You are on page 1of 13

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan (perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar disekitar hutan/bekas kebun. Diperkirakan berasal dari Binar pada ketinggian 1300-1600 m dpl, ada juga yang mengatakan bahwa kunyit berasal dari India. Kata Curcuma berasal dari bahasa Arab Kurkum dan Yunani Karkom. Pada tahun 77-78 SM, Dioscorides menyebut tanaman ini sebagai Cyperus menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, dan sedikit pedas, tetapi tidak beracun. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Indonesia (Jawa), dan Filipina Tanaman kunyit tumbuh bercabang dengan tinggi 40-100 cm. Batang merupakan batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang dengan warna hijau kekuningan dan tersusun dari pelepah daun (agak lunak). Daun tunggal, bentuk bulat telur (lanset) memanjang hingga 10-40 cm, lebar 8-12,5 cm dan pertulangan menyirip dengan warna hijau pucat. Berbunga majemuk yang berambut dan bersisik dari pucuk batang semu, panjang 10-15 cm dengan mahkota sekitar 3 cm dan lebar 1,5 cm, berwarna putih/kekuningan. Ujung dan pangkal daun runcing, tepi daun yang rata. Kulit luar rimpang berwarna jingga kecoklatan, daging buah merah jingga kekuning-kuningan. Pengembangan agribisnis temulawak saat ini terkonsentrasi pada 15 (lima belas) propinsi, potensi ini masih terus dikembangkan mengingat hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki agroklimat yang cukup baik bagi pengembangan tanaman tersebut. Berdasarkan potensi kesesuaian lahan (Puslitan) luas areal lahan dengan agroklimat yang cocok untuk mengembangan temulawak mencapai 10.548.033 ha. Di Jawa tersebar pada 6 (enam) propinsi antara lain Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan. Pelaku usahatani temulawak terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu usaha tani rakyat dan entrepreneur. Sebagaimana usaha tani tradisional temu-temuan lainnya, usahatani temulawak rakyat pada umumnya diusahakan di lahanlahan yang sempit bahkan di pekarangan dengan lokasi yang tersebar
Page 1

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4 1.3 Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah : 1.3.1 Untuk mengetahui prospek,potensi serta arah pengembangan tanaman kunyit 1.3.2 1.3.3 1.3.4 1.3.5 Untuk mengetahui gambaran peluang agribisnis tanaman kunyit Untuk mengetahui cara pemasaran tanaman kunyit Untuk mengetahui kendala pemasaran tanaman kunyit Untuk menyelesaikan tugas praktikum PEP Bagaimana prospek,potensi serta arah pengembangan tanaman kunyit ? Bagaimana gambaran peluang agribisnis tanaman kunyit ? Bagaimana cara pemasaran tanaman kunyit ? Bgaimana kendala pemasaran tanaman kunyit ?

Page 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Prospek,Potensi serta Arah Pengembangan Tanaman Kunyit

2.1.1 Prospek Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai keragaman hayati, diantaranya adalah biofarmaka yang sangat bermanfaat dalam aspek medis (kesehatan) baik langsung maupun tidak langsung. Saat ini masyarakat semakin menyadari tentang makna kesehatan melalui perbaikan pola konsumsi, akibat trend back to nature semakin meningkat, termasuk di Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, perhatian dan upaya memanfaatkan obat alami semakin meningkat dan temulawak merupakan salah satu komoditas yang sangat diandalkan. Pada tingkat dunia, nilai perdagangan obat herbal pada tahun 1995 di kalangan masyarakat Uni Eropa mencapai sekitar 6 miliar dolar Amerika dan di Amerika Serikat mencapai sekitar 1,5 miliar dolar. Di Jepang nilai perdagangan obat herbal mencapai sekitar 2,1 miliar dolar Amerika, sedangkan di luar Jepang (RRC, Korea dan sebagainya) mencapai 2,3 miliar dolar. Pada awal abad 21 ini, terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam pertumbuhan obat-obat herbal, terutama di Eropa Barat, RRC, Korea, India, Thailand, dan Malaysia. Menurut data Sekretariat Convention on Biological Diversity (CBD), nilai penjualan global herbal obat pada tahun 2000 di perkirakan mencapai 60 miliar dolar Amerika. Di balik perkembangan potensi yang cukup menggembirakan tersebut, terdapat berbagai permasalahan yang memerlukan solusi secara komprehensif, terpadu dan sistematis, agar perkembangan industri obat herbal dapat berjalan dengan baik.

