You are on page 1of 14

BAB III REMEDIASI TANAH

3.1 TUJUAN Tujuan remediasi sedimen tanah atau lumpur adalah untuk : 1. Mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan 2. Mengurangi sumber kontaminasi air tanah atau air permukaan 3. Mematuhi peraturan sebelum dibuang ke landfill 3.2. ALTERNATIF REMEDIASI 3.2.1. PENGERUKAN TANAH DAN PENANGANAN BAHAN A. PENGERUKAN Pengerukan (ekskavasi) tanah dapat diilustrasikan pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Pengerukan Tanah Pengerukan tanah terdiri atas beberapa tahapan, yaitu : 1. Perencanaan Rencana pengerukan limbah tanah untuk limbah B-3 ,meliputi; pengeringan, pengerukan (apabila tanah jenuh), pengambilan sampel, dan pemenuhan kemauan dan kesehatan (OSHA) 2. Langkah pengerukan : Menentukan volume dan area yang dikeruk berdasarkan pada data yang tersedia dan tingkat pembersihan yang ditentukan Jika tanah telah terkontaminasi secara lanjut, maka lapisan di bawah permukaan tanah juga harus dikeruk, di mana peraturan pemerintah mengharuskan adanya perlindungan jika bagian dinding berada dalam kondisi share to collapse, maka sisi tersebut harus disambung atau slope sisi harus dibuat dengan sudut yang aman untuk meminimalkan volume tanah bersih yang harus dikeruk

3.

Untuk tanah dengan kondisi jenuh, maka diambil langkah pengerukan dengan pertimbangan sebagai berikut : Pengerukan tanah seringkali melebihi level terendah air musiman untuk mengurangi volume. Pengerukan maksimal tanah tak jenuh pada suatu bagian bertujuan untuk mengurangi LNAPL residual melalui fluktuasi permukaan air, apabila remediasi terjadi pada level musiman air tanah terendah Pada beberapa kasus, pengerukan akan bergerak lebih jauh menuju ke aquifer untuk mengurangi residu LNAPL Peraturan pengambilan sampel mensyaratkan perlu adanya beberapa titik sampel pengrukan. Titik sampel dikumpulkan dari dasar dan bagian dinding pengerukan untuk keperluan analisa penentuan ada tidaknya sisa tanah yang mendekati tingkat pembersihan. Sampling dilakukan pada periodeperiode berikut; post excavation (pasca pengerukan) confirmation sampling progresss Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah : a. Jalur kegunaan sub surface dan proses perpipaan selalu melintasi area yang harus dikeruk pada industri atau bagian perumahan. Perlengkapan pengerukan harus ada di sekitar jalur ini, di mana pada beberapa kasus harus direlokasi untuk beberapa tipe perlengkapan. b. Pengerukan di atas jalur listrik bawah tanah akan memerlukan perlengkapan tambahan. c. Kontaminasi tanah seringkali ditemukan melebihi letak pondasi gedung. Pengerukan mendekati lokasi gedung memerlukan pendalaman untuk mencegah kerusakan pada gedung. d. Peraturan Pemerintah membatasi pengerukan pada penggunaan tanah kembali hasil olahan wetland dengan tujuan untuk meminimalkan kerusakan area dan di samping itu juga akan memerlukan proses perijinan yang lebih rumit. e. Gangguan lingkungan, dapat berupa; kebisingan, debu, dsb. f. Pengoperasian unit harus memiliki jaminan kemanan terhadap kesehatan

4.

5.

dan kemanan pekerja. g. Jenis perlengkapan yang diperlukan akan tergantung dari ; letak pengerukan, luas areal pengerukan dan ukuran volume pengerukan.

B. PENANGANAN BAHAN Tanah yang telah dikeruk harus diolah terlebih dahulu untuk memudahkan pengangkutan dan pengolahan. Bahan penyerap ditambahkan dengan tujuan untuk mengurangi kelebihan air atau, dapat pula diatur ukurannya jika terbentur pada alasan keterbatasan perlengkapan pengolahan. Tanah yang akan dibuang ke luar lokasi harus bebas cairan, di mana untuk keperluan ini dilakukan paint filter test pada bahan-bahan penyerap, seperti; kayu, debu, dsb. Perbandingan komposisi antara bahan penyerap dengan sampah berkisar antara : 1 2,5 : 1. 4.2.2. TEKNOLOGI IMMOBILISASI 1. LANDFILLING Keuntungan yang dapat diperoleh jika menggunakan teknologi immobilisasi landfiling adalah efektifitas dan efisiensi yang tinggi sehingga dapat menekan biaya pengolahan. Landfill memerlukan penutup yang dirancang dengan tujuan untuk : - Memberikan panjang minimal dari perpindahan cairan menuju ke landfill tertutup - Minimalisasi perawatan - Drainase dan minimalisasi erosi dan abrasi - Pemeliharaan integrasi penutup - Memiliki permeabilitas yang lebih kecil dari permeabilitas sistem garis dasar atau

keberadaan subsoil alami 2. CAPPING Capping adalah penutupan sampah atau tanah yang telah terkontaminasi. Capping bertujuan untuk :

