You are on page 1of 89

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Demokrasi merupakan sebuah kata yang sering diungkapkan orang saat ini

dalam melihat sebuah sistem negara. Menurut Mahfud MD, ada dua alasan

dipilihnya demokrasi menjadi dasar dalam bernegara. Pertama, hampir diseluruh

negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental;

kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang esensial telah memberikan arah

bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi

tertingginya1.

Konsepsi demokrasi lahir pada zaman yunani kuno dan dipraktikkan

dalam hidup bernegara antara abad ke-4 SM sampai abad ke 6 M. Secara

etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu

demos yang berarti rakyat atau penduduk setempat dan cratein atau cratos yang

berarti kekuasaan atau kedaulatan.

Jadi demos-cratein atau demos-cratos adalah kekuasaan atau kedaulatan

rakyat. Kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, rakyat berkuasa,

pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat2.

Perkembangan demokrasi di eropa kembali bergeliat pada masa

renaissance, setelah terpuruk pada zaman pertengahan. Dua filsuf besar yakni,

John Locke dan Montesquieu masing-masing dari Inggris dan Prancis telah

1 Dalam A. Ubaidillah dkk, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani
(Jakarta: IAIN Jakarta Press) 2000 hal 161.
2 Dalam A. Ubaidillah dkk, Ibid., hal 169.
memberikan sumbangan yang besar bagi gagasan demokrasi. John Locke (1632-

1704) mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup,

kebebasan, dan hak memilih (live, liberal, property)3.

Montesquieu (1689-1744) mengungkapkan sistem pokok yang

menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui “trias politica”,

yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara dengan membaginya ke

dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif yang masing-masing harus

dipegang oleh organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip kiranya semua

kekuasaan itu tidak boleh dipegang hanya seorang saja4.

Konsepsi demokrasi menurut Abraham Lincoln pada pidatonya tahun 1863

adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Robert A. Dahl

mengatakan bahwa negara yang menerapkan demokrasi adalah (1)

menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas, (2) mengembangkan pola

kehidupan yang kompetitif, (3) memberikan perlindungan kebebasan kepada

masyarakat5.

Joseph Schumpeter mengatakan bahwa esensi demokrasi adalah

mekanisme kompetitif memilih pemimpin melalui kontestasi mendapatkan suara

rakyat6. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana

keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak

langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari

rakyat dewasa7.

3 Dalam Noer, Deliar, Pemikiran Politik Di Negeri Barat (Bandung:Mizan) 1997,hal 117
4 Dalam Noer, Deliar, Ibid., hal 135.
5 Dalam Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam (Yogyakarta: Galang Press)2001, hal 106
6 Dalam A. Ubaidillah dkk, op. cit. hal 162.
7 Dalam A. Ubaidillah dkk, Ibid., hlm 162.
3

Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam dua tahapan

yaitu pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Seperti dikemukakan Jimly

Asshiddiqie, pada pra kemerdekaan telah tumbuh praktik yang dapat dikaitkan

dengan gagasan demokrasi di wilayah nusantara terutama di daerah pedesaan8.

Sementara itu perkembangan demokrasi pada pasca kemerdekaan

mengalami pasang surut dari masa ke masa. Perkembangan demokrasi di

Indonesia dapat dilihat dari empat periode yaitu, a. Periode 1945-1959, b. Periode

1959-1965, c. Periode 1965-1998, d. Periode 1998- sampai sekarang. Melihat

rentang waktu perkembangan demokrasi di Indonesia yang cukup panjang, maka

penulis memfokuskan pada periode 1945-19599. Pada periode 1945-1959 ini

disebut juga dengan demokrasi parlementer. Periode ini juga dapat dikatakan

sebagai demokrasi liberal di Indonesia.

Momentum perkembangan demokrasi liberal, di tandai dengan keluarnya

Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Moh. Hatta.

Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai

bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada

Januari 1946. Maklumat No. X berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai

politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-

partai politik baru.

Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu

dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 pemilu. Pemilu multipartai secara

nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan

8 Dalam A. Ubaidillah dkk, Ibid., hlm 176.


9 Dalam A. Ubaidillah dkk, Ibid., hlm 177.
parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu

pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik

yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi,

berlangsung dengan langsung, umum, bebas, rahasia (luber), serta mencerminkan

pluralisme dan representativness10.

Pasca pemilu 1955 terjadi sebuah fragmentasi politik yang kuat oleh

karena itu berdampak kepada ketidak efektifan kinerja parlemen hasil pemilu

1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu

memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil,

tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-

ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek. Ketidakefektifan kinerja

parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan

partai-partai politik pada umumnya. Ditambah lagi dengan tidak mampunya

anggota-anggota partai yang tergabung dalam badan konstituante untuk mencapai

konsesus mengenai dasar negara.

Terjadi pergulatan panjang antara kaum nasionalis, komunis, dan Islam

dalam meletakan dasar negara Indonesia pada sidang konstituante, yang akhirnya

berujung kepada dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden

Sukarno. Pada faktanya fragmentasi dari multi partai pada demokrasi liberal ini

menyebabkan ketidak efektifan parlemen serta pemerintahan. Namun hal yang

sangat disayangkan ketika sistem demokrasi parlementer ini harus dikubur oleh

dekrit presiden.

Pada perdebatan panjang dalam konstituante, muncul seorang tokoh dari


10 www.wikipedia.com Kamis 23 Oktober 2008
5

kalangan Islam yang menawarkan sebuah dasar negara serta sistem demokrasinya,

tokoh tersebut bernama Mohammad Natsir. Natsir mewakili partai Masyumi yang

mengajukan Islam menjadi dasar negara. Dalam anggaran dasar Masyumi

dinyatakan sebagai partai Islam yang bertujuan untuk menegakkan kedaulatan

rakyat Indonesia dan melaksanakan cita-cita Islam dalam bidang kenegaraan.

Hingga dapat mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan

terciptanya masyarakat yang berkeadilan menurut ajaran Islam, serta memperkuat

dan menyempurnakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh karena itu

dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam11.

Pada sidang Konstituante 1956-1957, Natsir memegang sebuah peranan

strategis dalam mewakili pandangan umat Islam dalam membentuk undang-

undang dasar negara. Pidatonya di Sidang Konstituante dalam pembahasan

pembentukan dasar negara inilah Natsir mengemukakan sebuah konsepsi

demokrasi yang menurutnya sesuai dengan nilai rakyat Indonesia, yaitu theistik-

demokrasi. Menurut Natsir negara yang berlandaskan bukanlah suatu teokrasi,

namun demokrasi, bukan pula sekuler. Tetapi lebih jelasnya demokrasi Islam

adalah yang dinamakannya theistik-demokrasi12.

Hubungan demokrasi dengan Islam mempunyai perdebatan diantara para

ilmuwan barat. Satu pihak ilmuwan barat menganggap bahwa demokrasi tidak

dikenal dalam Islam. Larry Diamond, Juan Linz, dan Seymour Martin Lipset

mengatakan bahwa kebanyakan negara-negara Islam tidak layak dimasukkan ke

dalam studi tentang demokrasi. Hal ini dikarenakan tidak adanya praktek

11 www.icmi.or.id Kamis 23 Oktober 2008


12 Dalam Mohammad Natsir, Pidato di Depan Sidang Majelis Konstituante untuk Menentukan
Dasar Negara RI (1957-1959), Sega Arsy, Bandung, 2004 hal 62
demokrasi di negara-negara Islam13.

Sedangkan di sisi lain ilmuwan seperti Ernest Gellner menemukan bahwa

dalam Islam mempunyai kesamaan unsur-unsur dasar (family resemblences)

dengan demokrasi14. Robert N. Bellah menyatakan bahwa penyelenggaraan

pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad SAW di Madinah bersifat

egaliter dan partisipatif, hingga dikatakan sangat modern dibandingkan

zamannya15.

Gellner dan Robert N. Bellah membuat sebuah kesimpulan bahwa doktrin

dan politik Islam tentang keadilan (al-adl), egaliterianisme (al-mushawah),

musyawarah (syura) terealisasikan dalam praktik kenegaraan awal Islam.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa dalam memahami hubungan

Islam dan demokrasi haruslah komprehensif. Kajian hubungan antara Islam dan

demokrasi tidak dapat dilihat secara monolitis, yakni melihat dari radikalisme di

Timur Tengah serta penafsiran yang salah tentang Islam.

Pandangan ini yang mengakibatkan adanya sebuah kesalahan dalam melihat

hubungan Islam dan demokrasi. Islam yang memiliki multi-penafsiran tidaklah

dapat dilihat dalam satu penafsiran. Namun Islam sebagai agama dilihat sebagai

instrumen ilahiah dalam melihat dunia. Oleh karena itu sudah jelas bahwa Islam

sebagai agama, dilihat sebagai panduan nilai bagi manusia dalam menjalankan

hidupnya.

Islam sebagai agama merupakan sebuah jalan keselamatan bagi manusia.

Islam membawa nilai ke-tauhidan yang menentang penghambaan manusia kepada

13 Dalam Effendy, Bahtiar, Ibid., hal 127.


14 Dalam Effendy, Bahtiar, Ibid., hal 128.
15 Dalam Effendy, Bahtiar, Ibid., hal 129.
7

dzat selain Allah SWT, agar manusia mempunyai orientasi jelas dalam hidupnya

yaitu sebagai Abdullah dan Khalifatullah. Oleh karena itu ajaran Islam bersifat

abadi dan universal. Ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits

bukanlah sebuah ideologi. Namun ajaran Islam yang terkandung dalam kedua

sumber ajaran diatas dapat ditransformasikan dan diformulasikan untuk dijadikan

sebuah rumusan landasan gerakan. Rumusan tersebut bersifat eksplisit, tegas,

serta mempunyai cara-cara untuk mencapainya. Rumusan tersebutlah yang

disebut dengan ideologi.

Berdasarkan pandangan diatas, Natsir memiliki kesadaran dasar bahwa

ajaran-ajaran Islam yang ditransformasikan dan diformulasikan dalam bentuk

ideologi dapat dijadikan sebuah konsepsi dalam penerapan sistem demokrasi.

Ajaran Islam yang abadi dan universal melandasi sebuah sistem demokrasi,

karena tidak ada sebuah perbedaan tujuan antara ajaran Islam dengan tujuan dari

sistem demokrasi. Oleh karena itu Natsir menyimpulkan serta menegaskan bahwa

demokrasi yang harus dilaksanakan ialah “theistic democracy”, yakni demokrasi

yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan.

Dengan pengetahuan holistiknya tentang Islam, Natsir menampilkan

sebuah gagasan pembaharuan dalam menempatkan hubungan Islam dengan

demokrasi. Natsir berpendapat bahwa “ sejauh terkait dengan pilihan kaum

muslimin, demokrasilah yang diutamakan karena Islam berkembang dalam sistem

yang demokratis.”16 Pendapat tersebut menandakan bahwa Natsir lebih

mengedepankan sistem demokrasi dalam pencapaian tujuan ideologinya.

16 Dalam Hakim,Lukman(Ed) 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah,


(Jakarta: Republika Press) 2008, hal 135.
Bagi Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap

bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah

Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau

idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas

Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), "Tidaklah

Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku." (51: 56).

Bertitik tolak dari dasar ideologi ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup

seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai

kejayaan dunia dan akhirat kelak17.

Oleh karena corak pemikiran Mohammad Natsir yang mempunyai warna

dan ciri khas tersendiri sebagai seorang intelektual dan negarawan muslim yang

cukup ternama, serta sumbangsihnya terhadap dinamika politik di Indonesia.

Maka dalam subjektifitas penulis, eksplorasi pemikiran politik Natsir adalah layak

dan menarik untuk dikaji secara ilmiah dan akademik.

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah konsep Theistik Demokrasi menurut Natsir?

2. Bagaimanakah landasan teologis dan ideologis Theistik Demokrasi

menurut Natsir?

3. Bagaimanakah praksis politik gagasan Natsir tentang Theistik Demokrasi?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mendeskripsikan pemikiran politik M.Natsir tentang Theistik

Demokrasi

17 Dalam Natsir, Moh, D.P. sati Alimin (ed), Capita selecta (Jakarta: Bulan Bintang) 1955, hal
58.
9

2. Untuk mengetahui landasan teologis dan ideologis gagasan Theistik

Demokrasi

3. Untuk mengetahui praksis politik gagasan Natsir tentang Theistik

Demokrasi

D. MENFAAT PENELITIAN

1. Titik fokus dalam penelitian ini adalah pemikiran Natsir mengenai

Theistik Demokrasi yaitu hubungan antara Islam dan demokrasi,

oleh karena itu secara teoritik hasil atau manfaat yang didapat dari

penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi

khasanah keilmuan Ilmu Politik terutama dalam ranah kajian-

kajian mengenai politik, Islam dan demokrasi.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran mengenai konsepsi Theistik Demokrasi,

sebagai alternatif penerapan demokrasi di Indonesia. Hal ini

dikarenakan mayoritas rakyat Indonesia adalah umat Islam oleh

karena itu ini dapat dijadikan modal sosial dalam penerapannya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Setiap penelitian selalu menggunakan teori, karena menurut Kerlinger18


18 Dalam Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: P.T. Remaja Rosdyakarya)
teori berguna untuk melihat fenomena secara sistematis termasuk dalam penelitian

berbasis kualitatif. Dalam penelitian kualitatif status teori adalah bersifat

sementara dan akan berkembang sesuai dengan konteks sosial yang diteliti

sebagaimana beberapa teori yang dipakai dalam penelitian ini.

A. HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA

Membicarakan hubungan agama dan negara merupakan sejarah panjang

dalam perkembangan ilmu politik. Permulaan hubungan antara agama dan negara

terjadi ketika abad pertengahan di eropa, ditandai oleh dominannya agama Kristen

dalam kehidupan bernegara. Pada masa itu muncul negara teokrasi mutlak dari

Agustinus. Dalam pemikirannya Agustinus berpendapat bahwa, negara di bumi

seperti layaknya negara iblis yang hanya akan memberikan kesengsaraan bagi

manusia. Untuk itu Agustinus mendambakan negara ketuhanan yang akan

membawa kedamaian dan ketentraman19. Dominasi gereja sebagai institusi agama

ternyata membelenggu kebebasan berpikir yang menyebabkan eropa masuk

kedalam abad kegelapan (the dark age). Kemudian muncul gugatan-gugatan

kepada peran gereja, yang akhirnya mampu mengakhiri peran dominan gereja

terhadap negara. Pada masa tersebut dinamakan masa pencerahan (renaissance).

Pada abad pencerahan ini peran agama dan negara mengalami sebuah lompatan

perubahan yang cukup signifikan. Para ahli pikir pada masa itu menemukan

konsep bahwa harus dilakukan pemisahan antara agama dan negara, berdasarkan

konsep tersebut maka muncul teori negara sekuler20.

2001, hal.47.
19 Dalam Romli, Lili, ISLAM YES PARTAI ISLAM YES (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) 2006 hal
17.
20 Dalam Romli, Lili, Ibid., hal 18.
11

Dalam Islam terdapat perdebatan tentang hubungan antara agama dan

negara. Hal ini terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap teks Al-Quran dan

Al-Hadits. Perbedaan penafsiran ini dimungkinkan karena sifat Islam yang multi-

interpretatif. Islam memiliki prinsip-prinsip yang tetap dalam nilai serta ibadah

namun dalam hal muamalah memiliki kontesktualisasi yang memungkinkan

adanya perbedaan penafsiran dalam setiap zamannya. Karena itu tidak

mengherankan terdapat perdebatan panjang dalam hal menafsirkan hubungan

antara agama dan negara. Meskipun terjadi perdebatan tersebut, kaum muslimin

meyakini bahwa Islam merupakan agama yang sempurana. Kaum muslimin

percaya akan sifat Islam yang holistik, bukan hanya mengurusi masalah ruhani

namun juga duniawi.

Oleh karena itu menurut Munawir Sjadzali 21 terdapat tiga paradigma

dalam melihat hubungan agama dan negara, yaitu; pertama paradigma

integralistik, dapat diartikan sebagai hubungan totalitas, dimana agama dan negara

merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua

lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan

lembaga politik sekaligus lembaga keagamaan.

Kedua paradigma simbiosis-mutualistik, dalam paradigma ini diartikan

bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan.

Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini dapat

terselenggara jika terdapat lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara

tidak dapat terlepas dari agama, sebab tanpa agama akn terjadi kekacauan dan

21 Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Sketsa Pemikiran Politik Islam (Yogyakarta: Politeia Press)
2007
, hal 233-235.
amoral dalam beragama.

Ketiga paradigma sekuler, pandangan ini memisahkan dan membedakan

antara agama dan negara. Tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dan

agama. Dalam pandangan sekuler, negara adalah hubungan manusia dengan

manusia lain, atau urusan dunia. Sistem dan norma-norma hukum positif

dibedakan dengan nilai-nilai ajaran agama.

Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Munawir Sjadzali,

Muhammad Hari Zamharir 22mengatakan bahwa ada tiga model dalam melihat

hubungan antara agama dan negara, yaitu pertama model sekuler yaitu dilihat dari

legitimasi kekuasaan yang tidak lagi sesuai dengan etika politik negara modern.

Karena kelemahan kekuasaan agama yang hakikatnya bersumber kepada yang

gaib. Bahwa pola pemisahan agama dan negara atau sekuler merupakan

penolakan terhadap negara agama. Negara tidak mungkin dikuasai oleh salah satu

saja, hal mana dengan sendirinya berarti agama-agama lain dikucilkan dan

pengaruh atas penyelenggaraan negara itu.

Kedua,model komplementaritas yaitu adanya hubungan agama dan negara

sebagai saling melengkapi satu sama lain. Hal ini dapat ditempuh melalui jalur

konstitusional oleh karena itu dapat menentukan kebijakan-kebijakan serta

hukum-hukum negara yang bersumber nilai-nilai agama. Dalam pandangan ini

agama tidaklah menginginkan sebuah bentuk kelembagaan negara yang formal,

namun yang perlu dipahami terdapat nilai-nilai agama yang menjadi dasar

semangat kebijakan maupun produk hukum negara.

22 Dalam Zamharir, Muhammad H, Agama dan Negara; Analisis Kritis Pemikiran Nurcholis
Madjid (Jakarta:Raja Grafindo Persada) 2004, hal 77-84.
13

Dan yang ketiga ialah model integralistik, yaitu negara merupakan sebuah

alat untuk mencapai sebuah tujuan dari agama. Agama bukan lagi hanya sekedar

ritus peribadatan namun agama diformulasikan ke dalam bentuk ideologi yang

menjadi dasar bagi sebuah negara.

B. HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN DEMOKRASI

Dalam kajian hubungan budaya politik dan demokrasi, diakui bahwa

agama memiliki peran yang positif terhadap keduanya. Tocqueville23

mengungkapkan bahwa agama (sebagai nilai dan asosiasi) secara positif

mempengaruhi demokrasi di Amerika Serikat. Agama berperan menciptakan

kegairahan dan motivasi yang abadi karena ia merupakan sebuah sistem nilai.