Page 3

Mengingat obat herbal sangat menguntungkan sebagai penghasil devisa seperti diuraikan diatas, maka sudah saatnya pula, Indonesia merintis penanaman temulawak dalam kebun yang cukup luas dilengkapi dengan unit pengolahan sehingga dapat menghasilkan bahan baku yang siap bersaing dengan luar negeri. 2.1.2 Potensi Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) merupakan tanaman asli Indonesia dan termasuk salah satu jenis temu-temuan yang paling banyak digunakan sebagai baku obat tradisional. Selain itu temulawak juga banyak ditemukan di hutan-hutan daerah tropis, umumnya berkembang biak dengan baik di tanah tegalan sekitar pemukiman terutama pada tanah gembur sehingga buah rimpangnya mudah berkembang menjadi besar. Penyebaran tanaman temulawak di Indonesia di daerah P. Jawa, yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan sedikit tersebar di Kalimantan Selatan. Budidaya temulawak ditingkat petani dilakukan pada lahan yang tidak terlalu luas antara 0,05 0,1 ha dengan kultivar yang beragam mengakibatkan timbulnya masalah inefisiensi pada usaha tani dan mempengaruhi tingkat produktivitas dan mutu hasil panen. Perkembangan produksi temulawak selama 3 tahun terakhir, tertinggii pada tahun 2004 sebesar 16.666.504 ton. Penyebaran areal dan hasil produksi temulawak di Indonesia 3 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Page 4

Perkembangan Areal & Produksi Temulawak dari Tahun 2002 2004. Areal (m2) No Provinsi 2002 1 Sumut 2 Riau 3 Jambi 4 DKI Jakarta 5 Jabar 6 Jateng 7 Jatim 8 DI Yogyakarta 9 Banten 10 Bali 11 Kalbar 12 Kaltim 13 Sulut 14 Sulsel 51.805 10.503 7.509 1.475 17.406 52.817 103.420 132.788 19.302 49.596 6.635 25.627 55.471 4.309 13.597 23.989 20.104 34.371 72.380 11.618 78.484 18.472 5.932 1.811 38.282 57.753 6.992 189.519 34.225 45.893 41.989 55.305 55.772 8.134 205.071 29.916 31.229 42.839 83.915 100.248 17.625 317.276 276.000 485.905 958.767 502.526 1.528.789 20.823 2003 33.843 2004 33.843 2002 46.627 69.742 60.818 1.049 2003 53.654 93.282 30.503 3.860 2004 53.654 252.766 34.461 4.579 Produksi (Kg)

146.376 194.467 143.280 29.194 1.005 26.018 2.535 10.936 3.472

2.316.448 3.496.844 3.600.103 2.501.602 4.992.053 6.765.546 1.077.307 1.275.644 4.556.396 2.335.185 3.133.644 5.140.245 1.022.048 1.275.240 1.405.251 991.451 2.521.625 2.375.621