Mencegah terjadinya kontak langsung dengan bahan yang terkontaminasi Meminimalisasi infiltrasi air hujan ke dalam bahan terkontaminasi sehingga

mengurangi meresapnya lindi ke air tanah

Menghilangkan kontaminasi runoff air permukaan yang dapat memiliki kontak dengan tanah terkontaminasi, sedimen atau sampah

Konstruksi capping terdiri dari : a. Bagian dasar ( bottom ) Bagian dasar capping dapat berupa geo membran dan atau tanah liat yang dipadatkan dengan permeabilitas rendah b. Bagian tengah ( middle ) Bagian ini berguna untuk melindungimlapsian permeabilitas dari pembekuan 2 lapisan ventilasi gas untuk mengalirkan gas yang dihasilkan. Bahan berpori kasar ditempatkan di antara sampah dan lapisan permeabilitas rendah yang mengalirkan gas lewat ventilasi c. Biobarrier 2 sampai dengan 3 feet cobble : ditempatkan di atas lapisan permeabilitas rendah untuk mencegah binatang merusak penutup. d. Geotextille untuk memisahkan bahan penutup yang lain.

Gambar 4.2. Konstruksi Capping

Perawatan dan Pemantauan Capping 1. Pemeriksaan rutin dilakukan untuk menentukan apakah penutup mengalami kerusakan dan untuk mengecek sistem manajemen air permukaan.

2. Analisa dan pengumpulan sampel air tanah di sumur monitoring di sekitar penutup dilakukan untuk menentukan elevasi air tanah dan mengetahui ada tidaknya kontaminan yang merembes dari sampah atau tanah. 3. Pengumpulan dan analisa emisi dari vantilasi garis untuk menentukan ada tidaknya emisi kandungan B3. 3. ASPHALT BATCHING Asphalt batching dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hot mix process dan cold mix process. Pada hot mix process, tanah dikeringkan pada suhu 300 - 600 F. Untuk

mengurangi kelembaban pengering, maka digunakan pengering berputar dalam desorpsi thermal (termasuk sistem pengontrol polusi udara) untuk mengurangi partikulat dan organik dari gas buang. Setelah pengeringan, tanah dicampur dengan aspal cair dalam kondisi panas, yang nantinya akan mengeras bila suhunya turun. Pada proses ini, ketika minyak mengkontaminasi tanah dan digregat bersih, maka akan mengering dan kandungan volatilnya akan menguap. Metode primer yang digunakan di sini yaitu vitrifikasi dan destruksi thermal. Pada vitrifikasi, setelah tanah selesai dikeringkan maka sisa hidrokarbon berat dalam tanah akan dikapsulkan dalam aspal dan campuran agregat. Pada cold mix process, digunakan agregat dan omulsi aspal dalam perlengkapan mixing yang biasa digunakan untuk operasi konstruksi. Sebagai contoh, adalah pada saat proses pencampuran semen. Emulsi aspal mengandung partikel aspal terlarut. Dalam larutan cair, agen pengemulsi digunakan untuk menjaga aspal tetap dalam larutan pencampuran dengan tanah yang mengakibatkan pecahnya emulsi, atau dengan cara memisahkannya dalam air dan fase aspal. Tetesan aspal akan melapisi partikel agregat dengan lapisan fil tipis. Apabila emulsi aspal diaplikasikan ke area paving dan padatan, air akan berada di bawah tekanan, kemudian aspal dan agregat akan mengeras menjadi beton bitumen. Pada saat pengerasan, kelembaban berada dalam level yang tinggi, suhu rendah dan dapat terjadi hujan. Batasan-batasan teknik immobilisasi dengan metode asphalt batching yaitu : 1. Sampah yang dapat diolah dengan metode ini haruslah bukan sampah B-3 yang mengadung TPH.

