You are on page 1of 108

NOTARIS PPAT PERAN DAN FUNGSINYA

Selasa, 2009 Maret 17


KEDUDUKAN HUKUM WARIS INDONESIA
(Materi Perkuliahan Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di MKN Univ. Sriwijaya Palembang)

Kedudukan dan Perlakuan Hukum terhadap tanah yang alas buktinya baru
berupa Girik tidak dapat dilakukan peralihannya melalui akte van transport
berupa akta AJB yang dibuat oleh/dihadapan PPAT, tepapi dapat dilakukan
dengan akta Pelepasan dan Penyerahan Hak atau akte Pengoperan Hak atau
akte Pengikatan akan jual beli di hadapan Notaris. Untuk ketiga macam akte
mana harus di sesuaikan dengan tindak lanjut perbuatan hukum mana yang
dipilih. Jika Giriknya masih atas nama Pewaris, dimana di dalam premisse akta
harus dicantumkan bahwa tanah yang dialihak/dioperkan hak tersebut adalah
tanah yang berasal dari hak waris. Hak Waris mana harus dibuktikan dengan
Surat Keterangan Hak Waris, yang dibuat/dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang (tergantung dengan penundukan hukum apa) di yang dipakai

Sebagai penyegaran untuk mengingat kembali bahwa sejak Indonesia merdeka,


pemerintah telah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan
Mahkamah Syari’ah yang menetapkan salah satu wewenang Pengadilan Agama
adalah masalah kewarisan. Meskipun di Jawa dan Madura Pengadilan Agama
tidak menyelesaikan masalah warisan, tetapi Pengadilan Agama mengeluarkan
“Fatwa Waris” yang sangat dibutuhkan oleh para pencari keadilan.

Pada tahun 1989, pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU


Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang ini menetapkan wewenang
Pengadilan Agama untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan
warisan atau faraid. UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3 tahun 2006.
Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak hanya sebatas mengadili
masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi
juga bidang usaha ekonomi syari’ah.

Namun demikian materi HWI tetap berada dalam buku II KHI yang berpayung
hukum pada Inpres No. 1 tahun 1991.

Dalam praktek pelaksanaan wewenang tersebut, saat ini menurut kami ada
beberapa hal yang perlu dilengkapi dan disempurnakan, antara lain :

1. Materi HWI

Mempelajari materi HWI hukumnya fardlu kifayah. Artinya jika sudah ada
sebagian orang yang mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban yang lain.
Namun melaksanakan HWI dalam membagi harta peninggalan adalah fardlu
‘ain. Artinya setiap orang Islam wajib melaksanakan hukum waris Islam jika ia

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 1


membagi waris. Tidak gugur kewajibannya sehingga ia melaksanakan
sebagaimana yang diperintahkan Allah(Qs.4:13-14).

Dalam mempelajari hukum waris Islam, kendala yang umum dihadapi adalah :

a. Orang merasa sulit mempelajarinya karena melibatkan beberapa ilmu lain,


seperti : matematika, akuntansi, bahasa, penilaian atau penaksiran harta,
pertanahan, dll.

b. Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, jika HWI ini tidak senantiasa dipakai akan
cepat lupa dan hilang. Sementara peristiwa kematian jarang terjadi.

c. Persentase pembagian harta dalam HWI sangat tergantung keberadaan ahli


waris saat pewaris meninggal. Oleh karena itu, diperlukan metode untuk
memahami siapa-siapa ahli waris yang berhak mendapat harta peninggalan dan
berapa bagian masing-masing ahli waris.

d. Beberapa mazhab dalam Islam memiliki perbedaan dalam menetapkan ahli


waris, menghitung dan membagi harta peninggalan pewaris.

e. Tidak semua orang yang mati meninggalkan harta yang patut menjadi urusan
penting.

Beberapa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas antara lain :

a. Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan KHI dengan dasar Inpres/1991.


Dalam perkembangannya, saat ini buku I KHI (tentang perkawinan) telah
diundang-undangkan (UU No.1/1974), buku III KHI (tentang wakaf) telah
diundang-undangkan (UU No.40/2006). Sudah selayaknya buku II KHI (tentang
waris) juga dibuat Undang-Undang.

b. Telah dikembangkannya metode gambar sebagai salah satu alternatif cara


memahami siapa saja ahli waris yang berhak mendapat pembagian harta
peninggalan.

c. Kami telah mengembangkan software waris Islam, yang dapat menetapkan


ahli waris yang berhak, persentase bagian ahli waris, sekaligus menghitungnya
jika diketahui jumlah harta peninggalan pewaris.

Solusi di atas perlu disosialisasikan baik melalui seminar, pelatihan, maupun


workshop. Selain itu diperlukan sharing diantara pejabat teras di lingkungan
notaris (INI), Departemen Agama dan Departemen Hukum dan HAM.

2. Keterangan Waris

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 2


Surat keterangan waris bagi penduduk asli Indonesia yang dibuat oleh para ahli
waris dan diketahui oleh RT/RW, lurah dan camat didasarkan pada surat
Mendagri Dirjen Agraria Kep. Direktorat P.T u.b. Kepala Pembinaan Hukum (R.
Supanji) No. Djt/12/63/69 (20-12-1969). Surat edaran Dirjen ini dapat dikatakan
kurang tepat, dikarenakan dalam isi surat tersebut dikatakan bahwa “Penduduk
asli ‘bagaimana berlaku’ hukum adat”. Padahal pribumi yang Islam tidak tunduk
pada hukum adat, melainkan hukum Islam.

Kemudian apabila dicermati dengan teliti, akan ditemukan bahwa :

a. Format keterangan waris yang diketahui oleh RT/RW, lurah, camat ini tidak
memiliki standart. Bentuknya bermacam-macam.

b. Data-data yang terdapat dalam keterangan waris kurang akurat. Tidak


terdapat data yang berkaitan dengan wasiat. Padahal wasiat adalah hal yang
umum ada di masyarakat.

c. Demikian pula dari sisi kebenarannya, keterangan waris masih dipertanyakan


otentitasnya. Seringkali apa yang tertulis dalam keterangan waris berbeda
dengan kenyataan sebenarnya, seperti : tidak seluruh ahli waris tercantum dalam
keterangan waris, bahkan ahli waris tidak menandatanginya di hadapan lurah
dan camat yang bersangkutan.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan peraturan setingkat


Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengurusan keterangan waris
seperti halnya notaris membuat keterangan waris untuk warga keturunan
Tionghoa dan orang barat.

3. Keputusan atau Ketetapan Tentang Ahli Waris di Pengadilan Agama

Berdasarkan pasal 49 UUPA yang telah diamandemen menjadi UU No.3 tahun


2006, mekanisme keputusan atau ketetapan di Pengadilan Agama adalah
sebagai berikut :

a. Sengketa/contensius. Apabila terjadi sengketa diantara ahli waris, yang


bersangkutan datang ke Pengadilan Agama mengajukan perkaranya. Pengadilan
Agama akan menetapkan putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat
berbagai pihak untuk tunduk pada keputusan tersebut.

b. Tanpa sengketa/voluntair. Untuk menghindari terjadinya sengketa dalam


pembagian harta peninggalan, ahli waris membagi secara damai dan datang ke
Pengadilan Agama memohon penetapan. Pengadilan Agama akan
mengeluarkan ketetapan berupa Permohonan Penetapan Pembagian Harta
Peninggalan/P3HP (psl 49 dan 107 UUPA). P3HP yang dikeluarkan Pengadilan
Agama menurut penulis memiliki beberapa kekurangan, antara lain :

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 3


i. Terbitnya P3HP hanya didasarkan pada mekanisme dan acara singkat, artinya
tidak seperti mekanisme dan acara yang ditetapkan oleh hukum acara
sebagaimana mekanisme dan acara bagi suatu perkara (sengketa), Misalnya :
Tidak dilakukan publikasi (pengumuman) secara terbuka yang fungsinya
memberi kesempatan kepada “siapapun” (pihak ketiga) yang mungkin
mempunyai kepentingan dengan harta peninggalan yang akan dibagi tersebut.
Pengumuman ini bisa dilakukan di kantor Pengadilan Agama setempat (yang
bersangkutan dengan status para ahli waris), di kantor kelurahan atau kantor
kecamatan maupun di kantor pertanahan jika menyangkut harta peninggalan
yang berupa tanah. Pengumuman itu juga dapat dilakukan melalui mass media
cetak seperti surat kabar harian terutama yang beredar di daerah tempat
meninggalnya pewaris. Dilihat dari segi proses pembuatannya ini, maka isi
keterangan yang tercantum dalam P3HP mengandung kelemahan yang bersifat
materiil.

ii. Pembuatan P3HP tidak disertai dengan pengecekan di Daftar Pusat Wasiat
(Departemen Kehakiman). Seharusnya hakim agama melakukan hal ini untuk
membuktikan tentang ada-tidaknya wasiat yang dibuat oleh almarhum semasa
hidupnya, baik wasiat yang dibuat di hadapan Notaris ataupun wasiat di bawah
tangan.

iii. Di dalam P3HP pada umumnya juga belum dicantumkan nilai penaksiran
(appresial) yang seharusnya dilakukan oleh juru taksir yang profesional. Selama
ini nilai penaksiran yang dilakukan oleh “orang” atas harta peninggalan hanya
didasarkan atas kesepakatan para ahli waris saja(pasal 187 KHI), artinya hanya
bersifat kekeluargaan. Seharusnya jika penaksiran dilakukan oleh orang atau
badan yang profesional dan netral (tidak berpihak pada kepentingan salah satu
ahli waris), maka akan diperoleh nilai penaksiran yang akurat dan obyektif.

Kekurangan P3HP baik yang bersifat teknis (mekanisme dan prosedur


pembuatannya) maupun substansi (isi P3HP) seperti yang selama ini terjadi
dalam praktek, diharapkan dapat diperbaiki oleh hakim agama sehingga
pelaksanaan pembagian itu dapat memenuhi persyaratan hukum sebagaimana
ditentukan dalam pasal 49 ayat (3) Undang-undang Peradilan Agama.

4. Pelaksanaan Pembagian Harta Peninggalan

Pelaksanaan pembagian harta peninggalan dapat dilakukan oleh para ahli waris
maupun notaris, dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Dilakukan oleh para ahli waris (psl 187 KHI)

Umumnya masyarakat membagi sendiri harta peninggalan pewaris. Pembagian


semacam ini terkadang menimbulkan masalah. Tidak adanya appresial membuat
harta yang dibagi tidak proporsional. Kemungkinan ada unsur subyektivitas,

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 4


padahal kerelaan para ahli waris yang menjadi acuan dalam pembagian harta
peninggalan.

Diantara kekurangan di atas yang harus dilengkapi adalah :

i. Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.

ii. Dibuat dengan akta standart seperti yang berlaku di notaris dilengkapi dengan
undang-undang, syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku.

b. Dibuat dihadapan notaris

Berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris


(UUJN) pasal 15 dinyatakan bahwa “notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang”.

Pasal 16 ayat (d), menyatakan bahwa “notaris wajib memberikan pelayanan


sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk
menolaknya”.

Kedudukan Notaris dan PPAT mempunyai kaitan erat (signifikansi) dengan


pelaksanaan pembagian harta peninggalan secara damai (di luar pengadilan/non
legitasi) terhadap orang yang tunduk kepada hukum perdata barat (BW) maupun
orang Islam yang tunduk pada hukum Islam. Apabila selama ini berkembang
anggapan umum bahwa profesi notaris melayani mereka yang tunduk kepada
hukum perdata barat (BW) saja, sebenarnya hal itu tidak selalu benar. Setelah
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama,
Amandemen UUPA, dan KHI, tugas notaris pada bidang kekeluargaan dan
kewarisan dalam UU No 1 tahun 1974 dan KHI diantaranya sebagai berikut :

a. UU No 1/74 ; membuat perjanjian kawin.

b. UU No 1/74 ; membuat akta pemisahan harta bersama

c. Pasal 195 ayat (1) KHI ; wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang
saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris.

d. Pasal 195 ayat (4) KHI ; Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal
ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan dua orang
saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 5


e. Pasal 199 ayat (2) KHI ; Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua
orang sakti atau bedasarkan akta Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara
lisan.

f. Pasal 199 ayat (3) KHI ; Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat
dicabut secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau bedasarkan
Akta Notaris.

g. Pasal 199 ayat (4) KHI ; Bila wasiat dibuat bedasarkan akta Notaris, maka
hanya dapat dicabut berdasarkan Akta Notaris.

h. Selanjutnya tentang tata cara penyimpanan surat-surat wasiat disebut dalam


pasal-pasal 203, 204 dan 208 Kompilasi Hukum Islam.

Dalam pasal-pasal tersebut di atas dengan jelas disebutkan bahwa notaris


mempunyai peran yang penting dalam hukum kekeluargaan khususnya bagi
orang Islam.

Selama ini para pejabat (hakim di Pengadilan Agama) belum mengetahui


bagaimana membagi harta peninggalan secara profesional sebagaimana yang
telah dilaksanakan notaris berdasarkan pasal 1074 KUHPerdata dan pasal-pasal
dalam UUJN. Sedangkan para notaris mempunyai anggapan bahwa pembagian
harta peninggalan adalah wewenang hakim Pengadilan Agama. Penulis
menyimpulkan telah ada kekosongan hukum yang belum terisi tentang siapa
yang sebenarnya membagi harta peninggalan secara profesional.

Dalam buku Praktek Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris


Islam, penulis telah memberikan contoh-contoh lengkap masalah atau kasus
HWI dan bagaimana cara membuat akta-akta tersebut.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 09:35 0 komentar


Label: Hak Waris, Hukum, Keterangan, Notaris, PPAT, Tanah, Waris

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 6


TUGAS DAN WEWENANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
DAN KEDUDUKAN HUKUM AKTA PPAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Baru pertama kali semenjak diterbitkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960


Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) diterbitkan
suatu Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya
disebut PPAT) dengan Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 (selanjutnya
disebut PP No. 37/1998), sebagai pelengkap dari Peraturan Pemerintah tentang
Pendaftaran Tanah dan telah dijanjikan pada Pasal 7 PP 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24/1997).

Menurut Prof. Dr A. P. Parlindungan, hal ini merupakan hal yang positif dalam
pembangunan hukum keagrarian, karena keragu-raguan dan tidak teraturnya
dengan peraturan hukum tertentu telah banyak menimbulkan khaos . Dalam
kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No. 37/1998 ini telah banyak sekali
kekacuan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta PPAT.

Dalam kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No.37/1998 ini telah banyak
sekali kekacauan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta
PPAT, karena pelaksanaan tugas dari PPAT tidak tertuang dalam PMA No.18
Tahun 1961. PMA No.10 Tahun 1961 yang terdiri atas 10 Pasal hanya mengatur
tentang daerah kerja PPAT, tentang kewenangan membuat akta tanah dalam
daerah kerjanya dan keharusan meminta izin jika melakukan pembuatan akta
tanah di lain daerah kerjanya dan berkantor di daerah kerjanya, kemudian siapa
yang dapat diangkat sebagai PPAT. Setelah dikeluarkannya PP No.37/1998,
tugas dan ruang lingkup jabatan PPAT lebih jelas dan rinci meskipun dikalangan
akademisi masih mempertanyakan keabsahan atau keotentikan dari akta yang
dibuat PPAT.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat diatas dapat diajukan permasalahan, yaitu bagaimanakah
tugas dan kewenangan jabatan PPAT sebagaimana diatur dalam PP No.37/1998
dan peraturan perundangan lainnya ?

C. Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan dari laporan ini yaitu ingin mengetahui dan memahami tugas
dan kewenangan jabatan PPAT sebagaimana diatur dalam PP No.37/1998 Dan
peraturan perundangan lainnya.

BAB II

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 7


GAMBARAN UMUM KASUS

PP No.37/1998 ini telah dikeluarkan oleh pemerintah sudah 10 tahun lamanya,


namun dalam pelaksanaannya masih banyak mahasiswa dan masyarakat belum
mengetahui dan memahami secara seksama apa dan bagaimana isi PP
No.37/1998 yang mengatur tentang jabatan PPAT tersebut. Seringkali pula
ditemui adanya tumpang tindih pengetahuan antara jabatan Notaris dan PPAT.
Padahal seperti diketahui keduanya merupakan 2 (dua) jabatan yang berbeda
tugas dan kewenangannya.

Oleh sebab itu kami mencoba untuk menguraikan ruang lingkup pengangkatan,
pemberhentian, daerah kerja, tugas dan kewenangan PPAT dalam menjalankan
jabatannya dalam laporan ini.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian PPAT

Pasal 1 PP No.37/1998, menyebutkan :


1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun.
2. PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT.
3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk
karena jabatannya utnuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
Pemerintah tertentu.
4. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah
dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.
5. Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus disimpan dan dipelihara
oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta, asli akta, warkah pendukung akta, arsip
laporan, agenda dan surat-surat lainnya.
6. Warkah adalah dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta PPAT.
7. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam
satuan daerah kerja PPAT.
8. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukan kewenangan
seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya.
9. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang agraria/pertanahan.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 8


Apa yang diuraikan pada Pasal 1 ini, telah memperjelas tentang perngertian
PPAT tersebut, sehingga kita mengenal beberapa PPAT. Disamping itu ada yang
disebut protokol PPAT yang terdiri dari daftar akta, akta-akta asli yang harus
dijilid, warkah pendukung data, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya.
Berbeda dengan protokol Notaris masih ada yang tidak termasuk yaitu buku
klapper yang berisikan nama, alamat, pekerjaan, akta tentang apa dan singkatan
isi akta, nomor dan tanggal akta dibuat.

Formasi dari PPAT di sesuatu wilayah adalah maksimum boleh di tempatkannya


PPAT di sesuatu wilayah dan ini telah diatur oleh Pasal 14 PP No.24/1997 dan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1
Tahun 1996 dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.640-679
tanggal 11 maret 1996.

Peraturan Menagria/KBPN no.1 tahun 1996 menyebutkan sebagai berikut :

Pasal 1 :
Formasi PPAT di Kabupaten/Kota daerah tingkat II ditetapkan berdasarkan
rumus sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini.

Formasi tersebut pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :


y = a1×1 + a2×2 + b.
y = formasi PPAT di daerah tingkat II.
x1 = jumlah kecamatan dalam daerah tingkat II.
x2 = jumlah sertipikat non-proyek (sporadis) di daerah tingkat II rata-rata tiga
tahun terakhir.
a1 = 4 untuk Kota di DKI Jakarta.
a1 = 3 untuk daerah tingkat II lainnya atau yang disamakan.
a2 = 1/1000
b = angka pembulatan ke atas sampai lipatan lima.

Formasi PPAT daerah tingkat II berdasarkan Peraturan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan berakhir pada tanggal 24 september tahun ketiga sejak tahun
penetapannya, dan ditetapkan kembali dengan mengikuti kemungkinan adanya
perubahan pada rumus dimaksud pada diktum pertama ayat (2) untuk selama
tiga tahun berikutnya dengan catatan apbila tidak ada perubahan maka rumus ini
tetap dipergunakan. Formasi PPAT dalam peraturan ini berlaku pula untuk PPAT
Sementara yang dijabat oleh Camat selama masih diangkat sebagai PPAT.

Pada Pasal 2 ayat (2), menyebutkan Kabupaten/Kota tingkat II yang jumlah


PPAT-nya telah mencapai jumlah sama atau lebih dari formasi yang ditetapkan
dengan rumus dimaksud pada pasal 1 di atas dinyatakan tertutup untuk
pengangkatan PPAT baru maupun pindahan dari daerah lain.

Daerah kerja suatu PPAT adalah yang menunjukan kewenangan dari PPAT
tersebut membuat akta-akta PPAT. Daerah ini pada umumnya meliputi satu

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 9


kantor pertanahan tertentu, namun tidak tertutup kemungkinan PPAT ini
mempunyai daerah kerja lainnya. Banyak protes dari para Notaris maupun dari
ikatan PPAT tentang wilayah para PPAT, seperti di daerah Jakarta Raya, karena
ada Notaris-PPAT yang mempunyai wilayah se-Jakarta Raya, tetapi ada juga
PPAT yang baru dilantik hanya daerah tingkat II di daerah Jakarta Raya.

B. Pengangkatan Dan Pemberhentian PPAT

Dalam Pasal 5 PP No.37/1998, diatur tentang pengangkatan PPAT, sebagai


berikut :
(1) PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(2) PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu.
(3) Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPA atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu
dalam pembutan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di
bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus ;
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara;
b. Kepala Kantor Pertanian untuk melayani pembuatan akta PPAT yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat
atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat
berdasarkan asas reprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri,
sebagai PPAT Khusus.

Dari rumusan diatas dapat dipahami, bahwa :


a. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
b. Untuk suatu wilayah belum dipenuhi formasi pengangkatan PPAT dapat
ditunjuk Camat sebagai PPAT sementara, malahan jika ada suatu desa yang
jauh sekali letaknya dan jauh dari PPAT yang terdapat di kabupaten/kota dapat
ditujunjuk Kepala desa sebagai PPAT sementara. Dengan ketentuan ini maka
Camat tidak otomatis diangkat sebagai PPAT Sementara (dapat terbukti dari
surat pengangkatannya dan telah disumpah sebagai PPAT).
c. PPAT Khusus ini bertugas untuk melaksanakan perbuatan hukum atas Hak
Guna Usaha (HGU), terutama dalam hal mutasi.

C. Pengangkatan, Pemberhentian dan Daerah Kerja PPAT

Ditentukan dalam Pasal 6 PP No.37/1998, sebagai berikut :


Syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah :
1. berkewarganegaraan Indonesia;
2. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
3. berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh
Instansi Kepolisian setempat;
4. belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 10


5. sehat jasmani dan rohani;
6. lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus
PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
7. lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan
Pertanahan Nasional

Dengan adanya persyaratan dari Pasal 6 ini, maka sudah jelas siapa yang dapat
diangkat sebagai PPAT, yaitu telah mendapat pendidikan khusus spesialis
notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diadakan oleh lembaga
pendidikan tinggi di samping harus pula lulus dari ujian yang diadakan oleh
Kantor Menteri Negara Agraria/Kantor Pertanahan Nasional.

