You are on page 1of 5

Budaya sebagai Perekat Nasionalisme dan Agama di Indonesia

Benny M. Chalik

Ketika membaca tulisan yang ditulis Gus Dur tentang Keterkaitan Nasionalis
dan Islam Indonesia (Seputar Indonesia, Senin 1 Oktober 2007), ada kesan bahwa
penulis menekankan adanya pertalian darah antara penulis yang pemuka agama
dengan presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai nasionalis demokrat, dan dr.
Haryadi Darmawan yang terus bereksperimen dengan nasionalisme dan agama.
Selain itu, tulisan ini akan memiliki arti sempit ketika dibaca sebagai pernyataan politik
penulis yang sarat pernyataan bahwa nasionalisme yang diyakini partai politik tertentu
akan berhadapan dengan koalisi keagamaan dan nasionalisme demokrasi lainnya di
Indonesia.
Tanpa bermaksud mencela Gus Dur yang mendudukkan pertalian darah
dengan kedua sosok negarawan tersebut, sumber genetik KH Kasan Besari Ponorogo
yang mengalir dalam tubuh ketiganya adalah bersifat genotif. Artinya, tidak ada kaitan
antara Gus Dur, Dr. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, dengan dr. Haryadi Darmawan
dalam memposisikan pemikirannya kepada demokrasi, nasionalisme, dan agama.
Hanya saja mungkin ketiganya memliki akar budaya yang diajarkan oleh KH Kasan
Besari dan tetap dijaga oleh keturunannya sebagai sikap budaya yang menghasilkan
negarawan yang berpemikiran nasionalis, berkeagamaan, dan demokrat.
Akan tetapi setelah membayangkan apa yang difikirkan oleh Gus Dur, timbul
pemikiran yang menggelitik untuk mengkaji tentang pembobot dan penciri
nasionalisme dan keagamaan, nasionalisme bangsa berkeagamaan, demokrasi dalam
nasionalisme bangsa berkeagamaan, serta pencermatan terhadap pergeseran budaya
bangsa. Dalam hal ini penulis mencoba untuk mengajak pembaca untuk menggali
kembali khasanah kearifan budaya bangsa terkait dengan nasionalisme, keagamaan,
dan demokrasi di Indonesia.

Pembobot dan Penciri Nasionalisme dan Keagamaan

Beranjak dari asumsi jika jiwa ditetapkan sebagai pancer ke lima yang menjadi
penciri yang lahir dan dibesarkan di atas tanah, air, angin, dan api dari alam nusantara
ini, maka jiwa nasionalisme kebangsaan merupakan endowment bangsa sebagai
karakter inheren yang melekat pada setiap jiwa raga bangsa Indonesia secara tidak
terpisah dengan alamnya. Selanjutnya, jiwa nasionalisme kebangsaan ini akan
diboboti oleh kepercayaan keagamaan dalam setiap detik perjalanan laku dan
sikapnya sebagai manusia Indonesia. Baru kemudian secara perlahan terbentuk
keyakinan pemikiran yang tetap dilandasi kepercayaan terhadap agama untuk
membentuk dan menjabarkan sikap demokrasi dalam setiap langkah perjalanan
hidupnya.
Dengan demikian tidak dapat dilupakan bahwa lahirnya suatu bangsa
merupakan ketentuan Yang Maha Kuasa, dimana setiap individunya akan mengenali