Interakasi agama dan politik ini yang akhirnya memunculkan kegairahan,

motivasi dan kepentingan manusia24. Saiful Mujani mengungkapkan bahwa

terdapat tiga kelompok ilmuwan sosial dalam melihat hubungan antara agama dan

politik. Kelompok pertama, mengklaim bahwa agama merupakan kekuatan

konservatif yang mengahambat perubahan sosial dan politik, yakni modernisasi

politik. Kelompok kedua, mengklaim bahwa terdapat signifikansi agama dalam

politik merosot ketika proses modernisasi berlangsung. Kelompok ketiga percaya

bahwa agama secara tidak langsung memberikan kontribusi dalam proses

modernisasi politik25.

Menurut Komaruddin Hidayat26, terdapat tiga model hubungan antara

agama dan demokrasi, yaitu;

23 Dalam Mujani, Saiful, Muslim Demokrat;Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) 2007, hal 6
24 Dalam Mujani, Saiful, Ibid., hal 7
25 Dalam Mujani, Saiful, Ibid., hal 7
26Dalam A.Ubaidillah, op. cit., hal 195.
B.1 MODEL PARADOKSAL ATAU MODEL NEGATIF

Dalam model ini menyatakan bahwa antara agama dan demokrasi tidak

bisa dipertemukan bahkan berlawanan. Dalam pandangan Karl Marx, ekspresi

kehidupan beragama pada dasarnya merupakan ekspresi penderitaan sosial.

Agama adalah “candu masyarakat” yang hanya memberikan kemenangan semu,

tetapi tidak dapat membongkar dan menghilangkan penderitaan. Nietzche dan

Sastre berpandangan bahwa agama dan para penguasa gereja sebagai kekuatan

konservatif yang membelenggu penalaran dan kemerdekaan manusia untuk

membangun dunianya secara otonom tanpa dikekang oleh tangan tuhan yang

hadir melalui kekuasaan lembaga dan penguasa keagamaan. Demokrasi adalah

sistem dunia (empirik-profan) yang dibuat oleh rakyat berdasarkan kehendak

bebas mereka, sedangkan agama merupakan doktrin berasal dari tuhan.

Paling tidak ada tiga argumentasi dari model ini yang menyatakan tidak

sinkronnya agama dan demokrasi, yaitu;

a. Secara historis-sosiologis yang menjelaskan bahwa sejarah agama yang

hanya digunakan oleh penguasa politik dan pimpinan organisasi

keagamaan untuk mendukung kepentingan kelompok.

b. Secara filosofis yang menyatakan bahwa keterikatan doktrin agama akan

menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia, yang berarti juga

menggeser prinsip-prinsip demokrasi.

c. Secara teologis yang menegaskan bahwa agama bersifat deduktif,

matafisis dan menjadikan rujukannya pada tuhan-padahal tuhan sendiri

tidak hadir secara empirik. Sementara demokrasi ialah persoalan empirik,


15

konkrit, dan dinamis.

B.2 MODEL SEKULAR ATAU MODEL NETRAL

Dalam model ini dinyatakan bahwa hubungan antara agama dan

demokrasi bersifat netral, dimana urusan agama dan politik termasuk masalah

demokrasi berjalan sendiri-sendiri. Karena itu peran agama bagi manusia hanya

sebatas pada persoaln individu manusia dengan tuhannya dan pencarian makna

hidup dan kehidupan27.

Sedangkan dalam interaksi sosialnya demokrasi menjadi sistem tata nilai

yang mengatur tata karma dan etika sosial, dalam hal ini maka agama tidak

berperan. Jadi dalam model ini antara agama dan demokrasi tidak terdapat titik

singgung, dimana ajaran agama tidak masuk wilayah publik atau negara, begitu

pula dengan negara tidak masuk masalah agama.

B. 3 MODEL TEO-DEMOKRASI ATAU MODEL POSITIF

Model ini menyatakan bahwa agama dan demokrasi mempunyai

kesejajaran dan kesesuaian. Menurut pandangan ini baik secara teologis maupun

secara sosiologis sangat mendukung proses demokratis politik, ekonomi, maupun

kebudayaan28.

Dalam Islam seperti yang dikatakan oleh Ernest Gellner menemukan bahwa

dalam Islam mempunyai kesamaan unsur-unsur dasar (family resemblences)

dengan demokrasi29. Robert N. Bellah menyatakan bahwa penyelenggaraan

pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad SAW di Madinah bersifat

egaliter dan partisipatif, hingga dikatakan sangat modern dibandingkan zamannya.

27 Dalam A. Ubaidillah dkk, loc. cit.,


28 Dalam A. Ubaidillah dkk, loc. cit.,
29 Dalam Effendy, Bahtiar, op. cit., hal 129.
Gellner dan Robert N. Bellah membuat sebuah kesimpulan bahwa doktrin dan

politik Islam tentang keadilan (al-adl), egliterianisme (al-mushawah),

musyawarah (syura) terealisasikan dalam praktik kenegaraan awal Islam.

C. MUHAMMAD NATSIR DAN THEISTIK DEMOKRASI

Sepak terjang Natsir dimulai ketika menjadi anggota Komite Nasional

Indonesia Pusat (KNIP) yaitu parlemen sementara pada masa revolusi

kemerdekaan. Kemudian pada tanggal 7-8 Nopember 1945, Natsir bersama

tokoh-tokoh muslim lainnya melakukan Muktamar Islam Indonesia. Hasil dari

muktamar tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa perlunya mendirikan sebuah

partai Islam sebagai satu-satunya wadah penyalur aspirasi dan perjuangan umat

Islam30.

Partai tersebut dinamakan dengan Partai Masyumi (Majelis Syura

Muslimin Indonesia). Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan sebagai partai

Islam yang bertujuan untuk menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan

melaksanakan cita-cita Islam dalam bidang kenegaraan. Hingga dapat

mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan terciptanya

masyarakat yang berkeadilan menurut ajaran Islam, serta memperkuat dan

menyempurnakan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh karena itu

dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam31.

Pada tanggal 3 Januri 1946 Kabinet Sjahrir mengangkat Natsir menjadi

Menteri Penerangan. Pada kabinet Amir Syariffudin, posisi menteri penerangan

tidak lagi diisi oleh Natsir. Namun pada kabinet Hatta, Natsir kembali mengisi

30 Dalam Romli, Lili, Ibid., hal 35


31 Koleksi Pribadi, Dokumen Anggaran dasar,Anggaran Rumah Tangga, Tafsir Azas, Program
Partai Masyumi
17

jabatan menteri penerangan. Pada tahun 1949, Natsir diangkat menjadi Ketua

Partai Masyumi, yang mengantarkannya menjadi anggota parlemen Republik

Indonesia Serikat (RIS)32.

Dalam sidang parlemen RIS, Natsir mengemukakan Mosi Integral, 3 April

1950 di depan parlemen RIS. Dalam mosi integralnya di depan parlemen RIS,

Mohammad Natsir mengatakan,“ hanya dengan mengambil inisiatif kembali,

yang telah dilepaskan oleh pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa

pemerintah terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang.

Dengan begitu mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang

akan dapat melahirkan elan nasional yang baru, bebas dari bekas

persengketaan-persengketaan yang lama, elan dan gembira membanting tenaga

yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan

negara kita ini. Semuanya itu diliputi suasana nasional dengan arti yang tinggi

serta terlepas dari soal atau paham unitarianisme, federalisme, dan

proporsionalisme.” 33

Mosi integral merupakan jalan keluar dari negara RIS menuju Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ditempuh dengan cara mengajak

semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi

kepentingan nasional yang jangkaunya lebih jauh. Natsir menyerukan agar tak

memaksakan negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat kedudukanya

yang setara dengan Republik berdasarkan konstitusi RIS. Solusinya adalah

mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam republik. Akhirnya

32 Dalam Hakim,Lukman (Ed),Op Cit ,. hal 101.


33 Dalam Sisi Nasionalis Natsir, Yudi Latif : Kompas, Rabu 16 Juli 2008
mosi integral ini dapat mengubah kembali bentuk negara Indonesia menjadi

Negara Kesatuan Republik Indonesia34.

Atas jasanya memulihkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Natsir ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Perdana Menteri pada September

1950. Pada kabinetnya, Natsir tak sungkan membentuk koalisi yang melibatkan

unsur-unsur non-muslim dan nasionalis. Pada saat menjadi perdana menteri

tidaklah mudah dalam keadaan negara ketika itu. Hampir di semua daerah

terdapat perasaan bergalau akibat perang yang menimbulkan rasa ketidak-puasan

di mana-mana35.

Beberapa tokoh yang selama ini berjuang untuk Republik Indonesia

melakukan pemberontakan, seperti Kartosuwiryo dan kemudian Kahar Muzakkar.

Pengikut RMS dan Andi Azis yang berontak kepada Hatta masih belum

tertangani. MMC (Merapi Merbabu Complex) yang beraliran komunis berontak di

Jawa Tengah. Daud Beureuh menolak menggabungkan Aceh ke dalam propinsi

Sumatera Utara36. Namun dengan segala kegigihannya dalam menstabilkan

kondisi Indonesia, Natsir dapat mengendalikannya hingga tercapai suasana tertib

sipil dan meletakkan dasar politik demokrasi walaupun dengan menghadapi

bermacam kendala.

Sebagai perdana menteri yang berasal dari partai yang ber-ideologikan

Islam, Natsir sangatlah menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan meredam

obsesinya terhadap politik identitas untuk mendirikan negara Islam. Bahkan

Natsir sangat menentang keras pemberontakan yang dilakukan DI/ TII

34 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 154


35 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 155
36 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 125
19

Kartosuwiryo yang berencana mendirikan negara Islam dengan cara kekerasaan.

Natsir berpendapat bahwa negara Islam didirikan bukan dengan cara kekerasan,

namun melainkan dengan perjuangan politik dalam mekanisme demokrasi37.

Pemerintahan kabinet Natsir menghadapi tantangan luar biasa berat,

ketidak sukaan Presiden Sukarno terhadap kebijakan Natsir tentang Irian Barat

membuat hubungan Sukarno dan Natsir renggang. Dengan bantuan pendukung

Sukarno di parlemen (PNI dan PKI) menyebabkan kabinet Natsir harus jatuh pada

27 April 195138. Selepas menjadi perdana menteri, Natsir aktif dalam perjuangan

membangun bangsa melalui partai Masyumi. Pada pemilihan umum 1955 Partai

Masyumi yang dipimpinnya mendapat suara kedua terbanyak sesudah PNI,

walaupun memperoleh kursi yang sama dengan PNI.

Pada sidang Konstituante 1956-1957 Natsir memegang sebuah peranan

strategis dalam mewakili pandangan umat Islam dalam membentuk undang-

undang dasar negara. Pidatonya di Sidang Konstituante dalam pembahasan

pembentukan dasar negara inilah Natsir mengemukakan sebuah konsepsi

demokrasi yang menurutnya sesuai dengan nilai rakyat Indonesia, yaitu theistik-

demokrasi. Menurut Natsir negara yang berlandaskan bukanlah suatu teokrasi,

namun demokrasi, bukan pula sekuler. Tetapi lebih jelasnya demokrasi Islam

adalah yang dinamakannya theistik-demokrasi39.

Menurut Natsir, Islam adalah suatu agama yang hidup dalam sebagian

besar rakyat Indonesia. Bukan itu saja, Islam adalah satu ideologi. Islam bukan

semata-mata satu agama dalam arti hubungan manusia dengan tuhannya, dan

37 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 165


38 Dalam Hakim,Lukman (Ed), Ibid ,. hal 127
39Dalam Mohammad Natsir, (Pidato Di Depan Sidang Konstituante) Loc Cit.,
unsur hubungan dengan sesama makhluk. Terdapat unsur ibadah dan muamalah.

Unsur yang kedua ini, yaitu unsur muamalah, meliputi kehidupan secara

perorangan, kehidupan secara kekeluargaan dan juga kenegaraan. Islam

mempunyai kaidah dalam beribadah, yakni hubungan manusia dengan tuhannya,

semua dilarang kecuali yang diperintah. Dan muamalah, yakni hubungan sesama

manusia, semua diperbolehkan kecuali yang dilarang. Menurut yurisprudensi

Islam ini disebut; “al-bara-atul-ashliyah”40.

Disamping kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan dan beberapa batas yang

perlu diindahkan untuk menjaga keselamatan manusia, maka terbukalah bagi

manusia bidang yang amat luas untuk mengambil inisiatif mempergunakan rasio

atau ijtihadnya dalam semua bidang kehidupan sesuai dengan kemajuan serta

tuntutan ruang dan waktu.

Pandangan Natsir tentang theistik demokrasi dibangun berdasarkan nilai-

nilai Islam yang memiliki kesamaan dengan nilai dari demokrasi. Nilai-nilai

tersebut adalah;

1. Tolong-menolong, seperti yang dikatakan dalam Al-Quran (Surat Al-

Maaidah: 2)“Bertolong-tolonglah kamu dalam kebajikan dan dalam

berbakti kepada Tuhan.” Maka dalam hal ini Islam dengan sendirinya

tidak bertentangan dengan nilai demokrasi serta nilai masyarakat

Indonesia.

2. Musyawarah, adalah satu ketentuan dalam Islam yang mengatur urusan

orang banyak, penguasa harus memperoleh keridhoan daripada orang yang

diaturnya dan harus memusyawarahkan segala sesuatunya mengenai


40 Dalam Mohammad Natsir, (Pidato Di Depan Sidang Konstituante) Ibid., hal 60
21

kehidupan dan kepentingan orang banyak.

3. Mencintai tanah air, adalah fitrah manusia. Sebagaimana dikatakan dalam

Al-Quran (Surat Al-Hujurat:13)” kami jadikan kamu berbangsa-bangsa

dan bersuku-suku, agar kamu mengenal yang menimbulkan harga

menghargai, memberi dan menerima serta tolong-menolong.” Ayat ini

menegaskan sikap adanya pengakuan kebangsaan dan tidak

menghilangkan kesukuaan. Namun Islam juga melarang perasaan berlebih

terhadap kebangsaan, yang akhirnya menyimpang akan cinta kebangsaan

menjadi kecongkakan dan kesombongan bangsa, chauvinisme dan

rasialisme. Oleh karena itu satu bangsa merasa lebih tinggi dari bangsa-

bangsa lain. Padahal dalam Islam pada hakikatnya kemuliaan itu dilihat

dari ketakwaan dan amal kebaikanya.

4. Mencintai kemerdekaan, adalah nilai yang mengandung bahwa

membangkitkan serta mengobarkan nilai itu dimana-mana. Seandainya,

ada satu bangsa yang karena penjajahan mati jiwanya, maka Islam hadir

untuk membangkitkan hal tersebut untuk melakukan perlawanan dari

segala bentuk penjajahan.

5. Membela yang lemah (mustadh’afin), Nilai ini merupakan yang utama

dalam Islam. Islam membangkitkan keinginan yang kuat untuk membela

kaum lemah dalam segala bentuk, baik dalam bentuk material, fisik,

maupun spiritual.

6. Tidak mementingkan diri sendiri dan kesediaan hidup dan memberi

kehidupan, Nilai ini dipelihara dan dihidup-suburkan agar semua lapisan


masyarakat dapat sama-sama merasakan kemakmuran hidup. Dan dimana

bertemu dengan manusia yang dipengaruhi oleh nafsu tamak dan rakus

serta hendak memperkaya diri dengan menumpuk harta. Atau bahasa lain

disebut dengan kapitalisme. Harta harus memancarkan faedah dan manfaat

bagi golongan yang tidak memilikinya. Harta dan kepemilikan tidak boleh

ditumpuk sekedar untuk memuaskan nafsu kemewahan sendiri.

7. Nilai toleransi antar pemeluk agama, untuk ini Islam mengatakan tidak ada

paksaan dalam agama. Islam menegaskan kemerdekaan memeluk agama,

Islam mengatakan bahwa adalah kewajiban tiap-tiap orang yang beriman

supaya mempertahankan kemerdekaan orang yang menyembah Tuhan.

Keluasan dan kebesaran jiwa yang harus dimiliki oleh tiap-tiap orang yang

menganut agama Islam sebagai pedoman hidupnya, harus dibuktikan

dalam kehidupan sehari-hari, sebagai satu nilai yang dianggapnya suci.

Pandangan Natsir diatas melandasi sebuah konsepsi theistik demokrasi yang

ditawarkannya dalam sidang kontituante pada tahun 195741.

D. PENELITIAN- PENELITIAN TERDAHULU

Mohammad Natsir adalah seorang intelektual serta negarawan muslim

yang cukup ternama. Pemikirannya banyak mempengaruhi terhadap dinamika

politik serta dakwah Islam di Indonesia. Pengaruh pemikiran Natsir dilandasi oleh

pandangan Islam mengenai kedudukannya dalam sebuah kehidupan sosial.

Bahkan pemikirannya dibidang politik serta dakwah masih di aktualisasikan oleh

partai politik Islam serta organisasi Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII)

41 Dalam Anshari, Endang Saefuddin (Ed), M. Natsir; Agama dan Negara dalam Perspektif Islam
(Jakarta:Media Da’wah) 2001, hal 221-226
23

sampai saat ini.

Menurut sepengetahuan penulis, karya penelitian terdahulu mengenai

pemikiran Mohammad Natsir lebih banyak mengupas biography Natsir serta

pemikiran serta perjuangannya secara umum. Belum ada yang membahas

penelitian tentang pemikiran Natsir secara lebih fokus dalam konsepsi theistik

demokrasi.

Diantara buku yang membahas tentang pemikiran Natsir adalah karya

Anwar Harjono dalam bukunya; Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir

yang terbit pada tahun 2001. Dalam bukunya Anwar Harjono mengupas tentang

pemikiran Natsir dalam hubungan Islam dan politik. Anwar Harjono mencoba

mengangkat perjuangan politik Natsir dalam partai Masyumi. Dalam buku ini

tidak mengupas secara detail tentang theistik demokrasi.

Karya lainnya ialah buku berjudul Mohammad Natsir yang ditulis oleh

Ajip Rosidi pada tahun 1990. Buku ini adalah buku biography Natsir yang dibuat

sebelum tahun-tahun meninggalnya Natsir. Seperti biography lainnya, dalam buku

ini mengupas sosok Natsir secara umumnya, dalam perjuangannya di dunia politik

maupun dakwah. Kemudian buku yang berjudul Pemikiran dan Perjuangan

Mohammad Natsir yang ditulis oleh Tarmizi Taher. Berbeda dengan Anwar

Harjono, Tarmizi Taher menulis buku ini dengan mengangkat biography dari

Natsir.
F. Kerangka Pemikiran

ISLAM THEISTIK DEMOKRASI DEMOKRASI

SOSIO-KULTURAL PENGARUH PEMIKIRAN PERGULATAN


IDEOLOGI
DI INDONESIA
25

BAB III

METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Sasaran Penelitian

Sasaran utama dalam penelitian ini adalah pemikiran politik Natsir

mengenai konsep theistik demokrasi yang terdapat dalam salah satu karyanya

yang berjudul Capita Selekta.

