You are on page 1of 20

UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran: Sudahkah Menciptakan Sistem Penyiaran yang Demokratis?

Dasar pembuatan UU No. 32 tentang penyiaran adalah melalui UU Penyiaran ini diharapkan terrstrukturnya media dengan dapat melaksanakan fungsi sosial kontrol, edukasi, dan hiburan yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Undang-undang penyiaran sendiri memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk lebih berpartisipasi baik melakukan kontrol sosial dan juga memajukan dunia penyiaran nasional. Selain itu, melalui UU Penyiaran ini juga diharapkan terciotanya sebuah sitem yang demokratis dalam penggunaan maupun pengelolaan media. Menurut Davit Purwodesrantau proses

demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan).1Dengan kedua prinsip diversity ini diharapkan, negara dapat melakukan penjaminan terhadap publik melalui penciptaan iklim kompetitif antar lembaga penyiaran agar bersaing secara sehat dalam menyediakan pelayanan informasi yang terbaik kepada publik. Purwodesrantau kemudian menjelaskan bahwa apabila ditelaah secara mendalam, UU 32 Tahun 2002 lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.2 Penyiaran merupakan kegiatan komunikasi massa yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat social. Penyiaran

Lihat, Davit Purwodesrantau Mewujudkan Demokratisasi Penyiaranhttp://kpidprovkalteng.blogspot.com/2012/07/mewujudkan-demokratisasi-penyiaran.html 2 Ibid.

merupakan proses pengiriman informasi atau isi pesan dari seseorang kepada masyarakat luas melalui proses pemancaran yang lebih tinggi. Wahyudi (1996) menjelaskan penyiaran adalah semua kegiatan yang memungkinkan adanya siaran radio dan televisi yang meliputi segi ideal, perangkat keras dan lunak yang menggunakan sarana pemancaran atau transmisi, baik di darat maupun di antariksa, dengan menggunakan gelombang elektromagnetik atau jenis gelombang yang lebih tinggi untuk di pancarluaskan dan dapat diterima oleh khalayak melalui pesawat penerima radio atau televisi, dengan atau tanpa alat bantu.3 Menurut UU No. 32 Tahun 2002 penyiaran diartikan sebagai kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Penyiaran Indonesia diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Sementara tujuan penyiaran adalah untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdakan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Penyiaran diklasifikasikan sebagai bidang yang harus dijauhkan dari intervensi dan kepentingan pemerintah lantaran penyiaran masuk ke wilayah privat dan publik milik masyarakat. Penyiaran sebagai media massa juga memegang peran penting selaku instrumen yang dapat membentuk opini, perilaku, gaya hidup, dan juga keputusan sosial-politik masyarakat secara massif. Bila penyiaran diintervensi oleh pemerintah yang berkuasa, maka manipulasi informasi dan penyiaran demi status quo kekuasaan cenderung menguat dan merugikan masyarakat secara umum. Ini seperti terlihat dalam system penyiaran Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto, dimana penyiaran dikendalikan oleh Departemen Penerangan yang bekerja dalam kerangka agenda politik pemerintahan Presiden Soeharto. Sehingga, regulasi terhadap televisi dan radio disusun mengikuti kepentingan dan prog-ram pemerintah. Implikasi intervensi kepentingan pemerintah ini berakibat buruk terhadap independensi siaran televisi dan radio. Tidak ada satupun lembaga penyiaran yang bersikap independen, apalagi kritis terhadap pemerintah karena takut dan merasa terancam akan

J. B. Wahyudi, 1996, Dasar-dasar Jurnalistik Radio dan televisi

dicabutnya atau tidak diperpanjangnya izin penyiaran. Dunia penyiaran di era Soeharto tak hanya dikendalikan oleh pemerintahan yang berkuasa. Anak-anak dan kroni Soeharto juga turut menguasai penyiaran dengan mendapatkan privilege tertentu seperti anak Soeharto, Mbak Tutut yang mendirikan TPI dengan menggunakan fasilitas dan peralatan milik TVRI, Bambang Trihatmojo yang mendirikan dan menguasai saham RCTI, serta salah satu kroni Soeharto yaitu Liem Sioe Liong yang juga mendirikan dan menguasai televisi Indosiar. Latar belakang ekonomi politik penyiaran inilah yang kemudian coba diubah setelah Soeharto mundur dari jabatan presiden. Perubahan dimulai secara struktural melalui regulasi dengan inisiatif DPR untuk menyusun undang-undang penyiaran yang baru, yang baru yaitu UU No. 32 Tentang Penyiaran. Sistem oligarki ekonomi politik penyi-aran secara konseptual dipecah dengan menyodorkan konsep keberagaman kepemilikan (Diversity of Ownership) dan keberagaman isi (Diversity of Content). Lantas kemudian, sudahkah UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran ini menciptakan sistem penyiaran yang demokratis? Seperti yang diungkapkan Jamhur Poti4 demokrasi adalah suatu penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tanpa demokrasi kreativitas manusia tidak mungkin didapat dan berkembang5. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara termasuk memberikan ruang bagi media massa yang bebas untuk menjalankan fungsi persnya.6 Poti melanjutkan istilah demokratisasi media massa memang relatif baru, dan sulit untuk mengukur dan membatasi secara tegas dengan demokrasi dalam aspek kehidupan sehari-hari yang lain seperti politik, sosial ekonomi dan budaya. Oleh karena itu bahwa karakteristik komunikasi adalah Omnipresent atau ada di mana-mana. Theodorson (1969) juga berpendapat bahwa, Walaupun demokrasi pada dasarnya suatu konsep politik, tetapi dipergunakan juga dalampengertian filosofis untuk menunjukkan suatu yang melekat erat (inherent) mengenai persamaan, kebebasan untuk mendapatkan manfaat dan hak-hak azasi manusia yang fundamental.7 Memang, kini dunia penyiaran telah lepas dari jeratan masa orde baru dengan system penyiaran yang baru, dimana pers tidak lagi dikekang oleh sitem pemerintahan. Banyak pula orang yang berpikir bahwa dunia penyiaran kita baik-baik sajabahwa dunia penyiaran kita sudah sampai pada tahap yang demokratis dengan lahirnya UU UU No. 32 Tahun 2002karena
4

Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji 5 Jamhur Poti, 2011, Demokratisasi Media Massa dalam Prinsip Kebebasan, hal. 17-18 6 Ibid, hal. 18 7 Ibid

pada dasarnya Undang-undang ini mengamanatkan perlunya demokratisasi di bidang penyiaran dengan memperkenalkan gagasan tentang adanya sebuah lembaga pengatur penyiaran independen, Komisi Penyiaran Indonesia. KPI, menurut UU, dipilih dan bertanggungjawab kepada DPR dan keanggotaannya berasal dari mereka yang diharapkan tidak mewakili kepentingan industri penyiaran, pemerintah, ataupun partai politik. Namun, pada kenyataanya dunia penyiaran di Indonesia tidak berada pada tahap yang demokratis. Pertama, pada prinsip keberagaman kepemilikan (diversity of ownership). Regulasi soal pembatasan Monopoli, Konglomerasi, dan Kepemilikan Silang (Media Penyiaran) sebenarnya telah diatur dalam peraturan hukum, yakni UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002 ayat 1, pasal 18. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siar maupun beberapa wilayah siar, dibatasi. Industri penyiaran kita semakin menampakkan watak komersialnya dengan perkembangan terkait kepemilikan. UU Penyiaran jelas-jelas melarang kepemilikan lembaga penyiaran lebih dari satu lembaga di satu provinsi. Namun UU itu dilanggar setidaknya oleh tiga kelompok perusahaan media di Jakarta. Mitos televisi nasional terus direproduksi, padahal tidak ada definisi tentang televisi nasional dalam sistem penyiaran swasta kita. Semua ijin penyiaran berbasis provinsi. Dunia penyiaran di Indonesia dikuasai oleh beberapa nama besar, sebut saja Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Harry Tanoesoedibjo dan Chaerul Tanjung. Kepemilikan media yang terkonsentrasi pada nama-nama besar tersebutlah yang juga akhirnya mempengaruhi isi yang ada dalam media tersebut. Pemilik media pada level implementasi, mengimplementasi aturan-aturan yang ada dalam UU tentang penyiaran. Seperti yang diungkapkan Subiakto bahwa kalangan industri atau pelaku penyiaran memiliki cara dan interpretasi sendiri yang cenderung pragmatis, sesuai kepentingan bisnis. Kalangan industri mengimplementasi aturan dan mewarnai diskursusnya dengan pendekatan pasar bebas. Hal ini tampak dari data-data empiris yang dilakukan oleh industri media, baik dalam melaksanakan sistem stasiun jaringan, maupun praktik-praktik pembelian ataupun pengalihan pemilikan lembaga penyiaran swasta yang tetap berlangsung.8 Pemilik media sebagai actor memiliki kewenangan lebih dalam menentukan konten maupun isi yang ditayangkan, ini yang menuebabkan seringnya kita jumpai program-program dalam suatu stasiun televisi yang membela pemiliknya. Sebut saja program berita yang ada di TV One yang mengolah berita Lumpur Lapindo sedemikian rupa untuk memperbaiki reputasi dari Aburizal bakrie, sebagai
8

Henry Subiakto, 2011, Kontestasi Wacana Civil Society, Negara, dan Industri Penyiaran dalam Demokratisasi Sistem Penyiaran Pasca Orde Baru, hal. 30

pemilik. Subiakto menambahkan bahwa pada level normatif, interpretasi negara tampak dominan dibandingkan agen yang lain. Interpretasi negara berlaku sebagai aturan normatif, bahkan diperkuat keputusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Disini Negara sebagai pembuat keputusan kurang melakukan respon yang tanggap terhadap adanya konglomerasi media ini telah membuat peraturan hukum tentang anti monopoli, pemusatan, dan kepemilikan silang media penyiaran sudah ada dan jelas berlaku sejak diundangkan, namun dalam praktiknya hingga saat ini, indsutri media penyiaran masih dikuasai kelompok tertentu.Dalam level ideal dapat dikatakan demokratisasi penyiaran di Indonesia masih belum tercapai karena penegakan hukum (law inforcement) yang tidak berjalan dengan baik. Saat ini sudah sangat jarang televisi menyiarkan hal-hal yang berkaitan dengan hakhak politik warga negara, atau yang mampu mengarusutamakan demokrasi melalui media. Di media justru yang marak bermunculan adalah wacana-wacana membingungkan public dan menimbulkan kontroversi, bahkan menciptakan "pembodohan publik". Media lebih penting mewacanakan apa yang menjadi keinginan pemilik media (modal), daripada menjadi ruang publik yang netral. Politik ruang publik tersebut berlangsung didukung oleh kekuatan modal dan kekuatan politik sehingga tidak ada yang berani melontarkan kritikan. Hal ini kemudian bertambah parah dengan kurangnya sensitifitas kultural masyarakat dalam menanggapi dinamika politik media yang sedang berlangsung. Untuk mengembalikan fungsi media massa sebagai mestinya, maka media demokratis harus dapat menyingkirkan penguasaan besar besaran dari kalangan bisnis dan pemasang iklan. Selain itu, pemerintah harus memberikan subsidi pada beberapa bagian ruang publik ini. Pemerintah itu sendiri hanya di izinkan terlibat dalam beberapa bidang tertentu yang itu akan menguntungkan pertumbuhan media demokratis. Kemudian negara juga harus membuat serangkaian peraturan yang merangsang pertumbuhan ruang publik yang bersifat nonkomersial sekaligus bebas dari campur tangan negara.

