Professional Documents
Culture Documents
Kedudukan dan Perlakuan Hukum terhadap tanah yang alas buktinya baru
berupa Girik tidak dapat dilakukan peralihannya melalui akte van transport
berupa akta AJB yang dibuat oleh/dihadapan PPAT, tepapi dapat dilakukan
dengan akta Pelepasan dan Penyerahan Hak atau akte Pengoperan Hak atau
akte Pengikatan akan jual beli di hadapan Notaris. Untuk ketiga macam akte
mana harus di sesuaikan dengan tindak lanjut perbuatan hukum mana yang
dipilih. Jika Giriknya masih atas nama Pewaris, dimana di dalam premisse akta
harus dicantumkan bahwa tanah yang dialihak/dioperkan hak tersebut adalah
tanah yang berasal dari hak waris. Hak Waris mana harus dibuktikan dengan
Surat Keterangan Hak Waris, yang dibuat/dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang (tergantung dengan penundukan hukum apa) di yang dipakai
Namun demikian materi HWI tetap berada dalam buku II KHI yang berpayung
hukum pada Inpres No. 1 tahun 1991.
Dalam praktek pelaksanaan wewenang tersebut, saat ini menurut kami ada
beberapa hal yang perlu dilengkapi dan disempurnakan, antara lain :
1. Materi HWI
Mempelajari materi HWI hukumnya fardlu kifayah. Artinya jika sudah ada
sebagian orang yang mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban yang lain.
Namun melaksanakan HWI dalam membagi harta peninggalan adalah fardlu
‘ain. Artinya setiap orang Islam wajib melaksanakan hukum waris Islam jika ia
Dalam mempelajari hukum waris Islam, kendala yang umum dihadapi adalah :
b. Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, jika HWI ini tidak senantiasa dipakai akan
cepat lupa dan hilang. Sementara peristiwa kematian jarang terjadi.
e. Tidak semua orang yang mati meninggalkan harta yang patut menjadi urusan
penting.
Beberapa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas antara lain :
2. Keterangan Waris
a. Format keterangan waris yang diketahui oleh RT/RW, lurah, camat ini tidak
memiliki standart. Bentuknya bermacam-macam.
ii. Pembuatan P3HP tidak disertai dengan pengecekan di Daftar Pusat Wasiat
(Departemen Kehakiman). Seharusnya hakim agama melakukan hal ini untuk
membuktikan tentang ada-tidaknya wasiat yang dibuat oleh almarhum semasa
hidupnya, baik wasiat yang dibuat di hadapan Notaris ataupun wasiat di bawah
tangan.
iii. Di dalam P3HP pada umumnya juga belum dicantumkan nilai penaksiran
(appresial) yang seharusnya dilakukan oleh juru taksir yang profesional. Selama
ini nilai penaksiran yang dilakukan oleh “orang” atas harta peninggalan hanya
didasarkan atas kesepakatan para ahli waris saja(pasal 187 KHI), artinya hanya
bersifat kekeluargaan. Seharusnya jika penaksiran dilakukan oleh orang atau
badan yang profesional dan netral (tidak berpihak pada kepentingan salah satu
ahli waris), maka akan diperoleh nilai penaksiran yang akurat dan obyektif.
Pelaksanaan pembagian harta peninggalan dapat dilakukan oleh para ahli waris
maupun notaris, dengan penjelasan sebagai berikut :
ii. Dibuat dengan akta standart seperti yang berlaku di notaris dilengkapi dengan
undang-undang, syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku.
c. Pasal 195 ayat (1) KHI ; wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang
saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris.
d. Pasal 195 ayat (4) KHI ; Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal
ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan dua orang
saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris.
f. Pasal 199 ayat (3) KHI ; Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat
dicabut secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau bedasarkan
Akta Notaris.
g. Pasal 199 ayat (4) KHI ; Bila wasiat dibuat bedasarkan akta Notaris, maka
hanya dapat dicabut berdasarkan Akta Notaris.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Prof. Dr A. P. Parlindungan, hal ini merupakan hal yang positif dalam
pembangunan hukum keagrarian, karena keragu-raguan dan tidak teraturnya
dengan peraturan hukum tertentu telah banyak menimbulkan khaos . Dalam
kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No. 37/1998 ini telah banyak sekali
kekacuan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta PPAT.