Dasar pemilihan buku Capita Selekta merupakan buku yang memuat visi

politik dari Natsir yang erat kaitannya dengan tujuan dari penelitian ini. Buku ini

memuat berbagai landasan ideologi, gagasan politik Natsir yang berkaitan dengan

kondisi sosial politik Indonesia pasca proklamasi dalam menentukan dasar negara

Indonesia.

Disamping alasan tersebut diatas, buku Capita Selekta merupakan corpus


magnum (karya terbesar) Natsir yang membuat dirinya menjadi tokoh pembaharu

Islam pada zaman tersebut. Islam ditempatkan sebagai ideologi dan dapat

diturunkan pada wilayah praksis-nya untuk menjadi dasar negara. Walaupun

impian tersebut haruslah terhenti ketika terjadi dekrit presiden 5 Juli 1959 yang

akhirnya membubarkan konstituante.

Karakter buku Capita Selekta sendiri adalah sebuah buku yang dibuat oleh

Natsir dalam mempersiapkan Islam menjadi sebuah ideologi politik, dimana

Natsir dalam buku ini membahas permasalahan politik dan sosial yang melanda

umat Islam akibat produk- produk modernitas serta tawaran solusinya yaitu Islam

haruslah menjadi tujuan dari segala upaya politik, karena dengan Islam menjadi

sebuah ideologi politik maka Natsir yakin segala permasalahan yang melanda

umat Islam dan masyarakat Indonesia akan terselesaikan.

Adapun buku Capita Selekta yang digunakan dalam penelitian ini adalah

buku Capita Selekta hasil dihimpun oleh D.P. sati Alimin; Jakarta; Bulan Bintang;

1955. Sedangkan buku Capita Selekta akan diterbitkan kembali oleh panitia

peringatan 100 tahun Mohammad Natsir di Jakarta pada tahun 2008 ini.

B. Metode Penelitian

Untuk mencapai sasaran penelitian dengan tepat, penelitian yang

mengambil judul ‘Pemikiran Politik Mohammad Natsir tentang Theistik

Demokrasi’ ini menggunakan metode penelitian kualitatif atau biasa juga di sebut

dengan metode penelitian naturalistik42.

Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor43 adalah prosedur

42 Dalam Prof. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Alvabeta) 2005, hal. 1.
43 Dalam DR. Lexy J. Moleong, M. A, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: P.T. Remaja
Rosdyakarya) 2001, hal. 3.
27

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis atau lisan

dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif juga pada

hahekatnya adalah penelitian yang bertujuan untuk mengamati orang dalam

lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa

dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Penelitian jenis ini juga dapat

digunakan untuk meneliti situasi sosial yang bersifat satu situasi sosial atau

bersifat individual maupun kompleks yang dapat terdiri dari satu atau lebih

individu dalam suatu aktivitas serta tempat tertentu.44 Penelitian kualitatif juga

diartikan oleh Kirk dan Muller45 sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan

sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dan

kawasannya tersendiri dan berhubungan dengan orang- orang tersebut dalam

bahasanya dan dalam peristilahannya.

C. Pendekatan Penelitian

Wilhelm Dilthey berpendapat bahwa untuk menafsirkan ekspresi

kehidupan manusia, apakah itu berkaitan dengan hukum, karya sastra, maupun

kitab suci, membutuhkan tindakan pemahaman histories,46 dan penelitian ini

adalah sebuah penelitian yang berusaha untuk memahami ekpresi kehidupan

Mohammad Natsir lewat sebuah karya yang ditinggalkannya. Oleh karena itu,

pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan hermeneutik.

Wilhelm Dilthey sendiri mendefinsikan hermeneutika sebagai inti disiplin

yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaffen, yaitu, semua

44 Dalam Prof. Sugiyono, op. cit., hal. 21.


45 Dalam DR. Lexy J. Moleong, M. A,op. cit, hal. 3.
46 Dalam Junaidi, Ahmad, Relasi Islam dan Negara; Pemikiran Politik Sayyid Qutbh
(Purwokerto: Skripsi Universitas Jenderal Soedirman) 2008, hal. 37.
disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia47

Oleh karena itu amatlah tepat jika hermeneutika dipilih menjadi pendekatan

penelitian dalam penelitian ini.

D. Jenis Penelitian

Jenis atau tipe dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library research)

dengan bentuk deskriptif- analitis. Studi pustaka adalah suatu jenis penelitian

yang data- datanya diambil dari karya tokoh yang menjadi fokus penelitian ini

maupun pustaka lain yang relevan dan berhubungan dengan masalah penelitian

ini.

Menurut Anton Bekker studi kepustakaan yang termasuk dalam rumpun

penelitian kepustakaan adalah bagian dari kerangka penelitian historis faktual,

yaitu penelitian yang membahas pemikiran orang lain. Dalam penelitian historis

faktual atau penelitian yang membahas pemikiraan orang lain, segi historis, latar

belakang sosial budaya, biografi, aliran pemikiran, segi struktural serta segi

sistematis dari pemikiran tokoh adalah mendapat pertimbangan yang utama.48 Hal

tersebut mengingat pemikiran yang lahir dari seseorang adalah hasil dialektika

individu tersebut dengan realitas sosial politiknya.

D. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, terdapat dua penggolongan data, yaitu pertama

adalah data primer dan kedua adalah data sekunder. Data primer dalam penelitian

ini adalah pemikiran- pemikiran politik yang ditulis oleh Natsir terutama

pemikiran politik Natsir tentang Theistik Demokrasi yang dituangkan dalam

47 Dalam Junaidi, Ahmad, Ibid., hal. 37


48 Dalam Junaidi, Ahmad, Ibid., hal. 38.
29

karyanya yang berjudul Capita Selekta

Sedangkan data sekunder adalah tulisan yang dibuat oleh penulis lain

yang membahas mengenai pemikiran politik Natsir yang diharapkan agar berguna

dalam membantu peneliti dalam menganalisis karya- karya Natsir.

F. Prosedur Penelitian

Penelitian yang berbasis pustaka ini, nantinya akan dilakukan melalui

beberapa prosedur. Pertama adalah tahap pengumpulan materi dan bahan yang

akan dilakukan melalui pengumpulan seluruh karya-karya Natsir terutama karya

Natsir yang menjadi sasaran dalam penelitian ini. Pengumpulan materi dan bahan

ini juga meliputi pengumpulan pustaka- pustaka lain yang secara isi maupun

tematik mempunyai kaitan yang relevan dengan penelitian ini. Kedua adalah

klasifikasi yang berupa kategorisasi materi dan bahan yang telah ada, dalam upaya

mempermudah proses selanjutnya. Selanjutnya adalah analisis, yaitu upaya

interpretasi analitis terhadap materi dan bahan penelitian (teks), dan yang terakhir

adalah tahap penyusunan laporan penelitian.

G. Tehnik Analisis Data

Model analisa interpretatif atau hermeneutika adalah model analisa yang

penulis pilih dalam menganalisis karya- karya Natsir dalam penelitian ini.

Pemilihan model analisa tersebut didasarkan bahwa teks yang terdapat dalam

sebuah karya seseorang adalah selalu terbuka untuk di pahami dan diinterpretasi.

Proses interpretasi teks sendiri adalah sebuah proses persentuhan antara dua dunia

dengan kondisi sosio politik yang berbeda dan dua ego yang berada dalam rentang

waktu yang berbeda pula yang sepenuhnya bersifat subjektif.


Hermeneutika, yang menurut Paul Ricoeur sebagai sebuah interpretasi teks

partikular atau kumpulan potensi tanda- tanda keberadaan yang dipandang sebagai

sebuah teks49 sendiri adalah sebuah proses untuk mamahami, menafsirkan dan

kemudian membongkar makna dibalik teks, karena teks sendiri memiliki isi

makna spesifik selain dari seluruh hubungannya dengan perkataan seseorang50

atau pengarang.

Adapun model hermenetika yang penulis pakai dalam interpretasi teks

karya Natsir dalam penelitian ini adalah model hermenutika yang di tawarkan

oleh Hans George Gadamer yang dikenal dengan hermenutika produktif51 atau

dikenal juga dengan hermeneutika dialektis.

Dalam konsepsi hermeneutika produktif Gadamer, proses interpretasi

adalah tidak sama dengan mengambil suatu teks, lalu mencari arti yang oleh

pengarang diletakan dalam teks itu seperti yang dipahami dalam model

hermeneutika romantis. Bagi Gadamer arti sebuah teks tetap terbuka dan tidak

terbatas pada maksud pengarang dengan teks tersebut.52 Hal tersebut didasarkan

karena suatu teks penuh dengan historitas yang melingkupinya, maka kemudian

suatu teks tidak hanya milik masa lampau tetapi memiliki keterbukaan untuk

ditafsirkan di masa kini atau masa datang menurut cakrawala pemahaman suatu

generasi. Maka dari itu sebuah proses interpretasi kemudian tidak hanya bersifat

reproduktif belaka tetapi juga produktif.53 Dengan demikian proses pemahaman

49 Dalam Junaidi, Ahmad, Ibid., hal 38.


50 Dalam Juanidi Ahmad, Ibid., hal. 38.
51Dalam Susiknan Azhari “Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya Dalam Studi Hukum
Islam”dalam M. Amin Abdullah, dkk. Antologi Studi Islam, Teori dan Metodologi (Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press) 2000, hal. 305.
52Dalam Junaidi, Ahmad, loc. cit
53 Dalam Junaidi, Ahmad,, Ibid., hal. 40.
31

atau interpretasi kemudian merupakan hal atau proses yang bersifat relatif,

fleksibel serta dialektis. Dari sini, kunci untuk memahami atau interpretasi bagi

Gadamer bukanlah memanipulasi atau menguasai tetapi partisipasi dan

keterbukaan, bukan pula pengetahuan tetapi adalah pengalaman, bukan pula

metodologi tetapi adalah dialektika.54

Pemahaman sendiri dalam interelasinya dengan terma hermeneutika,

menurut Gadamer adalah proses dialektika antara tiga dunia yaitu the world of

teks (dunia teks) the world of author (dunia pengarang) dan the world of reader

(dunia pembaca) dalam sebuah proses yang melingkar yang bertolak dari raelitas

yang hendak dipahami, dimana Gadamer menyebut proses ini dengan hermenutic

circle (lingkaran hermeneutik) seperti yang digambarkan dalam skema berikut

ini: 55

The World of Text

The World of Author The World of Reader

Skema tersebut menunjukan alur kerja dari model hermenutika reproduksi/

dialektika Gadamer, dimana dengan dasar bahwa suatu proses interpretasi

merupakan sebuah proses yang bersifat historis dialektik maupun peristiwa

kebahasaan, maka kemudian interpretasi adalah proses gerak bolak balik yang

bersifat triadik- hermenutik, dengan disamping peneliti melakukan perjalanan

54 Dalam Junaidi, Ahmad, Ibid., hal. 41.


55 Dalam Junaidi, Ahmad, loc. cit,
intelektual ke masa lalu untuk menelusuri ruang- ruang historis juga kembali ke

masa kini untuk mandapatkan makna baru atau produktif.56

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Biografi

A.1 Sosio-Kultural M. Natsir


Mohammad Natsir merupakan seorang pejuang yang konsisten dalam

memegang prinsip perjuangan, beliau putra kelahiran Alahan Panjang, Kabupaten

Solok, Sumatra Barat 17, Juli 1908. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai

pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol.

Dalam melihat seorang sosok Natsir, saya menganggap bahwa kita harus

juga dituntut untuk memahami karakter kebudayaan Minangkabau. Dengan

memakai pendekatan kebudayaan (cultural approach) kita dapat memahami

pembentukan pemikiran dan prilaku seorang. Rudolf Mrazek mengatakan “bahwa

menggunakan pendekatan struktur pengalaman personalitas politik yang

didefinisikannya sebagai totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul pada

diri seseorang, melalui ia menghayati atau memahami apa yang terjadi di

sekitarnya”.57 Struktur pengalaman itu memberikan visi tertentu dalam

56 Dalam Junaidi, Ahmad, loc. cit,


57 www.scribd.com/ Biografi M. Natsir/Ajip Rosidi/ 28 Oktober 2008
33

masyarakat Minangkabau mengenai bagaimana ia melihat, mempersepsikan dan

menilai secara kritis apa yang dialaminya. Dinamisme dan anti-parokhialisme

merupakan ciri khas budaya Minangkabau yang terlihat dari toleransi budaya

yang mempersepsikan tantangan hidup dan konflik sebagai sesuatu yang positif,

dan membentuk gaya pemikiran yang berbeda serta memupuk rasa percaya diri

orang Minangkabau.

Pengujian terhadap nilai-nilai diatas adalah pada keberhasilan orang

Minangkabau melakukan perantauan. Rantau berarti meninggalkan kampung

halaman dan berjuang hidup di daerah lain. Tujuan merantau adalah untuk

membuka pikiran terhadap dunia luar, gagasan, pemikiran dan kemajuan

peradaban dunia luar kampung halaman sendiri. Secara intelektual merantau

berarti melakukan penjelajahan pemikiran dan bergelut dengan gagasan-gagasan

yang berbeda namun juga kontradiktif dengan nilai-nilai, prinsip dan keyakinan

yang dianutnya.

Pembentukan karakter pemikiran Natsir juga dipengaruhi oleh pendidikan

yang didapatnya. Dengan kondisi kehidupan yang pas-pasan dari keluarga Natsir,

Sewaktu berusia delapan tahun Natsir belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche

School) Adabiyah, Padang. Kemudian Natsir dipindahkan orang tuanya ke HIS

pemerintah di Solok dan tinggal di rumah seorang saudagar yang bernama Haji

Musa. Disini ia menerima cukup banyak ilmu ke-Islaman. Pada malam hari ia

belajar Al-Qur'an sedang paginya belajar di HIS. Pada tahun 1923 ia meneruskan

sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Kesadaran tentang

diskriminasi yang dilakukan kolonialisme menjadi titik tolak gairah perjuangan


Natsir. Pada masa ini Natsir menjadi anggota JIB (Jong Islamieten Bond) Padang

dan bersentuhan langsung dengan gerakan perjuangan. Pada 1927 ia melanjutkan

sekolahnya ke AMS (A II) di Bandung.58

Diskriminasi yang dilakukan pengajar-pengajar Belanda di sekolah AMS

dikisahkan dengan sebuah peristiwa ketika sang guru sangat sinis terhadap

gerakan politik kebangsaan. Guru Belanda tersebut menantang murid-muridnya

untuk berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi

rakyat di Pulau Jawa. Pada saat itu yang mengacungkan tangan hanya Natsir.

Natsir diberikan waktu selama dua minggu untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Dia pergi ke bibliotik di Gedung Sate, cari notulen perdebatan volksraad,

menggali majalah-majalah kaum pergerakan, mengumpulkan statistik. Makalah

dibacakannya selama 40 menit. Natsir dalam presentasinya tersebut, membuktikan

bahwa rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak mendapatkan keuntungan dari

pabrik gula. Sedangkan yang mendapatkan keuntungan adalah kapitalis-kapitalis

Belanda dan Bupati. Rakyat dipaksa untuk menyewakan tanahnya dengan harga

yang murah dan menjadikan mereka buruh pabrik yang terikat dengan harga upah

yang rendah59.

Di Bandung, Natsir mendapatkan pengaruh yang luar biasa dalam

pembentukan karakter pemikirannya. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di

Bandung, ketika berguru kepada ustadz A. Hasan, tokoh Persatuan Islam.

Kepribadian A Hasan dan tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam

bekerja, alim dan tajam argumentasinya dan berani mengemukakan pendapat

58 www.scribd.com/ Muhammad Natsir/ Shofwan karim/ 28 Oktober 2009


59 Dalam Hakim, Lukman(Ed), Ibid,. hal xii
35

tampaknya cukup berpengaruh pada kepribadian Natsir. Natsir mendalami Islam,

bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis

semata, tetapi juga filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu

ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Tjokroaminoto

dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di

antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran gerakan Pan-

Islamisme di dunia internasional. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan

Natsir untuk berjuang dalam menegakkan agama Islam dan kemerdekaan

Indonesia.

Ketertarikan Natsir pada dunia pergerakan kemerdekaan, yang membuat

keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke Belanda dengan

mengambil studi Meester in de Rechten atau S-1 bidang Hukum. Padahal siswa-

siswa AMS berkeinginan untuk melanjutkan studi kesana. Natsir memilih untuk

tetap di Bandung, dan mendirikan Lembaga Pendidikan Islam atau disebut dengan

Pendis.60 Pendidikan menjadi hal yang pokok dalam hal perjuangan kemerdekaan.

Natsir menilai banyak rakyat Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan.

Sedangkan orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan hasil kurikulum barat

ternyata meninggalkan ajaran agamanya. Oleh karena itu Natsir memandang

perlunya pendidikan yang menyeimbangkan antara pendidikan model barat

dengan landasan ke-Islaman.

A.2 Pengaruh Pemikiran

Pembaharuan dalam pemikiran Islam mempunyai sejarah yang cukup

panjang. Hal ini merupakan bentuk dari kelengkapan Islam. Islam juga menjadi
60 www.scribd.com/ Muhammad Natsir/ Shofwan karim/ 28 Oktober 2009
world view atau cara pandang hidup yang tak lekang akan ruang dan waktu.

Perkembangan peradaban Islam juga dipengaruhi oleh peradaban yang

dibangun sebelum Islam. Pembangunan keilmuan yang lebih terarah dalam Islam

bermula dari pengaruh filsafat hellinisme. Kata Falsafah berasal dari bahasa

Yunani. Dalam bahasa Arab, kata ini merupakan kata benda-kerja (mashdar) yang

diturunkan dari kata philosophia, yang merupakan gabungan dari philos dan

sophia; yang pertama berarti cinta dan yang kedua berarti kebijkasanaan. Oleh

karena itu falsafah dapat diartikan; cinta kebijaksanaan. Plato menyebut Socrates

sebagai Philoshopos (filosof) yakni sorang pecinta kebijaksanaan. Oleh karena

itu, kata falsafah merupakan hasil arabisasi, suatu mashdar yang berarti kerja atau

pencarian yang dilakukan oleh para filosof.61

Sebelum Socrates, ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sopist

(kaum sopist) yang berarti para cendikiawan. Mereka menjadikan pepsepsi

manusia sebagai ukuran realitas (kebenaran hakikat) dan menggunakan hujah-

hujah yang keliru dalam kesimpulan-kesimpulan mereka. Secara bertahap kata

‘sopist’ (sopist, sopisthes) kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi berarti

seseorang yang menggunakan hujah-hujah keliru. Dengan demikian, kita

mempunyai kata sophistry (cara berfikir yang menyesatkan), yang mempunyai

kata yang sama dalam bahasa Arab dengan kata safsathah, dengan arti yang sama.

Socrates, karena kerendahan hati dan mungkin juga keinginan

menghindarkan diri dengan kamu sophis, melarang orang menyebut dirinya

seorang sophis, seorang cendikiawan. Oleh karena itu, ia menyebut dirinya

seorang filosof, (philosophos), pecinta kebijaksanaan, pecinta kebenaran,


61 Dalam Mustofa, H.A, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1997, hal 20
37

menggantikan sophistes yang berarti sarjana.