Digitalisasi dan UU Konvergensi Penyiaran

Digitalisasi penyiaran merupakan terminologi untuk menjelaskan proses alih format media dari bentuk analog menjadi bentuk digital. Secara, digitalisasi adalah proses perubahan segala bentuk informasi (angka, kata, gambar, suara, data, dan gerak) dikodekan ke dalam bentuk bit (binary digit) sehingga dimungkinkan adanya manipulasi dan transformasi data (bitstreaming), termasuk penggandaan, pengurangan, maupun penambahan. Semua jenis informasi diperlakukan bukan dalam bentuk asli, tetapi bentuk digital yang sama (byte/bit). Bit ini berupa karakter dengan dua pilihan: 0 dan 1, on dan off, yes dan no, ada informasi atau tidak. Penyederhanaan ini pada akhirnya dapat merangkum aneka bentuk informasi: huruf, suara, gambar, warna, gerak, dan sebagainya sekaligus ke dalam satu format sehingga dapat memproses informasi untuk berbagai keperluan: pengolahan, pengiriman, penyimpanan, penyajian, sekaligus dalam satu perangkat.9 Dalam praktiknya, digitalisasi menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan dan ketidakefisienan pada penyiaran analog. Proses teknologi dilakukan untuk mendapatkan efisiensi dan optimalisasi dalam berbagai hal, termasuk dalam teknologi penyiaran. Efisiensi dan optimalisasi yang paling nyata dalam penyiaran di antaranya adalah kanal siaran dan infrastruktur penyiaran, seperti menara pemancar, antena, dan saluran transmisi. Di sisi lain, karena format digital kaya akan transformasi data dalam waktu bersamaan, maka digitalisasi televisi dapat meningkatkan resolusi gambar dan suara yang lebih stabil, sehingga kualitas penerimaan oleh pemirsa akan lebih baik. Dengan kata lain, teknologi penyiaran berbasis digital menjanjikan tampilan gambar lebih bersih dan suara yang lebih jernih.10 Di Indonesia,digitalisasi penyiaran sendiri baru akan terlaksana keseluruhan pada tahun 2018. Mulai awal tahun 2012 lalu, Indonesia melalui Peraturan Menteri Kominfo No. 05 tahun 2012, mengadopsi standar penyiaran televisi digital terestrial Digital Video Broadcasting - Terrestrial second generation (DVB-T2) yang merupakan pengembangan dari standar digital DVB-T yang sebelumnya ditetapkan pada tahun 2007. Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa selambat-lambatnya implementasi penyiaran digital dimulai tahun 2012 dan di tahun-tahun berikutnya di kota-kota besar yang telah bersiaran digital akan dilakukan analog switch-off. Dalamroadmap implementasi penyiaran televisi digital,

Pemerintah merencanakan bahwa tahun 2018 akan dilakukan analog switch-off secara
9

Iwan Awaluddin Yusuf, Memaknai Digitalisasi (Penyiaran) Tak Sekadar Migrasi Teknologi, http://bincangmedia.wordpress.com/2012/08/15/memaknai-digitalisasi-penyiaran-tak-sekadar-migrasiteknologi/ 10 ibid

nasional.Beberapa Negara telah melakukan analog switch-off, diantaranya Belanda yang telah melakukan switch off pada 11 Desember 2006, Amerika serikat pada bulan Juni tahun 2009, Jepang pada bulan Juli tahun 2011, Korea selatan pada Desember 2012, RRC pada tahun 2012 serta Inggris pada Oktober 2012. Ada beberapa perbedaan mendasar yang merupakan keunggulan teknologi penyiaran digital dibandingkan dengan penyiaran analog yang selama ini kita kenal, diantaranya efisiensi daya pemancar, kualitas gambar dan suara yang lebih baik, dapat diterima dengan baik oleh televisi bergerak (mobile receiver), konvergensi dengan aplikasi lain, terda-pat jasa tambahan (multimedia dan home aplication) misalnya SMS, serta adanya tren teknologi penyiaran dunia yang beralih ke digital. Hebatnya lagi, siaran televisi digital dapat diterima oleh handphone melalui fasilitas digital video broadcasting hand held. Dengan adanya penyiaran digital akan terjadi efisiensi frekuensi dengan adanya sistem kanal multi program. Satu kanal analog setara dengan dua sampai sepuluh program digital. Dengan demikian semakin terbuka peluang bagi lembaga penyiaran baru, khususnya di daerah dan diharapkan akan terjadi keberagaman isi siaran. Dewasa ini terdapat beberapa teknologi penyiaran digital yang telah dikembangkan di beberapa negara maju. Untuk radio, dikenal Digital Audio Bro-adcasting (DAB), Digital Radio Mondial (DRM), dan In Band On Channel (IBOC). Adapun untuk televisi dikenal Advanced Televisi-on System Committee (ATSC) yang dikembangkan di Amerika, DigitalVideo Broadcasting (DVB) yang dikembangkan di Eropa, dan Integrated Service Digital Broadcasting (ISDB) yang dikembang-kan di Jepang. Ada juga Digital Multimedia Broadcast (DMB) dan Digital Television Broadcast (DTB) yang masih relatif baru dikembangkan. Meskipun rencana cut-off sistem analog di Indonesia adalah pada tahun 2018, pada kenyataannya sekarang masyarakat Indonesia sudah dapat menikmati tayangan-tayangan digital melalui tayangan berlangganan melalui satelit maupunkabel.Kebijakan cut-off ini ingin mengacu Jerman (khususnya Berlin) yang berhasil melakukan migrasi tanpa banyak persoalan karena menerapkan sistem cut-off sehingga terpaksa diikuti baik oleh industri maupun publik. Ini dapat diterima karena penetrasi tv kabel dan tingkat ekonomi penduduk yang tinggi. Keharusan membeli set top box oleh penduduk Jerman tidak menjadi masalah karena disubsidi negara (kemudian dicontoh AS) dan penduduk merasa senang karena tidak harus membayar lagi untuk menikmati siaran (free to air). Penelitian yang dilakukan Wibawa, Afifi, dan Prabowo (2010), menyimpulkan bahwa migrasi penyiaran televisi analog ke teknologi penyiaran televisi digital membawa perubahan