Dengan demikian kemungkinan diangkat sebagai PPAT tanpa ujian ataupun


yang belum pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang PPAT tidak akan
mungkin. Kalaupun ada PPAT sementara Camat atau Kepala Desa maka
tentunya pemerintah perlu mengatur dengan suatu Peraturan Menteri atas
dispensasi tersebut.

Didalam Pasal 8 PP No.37/1998, disebutkan PPAT berhenti menjabat karena :


a. meninggal dunia; atau
b. telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau
c. diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai
Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II yang lain
daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d. diberhentikan oleh Menteri sementara dalam ayat (2) pasal tersebut
menyebutkan :
(1) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT
apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.

(2) Ayat 1 huruf c merupakan suatu penyelesaian dari ada seseorang diangkat
sebagai PPAT, tetapi kemudian diangkat sebagai notaris di kota lain, sehingga
menurut ketentuan ini yang bersangkutan berhenti sebagai PPAT, sungguh pun
kalau masih ada lowongan di kota yang bersangkutan diangkat kembali sebagai
PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris.

(3) Hal ini sebagai solusi seseorang yang diangkat sebagai PPAT dan kemudian
sebagai notaris di kota lain tetap memegang kedua jabatan tersebut dan tetap
melakukan tugas-tugas PPAT dan notarisnya dan usahanya untuk diangkat
sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris tidak dikabulkan
oleh Kepala BPN hanya disuruh berhenti saja sebagai PPAT atau dia diangkat
saja sebagai notaris di tempat ditunjuk sebagai PPAT.

Sedangkan ayat (2) merupakan ketegasan dari PPAT sementara ataupun PPAT
khusus yang tidak mungkin melanjutkan tugas-tugasnya kalau mereka
dipindahkan ataupun berhenti sebagai pejabat di daerah itu baik sebagai camat

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 11


atau kepala desa dan demikian pula PPAT khusus itu dipindah ke lain jabatan
ataupun berhenti ataupun pensiun sebagai pegawai negeri.

Pasal 10 PP No.37/1998, menyebutkan :


(1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. tidak lagi menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau
kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang
berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk;
c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
e. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI.

(2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :


a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan
pidana yang diancam dengn hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5
(lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dan ayat (2) dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada Menteri.
(4) PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali menjadi
PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi
PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh.

Sementara Daerah kerja PPAT diatur dalam Pasal 12 PP No.37/1998, sebagai


berikut:
(1) Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.
(2) Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya
sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.

Untuk daerah yang terjadi pemekaran atau pemecahan menjadi 2 (dua) atau
lebih tentunya dapat mengakibatkan perubahan daerah kerja PPAT didaerah
yang terjadi pemekaran atau pemecahan tersebut. Hal ini telah diatur dalam
Pasal 13 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1)Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih
wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang tentang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah
tingkat II yang baru PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semua
harus memilih salah satu wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya,
dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada
waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang
pembentukan Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II yang baru tersebut daerah kerja

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 12


PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak kantor
PPAT yang bersangkutan.

(2) Pemilihan daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan
sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang
pembentukan Kabupaten/Kota daerah Tingkat II yang baru.

Dari rumusan diatas dapat dipahami bahwa dalam ayat (1) memberikan suatu
kemudahan kepada PPAT untuk memilih salah satu wilayah kerjanya, dan jika
ada kantor pertanahannya disitulah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan
disamping itu diberi dia tenggang waktu satu tahun untuk memilih, dan jika dia
tidak memilih salah satu dari daerah tersebut, maka dianggap dia telah memilih
kantor pertanahan di daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu
tahun tidak lagi berwenang. Sedangkan dalam masa peralihan yang lamanya 1
(satu) tahun PPAT yang bersangkutan berwenang membuat akta mengenai hak
atas tanah atau Hak Milik Atas satuan rumah Susun yang terletak di wilayah
Daerah Tingkat II yang baru maupun yang lama.

D. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT

Pasal 2 PP No.37/1998, sebagai berikut :


(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Sementara Pasal 101 Peraturan Menagria/KBPN No.3 Tahun 1997,


menyebutkan sebagai berikut :
1. pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan
perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya
dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 13


2. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan
hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak
atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan dalam
pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum yang
bersangkutan.

3. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan
memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur
pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

Atas ayat (1) maka tugas dari PPAT adalah melakukan perekaman perbuatan
hukum (recording of deeds of conveyance) sebagaimana diatur dalam ayat (2).

Dalam Pasal 3 PP No.37/1998, disebutkan :


(1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak
atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam
daerah kerjanya.

(2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum
yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Demikian PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT berdasarkan
penunjukannya sebagai PPAT, di sesuatu wilayah dan perbuatan-perbuatan
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PP No.37/1998 tersebut.
Sedangkan kewenangan PPAT khusus tersebut adalah pembuatan akta PPAT
yang secara khusus ditentukan.

Mengenai bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam Pasal
21 PP No.37/1998, sebagai berikut :

(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun
takwin.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
a. lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT
bersangkutan, dan
b. lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjasi obyek
perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan
untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian
kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 14


untuk dasar pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.
Yang mengherankan dalam penjelasan ayat (1) pasal diatas, bahwa untuk
memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan
bentuknya oleh Menteri. Penulis tidak sependapat dengan penjelasan tersebut,
karena yang menentukan keotentikan suatu akta yaitu kewenangan pejabat yang
membuatnya, komparisi, nama-nama dan tanggal akta dibuat sesuai dengan
ketentuan yang ada, hal itulah yang membuat akta itu otentik.

BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Dikenalnya beberapa PPAT yaitu Notaris atau yang khusus menempuh ujian
PPAT, ada pula PPAT sementara yaitu Camat atau Kepala Desa tertentu untuk
melaksanakan tugas PPAT, karena di suatu daerah belum cukup PPAT.

2. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk suatu daerah kerja
tertentu yang meliputi wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

3. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah


dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,
perbuatan hukum dimaksud sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tangungan.

b. Saran
Mengingat masih adanya perbedaan pendapat di kalangan akedemisi mengenai
keotentikan akta PPAT yang selama ini diatur melalui Peraturan Pemerintah
maka sebaiknya Pemerintah beserta DPR segera membuat Undang-Undang
mengenai PPAT.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 09:21 0 komentar


Label: Fungsi dan Peranan Jabatan Notaris, PPAT

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 15


HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

I. Pendahuluan

Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk,
dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh
masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam,
hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).[1] Hal ini adalah akibat warisan
hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda
dahulu.

Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu
mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional
(seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang
sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula
dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.

Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.[2]


Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk
hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di
dalam menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-
ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan
memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang
bersangkutan.[3]

II. Pembahasan tentang Hukum Waris Islam

Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram,
mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya
sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau
sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement),
sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-
Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan
keterangan yang jelas dan pasti.

Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam
mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan
Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise
bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan
oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau
cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian
menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau
ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan
masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya.[4]

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 16


Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain
yang dihadpi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-
Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul
macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan
ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak
(lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris
lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing.[5]

Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau
diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan.
Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian
dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua
anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka.[6] Demikian pula
kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika
melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis
lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan.[7]

Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam


berbagai masalah waris adalah cukup banyak.[8] Tetapi ada dua hal yang
menjadi penyebab utamanya, yakni :

1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad
berbeda; dan

2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.

Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau


aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud
mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan
hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu
Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap
berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan
kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun
gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu,
karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena
mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga
pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun
sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau
umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum
yang cocok dengan bangsa atau umatnya.

Turki adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU
Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya
kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan
penduduk Turki.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 17


Di Mesir, pemrintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan
ahli hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang
diambil dari hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan
memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan
UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun
1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar, pemeliharaan anak dan
sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari mazhab empat,
sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali dengan mazhab
empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan menjatuhkan talak tiga
kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian tahun 1926 sidang kabinet
atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk
sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal al-
Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU
Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini
terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya
saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka
bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak
sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris.[9]

Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang
lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak
berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan
kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik
penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta
ataupun olah perorangan (seorang ulama).

III. Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia

Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya)


dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh
umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka
terhadap agama Islam.

Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan


Agama.[10] Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para
pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi
wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah,
sedekah, Baitul Mal, dan wakaf.[11] Sekalipun wewenang Pengadilan Agama
tersebut tidak ditentukan dengan jelas.

Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut
dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan
Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[12]

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 18


Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai
Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi.
Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari
Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP
Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura
dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping
kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas
waris, hadhanah, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang
menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan
Umum tetap berlaku.[13]

Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic
Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia,
bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan
kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih
tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat
mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan
perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri.[14] Dan
penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak
mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa
waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri
sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan
dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor
Agraria.[15]

Pada tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama


dengan Fakultas Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima
daerah, yakni D.I. Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan
hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya


hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki
berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama
77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%

Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun


1978/1979 di sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang,
Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram
dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah
sebagai berikut :

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 19


1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya
hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang
menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama
mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan
Negeri sebanyak 27,7%.

Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke
Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai
dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang
menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum
faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan
the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.[16]

Karena itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim


seperti kasus warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut
hukum adat pada tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat)
dengan pertimbangan antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan
adalah seorang tokoh Islam di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum
waris Islam oleh karena almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”.

Jelaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E.
tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945
sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische
Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk
Hindia Belanda dahulu.[17] Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori
resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di
dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan
peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan
sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum ada”.[18]

IV. Penutup

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disampaikan beberapa


kesimpulan dan saran/harapan sebagai berikut :

1. Hukum Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah


lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan
sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama
Islam. Karena itu, hukum Islam tersebut hendaknya dijadikan sumber yang
utama untuk pembentukan hukum nasional (mengingat mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam dan kesadaran hukum agamanya), di samping
hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 20


2. Di Indonesia hingga kini belum ada kitab/himpuna hukum Islam yang lengkap
terutama mengenai hukum keluarga Islam termasuk hukum waris Islam
Indonesia, baik yang tradisional maupun yang modern. Karena itu, hendaknya
para ulama dan cendekiawan Muslim segera menyusun Himpunan Hukum Islam
tersebut tanpa terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi hukum Islam
tersebut harus bisa memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan kemaslahatan
umat, dan kemajuan zaman.

3. Akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis
pengaruh Islam dari negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step
by step Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia
Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh
umat Islam Indonesia sampai sekarang. Karena itu, sesuai dengan semangat
Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
konsekuen dan murni, maka hendaknya produk-produk hukum warisan kolonial
dan warisan Orde Lama, dapat segera dicabut dan diganti dengan hukum
nasional yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum rakyat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

4. Khusus hukum waris Islam yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya
oleh umat Islam di semua daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas
Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan praktek-praktel Pengadilan Agama dalam
hukum waris Islam yang sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
hendaknya kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama disejajarkan dengan
Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan
Agama yang akan diundangkan nanti benar-benar menempatkan kedudukan
Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan Negeri dan wewenang
Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti semula sebelum
ada teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini bertentangan dengan
ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan de Berg itulah yang
sesuai dengan ajaran Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum
Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan
Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.

Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6.
Cf. Tabel 9.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 21


Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya,
1983. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan
Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982.

Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah
al-‘Arabiyah, 1960

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat


Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.

Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah,


Surabaya, Bina Ilmu, 1981.

___________, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun


I, 1983.

Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,


Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963.

Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3


Tahun I, 1983.

Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta, Yayasan Risalah, 1984.

[1] Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia
dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum
Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di
Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20

[2] Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, penduduk Indonesia menurut


agama berjumlah 147.490.298 jiwa yang beragama Islam 125.462.176 jiwa
(87,09%), vide Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L
No. 3, Tabel 6, hlm. 20-21. Cf. Tabel 9, hlm. 26-27

[3] Mengenai pandangan Islam terhadap adat/hukum adat, vide Ahmad Azhar
Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983, hlm. 27-
34. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan
Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982, hlm/ 65-70

[4] Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-
Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm. 211-212. Dan untuk memahami/mencari

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 22


hikmah di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 380-404

[5] Perhatikan al-Qur’an Surat al-Nisa ayat 11 dan 12

[6] Vide Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan


Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 66

[7] Ibid., hlm. 57

[8] Mengenai sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat/fatwa hukum, vide


Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah,
Surabaya, Bina Ilmu, 1981, hlm. 16-17. Dan mengenai metode ijtihad yang
dipakai oleh Imam Mazhab Empat, Ibid., hlm. 22-26

[9] Vide Muhammad Sallam Madkur, op.cit., hlm. 118-127

[10] Nama resminya Priester Road (Pengadilan Pendeta), nama yang asing bagi
umat Islam Indonesia sendiri, dan pemberian nama yang salah, karena Islam tak
mengenal kependetaan, sebab Islam punya prinsip equality before God.

[11] Vide Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di


Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10

[12] Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937
Nomor 638 dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-
Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan.

[13] Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3


Tahun I, 1983, hlm. 24-25

[14] Ny. Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976,
dan hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang mengajukan perkara
waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%) mengajukan
perkara waris ke Pengadilan Agama. Vide Muhammad Daud Ali, Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984m
hlm. 24-25

[15] Ibid., hlm. 25

[16] Vide Masjfuk Zuhdi, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan,


No. 2 Tahun I, 1983, hlm. 39-40

[17] Yang pro dan yang kontra terhadap teori resepsi Snouck Hurgronje dengan
argumentasinya masing-masing, vide Sajuti Thalib, op.cit., hlm. 19-23, dan hlm.
65-72

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 23


[18] Perhatikan pasal 2 (sahnya perkawinan) pasal 29 (sahnya perjanjian
perkawinan), dan penjelasan pasal 37 (harta benda suami istri yang cerai)
menunjukkan berlakunya hukum agama termasuk hukum Islam Indonesia tanpa
harus disandarkan berlakunya hukum Islam tersebut pada hukum adat, tetapi
cukup berdasarkan secara langsung peraturan UU yang bersangkutan dalam hal
ini UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 07:49 0 komentar


Label: Fatwa, Hukum, Indonesia, Islam, Waris

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 24


CARA MEMBAGI WARIS MENURUT KUH PERDATA

Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan


seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari
masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu
caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH
Perdata).

Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-


masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada
ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan
mereka gunakan dalam membagi harta warisan.

Keluarga Bambang (bukan nama sebenarnya) di Solo, misalnya. Mereka


mempunyai permasalahan seputar warisan sejak 7 tahun yang lalu. Awalnya
keluarga ini tidak mau membawa masalah ini ke meja hijau tapi sayangnya, ada
beberapa ahli waris yang beritikad buruk. Karena itu keluarga Bambang akhirnya
memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Hingga awal
tahun 2006, kasusnya masih dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi
setempat dan belum ada putusan.

Ilustrasi ini hanya satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke
pengadilan. Mengingat banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita
mengetahui bagaimana sebenarnya permasalahan ini diselesaikan dengan
Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Berhak Mendapatkan Warisan


Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan
absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan
warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini
sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak
yang berhak menerima warisan.

Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri
atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya,
keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan
pembagian waris).

Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli


waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat
surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah
pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta
yang akan diterima oleh setiap ahli waris.

Tidak Berhak Menerimanya

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 25


Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara
absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan
beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut
menerima warisan.

Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah
dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba
membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan,
dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah
menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya
sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah
orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan
hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan,
merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.

Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah


diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan
pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.

Pengurusan Harta Warisan


Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan
harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk
menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin
mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa
tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta
warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan
bangunan).

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan


Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat Surat
Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di
Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-
masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi
siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris.

Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan,
maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu
pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus
melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan
Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat
atau Akta Pembagian Waris bila ada.

Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian
maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu
nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 26


Undang maka diharapkan bisa meminimalkan adanya gugatan dari salah satu
ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagiannya.

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan


A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang
berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan
adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.

• Ayah
• Ibu
• Pewaris
• Saudara
• Saudara

B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum
mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah
kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.

Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan
kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada
prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III
• kakek
• nenek
• kakek
• nenek

Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang
mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu
maupun ayah.

Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari
ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½
bagian untuk garis ibu.

D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah
dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan
ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris
mendapatkan ½ bagian sisanya.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 27


TIPS
Sebelum melakukan pembagian warisan, ahli waris harus bertanggungjawab
terlebih dahulu kepada hutang-piutang yang ditinggalkan oleh pewaris semasa
hidupnya.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 06:12 0 komentar


Label: Bagian, Hukum, Notaris, Perdata, Waris
Kewajiban Memiliki NPWP dalam Rangka Penjualan Tanah dan Bangunan
Kewajiban Memiliki NPWP dalam Rangka Penjualan Tanah dan Bangunan

Bagi Anda yang berencana menjual atau membeli tanah dan bangunan (rumah)
dalam waktu dekat segeralah mengurus NPWP bagi yang belum memilikinya,
karena Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan PER-35/PJ.2008 tanggal 9
September 2008 tentang Kewajiban Pemilikan NPWP dalam Rangka Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Hal-hal yang diatur dalam PER-35/PJ.2008 tersebut adalah sebagai berikut:


1. Atas pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
(BPHTB) dengan menggunakan SSB wajib dicantumkan NPWP yang dimilki
Wajib Pajak yang bersangkutan, kecuali atas pembayaran BPHTB dengan NJOP
kurang dari Rp 60.000.000
2. Atas pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dengan menggunakan SSP atas
penghasilan dari pengalihan tanah dan atau bangunan, wajib dicantumkan
NPWP Wajib Pajak yang dimilki Wajib Pajak yang bersangkutan , kecuali PPh
yang dibayar kurang dari Rp 3.000.000

Jadi mulai tanggal 9 September 2008 setiap orang yang menjual atau membeli
tanah dan/atau bangunan harus memiliki NPWP

Diposkan oleh Notariat Collegium di 05:15 0 komentar


Label: Beli, BPN, Hak, Jual, NPWP, Peralihan, PPAT, Tanah

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 28


Menentukan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB

Dalam rangka penentuan Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak


Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Menteri
Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
14/PMK.03/2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan,
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara
regional dengan ketentuan :

1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah);

2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur


dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan
Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
07/PERMEN/M/2008, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007
tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas
Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp
55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah);

3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku
usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah
untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan
sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada


nomor 1, normor 2, dan nomor 3, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah);

5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada angka 4 lebih besar daripada Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
angka 2 maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan
hak sebagaimana dimaksud pada angka 2 ditetapkan sama dengan Nilai

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 29


Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada angka
4;

6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada angka 4 lebih besar daripada Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
angka 3 maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan
hak sebagaimana dimaksud pada angka 3 ditetapkan sama dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada angka
4.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 05:13 0 komentar


Label: Agraria, BPHTB, BPN, Pajak, PPAT, Tanah

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 30


Latihan Perhitungan PBB & BPHTB

LATIHAN SOAL PBB


Perum Perumnas mendirikan Rumah Susun dengan data sebagai data sebagai
berikut:
a. Luas Tanah 7.000 M2, NJOP = Rp 394.000/ M2 (Kelas A22)
b. Luas Bangunan Hunian:
• tipe 21 (200 unit)
• tipe 36 (100 unit)
• tipe 48 (50 unit)
Luas Bangunan Hunian = 10.200 M2
NJOP Bangunan Hunian = Rp 365.000/ M2 (Kelas A8)
c. Bangunan Bersama
Tangga, Kaki Lima seluas 1.800 M2, Kelas A8
d. Bangunan Sarana
Jalan, Tempat Parkir, dll = 2.000 M2, Kelas A8
Hitunglah PBB untuk masing-masing tipe hunian?
Jawab:

NJOP Tanah 7.000 X 394.000 = 2.758.000.000


NJOP Bangunan
- Hunian 10.200 X 365.000 = 3.723.000.000
- Bersama 1.800 X 365.000 = 657.000.000
- Sarana 2.000 X 365.000 = 730.000.000
Jumlah NJOP Bangunan 5.110.000.000

PBB Tipe 21
NJOP Tanah 21/ 10.200 x 2.758.000.000 5.678.235
NJOP Bangunan 21/ 10.200 x 5.110.000.000 10.520.588
NJOP Dasar Pengenaan PBB 16.198.824
NJOPTKP 12.000.000
NJOP untuk Penghitungan PBB 4.198.824
NJKP 20% X 4.198.824 839.765
PBB terutang 0,50% X 839.765 4.199

PBB Tipe 36
NJOP Tanah 36/ 10.200 x 2.758.000.000 9.734.118
NJOP Bangunan 36/ 10.200 x 5.110.000.000 18.035.294
NJOP Dasar Pengenaan PBB 27.769.412
NJOPTKP 12.000.000
NJOP untuk Penghitungan PBB 15.769.412
NJKP 20% X 15.769.412 3.153.882
PBB terutang 0,50% X 3.153.882 15.769

PBB Tipe 48
NJOP Tanah 48/ 10.200 x 2.758.000.000 12.978.824

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 31


NJOP Bangunan 48/ 10.200 x 5.110.000.000 24.047.059
NJOP Dasar Pengenaan PBB 37.025.882
NJOPTKP 12.000.000
NJOP untuk Penghitungan PBB 25.025.882
NJKP 20% X 25.025.882 5.005.176
PBB terutang 0,50% X 5.005.176 25.026

LATIHAN SOAL BPHTB


SOAL 1
Pada tanggal 1 Maret 2008, Bapak Gideon membeli sebuah rumah seluas 200
M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Bogor
dengan harga perolehan sebesar Rp500.000.000,. Berdasarkan data SPPT PBB
atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan
bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp50.000.000,- maka berapa
BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Gideon?
Jawab: NPOP = Rp 600.000.000 NPOPTKP = Rp 50.000.000 NPOPKP = Rp
550.000.000 Tarif 5% BPHTB = Rp 27.500.000 2.