Gelar yang terakhir ini merosot derajatnya menjadi orang yang

menggunakan penalaran yang salah. Filsafat (philosophia) kemudian menjadi

sama artinya dengan kebijkasanaan (kearifan). Oleh karena itu, philosophos

(folosof) sebagai suatu istilah teknis tidak dipakaikan pada seorang pun sebelum

socrates dan begitu juga sesudahnya. Istilah philosophia juga tidak mempunyai

arti yang definitif pada zaman itu, bahkan Aristoteles pun tidak menggunakannya.

Belakangan, penggunaan istilah philosophia (filsafat) dan philoshopos (filosof)

semakin meluas.

Dikalangan muslim mengambil filsafat dari bahasa Yunani. Lalu mereka

memberi sighat (bentuk) dan menggunakannya unutuk mengartikan pengetahuan

rasional murni. Filsafat menurut pemakaian para filosof muslim secara umum

tidak merujuk kepada disiplin sains tertentu; ia meliputi semua sains rasional,

bukan ilmu yang diwahyukan atau yang diriwayatkan seperti etimologi, retorika,

sharaf, tafsir, hadis dan hukum Oleh karena itu hanya orang yang menguasai

semua sains rasional termasuk di dalamnya matematika, ekonomi, etika, teologi,

yang dapat disebut sebagai filosof.62

Ketika Kaum muslim mengembangakan klasifikasi ilmu Aristoteles,

mereka memasukkan kata falsafah atau hikmah. Mereka mengatakan; Filsafat

yaitu sains rasional mempunyai dua bagian; teoritis dan praktis. Filsafat teoritis

menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya sedangkan filsafat praktis

menggambarkan perilaku manusia sebagaiman seharusnya.

Filsafat teroritis terdiri dari tiga bagian: teologi (filsafat tinggi),


62 Dalam Mustofa, Ibid,. hal 21
matematika (filsafat menengah), dan ilmu-ilmu kealaman (filsafat rendah).

Filsafat tinggi mempunyai dua disiplin, fenomenologi umum dan teologi itu

sendiri. Matematika terdiri dari empat bagian; aritmatika, geometri, astronomi dan

musik. Sedangkan ilmu alam mempunyai banyak bagian. Filsafat praktis dibagi

menjadi etika, ekonomi domestik dan kewarganegaraan (civics). Filosof yang

mumpuni menguasai seluruh sains tersebut.

Menurut pandangan filosof, filsafat universal, teologi, metafisika, filsafat

tinggi mempunyai kedudukan yang khusus dibanding sains yang lain, karena

pertama, filsafat ini mempunyai demontrasi dan kepastian, kedua karena ketidak

bergantungannya dengan sains yang lain dan ketiga bahwa filsafat lebih umum

dan universal dibanding dengan sains yang lain.63

Filsafat teologi dalam Islam mempunyai beberapa aliran, seperti;

qadariyah, mu’tazilah, asy’ariyyah, dan lain-lain. Pandangan Natsir dalam hal ini

banyak dipengaruhi oleh filsafat teologi dari aliran asy’ariyyah. Aliran

Asy’ariyyah dilahirkan oleh Abul-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Aliran ini lahir

ditengah terjadi polemik tajam antara aliran ahlusunnah dan mu’tazilah. Pada

masa kecilnya Asy’ari didik menurut aturan ahlusunnah yang ketat, namun

beranjak dewasa Asy’ari berguru kepada salah satu tokoh mu’tazilah yaitu Syekh

Al-Djubbai, sampai berumur 40 tahun.

Dengan kecerdasannya, Asy’ari diminta gurunya untuk menggantikan

posisi sang guru kelak. Namun Allah SWT berkehendak lain, dalam sebuah

peristiwa yang akan menjadi titik tolak Asy’ari dalam melawan paham mu’tazilah

yaitu ketika sang murid mengajukan pertanyaan kepada gurunya. Asy’ari


63 Dalam Mustofa. Op.Cit,.
39

mengatakan;” Ditakdirkan ada tiga saudara, yang pertama, ialah seorang yang

beriman, taat dan bertakwa; yang kedua, ialah orang yang fasik, berdosa besar;

yang ketiga, masih kecil dan meninggal dunia sebelum dia baligh. Bagaimanakah

nasib ketiga saudara ini di akhirat kelak?” Tanya asy’ari. Al-Djubbai menjawab;”

yang pertama akan dimasukkan ke surga; yang kedua akan dimasukkan ke neraka;

yang ketiga tidak diberikan ganjaran dan tidak diberi hukuman”. Asy’ari

mengatakan;” akan tetapi jika anak ketiga berkata; tuhanku sekiranya engkau

biarkan aku hidup, sudah tentu aku akan beriman dan bertakwa seperti kakakku

yang tertua. Dan dapatkah aku masuk ke surga sebagaimana kakakku itu.

Bagaimanakah? Niscaya Tuhan akan menjawab; “ Sekira engkau aku beri

hidup lebih lanjut, engkau akan menjadi orang yang fasik dan akan kumasukkan

ke dalam neraka pula. Oleh karena itu adalah suatu rahmat, dengan keadaan

engkau mati sebelum engkau fasik dan berdosa besar.” Kemudian yang kedua

mengatakan;” Tuhanku mengapa engkau tidak matikan aku pula ketika aku kanak-

kanak sebagaimana adikku, oleh karena itu aku tidak menjadi orang yang fasik

dan masuk neraka?”. Dengan pertanyaan yang dikisahkan asy’ari tersebut, Al-

Djubbai terdiam dan tak dapat menjawabnya. Asy’ari pun meninggalkan majelis

dengan rasa kemenangan.64

Mulai saat itulah asy’ari meninggalkan kaum mu’tazilah, hingga

membentuk aliran paham asy’ariah. Asy’ari mencoba menengahi sengketa antara

kaum yang pertama, yaitu ahlussunnah yang mengharamkan pemakaiaan akal

dalam Islam dan hanya boleh merujuk kepada Al-quran dan Al-hadits. Dan kaum

yang kedua yaitu mu’tazilah, memakai akal sebagai sebagai karunia Tuhan dalam
64 Dalam Natsir, Ibid,. hal 268
kepentingan ke-agamaan. Asy’ari mencoba mempertemukan kedua paham

tersebut dengan mengatakan bahwa, potensi akal haruslah dipergunakan sebagai

karunia Tuhan, namun ketika akal sudah tidak berkuasa lagi maka haruslah

berpulang kepada wahyu ilahi.

Aliran Asy’ari merupakan sebuah protes dari rasionalisme yang dibawakan

oleh aliran mu’tazilah. Asy’ari berpendapat bahwa akal kita menggariskan satu

batasan antara yang dinamakan zat dengan sifat dan akal kita tidak dapat fikirkan

batasan itu hilang. Tanda-tanda dan pengertian zat tidak sama dengan tanda-tanda

dan pengertian sifat. Oleh karena itu kita tidak dapat mengkira-kira bahwa zat dan

sifat itu bercampur dalam ke-Tuhanan, oleh karena itu kita tidak dapat

menentukan mana yang zat dan mana yang sifat. Apakah Tuhan yang menjadikan

sifat-sifat atau apakah Tuhan Maha kuasa bukan lantaran ia mempunyai sifat

Maha kuasa melainkan lantaran ia memiliki zat-Nya sendiri, hal ini dikarenakan

akal kita yang terbatas. Asy’ari mengatakan bahwa tiap-tiap anggapan berbilangan

berhubungan dengan zat Tuhan, dibantah keras dalam Islam.

Pandangan diatas merupakan dasar perbedaan antara aliran Asy’ariyyah

dan mu’tazilah. Pengaruh terhadap dialektika pandangan tersebut membawa

dinamika dalam Islam sampai kejayaannya. Namun kejayaan tersebut haruslah

berhenti ketika umat Islam mengalami belenggu keterbelakangan dan kejumudan

zaman. Kemunduran Islam juga harus dihadapkan dengan zaman renaissance dari

bangsa eropa yang membuat kebangkitan mereka untuk menguasai dunia dengan

kolonialisme.

Ditengah kolonialisme yang dilakukan eropa, kebangkitan Islam terjadi


41

pada abad ke-19. Pada saat itu terjadi gerakan pembaharuan, berarti liberasi

(pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme yang memang telah menguasai

hampir seluruh dunia Islam. Pada sisi lain, ia berarti liberasi kaum muslim dari

cara-cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan.

Tokoh yang mempengaruhi perkembangan pembaharuan Islam pada saat itu ialah

Muhammad Abduh.

Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh telah menyebar ke seluruh

penjuru dunia, hal ini berpengaruh terhadap perkembangan pergerakan

pembaharuan Islam di seluruh dunia. Perasaan senasib diantara ikatan saudara

seiman atas kondisi penjajahan yang dilakukan kolonialisme eropa, membuat

pemikiran Abduh menjadi bahan bakar perjuangan umat Islam diseluruh dunia

untuk membebaskan diri dari penjajahan kolonial, tak terkecuali di Indonesia.

Menurut saya gagasan M. Abduh menjadi pengaruh penting bagi pergerakan

nasional Indonesia.

Secara sederhana, gagasan pembaharuan Muhammad Abduh dalam Islam

adalah melepaskan yang tidak esensial dari yang esensial dan menggali temukan

sisi yang fundamental untuk meninggalkan sisi aksidental warisan peradaban

Islam abad pertengahan. Abduh berpijak pada tiga prinsip dasar dalam bangunan

sistem teologinya, yaitu;

1. Keyakinan manusia sebagai makhluk bebas dalam memilih perbuatan

2. Keyakinan terhadap sunnatullah

3. Keniscayan peran optimal akal

Tiga prinsip tersebut dilengkapi dengan konsep ijtihad oleh karena itu dapat
menghantarkan kaum muslim menuju perubahan kemajuan.65

Dalam format teologi demikian, maka Abduh memetakan praktik ke-

agamaan dalam Islam menjadi dua kategori, yaitu;

1. Ibadah; menurut Abduh, ibadah sudah terperinci terbahas dalam Al-Quran

dan Al-Hadits

2. Mu’amalah; menurut Abduh tidak tegas dijelaskan dalam Al-Quran dan

Al-Hadits maka perlu peran optimal dari akal dalam men-interpretatifkan

sesuai dengan kontekstualisasi zaman.

Dalam pemikiran politik Muhammad Abduh, mendasarkan kepada pemahaman

teologi-nya yaitu, berkeyakinan bahwa kekuasaan absolute atau despotic adalah

tidak berdalil dan bertentangan dengan semangat Al-Quran dan Al-Hadits. Secara

argumentatif Abduh menunjukkan bahwa pemerintahan ideal adalah yang

berdasarkan hukum yang digali dari nilai-nilai ke-agamaan. Untuk itu, Abduh

berkeyakinan bahwa untuk memajukan bangsa maka perlu meningkatkan

pemahaman terhadap sumber dari ajaran Islam dan Ilmu modern.66

Islam tidak mengenal kekuasaan ke-agamaan dengan arti; Islam tidak

memberikan otoritas kepada manusia untuk menindak manusia lain atas nama

agama; Islam melarang intervensi penguasa dalam kehidupan keagamaan kaum

muslim; Islam tidak mengakui hak manusia untuk memaksakan pendapatnya

tentang agama kepada pihak lain. Hal ini menurut Abduh bahwa jika ada praktik

kekuasaan keagamaan maka akan terjadi penumbuh kembangan praktik taqlid

yang akan kembali memundurkan umat Islam.

65 Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Ibid,.hal 165


66 Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Op. Cit
43

Dalam Pandangan Abduh tidak ada otoritas final, kecuali otoritas Allah

SWT dan Nabi Muhammad SAW, manusia hanya mempunyai otoritas

didelegasikan oleh Allah SWT kepada setiap individu muslim untuk mengajak

berbuat amar ma’ruf nahi mun’kar. Hal diatas menjadi dasar konsepsi Abduh

tentang institusi k-khalifahan dalam Islam.

Tujuan dari kekhalifahan adalah menggapai sebuah tata peradaban, maka

peran fungsionalnya adalah menggerakkan masyarakat pada yang ma’ruf dan

menjauhkan pada yang mun’kar. Institusi khalifah merupakan sebuah entitas

politik masyarakat muslim. Sedangkan Islam merupakan system dasar dan

kerangka acuan bagi setiap kebijakan kekhalifahan. Oleh karena itu menjadi

keniscayaan bahwa Al-Quran dan Al-Hadits dapat diinterpretasikan sesuai

kontekstualisasi zaman. Dalam hal ini ijtihad menjadi medium dalam perwujudan

tata peradaban masyarakat Islam.

Sedangkan dalam hal legitimasi kekuasan seorang khalifah, menurut

Abduh kekhalifahan merupakan sebuah realitas politik umat Islam bukan

merupakan perwakilan Allah di muka bumi. Maka kekhalifahan di pilih melalui

mekanisme yang dilakukan atas kesepakatan masyarakat muslim. Abduh juga

berpendapat bahwa perlu dibentuknya dewan perwakilan rakyat, sebagai

representasi ajaran Islam yaitu musyawarah, tujuan dari intitusi ini adalah sebagai

fungsi mempertimbangkan, kontrol, dan mengoreksi pelaksanaan khilafah.

Institusi ini secara legal formal merupakan kedaulatan rakyat. Secara fungsional

institusi ini sebagai pembuat regulasi bagi khilafah.67

Selain Muhammad Abduh, pemikiran Natsir juga dipengaruhi oleh


67 Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Ibid,. hal 166
Muhammad Iqbal. Muhammad Iqbal merupakan tokoh intelektual dari Pakistan

yang memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Abduh. Muhammad

Iqbal berpandangan bahwa didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan

fana, bukanlah dua daerah yang tidak terpisahkan, dan fitrah suatu perbuatan,

betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa pelakunya.

Akhir-akhirya lantar belakang rohani yang tak kentara dari suatu perbuatan ialah

temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap terlepas dari

kompleks kehidupan yang tak terbatas. Di dalam agama Islam, antara agama dan

negara merupakan suatu realitas yang tidak dapat dibedakan.

Inti dari ajaran Islam adalah Tauhid. Iqbal mengatakan bahwa intisari

tauhid adalah working idea. Working Idea disini dikatakan sebagai equality

(kesamaan), solidarity (solidaritas), and freedom (kemerdekaan). Selanjutnya

Iqbal melihat bahwa negara dalam pandangan Islam merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan prinsip yang ideal diatas ke dalam ruang dan waktu.68

Negara yang berlandaskan agama dikatakan sebagai teokrasi, namun Iqbal

mengatakan bahwa Islam anti terhadap teokrasi, karena dalam Islam tidak diakui

sistem kependetaan. Dalam Al-quran ditegaskan bahwa fitrah manusia sebagai

khalifatullah, jadi setiap manusia merupakan wakil Tuhan di muka bumi ini. Islam

memberikan prinsip yang nyata bagi kehidupan yaitu, demokrasi, kemerdekaan

berfikir dan berpendapat, kemerdekaan beragama, toleransi, keadilan sosial, dan

semua hak asasi bagi manusia. Islam juga memberikan sebuah kewajiban asasi

bagi manusia yaitu, mencapai kesejahteraan hidup berjamaah bagi seluruh umat

manusia.
68 Dalam Natsir, Muhammad, Agama dan Negara, Media Dakwah, Jakarta, 2001,hal 146
45

Pengaruh pemikiran Iqbal terhadap Natsir dikarenakan kedua tokoh

tersebut dihadapkan dengan kekejaman kolonialisme yang meluas di seluruh

dunia. Iqbal merupakan tokoh perjuangan kemerdekaan Pakistan. Cita-cita Iqbal

adalah berdirinya Negara Islam Pakistan, begitupula dengan Natsir yang mencita-

citakan Islam menjadi dasar negara di Indonesia. Namun berdirinya Negara Islam

Pakistan tidak disaksikan oleh Iqbal, hal ini dikarenakan beliau telah meninggal

dunia pada tanggal 21 April 1938 beberapa tahun sebelum berdirinya Negara

Islam Pakistan.

Sejalan dengan pemikiran-pemikiran tokoh diatas, Abu A’la Al- Maududi

merupakan tokoh yang sangat tajam dalam mempersoalkan permasalahan Islam

dan Negara. Pandangan Maududi, ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam

Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang

terkenal, Al-Khilâfah wa al-Mulk (Khilafah dan Kekuasaan), yang terbit di Kuwait

tahun 1978. Maududi mengumandangkan perlunya khilafah Islamiyah sebagai

bentuk negara dalam Islam. Sedangkan teo-demokrasi merupakan sistem politik

yang dijalankan dalam bentuk khilafah. Konsep teo-demokrasi adalah akomodasi

ide teokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti Al-Maududi menerima

secara mutlak konsep teokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas

menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan:

Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan atau

dapat disebut dengan “Kedaulatan Tuhan”. Tuhan-lah yang berhak menjadi

pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua,

karena praktik “kedaulatan rakyat” sering justru menjadi omong-kosong.


Partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau

lima tahun sekali saat Pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari

sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang sekalipun

mengatasnamakan rakyat sering malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi

(Amien Rais, 1988: 19-21)69.

Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima al-Maududi,

yakni bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum Mukmin.

Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah yang

menurut al-Maududi membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari

sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, “Dan ini pulalah yang mengarahkan

Khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi

antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat...” (Al-Maududi, 1988: 67)70.

Mengenai teokrasi, yang juga menjadi akar konsep teo-demokrasi,

sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi, terutama teokrasi model Eropa pada

Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat

hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988: 22). Meskipun demikian, ada

anasir teokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni pengertian kedaulatan tertinggi

ada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui

kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan

atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-

batasan perundang-undangan Allah SWT. (Al-Maududi, 1988: 67)71.

69 http://khilafahislam.multiply.com/journal/item/30, Kamis 23 Oktober 2008


70 http://khilafahislam.multiply.com/journal/item/30, Kamis 23 Oktober 2008
71 http://khilafahislam.multiply.com/journal/item/30, Kamis 23 Oktober 2008
47

Walhasil, secara esensial, konsep teo-demokrasi berarti bahwa Islam

memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-

norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, teo-demokrasi adalah sebuah

kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti

diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God

(Amien Rais, 1988: 23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and

Constitution (1962: 138-139), Al-Maududi menggunakan istilah divine

democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang

bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie,

1995: 17).

Di Indonesia pemikiran Natsir terbentuk melalui proses aktifitas

perdiskusiannya dengan tokoh-tokoh seperti A. Hassan, H. Agus Salim dan HOS

Tjokroaminoto. Pengaruh pemikiran A. Hassan merupakan bagian penjelajahan

Natsir tentang pembaharuan pemikiran Islam. Pemikiran Hassan mewakili

pemikiran neo-revivalis Islam yang sedang marak perkembangannya ketika itu.

Menurut Hassan umat Islam harus kembali kepada Al-Quran dan Hadits sebagai

jalan yang sebenarnya, padahal ketika itu mayoritas pemahaman umat Islam telah

bercampur dengan tradisi budaya Jawa. Islam bukanlah agama yang dipandang

sebagai agama mistik, namun Islam juga harus hadir di ruang-ruang sosial,

ekonomi, dan politik.