yang radikal dalam industri penyiaran. Konvergensi media dalam penyiaran televisi digital menjadi semakin tajam dan intensif. Konvergensi media ini mengakibatkan berkembangnya model bisnis yang sama sekali baru. Dalam model bisnis yang baru ini akan banyak terlibat pemainpemain baru. Di samping itu, penyiaran digital akan membawa banyak dampak pada aspek politik, ekonomi, sosial dan bahkan budaya.11 Oleh karena itu, migrasi sistem penyiaran dari analog menuju digital tidak dapat dilaksanakan secara terburu-buru tanpa persiapan matang. Dibutuhkan ketersediaan infratruktur yang memadai, pemilihan jenis atau standar teknologi yang tepat, pemahaman atas kelebihan dan kekurangan teknologi digital, serta kesiapan aspek nonteknologis seperti kondisi sosial-ekonomiliterasi masyarakat dan payung regulasi yang memadai akan menjamin semua stakeholderyang berkepentingan, baik pemerintah, perusahaan siaran, dan terutama masyarakat, tidak akan dirugikan oleh proyek digitalisasi penyiaran. Sebaliknya, digitalisasi penyiaran diharapkan dapat memberikan manfaat maksimal bagi dunia penyiaran di Indonesia.12 Jika memang pada tahun 2018 nanti Indonesia memang berhasil melaksanakan program digitalisasi penyiaran ini maka diperlukan UU yang baru yang sesuai dengan program digitalisasi tersebut. UU Tentang Penyiaran no.32 tahun 2002 pun dituntut untuk menjadi UU yang konvergens, karena UU tentang penyiaran ini belom mencakup semua aspek yang ada dalam program digitalisasi. Undang-undang konvergensi saat ini sangat dibutuhkan, mengingat konvergensi jasajasa baru yang tidak hanya terbatas pada lingkup telekomunikasi akan tetapi telah meluas ke arah media dan informatika terutama dengan adanya program digitalisasi penyiaran ini. Perubahan ini telah melahirkan konvergensi jasa-jasa baru yang tidak hanya terbatas pada lingkup telekomunikasi akan tetapi telah meluas ke arah media (penyiaran) dan informatika yang di Indonesia disingkat dengan Telematika.Jasa siaran radio dan televisi tidak lagi menjadi domain penyelenggara atau lembaga penyiaran, akan tetapi telah dapat disediakan oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan yang ada dan di akses menggunakan perangkat (terminal) telekomunikasi. UU Penyiaran hanya berfokus pada pengaturan penyelenggaraan penyiaran, yang diantaranya adalah kegiatan pemancarluasan siaran secara serentak dan bersamaan, jasa penyiaran yang difokuskan untuk Audio (Radio) dan Audio Visual (TV), jaringan (Terestrial, Satelit dan Kabel) yang khusus digunakan dalam menyelenggarakan penyiaran,
11

Iwan Awaluddin Yusuf, 2012, Problematika Infrastruktur Dan Teknologi Dalam Transisi Dari Sistem Penyiaran Analog Menuju Digital, Vol. 14, No. 2, hal. 178 12 ibid

penyelenggara penyiaran (badan hukum) yang terbagi kedalam penyelenggara Konten dan penyelenggara jaringan di bidang penyiaran danizin penyiaran yang terbagi kedalam Izin Penyelenggara konten dan Izin Penyelenggara Jaringan. Sedangkan nantinya UU Konvergensi akan mengatur hal-hal terkait dengan layanan konvergensi, antara lain adalah kegiatan pemancarluasan siaran yang tidak secara serentak dan bersamaan, misalnya video on demand; jasa tambahan penyiaran (komunikasi data, multimedia atau telekomunikasi lainnya); Jaringan (Terestrial, Satelit dan Kabel ) yang digunakan dalam menyelenggarakan layanan konvergensi; penyelenggara konvergensi (badan hukum) yang bergerak di bidang konten, jaringan, layanan aplikasi, dan fasilitas; izin penyelenggaraan konvergensi (konten, jaringan, layanan aplikasi, fasilitas) 13. Melihat dari apa saja yang akan diatur dari UU Konvergensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa UU Konvergensi juga nantinya akan berkaitan dengan UU No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik(ITE), UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, Permen KOMINFO No.1 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi. Oleh karena itu, Konvergensi teknologi informasi dan komunikasi dapat saja mengintegrasikan pengaturan (Regulasi) telekomunikasi dengan media penyiaran (broadcasting), telekomunikasi dengan internet, internet dengan penyiaran. Dimungkinkan adanya potensi integrasi pembawa jaringan telekomunikasi dan isi penyiaran (broadcasting content). Karena adanya teknologi digitalisasi dan kapasitas pita lebar (broadband) juga telah dibangun, jasa telekomunikasi dapat disediakan melalui infrastruktur Internet.14 Untuk regulasi konten penyiaran digital juga harus disesuaikan sedemikian rupa mengingat mudahnya informasi yang akan didapatkan dengan system digitalisasi penyiaran ini. Konten-konten dari penyiaran digital harus ada yang mengawasi bila ada yang tidak sesuai dengan UU Konvergensi yang nantinya akan dibuat. Jika perlu dibentuk system pengawas khusus disetiap sector dari system penyiaran ini agar konten yang nantinya akan disalurkan kepada seluruh masyarakat tidak mengandung unsur-unsur yang dapat merugikan masyarakat nantinya, termasuk KPI yang telah dibentuk lebih dulu untuk sebagai pengawas system penyiaran di Indonesia.