Dalam kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No.37/1998 ini telah banyak
sekali kekacauan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta
PPAT, karena pelaksanaan tugas dari PPAT tidak tertuang dalam PMA No.18
Tahun 1961. PMA No.10 Tahun 1961 yang terdiri atas 10 Pasal hanya mengatur
tentang daerah kerja PPAT, tentang kewenangan membuat akta tanah dalam
daerah kerjanya dan keharusan meminta izin jika melakukan pembuatan akta
tanah di lain daerah kerjanya dan berkantor di daerah kerjanya, kemudian siapa
yang dapat diangkat sebagai PPAT. Setelah dikeluarkannya PP No.37/1998,
tugas dan ruang lingkup jabatan PPAT lebih jelas dan rinci meskipun dikalangan
akademisi masih mempertanyakan keabsahan atau keotentikan dari akta yang
dibuat PPAT.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat diatas dapat diajukan permasalahan, yaitu bagaimanakah
tugas dan kewenangan jabatan PPAT sebagaimana diatur dalam PP No.37/1998
dan peraturan perundangan lainnya ?
BAB II
Oleh sebab itu kami mencoba untuk menguraikan ruang lingkup pengangkatan,
pemberhentian, daerah kerja, tugas dan kewenangan PPAT dalam menjalankan
jabatannya dalam laporan ini.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian PPAT
Pasal 1 :
Formasi PPAT di Kabupaten/Kota daerah tingkat II ditetapkan berdasarkan
rumus sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini.
Formasi PPAT daerah tingkat II berdasarkan Peraturan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan berakhir pada tanggal 24 september tahun ketiga sejak tahun
penetapannya, dan ditetapkan kembali dengan mengikuti kemungkinan adanya
perubahan pada rumus dimaksud pada diktum pertama ayat (2) untuk selama
tiga tahun berikutnya dengan catatan apbila tidak ada perubahan maka rumus ini
tetap dipergunakan. Formasi PPAT dalam peraturan ini berlaku pula untuk PPAT
Sementara yang dijabat oleh Camat selama masih diangkat sebagai PPAT.
Daerah kerja suatu PPAT adalah yang menunjukan kewenangan dari PPAT
tersebut membuat akta-akta PPAT. Daerah ini pada umumnya meliputi satu
Dengan adanya persyaratan dari Pasal 6 ini, maka sudah jelas siapa yang dapat
diangkat sebagai PPAT, yaitu telah mendapat pendidikan khusus spesialis
notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diadakan oleh lembaga
pendidikan tinggi di samping harus pula lulus dari ujian yang diadakan oleh
Kantor Menteri Negara Agraria/Kantor Pertanahan Nasional.
(2) Ayat 1 huruf c merupakan suatu penyelesaian dari ada seseorang diangkat
sebagai PPAT, tetapi kemudian diangkat sebagai notaris di kota lain, sehingga
menurut ketentuan ini yang bersangkutan berhenti sebagai PPAT, sungguh pun
kalau masih ada lowongan di kota yang bersangkutan diangkat kembali sebagai
PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris.
(3) Hal ini sebagai solusi seseorang yang diangkat sebagai PPAT dan kemudian
sebagai notaris di kota lain tetap memegang kedua jabatan tersebut dan tetap
melakukan tugas-tugas PPAT dan notarisnya dan usahanya untuk diangkat
sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris tidak dikabulkan
oleh Kepala BPN hanya disuruh berhenti saja sebagai PPAT atau dia diangkat
saja sebagai notaris di tempat ditunjuk sebagai PPAT.
Sedangkan ayat (2) merupakan ketegasan dari PPAT sementara ataupun PPAT
khusus yang tidak mungkin melanjutkan tugas-tugasnya kalau mereka
dipindahkan ataupun berhenti sebagai pejabat di daerah itu baik sebagai camat
Untuk daerah yang terjadi pemekaran atau pemecahan menjadi 2 (dua) atau
lebih tentunya dapat mengakibatkan perubahan daerah kerja PPAT didaerah
yang terjadi pemekaran atau pemecahan tersebut. Hal ini telah diatur dalam
Pasal 13 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1)Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih
wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang tentang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah
tingkat II yang baru PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semua
harus memilih salah satu wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya,
dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada
waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang
pembentukan Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II yang baru tersebut daerah kerja
(2) Pemilihan daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan
sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang
pembentukan Kabupaten/Kota daerah Tingkat II yang baru.