Aktifitas Hassan mulai tampak ketika ia bergabung dengan Persatuan

Islam (Persis) Cabang Bandung yang dipimpin Oleh KH. Yunus. Hassan

mendapat kepercayaan dari KH. Yunus dalam pengembangan dakwahnya.


Progresifitas dakwah Persis dari kota sampai daerah menimbulkan buah bibir di

hampir semua kalangan. Sukarno sebagai dari golongan intelektual juga terkesima

dengan progrsifitas dakwah Persis dan A. Hassan. Sukarno melakukan

pendalaman Islam lewat surat-menyuratnya kepada Hassan, walaupun akhirnya

pemikiran pada kedua tokoh ini saling betentangan.72 Perkenalan A. Hassan dan

Natsir terjadi ketika Natsir melanjutkan sekolah di Bandung. Pemahaman ke-

Islaman serta sepak terjang A. Hassan membuat Natsir tertarik untuk belajar lebih

jauh kepada Hassan. Dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada anaknya, Natsir

mengatakan;

”Tertarik benar Aba kepada Tuan Hassan itu,” tulis Natsir


dalam surat kepada anak-anaknya. ”Beliau seorang alim
yang original. Beliau seorang ahli perusahaan yang
praktis.”
”Percakapan dan pertukar pikiran dengan Tuan A. Hassan
itu banyak sekali pengaruhnya bagi jiwa dan arah hidup
Aba selanjutnya. Sudah tentu yang dibicarakan soal agama.
Dicampur dengan soal politik, soal pergerakan
kemerdekaan,”73
Ketertarikan Natsir terhadap Hassan bukan hanya ke-ilmuan yang dimiliki-nya,

namun Hassan yang memiliki budi pekerti baik menjadi tempat menimba ilmu

yang paling tepat. Hassan yang memiliki semangat pembaharu bertemu dengan

Natsir yang memiliki semangat belajar yang tinggi, maka sangatlah pas kedua

tokoh ini berkolaborasi untuk memperjuangkan Islam. Kolaborasi perjuangan

Hassan dan Natsir yaitu dengan menerbitkan Majalah Pembela Islam, yang

berisikan tentang pandangan-pandangan Islam secara Ideologi serta menangkis

serangan-serangan dari kaum non-Islam yang menjelek-jelekkan Islam.

72 http://www.percikaniman.org/ 28 Desember 2008


73 http://majalah.tempointeraktif.com, 28 Desember 2009
49

Seperti yang juga disebutkan diatas, bahwa salah satu tokoh yang

mempengaruhi pemikiran Natsir adalah Haji Agus Salim. Karir politik Agus

Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis

pada 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai

wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim

menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi,

sebagaimana pendahulunya, Agus Salim merasa perjuangan dari dalam tak

membawa manfaat. Agus Salim keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.74

Karier politik Agus Salim sebenarnya tidak begitu mulus. Dia pernah

dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada

pemerintah. Apalagi, Agus Salim tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti

Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung

pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan

posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada

1934.

Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri

Jong Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin

keagamaan yang kaku. Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta

pada 1927, Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond

menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dari kongres dua

tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, laki-laki di

depan. Menurut Agus Salim ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi

74 http://darul-ulum.blogspot.com/biografi-dan-pemikiran-agus-salim/ 28 Desember 2008


perempuan. Dalam Organisasi JIB inilah Agus Salim bertemu Natsir sebagai

kaum muda bersama Syafruddin Prawiranegara, Moh. Roem, dan lain-lain sebagai

kaum muda yang nantinya akan menjadi tokoh pergerakan nasional melalui Partai

Masyumi.75

Agus Salim mengungkapkan pemahaman yang salah berkaitan dengan

Islam di Indonesia yang terpaku kepada fikih, yang tidak mengalami perubahan

berarti dan karena itu tidak menampung perkembangan dinamika dunia. Dari

situlah tumbuh kecenderungan konservatif yang sulit menerima inovasi untuk

dipertautkan dengan pikiran keagamaan. Jalan pintas untuk membedakan apa

yang dapat dan yang tidak dapat diterima adalah dengan menolak semua hal yang

dibawa oleh pemikiran asing dan non-Islam.

Dalam perdebat dengan Sukarno yang mengobarkan cinta Tanah Air

sebagai tenaga menuju kemerdekaan Indonesia, Agus Salim menjawab, "Ya, boleh

nasionalis cinta Tanah Air, tetapi ingat Hittler yang akhirnya menghancurkan

kemanusiaan. Nasionalis itu baik, tapi kalau agak menyimpang ia berbahaya."

Pada titik ini keIslaman Agus Salim keluar. Ia tidak menolak nasionalisme untuk

mengembangkan rasa cinta Tanah Air, tetapi semua ini perlu dilaksanakan dalam

kerangka tujuan perjuangan yang lebih agung. Ia meletakkan perjuangan

kemerdekaan dan pembentukan negara merdeka itu sebagai pengabdian dan

ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seluruh hidup kita,seluruh perbuatan kita,

seluruh langkah kita, dan seluruh mati kita adalah bagi Allah semata. Dalam

kaitan itulah, sebagai anggota Panitia Sembilan, Agus Salim memperjuangkan

supaya di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 eksplisit


75 Artikel KOMPAS - Sabtu, 21 Agustus 2004 / milist ppiindia/ 28 Desember 2009
51

dicantumkan pengakuan bahwa "Republik Indonesia berdiri atas berkat rahmat

Allah Yang Mahakuasa" Agus Salim dengan gamblang menolak teokrasi,

menolak pendapat para kiai yang mau memasukkan ayat-ayat Al Quran dan hadis

ke dalam UUD.76

Pengaruh Tjokroaminoto didalam pembentukan pemikiran Natsir juga

begitu kuat. Tjokroaminoto yang dapat dikatakan sebagai “Bapak Pergerakan

Kebangsaan” di Indonesia menjadi sumber inspirasi dari para tokoh-tokoh yang

hadir setelahnya, walaupun mereka berlainan ideologi. Ketokohan Tjokro,

membuat Natsir tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Pemikiran Tjokro

mengenai Islam, secara substansial tampak dalam brosur “Sosialisme didalam

Islam”. Brosur ini, selain sebagai hasil kerja pikiran Tjokro, juga sebuah

pembentukan opini dan upaya untuk menarik mereka yang sudah teracuni

komunis untuk kembali kepada SI. Brosur tersebut berisikan beberapa hal pokok,

yaitu perikemanusiaan sebagai dasar bangunan Islam, perdamaian, sosialisme dan

persaudaraan. Islam sama dengan sosialisme karena tiga hal, yaitu unsur

kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dari segi isi, kelihatannya

Tjokroaminoto sudah ingin memberi batasan antara Sosialisme Islam dan

komunisme. Karena sosialisme Islam, menyandarkan kekuatannya kepada Allah.

Selanjutnya sebagai bukti kecenderungan pemahaman Islam sebagai

sebuah ideology, juga diarahkan secara politik. Sejak 1922 hingga 1924, Tjokro

bahkan aktif menjadi pemimpin dari kongres Al-Islam yang disponsori kaum

modernis (diantaranya Agus Salim dan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Al-

76 http://darul-ulum.blogspot.com/biografi-dan-pemikiran-agus-salim/ 28 Desember 2008


Irsyad). Selanjutnya Tjokro juga amat bersemangat dalam menanggapi isu

kekhalifahahan yang digulirkan Ibnu Saud. Hal yang mengakibatkan ia di curigai

berpaham Wahabiah, yang kelak menyingkirkan keberadaan empat mazhab yang

berkembang di Indonesia (khususnya di Jawa). Jelas, dalam konteks ini ide-ide

Pan-Islamisme sudah membayang dalam pemikiran Tjokro.77

Tjokro berjuang bagi nasionalisme dan juga bagi Islam. Pemahaman Islam

pada diri Tjokro, memang tidak terlalu mendalam, tetapi cukup besar

diarahkannya bagi suatu praktik propaganda politik. Satu hal yang penting bagi

Tjokro, ia berfikir reflektif sebagai respons atas pertautan zamannya. Setelah

menemukan Islam, maka Tjokro memberi geist baru bagi Islam yaitu dengan

sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an. Tampaknya, Tjokro sadar akan

bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya” banyak menarik pengikut dari

aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara pasif, bukan suatu unsur yang

“seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan, maka langkah Islam tidak akan

beranjak dari fungsi praktik ritual belaka. Bagi Tjokro, Islam adalah sesuatu yang

harus diperjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar kebangsaan yang dibangun

dalam proses menuju Indonesia.

Selain melihat Tjokro dari konteks ke-Indonesiaan, tipekal Tjokro adalah

type-type manusia perubah. Ia identik dengan Al-Afghani, yang juga merupakan

tokoh politik Pan-Islamisme. Tjokro dan Afghani, juga sama-sama menemui

kegagalan dalam perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya,

bukan pada kemenangan atau kekalahan. Keduanya menjadi penting, karena

77 http://tjokroaminoto.wordpress.com/ 28 Desember 2008


53

menggulirkan sebuah momentum perubahan pemikiran dalam Islam. Keduanya

juga menjadi ruh perjuangan bagi kepentingan Islam Politik. Al-Afghani memberi

inspirasi kepada Abduh, Ridha dan juga Iqbal dalam praktik pergerakan Mesir dan

Pakistan. Sedangkan Tjokro, justru lebih plural, karena inspirasinya mengalir bagi

nasionalisme-Islam bahkan komunis. Adapun kelompok Islam yang

menjadikannya sebagai inspirasi adalah kaum modernis Masyumi, seperti

Mohammad Natsir, Kasman, Prawoto dan tentu saja anak-anaknya, Anwar dan

Harsono. Dengan demikian, Tjokro merupakan mitra dialog aktif bagi zamannya

dan juga bagi zaman sesudahnya. Dan ruh Tjokro, masih akan terus “bergerak”,

ketika Islam diartikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis.

Pengaruh pemikiran tokoh-tokoh diatas merupakan sebuah jawaban akan

kondisi yang menindas pada saat itu. Diperlukan sebuah gagasan besar dalam

melawan kolonialisme yang tengah mencengkram Indonesia. Menurut Fachry Ali,

seperti pemimpin-pemimpin pergerakan kemerdakaan lainnya, yang tumbuh pada

masa itu. “ Terdapat sebuah kebutuhan esensial terhadap gagasan besar yang

mengilhami dan pemimpin besar yang mampu merealisasikan gagasan tersebut

ke dalam kenyataan ”78. Bagi Natsir, Islam merupakan solusi terhadap segala

persoalan zaman. Islam bukan hanya ritus peribadatan, namun juga diturunkan

menjadi format ideologi bagi kebutuhan gerakan.

B. Praksis Politik Muhammad Natsir


B.1 Natsir dan Pergerakan Kemerdekaan Indonesia

Dalam melihat perjuangan Natsir untuk mewujudkan cita-cita

78 Dalam Hakim, Lukman, Ibid,. hal 318


perjuangannya, maka akan terlihat dalam sepak terjang semasa hidupnya. George

Mc T. Kahin menjuluki Natsir dengan “ last giants among Indonesia’s nationalist

and revolutionary political leaders “ atau “ (raksasa terakhir diantara tokoh

nasionalis dan pemimpin politik revolusiner di Indonesia) ”. Kahin juga

mengungkapkan bahwa pengaruh Natsir dalam pemikiran Islam di arena politik

Indonesia paska perang melebihi tokoh manapun di Indonesia. Ketokohan seorang

Natsir ialah dapat digambarkan dengan memakai ungkapan lama yaitu

“kebesaran seseorang terlihat dari hari meninggalnya”. Natsir meninggal dunia

pada tanggal 6 Februari 1993, yang dihantar oleh ribuan masyarakat menuju

tempat peristirahatan terakhirnya.79

Sebagai sosok seorang pejuang Islam, sepak terjang Natsir bermula ketika

ia bersentuhan dengan organisasi Jong Islamic Bond (JIB). Dengan jiwa muda

yang membara, Natsir mencoba memasuki dunia pergerakan nasional. Sebagai

seorang muslim ada sebuah tuntutan perjuangan bagi dirinya di tengah era

kolonialisme. Kepindahannya ke Bandung menjadi titik tolak Natsir dalam

mengembangkan pemikirannya serta aktifitas gerakannya. Perjumpaanya dengan

tokoh-tokoh sekelas A. Hassan, Haji Agus Salim, Tjokroaminoto, dan lain-lain,

membuat Natsir semakin menemukan gairahnya dalam perjuangan. Natsir juga

menempa diri dalam organisasi Persatuan Islam (Persis), sebab Persis organisasi

yang lebih menekankan Islam menjadi sistem sosial dan politik. Pengaruh Persis

saat itu mengakar sampai tingkat pedesaan di Jawa Barat. Layaknya tokoh-tokoh

yang menjadi inspirasinya, seperti M. Abduh dan Rasyid Ridho, Natsir mencoba

melakukan perjuangannya lewat sebuah media massa Pandji Islam dan Pedoman
79 Dalam Hakim, Lukman, Loc.Cit,. hal 89
55

Masyarakat.

Islam pada saat itu lebih dikenal sebagai agama yang hanya berkutat

dengan sarung, takhayul, dan poligami. Natsir percaya bahwa Islam tidak hanya

sekedar ritus belaka, Islam merupakan world view (cara pandang hidup) yang

akan menjadi bahan bakar revolusi kemerdekaan Indonesia. Gagasan-gagasan

Natsir yang tajam tertulis dalam artikel-artikelnya yang berkala di terbitkan oleh

kedua media massa tersebut. Tulisan-tulisan Natsir pada saat itu merupakan

representasi dari pembaharu Islam sebagai tawaran terhadap gerakan

kemerdekaan Indonesia. Tidak kalah pentingnya bahwa tulisan Natsir juga

merupakan respon dari tulisan-tulisan yang merendahkan Islam ataupun cara

pandang yang salah dalam melihat Islam, seperti yang dilakukan Sukarno.

Perdebatan sengit antara Natsir dan Sukarno dalam memandang Islam

merupakan cikal bakal pertarungan antara golongan Islam dan Nasionalis di

Indonesia. Seperti dituliskan Natsir;

“ yang menjadi tujuan kita sekarang, bukan masalah itu sendiri


tapi yang jadi pokok ialah dasar pendirian, levenshouding
(sikap hidup) dari masing-masing pihak yang dijadikannya
dasar untuk memperbincangkan masalah-masalah agama…..,
Dari contoh-contoh permasalahan agama kita dapat menyusuli
apa dan bagaimanakah bentuk-bentuk pendirian
levensbeschouwing (pandangan hidup), grondgedachte
(pikirang dasar), yang akan menentukan sikap masing-masing
pihak terhadap masalah agama umumnya “80.

Perdebatan mengenai masalah-masalah agama di dalam media, sesungguhnya

lebih kepada pertarungan ideologi Islam dan nasionalis dalam meletakkan dasar

negara ketika mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Menurut saya setiap ideologi

mempunyai kebebasan dalam mewacanakan cita-cita idealnya. Sebelum adanya


80Dalam Hakim, Lukman, Ibid,. hal 300
kesepakatan bersama, mengenai bentuk negara Indonesia hal tersebut mutlak

diperlukan dari masing-masing golongan dalam mempengaruhi masyarakat dan

menjalankan misi ideologinya. Prinsip dialektika yang berjalan secara sehat

menjadikan dinamisasi pergerakan nasional.

B.2 Natsir sebagai seorang Politikus dan Negarawan

Selama era penjajahan Jepang (1942-1945), sebagai salah satu tokoh

pergerakan Islam, kemudian Natsir pun bergabung dengan pemimpin umat

muslim lainnya dalam Madjelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang

dibentuk oleh Jepang. Selepas kemerdekaan 17 Agustus 1945, para pemimpin

umat Islam bergabung untuk mendirikan partai politik yang menjadi representasi

kekuatan umat Islam di Indonesia, yaitu partai Masyumi. Masyumi yang tadinya

merupakan wadah bentukan Jepang, berubah menjadi partai politik sebagai respon

terhadap Maklumat No. X 3 November 1945 yang menyatakan perlu

terbentuknya partai-partai politik di Indonesia sebagai pengejawantahan

demokrasi. Pada tanggal 7 November 1945, Natsir bersama kawan-kawan

lamanya seperti Moh.Roem, Sjafruddin Prawiranegara, Abu hanifah, SM

Kartosuwiryo berjuang bersama mengisi kemerdekaan bersama partai Masyumi.

Pada saat itu dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo, yang kemudian pada periode

setelahnya digantikan oleh Natsir.

Keterlibatan Natsir pada pemerintahan nasional terjadi ketika dirirnya

bergabung dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yaitu lembaga

parlemen sementara selama revolusi kemerdekaan. Tugas-tugas sebagai anggota

KNIP yang berfungsi sebagai penyiapan terbentuknya dasar negara Indonesia.


57

Pada pemerintahan Kabinet Sjahrir, Natsir ditunjuk sebagai Menteri Penerangan

untuk yang pertama kalinya. Kemudian pada periode Kabinet Hatta, Natsir

kembali ditunjuk menjadi Menteri Penerangan. Penunjukkan Natsir sebagai

Menteri Penerangan sebanyak dua kali merupakan bukti bahwa sosok Natsir yang

cakap dalam menjalankan peranannya.

Kepiawaian Natsir sebagai politikus juga teruji ketika menjabat Ketua

Partai Masyumi. Ditengah kondisi Negara Indonesia diperlemah oleh hasil

keputusan Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang mengakibatkan pecahnya wilayah

Indonesia dengan terbagi beberapa negara bagian yang tergabung dalam Republik

Indonesia Serikat. Maka sebagai salah satu ketua partai terbesar di Republik

Indonesia Serikat (RIS), Natsir mengusulkan pada parlemen RIS yaitu “ Mosi

Integral ” yang berisikan peleburan negara-negara bagian kedalam Republik.

Maka pada tanggal 17 Agustus 1950 dapat dikatakan sebagai proklamasi kedua

bangsa Indonesia. Langkah diatas merupakan bentuk nasionalisme seorang Natsir,

yang lebih mementingkan kebangsaan dibandingkan kepentingan golongan.

Sebagai penghargaan terhadap prestasi Natsir, Presiden Sukarno

mengangkat Natsir yang ketika itu berumur 42 tahun sebagai Perdana Menteri

pada September 1950. Dalam menjalankan pemerintahannya Natsir menghadapi

banyak tantangan gejolak-gejolak ketidak puasan yang terjadi di daerah-daerah.

Pemberontakan yang dilakukan oleh kawan seperjuangannya semasa di Masyumi

yaitu SM Kartosuwiryo dalam DI/TII di Jawa barat yang menginginkan

berdirinya Negara Islam di Indonesia, pemberontakan RMS di Maluku, MMC

(Merapi Merbabu Compleks), Andi Azis di Makassar, dan APRA Westerling di


Bandung. Permasalahan lainnya ialah penolakan rakyat Aceh terhadap kebijakan

penyatuan Aceh sebagai wilayah propinsi Sumatera Utara. Permasalahan diatas

merupakan tantangan bagi Kabinet Natsir. Kemudian permasalahan lainnya ialah

perbedaan pandangan antara Sukarno dan Natsir mengenai Irian barat,

menimbulkan krisis hubungan antara Presiden dan Perdana Menteri. Akhirnya

Sukarno bersama partai-partai pendukungnya yakni, PNI dan PKI menggoyang

pemerintahan Natsir, yang kemudian berujung dengan pengunduran diri Natsir

sebagai Perdana Menteri pada tanggal 27 April 1951.