13 14

Hasil laporan singkat komisi I DPR RI Wawan Ridwan dan Iwan Krisnadi, 2011, Regulatory Impact Analysis Terhadap Rancangan Undang-Undang Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi, diakses dari http://mtel.mercubuana.ac.id/wpcontent/uploads/2010/09/01_jurnal_wawan_01-20.pdf

Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE dan UU KUHP

Pencemaran nama baik adalah istilah hukum yang digunakan untuk menuduh seseorang mengenai suatu fakta yang tidak tepat sehingga mencoreng nama baik. Fakta tersebut tercetak, disiarkan, diucapkan atau dikomunikasikan dengan orang lain. Pasal pencemaran nama baik dibuat untuk melindungi seseorang terhadap tulisan-tulisan bernada dengki dan tidakbenar mengenai dia. Tujuannya adalah untuk mengimbangi hak kemerdekaan berpendapat dan kebutuhan untuk melindungi nama baik seseorang. Pencemaran nama baik dapat merupakan fitnah -yakni suatu pernyataan dalam suatu bentuk tertulisatau bentuk lainnya-, atau hujatan -yang merupakan suatu pernyataan lisan atau sikap.Tuntutan atas tindak pencemaran nama baik dapat diajukan bagi siapapun yang masih hidup (namun beberapa yurisdiksi mengakui reputasi dari orang yang sudah meninggal), atau badan hukum manapun (contohnya, badan hukum yang dapat menuntut atau dituntut).15 Banyak negara menjadikan pencemaran nama baik sebagai suatu pelanggaran pidana. Pelanggaran perdata dan pidana memberikan hukuman yang berbeda. Pelanggaran perdata diakhiri dengansuatu ganti rugi biasanya suatu denda atau kompensasi keuangan. Pelanggaran pidana memperoleh denda dan hukuman, termasuk kurungan. Kecenderungan hukum internasional adalah menganggap pencemaran nama baik sebagai pelanggaran perdata. Pengalaman menunjukkan bahwa undang-undang perdata cukup memadai untuk melindungi nama baik dengan tetap mempertahankan suatu masyarakat yang terbuka dan pers yang bebas.16 Sistem hukum di Indonesia mengikuti tradisi hukum daratan Eropa (civil law), dimana sistem hukumnya dibagi menjadi dua, yakni hukum publik dan hukum perdata. Hukum pidana termasuk ke dalam ranah hukum publik. Artinya, hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan atau denda bagi para pelanggarnya. Hukum perdata meliputi hukum privat materiil. Artinya, hukum perdata memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan, dimana terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan suatu
15

Lihat, Dekriminalisasi pasal pidana pencemaran nama baik: Sebuah acuan kampanye IFJ untuk menghapuskan pasal pidana pencemaran nama baik, http://manunggalkusumawardaya.files.wordpress.com/2008/09/dekriminalisasi-pasal-pidana-pencemarannama-baik.pdf 16 ibid

pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu Pada prinsipnya, terdapat tiga hal yang membedakan hukum perdata dan pidana, yaitu isinya, pelaksanaannya, dan cara menafsirkannya.17 Dari segi isinya, hokum perdata mengatur mengenai hubungan hokum antara orang yang satu dengan yang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sedangkan hokum pidana mengatur mengenai hokum antara seorang anggota masyarakat ( warga Negara) dengan Negara yang menguasai tata tertib masyarakat.18 Bila dipandang dari segi pelaksanaannya, maka pada hokum perdata pelanggaran terhadap norma hokum perata baru diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan dari pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang merasa dirugikan. Pihak yang mengadu tersebut menjadi ppenggugat dalam perkara itu. Sedangkan pada hokum pidana, pelanggaran terhadap norma hokum pidana segera diambil tindakan oleh pengadilan tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Segera setelah terjasi pelangaran pidana. Maka alat perlengkapan Negara (polisi, jaksa dan hakim) segera bertindak. Pihak yang dirugikan menjadi saksi, sedangkan yang menjadi penggugat adalah penuntut umum (jaksa). Namun dalam beberapa tindak pidana diperlukan pengaduan dari pihak yang dirugikan. Aparat penegak hokum tidak akan bertindak tanpa pengaduan dari pihak yang dirugikan. Misalnya dalam hal perzinahan, pemerkosaan dan pencurian dalam keluarga.19 Sedangkan dari segi cara menafsirkannya, pada hokum perdata dipernolehkan untuk mengadakan berbagai macam interpretasi terhadap undang-undang hukum perdata. Sedangkan pada hokum pidana hanya boleh ditafsirkan menrut arti kata dalam undang-undang tersebut. Singkatnya, hukum pidana hanya mengenal penafsiran autentik.20 Dalam kasus perdata pencemaran nama baik, dasar hukum yang menaunginya adalahKitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek) pasal 1365, yang berbunyi: Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut

17 18

C.S.T Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, hal.46 ibid 19 Ibid, hal.47-48 20 Ibid, hal.48

Unsurnya yaitu : Melanggar kewajiban hukum si pelaku; Melanggar hak subyektif orang lain yang telah diatur oleh Undang-undang; Bertentangan dengan kesusilaan; Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan ketidakhati-hatian. Serta pasal 1372, yang berbunyi: Tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik Sedangkan dalam kasus pidana pencemaran nama baik, dasar hokum yang menaunginnya adalah KUHP dan UU ITE; Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie) Pasal 310 ayat (1) : Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan/nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan/pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; ayat (2) : Jika hal itu dilakukan dengan tulisan/gambaran yang disiarkan,

dipertunjukan/ditempelkan dimuka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan/pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 311 ayat (1) : Jika yang melakukan kejahatan pencemaran tertulis diperbolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka ia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 ayat (3) jo. 45 ayat (1) : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dipidana dengan penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah. Pasal 36 jo. pasal 51 ayat (2) : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak/melawan hukum melakukan perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang mengakibatkan kerugian bagi orang

lain dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun dan/atau denda paling banyak dua belas miliar rupiah.

Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.21 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, yang dinamakan Tindak Pidana Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik selalu mengacu pada perbuatan yang di dalamnya ada tuduhan mengenai fakta tertentu. Dan fakta itu salah atau dipalsukan oleh si penuduh secara sengaja karena ada niat jahat. Sedangkan apabila seseorang dituduh melakukan perbuatan tertentu, dan perbuatan yang diungkapkan ke khalayak umum itu berupa perbuatan yang faktanya benar namun bersifat memalukan tatkala diketahui orang banyak, maka tindakan yang demikian itu adalah tindak pidana Penghinaan (pasal 310 ayat 1 KUHP). Tetapi apabila perbuatan yang dituduhkan itu faktanya tidak demikian (fakta palsu) atau tidak sesuai dengan yang dituduhkan maka perbuatan itu adalah Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik (pasal 311 ayat 1 KUHP).22 Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik hanya berlaku pada tuduhan tentang FAKTA, dan fakta itu SALAH atau sengaja dipalsukan oleh pelaku pencemaran. Sedangkan sesuatu yang berupa opini atau pendapat, tidak termasuk dalam objek Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik. Karena pada dasarnya dalam prinsip negara demokrasi, tidak ada opini yang bisa disalahkan. Seburuk apapun opini itu dilindungi oleh azas kebebasan berpendapat, yang di Indonesia dijamin dalam UUD 1945 pasal 28F. Sedangkan suatu tuduhan terhadap perbuatan yang tidak baik (memalukan/ hilang kehormatan) menurut pasal 310 ayat 3 KUHP tidak dapat dikatakan sebagai Perbuatan Penghinaan apabila perbuatan itu dilakukan untuk
23

kepentingan umum, atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri.

Selain itu kebasan

dalam berpendapat juga diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
21 22

Rony Wuisan, http://www.p2kp.org/pengaduandetil.asp?mid=740&catid=6& Henry Subiakto, Perbedaan Penghinaan dan Pencemaran nama Baik, diakses dari http://www.scribd.com/doc/95934978/Perbedaan-Pencemaran-Nama-Baik-DanPenghinaan//www.kaskus.co.id/thread/513491235a2acf5553000005 23 ibid

ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, perbuatan menyampaikan pendapat secaara tertulis seharusnya dilihta pula sebagai bagian dari hak atas kebebasan berpendapat dan tidak serta merta dikenakan dengan ketentuan pencemaran nama baik.24Dalam penghinaan, bisa jadi kemungkinan fakta yang adabenar adanya, namun fakta tersbut disalahgunakan untuk membuat atau menghilangkan kehormatan seseorang. Kasus pencemaran nama baik lebih banyak diperdebatkan di kalangan wartawan. Kemampuan untuk menerapkan hukuman pidana dengan kurungan memiliki pengaruh yang mengerikan terhadap media dan memberi ruang bagi para pemimpin pemerintahan, bisnis, danpolitik sebagai suatu alat untuk mengancam media. Hal ini jugamendorong wartawan dan redaktur untuk melakukan penyensoran diri. Kasu pencemaran baik yang dipidanakan dikecam oleh konvensi-konvensi dan pengadilan-pengadilan internasional. Dasar pemikiran yang umum adalah bahwa pencemaran nama baik sebaiknya tidak digolongkan sebagai suatu pelanggaran pidana karena memenjarakan wartawan memiliki suatu pengaruh yang mengerikan terhadap kebebasan berpendapat. Para penyokong kebebasan pers mengatakan bahwa segala bentuk pencemaran nama baik sebaiknya diselesaikan dengan cara perdata dan sebaiknya organisasi-organisasi dan badanbadan publik tidak diperkenankan memperkarakan kasus-kasus pencemaran nama baik. Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia Eropa telah menolak upaya sejumlah Negara untuk menjatuhkan hukuman terhadap kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan sanksi-sanksi pidana. Komisi Hak-hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang penggunaan hukuman pidana dalam kasus-kasus pencemaran nama baik sebagai suatu petunjuk adanya pembatasan akan kebebasan berpendapat.25 Berbeda dari pers yang menuntut untuk bentuk pencemaran nama baik sebaiknya diselesaikan secara perdata, kebanyakan masyarakat sipil justru memilih diselesaikan dengan secara pidana

24 25

Supriyadi, 2010, Penerapan Hukum Pidana dalam Perkara Pencemaran Nama Baik, hal. 166-167 Lihat, Dekriminalisasi pasal pidana pencemaran nama baik: Sebuah acuan kampanye IFJ untuk menghapuskan pasal pidana pencemaran nama baik, http://manunggalkusumawardaya.files.wordpress.com/2008/09/dekriminalisasi-pasal-pidana-pencemarannama-baik.pdf