SOAL 2
Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300
M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp300 juta.
Terhadap tanah tersebut telah diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran
hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut
ditentukan sebesar Rp50 juta maka hitunglah BPHTB yang terutang?
Jawab: NPOP = Rp 300.000.000 NPOPTKP = Rp 50.000.000 NPOPKP = Rp
250.000.000 Tarif 50% x 5% BPHTB = Rp 6.250.000

SOAL 3
Sebuah perusahaan negara milik daerah ( BUMD Perpakiran ) menerima hak
pengelolaan dari pemerintah sebidang tanah dan sebuah gedung untuk parkir
dengan nilai pasar pada waktu penerbitan hak sebesar Rp1 milyar. Terhadap
tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan SPPT PBB dengan NJOP sebesar
Rp1,25 milyar. Apabila NPOPTKP atas daerah tersebut ditetapkan sebesar Rp50
juta maka hitunglah besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh BUMD Perpakiran
tersebut?
Jawab:
NPOP = Rp 1.250.000.000 NPOPTKP = Rp 50.000.000 NPOPKP = Rp
1.200.000.000 Tarif 50% x 5% BPHTB = Rp 30.000.000

SOAL 4
Bapak Krosbin Simatupang membeli sebidang tanah di Surabaya pada tanggal 5
Januari 2003 dengan harga perolehan menurut PPAT sebesar Rp.300.000.000,-
dan BPHTBnya telah dibayar lunas pada tanggal tersebut. Berdasarkan
pemeriksaan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu pada
tanggal 7 Pebruari 2003, ternyata NJOP PBB atas tanah tersebut adalah

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 32


sebesar Rp.350.000.000,- Pada tanggal 1 Maret 2003 diperoleh data baru
(novum), ternyata transaksi yang benar atas tanah tersebut adalah sebesar
Rp400.000.000,- Atas temuan-temuan tersebut diatas Kepala Kantor Pelayanan
PBB Surabaya Satu telah menerbitkan SKBKB pada tanggal 7 Pebruari 2003
dan SKBKBT pada tanggal 1 Maret 2003. Berapa BPHTB yang harus dibayar
oleh Bapak Krosbin Simatupang tersebut berdasarkan SKBKB dan SKBKBT
yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan PBB tersebut bila NPOPTKP
ditentukan sebesar Rp50.000.000,- ?
Jawab :
• BPHTB yang telah dibayar pada tanggal 5 Januari 2003 adalah: 5% x
(300.000.000 - 50.000.000) = Rp12.500.000,
• BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 7 Pebruari 2003 : 5% x
(350.000.000 - 50.000.000) = Rp15.000.000,-
• BPHTB yang telah dibayar = Rp12.500.000,-
• BPHTB kurang bayar = Rp 2.500.000,-
• Denda : 2 x 2% x Rp2.500.000,- = Rp 100.000,- SKBKB = Rp 2.600.000,- 3.
BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 1 Maret 2003 : 5% x
(400.000.000 - 50.000.000) = Rp17.500.000,-
• BPHTB yang telah dibayar = Rp15.000.000,-
• BPHTB kurang bayar = Rp 2.500.000,-
• Sanksi administrasi ( 100% ) = Rp 2.500.000,- SKBKBT = Rp 5.000.000,-

Diposkan oleh Notariat Collegium di 05:11 0 komentar


Label: BPHTB, hitung, Pajak. Agraria, PBB, Tanah

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 33


BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

A. SUBJEK PAJAK (250304 )


1. Siapa Subjek BPHTB ?

Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar
BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.

B. OBJEK PAJAK (250304 )


1. Apa yang menjadi objek BPHTB ?
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi:
a. Pemindahan hak karena:
• jual beli;
• tukar-menukar;
• hibah;
• hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian
hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum
tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia;
• waris;
• pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan
Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan
Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut;
• pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak
bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada
sesama pemegang hak bersama;
• penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh
Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang;
• pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu
adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu
pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut;
• penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan
melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung;
• peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan
cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang
bergabung tersebut;
• pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan
usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan
sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan
tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;
• hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan
atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada
penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 34


• 1. kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi
atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak;
• 2. di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang
pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
• o Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan.
• o Objek pajak yang diperoleh karena waris dan hibah wasiat pengenaan
BPHTB-nya diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 111 Tahun 2000;
• o Objek pajak yang diperoleh karena pemberian hak pengelolaan pengenaan
BPHTB-nya diatur lebih lanjut dengan PP Nomor 112 Tahun 2000;
2. Apa saja yang termasuk hak atas tanah ?
Hak atas tanah meliputi :
a. hak milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh
Pemerintah;
b. hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh
perundang-undangan yang berlaku;
c. hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka
waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
d. hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan
tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
e. hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat
perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak
atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang
bersangkutan.
f. hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain,
berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah
untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

3. Objek pajak apa saja yang tidak dikenakan BPHTB ?


• objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 35


• objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan
atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
• objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau
perwakilan organisasi tersebut;
• objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau
karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
• objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf;
• objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk
kepentingan ibadah.

• o Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan
guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh
Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
• o Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama
menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan
hak oleh Pemerintah.
• o Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan
yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah
dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.

C. TARIF PAJAK (250304 )

1. Berapa besarnya tarif BPHTB ?


Tarif BPHTB adalah 5% (lima persen).

D. DASAR PENGENAAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK (250304 )


1. Apakah dasar pengenaan BPHTB ?
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu a.
jual beli adalah harga transaksi;
• b. tukar-menukar adalah nilai pasar;
• c. hibah adalah nilai pasar;
• d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
• e. waris adalah nilai pasar;
• f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
• g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
• h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
• i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
nilai pasar;

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 36


• j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
• k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
• l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
• m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
• n. hadiah adalah nilai pasar;
• o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum
dalam Risalah Lelang.
Dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB
yang dipakai adalah NJOP PBB.
• Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah
disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
• Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum ditetapkan,
besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

2. Apa yang boleh dikurangkan dalam penghitungan BPHTB ?


Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan
untuk setiap perolehan hak sebagai pengurang penghitungan BPHTB terutang.

3. Berapa besarnya NPOPTKP ?


NPOPTKP ditetapkan secara regional (setiap kabupaten/kota) paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak
karena waris, atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas
atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
NPOPTKP regional paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
• Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri
Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat
Pemda setempat.
• Ketentuan besarnya NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 113 Tahun
2000.

4. Bagaimana cara menghitung BPHTB terutang ?


• BPHTB terutang = 5 % x NPOP Kena Pajak;
• NPOP Kena Pajak = NPOP - NPOPTKP.

E. SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG (250304 )


1. Kapan saat BPHTB terutang dan harus dilunasi ? Saat terutang dan
pelunasan BPHTB untuk:
• a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu
tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris;
• b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
• c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
• d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan;

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 37


• e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
• f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta;
• g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal
ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor
lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memuat antara lain nama pemenang lelang.
• h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
• i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan;
• j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
• k. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal
ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
• l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya
akta;
• m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
• n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
• o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

2. Dimana tempat BPHTB terutang?


Tempat BPHTB terutang adalah wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan.

F. PEMBAYARAN, PENETAPAN, DAN PENAGIHAN (250304 )

1. Sistem apakah yang dipakai sebagai dasar pemungutan BPHTB ?


Sistem self assessment, dimana Wajib Pajak membayar BPHTB yang terutang
dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.
2. Bagaimana cara membayar BPHTB ?
BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi
BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank
Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (SSB).
3. Dalam waktu berapa lama SKBKB dapat diterbitkan ?
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang
dibayar.
4. Berapa besarnya BPHTB terutang dalam SKBKB ?
BPHTB terutang dalam SKBKB adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang
dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen)

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 38


sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama
24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya BPHTB sampai
dengan diterbitkannya SKBKB dimaksud.

5. Dalam waktu berapa lama SKBKBT dapat diterbitkan ?


Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan
data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
penambahan jumlah BPHTB yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB.
6. Berapa besarnya BPHTB terutang dalam SKBKBT ?
BPHTB terutang dalam SKBKBT adalah BPHTB terutang yang belum atau
kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut, kecuali Wajib
Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

7. Bilamana STB diterbitkan ?


Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB) diterbitkan
apabila : a. BPHTB yang terutang tidak atau kurang dibayar; b. dari hasil
pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran BPHTB sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi
berupa denda dan atau bunga.

8. Berapa besarnya BPHTB terutang dalam STB ?


BPHTB terutang dalam STB akibat tidak atau kurang dibayar dan akibat salah
tulis dan atau hitung adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan sejak saat terutangnya BPHTB.

9. Bagaimana kedudukan STB dalam proses penagihan BPHTB ?


STB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak
sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa.

10. Apakah dasar penagihan BPHTB ?


• Dasar penagihan BPHTB adalah SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah.
• Tata cara penagihan BPHTB diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan.

11. Berapa lama jangka waktu pelunasan SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah?
• BPHTB terutang dalam SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 39


menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah harus dilunasi
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak;
• Apabila sampai dengan jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud
tidak atau kurang dibayar, dapat ditagih dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah
membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mempunyai kekuatan sama
dengan putusan pengadilan (parate executie).

G. KEBERATAN, BANDING, DAN PENGURANGAN (250304 )

1. Apa saja yang dapat diajukan permohonan keberatan BPHTB ?


Yang dapat diajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak adalah : a.
SKBKB, yaitu surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah BPHTB
terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar; b. SKBKBT, yaitu surat
ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah BPHTB yang telah
ditetapkan; c. SKBLB, yaitu surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran BPHTB karena jumlah BPHTB yang telah dibayar lebih besar
daripada BPHTB yang seharusnya terutang; d. SKBN, yaitu surat ketetapan
yang menentukan jumlah BPHTB yang terutang sama besarnya dengan jumlah
BPHTB yang dibayar..

2. Bagaimana tata cara permohonan keberatan BPHTB ?


• Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala
KPPBB dengan mengemukakan jumlah BPHTB yang terutang menurut
penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang jelas, yaitu didukung
dengan data atau bukti bahwa jumlah BPHTB yang terutang atau lebih bayar
yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar;
• Menyampaikan permohonan secara lengkap sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SKBKB, SKBKBT,
SKBLB, atau SKBN; kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
• Melampirkan foto kopi sebagai berikut :
• o Fotocopy SSB
• o Asli SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN
• o Fotocopy Akta/Risalah Lelang/Surat Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan
Hakim
• o Fotocopy KTP/ Paspor / KK /identitas lain
• Ø Permohonan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap
sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan;
• Ø Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat
Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan
melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut
bagi kepentingan Wajib Pajak.

3. Berapa lama jangka waktu penyelesaian permohonan keberatan BPHTB ?

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 40


Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan
atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud
telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan,
maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

4. Apa yang dapat disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum keputusan keberatan
BPHTB diterbitkan ?
Sebelum surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat
menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

5. Apa bentuk keputusan keberatan ?


Keputusan Keberatan dapat berupa :
• menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam
pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan terbukti
kebenarannya.
• menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam
pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian terbukti
kebenarannya.
• menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan
dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti kebenarannya.
• menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam
pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan, mengakibatkan
peningkatan jumlah BPHTB-nya.

6. Apa yang dapat dilakukan Wajib Pajak jika permohonan keberatannya


ditolak ?
• Wajib Pajak yang keberatannya ditolak dapat mengajukan banding ke Badan
Pengadilan Pajak (BPP).
• Permohonan dimaksud diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

7. Apa bentuk putusan Banding ?


Putusan Banding dapat berupa :
• - menolak;
• - mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
• - menambah pajak yang harus dibayar;
• - tidak dapat diterima;

8. Bagaimana sifat Putusan Banding ?


Putusan Banding oleh BPP bukan merupakan putusan final dan dapat diajukan
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

9. Bagaimana jika Putusan Banding menerima sebagian atau seluruhnya ?


Apabila putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan
pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 41


jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal
pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran BPHTB sampai dengan
diterbitkannya Putusan Banding.

10. Kepada siapa pengurangan BPHTB dapat diberikan ?


Pengurangan BPHTB dapat diberikan Wajib Pajak melalui permohonan karena:
a. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek BPHTB,
atau b. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab
tertentu, atau c. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial
atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan.

H. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN (250304 )


1. Dalam hal apa terjadi kelebihan pembayaran BPHTB ?
Kelebihan pembayaran BPHTB terjadi dalam hal :
a. BPHTB yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang;
b. BPHTB yang dibayar tidak seharusnya terutang;
c. permohonan pengurangan dikabulkan;
d. pengajuan keberatan atas ketetapan BPHTB dikabulkan seluruhnya atau
sebagian;
e. permohonan banding terhadap keputusan keberatan dikabulkan seluruhnya
atau sebagian;
f. perubahan peraturan.

2. Bagaimanakah perlakuan atas kelebihan pembayaran BPHTB ?


Kelebihan Pembayaran PBB dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak (restitusi),
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya, atau disumbangkan kepada Negara.

3. Dalam jangka waktu maksimal berapa lama KPPBB harus memberikan


jawaban atas surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB
dimaksud ?
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dari
Wajib Pajak. Apabila dalam jangka waktu tersebut surat keputusan tidak
diterbitkan maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan serta Kepala
KPPBB harus menerbitkan SKBLB dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan.

4. Apakah bentuk Surat Keputusan yang dapat diterbitkan atas pengembalian


kelebihan pembayaran BPHTB ?
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan (sederhana dan
lapangan) menerbitkan:
• SKBLB, apabila jumlah BPHTB yang dibayar ternyata lebih besar daripada
jumlah BPHTB yang terutang atau dilakukan pembayaran BPHTB yang tidak
seharusnya terutang;
• SKBN, apabila jumlah BPHTB yang dibayar sama dengan jumlah BPHTB yang
terutang;

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 42


• SKBKB, apabila jumlah BPHTB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah
BPHTB yang seharusnya terutang.

5. Kapan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dilakukan ?
Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKBLB, yaitu dengan
diterbitkannya Surat Perintah Membayar Kelebihan BPHTB (SPMKB) oleh
Kepala KPPBB. Dalam hal Kepala KPPBB terlambat menerbitkan SPMKB, maka
Wajib Pajak diberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan sampai dengan
diterbitkannya SPMKB dimaksud.

I. PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN BPHTB (250304 )


1. Bagaimana pengelolaan hasil penerimaan BPHTB ?
Hasil penerimaan BPHTB dibagi dengan perimbangan sebagai berikut :
• - 20 % (duapuluh persen) untuk pemerintah pusat yang selanjutnya
dikembalikan lagi secara merata ke setiap kabupaten/kota
• - 16 % (enambelas persen) untuk propinsi;
• - 64 % (enampuluh empat persen) untuk kabupaten/kota.

J. KETENTUAN BAGI PEJABAT (250304 )


1. Kapan Pejabat dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan
atau bangunan, menandatangani risalah lelang, menandatangani dan
menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah (SKPH), mendaftar
peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat ?
• Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.
• Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran berupa SSB.
• Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan SKPH hanya dapat
menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib
Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.
• Pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya
dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB.

2. Apa sanksi bagi PPAT/Notaris atau Pejabat Lelang Negara yang


menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan/risalah
lelang tanpa adanya bukti pembayaran berupa SSB ?
Dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta
lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

3. Apa kewajiban PPAT/Notaris atau Pejabat Lelang Negara ?


• Melaporkan pembuatan akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan
atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 43


Direktorat Jenderal Pajak (KPPBB setempat) selambat-lambatnya pada tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya.
4. Apa sanksi bagi PPAT/Notaris yang tidak melaporkan pembuatan akta
pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ke KPPBB ?
Dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

5. Apa sanksi bagi Pejabat Pertanahan yang menandatangani dan menerbitkan


SKPH atau mendaftar peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat
tanpa adanya bukti pembayaran berupa SSB ?
Dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

6. Apa sanksi bagi Kepala Kantor Lelang Negara yang tidak melaporkan
pembuatan risalah lelang ke KPPBB ?
Dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 05:02 0 komentar


Label: Agraria, Bangunan, BPHTB, BPN, Pajak, PPAT, Tanah

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 44


NORMA NORMA PENDAFTARAN TANAH

Mengacu kepada ketentuan perundangan pendaftaran Tanah di Indonesia yang


ketentuan pelaksanaannya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah
mengkonstruksi norma-norma pendaftaran tanah di masyarakat, antara lain:

Pertama, tahapan pemeriksaan berkas permohonan, mengkonstruksi norma


keaktifan anggota masyarakat dalam membuktikan dirinya sebagai pemilik yang
sah atas suatu bidang tanah. Termasuk dalam hal ini kesediaan anggota
masyarakat memanfaatkan jasa PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang
aktanya bermanfaat dalam memperkuat pembuktian kepemilikan atas tanah.

Kedua, tahapan pembayaran biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah,
mengkonstruksi norma kesediaan anggota masyarakat membayar biaya
pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah.

Ketiga, tahapan penelitian data yuridis, mengkonstruksi norma ketelitian anggota


masyarakat dalam menyiapkan alas hak atau bukti awal pemilikan tanah.

Keempat, tahapan pemeriksaan lapangan tentang kebenaran data yuridis,


mengkonstruksi norma:
(a) kejujuran anggota masyarakat dalam membuktikan kebenaran kepemilikan
tanahnya;
(b) kepedulian anggota masyarakat yang berbatasan dan berdekatan dengan
pemilik tanah untuk bersedia memberikan informasi tentang tanah dimaksud.

Kelima, tahapan pengukuran bidang tanah untuk mengumpulkan data fisik,


mengkonstruksi norma:
(a) kesediaan pemilik tanah (anggota masyarakat) memasang tanda batas untuk
menandai bidang tanah yang dimilikinya;
(b) kesediaan pemilik tanah untuk berinteraksi dengan tetangga batas dalam
penetapan batas bidang tanah, sebagai konsekuensi asas contradictoir
delimitatie;
(c) kepedulian tetangga batas (anggota masyarakat) untuk menghadiri
penetapan batas bidang tanah ;
(d) pengakuan pemilik tanah terhadap hasil pengukuran oleh petugas kantor
pertanahan.

Keenam, tahapan pengumuman data yuridis dan data fisik, mengkonstruksi


norma apresiasi (penghormatan) anggota masyarakat terhadap informasi
pertanahan.

Ketujuh, tahapan pembukuan hak, mengkonstruksi norma apresiasi anggota


masyarakat terhadap budaya tulis atau budaya catat di bidang pertanahan,
terutama yang berkaitan dengan pemilik tanah.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 45


Kedelapan, tahapan penerbitan sertipikat hak atas tanah, mengkonstruksi norma
apresiasi anggota masyarakat terhadap hak dan kewajiban masyarakat
sehubungan dengan telah dibuktikannya pemilikan atas suatu bidang tanah.
Kesembilan, tahapan penyerahan sertipikat hak atas tanah pada pemohon,
mengkonstruksi norma kehati-hatian anggota masyarakat dalam menyimpan alat
bukti yang kuat bagi pemilikan atas suatu bidang tanah.

Kesepuluh, tahapan paska penyerahan sertipikat hak atas tanah pada pemohon,
mengkonstruksi norma kemampuan anggota masyarakat memanfaatkan
sertipikat hak atas tanah yang ada padanya.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 01:09 0 komentar


Label: Agraria, Hukum, Pendaftaran, PPAT, Tanah
Senin, 2009 Maret 09

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 46


Jenis layanan2 BPN kepada Masyarakat menyangkut segala sesuatu tentang
Pendaftaran Tanah Bagian II

Bagian II

Peralihan Hak - Pewarisan

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Juncto Undang-Undang No. 20 Tahun
2000.
3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
6. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa (jika yang mengajukan permohonan bukan ahli waris yang
bersangkutan).
2. Sertipikat hak atas tanah/sertipikat HMSRS.
3. Surat Keterangan Waris sesuai peraturan perundang-undangan.
4. Fotocopy identitas diri dan KK dari para ahli waris dan penerima kuasa yang
masih berlaku yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
6. Bukti pelunasan BPHTB, jika terkena/obyek BPHTB

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: Paling lama 5 (lima) hari.

Peralihan Hak - Hibah

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 47


2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000
3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1996
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
7. SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:

1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Hibah dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: Paling lama 5 (lima) hari.

Keterangan:

1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk
itu, dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh

Peralihan Hak - Tukar Menukar

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 48


3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1996
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
7. SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:

1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Tukar Menukar dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;

# Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).


# Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
# Akta Jual Beli dari PPAT
# Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
# Bukti pelunasan : **)

1. BPHTB;
2. PPh Final.

# Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.


# Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya dicantumkan
tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan
apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: Paling lama 5 (lima) hari.

Keterangan:

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 49


1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk itu,
dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh

Peralihan Hak - Pembagian Hak Bersama

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000
3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1996
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
7. SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:

1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Pembagian Hak Bersama dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: Paling lama 5 (lima) hari.

Keterangan:

1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk itu,
dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 50


Peralihan Hak - Pemasukan ke Dalam Perusahaan

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2000.
3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
5. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
6. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat Pengantar dari PPAT.


2. Surat Permohonan.
3. Sertipikat Asli.
4. Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan.
5. Akta Pendirian perusahaan/ Badan Hukum yang disahkan Departemen
Kehakiman
6. Identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP
dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh pejabat berwenang). KTP asli
diperlihatkan untuk semua kegiatan.
7. Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan.
8. Bukti pelunasan SSB BPHTB.
9. Bukti pelunasan SSP Pph Final (untuk Pph apabila hibah vertikal tidak
diperlukan).
10. SPPT PBB tahun berjalan
11. Ijin Pemindahan Hak, jika:
1. Pemindahan Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Rumah Susun yang di dalam
sertipikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya
boleh dipindahtangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang
berwenang;
2. Pemindahan hak pakai atas tanah negara.
12. Surat Pernyataan calon penerima hak, yang menyatakan:
1. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan
tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 51


2. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku
3. Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan
sebagaimana dimaksud pada 12a dan 12b tersebut tidak benar maka tanah
kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform
4. Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya,
apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 12a dan 12b tidak benar

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: 3 hari kerja.
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Penggabungan - Peleburan Perseroan - Koperasi - Merger

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2000.
3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
5. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
6. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat Pengantar dari PPAT.