Sejak saat itulah Natsir berkiprah dengan memimpin fraksi Masyumi di

parlemen pada tahun 1950-1958. Sebagai salah satu partai pemenang pemilu

1955, Masyumi memiliki kursi terbesar di Parlemen maupun dalam Konstituante.

Masyumi bersama PNI masing-masing mendapatkan 57 kursi, NU 45 kursi, dan

PKI 39 kursi. Perjuangan Natsir dalam parlemen berupaya mencegah adanya

perusakan terhadap sistem ketatanegaraan serta perpecahan yang sedang

mengintai bangsa yang masih dalam usia muda ini. Ketegangan antara pusat dan

daerah semakin meruncing akibat kesejahteraan yang tidak merata.

Kekecewaan perwira-perwira TNI dan politisi yang menolak konsepsi

Sukarno tentang “Kabinet Kaki Empat” yaitu dengan mengakomodir PKI sebagai

salah satu partai yang masuk dalam kabinet. Membuat perseturuan politik Natsir

dan Sukarno kembali menyeruak, seperti mengingatkan akan perseturuan dua

tokoh besar ini dalam perdebatan pada era 1930-an. Natsir dan juga pemimpin

politik lainnya seperti Hatta, Syafruddin Prawiranegara, dll, menolak kedekatan

Sukarno dan PKI. PKI dianggap sebagai organisasi pengkhianat bangsa ketika
59

melakukan pemberontakan Madiun 1948. Kegeraman Sukarno akan hasil pemilu

1955 juga memperkeruh konstelasi politik nasional. Sukarno menganggap sidang-

sidang parlemen serta konstituante memperlambat revolusi Indonesia. Bahkan

Sukarno mengeluarkan ancaman akan mengubur partai-partai politik, serta

pembentukan dewan nasional dengan ide Nasakom.

Sebagai tawaran konsepsi ideologi dari partai Masyumi, maka pada sidang

Pleno Konstituante 15 Oktober 1957, Masyumi yang diwakili Natsir

mengemukakan pidato politiknya dalam pembahasan dasar negara. Pidato yang

mengambil judul “ Pilihan Kita, Satu dari Dua: Sekularisme atau Agama!”. Natsir

mengetahui bahwa hal ini akan mendapatkan pertentangan dari lawan-lawan

politiknya yang berasal dari PNI dan PKI. Pidato tersebut merupakan konsepsi

politiknya yang telah dikembangkan sejak saat muda yaitu tentang Islam dan

Negara. Namun dikarenakan posisi politik yang lemah dari Masyumi dalam

menghadapi hegemoni politik Sukarno dan para pendukungnya (PNI, PKI dan

TNI). Maka konsepsi politik Natsir tidak disetujui, dan peristiwa tersebut

mengakibatkan kemenangan bagi Sukarno dan pendukungnya. Kekalahan

Masyumi pada sidang konstituante memuluskan langkah politik Sukarno dalam

menyusun kekuatan yang bersumber kepada dirinya.

B.3 Natsir dan keterlibatannya dengan PRRI/ Permesta

Pertarungan antar partai politik yang terjadi di sidang-sidang konstituante

membuat suasana stabilitas negara yang kian hari tak menentu. Kemudian

permasalahan pemerataan kesejahteraan pusat dan daerah membuat ketidakpuasan

bagi kalangan di tingkat daerah. Aksi-aksi separatisme serta penyelundupan yang


dilakukan oleh perwira-perwira di daerah merupakan bentuk protes terhadap

kebijakan pusat yang tidak adil. Para perwira di daerah akhirnya memutuskan

untuk melakukan perjuangan menuntut keadilan pemerataan bagi rakyat. Tuntutan

tersebut datang dari Letkol Ahmad Hussein Danrem Sumatera Tengah yang

membentuk dewan banteng di Sumatera barat. Kolonel Mauludin Simbolon

Panglima TT I di Medan membentuk dewan gajah, Letkol Ventje Sumual di

Manado membentuk dewan manguni. Dan adanya dewan lambung mangkurat di

Kalimantan Selatan. 81

Disaat yang sama pada tanggal 14 Maret 1957, Kabinet Ali Sastromidjojo

II jatuh, maka Presiden Sukarno menyatakan negara dalam keadaan darurat

perang. Sukarno melakukan tindakan yang dianggap menyalahi konstitusi, yaitu

dengan mengangkat dirinya sebagai formatur Kabinet serta mengangkat Perdana

Menteri Djuanda. Kekuasan yang terpusat ke pada diri Sukarno telah banyak

ditentang oleh politisi. Namun dominasi bahasa kekuasaan menjadi sesuatu yang

kental dalam hiruk pikuk politik saat itu. Lambat laun Indonesia didasari oleh

sistem demokrasi terpimpin dan gagasan Nasakom sebagai gagasan mahakarya

dari Sukarno. Dengan latar belakang diatas maka terjadi respon yaitu dengan

gerakan yang bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)

dan Pergerakan Rakyat Semesta (Permesta) yang dilakukan oleh para perwira dan

politisi dari partai-partai oposisi seperti Masyumi dan PSI.

Keterlibatan Natsir dalam PRRI/ Permesta, merupakan bentuk

keprihatinan Natsir terhadap kondisi saat itu. Sebagai seorang yang memiliki rasa

kecintaan akan kesatuan Republik Indonesia, maka Natsir berupaya agar gerakan
81 Dalam Hakim, Lukman, Ibid,. hal 274
61

PRRI/ Permesta tidak menjadi gerakan separatis. Tujuan dari gerakan tersebut

adalah menuntut keadilan terhadap pembangunan daerah, mengkoreksi Presiden

Sukarno agar tidak melakukan tindakan inkonstitusional, serta menolak

keterlibatan PKI dalam pemerintahan. Pada taggal 15 Februari 1958 PRRI/

Permesta mengultimatum kepada pemerintah pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam

bahwa Kabinet Djuanda harus menyerahkan mandatnya kepada presiden dan

selanjutnya presiden membentuk kabinet yang dipimpin oleh Moh. Hatta sebagai

perdana menteri dan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakilnya dan

Presiden Sukarno harus kembali kepada konstitusi, namun jika hal tersebut tidak

dilakukan maka hilang ketaatan mereka terhadap Presiden Sukarno. Ultimatum itu

merupakan upaya PRRI/ Permesta mengembalikan lagi stabilitas politik dan

harapan pembangunan yang lebih baik. Namun ultimatum tersebut di jawab

dengan serangan militer oleh TNI pada tanggal 22 Februari 1958.82

Perjuangan menegakkan kembali konstitusi dan mengkoreksi penguasa

yang dholim dilakukan Natsir walaupun harus dengan bergerilya. Bersama teman-

teman seperjuangannya seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem,

Sutan Sjahrir, Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo, Natsir di

cap sebagai pemberontak Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1961

tokoh-tokoh PRRI/ Permesta menyerahkan diri setelah pemerintah menawarkan

amnesty dan abolisi. Tetapi kenyataanya, tokoh-tokoh tersebut harus dijebloskan

ke penjara tanpa persidangan oleh pemerintah Sukarno. Akhirnya ketika angin

perubahan rezim penguasa berubah dari Orde Lama ke Orde Baru, Natsir dan

82 Dalam Hakim, Lukman, Ibid,. hal 275


tokoh-tokoh lainnya dibebaskan pada 26 Juli 1966. 83

C. KONSEP THEISTIK DEMOKRASI

C.1. LANDASAN TEOLOGI

Islam yang menjadi pijakan hidup serta pemikiran dari Natsir merupakan

sebuah agama yang memiliki kelengkapan dibandingkan dengan agama lainnya,

hal ini diungkapkan oleh Prof. H.A.R. Gibb dalam bukunya “Whither Islam”

dengan mengatakan bahwa “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu system

agama saja, dia adalah suatu kebudayaan yang lengkap” 84. Konsep agama

dengan kandungan, yaitu ajaran agama yang mengandung ajaran moralitas,

pranata sosial politik dan hukum. Hal ini terlihat dalam sejarah peradaban Islam.

Islam dipandang memiliki tiga sistem yaitu, keimanan, ajaran moralitas, dan

hukum atau syariat. Konsepsi diatas akan berimplikasi kepada perbedaan

paradigma dalam melihat hubungan agama dan negara serta demokrasi. Saya

membagi landasan teologi Natsir atas tiga pokok, yaitu Iman, Ilmu, dan Amal

C.1.1. Iman sebagai dasar

Landasan teologi dalam melihat hubungan agama dan negara serta

demokrasi menurut Natsir adalah;

“ Apakah dan bagaimanakah ideology seorang Muslim itu?


Amat luas dan lebar keterangannya kalau hendak direntang
panjang. Tetapi dapat disimpulkan dalam satu kalimah dalam
Al-Quran yang maksudnya: “Tidaklah Aku jadikan jin dan
manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada Ku “.(Qs:
Addzariat: 56)
Jadi, seorang Islam hidup diatas dunia ini adalah dengan cita-
cita hendak menjadi seorang hamba Allah dengan arti
sepenuhnya, mencapai kejayaan didunia dan kemengan di
akhirat, Dunia dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin

83 Dalam Hakim, Lukman, Loc.Cit,. hal 264


84 Dalam Natsir, Ibid,. hal 3
63

dipisahkan oleh seorang Muslim dari ideologinya. Ini sudah


sama-sama dimaklumi.85”

Tulisan Natsir diatas menggambarkan sebuah sistem keyakinan seorang muslim

dalam menjalani kehidupan. Keyakinan merupakan dasar dari setiap gerak dan

aktivitas hidup manusia. Karena itu manusia secara fitri membutuhkan keyakinan

hidup yang dapat menjadi pegangan dan sandaran bagi dirinya. Ini berarti manusia

menyadari, bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang membutuhkan

pertolongan, bimbingan dan perlindungan dari sesuatu yang diyakini sebagai yang

Maha.

Setiap keyakinan tertuang dalam suatu ideologi. Tiap-tiap sistem

keyakinan memiliki konsepsi tersendiri dalam mengantarkan pengikutnya pada

pemahaman dan kepercayaan terhadap tuhan. Islam mengajarkan sistem

keyakinan yang disebut Tauhid.

Tauhid berbeda dengan dua sistem keyakinan di atas karena cara

pandangnya terhadap eksistensi (wujud). Tauhid merupakan konsepsi sistem

keyakinan yang mengajarkan bahwa Allah SWT adalah zat Yang Maha Esa.

Abdul Rohman dalam tesisnya yang berjudul Islam dan Negara (Studi analisis

tentang pemikiran Mohammad Natsir) mengungkapkan bahwa landasan teologi

dalam Islam bersumber kepada Tauhid. Tauhid merupakan implementasi

keimanan seorang hamba kepada Allah SWT. Tauhid mengandung hablum min

Allah (hubungan manusia dan Allah) dan hablum min an-nas (hubungan manusia

dengan manusia) yang hal tersebut tidak dapat terpisahkan86.

85 Dalam Natsir, Ibid,.hal 532


86Dalam Rohman, Abdul, Tesis; Islam dan Negara (Studi Analisis tentang pemikiran Mohammad
Natsir),Program Pasca Sarjana IAIN SYARIF HIDAYATULLAH, Jakarta, 1995, hal 68
Tauhid merupakan hal paling esensial dalam ajaran Islam, sebagai titik berangkat

utama dalam setiap kegiatan manusia; pikiran, perasaan dan tindakannya. Tauhid

merupakan revolusi ruhani yang membebaskan manusia dari perasaan terkungkung dan

tekanan jiwa seluas-luasnya. Tauhid juga menjiwai gerakan manusia baik secara individu

maupun sosial. Secara individu seseorang akan dibimbing untuk membawa proses dirinya

mendekati kesempurnaan Tuhan. Sedangkan secara sosial, harga diri masyarakat ada pada

kemajuan masa depannya, terutama dalam konteks eskatologisnya. Wawasan kemasa

depanan pada hakikatnya telah terkandung dalam ajaran tauhid secara sosial. Oleh sebab

itu, ia akan selalu menginspirasi tujuan, usaha, gerakan dan kemajuan.

Pada sistem keyakinan lainnya, “Yang Maha” atau yang dirumuskan

sebagai Tuhan, hanya dijelaskan berdasarkan persepsi dan alam pikir manusia

sendiri. Sedangkan dalam konsepsi Tauhid, selain pencarian akal manusia sendiri

sebagai alat mendekati kebenaran mutlak, juga melalui wahyu di mana Tuhan

menyatakan dan menjelaskan diri-Nya kepada manusia. Jadi, Tauhid memberi

tuntunan berupa wahyu Allah melalui para nabi. Tauhid merupakan inti ajaran

yang disampaikan pada seluruh manusia di setiap zaman. Ini berarti bahwa ajaran

Tauhid adalah ajaran universal.

C.1.2. Ilmu sebagai penunjuk kebenaran

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna,

dibekali dengan hati, akal, dan panca indera. Seperti yang dituliskan diatas, bahwa

dalam mengimplementasikan tauhid maka diperlukan akal dalam proses menuju

penghambaan total kepada Allah SWT. Dalam hal ini Natsir berpandangan bahwa;

“menyembah Allah itu melengkapi semua ketaatan dan


tertundukan kita kepada semua perintah ilahi, yang membawa
65

kepada kebesaran dunia dan kemenangan akhirat, serta


menjauhkan diri dari segala larangan-larangan yang
mengahalangi tercapainya kemenangan dunia dan akhirat.
Akan tetapi sungguh tidak mudah mencapai pangkat hamba
Allah itu. Tuhan terangkan dalam Al-Quran, antaranya apakah
syarat-syarat dan sifatnya seseorang yang berhak menamakan
dirinya “hamba Allah” itu; ‘bahwa yang sebenar-benarnya
takut kepada Allah itu, ialah hamba-hamba-Nya yang
mempunyai Ilmu; Sesungguhnya Allah itu berkuasa lagi
pengampun’(Qs Al-Fathir: 28)87”

Akal dipergunakan untuk menjalankan perintah Allah SWT, seperti yang tertulis

dalam wahyu serta alam semesta. Hamba Allah adalah seseorang yang

mengoptimalisasikan akalnya, bukan seseorang yang hanya melakukan ritual

ibadah. Menurut Natsir, Islam memberikan akal dalam tempat yang terhormat;

“Orang Islam diwajibkan memakai akal untuk memikirkan


ayat-ayat Al-Quran supaya mengerti maksud dan tujuannya,
lantaran ayat-ayat Quran itu diturunkan untuk mereka yang
mau berfikir, mau mengambil ma’na, mau mengetahui dan mau
beristimbat.
“Sesungguhnya kami terangkan ayat-ayat ini sejelas-
jelasnyabagi orang-orang yang mau mengerti! (Qs Al
An’am:98)88”
Kemudian Islam pun melarang untuk bertaklid buta, hal tersebut dituliskan Natsir;

“Islam amat mencela landasan orang-orang yang tak


mempergunakan akalnya, orang-orang yang terikat fikirannya
dengan kepercayaan dan paham-paham yang tak berdasar
kepada landasan yang benar, yaitu mereka yang tak mau
memeriksa kepercayaan dan paham-paham yang disuruh orang
terima atu dianut mereka itu, benar; dan adakah berdasar
kepada kebenaran atau tidak.
Tegasnya Islam melarang bertaklid buta kepada paham dan
itikad yang tak berdasar kepada wahyu tuhan, yaitu yang hanya
turut paham-paham lama yang turun temurun saja, dengan
tiada pemeriksaan tentang suci atau tidaknya.
Dan janganlah engkau turut-turut saja apa yang engkau tidak
mempunyai pengetahuan atasnya, karena sesungguhnya
87 Dalam Natsir, Ibid,.hal 86
88 Dalam Natsir, Ibid,. hal 281
pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan ditanya
tentang itu! (Qs Al-Israil: 36)89”
Berdasarkan tulisan diatas, penghargaan Islam terhadap akal merupakan sebuah

jawaban terhadap manusia atas kehidupannya sebelum Islam turun, dimana saat

itu kehidupan manusia dilanda kebodohan. Islam diturunkan sebagai penunjuk

jalan terhadap yang hak dan bathil. Oleh karena itu optimalisasi akal merupakan

pembentukan ilmu sebagai penunjuk jalan menuju kebenaran tersebut.

Ilmu menjadi senjata bagi keberhasilan seseorang di dalam mengelola

alam raya. Ilmu menjadi sinar bagi kesuksesan hidup duniawi. Ilmu menjadi

penerang bagi orang-orang yang ingin mencapai kebahagiaan rohani. Tanpa ilmu,

manusia akan sulit mengamalkan perbuatan yang sesuai kebenaran, baik secara

aqli (nalar) maupun naqli (wahyu). Sebab ilmu bagaikan sebuah kunci yang dapat

dipergunakan untuk membuka macam kebenaran.90

Ilmu merupakan rangkaian kegiatan progresif yang dilakukan dengan

sistem dan metode tertentu melalui usaha akal budi dalam memahami Tuhan,

manusia dan alam. Dilain pihak, tujuan ilmu adalah kebenaran, dimana sumber

nilai kebenaran asasi dan hakiki adalah Al Qur’an, Al-Hadits, dan pengamatan

alam semesta sebagai hasil ciptaan Allah SWT. Maka pandangan tentang Tuhan,

manusia dan alam harus bertitik tolak dari Dien al-Islam dalam prinsip-prinsip

Tauhid91. Ilmu hanya untuk mencapai kebahagian dunia akherat, sehingga

semakin tinggi ilmu manusia, meninggi pula tingkat ketaqwaannya. Merekalah

yang derajat dan kemuliaannya ditinggikan di sisi Allah SWT. Akibatnya struktur
89 Dalam Natsir, Op.Cit.
90 Dalam Rohman, Abdul, Ibid,. hal 80
91 Dalam Al-Ghazali, Muhammad, Syariat&Akal dalm perspektif tradisi Islam,
(Jakarta:Lentera),2002, hal 27
67

ilmu dalam pandangan Islam secara epistemik berbeda dengan ilmu atau (sains)

yang dibangun berdasarkan ideologi non Islam. Pada perspektif Islam, ilmu

dibangun atas dasar keyakinan tauhidi, kemudian diturunkan dan dikembangkan

berbagai asumsi teori dasar, penalaran ilmiah, disiplin ilmu dan teknologi.

Sedangkan khasanah konvensional, ilmu tidak dibangun berdasarkan keyakinan

agamawi, bahkan terpisah sama sekali.