15 Gorontalo 3.694 JUMLAH

2.759.240 5.421.511 10.239.495 7.172.969 11.761.984 16.666.504

Sumber : Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian, 2005

Page 5

2.1.3 Arah Pengembangan Arah pengembangan agroindustri temulawak menuju pada suatu sistem pertanian perdesaan yang terpadu di 15 provinsi sentra produksi temulawak, sehingga dapat meningkatkan volume ekspor dan daya saing dengan produk luar negeri. Pengembangan agroindustri ini dilakukan secara bertahap pada setiap tahunnya (tahun 2006 2009), dengan tolok ukur pengembangan pada unit pasca panen dan pengolahan hasil di perdesaan serta pengembangan distribusi dan pemasaran. 2.2 Gambaran Peluang Agribisnis Tanaman Kunyit Dewasa ini rata-rata kebutuhan bahan baku kunyit untuk industri kosmetik/ jamu tradisional yang ada di Indonesia antara 1,5-6 ton/bulan. Tingkat kebutuhan pasar dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan persentase peningkatan 10-25% per tahunnya. Kebutuhan lebih tinggi pada saat menjelang hari-hari besar/hari raya. Permintaan kebutuhan industri di atas sebagian besar berasal dari pasokan para petani. Melihat dari kebutuhan ratarata industri jamu dan kosmetik yang ada di dalam negeri, suplai dan permintaan terhadap kunyit tidak seimbang, apalagi memenuhi permintaan pasar luar negeri. Sementara kebutuhan kunyit dunia hingga saat ini mencapai ratusan ribu ton/tahun. Sebagian kecil dari jumlah tersebut dipenuhi oleh negara India, Haiti, Srilanka, Cina, dan negara-negara lainnya. Indonesia kini sudah selayaknya membudidayakan tanaman ini, terutama dengan sistem

monokultur/tumpang sari sehingga produksi yang dicapai lebih cepat dan tinggi, agar kebutuhan minimal dalam negeri terpenuhi secara optimal. Walaupun di daerah Jawa Tengah kini sudah diupayakan system penanaman tersebut, juga diperhitungkan dari sudut produktivitas dan jalur tata niaganya, namun luas lahan tanam yang ada belum maksimal untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri yang mencapai ratusan ribu ton/hanya.

Page 6

Indonesia sebenarnya mulai mengekspor kunyit. Negara yang dituju antara lain Asia (Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Jepang), Amerika, dan Eropa (Jerman Barat dan Belanda). Pada tahun 1987, nilai ekspor tanaman kunyit Indonesia menyumbangkan devisa yang besar bagi negara. Namun pada tahun berikutnya jumlah ekspor tersebut mulai mengalami penurunan dan sempat terhenti pada tahun 1989. Negara India, Cina, Haiti, Srilanka, dan Jamaika kini mulai membudidayakan tanaman kunyit secara besar-besaran dan mereka sudah dapat mengestimasikan produksinya hingga +20 ton/ha. Dari segi jalur tata niaga, kunyit tergolong efisien, karena dari petani langsung disalurkan ke pedagang pengumpul, lalu ke pabrik/pedagang besar. Maka harga yang diterima petani mencapai 70% dari harga tingkat pabrik, dimana 30% merupakan marjin tata niaga yang terdiri atas 12% marjin biaya dan 18% merupakan marjin keuntungan. Berdasarkan kondisi ini, tata niaga kunyit bisa ditingkatkan lagi, karena marjin terbesar berada pada keuntungan pedagang. Peluang agribisnis kunyit di Indonesia dapat dikembangkan. Kenyataan ini dilandaskan pada tingkat produktivitas, jalur tata niaga, dan kebutuhan kunyit dari berbagai industri yang membutuhkannya.

2.3 Pemasaran Tanaman Kunyit 2.3.1 Pengembangan temulawak terkonsentrasi pada 15 propinsi Pengembangan agribisnis temulawak saat ini terkonsentrasi pada 15 (lima belas) propinsi, potensi ini masih terus dikembangkan mengingat hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki agroklimat yang cukup baik bagi pengembangan tanaman tersebut. Berdasarkan potensi kesesuaian lahan (Puslitan) luas areal lahan dengan agroklimat yang cocok untuk mengembangan temulawak mencapai 10.548.033 ha. Di Jawa tersebar pada 6 (enam) propinsi antara lain Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan. Pelaku usahatani temulawak terdiri dari 2 (dua) kategori yaitu usaha tani
Page 7