2. Operasionalnya memakan biaya yang cukup tingggi, dengan kapasitas pengolahan 30.000 60.000 ppm TPH. 3. 4. dapat diterima. Tanah dengan proporsi liat yang tinggi dapat menghasilkan produk asphalt batching yang diinginkan 5. 6. 7. produk. Batu atau serpihan berukuran 2 3 inch harus disaring dari tanah sebelum Periode perencanaan jangka panjang Besarnya volume tanah yang dapat diolah sangat dibatasi oleh kegunaan dilakukan asphalt batching Proses hot mix tidak dapat dilakukan pada musim dingin. Proporsi partikel halus yang tinggi dapat menghasilkan produk yang tidak

4. SOLIDIFIKASI Proses solidifikasi sampah dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : Mengganti penanganan dan karakteritik fisik limbah sebagai bahan bebas cairan yang dapat diserap Penurunan permukaan dari massa limbah yang melintas yang mana dapat terjadi perpindahan atau kehilangan kontaminan Membatasi kandungan B-3 Proses ini menghasilkan blok padat dari bahan limbah dengan integritas berstruktur tinggi di mana kontaminan tidak akan bereaksi dengan reagen terhadap matriks yang telah dipadatkan. Sebagai contoh, penambahan lime atau sulfida pelumpur logam atau presipitasi ion logam. Proses ini pada umumnya digunakan untuk mengolah buangan anorganik, terutama tanah dan lumpur yang mengandung logam. Mekanisme Pengolahan pada proses solidifikasi adalah sebagai berikut : Tanah atau lumpur dikeringkan kemudian dicampur dengan reagen sampah dan distabilisasi dengan tambahan kimia untuk mengurangi kelarutan kontaminan sebelum disolidifikasi

Berdasarkan bahan yang digunakan, solidifikasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu; solidifikasi dengan dasar semen dan solidifikasi dengan dasar silika.

Pada proses berdasarkan silika, tanah / lumpur yang dikeringkan ditambahkan dengan kapur Ca (OH)2 di mana material mengandung asam silika dan selalu mengandung tingkatan aluminium oksida yang dapat diterima, misalnya ; abu terbang, kerak, dan abu semen. Sampah logam berat juga menjadi struktur kalsium silikat dan aluminate. Partikel koloidal menyerap permukaan struktur silika. Selain itu, pada beberapa kasus, dapat ditambahkan bentonite untuk membuat lumpur reagen lebih mudah dipompakan dan menurunkan permeabilitas sampah yang diolah. Tanah liat tertentu terkadang juga ditambahkan untuk menyerap cairan dan membentuk anion atau kation spesifik.

Kelebihan dari proses solidifikasi dengan silika antara lain yaitu : 1. 2. Pengolahan abu terbang dengan kapur relatif tidak mahal Penggunaan kapur dapat menciptakan kondisi basa sehingga mengurangi

leading logam. 3. Sampah yang diolah mengandung air tetapi tidak dalam ikatan kimia dan

dimungkinkan akan kehilangan kandungan air beberapa persen setelah pengolahan 4. Proses pemanfaatan silika lebih mudah diaplikasikan terhadap sampah organik daripada semen, meskipun minyak dan lemak dapat dilapisi oleh partikel sampah dan berada dalam formasi ikatan antara kalsium silikat dan aluminium hydrat. Pada akhirnya, emulsator dan surfaktan dapat ditambahkan agar bisa bersatu dengan cairan organik sebagai residu minyak. Dosis reagen dan aditif harus ditentukan melalui bench atau pilot scale testing.

Pada proses solidifikasi dengan bahan dasar semen, diperlukan adanya pengadukan antara semen portland tipe I dan II. Bahan-bahan lain yang dapat ditambahkan antara lain yaitu : 1. Bahan silika untuk membantu proses dan mengubah kandungan logam ke dalam formasi silika gel. 2. Lempung untuk menyerap cairan dan mengikat kandungan spesifik 3. Kapur (CaO) untuk menaikkan pH dan reaksi suhu serta mengubah karakteristik