Perbedaan itu membawa implikasi besar. Pada khasanah konvensional,

ilmu biasanya diferivikasi hanya sebatas empirik dan logis saja. Akibatnya hal-hal

yang tidak dapat diferivikasi secara empiris dan logis, dianggap di luar kategori

ilmiah. Sedangkan dalam pandangan Islam untuk memferivikasi atau mentashih,

tidak hanya bersifat empirik dan logis tetapi juga normatif, yakni berdasarkan Al-

Qur’an dan Al-Hadits. Akhirnya banyak hal-hal keilmuan yang tidak dapat

diferivikasi secara empirik dan logis, dapat diferivikasi secara langsung

berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Islam menyatakan bahwa ilmu merupakan

kesatuan pengetahuan tentang Tuhan, alam dan manusia, sehingga melahirkan

spektrum yang sangat luas yaitu Tauhid, kealaman, dan sosial yang kemudian

melahirkan cabang-cabang ilmu lainnya. Sidi Gazalba menyatakan bahwa Tuhan

memberikan akal kepada manusia itu menurunkan wahyu untuk dia. Dengan akal

ia membentuk pengetahuan. Wahyu (yang bersifat ghaib) tidak dapat dibuktikan

kebenarannya dengan riset, filsafatlah yang memberikan keterangan, ulasan, dan

tafsiran sehingga kebenarannya terbukti dengan pemikiran budi yang bersistem,

radikal dan umum, sampai terbentuk ilmu pengetahuan92.

Pada pandangan umum, ilmu terbagi menjadi ilmu agama, sosial dan alam.
92 Dalam Mustofa, Ibid,. hal 17
Kategori ini secara filosofis sekuler, karena agama adalah urusan akherat atau

pribadi saja, tidak merangkum seluruh ke-nyataan sosial. Sedangkan ilmu sosial

dan alam adalah urusan dunia yang terlepas dari kehidupan beragama. Padahal

alam semesta ini sebuah kesatuan yang membentuk ilmu dalam satu kesatuan

pula, dimana cabang-cabang ilmu harus dilihat sebagai hubungan yang saling

bergantung. Dalam Islam semua hal itu menjadi satu kesatuan yang tidak

terpisahkan.

C.1.3. Amal Shalih sebagai implementasi ke-Tauhidan

Implementasi ke-tauhidan adalah dengan menjalankan perintah dan

menjauhi larangan Allah SWT. Dalam prakteknya terdapat dua kategori yaitu

ibadah dan muamalah, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Abduh, Ibadah,

adalah perintah dan larangan yang sudah terperinci terbahas dalam Al-Quran dan

Al-Hadits. Sedangkan Mu’amalah, menurut Abduh tidak tegas dijelaskan dalam

Al-Quran dan Al-Hadits maka perlu peran optimal dari akal dalam men-

interpretatifkan sesuai dengan kontekstualisasi zaman93. Natsir menuliskan;

“ Adapun perintah-perintah agama itu tidak sama sifatnya. Ada


perintah yang maknanya itu tidak ma’qul dengan illatnya,
yakni yang maksud dan tujuan atau sebabnya tidak diterangkan
oleh yang mempunyai perintah (Syari). Sedangkan cara-
caranya itu sendiri (dengan nash Al-Quran dan Hadits).
Dalam ‘dien’ atau ibadah ini semua dilarang, kecuali yang
sudah di suruh!
Ada lagi perintah agama yang maknanya ma’qul dan cukup
pula keterangan- keterangan agama yang menunjukkan
illatnya. Misalnya membela anak yatim dan orang terlantar,
perintah berbakti kepada orang tua. Hal ini yang pokok
perintahnya dari agama, tetapi cara melakukannya tidak diatur
oleh agama, melainkan diserahkan kepada kita.
Zat perintahnya bersifat Dieny sedangkan cara

93 www.andrihardiansyah.blogspot.com / 23 Oktober 2008


69

mengamalkannya bersifat dun yawy”. 94

Menjalankan perintah-perintah tersebut dinamakan dengan amal shalih. Amal

shalih merupakan perbuatan yang diperintahkan Allah SWT agar manusia

mendapatkan ganjaran disisinya. Allah berfirman, “ Sesungguhnya orang-orang

yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan

menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada

kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati “ (Qs Al

Baqarah- 277).

Menurut Abdul Rohman, dalam menjalankan amal shalih dilatarbelakangi

oleh pengetahuan atau Ilmu, sebab pembuat amal shalih mengetahui perbuatan

yang dilakukannya adalah memiliki dampak positif. Namun ketika perbuatan itu

dilakukan berdampak negatif, meski ia mengetahui ini bukan berarti bisa

dikatakan sebagai amal shalih, tetapi perbuatan itu tetap cerminan dari amal

shalih. 95

Manusia diperintahkan Allah SWT untuk mempelajari alam semesta

dengan segala petunjuknya melalui akal dan budi sehingga menbentuk ilmu

pengetahuan. Dengan kepemilikannya akan ilmu pengetahuan, maka potensi

tersebut dapat didayagunakan untuk melakukan perbuatan amal shalih dengan

kesadaran penuh dari manusia itu sendiri. Inilah yang menjadi pembeda antara

manusia dengan makhluk ciptaan Allah SWT lainnya.

D. LANDASAN IDEOLOGI

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Menurut Destutt de Tracy


94 Dalam Natsir, Ibid,. hal 291
95 Dalam Rohman,Abdul, Ibid,.hal 86
pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan tentang ide. Ideologi dapat dianggap

sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai

akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide

yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota

masyarakat (definisi ideologi Marxisme).

Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah 'aqliyyah (akidah yang

sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.

Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan

hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping

hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Dari definisi di atas,

sesuatu bisa disebut ideologi jika memiliki dua syarat, yakni: Ide yang meliputi

aqidah 'aqliyyah dan penyelesaian masalah hidup. Jadi, ideologi harus unik

karena harus bisa memecahkan problematika kehidupan. Metode yang meliputi

metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan ideologi. Jadi, ideologi harus

khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah lahirnya ideologi itu. Jadi, suatu

ideologi bukan semata berupa pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan dapat

dijelmakan secara operasional dalam kehidupan. Menurut definisi kedua tersebut,

apabila sesuatu tidak memiliki dua hal di atas, maka tidak bisa disebut ideologi,

melainkan sekedar paham.96

Natsir dalam menjabarkan ideologi Islam, menuliskan;

“ seorang Islam hidup diatas dunia adalah dengan cita-cita


hendak menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya,
mencapai kejayaan didunia dan kemenangan di akhirat. Dunia
dan akhirat ini tidak dapat dipisahkan oleh seorang muslim dari
96 www.wikipedia.com, 28 Desember 2008
71

ideologinya. Ini sudah sama-sama dimaklumi.”97

Sebagai implementasi dari ke-tauhidan, sesungguhnya tidak ada sebuah perbedaan

dunia dan akhirat bagi seorang muslim. Tujuan hidup yang tergambar jelas adalah

penghambaan total kepada sang Khalik Allah SWT. Islam bukan hanya

mengajarkan ritual ibadah, namun juga menjadi cara pandang tentang kehidupan

serta aturan-aturan didalamnya.

Dalam menjalankan aturan-aturan dunia, Islam mengajarkan bahwa

aturan-aturan itu dilaksanakan oleh ahlinya. Natsir berpandangan tentang hal

diatas dengan menyodorkan sebuah hadits yang berbunyi;

“Apabila satu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya,


tunggulah saat kerubuhannya” (H.R. Buchari)98

Berdasarkan hadits diatas, Islam tidak menyepakati dalam menjalankan aturan

dunia berdasarkan formalistik belaka. Akan tetapi Islam memberikan sebuah

kewenangan bagi seseorang yang memiliki keahlian di suatu bidang untuk

menjalankan tugas sesuai dengan kemampuannya. Dalam permasalahan

kepemimpinan, Islam mewajibkan agar seorang pemimpin adalah seseorang yang

taat dan tunduk atas perintah-perintah Allah. Natsir berpendapat bahwa penting

dan hati-hatinya umat Islam dalam menentukan seorang pemimpin. Dalam sebuah

ayat Al Quran dikatakan bahwa;

“Sesungguhnya tidak ada yang berhak menjadi pemimpin


kamu, melainkan Allah dan Rasulnya dan mereka yang
beriman, yang mendirikan Shalat, dan membayarkan zakat.
Mereka itu tunduk (taat) kepada perintah-perintah Allah” (QS
Al-Maidah:55) 99

97 Dalam Natsir,Ibid,. hal 532


98 Dalam Natsir,Ibid,. hal 536
99 Dalam Natsir, Loc.Cit
Berdasarkan pandangan diatas, saya berpendapat bahwa pemikiran Natsir tentang

Islam, merupakan pemaknaan dari kekuatan keimanan seorang hamba kepada

Tuhannya. Bagian yang pokok dari pemikiran Natsir, adalah menyambungkan

nilai yang bersifat transenden dengan nilai humanisme dan menjadikannya tidak

pernah lekang oleh zaman. Oleh karena itu Islam bukan hanya menjadi sekedar

agama ritulitas, namun menjadi ideologi yang bersifat universal.

E. RELASI ISLAM DAN NEGARA

Relasi antara agama dan negara telah menjadi perdebatan panjang dalam

Ilmu Politik. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa persinggungan agama

dan negara berlangsung pasang surut. Untuk mengupas relasi agama dan negara,

pertama kita akan melihat definisi tentang negara. Aristoteles berpendapat bahwa

negara adalalah suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu100. Negara

muncul karena penggabungan antara beberapa keluarga menjadi suatu kelompok

besar yang bersifat linear, dan merupakan sebuah kodrat.

Kodrat manusia membutuhkan negara adalah, karena menurut Aristoteles,

manusia adalah zooon politicon atau mahluk yang berpolitik, yang karena watak

alamiahnya tersebut negara di butuhkan sebagai instrumen untuk aktualisasi

watak alami manusia tersebut.101Aristoteles berpendapat bahwa tujuan negara

adalah kesempurnaan hidup manusia, maka dengan demikian diperlukan fungsi

yang luas bagi negara. Fungsi-fungsi ini diperlukan untuk menjamin

kesempurnaan hidup tadi102.

100 Soehino, S.H, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta) 1998, hal. 24.
101 Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama) 2001,
hal. 44.
102 Noer, Deliar, op. cit., hal 31.
73

Menurut Roger H. Soltau, negara adalah alat atau wewenang yang

mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama

masyarakat103. Menurut Ibnu Khaldun negara diperlukan karena pada kenyataanya

bahwa manusia makhluk yang hidup berkelompok dan saling membutuhkan. Hal

ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa

aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antar sesama manusia untuk

membentuk organisasi kemasyarakatan atau yang disebut negara104.

Kedua adalah definisi agama. Terdapat dua konsepsi dalam memandang

agama105, yaitu, konsep pertama agama sebagai ajaran moralitas. Dalam konsep

ini agama dipandang tidak memiliki doktrin atau ajaran tentang penataan sosial,

seperti melalui penataan hukum atau doktrin sosial politik. Konsepsi ini lahir di

peradaban Eropa yang dibangun oleh tiga landasan yaitu, filsafat Yunani,

pemikiran hukum Romawi, serta nilai-nilai moralitas dari Kristiani. Konsep kedua

agama dengan kandungan, yaitu ajaran agama yang mengandung ajaran moralitas,

pranata sosial politik dan hukum. Hal ini terlihat dalam sejarah peradaban Islam.

Islam dipandang memiliki tiga sistem yaitu, keimanan, ajaran moralitas, dan

hukum atau syariat. Dua konsepsi diatas akan berimplikasi kepada perbedaan

paradigma dalam melihat hubungan agama dan negara.

Lalu bagaimanakah relasi agama dan negara menurut Natsir?

Agama Islam sebagai ideologi merupakan menivestasi nilai-nilai


103 M. Soebiantoro, M. Si, dkk, Pengantar Ilmu Politik, (Purwokerto: Unsoed Press) 2004, hal
38.
104 Satori, Akhmad, Dkk, Sketsa Pemikiran Politik Islam, (Yogyakarta: Politeia Press) 2007, hal
122.
105 Zamharir, Muhammad H, Agama dan Negara; Analisis Kritis Pemikiran Nurcholis Madjid
(Jakarta:Raja Grafindo Persada) 2004, hal 74.
ketuhanan di ranah kehidupan duniawi. Islam mempunyai aturan-aturan yang

bersifat menyeluruh dan tidak lekang oleh ruang dan waktu. Konsepsi diatas

menjadi sebuah landasan bagi Natsir memandang relasi antara Islam dan negara.

Natsir mengungkapkan bahwa;

“ jikalau membicarakan urusan agama dan negara ini ialah,


bahwa dalam pengertian Islam yang dinamakan ‘agama’ itu,
bukanlah semata-mata yang disebut dengan ‘peribadatan’
dalam istilah sehari-hari itu saja seperti salat dan puasa itu,
akan tetapi yang dinamakan ‘agama’ menurut pengertian Islam
adalah meliputi kaedah-kaedah, hudud-hudud(batas-batas)
dalam muamalah(pergaulan) dalam masyarakat, menurut garis-
garis yang sudah ditetapkan dalam Islam“.106

Pendangan Natsir diatas, merupakan pemahaman Natsir tentang Islam sebagai

cara pandang hidup. Berdasarkan cara pandang tersebut diaktualisasikan dalam

bentuk aturan-aturan yang hendak dijalankan demi terwujudnya kemenangan di

akhirat dan kejayaan di dunia. Aturan-aturan yang berlandaskan nilai-nilai Islam

dijalankan dalam negara. Menurut Natsir, Indonesia yang mayoritas penduduknya

beragama Islam haruslah berlandaskan Islam, karena nilai-nilai Islam tidak

bertentangan dengan nilai sosial yang ada di masyarakat Indonesia. Seperti yang

dikatakan oleh Natsir dalam pidatonya di sidang kontituante 1957;

“Nyatalah bagi kita bahwa negara itu harus memiliki akar yang
tertanam kuat dalam masyarakat. Oleh karena itu dasar negara
pun harus suatu paham yang hidup, yang dijalankan sehari-
hari, yang jelas dan dapat dipahami. Pendek kata, yang
menyusun hidup sehari-hari bagi rakyat, baik secara
perorangan maupun secara kolektif”.107

Pandangan Natsir tentang pentingnya Islam dijadikan dasar negara Indonesia,

106 Dalam Natsir, Ibid,. hal 533


107 Dalam Natsir, Muahammad, Islam Sebagai Dasar Negara,(Jakarta:Media Dakwah),2001, hal
24
75

bukan hanya dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi

juga dikarenakan Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin memiliki nilai-nilai

yang bersifat universal dan sempurna.

Dalam pemikiran Natsir, bahwa penerapan nilai-nilai Islam ke dalam

sebuah negara modern ialah sesuatu yang realistis. Nilai-nilai Islam harus dapat

dikompromikan dengan kondisi dunia modern serta problem-problem yang

dihadapi bangsa Indonesia. Natsir menuliskan;

“ Persatuan agama dengan negara itu ringkasnya: bagi kita


kaum muslimin, negara bukanlah suatu badan yang tersendiri
menjadi tujuan. Dan dengan persatuan agama dengan negara
kita maksudkan, bukanlah agama itu cukup sekedar
dimasukkan saja disana sini kepada negara itu. Bukan begitu!”

“ Negara bagi kita bukanlah sebuah tujuan, tetapi alat. Urusan


kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu
bagian yang tak dapat dipisahkan, satu ‘intergreerend deel’ dari
Islam. Yang menjadi tujuan ialah: Kesempurnaan berlakunya
undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan
perikehidupan manusia sendiri, (sebagai individu), ataupun
sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan
kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan
dengan kehidupan kelak di Alam baka.”108

Seperti yang telah disinggung di bab sebelumnya bahwa dalam Islam

terdapat perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara. Hal ini terjadi

karena perbedaan penafsiran terhadap teks Al-Quran dan Al-Hadits. Perbedaan

penafsiran ini dimungkinkan karena sifat Islam yang multi-interpretatif. Islam

memiliki prinsip-prinsip yang tetap dalam nilai serta ibadah namun dalam hal

muamalah memiliki kontesktualisasi yang memungkinkan adanya perbedaan

penafsiran dalam setiap zamannya. Karena itu tidak mengherankan terdapat

108 Dalam Natsir,Ibid,. hal 540


perdebatan panjang dalam hal menafsirkan hubungan antara agama dan negara.

Meskipun terjadi perdebatan tersebut, kaum muslimin meyakini bahwa Islam

merupakan agama yang sempurna. Kaum muslimin percaya akan sifat Islam yang

holistik, bukan hanya mengurusi masalah ruhani namun juga duniawi.

Dalam perdebatan penafsiran hubungan antara agama dan negara, Natsir

menolak jika ada pendapat yang menyatakan bahwa pemerintahan yang

berlandaskan Islam ialah negara Teokrasi. Natsir menuliskan;

“ Apakah sekarang negara yang berlandaskan Islam seperti itu


merupakan satu negara teokrasi?
Teokrasi adalah satu system kenegaraan dimana pemerintah
dikuasai oleh satu kependetaan yang mempunyai system
hirarkhi (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu
sebagai wakil tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal
system semacam itu. “109

Pemikiran Natsir tentang relasi agama dan negara masuk dalam kategori

paradigma simbiosis-mutualistik, dalam paradigma ini diartikan bahwa antara

agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Menurut

pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini dapat terselenggara

jika terdapat lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara tidak dapat

terlepas dari agama, sebab tanpa agama akan terjadi kekacauan dan amoral dalam

beragama110.

Pemikiran Natsir dapat juga dikatakan masuk ke dalam kategori

komplementaritas yaitu adanya hubungan agama dan negara sebagai saling

melengkapi satu sama lain. Hal ini dapat ditempuh melalui jalur konstitusional

109 Dalam Santosa.Kholid(Ed), Mohammad Natsir: Islam sebagai dasar negara(Pidato di depan
Majelis Konstituante 1957-1959),(Bandung:Sega Arsy), 2004, hal 61
110 Dalam Satori, Akhmad, Dkk, Ibid,. hal 233-235.
77

oleh karena itu dapat menentukan kebijakan-kebijakan serta hukum-hukum negara

yang bersumber nilai-nilai agama. Dalam pandangan ini agama tidaklah

menginginkan sebuah bentuk kelembagaan negara yang formal, namun yang perlu

dipahami terdapat nilai-nilai agama yang menjadi dasar semangat kebijakan

maupun produk hukum negara111. Mengenai hal ini Natsir menuliskan;

“ Hanyalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW ialah


beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu
menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah yang
sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang
berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan
masyarakat, untuk kesentosaan perseorangan dan kesentosaan
umum.
Dalam pada itu, apakah yang menjadi kepala pemerintahan
memakai title chalifah atau tidak bukanlah urusan yang utama.
Title chalifah bukan menjadi syarat yang tidak boleh tidak
dalam pemerintahan Islam, bukan menjadi satu condition sine
que non. Cuma yang penting asal saja yang menjadi kepala
yang diberi kekuasaan itu sebagai ulil amri kaum muslimin,
sanggup bertindak dan peraturan-peraturan Islam berjalan
dengan semestinya dalam susunan kenegaraan, baik dalam
kaedah maupun dalam praktek.”112

Islam memiliki kandungan nilai-nilai yang bersifat universal. Islam

mengajarkan tujuan hidup agar mendapatkan kejayaan dunia dan kemenangan di

akhirat. Menjalankan nilai-nilai Islam merupakan sebuah kewajiban bagi seorang

muslim. Kewajiban tersebut bukan hanya bersifat vertikal (transenden) melainkan

juga horizontal (sosial). Dalam ranah horizontal Islam memberikan sebuah aturan-

aturan dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Aturan tersebut dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang dalam bentuk

negara. Saya berpendapat bahwa pemikiran Natsir dalam relasi agama dan negara,

111 Dalam Zamharir, Muhammad H,Ibid,. hal 77-84.


112Dalam Natsir,Ibid ,.hal 541
merupakan pemikiran yang modernis pada saat itu. Pemikiran Natsir tidak bersifat

formalistik dengan hanya melihat bentuk (form), tetapi lebih kepada substansi

nilai-nilai yang dapat ditegakkan dalam bentuk negara modern.

