemah, namun masih tetap bisa
tersenyum setiap kali aku berangkat ke kantor atau menyambutku di depan pintu dengan
pelukan hangatnya.

--------
Gdubbbbbraaaakkkkk,...aku terjatuh mengenai pohon bambu hias yang menjadi tanaman
pagar di depan rumahku. Aku menabrak seorang pemulung, kebiasaan burukku yang
sering terburu-buru bisa berakibat seperti ini. Pemulung itu bangun perlahan-lahan lalu
tersenyum padaku, aku sempat bingung bukannya marah kok malah tersenyum.

/”maaf,..maaf pak, saya tidak melihat bapak/ aku membalas senyumnya kemudian, laki-
laki itu sudah tua, sebagian rambutnya sudah mulai putih. Kulitnya lusuh dan hitam
dijilat matahari. Tapi mengapa melihat senyumnya aku merasakan sesuatu pada laki-laki
tua ini entah perasaan apa itu aku pun tidak tahu. Beberapa hari ini aku memang pernah
melihatnya lewat di depan rumah kami, sesekali mengamati pintu rumah kami. Seperti
mencari seseorang atau mungkin juga mencari kesempatan ketika tidak ada orang, namun
entahlah aku tidak mencurigainya ingin melakukan tindakan kriminal justru aku merasa
dia sedang merindukan sesuatu. Ah,..mungkin ini hanya hasil dari pengamatanku saja.

Aku berlalu dari laki-laki tua tadi, sebelum pergi aku masih sempat melihatnya tersenyum
lagi padaku pertanda dia juga minta maaf sambil menundukkan kepalanya. Hari ini aku
ingin pulang lebih awal, kasihan ibu saat aku tinggalkan tadi badannya agak panas dan
kepalanya pusing. Jika ku pulang lebih awal mungkin aku bisa membawanya ke dokter
ba’da magrib.

Ku persiapkan semua weekly reportku yang akan dikirim via email ke atasanku. Beberapa
resume meeting dan best practice kegiatan yang aku fasilitasi semua juga hampir
rampung, tinggal diprint dan disebarkan. Jadi, aku bisa minta izin untuk pulang lebih
awal. Pikiranku tidak tenang jika ibu sakit.

Setengah berlari aku mengejar jadwal kereta api yang tercepat untuk sampai di rumah,
sedikit gerimis membasahi kota jakarta, namun lama kelamaan menjadi deras akhirnya
aku basah kuyup juga. Seperti biasa jadwal kereta api akan mundur dari jadwalnya bila
hujan deras seperti ini. Semua orang sudah mulai memaklumi situasi seperti itu.

Pintu terbuka lebar saat aku sampai di rumah, hujan masih deras mengguyur bumi,
mengguyur tubuhku juga yang kelupaan membawa payung. Langkah kakiku mungkin
tidak terdengar oleh ibu. Aku hanya sedikit heran, mengapa saat hujan-hujan begini ibu
tidak menutup pintu, dan ibu juga tidak ada di serambi rumah menungguku pulang seperti
biasanya.

Sayup-sayup kudengar isakan tangis ibu dan sebuah suara. Ya itu suara laki-laki, siapa
laki-laki yang sedang bersama ibu. Aku berdiri di depan pintu mendapati suasana yang
maha mengharukan di depan mataku. Seorang laki-laki tua sedang bersimpuh di kaki ibu
bahkan hampir sujud, memohon ampun, memohon dimaafkan kesalahannya. Yang
membuat aku kaget justru laki-laki yang bersimpuh itu adalah laki-laki tua pemulung
yang tertabrak olehku pagi tadi. Aku mulai mencurigai tentang perasaan yang kurasakan
saat laki-laki itu tersenyum padaku.

Ibu memberi isyarat padaku agar aku duduk di sampingnya. Laki-laki itu terkejut dengan
kedatanganku, dia berusaha mendekatiku dan melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukannya pada ibu yaitu bersimbuh di kakiku. Belum sempat aku bertanya siapa dia.

/”Maafkan bapak nak,..bapak pantas dihukum hukuman yang lebih berat dari ini. Bapak
sudah menyia-nyiakan kalian berdua, bapak mohon ampun, hanya mohon ampunan dari
kalian...setiap waktu bapak berdoa moga dipertemukan dengan kalian berdua hanya
untuk mohon maaf../ laki-laki itu semakin terpekur diantara aku dan ibu.

Tanpa kusadari airmataku mengalir dengan deras, inikah laki-laki yang seharusnya
kupanggil ayah selama ini?? Inikah laki-laki yang sudah meninggalkan kami selama 17
tahun tanpa kabar berita?? Inikah laki-laki yang sampai sekarang masih ada di sudut hati
ibu?? Inikah laki-laki yang dulunya pergi tanpa pamit dan sekarang datang dengan
bersimpuh??,..gundah hatiku seketika. Ibu memelukku dan ayah seolah-olah ibu tak ingin
lagi kehilangan salah satu dari kami.

Kutarik napas dalam – dalam sejenak namun pasti. Mengambil sebuah keputusan yang
besar dalam hidupku dan ibu. Jika ku salah mengambil tindakan maka semua akan
menjadi penyesalan. Bagiku orang yang bahagia adalah orang yang tahu tujuan dari apa
yang dia mau dan berani mengambil keputusan dan tindakan untuk mencapainya.

/”Bapak,..Allah selalu memaafkan orang yang sudah bertobat. Allah malu jika tidak
memberikan ampunan pada hambaNya yang bersungguh-sungguh. Kami selalu
menerima bapak dengan ikhlas. Memaafkan kekhilafan bapak dengan setulus hati kami.
Aku berharap tentu juga ibu demikian, bapak bersama kami lagi dan jangan pernah pergi
lagi//..

Lega rasanya kuucapkan kata-kata itu untuk ayahku. Senyum ibu mengembang,
kebahagiaan terpancar dengan jelas dimatanya. Ayah semakin erat memelukku dan ibu.
Berjanji akan selalu menjaga kami menggantikan hari-hari, bulan demi bulan dan tahun
demi tahun yang telah kami lalui tanpanya. Entah mengapa kebencian itu hilang dari
hatiku memaafkan hingga ke akar-akarnya tanpa dendam seumur hidup. Jiwaku lebih
tenang menerima kehadiran seorang ayah yang telah sangat lama tak pernah terucapkan
oleh bibirku.

Kembali terngiang di telingaku kata-kata ibu bahwa seburuk apapun, senista apapun dia
tetap ayahku. Yang ku tahu orang yang baik bukan orang yang tak punya dosa, tapi orang
yang baik adalah orang yang selalu memperbaiki dirinya dari semua kesalahan dengan
bersungguh-sungguh. Hari ini aku dan ibu memberikan kesempatan itu pada ayah.
Semoga Allah mengampuni dosanya...amienn

-----------

You might also like