1
setiap titik zarah tanah airnya sebagai hak yang terjaga kebenarannya. Selanjutnya
masing-masing anak bangsa akan saling bahu membahu dalam berfikir dan bekerja
sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan. Dalam hal ini, berfikir
dan bekerja merupakan perspektif kebangsaan yang lebih tepat disebut sebagai sifat
tematik budaya bangsa, yang di dalam proses pembentukannya akan menghasilkan
cipta, rasa, karya, dan karsa.
Nasionalisme kebangsaan yang menjadi ciri yang sama dari anak bangsa inilah
yang akan mengutamakan kepentingan bangsa dalam seluruh kriteria kepentingan,
baik yang besifat absolut, komparatif, maupun kompetitif. Dengan demikian,
nasionalisme bukan merupakan milik suatu kelompok atau golongan, akan tetapi
merupakan dasar pemikiran yang mewarnai segala bentuk kepentingan-kepentingan
selanjutnya.
Sifat ekslusif dari kelompok agamis yang tumbuh subur di dalam budaya
Indonesia merupakan produk budaya bangsa yang dari sikap rasa hormat masyarakat
yang setinggi-tingginya terhadap keberadaan suatu agama tertentu. Terlebih lagi bagi
agama Islam yang mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Akan tetapi yang
perlu difahami oleh kelompok agamis bahwa budaya keagamaan hanya merupakan
pembobot budaya bangsa dan bukan sebagai penciri. Dimana bobot budaya bangsa
akan lebih ditentukan oleh bentuk dan warna dari kemampuan berfikir untuk
mendahulukan kepentingan umum dari anak bangsa yang mewujud secara kolektif di
dalam budi pekerti bangsa.
Adanya proses akulturasi dari budaya agama dengan budaya masyarakat
setempat sepenuhnya merupakan budaya bangsa yang bersumber pada budaya
agama. Artinya telah terjadi perubahan budaya dari budaya agama ke dalam budaya
bangsa, dimana setiap anggota masyarakat yang beragama apapun dapat
menggunakannya sebagai dasar dalam membentuk hubungan antar individu dan
kelompok.
Penyalahartian nasionalisme dan keagamaan di dalam keanekaragaman
budaya dan adat istiadat di nusantara dapat mengkotak-kotakan masyarakat dalam
pemikiran sempit yang mengarah kepada timbulnya gerakan separatis, pecahnya
kerukunan beragama, anarkisme, superioritas partai, sampai kepada perbedaan cara
pandang negara dan rakyat terhadap ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan.
Keadaan ini sama sekali tidak mencerminkan performa Negara Pancasila dengan
struktur kelembagaan yang bersifat nasionalis dan agamis. Bahkan jauh dari
pemahaman terhadap keterkaitan nasionalisme dan agama di Indonesia dalam
bentuk nasionalisme bangsa yang beragama. Tidak terbayangkan betapa indahnya
perkembangan budaya bangsa yang mampu meletakkan kepercayaan setiap individu
di dalam dirinya dan keluarganya sendiri dan sekaligus memfungsikan budaya sebagai
tatacara dalam berkomunikasi antarindividu dan kelompok sebagai suatu bangsa.