Perbedaan Standart Program Penyiaran: Indonesia vs Inggris

Perbedaan yang paling mendasar dari standar program penyiara Indonesia dan Inggris adalah fungsi dari lembaga penyiarannya. Ofcom merupakan peleburan 5 lembaga sekaligus yang memiliki kewenangan yang berbeda-beda yaitu : badan yang mengatur standar penyiaran (the broadcasting standar commision), badan regulator independen televisi (the independent television commission), badan regulator telekomunikasi (the office of telecomunications), badan regulator radio (the radio authority) serta badan regulator

telekomunikasi melalui radio (radiocommunication agency). Ofcom merupakan badan regulator independen yang memegang otoritas untuk mengatur sektor pertelevisian, radio, telekomunikasi baik melalui fixed line ataupun mobile, gelombang elektromagnetik dimana perangkat nirkabel dioperasikan. Secara umum, seperti juga di negara-negara demokratis lainnya, bisnis penyiaran di Inggris diatur mengikuti konsep atau definisi offence (pelanggaran yang merugikan atau mencederai masyarakat). Bentuknya bisa berupa: bahasa yang buruk (tidak pas atau berlebihan), perilaku kasar, kegiatan seksual, dan praktek-praktek anti-sosial seperti misalnya merokok, minum alkohol, dan menggunakan narkoba. Secara historis, alasan perumusan regulasi konten televisi adalah faktor-faktor obyektif seperti terbatasnya jumlah spektrum dan saluran. Sementara faktor subyektif yang melatarbelakangi munculnya regulasi konten antara lain keinginan pihak yang memiliki otoritas untuk mengontrol apa yang boleh dilihat dan didengar oleh masyarakat dan keinginan masyarakat akan adanya seseorang atau lembaga yang melindungi kelompok rentan, khususnya anak-anak. Pedoman dan standar konten di Inggris diatur oleh the Code, dan semua lembaga penyiaran harus taat dan tunduk terhadap Code ini. Oleh karena itu, untuk mencegah pelanggaran atas Code, para pembuat program siaran harus juga memahami isi Code ini dan senantiasa berkoordinasi dengan pihak-pihak yang bertanggungjawab pada program siaran dan para pegawai bidang hukum. Ofcom bisa memberi penjelasan tentang makna dan interpretasi dari Code, tetapi ini tidak berarti bahwa Ofcom akan bersifat lunak terhadap implementasi peraturan yang terkandung di dalam Code. Sesuai dengan Code, konten siaran di Inggris harus memerhatikan 10 prinsip berikut: Melindungi anak usia dibawah 18 tahun, Harm dan offence, Kejahatan, Agama, Kenetralan, Akurasi, Penonjolan Pendapat dan Pandangan, Pemilihan Umum dan ReferenPrinsip yang

pertama memastikan bahwa anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun terlindungi dari segala bentuk konten merugikan. Oleh karena itu, segala macam konten siaran, yang bisa secara serius merusak perkembangan moral, mental, dan fisik anak-anak di bawah usia 18 tahun, tidak boleh disiarkan. Disamping itu, prinsip ini juga meminta semua lembaga penyiaran melindungi anak-anak dari penayangan materi yang tidak cocok untuk mereka. Hal-hal lain yang juga diatur dalam prinsip ini adalah bahwa penggunaan obat terlarang, rokok, penyalahgunaan cairan dan alkohol tidak boleh ditampilkan dalam programprogram yang khusus dibuat untuk anak-anak, kecuali ada justifikasi editorial yang masuk akal. Disamping itu, perilaku kekerasan dan perilaku berbahaya, baik verbal maupun fisik, juga tidak boleh ditayangkan dalam program-program siaran untuk anak-anak. Perlindungan terhadap anak-anak di bawah usa 18 tahun juga memerhatikan keterlibatan mereka dalam program-program siaran televisi. Jika mereka ikut serta dalam program siaran, pihak lembaga penyiaran harus menjamin kesehatan emosi dan fisik mereka dan mereka tidak akan mengalami stress atau kecemasan. Masalah hadiah juga harus disesuaikan dengan umur mereka, sehingga tepat sasaran dan tepat manfaatnya. Prinsip kedua juga memastikan bahwa standar yang diterima secara umum diterapkan pada konten TV dan radio untuk memberikan perlindungan yang memadai kepada anggota masyarakat dari materi-materi siaran yang merugikan atau ofensif. Konteks sebuah siaran sangat penting. Oleh karena itu, semua materi siaran harus memiliki konteks yang tepat. Materi-materi konten yang mengandung bahasa ofensif, kekerasan, seksual, kekerasan seksual, penghinaan, tertekan, merendahkan harga diri manusia, perlakuan atau bahasa diskriminasi (misalnya berlatarbelakang umur, kecacatan, gender, ras, agama, keyakinan, dan orientasi seksual) harus dibarengi dengan informasi yang memadai sehingga bisa meminimalkan atau bahkan menghindari ofensi. Sedangkan KPI disinihanya berfungsi sebagai lembaga penyiaran yang mengatur standar penyiaran saja baik itu di televisi maupun di radio, ini tidak lepas dari system digitalisasi yang telah dilaksanakan di Inggris. Kewenangan KPI tidak sama dengan regulator penyiaran di Inggris maupun di Negara-negara seperti Amerika dan Prancis. Kewenangan yang dimiliki KPI terbatas atau dibatasi karena KPI bukanlah regulator tunggal. Pemerintah masih turut andil dalam mengeluarkan peraturan-pelaksanaan UU. Sedangkan KPI hanya mengeluarkan Pedoman perilaku dan Standar Program Siaran yang Memuat ketentuan mengenai isi siaran. Amir Effendi Siregar26 mengatakan, peranan badan regulasi independen

26

Pengamat penyiaran & Dosen di Universitas Indonesia

seperti KPI yang merupakan lembaga negara lebih menentukan (dominan) karena media penyiaran mempergunakan ranah publik.27