Sifat pengolahan solidifikasi dengan semen secara umum yaitu : 1. Biaya pengolahan relatif tidak mahal 2. Semen portland sendiri tidak dapat melakukan immobilisasi organik 3. Sebagian besar logam terpresipitasi sebagai hidroksida yang tidak larut atau pada pH semen 4. Asam kuat dapat merembes pada logam dan merusak semen setelah terjadi pengerasan 5. Sampah harus mengandung sedikitnya 150 mg/ kg sulfat jika digunakan portland tipe I, sedangkan untuk semen tipe II dan tipa V dapat menerima yang lebih tinggi dari sulfat. 6. Pengolahan sampah menciptakan matriks berpori / kontaminar yang tidak menciptakan ikatan kimia dapat merembes dari matriks meskipun telah ditambahkan zat aditif untuk menurunkan rembesan. 4.2.3. TEKNOLOGI DESTRUKSI Dalam teknologi destruksi, proses biologis dapat dibedakan menjadi 2, yaitu proses bioremediasi dan proses phytoremediasi. 1. Bioremediasi Bioremediasi merupakan metode pengolahan yang dirancang untuk menaikkan kemampuan degradasi jamur dan mikroba alam terhadap kontaminan organik. Mekanisme bioremediasi dapat diilustrasikan pada gambar 4.3. semen

Gambar 4.3. Mekanisme bioremediasi

Biodegradasi, dapat berlangsung dalam dalam kondisi aerobik dan anaerobik.

Sebagian besar proses bioremediasi berlangsung dalam kondisi aerobik. Pada proses aerobik, mikroorganisme memerlukan O2 sebagai akseptor elektron, di mana senyawa organik sebagai produk tengah diubah menjadi CO2, air, bahan anorganik dan biomassa disebut mineralisasi jika terjadi secara sempurna. Pada proses anaerobik, diperlukan adanya akseptor elektron seperti; nitrat, sulfat, Fe, Mn atau bahan organik lainnya. Bahan-bahan yang dapat didegradasi dengan metode ini antara lain adalah; golongan hidrokarbon (termasuk alkana dan hidrokabon aromatik ), lumpur dari industri minyak, dan bahan untuk mengolah tanah yang mengandung Poly Aromatic Hidrocarbon (PAH), senyawa-senyawa Volatile Organics Compound (VOC), benzena / toluena, dan etil benzena zylene (BTX). Poly Chlorinated Biphenyl (PCB) dengan kandungan klor yang sangat tinggi dan beberapa senyawa PAH dengan berat molekul yang sangat besar dapat mengalami proses degradasi yang lambat atau bahkan tidak dapat didegradasikan sama sekali. Berat molekul yang tinggi merupakan faktor penghambat proses biodegradasi karena kontaminan yang diserap dalam tanah seharusnya dapat larut dalam air dan pori tanah agar dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Oleh sebab itu, proses destruksi secara biologis tidak dianjurkan untuk pemulihan senyawasenyawa dengan berat molekul tinggi Pelarut terklorinasi pada umumnya terdegradasi secara anaerobik, kecuali untuk PCB yang dapat didegradasi secara aerobik dan menghasilkan CO2, H2O dan klorida yang ada dalam kometabolisme. Kometabolisme termasuk dalam golongan senyawa methan dan aromatik. Proses bioremediasi dapat dibedakan atas : land farming dan land treatment. Landfarming terutama dilakukan untuk remediasi lumpur industri minyak, di mana lumpur disebarkan secara merata dan dicangkul. Sedangkan Land treatment lebih banyak dilakukan untuk remediasi tanah yang terkontaminasi. Metabolisme tumbuhan, mikroba dan kontaminan memerlukan : - Fosfor dan Nitrogen ( rasio tipikal C : N : P = 20 : 10 : 1) - pH = 5,5 8,5 - Mikroorganisme aerobik memerlukan > 0,2 mg / L DO dengan jarak minimal yang terisi udara sama dengan 10%

- Mikroorganism eanaerobik memerlukan 0,2 0,2 mg / L DO dan rans Oksigen < 1% air filled pore space - Kandungan air dalam antara 25 % - 85 % dari kapasitas tanah. Optimasi biodegradasi maksimal terjadi pada saat kelembaban 60 % - 80 % dari kapasitas lapisan yang ada.

Faktor faktor yang membatasi laju biodegradasi antara lain : Suhu Toksisitas kontaminan terkonsentrasi Batas transpor massa

Biodegradasi dapat terjadi dalam lima proses : 1. 2. Biodegradasi jumlah transformasi kontaminan Tanah yang terkontaminasi senyawa PAH didegradasi oleh sinar

UltraViolet 3. 4. Senyawa dengan berat molekul yang lebih rendah dapat menguap Bahan-bahan tertentu, termasuk pestisida, didegradasi oleh proses

hidrolisa 5. Humifikasi, reaksi polimerisasi dapat terjadi ketika beberapa molekul

termasuk senyawa PAH ditambahkan bahan humus dalam tanah. A. Land Treatment Berikut ini adalah kriteria desain yang perlu diperhatikan dalam perencanaan proses biodegradasi jenis land treatment :