2. Surat Permohonan.
3. Sertipikat Asli.
4. Akta Pendirian Perusahaan / Badan Hukum yang disahkan Departemen
Kehakiman.
5. AD ART Perusahaan masing-masing yang disahkan pejabat berwenang.
6. AD ART Perusahaan hasil penggabungan / peleburan yang disahkan pejabat
berwenang.
7. Akta Penggabungan/Peleburan.
8. Surat pernyataan yang menyatakan bahwa penggabungan/ peleburan
tersebut tidak dalam status likuidasi.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 52


9. Identitas pemohon mewakili perusahaan.
10. Identitas diri penerima kuasa jika menggunakan kuasa (fotocopy KTP dan KK
yang masih berlaku dan dilegalisir oleh pejabat berwenang).
11. Bukti pelunasan SSB BPHTB.
12. Bukti pelunasan SSP Pph Final.
13. SPPT PBB tahun berjalan
14. Ijin Pemindahan Hak, jika:
1. Pemindahan Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Rumah Susun yang di dalam
sertipikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya
boleh dipindahtangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang
berwenang;
2. Pemindahan hak pakai atas tanah negara.
15. Surat Pernyataan calon penerima hak, yang menyatakan:
1. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan
tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku
3. Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan
sebagaimana dimaksud pada 15a dan 15b tersebut tidak benar maka tanah
kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform
4. Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya,
apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 15a dan 15b tidak benar

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: 3 hari kerja.
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Pemindahan Hak - Lelang

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2000.
3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
5. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 53


6. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat Permohonan.
2. Kutipan risalah lelang.
3. Sertipikat Asli.
4. Apabila Sertipikat asli tidak diserahkan, harus ada keterangan Kepala Kantor
Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya sertipikat dimaksud, yaitu:
1. Untuk Lelang non eksekusi:
Diproses sertipikat pengganti sebagaimana sertipikat hilang. Pengumuman satu
kali selama satu bulan di media cetak (lihat kegiatan Penerbitan Sertipikat
Pengganti Karena Hilang)
2. Untuk lelang eksekusi:
Diterbitkan stp pengganti dengan nomor hak baru, nomor hak lama dimatikan;
Hal penerbitan sertipikat pengganti tersebut diumumkan di media massa dengan
biaya pemohon.
5. Identitas diri pemenang lelang dan atau kuasanya (foto copy):
1. Perorangan: KTP dan KK yang masih berlaku (dilegalisir oleh pejabat
berwenang).
2. Badan Hukum: Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum (dilegalisir oleh
pejabat berwenang).
6. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan.
7. Bukti pelunasan harga pembelian.
8. Bukti SSB BPHTB.
9. Bukti pelunasan SSP Pph Final/Catatan hasil lelang.
10. Sertipikat Hak Tanggungan (jika dibebani Hak Tanggungan).
11. Surat pernyataan kreditor melepaskan Hak Tanggungan untuk jumlah yang
melebihi hasil lelang.
12. Risalah Lelang harus memuat keterangan Roya atau pengangkatan sita.

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: 3 hari kerja.
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Cessie (Berdasarkan Akta Jual Beli & Penyelesaian Piutang)

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 54


2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat Permohonan.
2. Sertipikat Hak Atas Tanah.
3. Sertipikat Hak Tanggungan.
4. Surat tanda bukti peralihan (beralihnya piutang) berupa:
1. Akta Cessie atau akta otentik yang menyatakan adanya cessie tersebut, atau
2. Akta subrogasi, atau
3. Bukti pewarisan untuk kreditor perorangan
5. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih
berlaku untuk pewarisan dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang).
6. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan.

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,-


2. Waktu: 7 hari kerja sesuai UU 4/1996 Pasal 16 ayat 4 (adalah tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya itu, yaitu tanggal hari ke tujuh dihitung dari hari dipenuhinya
persyaratan berupa surat-surat untuk pendaftaran secara lengkap).
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Keterangan:

Catatan:

1. Peralihan 1 (satu) Hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) Hak Atas Tanah
dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,-
2. Peralihan 1 (satu) Hak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu) Hak
Atas Tanah dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya Hak Atas
Tanah Obyek Hak Tanggungan
3. Peralihan 1(satu) Hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) Hak Atas Tanah
Obyek Hak Tanggungan dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- dikalikan
banyaknya Hak Tanggungan yang dialihkan
4. Peralihan 1(satu) Hak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu) Hak
Atas Tanah Obyek Hak Tanggungan dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,-

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 55


dikalikan banyaknya Hak Tanggungan dan dikalikan dengan banyak obyek Hak
Atas Tanah Obyek Hak Tanggungan.

Subrogasi

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat Permohonan.
2. Sertipikat Hak Atas Tanah.
3. Sertipikat Hak Tanggungan.
4. Surat tanda bukti peralihan (beralihnya piutang) berupa:
1. Akta Cessie atau akta otentik yang menyatakan adanya cessie tersebut, atau
2. Akta subrogasi, atau
3. Bukti pewarisan untuk kreditor perorangan
5. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih
berlaku untuk pewarisan dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang).
6. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan.

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,-


2. Waktu: 7 hari kerja sesuai UU 4/1996 Pasal 16 ayat 4 (adalah tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya itu, yaitu tanggal hari ke tujuh dihitung dari hari dipenuhinya
persyaratan berupa surat-surat untuk pendaftaran secara lengkap).
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Keterangan:

Catatan:

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 56


1. Peralihan 1 (satu) Hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) Hak Atas Tanah
dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,-
2. Peralihan 1 (satu) Hak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu) Hak
Atas Tanah dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya Hak Atas
Tanah Obyek Hak Tanggungan
3. Peralihan 1(satu) Hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) Hak Atas Tanah
Obyek Hak Tanggungan dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- dikalikan
banyaknya Hak Tanggungan yang dialihkan
4. Peralihan 1(satu) Hak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu) Hak
Atas Tanah Obyek Hak Tanggungan dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,-
dikalikan banyaknya Hak Tanggungan dan dikalikan dengan banyak obyek Hak
Atas Tanah Obyek Hak Tanggungan.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 11:34 0 komentar


Label: Agraria, BPN, Layanan, Pendaftaran, PPAT, Tanah
Jenis layanan2 BPN kepada Masyarakat menyangkut segala sesuatu tentang
Pendaftaran Tanah Bagian I
Jenis layanan2 BPN kepada Masyarakat menyangkut segala sesuatu tentang
Pendaftaran Tanah

1. Pencatatan Sita
2. Hapusnya Hak Tanggungan – Roya
3. Roya Parsial
4. Penghapusan Catatan Buku Tanah Sporadik
5. Pendaftaran SK Pembatalan Sertipikat
6. Pendaftaran Hapusnya Hak / Pelepasan Hak
7. Hapusnya Hak
8. Pembatalan Sertipikat
9. Hak Tanggungan
10. Peralihan Hak - Jual Beli
11. Peralihan Hak – Pewarisan
12. Peralihan Hak – Hibah
13. Peralihan Hak - Tukar Menukar
14. Peralihan Hak - Pembagian Hak Bersama
15. Peralihan Hak - Pemasukan ke Dalam Perusahaan
16. Penggabungan - Peleburan Perseroan - Koperasi – Merger
17. Pemindahan Hak – Lelang
18. Cessie (Berdasarkan Akta Jual Beli & Penyelesaian Piutang)
19. Subrogasi
20. Merger
21. Ganti Nama
22. Ralat Nama
23. Penetapan Putusan Pengadilan
24. Pengecekan Sertipikat

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 57


25. Salinan Warkah / Peta / Surat Ukur
26. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah
27. Permohonan SK
28. Permohonan Ralat SK
29. Perpanjangan / Pembaruan SK
30. Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah
31. Pengembalian Batas
32. Pengukuran Ulang dan Pemetaan Bidang Tanah
33. Pengukuran
34. Pendaftaran Pertama Kali Konversi Sistematik
35. Pengakuan dan Penegasan Hak Sistematik
36. Pembukuan Hak Secara Sistematik
37. Penghapusan Catatan Buku Tanah Secara Sistematik
38. Pendaftaran Tanah Pertama Kali Konversi – Sporadik
39. Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali Pengakuan dan Penegasan Hak
Sporadik
40. Sertipikat Wakaf Untuk Tanah Yang Belum Terdaftar
41. Penetapan atau Putusan Pengadilan
42. Pembukuan Hak Sporadik
43. Pemecahan Sertipikat
44. Pemisahan Sertipikat
45. Penggabungan Sertipikat
46. Sertipikat Wakaf Untuk Tanah terdaftar
47. Perubahan Hak Dari HGB Menjadi HM
48. Pemeriksaan (Pengecekan) Sertipikat
49. Pemecahan Sertipikat – Perorangan
50. Pemisahan Sertipikat – Perorangan
51. Penggabungan Sertipikat – Perorangan
52. Perubahan Hak Milik Untuk Rumah Tinggal Dengan Ganti Blanko
53. Perubahan Hak Milik Untuk Rumah Tinggal Tanpa Ganti Blanko

Cerita bersambung tentang layanan seputar pendaftaran tanah Bagian I

1. Peralihan Hak - Jual Beli

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000
3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1996
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 58


7. SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:

1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Jual Beli dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: Paling lama 5 (lima) hari.

Keterangan:

1*) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk itu,
dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh

Terusannya masih bersambung ……

Arsip Kantor Notaris/PPAT Herman Adriansyah

Pencatatan Sita

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 59


4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat permohonan dari Pengadilan Negeri, Jaksa, Polisi, Kantor Lelang.


2. Berita Acara Sita dari Pengadilan Negeri (Perlu kejelasan no.Hak dan alamat
obyek sita).
3. Salinan resmi dari penetapan pengadilan.

Biaya dan Waktu:

1. Rp. 25.000 / Sertipikat


2. Waktu: 8 jam.
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Keterangan:

Catatan:

1. Pencatatan sita jaminan langsung dilakukan pada Buku Tanah atau daftar
lainnya oleh petugas yang ditunjuk (mencantumkan jam penerimaan).
2. Bagi tanah-tanah yang belum terdaftar, pencatatan sita jaminan ditolak
dengan surat resmi.
Pelayanan pencatatan sita jaminan / pemblokiran, kecuali yang dimohon oleh
instansi / lembaga pemerintah yang berwenang untuk itu seperti Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dalam rangka menunjang pelaksanaan tugasnya

1. Permohonan pencatatan sita hanya dapat diterima apabila tanah yang


dimaksud sudah terdaftar.
2. Penyitaan yang dimohon oleh instansi penyidik berakhir apabila sita telah
diangkat.
3. Untuk tanah yang belum terdaftar, permohonan sita dapat diterima apabila
yang bersangkutan mengajukan permohonan pengukuran dan pemetaan untuk
bidang tanah yang dimaksud, catatan sita dicantumkan pada Peta Pendaftaran
dan DI 203.

Pencatatan Sita

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 60


2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat permohonan dari Pengadilan Negeri, Jaksa, Polisi, Kantor Lelang.


2. Berita Acara Sita dari Pengadilan Negeri (Perlu kejelasan no.Hak dan alamat
obyek sita).
3. Salinan resmi dari penetapan pengadilan.

Biaya dan Waktu:

1. Rp. 25.000 / Sertipikat


2. Waktu: 8 jam.
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Keterangan:

Catatan:

1. Pencatatan sita jaminan langsung dilakukan pada Buku Tanah atau daftar
lainnya oleh petugas yang ditunjuk (mencantumkan jam penerimaan).
2. Bagi tanah-tanah yang belum terdaftar, pencatatan sita jaminan ditolak
dengan surat resmi.

Pelayanan pencatatan sita jaminan / pemblokiran, kecuali yang dimohon oleh


instansi / lembaga pemerintah yang berwenang untuk itu seperti Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dalam rangka menunjang pelaksanaan tugasnya

1. Permohonan pencatatan sita hanya dapat diterima apabila tanah yang


dimaksud sudah terdaftar.
2. Penyitaan yang dimohon oleh instansi penyidik berakhir apabila sita telah
diangkat.
3. Untuk tanah yang belum terdaftar, permohonan sita dapat diterima apabila
yang bersangkutan mengajukan permohonan pengukuran dan pemetaan untuk
bidang tanah yang dimaksud, catatan sita dicantumkan pada Peta Pendaftaran
dan DI 203.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 61


Hapusnya Hak Tanggungan - Roya

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
6. SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:

1. Surat Permohonan dari pemegang hak atau kuasanya.


2. Fotocopy identitas diri pemegang hak, dan atau kuasanya yang dilegalisir oleh
pejabat yang berwenang dengan memperlihatkan aslinya.
3. Sertipikat hak atas tanah /Sertipikat HMSRS dan Sertipikat Hak Tanggungan.
4. Surat Pernyataan dari kreditur bahwa hutangnya telah lunas atau
Pembersihan HT berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan;

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,-


2. Waktu: Paling lama 7 (tujuh) hari.

Keterangan:

1. Roya 1 (satu) HT yang membebani 1 (satu) hak atas tanah dikenakan biaya
sebesar Rp. 25.000;
2. Roya 1 (satu) HT yang membebani lebih dari 1 (satu) hak atas tanah
dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000 dikalikan banyaknya hak atas tanah obyek
HT.
3. Roya lebih dari 1 (satu) HT yang membebani 1 (satu) hak atas tanah obyek
HT dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000 dikalikan banyaknya hak tanggungan
yang dihapus
4. Roya lebih dari 1 (satu) HT yang membebani lebih dari 1 (satu) hak atas tanah
obyek HT dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000 dikalikan banyaknya HT dan
dikalikan dengan banyak obyek hak atas tanah obyek HT.

Roya Parsial

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 62


2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.
3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
5. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
6. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat Permohonan dari pemegang hak atau kuasanya.


2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang).
3. Sertipikat Hak Atas Tanah.
4. Sertipikat Hak Tanggungan.
5. Concent Roya, apabila tidak diserahkan sertipikat Hak Tanggungan.
6. Surat Keterangan tentang hapusnya HT yang dibuktikan dengan:
1. Pernyataan dari kreditor bahwa hutangnya telah lunas, atau
2. Risalah lelang, atau
3. Pembersihan HT berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan,
atau Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Biaya dan Waktu:

1. Rp. 25.000,-
2. Waktu: 7 hari (UU 4 tahun 1996).
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Keterangan:

1. Roya 1 (satu) hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) hak atas tanah
dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,-
2. Roya 1(satu) Hak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu) hak atas
tanah di kenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya hak atas
tanah obyek Hak Tanggungan.
3. Roya lebih dari 1 (satu) Hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) Hak Atas
Tanah Obyek Hak Tanggungan dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000-
4. Roya lebih dari 1(satu) Hhak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu)
Hak Atas Tanah pada satu kegiatan pendaftaran dikenakan biaya sebesar Rp.
25.000,- dikalikan banyaknyha Hak Atas Tanah Obyek Hak Tanggungan.

Penghapusan Catatan Buku Tanah Sporadik

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 63


Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat Permohonan.
2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang).
3. Kelengkapan kekurangan persyaratan data yuridis dan data fisik, Akta
perdamaian, Surat keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.

Biaya dan Waktu:

1. Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: 3 hari kerja.
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Pendaftaran SK Pembatalan Sertipikat

Pendaftaran Hapusnya Hak / Pelepasan Hak

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
4. Permenag No. 3 tahun 1999.
5. Permenag No. 9 tahun 1999.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 64


6. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
7. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat Permohonan.
2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang).
3. Surat kuasa yang bermeterai cukup jika permohonannnya dikuasakan.
4. Sertipikat Hak Atas Tanah asli (Apabila pemohon tidak dapat menyerahkan
sertipikat, ditempuh melalui prosedur pengumuman).
5. Untuk Penetapan Pengadilan (bukan Peralihan Hak) harus menyerahkan
Putusan / Ketetapan Pengadilan (SK Pembatalan dari pejabat yang berwenang
pada BPN)

Biaya dan Waktu:

1. Rp. 25.000,- / Sertipikat

Hapusnya Hak

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Permohonan.
2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang).
3. Surat kuasa yang bermeterai cukup jika permohonannnya dikuasakan.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 65


4. Sertipikat Hak Atas Tanah asli (Apabila pemohon tidak dapat menyerahkan
sertipikat, ditempuh melalui prosedur pengumuman).
5. SK Pemberian Hak dari pejabat yang berwenang (dilegalisir oleh Pejabat yang
berwenang).
6. Untuk Penetapan Pengadilan (bukan Peralihan Hak) harus menyerahkan
Putusan / Ketetapan Pengadilan (SK Pembatalan dari pejabat yang berwenang
pada BPN)

Biaya dan Waktu:

1. Rp. 25.000 / Bidang


2. Waktu: 7 hari kerja.
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Keterangan:

7 hari kerja adalah jangka waktu maksimal.

Pembatalan Sertipikat

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997.
4. Permenag No. 3 tahun 1999.
5. Permenag No. 9 tahun 1999.
6. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan
Nasional.
7. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31
Juli 2003.

Persyaratan:

1. Surat Permohonan.
2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang).
3. Surat kuasa yang bermeterai cukup jika permohonannnya dikuasakan.
4. Sertipikat Hak Atas Tanah asli (Apabila pemohon tidak dapat menyerahkan
sertipikat, ditempuh melalui prosedur pengumuman).

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 66


5. Untuk Penetapan Pengadilan (bukan Peralihan Hak) harus menyerahkan
Putusan / Ketetapan Pengadilan (SK Pembatalan dari pejabat yang berwenang
pada BPN)

Biaya dan Waktu:

1. Rp. 25.000,- / Bidang

Hak Tanggungan

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
6. SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:

1. Surat:
1. Permohonan dari Penerima Hak Tanggungan (Kreditur);
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan*).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
4. Salinan APHT yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk
disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor untuk pembuatan sertipikat Hak
Tanggungan.
5. Fotocopy identitas diri pemberi HT (debitrur), penerima HT (Kreditur) dan atau
kuasanya yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) apabila Pemberian
Hak Tanggungan melalui Kuasa.

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,-


2. Waktu: Hari ke 7 (tujuh).

Keterangan:

1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk itu,
dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.

Catatan:

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 67


untuk pelayanan ini dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000 dikalikan banyaknya
hak atas tanah obyek HT.

Peralihan Hak - Jual Beli

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000
3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1996
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
6. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997
7. SE Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:

1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Jual Beli dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;

Biaya dan Waktu:

1. Biaya: Rp. 25.000,- / Sertipikat


2. Waktu: Paling lama 5 (lima) hari.

Keterangan:

1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk itu,
dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 68


Diposkan oleh Notariat Collegium di 11:00 0 komentar
Label: BPN, Layanan, Pendaftaran, PPAT, Tanah
Minggu, 2009 Maret 08

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 69


KAJIAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAN PERMASALAHANNYA
*)

PENDAHULUAN

Dalam perundang-undangan PPAT maupun Notaris adalah merupakan "pejabat


umum" yang diberikan kewenangan membuat "akta otentik" tertentu. Yang
membedakan keduanya adalah Landasan hukum berpijak yang mengatur
keduanya. PPAT adalah UU No. 5 tahun 1960, PP No. 24 tahun 1997, PP No. 37
tahun 1998 dan PerKBPN No. 1 tahun 2006, sedangkan Pejabat Notaris adalah
UU No. 30 tahun 2005. Perbedaan tersebut tergambar dengan jelas lembaga
hukum yang bertanggung jawab untuk mengangkat dan memberhentikan, tugas
dan kewenangannya dalam rangka pembuatan akta-akta otentik tertentu, system
pembinaan dan pengawasannya.

Pejabat Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri
Hukum dan HAM dan dibawah pembinaan dan pengawasan ada pada pejabat
yang ada dibawah kementerian tersebut yakni Pengadilan negeri. PPAT diangkat
dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (KBPN), sedangkan
pembinaan dan pengawasannya ada pada pejabat yang ditunjuk dalam tingkat
daerah kabupaten / kota hal ini Kepala Kantor pertanahan setempat.

Produk hukum yang dihasilkan adalah akte otentik, namun berbeda jenisnya.
Didalam UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pejabat notaris
berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, dst,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-
undang. Disamping itu dikatakan notaris berwenang pula antara lain : "membuat
akta yang berkaitan dengan pertanahan". ( lihat pasal 15 UU No. 30 tahun 2004).

PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-
akta otentik untuk perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak
Milik atas Satuan Rumah susun yang terletak diwilayah kerjanya (lihat UU No. 5
tahun 1960, PP No.24/1997, PP No. 37/1998 yo. Permenag/KBPN No.1 / 2006).

Persoalan hukumnya, sampai saat ini masih terjadi Pro dan kontra penjabaran
lebih lanjut berkaitan kewenangan pembuatan akta pertanahan?.

TUGAS KEWENANGAN PPAT

Sesuai ketentuan perundangan pertanahan, sebagaimana diatur dalam


ketentuan ini diuraikan secara rinci dalam pasal 2 – 6 peraturan KBPN No. 1
tahun 2006 yang merupakan penjabaran dari PP No. 37 tahun 1998 dan tindak

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 70


lanjut dari ketentuan yang diatur dalam PP No. 24 tahun 1997, Permenag /
KBPN No. 3 tahun 1997, dijelaskan Tugas pokok dan kewenangan PPAT yakni,
melaksanakan sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah dengan tugas
pembuatan akta (otentik) sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang
dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu di daerah kerjanya yang ditentukan oleh
pemerintah ( kompetensi absolute) yakni kabupaten atau kota satu wilayah
dengan wilayah kerja Kantor pertanahan. Catatan untuk PPAT sementara
( Camat ) adalah wilayah jabatan camat saat menjabat.

Pertanyaan hukumnya adalah Dalam rangka pembuatan akta otentik atas


Perbuatan hukum tertentu apa saja yang merupakan sebagian dari kegiatan
pendaftaran tanah yang menjadi tugas pokok PPAT?

Ada 8 ( jenis ) akta PPAT yang menjadi alat bukti dan dasar perubahan data
pendaftaran tanah ( lihat pasal 95 ayat 1 Peraturan Menteri Negara Agraria /
KBPN ( Permenag/KBPN) No. 3 tahun 1997 jo. Pasal 2 ayat 2, Per KBPN No. 1
tahun 2006)yakni:
1. Akta Jual beli,
2. Akta tukar menukar,
3. Akta Hibah,
4. Akta Pemasukan ke dalam perusahaan ( inbreng),
5. Akta pembagian bersama,
6. Akta pemberian Hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik,
7. Akta pemberian hak tanggungan, dan
8. Akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.( lihat pasal 2 ayat 2)

Dalam rangka pembuatan akta-akta tersebut ( 8 jenis akta ), ditentukan pula


bentuk akta – akta yang wajib dipergunakan oleh PPAT, dan cara pengisiannya,
serta formulir yang dipergunakan sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d
23 Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997, terdiri dari bentuk:
a. Akta jual beli ( lampiran 16);
b. Akta tukar menukar (lampiran 17);
c. Akta hibah ( lampiran 18);
d. Akta pemasukan ke dalam perusahaan (lampiran 19);
e. Akta pembagian hak bersama (lampiran 20);
f. Akta pemberian hak tanggungan ( lampiran 21);
g. Akta pemberian hak guna bangunan / hak pakai atas tanah hak milik
( lampiran 22);
h. Surat kuasa membebankan hak tanggungan ( lampiran 23 ); dan apabila
dalam pembuatan akta tidak sebagaimana yang ditentukan tersebut maka
merupakan pelanggaran. Permasalahan yang seringkali terjadi:

dalam pembuatan akta PPAT tidak mempergunakan bentuk, isi dan cara
pembuatan akta yang telah ditentukan oleh permenag / KBPN No. 3 tahun 1997

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 71


dan tidak dihadiri oleh oleh para pihak atau kuasanya dan saksi sebagaimana
yang ditentukan pasal 38 PP No. 24 tahun 1997 yo. Pasal 100 dan 101,
Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997;

PPAT tidak membacakan akta yang dibuatnya kepada para pihak dan
menjelaskan maksud, dan isi akta serta prosedur pendaftarannya sesuai
ketentuan yang berlaku, sebagaimana pasal 101 Permenag/ KBPN No. 3 tahun
1997.