rakyat dan entrepreneur. Sebagaimana usaha tani tradisional temu-temuan lainnya, usahatani temulawak rakyat pada umumnya diusahakan di lahan-lahan yang sempit bahkan di pekarangan dengan lokasi yang tersebar 2.3.2 Produk dijual dalam bentuk glondongan Kebutuhan akan temulawak untuk industri dalam negeri mengalami peningkatan, pada tahun 2000 kebutuhan mencapai 6.813 ton/th, meningkat di tahun 2001 sebesar 7.170 ton/th, selanjutnya pada tahun 2002 mengalamii peningkatan hingga mencapai 8.104 ton/th. Peningkatan kebutuhan bahan baku ini berjalan seiring dengan semakin banyaknya jumlah industri jamu, farmasi dan kosmetika. Pada tahun 2000 kebutuhan tanaman temulawak (yang merupakan tanaman terbesar ke 3 setelah tanaman lempuyang dan jahe) untuk lima industri jamu terbesar mencapai 38.600 kg/bln atau 463.200 kg/tahun. Untuk pemasaran dalam negeri, rimpang temulawak dijual secara gelondong dengan memisahkan rimpang cabang dari rimpang induknya atau tanpa pemisahan rimpang sama sekali. Sedangkan pemasaran ke luar negeri rimpang temulawak diolah terlebih dahulu dengan cara pengeringan dalam bentuk simplisia. Pemasaran temulawak di sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah bermitra dengan pengusaha jamu. Walaupun demikian ada pula yang secara langsung memasarkan ke pasar tradisional di tingkat Desa, Kecamatan dan Kabupaten, bahkan melalui pedagang pengumpul dapat menembus pasar induk di tingkat Propinsi. Kemitraan terbentuk antara perusahaan Jamu skala Nasional dengan para petani produsen, mengingat tidak semua pasokan dapat dipenuhi oleh perusahaan Jamu tampa memperolehnya dari petani produsen, bahkan pada beberapa perusahaan Jamu Nasional untuk beberapa bahan baku tertentu kadangkala perlu mengimpor dari luar negeri, seperti RRC, India dan Vietnam.

Page 8

2.4 Kendala Pemasaran Tanaman Kunyit 2.4.1 Belum adanya dukungan yang optimal dari pemerintah Belum adanya kebijakan yang terpadu antara sektor pertanian dengan sektor industri, sektor iptek, dan kesehatan dalam rangka membangun agroindustri biofarmaka dan menumbuhkembangkan pelaku usaha tanaman obat, khususnya temulawak. Lebih lanjut, Pemerintah (Pusat dan Daerah) dan dunia usaha belum mempunyai dan komitmen yang kuat untuk membangun agroindustri biofarmaka yang berdaya saing tinggi. 2.4.2 Keterbatasan produksi untuk memenuhi permintaan perusahaan jamu Produksi temulawak masih sangat terbatas akibat keterbatasan pemanfaatan pelaku usaha tanaman obat atau IRT / Pengusaha Jamu. Penerapan teknologi budidaya temulawak masih belum mengikuti GAP (Good Agriculture Practices) / GFP (Good Farming Practices), sehingga dapat terjadi sejenis bahan baku mempunyai keragaman kualitas satu dengan lainnya, sehingga produk yang dihasilkan jauh dari memuaskan baik dari aspek mutu (produk dan packaging) maupun kuantitas. 2.4.3 Penerapan Pasca panen dan pengolahan yang baik belum optimal Pelaku usaha tanaman obat atau IRT/Pengusaha Jamu belum menerapkan teknologi pasca panen dan pengolahan secara profesional karena belum mendapat bimbingan secara intensif oleh Dinas terkait, tertutama belum adanya pedoman GHP (Good Handling Practices) dan GMP (Good Manufacturing Practices) yang dapat dipakai untuk usaha pengolahan berbagai komoditas. Sebagai konsekuensinya maka
Page 9