Kedalaman tanah Kedalaman tanah berkisar antara 1 sampai dengan 3 feet sehingga memungkinkan pengadukan untuk mencampur nutrien dalam tanah untuk memastikan terjadinya kontak antara mikroorganisme dengan kontaminan Pengadukan tidak boleh dilakukan dalam kondisi yang terlalu basah karena

dikhawatirkan akan merusak struktur tanah dan atau mengurangi aktifitas mikroorganisme. Disampin itu, pengadukan yang berlebihan justru dapat memmadatkan tanah di bawah zona pengadukan.

Kontrol Kelembaban Kelembaban harus berada pada kisaran 60% - 80% dari kapasitas total tanah. Apabila tanah kering maka aktifitas tanah akan berhenti. Jika tanah berada dalam kondisi jenuh lebih dari 1 jam, makatransfer O2 terbatas dan aktifitas mikroorganisme aka melambat.

Apabila tanah terkontaminasi lebih dari batas kemampuan peralatan pengadukan, maka dapat digunakan proses Bioventing. Bioventing adalah proses penyuntikan dan ekstraksi udara menuju daerah vadose untuk menyediakan O2 yang diperlukan untuk biodegradasi aerobik. Sistem transport kontaminan dalam proses bioventing tergantung dari kemampuan penguapan kontaminan itu sendiri. Jika tekanan uapnya besar dari760 mmHg, maka penguapan akan berjalan dengan lebih cepat. Sementara, jika tekanan uapnya kurang dari 1 mmHg maka kontaminan tersebut tidak akan menguap secara substansial. Efektifitas pada sub surface. Permeabilitas udara tergantung dari struktur tanah dan ukuran partikel tanah. Tanah dengan struktur dan ukuran partikel yang seragam merupakan lapisan tanah yang permeabel sehingga memudahkan pengolahannya. Sebaliknya, tanah dengan kandungan clay dan silt yang tinggi akan lebih mudah diolah dengan bantuan proses bioventing. Kelembaban tanah yang tinggi dapat menghambat permeabilitas dan potensial udara pada proses bioventing. Permeabilitas udara > 10-9 cm2 akan memudahkan pengolahan tanah terkontaminasi, sedangkan permeabilitas udara < 10-10 cm2 akan bioventing tergantung dari kemampuan mikroorganisme dalam menguraikan kontaminan dan untuk mendistribusikan O2 dalam jumlah yang mencukupi lebih

menyebabkan aliran gas meleawati retakan tanah atau material yang lebih permeabel. Proses bioventing dapat dilakukan dengan injeksi (SUE). Sistem injeksi dapat dilakukan dengan bantuan; blower, pipa distribusi ataupun sumur penyuntikan. Sistem injeksi berikut lebih murah dari penerapan proses bioventing secara keseluruhan karena tidak menggunakan pengolahan fase uap.

Injeksi bertujuan untuk memberikan suplai O2 yang memadai untuk menstimulasi biodegradasi tanpa menimbulkan emisi ke atmosfer. Injeksi akan lebih mudah dilakukan jika ditunjang dengan kontaminan yang memiliki titik uap rendah. Injeksi yang diberikan pada lapisan vadose dapat mengakibatkan : 1. Permukaan air menurun 2. Permebalitas udara dalam tanah meningkat 3. Volume tanah efektif yang tersedia kaan bertambah 4. Bahan yang mudah menguap akan berpindah menuju ke fase gas dan selanjutnya berpindah ke daerah yang tidak terkontaminasi, demikianlah yang disebut dengan proses biodegradasi, Proses Bioventing dapat pula dilakukan dengan ekstraksi udara, meskipun akan memakan biaya yang relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan injeksi udara. Kerugian dari proses ekstraksi udara pada bioventing adalah : 1. Biaya yang dikeluarkan lebih besar 2. Menyebabkan naiknya muka air dan capillary fringe, serta bagian atas sumur dekat titik ekstraksi, di mana efek ini dapat menjenuhkan zona penyebaran. Akibatnya, tanah dekat zona penyebaran tidak efektif untuk diolah. 3. Adanya upwelling menambah kelembaban tanah pada capillary fringe, menurunkan permeabilitas udara dan roll dari sumur ekstraksi Debit udara didasarkan pada jumlah O2 yang diperlukan untuk biodegradasi, yang dapat diketahui dengan melakukan tes respirasi in-situ. Prosedur tes respirasi in-situ adalah sebagai berikut: Perlengkapan diletakkan di dekat titik monitoring penyaring gas tanah yang tidak diolah, menentukan tingkat CO2 dan O2 dalam gas tanah dan selanjutnya menyuntikkan udara yang mengandung inert tracer seperti gas Helium 5 tahun, 24 jam perlengkapan aliran gas dimatikan. Tingkat CO2, O2 dan gas lain ditentukan secara periodik. Pertambahan tingkat CO2 menandakan terjadinya biodegradasi secara aerobik. Pengurangan tingkat O2 yang melebihi waktu menandakan laju utilisasi O2 selanjutnya digunakan untuk menghitung kebutuhan debit udara. Jarak antara sumur injeksi didasarkan pada roll di mana jarak maksimum untuk ekstraksi udara / sumur injeksi memberikan suplai yang memadai untuk respirasi mikro organisme. Roll tersebut dipengaruhi oleh ; perlengkapan tanah, konfigurasi injeksi udara / sumur ekstraksi, debit udara dan laju aktifitas mikroorganisme. yang