Dalam negara demokrasi, regulator utama bidang penyiaran dan komunikasi adalah sebuah badan regulator negara yang independen (independent regulatory body). Pemerintah bisa berganti setiap lima tahun, tapi regulator komunikasi ini harus terus berjalan secara lancar tanpa dipengaruhi oleh gejolak dan perubahan politik. Lembaga ini harus terus bekerja mengatur dunia komunikasi dan penyiaran yang mempergunakan frekuensi milik publik. Lembaga ini harus independen, tidak boleh diintervensi dan dipergunakan sebagai alat propaganda pemerintah. Sayangnya, selama tiga periode keberadaan KPI, dunia pertelevisian Indonesia masih memprihatinkan. Keluhan, kritik, bahkan kecaman terhadap tayangan TV tidak pernah sepi. Sementara pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dibuat KPI masih saja berlangsung. Bahkan, ada stasiun TV yang nyata-nyata dijadikan alat politik pemiliknya dengan mengabaikan prinsip imparsialitas. Itu menunjukkan fungsi pengawasan KPI begitu lemah, KPI lebih disibukkan oleh persoalan perizinan.28 Masih juga sering ditemukan tayangan-tayangan yang melanggar konten isi dari penyiaran, sebut saja beberapa pelanggaran seputar seksualitas, misalnya, adegan seronok, lirik lagu bernuansa cabul, acara perbincangan bertema seks, goyangan maut dan lainnya. Selain itu adapula iklan-iklan yang melanggar kode etik dengan menampilkan informasiinformasi yang erlalu dilebih-lebihkan. Seperti iklan pengobatan alternatif yang menjamin kesembuhan segala penyakit.KPI masih kurang tegas dalam menindak para pelanggar. Di Inggris pelanggaran-pelanggan isi konten penyiaran langsung ditindak tegas oleh beadan regulatornya, Independent Television Commision. Kala itu pada stasiun TV satelit yang bernama Med-TV yang senantiasa digunakan untuk mendukung kepentingan politik Muhammad Ochalan, seorang tokoh politik Turki, mendapatkan peringatan dan sanksi keras dari ITC (sekarang bernama Ofcom). Karena dinilai tidak bisa imparsial, Med TV ditutup dan izinnya dicabut oleh komisi penyiaran Inggris saat itu. TV itu baru boleh siaran kembali setelah tiga bulan dan berjanji tidak mengulang pemihakannya kepada satu kepentingan politik. 29

27

Dikutip dari, Perkuat Kewenangan KPI, http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalamnegeri/30447-perkuat-kewenangan-kpi 28 Henry Subiakto; kekerasan, kerusuhan dan Berita TV, http://17-08-1945.blogspot.com/2010/06/korandigital-henry-subiakto-kekerasan.html 29 ibid

References
IFJ. (2005). Dekriminalisasi pasal pidana pencemaran nama baik: Sebuah acuan kampanye IFJ untuk menghapuskan pasal pidana pencemaran nama baik. Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Retrieved April 28, 2013, from http://manunggalkusumawardaya.files.wordpress.com/2008/09/dekriminalisasi-pasalpidana-pencemaran-nama-baik.pdf Indonesia, K. P. (2012, Maret 14). kpi.go.id. Retrieved April 2008, 2013, from Perkuat kewenangan KPI: http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalamnegeri/30447-perkuat-kewenangan-kpi Kansil, C. (2002). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kalimantan Tengah. (2012, Juli 18). Retrieved April 26, 2013, from MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI PENYIARAN: http://kpidprovkalteng.blogspot.com/2012/07/mewujudkan-demokratisasipenyiaran.html Poti, J. (2011). DEMOKRATISASI MEDIA MASSA DALAM PRINSIP KEBEBASAN. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan,, I(1). Ridwan, W., & Krisnadi, I. (2011). Regulatory Impact Analysis Terhadap Rancangan Undang-Undang Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi. InComTech, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer, II(2). Retrieved April 27, 2013, from http://mtel.mercubuana.ac.id/wp-content/uploads/2010/09/01_jurnal_wawan_0120.pdf Subiakto, H. (2010, Juni 4). Retrieved April 2013, 28, from [Koran-Digital] Henry Subiakto; Kekerasan, Kerusuhan, dan Berita TV: http://17-081945.blogspot.com/2010/06/koran-digital-henry-subiakto-kekerasan.html Subiakto, H. (2011). Kontestasi Wacana Civil Society, Negara, dan Industri Penyiaran dalam. 24(1). Subiakto, H. (27, April 2013). Retrieved from Perbedaan Pencemaran nama Baik dan Penghinaan: http://www.scribd.com/doc/95934978/Perbedaan-Pencemaran-NamaBaik-Dan-Penghinaan//www.kaskus.co.id/thread/513491235a2acf5553000005

Supriyadi. (2010). Penerapan Hukum Pidana dalam Perkara Pencemaran Nama Baik. Mimbar Hukum, 22(1). wahyudi, J. B. (1996). Dasar-Dasar jurnalistik Radio dan Televisi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Wuisan, R. (n.d.). P2KP. Retrieved April 28, 2013, from Pidana Penjara dan Denda terkait Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE: http://www.p2kp.org/pengaduandetil.asp?mid=740&catid=6& Yusuf, I. A. (2012, Agustus 15). Bincang Media. Retrieved April 27, 2013, from Memaknai Digitalisasi (Penyiaran) Tak Sekadar Migrasi Teknologi: http://bincangmedia.wordpress.com/2012/08/15/memaknai-digitalisasi-penyiaran-taksekadar-migrasi-teknologi/ Yusuf, I. A. (2012). PROBLEMATIKA INFRASTRUKTUR DAN TEKNOLOGI DALAM TRANSISI DARI SISTEM PENYIARAN ANALOG MENUJU DIGITAL. IPTEKKOM, 14(2).

MEDIA & HUKUM


Dalam rangka memenuhi tugas Ujian Tengah Semester

Laksmi W. Arsandy 071015062

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SEMESTER GENAP 2013

You might also like