pemasaran masih mengalami kendala masalahj dan permasalahan terutama ekspor, akibat lemahnya daya saing produk. 2.4.4 Industri Pengolahan Tradisional Mayoritas Industri Pengolahan di Indonesia masih dalam bentuk tradisional, sehingga mempengaruhi kompetisi daya saing produk, khususnya di luar negeri. Keterbatasan pengetahuan beberapa pelaku usaha IRT, mengakibatkan adanya pemakaian bahan-bahan terlarang untuk industri, sehingga memperparah keberadaan kondisi IRT tersebut. Sementara itu, industri pengolahan Jamu yang relatif besar atau skala Nasional, masih belum mempunyai komitmen untuk menularkan pengetahuan kepada pelaku usaha skala IRT. 2.4.5 Keterbatasan Data Base Kendala Industri pengolahan skala Nnasional dan IRT dalam mengembangkan usaha mereka, antara lain disebabkan tidak tersedianya Data Base tanaman biofarmaka yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga sulit mengetahui kapasitas produksi tanaman obat di Indonesia, termasuk temulawak. 2.4.6 Kemitraan Sulit Berkembang. Kemitraan merupakan suatu kebijakan yang diharapkan dapat berkembang, sehingga pelaku usaha IRT suatu saat dapat menjadikan bisnis mereka setaraf Nasioinal. Namun, berdasarkan kerjasama yang difasilitasi oleh Ditjen BPPHP pada tahun 2003, ternyata dari 15 kerjasama kemitraan hanya berjalan sekitar 4 buah. Secara umum, dapat dikatakan, kemitraan tersebut tidak dapat berkembang dengan baik, akibat satu dan lain hal. 2.4.7 Sistim Distribusi, Infrastruktur dan Sarana Transportasi belum Kondusif. Penyebaran sentra produksi dengan skala kecil kurang menguntungkan agribisnis temulawak karena mengakibatkan biaya transportasi tinggi. Kondisi inii dipengaruhi oleh kurang memadainya infrastruktur pada hampir sebagian besar sentra produksi, seperti : Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, selain hal tersebut, alat transportasi yang tidak memadai memperburuk usaha pengolahan produk biofarmaka. Sehingga temulawak, belum mampu bersaing dengan temulawak impor yang relatif lebih rendah harganya. 2.4.8 Lemahnya Akses Sarpras dan Teknologi Lepas Panen dan Pengolahan Keterbatasan penguasaan sarana dan prasarana teknologi pada sebagian besar pelaku usaha berdampak pada keterbatasan akses terhadap teknologi pasca panen dan pengolahan. Hal ini menciptakan sistim pasar yang tidak adil (fair) akibat penguasasan segelintir penguasa kuat dalam pasokan, teknologi pasca panen dan pengolahan serta pemasaran sehingga tercipta oligopsoni . Kondisi tersebut
Page 10

diperparah dengan keberadaan sebagian besar petani belum memahami dan menerapkan GHP dan GMP dalam usaha pengolahan mereka untuk memperbaiki mutu produk. 2.4.9 Lemahnya akses terhadap Modal Petani produsen dan pelaku usaha pengolahan umumnya mengalami keterbatasan terhadap modal, sehingga upaya perbaikan kualitas menjadi kendala. Lebih lanjut akses terhadap teknologi menjadi sangat terbatas serta beberapa teknologi yang tersedia dari Lembaga Penelitian mengalami distorsi sehingga tidak sampai kepada petani secara utuh. Ketersediaan Skim Kredit dengan bunga rendah dari lembaga-lembaga keuangan di tingkat petani hingga saat ini belum terwujud, sehingga upaya pebaikan teknologi yang mengarah keperbaikan mutu belum berjalan akibat keterbatasan modal kerja.

Page 11

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan Pengembangan agribisnis temulawak saat ini terkonsentrasi pada 15 (lima belas) propinsi, potensi ini masih terus dikembangkan mengingat hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki agroklimat yang cukup baik bagi pengembangan tanaman tersebut. Untuk pemasaran dalam negeri, rimpang temulawak dijual secara gelondong dengan memisahkan rimpang cabang dari rimpang induknya atau tanpa pemisahan rimpang sama sekali. Sedangkan pemasaran ke luar negeri rimpang temulawak diolah terlebih dahulu dengan cara pengeringan dalam bentuk simplisia. 3.2 Saran

Page 12

DAFTAR PUSTAKA
http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/kunyit.pdf http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:LeqtHPE3WW4J:agribisnis. deptan.go.id/xplore/view.php%3Ffile%3DPENGOLAHANHASIL/PENGOLAHAN%2520HASIL/ROADMAP%2520horti/RM%2520TOR%2 520TEMULAWAK%2520rev.doc+pemasaran+temulawak&cd=1&hl=id&ct=clnk& gl=id&client=firefox-a

Page 13

You might also like