Pada Bioventing excavated soil dengan land treatment, diperlukan persiapan lapisan pengolahan / lapisan impermeabel yang memiliki kontrol peresapan dari bahan pengolah yang ada di bawahnya. Disamping itu, perlu adanya kontrol terhadap elemen run on maupun run off presipitasi. Air dikumpulkan pada titik terendah dan selanjutnya

digunakan untuk mengairi tanah atau diolah untuk kemudian dikeluarkan. Berikut ini adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan konstruksi proses bioventing excavated soil dengan land treatmenti : 1. Area pembersihan dan grading 2. Lapisan bersih dan tanah berpasir (geonet) untuk menjamin drainase air 3. Lapisan impermeabeldari tanah liat (geomembran) 4. Tanah yang terkontaminasi disebarkan dengan ketebalan 1,4 ft. Untuk membtasai transfer O2 ditambahkan 3-4% berat wood chip, swdust untuk suplai karbon 5. Menambahkan kapasitas air yang tertahan pada tanah berpasang untuk memudahkan pengerjaan tanah liat. 6. Menambah bahan penyerapan pada tanah 7. Dalam kasus tertentu, perlu ditambahkan nutrient, air, dan bahan kimia untuk mengontrol pH tanah yang diaduk secara periodik untuk mencampur tanah dan nutrient dan menyediakan O2 Aplikasi Land Treatment dapat diterapkan pada kondisi sebagai berikut : 1. Area yang sangat besar kemungkinan diperlukan untuk mengolah volume tanah yang sangat besar tetapi memiliki jarak on-site terbatas 2. Emisi udara dari senyawa-senyawa VOC relatif lebih berbahaya 3. Prosentase kontaminan yang sangat tinggi 4. Suhu yang ada terlalu rendah untuk bioremediasi secara efektif Alternatif-alternatif yang dimiliki dalam land treatment yaitu; Biopile, Composting dan Slurry Phose Reactor 1. Biopile Sistem ini telah ditumpukkan di atas sistem perpipaan pensuplai O2 setebal 3 10 ft telah ditambahkan bahan yang mengandung karbon dan dapat digunakan untuk suplai nutrient dan irigasi tanah, di mana suatu blower menghasilkan udara yang

masuk ke sistem pipa pada biopile dengan tekana positif / menarik udara pada pile dengan tekanan negatif lalu system tersebut mengumpulkan emisis bahan yang menguap untuk diolah. Pada beberapa kasus, sistem ventilasi untuk suplai O2 yang diperlukan untuk metabolisme aerobik Keuntungan yang dapat diperoleh dari system ini adalah sebagai berikut: - Memerlukan tempat yang lebih sedikit - Memiliki kontrol emisi penguapan yang lebih baik

2. Composting - Soil / lumpur ditambahkan dengan inert bulking (woodchip, swdust) menyediakan jarak pori untuk udara di cuaca sehingga lebih mudah masuk ke sampah - Tanah dapat dikomposkan terlebih dahulu di biopile camp, tanah bulking ditempatkan dalam windrow dengan lebar 6 8 ft untuk pencampuran dan aerasi tanah. - Komposting secara aerobik dilakukan dalam suhu mesofilik dan nutrien yangdiperbolehkan untuk pengolahan sampah dengan kontaminan besar melalui pengubahan panas yang dihasilkan oleh aktifitas mikroorganisme

You might also like