PPAT melakukan pembuatan akta meskipun persyaratan yang ditentukan dalam


pembuatan akta belum / tidak terpenuhi, sebagaimana diatur dalam pasal 39 PP
No. 24 tahun 1997.
PPAT terlambat untuk mendaftarkan akta yang telah dibuatnya ke kantor
Pertanahan setempat, sebagaimana di atur dalam pasal 40 PP No. 24 tahun
1997 jo. Pasal 103 Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997.

PRINSIP YANG HARUS DILAKSANAKAN DALAM PEMBUATAN AKTA

Dalam rangka melaksanakan tugas pembuatan akta otentik atas 8 jenis


perbuatan – perbuatan hukum yang merupakan bagian daripada kegiatan
pendaftaran tanah, didalam ketentuan pasal 54 Peraturan KBPN No. 1 tahun
2006 ini menentukan kewajiban yang harus dilakukan PPAT pada saat
pembuatan akta yang wajib harus dipenuhi oleh PPAT:

Sebelum pembuatan akta atas 8 jenis perbuatan hukum, PPAT wajib melakukan
pengecekan/ pemeriksaan keabsahan sertifikat dan catatan lain pada kantor
pertanahan setempat dan menjelaskan maksud dan tujuannya.

Dalam pembuatan akte tersebut tidak diperbolehkan memuat kata-kata " sesuai
atau menurut keterangan para pihak" kecuali didukung oleh data formil.

PPAT berwenang menolak pembuatan akta yang tidak didasari data formil.
PPAT tidak diperbolehkan membuat akta atas 8 jenis perbuatan hukum dimaksud
atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum
diukur oleh Kantor pertanahan dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah
( NIB).

Dalam pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB atau nomor hak atas
tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak terutang ( SPPT) PBB, penggunaan
dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan.

SANKSI

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 72


PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya wajib mengikuti aturan, ketentuan-
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, pasal 39 dan pasal 40 (PP
No. 24 tahun 1997), serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh menteri
atau pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administrative berupa teguran
tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak
mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang
menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan
tersebut (lihat Pasal 62 PP No. 24 tahun 1997).

Selanjutnya, dalam peraturan jabatan PPAT ( pasal 10 PP No. 37 tahun 1998 yo.
PerKBPN No. 1 tahun 2006) menjelaskan ada dua klasifikasi pemberhentian dari
jabatan PPAT, diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak
dengan hormat.

PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. permintaan


sendiri; b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan
badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan
yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang ditunjuk; c.
melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI;

Sedangkan PPAT diberhentikan dengan dengan tidak hormat dari jabatannya,


karena: a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT; b. dijatuhi hukuman kurungan / penjara karena melakukan
kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau
penjara selama-lamanya 5 (lima ) tahun atau lebihberat berdasarkan putusan
pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

JENIS PELANGGARAN

Berdasarkan ketentuan pertanahan, pelanggaran dibedakan menjadi 2 jenis


yang menjadi dasar pemberhentian PPAT.

Pelanggaran ringan antara lain:


1. Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Dalam waktu 2 ( dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan
tugasnya kembali;
3. Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya; 4.
Merangkap jabatan.

Pelanggaran berat antara lain:


1. Membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau
konflik pertanahan;
2. Melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang mengakibatkan
sengketa atau konflik pertanahan;

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 73


3. Melakukan pembuatan akta diluar daerah kerjanya kecuali yang dimaksud
dalam pasal 4 dan 6 ayat (3);
4. Memberikan keterangan yang tidak benar didalam akta yang mengakibatkan
sengketa atau konflik pertanahan;
5. Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak
diluar dan atau di dalam daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam pasal
46;
6. Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
7. Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang
bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum
atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan tidak hadir dihadapannya;
8. Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang
mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta;
9. PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun pihak yang
belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang
dibuatnya;
10. PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;
11. PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian
sementara atau dalam keadaan cuti;
12. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 66 ayat (3) peraturan KBPN ini
pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT oleh Kepala Kantor Pertanahan
sebagai berikut:
• Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan
pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan
oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan;
• Memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan tercara tertulis kepada
PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat
untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya;
• Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT.

*) Tulisan Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.,M.hum

Diposkan oleh Notariat Collegium di 08:41 0 komentar


Label: Akta, Tanah, Tugas dan Fungsi Notaris dan PPAT

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 74


WEWENANG NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA TANAH MENURUT UNDANG
UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 DAN KEPASTIAN HUKUM AKTA TANAH
NOTARIS

Berdasarkan dari ketentuan yang termuat dalam Pasal 15 UU Nomor 30 Tahun


2004 tentang Jabatan Notaris, khusunya ayat (2) huruf f, secara yuridis formal
Notaris berwenang untuk membuat akta tanah. Wewenang Notaris dalam
membuat akta tanah tersebut memiliki kekuatan hukum yang kuat karena
wewenang tersebut adalah berdasarkan pada Undang-Undang. Wewenang
Notaris dalam pembuatan akta tanah ini memang berbenturan dengan
wewenang dari PPAT sebagai Pejabat yang ditunjuk untuk membuat akta tanah.
Meskipun perolehan kewenangan dari Notaris adalah berdasar Undang-Undang,
dan PPAT hanya diatur melalui Peraturan Pemerintah, namun dalam
kenyataannya, Notaris tidak diperkenankan membuat akta pertanahan kalau
belum lulus ujian untuk diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Oleh karena itu, kewenangan yang dimiliki Notaris sebelum diangkat menjadi
PPAT adalah berwenang sebatas membuat Perjanjian Akad Kredit yang
dijaminkan oleh Debitur yang menjaminkan akta tanah sebagai jaminan
Penerima fasilitas kredit dari Bank.

Akta Tanah yang dibuat oleh Notaris adalah sah dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat sebagai akta otentik, karena akta tanah Notaris memenuhi
unsur sebagai akta otentik, dan Notaris sendiri menurut UU Jabatan Notaris,
berwenang untuk membuatnya. Namun dilihat dari produk Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang berupa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah maka Pejabat Pembuat
Akta Tanah merupakan Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk
mengkonstantir suatu perbuatan hukum hak atas tanah antara para pihak ke
dalam akta. Notaris yang tidak merangkap sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
tidak mempunyai kompetensi untuk membuat perjanjian pemindahan hak atas
tanah. Akta tanah yang dibuat oleh Notaris juga tidak dapat dijadikan dasar untuk
pendaftaran tanah di BPN, karena dilihat dari konsideran UUJN, maka Notaris
bukanlah partner kerja dari BPN dalam urusan pertanahan. Hal ini berbeda
dengan yang ada dalam konsideran PP No. 37 Tahun 1998 tentang PPAT yang
menegaskan bahwa PPAT merupakan partner kerja dari BPN dalam bidang
pertanahan.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 08:38 0 komentar


Label: Akta, Fungsi dan Peranan Jabatan Notaris, Tugas dan Fungsi Notaris dan
PPAT, Wewenang
Kebijakan Hukum Agraria Di Indonesia Dari Masa Ke Masa

1. Kebijakan Hukum Agraria Di Indonesia Dari Masa Ke Masa

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 75


2. Kebijakan Agraria • Kebijakan Agraria di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
sejarah bangsa Indonesia. Karena itu dalam pemaparan mengenai Kebijakan
Agraria ini digunakan pendekatan kronologis dengan merunut dari masa kolonial
Belanda di Indonesia. Untuk memudahkan pemahaman maka pemaparan akan
dibagi menurut periodisasi waktu mengikuti perubahan politik yang terjadi dalam
sejarah bangsa kita, mengingat bahwa kebijakan adalah produk politik.

3. Jaman Kolonial • Pada masa pemerintah kolonial Belanda mengintrodusir


kebijakan agraria yang dikenal dengan Agrarische Wet 1870 di Hindia Belanda.
UU Agraria 1870 inilah yang kemudian membuka pintu bagi masuknya modal
besar swasta asing, khususnya Belanda ke Indonesia, dan lahirlah sejumlah
banyak perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Ternyata kemudian, sistem
ekonomi perkebunan besar ini menyengsarakan rakyat.

4. Jaman Kolonial • Berbagai kritik dari sejumlah intelektual Belanda sendiri


terhadap Agrische Wet 1870, antara lain Prof van Gelderen dan lain-lain. • Kata-
kata Prof van Gelderen sangat terkenal, yang sampai sekarang ini juga banyak
dikutip orang, yaitu: “Bangsa Indonesia (karena kebijakan Agrarishce Wet) akan
menjadi bangsa koelie”, dan menjadi “koelie di antara bangsa-bangsa!”. Hal ini
terbukti, tidak saja dengan catatan sejarah kita tentang kuli kontrak di
perkebunan-perkebunan dengan kisah yang memilukan, tetapi menjadi suatu
keadaan yang sampai hari ini terus terjadi. Kita menyaksikan hari ini fenomena
migrasi dari pedesaan-pedesaan kita ke kota-kota besar dan bahkan ke luar
negeri, dimana 70% lebih yang terusir dari kampung halaman itu adalah para
perempuan.

5. Jaman Kolonial • Karena banyak kritik, maka pemerintah kolonial Belanda lalu
melakukan penelitian mengenai “menurunnya kesejahteraan rakyat” (mindere
welvaarts onderzoek- MWO). Kesengsaraan rakyat menjadi terbukti! •
Pemerintah kolonial lalu menambil langkah kebijakan yang dikenal sebagai
“Ethical Policy” (Ethische Politiek): enam program perbaikan, yaitu irigasi,
reboisasi, kolonisasi (transmigrasi), pendidikan, kesehatan dan perkreditan. •
Politik Etis (kecuali kesehatan), langsung atau tidak langsung, berkaitan dengan
masalah agraria. Tapi ternyata tidak banyak mengubah keadaan. Bahkan
sengketa-sengketa agraria juga merebak di mana-mana, dan pada tahun 1929—
1933, Hindia Belanda mengalami krisis ekonomi yang sangat berat.

6. Jaman Kolonial Catatan Terhadap Politik Etis: • Pendidikan. Karena


kolonialisme Belanda itu sifatnya ekstraktif, mengeduk sumber alam. Pendidikan
baru dibangun pada awal abad ke-20, dan itupun bukan tingkat universitas. Saat
Indonesia merdeka tahun 1945, di sini belum ada universitas. Yang ada hanya
beberapa “sekolah tinggi” (teknik, kedokteran, hukum). Apa relevansi semua ini
bagi masalah agraria? Berbeda dari berbagai negara bekas jajahan Inggris atau
Spanyol, di Indonesia jumlah “pakar agraria” menjadi sangat terbatas, akibat
keterbelakangan pendidikan tersebut. Sebelum Indonesia merdeka, hampir tidak
ada pejuang (baik sipil maupun militer) yang mengangkat isu agraria sebagai

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 76


platform perjuangan (kecuali dua orang, Soekarno dan Iwa Kusuma Sumantri). •
Perkreditan Program perkreditan dalam Politik etis tersebut dalam
pelaksanaannya di pedesaan mengalami hambatan karena terjadinya
pertentangan paham antara Kementerian Keuangan dan kementerian Tanah
Jajahan. Di Keuangan, pos-pos penting diduduki oleh pejabat- pejabat Belanda
yang didominasi oleh pemikiran ekonomi neo-klasik (aliran Prof. Gongrijp),
sedangkan para Pamong praja Belanda umumnya adalah penganut pemikiran
neo-populis (murid-murid Prof. J.H. Boeke).

7. Masa Pendudukan Jepang (1942—1945 / Perang Dunia II) • Petani dibebani


pajak bumi sebesar 40% dari hasil produksinya. Hal ini tentu semakin
memperparah kemiskinan. • Perkebunan-perkebunan besar menjadi terlantar
karena ditinggalkan oleh pemiliknya (Belanda maupun modal asing lainnya).
Dengan adanya lahan-lahan perkebunan yang terlantar dan kemiskinan yang
parah di masyarakat, maka berbondong-bondonglah rakyat menduduki tanah-
tanah bekas perkebunan yang terlantar tersebut. Pemerintah pendudukan
Jepang ternyata memberi toleransi bahkan mendorong tindakan rakyat tersebut.
Secara sosiologis, kenyataan ini telah menciptakan suatu collective perception di
antara rakyat, bahwa seolah-olah mereka telah memperoleh kembali haknya
atas tanah yang dulu dicaplok oleh Belanda (dan modal asing lainnya melalui UU
Agraria kolonial 1870.

8. Awal Indonesia Merdeka (1945—1960) • Belajar dari pengalaman masa


kolonial, ditarik pelajaran bahwa sistem ekonomi perkebunan besar ternyata
menyengsarakan rakyat, terutama karena telah menggusur tanah-tanah luas
yang semula menjadi garapan rakyat. • Setelah Jepang menyerah kepada
pasukan Sekutu, Jendral Mc Arthur memerintahkan Kaisar Hirohito untuk
melaksanakan Landreform. • Begitu merdeka, para pendiri Republik menjadikan
pusat perhatian utama di bidang sosial-ekonomi haruslah diletakkan pada
perencanaan untuk “menata-ulang” masalah pemilikan, penguasaaan dan
penggunaan tanah. Sekitar setengah tahun Indonesia merdeka, Wakil Presiden,
Bung Hatta (sebagai seorang ekonom) telah menguraikan masalah “ekonomi
Indonesia di masa depan”. Di antara berbagai uraian beliau yang penting di
masa lalu itu, ada dua butir yang perlu disebut dan dikemudian turut menjiwai isi
dan semangat UUPA 1960), yaitu: (a) tanah-tanah perkebunan besar itu
dahulunya adalah tanah rakyat; (b) bagi bangsa Indonesia, tanah jangan
dijadikan barang dagangan yang semata-mata digunakan untuk mencari
keuntungan (komoditi komersial).

9. Awal Indonesia Merdeka (1945—1960) • Period 1945—1950: Uji coba


landreform UU No. 13/1946 Landreform di daerah Banyumas. UU Darurat No.
13/1948 Landreform di daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. • 1948 itu
pula dibentuklah sebuah Panitia Negara yang bertugas mengembangkan
pemikiran dalam rangka mempersiapkan Undang-Undang Agraria yang baru,
Undang-Undang Nasional, untuk menggantikan UU Agraria kolonial 1870. •

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 77


Namun, karena adanya agresi Belanda (Clash ke-2, Desember 1948—Agustus
1949) maka panitia dibubarkan.
10. Awal Indonesia Merdeka (1945—1960) • Setelah berbagai gejolak sepanjang
masa RIS dan Setelah Indonesia kembali menjadi NKRI, Panitia Agraria Yogya
(1948) kemudian dihidupkan kembali pada tahun 1951 dengPanitia Agraria
Yogya (1948) kemudian dihidupkan kembali pada tahun 1951 dan dikenal
sebagai Panitia Agraria Jakarta. • Sistem parlementer membuat kebinet jatuh-
bangun dalam waktu singkat, kepanitiaan Agraria pun dua kali mengalami
perubahan komposisi dan pengurus (Panitia Suwahyo, 1956; dan Panitia
Soenaryo 1958).

11. Awal Indonesia Merdeka (1945—1960) • Dengan berbagai masukan dari


panitia-panitia sebelumnya, Panitia ini akhirnya berhasil menyiapkan RUU yang
siap untuk diajukan ke DPR. Namun, atas saran Presiden Soekarno, RUU
tersebut digodog kembali oleh kerjasama DPR dengan Universitas Gajah Mada
(UGM). • Hasil kerjasama DPR-UGM itu kemudian diajukan ke DPR. Tanggal 24
September 1960 RUU ini disahkan oleh DPR dan ditetapkan sebagai UU No.
5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agaria (dikenal sebagai UUPA
1960). Demikianlah proses panjang kelahiran UUPA 1960.

12. Awal Indonesia Merdeka (1945—1960) • Periode 1950—1960: Situasi yang


dilematis Di satu pihak, gagasan awalnya bahwa proyek utama reform itu adalah
tanah-tanah perkebunan dengan hak erfpacht, tanah-tanah absentee, bekas
tanah-tanah partikelir, dan tanah-tanah terlantar. Tapi, di lain pihak, pemerintah
-sekalipun sudah kembali menjadi NKRI, dan bukan lagi RIS sebagaimana
tuntutan KMB- tetap terikat oleh perjanjian KMB yang mengandung ketentuan
bahwa rakyat harus dikeluarkan dari tanah-tanah perkebunan milik modal swasta
Belanda itu. Barangkali, dilemma inilah salah satu sebab yang turut
mempengaruhi mengapa proses perumusan UUPA menjadi begitu panjang (12
tahun). • Tahun 1957 akhirnya Indonesia membatalkan perjanjian KMB, dan
tahun 1958 menasionalisasi perkebunan- perkebunan besar milik asing, serta
melalui UU No. 1/1958 menghapuskan tanah-tanah partikelir.

13. Periode 1960—1965:demokrasi terpimpin • Semula periode ini direncanakan


sebagai target masa pelaksanaan reforma agraria. Tetapi karena berbagai
pergolakan, konsentrasi pikiran pemerintah menjadi terpecah. Berbagai masalah
yang dihadapi waktu itu, antara lain karena pemerintah masih harus menghadapi
masalah penyelesaian sisa-sisa pemberontakan PRRI/Permesta; tindak lanjut
nasionalisasi perkebunan; perjuangan untuk kembalinya Irian Barat; dan
konfrontasi dengan Malaysia. Semua masalah ini menjadi hambatan tersendiri
untuk segera terlaksananya reforma agraria. • Pada sisi lain, karena UUPA 1960
itu baru berisi peraturan dasar, maka masih banyak pasal-pasal yang sedianya
akan dijabarkan lebih lanjut ke dalam peraturan ataupun undang- undang yang
lebih operasional. Namun, karena kondisi seperti tersebut di atas, maka hal itu
sebagian besar belum sempat tergarap. Penjabaran terpenting yang sudah
dilakukan adalah ditetapkannya UU No. 56/1960 (yang semula dalam bentuk

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 78


Peraturan Pemerintah Pengganti UU), yang kemudian secara populer dikenal
sebagai UU Landrform, yaitu tentang “Penetapan Luas Tanah Pertanian”.

14. Periode 1960—1965/Demokrasi Terpimpin • Karena kekurangan pakar


agraria yang berpengalaman dalam hal landrefom, maka Menteri Agraria
(alamarhum Sadjarwo) melakukan konsultasi dengan seorang pakar dari
Amerika Serikat, yaitu Dr. Wolf Ladejinsky (mantan Atase Pertanian Amerika di
Jepang, yang membantu Jenderal Mac Arthur sewaktu melaksanakan landrefom
di Jepang). • Hasil Penelitian Ladejinsky: Pertama, antara gagasan dan tindakan
pelaksanaan tidak konsisten, tidak nyambung (disjointed). Gagasannya
revolusioner tapi pelembagaan pelaksanaannya rumit. Birokrasi di Indonesia
berbelit-belit. Data tidak akurat, sehingga pelaksanaan redistribusi menjadi sulit
dan mengalami hambatan di lapangan. (Barangkali, inilah juga yang secara
politis mendorong PKI melakukan aksi sepihak, yang menimbulkan trauma dan
melahirkan stigma bahwa landrefom sama dengan PKI).

15. Periode 1960—1965/Demokrasi Terpimpin Kedua, model redistribusi tidak


sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Batas minimum 2 hektar diberlakukan
secara menyeluruh dianggap tidak realistis. Beberapa konsepnya, definisinya
tidak jelas. Misalnya, siapa, dan berapa jumlahnya orang yang berhak menerima
redistribusi tanah (potential beneficiaries), dan berapa yang diperkirakan akan
menjadi penerima riil (real benficiaries)? Tanah-tanah apa saja yang akan
menjadi obyek reform? PP. 224/1961 yang diterbitkan sebagai pedoman
pelaksanaan UUPA dianggap tidak konsisten dengan gagasan ideal UUPA.

16. Periode 1960—1965/Demokrasi Terpimpin Pendapat Ahli yang Lain


Pendapat Ahli yang Lain: Mc Auslan • Sisi positif UUPA adalah: (1) UUPA 1960
merupakan produk hukum terbaik selama sejarah RI; (2) kerangka, format dan
rumusannya “modern”; (3) jauh-jauh hari para perumusnya sudah memiliki
kepekaan “gender”; dan (4) mempunyai idealisme menghapuskan l’exploitation
de l’homme par l’homme. Sisi negatifnya adalah: (1) dalam hal hukum adat,
kaitan dan penempatannya dalam UUPA 1960 belum terlalu jelas; (2) program
landreform-nya juga dianggap belum terlalu jelas (mirip kritik Ladejinsky); dan (3)
belum diantisipasi kemungkinan akan terjadinya berbagai hambatan. • Di
samping adanya berbagai hambatan lainnya, menurutnya, ada dua hambatan
pokok dalam masalah agraria di Indonesia, yaitu: Hambatan hukum. Baik di
pusat maupun di daerah, aparat hukum belum menguasai benar persoalan
agraria. Hal ini berkaitan erat dengan hambatan pokok yang kedua.
Keterbatasan ketersediaan tenaga ahli / Hambatan ilmiah (istilah Mc Auslan).
Berbeda dari negara berkembang lainnya, di Indonesia yang justru merupakan
negara besar yang pada dasarnya agraris, jumlah ilmuwan agrarianya sangat
terbatas. Menurut Mac Auslan, ini suatu ironi. Akibatnya, setiap kali membahas
agraria, yang dibahas selalu “hukum agraria”. Padahal, agraria itu mencakup
hampir semua aspek kehidupan (sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan
politik, bahkan juga hankam).