Dari rumusan diatas dapat dipahami bahwa dalam ayat (1) memberikan suatu
kemudahan kepada PPAT untuk memilih salah satu wilayah kerjanya, dan jika
ada kantor pertanahannya disitulah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan
disamping itu diberi dia tenggang waktu satu tahun untuk memilih, dan jika dia
tidak memilih salah satu dari daerah tersebut, maka dianggap dia telah memilih
kantor pertanahan di daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu
tahun tidak lagi berwenang. Sedangkan dalam masa peralihan yang lamanya 1
(satu) tahun PPAT yang bersangkutan berwenang membuat akta mengenai hak
atas tanah atau Hak Milik Atas satuan rumah Susun yang terletak di wilayah
Daerah Tingkat II yang baru maupun yang lama.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
3. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan
memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur
pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Atas ayat (1) maka tugas dari PPAT adalah melakukan perekaman perbuatan
hukum (recording of deeds of conveyance) sebagaimana diatur dalam ayat (2).
(2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum
yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Demikian PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT berdasarkan
penunjukannya sebagai PPAT, di sesuatu wilayah dan perbuatan-perbuatan
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PP No.37/1998 tersebut.
Sedangkan kewenangan PPAT khusus tersebut adalah pembuatan akta PPAT
yang secara khusus ditentukan.
Mengenai bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam Pasal
21 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun
takwin.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
a. lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT
bersangkutan, dan
b. lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjasi obyek
perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan
untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian
kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Dikenalnya beberapa PPAT yaitu Notaris atau yang khusus menempuh ujian
PPAT, ada pula PPAT sementara yaitu Camat atau Kepala Desa tertentu untuk
melaksanakan tugas PPAT, karena di suatu daerah belum cukup PPAT.
2. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk suatu daerah kerja
tertentu yang meliputi wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
b. Saran
Mengingat masih adanya perbedaan pendapat di kalangan akedemisi mengenai
keotentikan akta PPAT yang selama ini diatur melalui Peraturan Pemerintah
maka sebaiknya Pemerintah beserta DPR segera membuat Undang-Undang
mengenai PPAT.
I. Pendahuluan
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk,
dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh
masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam,
hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).[1] Hal ini adalah akibat warisan
hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda
dahulu.
Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu
mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional
(seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang
sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula
dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram,
mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya
sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau
sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement),
sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-
Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan
keterangan yang jelas dan pasti.
Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam
mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan
Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise
bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan
oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau
cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian
menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau
ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan
masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya.[4]
Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau
diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan.
Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian
dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua
anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka.[6] Demikian pula
kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika
melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis
lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan.[7]
1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad
berbeda; dan
2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
Turki adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU
Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya
kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan
penduduk Turki.
Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang
lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak
berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan
kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik
penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta
ataupun olah perorangan (seorang ulama).
Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut
dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan
Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[12]
Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic
Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia,
bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan
kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih
tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat
mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan
perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri.[14] Dan
penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak
mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa
waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri
sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan
dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor
Agraria.[15]
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama
77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama
mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan
Negeri sebanyak 27,7%.
Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke
Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai
dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang
menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum
faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan
the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.[16]
Jelaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E.
tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945
sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische
Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk
Hindia Belanda dahulu.[17] Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori
resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di
dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan
peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan
sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum ada”.[18]
IV. Penutup
3. Akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis
pengaruh Islam dari negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step
by step Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia
Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh
umat Islam Indonesia sampai sekarang. Karena itu, sesuai dengan semangat
Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
konsekuen dan murni, maka hendaknya produk-produk hukum warisan kolonial
dan warisan Orde Lama, dapat segera dicabut dan diganti dengan hukum
nasional yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum rakyat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
4. Khusus hukum waris Islam yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya
oleh umat Islam di semua daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas
Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan praktek-praktel Pengadilan Agama dalam
hukum waris Islam yang sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
hendaknya kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama disejajarkan dengan
Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan
Agama yang akan diundangkan nanti benar-benar menempatkan kedudukan
Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan Negeri dan wewenang
Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti semula sebelum
ada teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini bertentangan dengan
ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan de Berg itulah yang
sesuai dengan ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum
Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan
Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.
Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6.
Cf. Tabel 9.
Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah
al-‘Arabiyah, 1960
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta, Yayasan Risalah, 1984.
[1] Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia
dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum
Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di
Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20
[3] Mengenai pandangan Islam terhadap adat/hukum adat, vide Ahmad Azhar
Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983, hlm. 27-
34. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan
Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982, hlm/ 65-70
[4] Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-
Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm. 211-212. Dan untuk memahami/mencari
[10] Nama resminya Priester Road (Pengadilan Pendeta), nama yang asing bagi
umat Islam Indonesia sendiri, dan pemberian nama yang salah, karena Islam tak
mengenal kependetaan, sebab Islam punya prinsip equality before God.