2
Nasionalisme Bangsa yang Berkeagamaan

Apabila dikaji dari perspektif keyakinan dan kepercayaan masyarakat,


keyakinan akan melahirkan perilaku nasionalisme yang kuat, sedangkan kepercayaan
akan membentuk perilaku masyarakat yang agamis. Keyakinan nasionalisme
kebangsaan akan lahir dari pemikiran rasional dan emosi kerakyatan secara empiris
baik lokal, regional, dan nasional terhadap perkembangan pembangunan
kesejahteraan berkeadilan secara berkelanjutan. Di sisi lain, kepercayaan akan lahir di
luar pemikiran rasional dan emosi kerakyatan. Baru kemudian keduanya berinteraksi
dalam diri setiap warganegara yang bobotnya ditentukan oleh seberapa besar
keyakinan dan kepercayaan yang mewarnainya.
Secara historis, budaya nusantara yang tumbuh kuat di dalam jiwa masyarakat
Indonesia berpengaruh terhadap tatacara pelaksanaan ritual suatu keagamaan, seperti
yang terlihat pada perkembangan budaya agama Hindu Kaharingan, Hindu Bali,
Budha, dan Islam yang ada saat ini. Meskipun struktur keagamaan tersebut tidak
berubah, akan tetapi terjadi perubahan dalam mengekspresikan kepercayaan terhadap
agamanya sesuai dengan budaya yang ada.
Perubahan tersebut tidak terlepas dari peranan raja-raja yang ada di nusantara.
Tingginya keyakinan rakyat terhadap raja sebagai utusan tuhan, menjadikan agama
raja sebagai agama negara. Hal ini terlihat jelas dari cerita Sabdo Palon yang menolak
perubahan agama yang dianut raja Brawijaya sebagai agama negara, yang dikenal
melalui sumpahnya bahwa 500 tahun kemudian agama raja bukan lagi sebagai agama
negara. Sehingga pada saat dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia, banyak
para ahli ilmu kait-mengkait menyimpulkan karena adanya sumpah tersebut
mengakibatkan Negara Indonesia yang presidennya beragama Islam tidak menjadikan
agama Islam sebagai agama negara.
Menurut hemat saya, pada saat proklamasi kemerdekaan terjadi interaksi yang
kuat antara budaya nusantara yang mengakui eksistensi tuhan dari setiap agama dan
tingginya rasa saling hormat menghormati diantara masing-masing agama sehingga
memilih bentuk negara yang berkeagamaan dan bukan negara yang didasarkan pada
agama tertentu. Artinya, kearifan budaya bangsa meletakkan, merekatkan, dan
membungkus nasionalisme dengan keagamaan yang ada di bumi nusantara dalam
satu flatform yang sama, yaitu nasionalisme bangsa yang berkeagamaan.
Tidak terbayangkan oleh Sabdo Palon dan wali-wali di jamannya, bahwa
kepercayaan terhadap agama yang dipeluk oleh seorang warga negara akan
menjadikan dirinya sebagai raja dan sekaligus rakyat yang memeluk suatu agama. Hal
ini sesuai dengan perubahan bentuk negara yang semula berbentuk kerajaan menjadi
republik, dimana kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat. Meskipun demikian,
tidaklah terjadi kekakuan budaya dalam mengadopsi perubahan tersebut. Perubahan
bentuk negara yang berarti berubahnya hukum negara hanya menetapkan
kepercayaan agama sepenuhnya milik setiap individu, sedangkan budaya berfungsi

3
menjembatani hubungan dan interaksi di dalam masyarakat dengan segala
keterbatasan dan keragamannya.
Beranjak dari pemikiran tersebut, nasionalisme maupun agama masih
sepenuhnya milik dan masalah rakyat dan bangsa. Sampai saat ini masih sedikit
sekali campur tangan pemerintah untuk memfasilitasi dalam menumbuh-kembangkan
nasionalisme bangsa yang berkeagamaan. Dalam hal ini perlu diingat bahwa
nasionalisme manusia Indonesia tumbuh dari pribadi-pribadi patuh dan taat terhadap
agama, serta memiliki sikap budaya yang menjunjung nilai-nilai luhur bangsa dalam
perikehidupan berbangsa dan bernegara sebagai bangsa yang bermartabat bersama-
sama bangsa lainnya di dunia.

Demokrasi dalam Nasionalisme Bangsa Berkeagamaan

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa nasionalisme dan keagamaan
akan memposisikan kepercayaan agama sepenuhnya milik setiap individu, sedangkan
budaya berfungsi menjembatani hubungan dan interaksi di dalam masyarakat dengan
segala keterbatasan dan keragamannya. Lantas dimana dan sistem demokrasi apa
yang akan diletakkan dalam nasionalisme bangsa yang berkeagamaan ?
Dengan tetap didasari nasionalisme bangsa berkeagamaan yang sama, setiap
individu yang memiliki kepentingan terhadap pencapaian tujuan dan penetapan arah
perkembangan bangsa akan bergabung dan secara kolektif akan tumbuh membesar
sebagai kekuatan dalam memperjuangkan visi dan misi yang sepenuhnya didasarkan
pada pemenuhan kepentingan rakyat. Terciptanya kelompok dengan kekuatan rakyat
yang besar yang dicirikan oleh adanya sudut pandang yang berbeda dalam proses
pencapaian tujuan bernegara mengakibatkan terbentuknya kutub-kutub kekuatan
rakyat yang berlomba untuk menawarkan dan mendahulukan sudut pandang masing
masing.
Terbentuknya kutub-kutub kekuatan rakyat merupakan hal yang sah-sah saja
sejauhmana tidak melepaskan atribut nasionalisme bangsa berkeagamaan yang
menjadi ciri yang sama sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian tidak ada
salahnya bagi sebuah kutub kekuatan untuk menekankan nasionalisme atau
keagamaan dan atau sekaligus kombinasi keduanya dalam menetapkan dasar
pemikiran bagi pembentukan upaya pencapaian tujuan bernegara.
Berdasarkan hal tersebut, demokrasi Indonesia dapat dikatakan sebagai sistem
yang mencakup tatacara dalam penetapan suatu kekuatan rakyat dalam pembentukan
upaya pencapaian tujuan bernegara. Dengan demikian sering disebutkan bahwa
kekuatan rakyat akan ditentukan oleh jumlah individu yang tergabung di dalamnya
sehingga mampu merepresentasikan kekuatan kepentingan terhadap sutau cara
pencapaian tujuan pembangunan negara. Secara sederhana, dengan semakin besar
jumlah individu yang tergabung di dalamnya, maka kutub kekuatan rakyat tersebut
akan tampil sebagai pemenang dan selanjutnya berwenang menentukan cara
pencapaian tujuan bernegara.