F. RELASI ISLAM DAN DEMOKRASI

Pemikiran Natsir tentang relasi Islam dan negara, menjadi dasar untuk

melihat pandangan Natsir tentang relasi Islam dengan demokrasi. Menurut Natsir,

nilai-nilai Islam dapat diformulasikan ke dalam bentuk ideologi sehingga dapat

menjadi aturan-aturan negara. Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam tidak

bertentangan dengan demokrasi sebagai bentuk sistem pemerintahan. Demokrasi

merupakan sistem pemerintahan yang mengatur kekuasaan atau kedaulatan

rakyat.

Natsir berpendapat Islam itu bersifat demokratis dengan arti bahwa Islam

itu anti istibdad, anti absolutism, anti sewenang-wenang. Akan tetapi tidak berarti,

bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan

musyawarat majelis syura. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan

dipermusyawaratkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi

pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu,

apakah perlu pembasmian minuman arak, pencabulan, khurafat, dan kemusyrikan

atau tidak dan sebagainya. Ini bukan hak musyawarat parlemen. Adapun yang

perlu diperbincangkan diparlemen ialah cara-caranya untuk menjalankan semua

hukum itu.113

Menurut Natsir, tidak semua hal dapat meminta persetujuan dari parlemen.

Nilai yang bersifat sudah tetap tidak dapat diganti dengan persetujuan parlemen.
113 Dalam Natsir,Ibid,. hal 551
79

Sedangkan parlemen hanya mengatur, tata cara mengatur aturan-aturan dalam

menjalankan nilai tersebut. Demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi ala barat,

Natsir menuliskan;

“ Kita akui demokrasi, baik! Akan tetapi system kenegaraan


Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman
instelling-instelling demokrasi. Perjalanan demokrasi dari abad
ke abad telah memperlihatkan beberapa sifat yang baik. Akan
tetapi ia tidak pula sunyi dari pelbagai sifat-sifat yang
berbahaya.”114

Natsir melihat dalam kesejarahan penerapan demokrasi di barat terjadi

pasang surut. Demokrasi dapat berjalan dengan baik jika akar nilai yang

dijalankan sesuai dengan nilai sosial masyarakat setempat dan orang-orang yang

menjalankannya konsisten dengan nilai dan sistem tersebut. Oleh karena itu Natsir

melihat bahwa Islam dan demokrasi bagaikan sintesa. Namun bukan berarti Islam

diposisikan sama dengan demokrasi. Karena nilai-nilai demokrasi merupakan

bagian dari nilai-nilai yang ada dalam Islam. Dalam hal ini Natsir menuliskan;

“ boleh jadi, kalau boleh dipandang sebagai sintesa, maka


Islam adalah satu sintesa yang cukup memberikan keluasan
untuk perjalanan evolusi dalam hal-hal yang memang mesti
ber-evolusi dan bersifat radikal dalam bidang-bidang yang
mesti radikal, akan tetapi dalam pada itu ia mempunyai pula
beberapa anasir-anasir, beberapa rukun-rukun yang bersifat
ketuhanan yang kekal dan tak berubah-ubah, untuk jadi sauh
atau jangkar, yang akan memperlindunginya dari pada hanyut
terapung-apung, dan terdampar kesana-sini, dibawa oleh alun
dan aliran zaman.”115

Sintesa antara Islam dan demokrasi menurut Natsir disebut dengan

Theistik Demokrasi. Pandangan Natsir tentang theistik demokrasi dibangun

114 Dalam Natsir, Ibid,. hal 552


115 Dalam Natsir, Loc.Cit
berdasarkan nilai-nilai Islam yang memiliki kesamaan dengan nilai dari

demokrasi.

Nilai-nilai tersebut adalah, Tolong-menolong, seperti yang dikatakan

dalam Al-Quran (Surat Al-Maaidah: 2),“Bertolong-tolonglah kamu dalam

kebajikan dan dalam berbakti kepada Tuhan”. Maka dalam hal ini Islam dengan

sendirinya tidak bertentangan dengan nilai demokrasi serta nilai masyarakat

Indonesia.

Musyawarah, adalah satu ketentuan dalam Islam yang mengatur urusan

orang banyak, penguasa harus memperoleh keridhoan daripada orang yang

diaturnya dan harus memusyawarahkan segala sesuatunya mengenai kehidupan

dan kepentingan orang banyak.

Mencintai tanah air, adalah fitrah manusia. Sebagaimana dikatakan dalam

Al-Quran (Surat Al-Hujurat:13)” kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku, agar kamu mengenal yang menimbulkan harga menghargai,

memberi dan menerima serta tolong-menolong.” Ayat ini menegaskan sikap

adanya pengakuan kebangsaan dan tidak menghilangkan kesukuaan. Namun

Islam juga melarang perasaan berlebih terhadap kebangsaan, yang akhirnya

menyimpang akan cinta kebangsaan menjadi kecongkakan dan kesombongan

bangsa, chauvinisme dan rasialisme. Oleh karena itu satu bangsa merasa lebih

tinggi dari bangsa-bangsa lain. Padahal dalam Islam pada hakikatnya kemuliaan

itu dilihat dari ketakwaan dan amal kebaikanya.

Mencintai kemerdekaan, adalah nilai yang mengandung bahwa

membangkitkan serta mengobarkan nilai itu dimana-mana. Seandainya, ada satu


81

bangsa yang karena penjajahan mati jiwanya, maka Islam hadir untuk

membangkitkan hal tersebut untuk melakukan perlawanan dari segala bentuk

penjajahan.

Membela yang lemah (mustadh’afin), Nilai ini merupakan yang utama

dalam Islam. Islam membangkitkan keinginan yang kuat untuk membela kaum

lemah dalam segala bentuk, baik dalam bentuk material, fisik, maupun spiritual.

Tidak mementingkan diri sendiri dan kesediaan hidup dan memberi

kehidupan, Nilai ini dipelihara dan dihidup-suburkan agar semua lapisan

masyarakat dapat sama-sama merasakan kemakmuran hidup. Dan dimana

bertemu dengan manusia yang dipengaruhi oleh nafsu tamak dan rakus serta

hendak memperkaya diri dengan menumpuk harta. Atau bahasa lain disebut

dengan kapitalisme. Harta harus memancarkan faedah dan manfaat bagi golongan

yang tidak memilikinya. Harta dan kepemilikan tidak boleh ditumpuk sekedar

untuk memuaskan nafsu kemewahan sendiri.

Nilai toleransi antar pemeluk agama, untuk ini Islam mengatakan tidak

ada paksaan dalam agama. Islam menegaskan kemerdekaan memeluk agama,

Islam mengatakan bahwa adalah kewajiban tiap-tiap orang yang beriman supaya

mempertahankan kemerdekaan orang yang menyembah Tuhan. Keluasan dan

kebesaran jiwa yang harus dimiliki oleh tiap-tiap orang yang menganut agama

Islam sebagai pedoman hidupnya, harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari,

sebagai satu nilai yang dianggapnya suci. Pandangan Natsir diatas melandasi

sebuah konsepsi theistik demokrasi yang ditawarkannya dalam sidang kontituante

pada tahun 1957116.


116 Dalam Anshari, Endang Saefuddin (Ed), M. Natsir; Agama dan Negara dalam Perspektif
Konsep theistic demokrasi yang ditawarkan Natsir termasuk dalam kategori

model positif atau teo-demokrasi, jika kita melihat model-model relasi antara

agama dan demokrasi. Model ini menyatakan bahwa agama dan demokrasi

mempunyai kesesuaian. Menurut pandangan ini baik secara teologis maupun

secara sosiologis sangat mendukung proses demokratis politik, ekonomi, maupun

kebudayaan117.

Para ilmuwan politik berpendapat, seperti yang dikatakan oleh Ernest

Gellner menemukan bahwa dalam Islam mempunyai kesamaan unsur-unsur dasar

(family resemblences) dengan demokrasi. Robert N. Bellah menyatakan bahwa

penyelenggaraan pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad SAW di

Madinah bersifat egaliter dan partisipatif, hingga dikatakan sangat modern

dibandingkan zamannya. Gellner dan Robert N. Bellah membuat sebuah

kesimpulan bahwa doktrin dan politik Islam tentang keadilan (al-adl),

egliterianisme (al-mushawah), musyawarah (syura) terealisasikan dalam praktik

kenegaraan awal Islam.118

Menurut Abdul Rohman, konsep theistic demokrasi lebih dekat dengan

system demokrasi liberal. Namun terdapat perbedaan yang terletak pada garis

panduan yang dijadikan dasar dalam menetapkan kebijakan politik, hukum, dan

berbagai keputusan politik lainnya. Demokrasi Islam haruslah mengacu kepada

asas-asas yang telah ditetapkan Al-Quran dan As Sunnah.119

Islam sebagai ideologi merupakan ruh bagi pelaksanaan demokrasi.

Islam (Jakarta:Media Da’wah) 2001, hal 221-226


117 Dalam A. Ubaidillah dkk, loc. cit.,
118 Dalam Effendy, Bahtiar, op. cit., hal 129
119Dalam Rohman, Abdul, Ibid,. hal 150
83

Konsep theistik demokrasi merupakan hasil pemahaman dan pemikiran Natsir

yang mendalam tentang Islam serta realitas zaman, ditambah lagi dengan

pandangan luas yang akhirnya dapat menjembatani antara nilai-nilai Islam yang

bersifat universal dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahan negara.

BAB V

KESIMPULAN

Perjalanan hidup Muhammad Natsir penuh lika-liku yang menarik.


Hidupnya memberikan generasi penerusnya pelajaran yang berharga. Sebagai

orang besar, pemikirannya sedalam lautan dan hatinya seluas samudera. Banyak

para tokoh politik baik yang pro dan kontra terhadap Natsir memberikan apresiasi

yang positif terhadapnya. Indonesianist asal Amerika Serikat George Kahin

menjuluki Natsir sebagai “last giants among Indonesia’s nationalist and

revolutionary political leaders“. Julukan ini bukanlah tanpa alasan jika kita

melihat sepak terjang sosok Natsir. Sebagai salah satu tokoh revolusi Indonesia,

Natsir telah menyumbangkan banyak pemikiran bagi perubahan Indonesia dan

umat Islam di dunia.

Menurut saya, pembentukan karakter Natsir yang santun dan toleran

berawal dari budaya yang berkembang di tanah Sumatera Barat. Budaya rantau

merupakan bagian tak terpisahkan dari pembentukan wataknya, sehingga Natsir

memiliki pandangan yang terbuka akan segala perkembangan zamannya.

Pertemuannya dengan tokoh-tokoh Islam seperti A. Hassan, Agus Salim,

HOS. Tjokroaminoto, memberikan landasan awal bagi pokok pemikiran Natsir

tentang pembaharuan Islam. Natsir juga membaca buku-buku yang ditulis oleh

tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal,

memberikan ilham sendiri terhadapnya untuk berperan dalam proses perjuangan

kemerdekaan Indonesia. Polemiknya dengan Sukarno merupakan diskursus

terbaik yang pernah ada antara paham Islam dan nasionalis. Persinggungannya

dengan pemikiran Sukarno, menjadikan kedewasaan berpikir bagi seorang Natsir.

Sehingga Natsir memiliki kemapanan Ideologi Islam yang dibawanya hingga

akhir hayatnya. Sepak terjang Natsir juga tertempa dalam aktifitas keorganisasian,
85

dari muda Natsir bergelut dalam Jong Islamic Bond (JIB), kemudian dilanjutkan

di Islam yang militant dan berpandangan moderat.

Sebagai tokoh politik di masa pasca kemerdekaan, Natsir mengambil

peranan sebagai ketua umum partai Masyumi dan pernah juga menduduki jabatan

di eksekutif sebagai Menteri Penerangan dan Perdana Menteri. Dimasa pasca

kemerdekaan, menurut Fachry Ali terdapat dua tipe kelompok yang menguasai

politik nasional. Kelompok pertama solidarity makers, yaitu gabungan para

pemimpin yang bertindak sebagai jembatan antara kelompok yang berbeda tingkat

kemodernan dan evektifitas politik, sebagai penggalang massa dan manipulasi

simbol-simbol integrative. Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok

administrators, yaitu gabungan para pemimpin dengan kecakapan-kecakapan

pemerintahan, hukum, tehnik, dan bahasa asing yang dibutukan untuk

menjalankan aparatur pemerintahan yang benar-benar modern dari negara

modern.120

Natsir merupakan tokoh dari kelompok yang kedua yaitu administrators.

Gagasan Natsir adalah menciptakan kondisi kesejahteraan bagi masyarakat

Indonesia dengan pembangunan yang bertahap. Pembangunan demokrasi melaui

demokrasi parlementer dan sistem presidensil menjadi tawaran Natsir dan

Masyumi. Namun hal ini mendapat halangan dari kelompok solidarity makers

yang digawangi oleh Sukarno. Sukarno masih mempunyai imajinasi bahwasanya

pembangunan Indonesia haruslah dilakukan dengan cara-cara revolusioner. Sistem

ataupun aturan yang menghalangi revolusi Indonesia haruslah dihilangkan.

Perseteruan kedua kelompok ini meruncing ketika Sukarno mengeluarkan dekrit


120 Dalam Hakim, Lukman,Ibid,. hal 320
presiden 5 Juli 1959, yang akhirnya merubah system demokrasi parelementer

menjadi demokrasi terpimpin.

Kecintaan Natsir akan Indonesia tak pernah luntur, oleh karena itu untuk

mengimbangi kekuatan politik Sukarno serta menjaga keselamatannya maka

Natsir bersama tokoh oposisi lainnya ikut dalam PRRI, yaitu gerakan untuk

mengkoreksi pemerintahan Sukarno. Sampai akhirnya Natsir dan tokoh oposisi

lainnya ditahan oleh pemerintahan Sukarno.

Pribadi Natsir yang mempunyai komitmen kuat terhadap negara dan Islam,

tidak rela jika Indonesia dipimpin oleh kediktatoran. Karena Islam tidak mengenal

kediktatoran. Natsir merupakan seorang punggawa demokrasi dan berjalan

dengan konstitusi. Pandangan ini terbentuk oleh pemikirannya terhadap relasi

Islam dan negara serta Islam dan demokrasi.

Pemikiran Natsir tentang relasi Islam dan negara masuk dalam kategori

simbiosis-mutualistik atau komplementaris, yaitu hubungan antara Islam dan

negara saling membutuhkan. Negara membutuhkan Islam sebagai landasan nilai

untuk produk-produk hukum yang dihasilkan dari jalur konstitusional. Produk

hukum dan aturan-aturan negara bertujuan agar negara tidak mengalami

kekacauan. Pemikirannya tentang relasi Islam dan demokrasi melahirkan sintesa

antara Islam dan demokrasi yang Natsir sebut sebagai Theistik Demokrasi.

Theistik demokrasi merupakan perwujudan nilai-nilai Islam yang berada dalam

bentuk sistem modern dalam mengatur negara. Theistik demokrasi masuk dalam

kategori model positif atau disebut dengan teo-demokrasi.

Berdasarkan buah pemikiran Natsir diatas, maka dapat dikatakan bahwa


87

Natsir merupakan salah satu tokoh pembaharu Islam yang memiliki pandangan

luas. Ideologi Islam diterjemahkan dalam kontekstualisasi zamannya. Sehingga

Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin terwujud untuk kejayaan manusia di

dunia dan keselamatan di akhirat kelak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, dkk. 2001 Pendidikan Agama Islam (Purwokerto: Unsoed Press)

Al-Ghazali, Muhammad, Syariat&Akal dalm perspektif tradisi Islam,


(Jakarta:Lentera),2002
A. Ubaidillah dkk. 2000 Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat
Madani, Jakarta, IAIN Jakarta Press

Anshari, Endang Saefuddin (Ed), M. Natsir; Agama dan Negara dalam Perspektif
Islam (Jakarta:Media Da’wah) 2001

Azhari, Susiknan . 2000 “Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya Dalam Studi


Hukum Islam”dalam M. Amin Abdullah, dkk. Antologi Studi Islam, Teori
dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press), hal. 305.

Hakim, Lukman (Ed), 100 Tahun Mohammad Natsir : Berdamai Dengan Sejarah,
(Jakarta: Republika Press) 2008, hal 135.

Junaidi, Ahmad, Relasi Islam dan Negara; Pemikiran Politik Sayyid Qutbh
(Purwokerto: Skripsi Universitas Jenderal Soedirman) 2008.

Moleong,DR. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: P.T. Remaja


Rosdyakarya) 2001

Mujani, Saiful, Muslim Demokrat;Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi


Politik di Indonesia Pasca Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
2007.

Natsir,Mohammad, Pidato di Depan Sidang Majelis Konstituante untuk


Menentukan Dasar Negara RI (1957-1959), Sega Arsy, Bandung, 2004

Natsir, Capita selecta, dihimpun oleh D.P. sati Alimin; Djakarta; Bulan Bintang;
1955

Noer, Deliar, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, Bandung, 1997

Romli, Lili, ISLAM YES PARTAI ISLAM YES (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
2006

Rohman, Abdul, Tesis; Islam dan Negara (Studi Analisis tentang pemikiran
Mohammad Natsir),Program Pasca Sarjana IAIN SYARIF
HIDAYATULLAH, Jakarta, 1995,

Satori, Akhmad, Dkk, Sketsa Pemikiran Politik Islam (Yogyakarta: Politeia


Press) 2007.

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Alvabeta) 2005

Zamharir, Muhammad H, Agama dan Negara; Analisis Kritis Pemikiran


89

Nurcholis Madjid (Jakarta:Raja Grafindo Persada) 2004.

Artikel :

Sisi Nasionalis Natsir, Yudi Latif , Kompas, Rabu 16 Juli 2008

Website:

http://www.icmi.or.id, Kamis 23 Oktober 2008

http://www.wikipedia.com, Kamis 23 Oktober 2008

http://majalah.tempointeraktif.com, 23 Oktober 2008

http://demimasa2.tripod.com/ 23 Oktober 2008

www.andrihardiansyah.blogspot.com / 23 Oktober 2008

http://darul-ulum.blogspot.com/ 28 Desember 2008

http://tjokroaminoto.wordpress.com/ 28 Desember 2008

http://www.percikaniman.org/ 28 Desember 2008

Artikel KOMPAS - Sabtu, 21 Agustus 2004 / milist ppiindia/ 28 Desember 2009

You might also like