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 79


17. Periode 1965—1998 (Orde Baru) • Slogan lama: “Berdaulat dalam politik,
berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”, dilindas
oleh slogan baru : “Politik no, ekonomi yes!” Masyarakat terhanyut, dan tidak
sadar bahwa slogan itu sendiri adalah politik! • Kebijakan umum Orde Baru
ditandai oleh sejumlah ciri, yaitu: (a) stabilitas merupakan prioritas utama; (b) di
bidang sosial ekonomi, pembangunan menggantungkan diri pada hutang luar
negeri, modal asing, dan betting on the strong; dan (c) di bidang agraria
mengambil kebijakan jalan pintas, yaitu Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria.
Dengan kebijakan demikian, maka UUA 1960 ibarat masuk “peti-es”. Artinya,
sekalipun tidak dicabut, keberadaannya tidak dihiraukan.

18. Periode 1965—1998 (Orde Baru) • Tahun 1967 tiga undang-undang yang
mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA 1960 (UU PMA; UU
Pokok Kehutanan; UU Pokok Pertambangan). • Untuk sekitar 11 tahun lamanya
UUPA 1960 dipersepsikan secara keliru, sebagai produk PKI. Stigma ini bahkan
masih melekat di benak sebagian masyarakat kita sampai sekarang. • Baru pada
tahun 1978 keberadaan UUPA 1960 dikukuhkan kembali sebagai “produk
nasional” (bukan produk PKI), setelah adanya laporan hasil penelitian dari
Panitia Soemitro Djojohadikoesoemo (almarhum) yang pada saat itu adalah
Menristek. Kembalinya perhatian atas keberadaan UUPA 1960 ini —barangkali—
juga karena adanya undangan dari FAO untuk menghadiri Konferensi Sedunia
tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan di Roma tahun 1979.

19. Periode 1965—1998 (Orde Baru) • Dalam Konferensi Roma tahun 1979,
Indonesia mengirim delegasi besar. Hasil konferensi ini adalah sebuah dokumen
yang di tahun 1981 diterbitkan oleh FAO dengan judul Peasant’s Charter
(Piagam Petani). Disepakati bahwa setiap dua tahun sekali tiap negara akan
melaporkan pelaksanaan Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan. Tidak
ada berita, apakah Indonesia memenuhi kesepakatan tersebut. • Di tahun 1981
di Selabintana Sukabumi (Jawa Barat) berlangsung lokakarya internasional
dengan tema yang sama, sebagai tindak lanjut Konferensi Roma, yang hasilnya
disertai sebuah rekomendasi kepada pemerintah Indonesia. • Keberadaan
Piagam Petani hasil pertemuan Roma, dan rekomendasi Selabintana ternyata
tidak mampu mendorong pemerintah Orde Baru melakukan “re-orientasi
kebijakan”. Bahkan, kebanggaan yang berlebihan dari berhasilnya swasembada
pangan di tahun 1984 telah membuat Orde Baru terlalu percaya diri bahwa tanpa
Reforma Agraria (melalui “jalan pintas”) kita akan mampu memakmurkan rakyat.

20. Periode 1965—1998 (Orde Baru) • Terbukti kemudian bahwa swasembada


pangan tidak berumur lama. Namun hal ini tetap tidak membuat Orde Baru
menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. Bahkan semakin terdapat
kecenderungan untuk jauh menyimpang dari semangat UUD 1945 dan UUPA
1960. Penyimpangan ini dimulai dengan adanya berbagai paket deregulasi di
akhir dekade 1980-an untuk memuluskan praktek kebijakan liberal. • Meskipun di
pertengah dekade 1980-an Indonesia mencapai swasembada pangan, berbagai
konflik sosial yang hakikatnya berlatar belakang masalah agraria telah merebak

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 80


di mana-mana dan tidak ada yang dapat diselesaikan sampai saat ini. Data KPA
2001 menunjukkan angka jumlah kasus mencapai angka 2834 kasus yang
pernah dilaporkan kepada berbagai LSM oleh masyarakat sejak jaman Orde
Baru dalam upaya mencari dukungan untuk mempertahankan hak mereka.
Inventarisasi BPN yang dilaporkan ke Komisi II (18 September 2007) menyebut
angka 7468 kasus. Sayangnya rincian lokasi dan pihak yang berkonflik belum
pernah disampaikan. • Namun, agaknya kenyataan ini tidak cukup membuka
mata hati para pemimpin bahwa masalah agraria adalah masalah mendasar.
Bahkan cenderung menyimpang dari semangat UUPA 1960 semakin nyata
ketika di pertenghan dekade 1990-an terlontar pernyataan dari seorang pejabat
yang berwenang bahwa “tanah sebagai komoditi strategis” (bertentangan
dengan fatwa Bung Hatta sebagaimana sudah disebutkan di atas)

21. Periode 1965—1998 (Orde Baru) • Berbagai krisis agraria yang terjadi itu tak
lepas dari kecarut-marutan dalam sistem perundang-undangan di bidang agraria
(secara luas). • Meskipun UUPA dikukuhkan kembali, hal itu tidak membantu
mengatasi, sebab beberapa UU sektoral – yang berbeda semangatnya dengan
UUPA 1960 sudah terlanjur berlaku demikian lama, maka ketika UUPA 1960
dikukuhkan kembali, yang terjadi bukannya penjernihan, melainkan ketumpang-
tindihan. Terdapat kesan kuat bahwa di sana-sini terjadi rekayasa hukum dan
manipulasi agar seolah-oleh suatu kebijakan itu merujuk kepada UUPA 1960,
sedangkan pada hakikatnya adalah demi memfasilitasi investasi asing,
berlawanan total dengan cita-cita dasar UUPA 1960.

22. Pasca Orde Baru • Masa kepresidenan B.J. Habibie sebenarnya ada niat
meninjau kembali kebijakan landreform. Pernah dibentuk Panitia di bawah
pimpinan Prof. Dr. Muladi, S.H. Tapi belum sempat panitia ini bekerja, sudah
terjadi pergantian presiden. Panitia ini kemudian tidak jelas kabarnya.

23. Pasca Orde Baru • Di jaman Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur),
terlontar pernyataannya yang menggemparkan, yaitu bahwa 40% dari tanah-
tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada rakyat. Euphoria
kebebasan sebagai akibat lengsernya Orde Baru telah melahirkan berbagai
organisasi rakyat (serikat tani dan nelayan, serikat buruh, ormas perempuan dan
lain-lain, termasuk munculnya puluhan partai politik), selain juga berbondong-
bondongnya rakyat menduduki tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai oleh
pemilik/yang menguasainya. Isu agraria pun terangkat kembali ke permukaan
oleh desakan berbagai organisasi tani/nelayan serta berbagai LSM.

24. Pasca Orde Baru Masa kepresidenan Megawati: • Di awal kekuasaannya


Pemerintah Megawati belum menunjukkan kepastian sikap mengenai masalah
agraria. • Sementara itu di kalangan masyarakat sipil berlangsung Konferensi
Nasional Petani (April 2001) yang dihadiri oleh berbagai organisasi tani, berbagai
LSM, dan juga Komnas HAM, sebagai salah satu pemrakarsanya. Konferensi ini
melahirkan ”Deklarasi tentang Hak- Hak Asasi Petani”. • Menyadari kerasnya
desakan rakyat saat itu, maka sebagian anggota MPR hasil pemilu 1999 cukup

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 81


tanggap. Maka BP MPR bidang agraria kemudian melakukan berbagai dialog
dengan berbagai organisasi tani dan LSM, yang dilanjutkan dengan
penyelenggaraan dua kali lokakarya besar di Bandung pada bulan
September/Oktober 2001. Hasilnya adalah lahirnya TAP MPR No. IX/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

25. Pasca Orde Baru • Dilihat dari semangat UUPA 1960, isi TAP ini memang
ambigu. Namun, bagaimanapun juga, harus diterima kenyataan bahwa itulah
hasil maksimal yang bisa dicapai sebagai hasil kompromi dari pertarungan
berbagai kepentingan. Bahkan TAP seperti yang ada sekarang itupun mungkin
tidak akan lahir seandainya saja tidak ada dukungan pressure group berupa
demo sekitar 12.000 orang anggota berbagai Serikat Petani. Isi TAP MPR No.
IX/2001 itu pada dasarnya semacam ”perintah”, baik kepada Presiden maupun
kepada DPR, agar mengambil langkah tindak lanjut. Ketika sampai dengan
tahun 2003 ternyata tidak ada tanda-tanda tanggapan baik dari DPR maupun
dari presiden, maka Komnas HAM bersama sejumlah LSM dan organisasi tani
mengambil prakarsa lain, yaitu menyusun usulan kepada Presiden Megawati
agar membentuk KNUPKA (Komite Nasional untuk Penanggulangan Konflik
Agraria). Tanggapan presiden positif, tetapi, sekali lagi, belum sempat konsep ini
direalisasikan keburu terjadi pergantian presiden. • Sementara itu, pada masa
akhir jabatannya Presiden Megawati mengeluarkan Keppres No. 34/2003 yang
isinya memberi mandat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk
melakukan penyusunan RUU mengenai ”penyempurnaan” UUPA 1960. Dengan
adanya pergantian presiden, masalah inipun mengalami perkembangan yang
tidak mulus.

26. Pasca Orde Baru Masa kepresidenan SBY: • Mandat kepada BPN untuk
melakukan ”penyempurnaan” UUPA 1960 masih tetap berlaku, dan proses
penyempurnaan itu masih tetap berlangsung. Namun hasilnya bukan
penyempurnaan, melainkan perubahan total terhadap UUPA. • Perpres No.
36/2005 (tentang infrastruktur) yang mengundang berbagai reaksi masyarakat.
Perpres ini, telah menimbulkan kegelisahan luas di masyarakat.

27. Pasca Orde Baru • Perpres No. 10/2006 mengenai penataan ulang secara
internal kelembagaan BPN. Salah satu yang positif, mungkin adalah dibentuknya
Deputi Bidang Pengkajian Dan Penanganan Sengketa Dan Konflik Agraria.
Namun bagaimana hasil kerjanya kita belum mendengar lebih jauh. Yang
mengejutkan adalah, dalam rangka mendukung penyelesaian konflik agraria
telah ditanda-tangani sebuah keputusan bersama antara Ketua BPN dan
KAPOLRI tentang Penanganan Konflik Agraria yang pendekatannya
dikhawatirkan akan menjadikan semakin meluasnya kekerasan oleh aparat
negara kepada pihak-pihak yang terlibat konflik, dalam hal ini khususnya massa
petani atau rakyat yang lain yang menduduki tanah-tanah sengketa yang
berhadapan dengan kaum bermodal, terutama karena sampai saat ini kita belum
sepenuhnya berhasil memisahkan POLRI dari karakter militernya dan kita belum

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 82


melihat perubahan sikap birokrat kita secara mendasar yang selama sekian
tahun terbiasa dengan cara kerja berkarakter betting on the strong.

28. Pasca Orde Baru • Keempat, di samping ketiga hal tersebut, perlu dicatat
juga bahwa pada bulan Maret 2006 yang baru lalu, Indonesia telah mengirim
delegasi untuk menghadiri ICARRD (International Conference on Agrarian
Reform and Rural Development) di Porto Alegre, Brazil, tanggal 7 —10 Maret
2006. Namun ternyata tidak ada arahan yang jelas dari pimpinan nasional, misi
apa yang harus diemban oleh delegasi ini sehingga ini sekedar menjadi
kesempatan jalan-jalan anggota delegasi pemerintah RI. Tidak ada hasil yang
dapat dilihat masyarakat dari kunjungan ini.

29. Pasca Orde Baru • Redistribusi lahan untuk petani yang dikampanyekan oleh
SBY. Tanah mana yang akan diredistribusi. Mari kita lihat data!!!

30. Data Struktur Agraria No. Penggunaan Lahan Luas Lahan (juta Ha) 1 Luas
Total Daratan Indonesia 192,26 2 Kontrak Kerja Migas 95,45 96, 81 3 Kontrak
Karya Mineral 6,47 90,34 4 Kontrak Karya Batu Bara 24,77 65,57 5
KKB/PKP2PB 5,2 60,37 6 HPH 27,72 32.65 7 HTI 3,40 29,25 8 Perkebunan
Negara 3,30 25,95 9 Perkebunan Swasta 1,08 24,87 11 Lahan Pertanian 11,80
13,07 13 Perumahan, Pertokoan, Perkantoran, 14,00* Industri dll

31. Kesimpulan: Kira-kira, jika program distribusi lahan itu dilaksanakan, yang
akan didistribusi adalah tanah-tanah bekas perkebunan yang sdh tandus itu!!
Jadi. Para petani hendaknya tidak terhanyut mimpi indah yang berlebihan
dengan kampanye ini. Namun demikian program ini tetap harus didesak untuk
segera dilaksanakan, dengan mengutamakan petani di wilayah konflik terdekat
dengan lokasi distribusi.

32. Perdebatan Seputar Revisi UUPA Noer Fauzi (1999), terdapat 4 (empat)
golongan alasan dalam merevisi UUPA: • Golongan Pertama, adalah mereka
yang beranggapan bahwa UUPA dan semua perundang-undangan lainnya pasti
dibuat dengan niat baik untuk menjamin hak dan kewajiban masyarakat,
sehingga tentunya UUPA dan peraturan-peraturan pelaksananya sangat dapat
diandalkan sebagai sarana perlindungan hak-hak masyarakat yang dirugikan.
Soal perampasan tanah dinilai terjadi karena penyimpangan dari pejabat
berperilaku menyimpang dalam mempergunakan kewenangannya. Versi ini
menganggap tidak perlu ada revisi UUPA, yang diperlukan adalah pembaruan
pelaksanaannya saja.

33. Perdebatan Seputar Revisi UUPA • Golongan kedua, adalah mereka yang
percaya bahwa UUPA adalah produk hukum yang memuat jaminan-jaminan hak-
hak masyarakat, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan
pelaksananya yang menyimpangkan mandat UUPA tersebut. UUPA adalah
hukum yang berkarakter responsif yang diproduksi di masa Orde Lama, namun
ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksanaan yang diproduksi Orde

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 83


Baru yang pada umumnya berkarakter represif. Dalam rumusan lain, dinyatakan
bahwa UUPA bersifat populis namun dikelilingi oleh peraturan yang kapitalistik.
Golongan ini mempersepsi perampasan tanah disebabkan oleh orientasi
pembangunan rejim Orde Baru yang mendahulukan pertumbuhan modal industri
dan proyek-proyek pemerintah dari pada kepentingan penguasaan agraria rakyat
banyak. Hukum agraria yang diproduksi adalah sub-sistem dari pertumbuhan
ekonomi, sehingga orientasinya adalah memberi dukungan legalitas pada
pemodal besar maupun proyek pemerintah.

34. Perdebatan Seputar Revisi UUPA • Golongan ketiga, adalah mereka yang
menganut ideologi pasar bebas dan melihat bahwa birokrasi yang rente dan
kolutif membuat ‘pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan’ merupakan
satu bagian dari pencipta biaya ekonomi tinggi (high cost economic), dan
karenanya peran birokrasi harus dikurangi seminimal mungkin. Hukum agraria
harus direformasi agar tercipta ‘kenyamanan’ berusaha bagi para pelaku bisnis.
UUPA merupakan rintangan besar, karena dengan UUPA intervensi negara
terhadap pengadaan tanah terlampau besar. Soal-soal perlawanan rakyat
terhadap perampasan tanah, tumpang tindih alokasi tanah dan kegagalan
penyelesaian sengketa merupakan hambatan bagi investasi dalam negeri
maupun investasi asing.

35. Perdebatan Seputar Revisi UUPA High cost economic ini harus dipangkas
melalui pelucutan kekuasaan intervensi negara dalam perekonomian, khususnya
di pasar. Golongan ini mempromosikan, apa yang mereka sebut efficient land
market, dimana pasar tanah merupakan jalan utama bagi bisnis memperoleh
tanah-tanah sebagai alas dari usaha mereka. Jawaban utama bagi sengketa
tanah adalah pemantapan status hukum dari semua persil tanah melalui program
pendaftaran tanah. Tapi, sekaligus dengan hal ini, sektor bisnis bisa memperoleh
tanah tanpa perlu menimbunkan kesulitan yang berarti. • Golongan keempat,
adalah yang mendudukkan UUPA sebagai produk hukum yang perlu dipandang
secara kritis. Diargumentasikan bahwa tidak dipungkiri adanya gejala
penyimpangan penggunaan wewenang dari pejabat sehubungan dengan
maraknya sengketa agraria -- sebagaimana disinyalir oleh golongan pertama.
Juga tidak dipungkiri pula adanya sejumlah peraturan pemerintah yang
melingkupi UUPA berorientasi kapitalistik, dan ada pula sejumlah peraturan yang
menyimpang dari UUPA. Namun, kegagalan UUPA dipersepsi pula sebagai
pemberi andil bagi terciptanya sengketa agraria yang marak lebih dalam lima
belas tahun belakangan.

36. Perdebatan Seputar Revisi UUPA • DPR telah menetapkan agenda


perubahan UUPA sebagai salah satu prioritas kerja legislasi pada tahun 2005.
DPR telah menerbitkan dokumen Program Legislasi Nasional Tahun 2005- 2009
yang didalamnya ditetapkan 229 (dua ratus dua puluh sembilan) RUU yang akan
dibuat –disusun Badan Legislasi Nasional (BALEG) DPR. Di dalam dokumen ini,
salah satu agenda adalah penyusunan ”RUU tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria“. Selain itu,

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 84


Baleg juga telah menerima usulan RUU Lahan Abadi Pertanian dan berbagai
RUU yang bersifat sektoral yang terus didesakkan untuk diselesaikan, salah
satunya yang tak dapat dibendung adalah RUU Penanaman Modal yang
mencantumkan pemberian ijin kepada pemilik modal untuk menguasai tanah di
Indonesia hingga 95 tahun. • Terkait dengan gagasan mengenai revisi UUPA
1960 ini, saya pribadi berpendapat sebagai berikut: • Pertama, penyempurnaan
UUPA harus memberi makna penguatan bagi semangat kerakyatan yang
terkandung di dalamnya. Penyempurnaan mestilah menambah baik isi UUPA,
bukannya menghapus atau menggantikannya dengan undang-undang yang
semangat dan isinya sama sekali baru.

37. Perdebatan Seputar Revisi UUPA • Kedua, menyempurnakan UUPA 1960


mestilah dilakukan secara hati-hati agar tidak terseret kepentingan globalisasi
kapitalisme yang hendak mengukuhkan kepentingan ekonomi-politiknya di
lapangan agraria. • Ketiga, penyempurnaan UUPA hendaknya meneguhkan
posisinya sebagai payung bagi peraturan perundang-undangan agraria.
Pengaturan atas sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan,
pertanian, pesisir dan laut, dan sebagainya mestilah mengacu pada UUPA. •
Keempat, proses penyempurnaan UUPA hendaknya dilakukan secara
demokratis dan partisipatif. Selain melibatkan departemen dan lembaga negara,
juga pakar dan organisasi non-pemerintah (LSM) yang integritasnya teruji. Dan
yang terpenting diajak bicara adalah rakyat yang paling berkepentingan atas
agraria, yakni serikat petani, nelaan, masyarakat adat dan rakyat kecil pada
umumnya, dengan memperhatikan perimbangan partisipasi laki-laki dan
perempuan.

38. Penutup • Kesalahan pengembangan kebijakan agraria di jaman kolonial dan


ketidak konsistenan melaksanakan UUPA No.5/1960 selama ini telah berakibat
terus berlanjutnya dan semakin parah serta meluasnya kemiskinan, pada
akhirnya mendorong terjadinya migrasi dan menempatkan masyarakat desa
dalam kondisi rentan menjadi korban perdagangan orang. Diatas telah
disinggung tentang migrasi yang 70% diantaranya perempuan. Para laki-laki
dalam perempuan yang terusir dari desa-desa itu (karena juga tidak adanya niat
baik negara membangun pendidikan bagi rakyat) mereka kemudian terjerembab
dalam kerja-kerja kasar dan tidak memiliki perlindungan hukum, seperti kuli
bangunan, pekerja rumah tangga bahkan dalam pekerjaan yang dianggap tidak
memiliki harkat kemanusiaan/dilacurkan dan menjadi komoditi dagangan.

39. Penutup • Ketidakjelasan kebijakan agraria tidak bisa lagi bisa dibiarkan,
langkah yang paling urgent dalam hal ini adalah penataan kebijakan agar semua
kebijakan terkait agraria agar semuanya memiliki semangat yang sama, yaitu
menghormati kedaulatan rakyat atas bumi Indonesia dengan tidak menjadikan
tanah sebagai komoditas atau insentif masuknya modal. Untuk tujuan ini,
legislatif dan eksekutif harus duduk bersama dan secara serius membuat
prioritas yang jelas dengan memperhatikan kepentingan para petani kecil, para

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 85


nelayan kecil, rakyat miskin perkotaan. Merekalah elemen bangsa yang paling
terikat dengan tanah untuk penghidupannya.

40. Penutup • Di sisi lain, elemen masyarakat sipil juga harus meningkatkan
kapasitas dalam melakukan lobby kebijakan. Organisasi-organisasi petani,
nelayan dan lain-lainnya tidak bisa hanya menggunakan metode unjuk rasa
untuk melakukan perubahan. Dukungan informasi dan pengalaman mereka
menghadapi konflik dan persoalan-persoalan kehidupan terkait dengan tanah
sangat diperlukan dalam menyusun kebijakan yang benar-benar dapat memberi
kesejahteraan bagi rakyat banyak. Kemampuan memformulasikan pengalaman
itu menjadi paparan yang runut dan usulan kebijakan yang logis sangat penting
untuk mulai dikembangkan. Demikian juga berbagai cara membangun dukungan
atas usulan-usulan itu dari berbagai pihak penentu kebijakan.