4
Bagi masyarakat yang sudah modern, tidak ada hal luar biasanya dari
penerapan sistem demokrasi di negara manapun. Demokrasi hanya merupakan cara
mengatur setiap kekuatan untuk mengekspresikan kepentingan rakyat yang diwakilinya
tanpa mencederai pilar-pilar ipoleksosbudhankam. Masalahnya, dalam pelaksanaan
demokrasi hanya akan terjadi perubahan sudut pandang tatacara pencapaian tujuan
negara dari suatu kutub kekuatan rakyat kepada kutub kekuatan rakyat lainnya.
Bahkan sering dilupakan oleh manusia Indonesia bahwa kemenangan kutub kekuatan
rakyat yang manapun akan memulai penyelenggaraan negara berawal dari
nasionalisme kebangsaan berkeagamaan yang sama dan dan bermuara pada
pencapaian tujuan pembangunan demi setinggi tingginya kesejahteraan rakyat yang
sama juga.

Penutup: Pencermatan terhadap Pergeseran Budaya Bangsa

Sampai di titik ini, yang seharusnya menjadi masalah adalah apabila terjadi
pergeseran budaya bangsa dari kearifan budaya nasionalisme berkeagamaan kepada
budaya ekonomi global. Hal ini yang menjadi kekhawatiran KH Kasan Besari yang
pemahaman dan pengajarannya disampaikan oleh Ronggowarsito dengan istilah
zaman edan yang mengingatkan kepada setiap manusia untuk selalu ingat dan
waspada terhadap perubahan zaman. Dalam konteks pergeseran budaya, kata ingat
diartikan sebagai upaya menjaga diri dari pengaruh buruk yang bersumber dari dalam
diri manusia Indonesia, sedangkan waspada merupakan pengaruh buruk dari luar.
Kembali kepada salah satu point yang telah diuraikan terdahulu bahwa
kekuatan budaya nusantara mampu mengubah cara mengekspresikan kepercayaan
terhadap agamanya, pada satu-dua dekade terakhir ini cenderung bergeser kepada
budaya ekonomi global. Artinya, kearifan budaya nusantara yang semula mampu
mengubah cara mengekspresikan kepercayaan terhadap agama, pada saat ini telah
mulai ikut berubah ke dalam budaya ekonomi global dan tidak mampu mengubah cara
mengekspresikan budaya ekonomi ke dalam budayanya.
Secara telak dapat ditarik kesimpulan bahwa kita hanya disibukkan oleh
adanya perbedaan flatform nasionalisme atau keagamaan yang menjadi pembobot
dan penciri dari suatu kutub kekuatan rakyat, dan tidak mencermati adanya pencuatan
kepentingan ekonomi global melalui propaganda-propaganda yang merubuhkan pilar-
pilar nasionalisme dan keagamaan itu sendiri dan bermuara kepada pergeseran
budaya bangsa.

Jombang, 5 Oktober 2007

You might also like