Diposkan oleh Notariat Collegium di 08:35 0 komentar


Label: Agraria, Agrarische Wet, Hukum, Tanah

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 86


SAP Mata Kuliah Hukum Pendaftaran Tanah (Teori dan Praktek)

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

MATAKULIAH : HUKUM PENDAFTARAN TANAH (TEORI DAN PRAKTEK)

KOPEL /SKS : HKA 205 / 2 sks (2 – 0) 4

POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. PENDAFTARAN TANAH SEBELUM LAHIRNYA UUPA (TATAP MUKA (TM): 1


& 2)

1. Perkembangan Kadaster di Indonesia

1. Periode pra-kadaster (Tahun 1620-1837);


2. Periode Kadaster lama (Tahun 1837-1875);
3. Periode Kadaster baru (setelah tahun 1875).

2. Perkembangan Pendaftaran hak di Indonesia

1. Periode sebelum Ordonansi Balik Nama;


2. Periode Ordonansi Balik Nama.

B. PENDAFTARAN TANAH SETELAH LAHIRNYA UUPA (TM: 3,4,5,6 & 7)

1. Landasan Hukum dan Pengertian Pendaftaran Tanah

1. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah;


2. Pengertian Pendaftaran Tanah;
3. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.
4. Praktek Aplikasi Pendaftaran Tanah kedalam bentuk Akta PPAT

2. Asas dan Tujuan Pendaftaran Tanah

1. Asas-asas Pendaftaran Tanah;


2. Tujuan Pendaftaran Tanah

3. Obyek dan Sistem Pendaftaran Tanah

1. Obyek Pendaftaran Tanah;


2. Sistem Pendaftaran tanah;

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 87


3. Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah.
4. Praktek Aplikasi Pendaftaran Tanah kedalam bentuk Akta PPAT

4. Kekuatan Pembuktian Sertifikat dan Satuan Wilayah Pendaftaran Tanah

1. Kekuatan Pembuktian Sertifikat;


2. Satuan Wilayah Pendaftaran Tanah.

5. Penyelenggara dan Pelaksana Pendaftaran Tanah Teori dan Praktek

1. Penyelenggara Pendaftaran Tanah;


2. Pelaksana Pendaftaran Tanah;
3. PPAT;
4. Panitia Ajudikasi.

C. PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI (TM: 8,9,10, & 11)

1. Kegiatan dan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali

1. Kegiatan Pendaftaran Tanah;


2. Pelaksana Pendaftaran Tanah.

2. Pengumpulan dan Pengolahan Data Fisik

1. Pengukuran dan Pemetaan;


2. Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran;
3. Penetapan Batas-batas Bidang Tanah;
4. Pembuatan Daftar Tanah;
5. Pembuatan Surat Ukur.

3. Pengumpulan dan Pengolahan Data Yuridis Serta Pembukuan Haknya

1. Alat Bukti Hak-hak Atas Tanah yang Baru;


2. Alat Bukti Hak-hak Atas Tanah yang Lama;
3. Dasar Pembukuan Hak jika tidak lengkap alat bukti pemilikannya;
4. Menilai Kebenaran Alat Bukti;
5. Pengumuman Data Fisik & Yuridis
6. Pembukuan Hak.

4. Penerbitan Sertifikat

1. Tatacara Penerbitan dan Bentuk Sertifikat;


2. Penyerahan Sertifikat;
3. Penangguhan Penerbitan Sertifikat;

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 88


4. Penerbitan Sertifikat Pengganti;
5. Penyajian Data Fisik dan Data Yuridis;
6. Penyimpanan Daftar Umum dan Dokumen.

D. PEMELIHARAAN DATA PENDAFTARAN TANAH (TM: 12,13,14, & 15)

1. Pengertian Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah;

2. Pemeliharaan Data karena Pemindahan Hak melalui (lelang & Non lelang);

3. Pemeliharaan Data karena Pewarisan;

4. Pemeliharaan Data karena penggabungan/peleburan Perusahaan;

5. Pemeliharan Data karena Pembebanan Hak;

6. Pemeliharaan Data karena Perpanjangan Jangka Waktu Hak;

7. Pemeliharaan Data karena Pemecahan, Pemisahan & Penggabungan;

8. Pemeliharaan Data karena Pembagian Hak Bersama;

9. Pemeliharaan Data karena Hapusnya Hak;

10. Pemeliharaan Data karena Peralihan dan Hapusnya Hak Tanggungan;

11. Pemeliharaan Data karena Perubahan Nama;

12. Pemeliharaan Data karena Putusan Pengadilan;

13. Pemeliharaan Data karena Perubahan Hak .

14. Praktek Pendaftaran Tanah no 1-13 kedalam bentuk AKta PPAT

E. SANKSI DAN BIAYA PENDAFTARAN TANAH (TM: 16)

1. Sanksi dalam Pendaftaran Tanah;

2. Biaya Pendaftaran Tanah.

3. Praktek Pembuatan Akta-akta PPAT

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 89


REFERENSI

1) Prof. DR. A.P. Parlindungan, SH; 1999. Pendaftaran Tanah di Indonesia


(Berdasarkan PP No 24 Tahun 1997) dilengkapi dengan Peraturan Jabatan
Pembuat Akta Tanah PP No 37 Tahun 1998; Penerbit CV Mandar Maju
2) Bachtiar Effendie. 1993. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan
Pelaksanaannya, Penerbit Alumni. Bandung.
3) Boedi Harsono. 2000. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembuatan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Penerbit Djambatan. Jakarta.
4) Prof. DR. ST. Remy Sjahdeini, SH. 1999. Hak Tanggungan Asas-asas,
Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu
Kajian Mengenai UU Hak Tanggungan). Penerbit Alumni Bandung;
5) R. Hermanses. 1983. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Yayasan Karya
Dharma Institut Ilmu Pemerintahan. Jakarta.
6) Prof. DR. Mariam Darus Badrulzaman, SH. 2004. Serial Hukum Perdata Buku
II Kompilasi Hukum Jaminan; Penerbit CV Mandar Maju;
7) Dan Referensi Lainnya yang berhubungan dengan Hukum Tanah besrta
Pendaftaran Tanah lainnya yang dianggap relevan.

DESKRIPSI SINGKAT

Hukum Pendaftaran Tanah yang meliputi Teori dan Praktek Pendaftaran


merupakan matakuliah wajib Fakultas yang harus diikuti oleh setiap mahasiswa
mulai semester ( ).

Mata kuliah ini merupakan mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (Teori dan
Praktek), sehingga membekali Mahasiswa dengan pengetahuan yang mendekati
praktis. Dengan demikian setelah lulus mata kuliah ini Mahasiswa diharapkan
mampu untuk menganalisis kebijakan pemerintah di bidang pendaftaran tanah
dan mampu menerapkan dalam praktik di lapangan. Dengan demikian mata
kuliah ini mendekatkan lulusan dengan dunia kerja.

Secara rinci, Hukum Pendaftaran Tanah ini meliputi pengetahuan teoritis dan
praktis mengenai :

1. Pendaftaran tanah sebelum lahirnya UUPA;


2. Pendaftaran tanah setelah lahirnya UUPA. ;
3. Pendaftaran Tanah sebelum lahirnya UUPA mencakup,

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 90


-perkembangan Kadaster dan Pendaftaran Hak atas Tanah di Indonesia mulai
tahun 1620 hingga 1960.
4. Pendaftaran Tanah setelah lahirnya UUPA , yang mencakup :
a. landasan Hukum dan pengertian pendaftaran tanah,
b. asas dan tujuan,
c. Subyek, obyek dan sistem,
d. kekuatan pembuktian sertifikat, dan
e. penyelenggara pendaftaran tanah.
f. Pendaftaran Tanah untuk pertama kali,
g. pemeliharaan data pendaftaran tanah, serta
h. sanksi dan biaya pendaftaran tanah..
i. Praktek pengaplikasian teori kedalam bentuk suatu akte PPAT yang di kaitkan
dengan sub. a s/d h secara acak

Materi bahasan bersumber pada pustaka yang tersedia. Sementara itu, proses
pembelajaran dilakukan dengan metode kuliah mimbar (orientasi) yang didukung
dengan media pengajaran, responsi, pelatihan studi kasus, dan pemberian tugas
terstruktur. Hasil proses pembelajaran mahasiswa dievaluasi melalui tugas
terstruktur, ujian tengah semester, dan ujian akhir semester.

Penyusun

Diposkan oleh Notariat Collegium di 06:06 0 komentar


Label: Agraria, Fungsi dan Peranan Jabatan Notaris, Hukum, Kadaster, Kuliah,
Pendaftaran, SAP, Tanah, Tugas dan Fungsi Notaris dan PPAT, Unsri
Rabu, 2009 Maret 04

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 91


Tugas dan Fungsi Notaris dan PPAT

Sebagai seorang anak bangsa yang mempunyai latar belakang Pendidikan


Sarjana Hukum, dengan Jurusan Hukum Administrasi Negara, hati dan pikiran
saya cukup terenyuh melihat persoalan bangsa saat ini yang cukup pelik. Salah
satu yang mengganjal hati saya, adalah persoalan penataan administrasi
pertanahan pada masyarakat Indonesia di Pedesaan. Sangat ironis, setelah 64
tahun Indonesia merdeka, bangsa kita belum dapat menyelesaikan administrasi
pertanahan. Persoalan hukum selalu menimpa rakyat, ketika harus berhadapan
dengan pengusaha besar, dengan alasan keamanan investasi, citra bangsa
indonesia dengan ketimurannya ,sehinggak harus rela tanahnya di ganti rugi....!
dan bukan ganti untung.... akibatnya sudah pasti, rakyat tetap melarat.

Menurut data dan Catatan Badan Pertanahan Nasional, hampir 80% rakyat yang
memiliki tanah pertanian di pedesaan tidak memiliki Surat Tanda Bukti
Kepemilikan Tanah Pertanian dan Rumah Tempat Tinggal mereka. Rata-rata
Tanda Bukti Kepemilikan adalah selembar kertas segel atau kwitansi tanda
pelunasan jual beli tanah dan pengakuan masyarakat sekitar. Padahal
Pemerintah sudah membuat program Sertifikat berbiaya murah, yang dikenal
dengan program Prona. Namun, program tersebut tidak efektif berjalan di
tengah-tengah masyarakat, hal ini disebabkan rumitnya mengurus administrasi
Prona serta mahalnya biaya yang dikeluarkan oleh pemohon sertifikat Prona
tersebut. Dapat di bayangkan, apabila terjadi persoalan hukum, maka hal ini
sangat memperlemah rakyat di depan hukum. Rakyat pedesaan yang
menggantungkan hidupnya dari lahan pertaniannya sebagai alat produksi, sering
kewalahan dalam mempersiapkan modal untuk menanam komoditi yang di
rencanakannya, bila meminjam ke Bank Perkreditan Rakyat, mereka terganjal
ketiadaan jaminan atau boroh, maka jalan yang paling praktis adalah, meminjam
ke rentenir dengan bunga yang mencekik leher, maka petani harus pasrah
menghadapi nasibnya yang kurang di perdulikan oleh bangsa yang besar ini.

Dengan kemajuan peradapan bangsa yang semakin moderen, serta kehidupan


masyarakat yang cenderung individualis dan pola kehidupan yang materialistis
maka hal ini menyebabkan semakin terkikisnya secara pelahan-lahan sistem
kekeluargaan dan budaya pada masyarakat Indonesia di Pedesaan, persoalan
ini membuat pola kehidupan kemasyarakatan semakin renggang dan terkikis.
Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa sumber konflik yang disebabkan tidak
tertatanya dengan baik masalah administrasi pertanahan tersebut.
Permasalahan ini, akan menjadi bom waktu pada masa yang akan datang, serta
dapat menjadi konflik antara masyarakat tersebut, baik masalah batas tanah,
sewa menyewa dan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan tanah tersebut.

Untuk itulah peranan dan fungsi dari Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta
Tanah) sangat diperlukan untuk saat ini dan masa yang akan datang. Peranan
dan kepedulian dari Notaris dan PPAT yang bertugas disetiap Kecamatan di
seluruh Indonesia kelak secara merata, sangat berguna dan berfungsi untuk

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 92


membuat dan membantu masyarakat pedesaan agar membuat Surat Tanda
Bukti Kepemilikan Tanah Lahan Pertanian dan Perumahan mereka dengan biaya
murah dan cepat. Atas dasar ini, sangat diperlukan generasi muda Bangsa,
untuk menekuni dan mengikuti Pendidikan Magister Kenotariatan dalam upaya
mengetahui seluk beluk pertanahan dan penataan administrasi pertanahan di
indonesia khususnya bagi rakyat di pedesaan yang masih sangat banyak belum
memiliki tanda bukti hak atas tanahnya.

Disamping rakyat telah memiliki Surat Tanda Bukti Kepemilikan Tanahnya


dengan baik dan sempurna, dokumen tersebut juga akan sangat berguna bagi
rakyat untuk dapat dijadikan jaminan dan anggunan untuk memperoleh pinjaman
dengan bunga ringan ke Bank Pemerintah yang menyediakan kredit pertanian
rakyat. Dengan demikian, Surat Tanda Bukti Kepemilikan Tanah tersebut,
sebagai pegangan dan Tanda Bukti Kepemilikan Tanah oleh rakyat, yang
sewaktu-waktu dapat ditingkatkan menjadi sertifikat oleh Badan Pertanahan
Nasional, berfungsi pula sebagai Jaminan dan Anggunan bagi rakyat untuk
memperoleh kredit pertanian sehingga mereka akan terbebas dari jeratan
tengkulak dan rentenir, sehingga hasil lahan pertanian yang mereka miliki dapat
benar-benar berguna dan bermanfaat bagi kehidupan untuk peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran mereka.

Diposkan oleh Oleh : ROY FACHRABY GINTING, SH, M.Kn


Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kabupaten Karo
Diposkan oleh Notariat Collegium di 08:12 0 komentar
Label: Tugas dan Fungsi Notaris dan PPAT

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 93


Kedudukan, Fungsi dan Peranan Jabatan Notaris

Semenjak saya masih berkuliah di Fakultas Hukum hingga sekarang berpraktek


sendiri, seringkali saya bertemu dengan orang awam yang salah mengerti
mengenai Kedudukan, fungsi dan peranan Notaris dalam masyarakat khususnya
dalam bidang hukum. Tidak sedikit pula masyarakat yang menganggap bahwa
notaris hanya “tukang stempel” yang “kalah pintar” dari advokat/pengacara,
sehingga mereka sering membawa draft dari pengacara atau advokat mereka
dan meminta notaris untuk menyalinnya dalam bentuk akta otentik, sehingga
saya merasa mereka memperlakukan notaris hanya sebagai tukang ketik saja,
hal ini pernah saya alami ketika saya masih bekerja sebagai asisten notaris.

Kadangkala salah satu pihak yang datang menghadap ingin diistimewakan


kedudukannya di dalam perjanjian yang dibuat di hadapan notaris. Saya pun
pernah menghadapi bahwa pelanggan saya menginginkan agar tidak perlu
mengikuti prosedur hukum yang seharusnya dilakukan dalam pembuatan akta,
lebih miris lagi karena menurutnya banyak notaris yang didatanginya juga
“berani” melakukan hal tersebut. Saya sangat prihatin dengan keadaan ini. Saya
ingin agar ketidakmengertian masyarakat mengenai notaris dapat sedikit terobati
dan sedikit menyadarkan rekan-rekan sejawat dengan adanya tulisan singkat ini.

Kedudukan Seorang Notaris


Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang
dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis
serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam
suatu proses hukum. Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris
dalam masyarakat yang disegani, namun saat ini kedudukannya agak
disalahmengerti oleh kebanyakan orang. Mungkin hal tersebut disebabkan oleh
tindakan dan perilaku para notaris itu sendiri.

Pertama-tama yang perlu diketahui bahwa notaris di Indonesia mempunyai


fungsi yang berbeda dengan notaris di Negara-negara Anglo-Saxon notary public
seperti Singapura, Amerika dan Australia, karena Indonesia menganut sistem
hukum Latin/Continental.

Notaris Latin berkarakteristik utama dimana ia menjalankan suatu fungsi yang


bersifat publik. Diangkat oleh Pemerintah dan bertugas menjalankan fungsi
pelayanan public dalam bidang hukum, dengan demikian ia menjalankan salah
satu bagian dalam tugas negara. Seorang notaris diberikan kuasa oleh Undang-
Undang untuk membuat suatu akta memiliki suatu nilai pembuktian yang
sempurna dan spesifik. Oleh karena kedudukan notaris yang independent dan
tidak memihak, maka akta yang dihasilkannya merupakan simbol kepastian dan
jaminan hukum yang pasti. Dalam system hukum latin notaris bersifat netral tidak
memihak, dan wajib memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat. Itu

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 94


sebabnya seorang notaris dalam menjalankan tugasnya tidak bisa didikte oleh
kemauan salah satu pihak sehingga mengabaikan kepentingan pihak lainnya
(meskipun sungguh sangat disesalkan bahwa sekarang banyak notaris yang
mau didikte oleh pelanggannya sekalipun harus bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau kode etik profesi).

Apakah Fungsi Seorang Notaris?


Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-
keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tandatangannya serta
segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak
memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau
unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat
melindunginya di hari-hari yang akan datang.

Notaris dan Advokat.


Para notaris mempunyai kesamaan dalam pekerjaan dengan para advokat.
Keduanya menuangkan suatu kejadian di bidang ekonomi dalam suatu bentuk
hukum, memberi nasehat kepada para pelanggan dan kepercayaan dari
pelanggan merupakan dasar hubungan mereka dengan pelanggan.

Tetapi ada perbedaan prinsip, yaitu:

1. Seorang notaris memberi pelayanan kepada semua pihak, advokat kepada


satu pihak. Seorang notaris berusaha menyelesaikan suatu persoalan, sehingga
semua pihak puas; advokat hanya berusaha memuaskan satu pihak. Kalaupun
dalam usaha itu tercapai suatu konsensus, pada dasarnya ia memperhatikan
hanya kepentingan pelanggannya.

2. Pekerjaan seorang notaris adalah untuk mencegah terjadinya suatu persoalan


antara pihak-pihak, sedangkan seorang advokat menyelesaikan persoalan yang
sudah terjadi. sudah jelas pekerjaan seorang notaris lebih luas dari apa yang
digambarkan diatas, tetapi adanya perbedaan-perbedaan nyata sekali dalam hal
tersebut diatas. Kalau seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika
timbul suatu kesulitan, maka seorang notaris harus berusaha mencegah
terjadinya kesulitan itu (lebih bersifat preventif)

Pada umumnya A. W. Voors (seorang kandidat notaris Di Arnhem, Negeri


Belanda, dalam rapat umum tahunan persatuan kandidat notaris tanggal 20-5-
1949) menganjurkan supaya berpegang pada pedoman sebagai berikut:

Dalam membela hak satu pihak diharapkan seorang notaris tidak ikut campur,
tetapi dalam hal mencari dan membuat suatu bentuk hukum dimana kepentingan
pihak-pihak berjalan parallel, notaris memegang peranan dan advokat hanya
memberi nasehat.

Dilihat dari sudut lain A. W. Voors membagi pekerjaan seorang notaris menjadi:

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 95


(a) pekerjaan yang diperintahkan oleh undang-undang yang juga disebut
pekerjaan legal dan (b) pekerjaan ekstralegal, yaitu pekerjaan yang
dipercayakan padanya dalam jabatan itu.

(a) PEKERJAAN LEGAL


menurut A.W.Voors adalah tugas sebagai pejabat untuk melaksanakan sebagian
kekuasaan pemerintah dan sebagai contoh disebutnya antara lain:
(1) memberi kepastian tanggal;
(2) membuat grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial;
(3) memberi suatu keterangan dalam suatu akta yang menggantikan tanda
tangan; dan (4) memberi kepastian mengenai tanda tangan seseorang.

Menurut praeadviseur itu pekerjaan-pekerjaan ini dilakukan oleh seorang notaris


sebagai suatu badan negara (organ van de staat) dan berdasarkan itu maka
tindakannya mempunyai kekuatan undang-undang (hlm. 21)

“Pekerjaan yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada seorang notaries itu


adalah sesuatu yang demikian berharga, sehingga harus disimpan baik-baik
(een goed kostelijk om te bewaren) dan seorang notaris harus menjunjung tinggi
tugas itu serta melaksanakannya dengan tepat dan jujur”, kata A.W. Voors.
“Melaksanakan tugas dengan tepat dan jujur”:
-menurut Tan Thong Kie, berarti:bertindak menurut kebenaran (dalam bahasa
Belanda naar waarheid, dalam bahasa Inggris truthfully) sesuai dengan sumpah
notaris. jika ada suatu peristiwa (rapat umum, penarikan lotere, pembubuhan
tanda tangan, dsb.), catatlah kejadian itu sebenarnya dan pada saat (tanggal dan
jam) yang tepat.
-menurut Merryman:...the instrument itself is genuine and what it recites,
represents what the parties said and the
what the notary saw and heard”).

Janganlah pernah sekali pun menodai kepercayaan yang diberikan oleh undang-
undang kepada jabatan notaris. Pengetahuan bahwa dirinya tidak pernah
menyelewengkan kekuasaan dan kepercayaan memberi kepada seorang notaris
kepuasan dan rasa aman dalam pekerjaannya. Selain itu, pelaksanaan tugas
secara jujur mengundang keseganan masyarakat.

(b), PEKERJAAN EKTRA LEGAL


tugas lain yang dipercayakan kepadanya adalah menjamin dan menjaga
“perlindungan kepastian hukum” atau sebagaimana yang ditulis oleh A. W. Voors:
debescherming van de rechtszekerheid. Setiap warga mempunyai hak serta
kewajiban dan ini tidak diperbolehkan secara sembrono dikurangi atau
disingkirkan begitu saja, baik karena yang berkepentingan masih dibawah umur
ataupun mengidap penyakit ingatan. Kehadiran seorang notaris dalam hal-hal itu
diwajibkan oleh undang-undang dan ini adalah bukti kepercayaan pembuat
undang-undang kepada diri seorang notaris. Contoh-contohnya adalah:

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 96


1.Perjanjian nikah (ps. 147). Perjanjian ini dianggap demikian penting sehingga
diharuskan pembuatannya dengan akta autentik. Yang paling penting adalah
menjaga kepentingan pihak-pihak dan menjelaskan isinya kepada mereka, yang
pada umumnya masih muda dan lagi menetapkan tanggal pembuatannya,
karena menurut undang-undang perjanjian nikah harus dilakukan sebelum
pernikahan dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil.
2. Pemisahan dan Pembagian warisan dalam hal anak-anak dibawah umur yang
juga berhak dan kepentingannya harus dijaga (ps. 1047).
3. Perjanjian hibah (ps. 1682) dianggap sangat penting, agar pemberi hibah
mengetahui akibatnya dan menerima hibah memahami syarat-syarat yang
dilekatkan kepada suatu hibah.

Dalam tindakan-tindakan hukum yang disebut diatas, kepercayaan diberikan


kepada seorang notaris untuk memperhatikan kepentingan yang lemah dan yang
kurang mengerti. Dan perlindungan yang sama dipercayakan kepadanya dalam
semua tindakan hukum lainnya yang bentuknya diharuskan dengan akta autentik
(akta notaris).

Sifat dan Sikap Seorang Notaris


Seorang notaris harus menjaga kepentingan para pelanggan dan mencari jalan
yang paling mudah dan murah, tetapi janganlah hal ini dipakai sebagai alasan
untuk menyelundupkan ketentuan undang-undang. Sebab seorang notaris tidak
hanya mengabdi kepada masyarakat, tetapi juga kepada pemerintah yang
menaruh kepercayaan penuh kepadanya. Notaris harus jujur dan setia kepada
setiap pihak dan dengan bekerja demikian barulah ia dapat mengharapkan suatu
penghargaan. Jika notaris melakukan suatu penyelewengan, betapapun
kecilnya, sekali waktu pasti akan menjadi bumerang pada dirinya sendiri.
W.Voors itu mengatakan bahwa sikap seorang notaris terhadap masyarakat
penting sekali, khususnya dalam mengambil suatu keputusan. Jangan tergoyah
karena kata-kata seorang pembual, bahkan apabila seseorang mengancam
kepada notaris lain. “Kehormatan dan martabat (eer en waardigheid) harus
dijunjung tinggi”.

Tan Thing Kie dalam bukunya Studi Notariat : Serba-serbi Notariat edisi tahun
1994 mengutip tulisan tahun 1686 yang dibuat oleh Ulrik Huber tentang sifat-sifat
yang seharusnya dimiliki oleh seorang notaries: “een eerlijk man, tot het instellen
van allerhande schriftuir bequamen ende bij publijke authoriteit daartoe
verordineert (artinya: seorang yang jujur, yang pandai membuat segala tulisan
dan ditunjuk oleh seorang pejabat publik untuk itu.) dan ordonansi saat intu
menunjukan bahwa tiada orang yang diijinkan memegang jabatan notaris
melainkan orang-orang yang terkenal sopan dan pandai serta berpengalaman.

Mr. A.G. Lubbers menulis dan dikutip oleh Tan Thong Kie bahwa di bidang
notariat terutama diperlukan suatu ketelitian yang lebih dari biasa, tanpa itu
seorang dalam bidang notariat tidaklah pada tempatnya. Apabila seorang notaris
tidak teliti baik secara material maupun formal tentu kebodohannya itu

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 97


mempertebal dompet para pengacara, demikian dikatakan H.W. Roeby.
Nyatanya saat ini pengangkatan notaris tidaklah menjadi gerbang keluarnya
notaris-notaris berkualitas seperti tersebut di atas, sehingga banyak notaris yang
tidak mempunyai kualifikasi yang cukup baik dan memadai bisa berpraktek dan
membuat masyarakat bingung akan hukum yang sebenarnya harus ditaati.

A. W. Voors selanjutnya berkata bahwa sifat-sifat ini memang tidak dimiliki setiap
orang tapi dapat dipelajari, ditumbuhkan atau ditanam, dan dipelihara. inilah
yang paling penting sebab kode etik hanyalah alat Bantu; ceramah, preadvis
hanyalah pembuka mata anggota korps notaris. Dia juga mengemukakan:”sudah
barang tentu seorang notaris menguji setiap akta mengenai kepastiannya dalam
hukum dan menjaga hak-hak semua pihak dan jelas dalam setiap kontrak. Inilah
yang mengakibatkan bahwa seorang notaris bukanlah seorang pemberani dalam
bidang hukum; ia mengikuti jalan yang pasti dan dalam hal yang meragukan ia
lebih baik tidak bertindak daripada menempuh jalan licin dengan ketidakpastian
hukum.” Dan dikatakan pula oleh Mr. A.J.B. Rijke dalam WPNR no 1438: Allen
de notaris van studie zal zich zijne roeping getrouw kunnen toonen: hanya
notaris yang tetap belajar akan memperlihatkan kesetiaan pada panggilannya
(untuk menjadi notaris).

Untuk rekan-rekanku sejawat tetaplah belajar, junjunglah martabat profesi kita;


untuk masyarakat pilihlah notaris yang menjunjung tinggi kebenaran dan
bermartabat luhur.

*Sumber Studi Notariat: Serba-Serbi Praktek Notaris, tulisan Tan Thong Kie,
terbitan tahun 1994.
Diposkan oleh Notariat Collegium di 08:03 0 komentar
Label: Fungsi dan Peranan Jabatan Notaris, Kedudukan

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 98


TERTIB ADMINISTRASI DAN

ADMINISTRASI KANTOR NOTARIS

SEBAGAI PENUNJANG KEBERHASILAN TUGAS NOTARIS

A. PENDAHULUAN

Pengertian “administrasi” (Bel: administratie) seringkali diartikan dalam arti yang


sempit, yaitu sebagai kegiatan ketatausahaan, yaitu pekerjaan yang bersifat
tulis-menulis belaka. Administrasi dalam arti yang luas, yaitu sebagai suatu
proses karja-sama yang telah ditentukan sebelumnya, juga seringkali
dipertukarkan penggunaan dan pengertiannya dengan “manajemen”, yang
merupakan proses pencapaian tujuan melalui dan dengan orang lain.

“Kantor” dapat dilihat dalam artian statis, yaitu keadaan fisik yang merupakan
wadah atau tempat, dapat berupa gedung, rumah atau ruangan, dimana
kegiatan-kegiatan tata usaha dilakukan. Dalam arti yang dinamis, kantor
merupakan suatu organisasi dimana terdapat struktur, tugas, tanggung jawab,
hak dan wewenang dari setiap anggota organisasi yang bersangkutan.

Manajemen perkantoran atau administrasi perkantoran adalah proses


perencanaan, pengorganisasian, dan pengkoordinasian manusia, bahan-bahan,
mesin-mesin, metoda, perlengkapan, peralatan, dan uang, serta pengarahan dan
pengawasan atas pelaksanaan pekerjaan dalam rangka mencapai tujuan
organisasi.

Pekerjaan kantor merupakan fungsi pendukung atau memberikan bantuan dalam


melaksanakan tugas pokoknya.

Sebagai contoh, kantor Notaris yang membuat berbagai jenis akta, tidak akan
dapat melaksanakannya dengan baik tanpa adanya catatan-catatan mengenai
segala sesuatu tentang kliennya, tujuan dari dibuatnya akta, jenis akta yang
diinginkan, dan sebagainya.

Disamping itu, komunikasi yang efektif dan efisien juga merupakan faktor penting
dalam pelaksanaan pekerjaan kantor.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 99


Dengan demikian, pekerjaan kantor mencakup beberapa kegiatan pokok yang
meliputi:

- pencatatan, angka-angka dan

- perhitungan-perhitungan.

Catatan adalah segala sesuatu yang tertulis mengenai fakta-fakta atau kejadian-
kejadian untuk disimpan. Catatan-catatan tersebut merupakan data, yang perlu
diolah lebih lanjut untuk menjadi informasi.

Bagi suatu kantor Notaris, catatan itu antara lain dapat berupa :

Catatan mengenai klien (nama, alamat, usia, status, pekerjaan, dsb).

a. Catatan mengenai jenis akta yang akan dibuat.

b. Catatan mengenai keuangan.

c. Catatan mengenai peraturan-peraturan,

d. Catatan mengenai jumlah akta yang dibuat, dan lain-lain.

Untuk melaksanakan seluruh kegiatan tersebut diatas, diperlukan tersedianya


ruangan yang diatur dengan baik, peralatan dan perlengkapan yang sesuai, tata
kearsipan yang baik, pelaksanaan komunikasi kantor yang efektif, serta
tersedianya pegawai yang mempunyai kejelasan tugas, wewenang,
tanggungjawab dan haknya masing-masing.

B. Tata Ruang Kantor

Suatu kantor yang ditata dengan baik, akan menimbulkan rasa senang dan
nyaman, baik bagi para pegawai kantor yang bersangkutan, maupun bagi tamu-
tamu yang datang ke kantor yang bersangkutan. Oleh sebab itu, penataan ruang
kantor perlu mendapat perhatian bagi setiap pimpinan kantor. Dalam kaitan
dengan tata ruang beberapa kondisi fisik yang perlu diperhatikan adalah:

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 100


1. Penerangan atau cahaya yang cukup dan baik, sehingga pegawai dapat
melihat dengan cepat, mudah, dan senang, Dengan penerangan yang baik, akan
dapat meningkatkan hasil pekerjaan; dan, mengurangi kesalahan-kesalahan dan
kelelahan, serta meningkatkan prestise kantor.

2. Warna, yang tidak hanya untuk mempercantik ruang kerja, tetapi juga juga
perlu diperhatikan faktor keindahan dan psikologis dari warna tersebut,

3. Pilihan warna untuk kantor, disamping dapat memberikan kindahan, juga


dapat mempengaruhi hasil kerja pegawai, karena warna dapat mempengaruhi
perasaan, pengertian, dan pikiran seseorang.

-Misalnya warna kuning, jingga, dan merah, dipandang sebagai warna yang
panas, dan biasanya memberikan pengaruh psikologis yang mendorong
kehangatan dan perasaan gembira. Sebaliknya, warna hijau tua, biru tua, dan
ungu, memberikan pengaruh ketenangan, sedangkan warna ungu muda dan biru
memberikan perasaan menekan.

4. Pengatur suhu udara (air conditioning), yang dapat meningkatkan


produktivitas, mutu kerja yang lebih tinggi, kesenangan pegawai, semangat kerja
yang meningkat, dan kesan yang menyenangkan bagi para tamu.

5. Suara yang dapat berpengaruh terhadap konsentrasi pegawai, menyebabkan


timbulnya kesalahan dalam pekerjaan, mengganggu komunikasi, dan
sebagainya.

Untuk penataan ruang kantor itu sendiri, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai
berikut:

1. Kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan, diletakkan berdekatan.

2. Bagian yang melayani tamu diletaknya di bagian depan.

3. Mesin-mesin kantor yang menimbulkan gangguan suara, harus dijauhkan dari


pekerjaan yang memerlukan konsentrasi dan tempat penerimaan tamu.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 101


4. Tempat rapat atau pertemuan diletakkan di tempat yang tidak terganggu oleh
berbagai suara, baik berupa percakapan maupun, suara mesin-mesin, pegawai,
semangat kerja yang meningkat, dan kesan yang menycnangkan bagi para
tamu.

5. Suara, yang dapat berpengaruh terhadap konsentrasi pegawai, menyebabkan


timbulnya kesalahan dalam pekerjaan, mengganggu komunikasi, dan
sebagainya.

Untuk penataan ruang kantor itu sendiri, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai
berikut:

a. Kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan, diletakkan berdekatan.

b. Bagian yang melayani tamu diletakkan di bagian depan.

c. Mesin-mesin kantor yang menimbulkan gangguan suara, harus dijauhkan dari


pekerjaan yang memerlukan konsentrasi dan tempat penerimaan tamu.

d. Tempat rapat atau pertemuan diletakkan di tempat yang tidak terganggu oleh
berbagai suara, baik berupa percakapan maupun suara mesin-mesin.

C. Perlengkapan Dan Mesin-mesin Kantor

Penggunaan perlengkapan dan mesin-mesin kantor merupakan faktor penting


bagi suatu kantor yang baik. Pilihan yang tepat terhadap perlengkapan dan
mesin kantor, akan meningkatkan efisiensi kantor Dalam menentukan pilihan dan
pengadaan perlengkapan dan mesin-mesin kantor, beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian adalah:

1. Jenis pekerjaan dan Cara penyelesaiannya.

2. kemampuan dan kebutuhan pegawai yang menggunakannya.

3. Fleksibilitas penggunaan.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 102


4. Kualitas dan kuantitas pekerjaan.

5. Harga dan layanan purna jual.

6. Nilai keindahan.

D.Tata Kearsipan.

Tata kearsipan dapat diartikan sebagai cara pengaturan dan penyimpanan


dokumen sehingga secara teratur, sehingga setiap saat diperlukan dapat dengan
mudah dan cepat ditemukan kembali. Dengan demikian, tata kearsipan yang
baik akan merupakan sumber informasi dan sumber dokumentasi, serta sumber
ingatan dari para pegawai dalam pelaksanaan tugasnya masing - masing.

Berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan


Pokok Kearsipan, yang dimaksud dengan arsip adalah:

1. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga Negara dan Badan-
badan Pemerintah dalam bentuk corak apa pun, baik dalam keadaan tunggal
maupun berkelompok dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah.

2. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Badan-Badan Swasta dan/atau


perorangan, dalam bentuk corak apa pun, baik dalam keadaan tunggal maupun
berkelompok dalam rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan.

Dilihat dari fungsinya, arsip dapat dibedakan atas :

-pertama, arsip dinamis, yaitu arsip yang masih digunakan dalam pelaksanaan
kegiatan kantor, baik secara terus menerus atau tidak.

- Kedua, arsip statis, yaitu arsip yang tidak digunakan secara langsung dalam
perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan, tetapi masih perlu untuk disimpan
memiliki nilai dalam rangka penyelenggaraan negara dan kehidupan
kebangsaan.

Arsip statis ini disimpan di Arsip Nasional. Arsip dinamis dapat dirinci lebih lanjut
menjadi:

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 103


1. Arsip Aktif, yaitu arsip yang masih digunakan secara terus menerus dalam
pelaksanaan pekerjaan di lingkungan unit pengolah dari suatu kantor.

2. Arsip Semi Aktif, yaitu arsip yang frekuensi penggunaannya sudah mulai
menurun.

3. Arsip In-Aktif, yaitu arsip yang sudah jarang digunakan atau hanya digunakan
sebagai referensi saja.

Tata kearsipan yang baik meliputi beberapa faktor sebagai berikut:

a. Penerapan cara penyimpanan secara tepat, yaitu rangkaian yang teratur


menurut suatu pedoman tertentu untuk menyusun/menyimpan dokumen
sehingga bila diperlukan dapat ditemukan kembali secara cepat,

b. Fasilitas kearsipan yang memenuhi syarat, yang meliputi: pertama,


perlengkapan dan alat-alat korespondensi, seperti kertas, karbon, mesin tik,
komputer, dsb.

c. Kedua, perlengkapan untuk penerimaan surat, seperti kotak surat, meja tulis,
rak, dsb. Ketiga alat penyimpan surat, seperti map, folder, lemari, filing cabinet,
lemari, dll.

Untuk penyimpanan arsip terdapat beberapa cara, yaitu:

1. Sistem abjad, yaitu cara penyimpanan dan penemuan kembali berdasarkan


abjad. Dalam Cara ini, semua arsip atau dokumen diatur berdasarkan abjad, baik
dari nama orang, kantor, atau perusahaan.

2. Sistem pokok soal, yaitu penyimpanan yang didasarkan pada pokok masalah.
Satu masalah kemudian dapat dipecah menjadi beberapa sub masalah.
Misalnya jual beli, dapat dirinci dalam jual beli tanah, rumah, surat berharga, dsb.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 104


3. Sistem, tanggal, yaitu penyusunan arsip berdasarkan tahun, bulan, dan
tanggal.

4. Sistem nomor atau angka, yang sering disebut dengan kode klasifikasi
persepuluhan. Pada sistem ini yang dijadikan kode surat adalah nomor yang
ditetapkan sendiri oleh kantor yang bersangkutan. Misalnya, 000 Kepegawaian,
100 Keuangan, 200 Akta Jual Beli, 300 Akta Pendirian Perusahaan, dan
seterusnya.

5. Sistem wilayah/daerah. Dalam sistem ini, arsip diatur berdasarkan nama


wilayah/daerah.

Untuk mengetahui proses penanganan suatu surat diperlukan kartu kendali,


sebagai alat untuk memantau penyelesaian suatu surat hingga menjadi produk
yang diinginkan, misalnya menjadi suatu akta.

Selain daripada itu, untuk menghindarkan hilangnya suatu arsip yang dipinjam
oleh seorang pegawai, diperlukan kartu pinjam arsip, yang harus disimpan oleh
petugas arsip sampai berkas yang dipinjam tersebut dikembalikan.

E. Komunikasi Kantor:

Komunikasi kantor adalah proses penyampaian berita dari suatu pihak kepada
pihak lain, yang berlangsung atau yang terjadi dalam suatu kantor. Komunikasi
ini dapat dilakukan secara lisan (langsung maupun dengan alat komunikasi),
maupun dalam bentuk tulisan. Komunikasi kantor dapat dibedakan atas:

1. Komunikasi internal, yaitu komunikasi yang terjadi di didalam dan diantara


anggota organisasi yang bersangkutan. Komunikasi internal ini terdiri atas
beberapa bentuk,

-Pertama, komunikasi vertikal, yaitu komunikasi yang tejadi antara atasan


dengan bawahan dan komunikasi tersebut mengandung perintah dari atasan
kepada bawahannya. Komunikasi ini disebut juga komunikasi fungsi.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 105


-Kedua, adalah komunikasi yang tidak mengandung perintah, tetapi bersifat
pengiriman informasi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan kantor. Komunikasi
ini disebut dengan komunikasi tata usaha.

-Ketiga, adalah komunikasi pribadi, yaitu komunikasi diantara individu dalam


organisasi, tetapi tidak berkaitan langsung dengan pekerjaan kantor.

2. Komunikasi eksternal, yaitu komunikasi yang dilakukan oleh para pegawai


kantor dengan pihak lain di luar kantornya. Misalnya antara staf kantor Notaris
dengan klien.

3. Kemampuan berkomunikasi secara efektif sangat diperlukan oleh setiap


pegawai di kantor Notaris, karena melalui komunikasi yang efektif tersebut, dapat
dengan mudah, cepat, dan tepat dapat dimengerti maksud dan tujuan seorang
klien yang datang, dan menimbulkan kepuasan bagi klien yang bersangkutan.

F. Kepegawaian Kantor.

Untuk melaksanakan kegiatan kantor, diperlukan sejumlah pegawai yang


memenuhi persyaratan sesuai dengan pekerjaan yang makin dilakukannya.
Dalam hal ini, beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah:

1. Kejelasan tugas, hak, wewenang, dan tanggung-jawab dari setiap pegawai.

2. Pembayaran yang adil.

3. Kesempatan untuk maju.

4. Pengakuan atau penghargaan atas hasil pekerjaan.

5. Perikuan sebagai manusia.

6. Pengawasan yang efektif.

G. Penerapan Administrasi Kantor Pada Kantor Notaris.

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 106


Dari hasil pengamatan kebeberapa kantor Notaris dan informasi yang diterima,
tertib administrasi kantor bagi kantor Notaris merupakan factor yang sebenarnya
sangat penting, namun tampaknya belum sepenuhnya disadari oleh para Notaris
yang bersangkutan.

Berbagai aspek dari administrasi kantor yang baik, seperti tata ruang, tata
kearsipan, prosedur surat menyurat, dan kepegawaian, masih belum
mendapatkan perhatian sebagaimana yang diharapkan.

Beberapa kendala memang merupakan faktor yang tidak dapat dihindari,


misalnya dalam hal penyimpanan akta akta, terutama bagi kantor Notaris yang
cukup besar dan jumlah akta yang dibuat cukup besar pula jumlahnya.

Pemecahan masalah penyimpanan akta tampaknya bukan merupakan hal yang


mudah, mengingat belum adanya kejelasan mengenai akta merupakan dokumen
yang sangat penting, dan dijamin keasliannya, walaupun sudah bersifat statis.

Beberapa masalah yang terlihat pada kantor Notaris, antara lain adalah:

1. Kurang tertatanya ruang kerja dengan baik.

2. Belum adanya kejelasan tugas, wewenang, hak, dan tanggung-jawab dari


setiap pegawai. Hal ini terlihat terutama apabila dalam kantor Notaris itu,
terdapat hubungan keluarga yang sangat dekat antara Notaris dengan
pegawainya.

3. Kurangnya kemampuan pegawai dalam mengikuti akan mengantisipasi pada


perkembangan di luar kegiatan notaris yang akan membawa dampak terhadap
kemajuan kantor Notaris yang bersangkutan.

4. Belum adanya cara penyimpanan berkas yang baik, sehingga penemuan


kembali surat-surat, seringkali hanya didasarkan pada ingatan saja.

Beberapa upaya pembenahan dalam penerapan administrasi kantor yang baik,


antara lain adalah:

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 107


1. Penataan kembali tata ruang sehingga situasi kantor lebih mendorong gairah
kerja para pegawai, serta memberikan kenyamanan bagi para tamu yang
datang.

2. Perumusan tugas, hak, wewenang, dan tanggungjawab yang jelas bagi setiap
pegawai.

3. Pembuatan kartu kendali sebagai alat untuk memantau proses penyelesaian


suatu akta.

4. Penataan arsip dengan memilih metoda penyimpanan yang dirasakan paling


sesuai dengan kantor Notaris yang bersangkutan.

Ditengah kemajuan teknologi informasi, semakin banyaknya jumlah Notaris, dan


perkembangan global yang akan berdampak terhadap kegiatan Notaris, kajian
yang lebih mendalam guna mengetahui akar permasalahan dan upaya
pemecahannya, kiranya sangat diperlukan.

Demikian sumbangan pemikiran sederhana ini semoga berguna dan dapat


dimanfaatkan.

Januari 18 Oktober 1993

Herman Adriansyah SH

Notaris/PPAT di Prabumulih
Diposkan oleh Notariat Collegium di 06:35 0 komentar
Label: Tertib Administrasi Kantor Notaris
April 2009
Halaman Muka
Langgan: Entri (Atom)
Pengikut

Arsip Blog
April (1)
Maret (18)

Kumpulan Tulisan/Artikel dari http://herman-notary.blogsopt.com 108

You might also like