[12] Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937
Nomor 638 dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-
Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan.
[14] Ny. Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976,
dan hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang mengajukan perkara
waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%) mengajukan
perkara waris ke Pengadilan Agama. Vide Muhammad Daud Ali, Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984m
hlm. 24-25
[17] Yang pro dan yang kontra terhadap teori resepsi Snouck Hurgronje dengan
argumentasinya masing-masing, vide Sajuti Thalib, op.cit., hlm. 19-23, dan hlm.
65-72
Ilustrasi ini hanya satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke
pengadilan. Mengingat banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita
mengetahui bagaimana sebenarnya permasalahan ini diselesaikan dengan
Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri
atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya,
keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan
pembagian waris).
Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah
dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba
membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan,
dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah
menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya
sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah
orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan
hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan,
merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.
Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan,
maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu
pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus
melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan
Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat
atau Akta Pembagian Waris bila ada.
Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian
maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu
nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-
• Ayah
• Ibu
• Pewaris
• Saudara
• Saudara
B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum
mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah
kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.
Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan
kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada
prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian
C. GOLONGAN III
• kakek
• nenek
• kakek
• nenek
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang
mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu
maupun ayah.
Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari
ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½
bagian untuk garis ibu.
D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah
dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan
ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris
mendapatkan ½ bagian sisanya.
Bagi Anda yang berencana menjual atau membeli tanah dan bangunan (rumah)
dalam waktu dekat segeralah mengurus NPWP bagi yang belum memilikinya,
karena Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan PER-35/PJ.2008 tanggal 9
September 2008 tentang Kewajiban Pemilikan NPWP dalam Rangka Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Jadi mulai tanggal 9 September 2008 setiap orang yang menjual atau membeli
tanah dan/atau bangunan harus memiliki NPWP
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan,
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara
regional dengan ketentuan :
1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah);
3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku
usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah
untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan
sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada angka 4 lebih besar daripada Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
angka 2 maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan
hak sebagaimana dimaksud pada angka 2 ditetapkan sama dengan Nilai
6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada angka 4 lebih besar daripada Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
angka 3 maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan
hak sebagaimana dimaksud pada angka 3 ditetapkan sama dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada angka
4.
PBB Tipe 21
NJOP Tanah 21/ 10.200 x 2.758.000.000 5.678.235
NJOP Bangunan 21/ 10.200 x 5.110.000.000 10.520.588
NJOP Dasar Pengenaan PBB 16.198.824
NJOPTKP 12.000.000
NJOP untuk Penghitungan PBB 4.198.824
NJKP 20% X 4.198.824 839.765
PBB terutang 0,50% X 839.765 4.199
PBB Tipe 36
NJOP Tanah 36/ 10.200 x 2.758.000.000 9.734.118
NJOP Bangunan 36/ 10.200 x 5.110.000.000 18.035.294
NJOP Dasar Pengenaan PBB 27.769.412
NJOPTKP 12.000.000
NJOP untuk Penghitungan PBB 15.769.412
NJKP 20% X 15.769.412 3.153.882
PBB terutang 0,50% X 3.153.882 15.769
PBB Tipe 48
NJOP Tanah 48/ 10.200 x 2.758.000.000 12.978.824
SOAL 2
Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300
M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp300 juta.
Terhadap tanah tersebut telah diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran
hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut
ditentukan sebesar Rp50 juta maka hitunglah BPHTB yang terutang?
Jawab: NPOP = Rp 300.000.000 NPOPTKP = Rp 50.000.000 NPOPKP = Rp
250.000.000 Tarif 50% x 5% BPHTB = Rp 6.250.000
SOAL 3
Sebuah perusahaan negara milik daerah ( BUMD Perpakiran ) menerima hak
pengelolaan dari pemerintah sebidang tanah dan sebuah gedung untuk parkir
dengan nilai pasar pada waktu penerbitan hak sebesar Rp1 milyar. Terhadap
tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan SPPT PBB dengan NJOP sebesar
Rp1,25 milyar. Apabila NPOPTKP atas daerah tersebut ditetapkan sebesar Rp50
juta maka hitunglah besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh BUMD Perpakiran
tersebut?
Jawab:
NPOP = Rp 1.250.000.000 NPOPTKP = Rp 50.000.000 NPOPKP = Rp
1.200.000.000 Tarif 50% x 5% BPHTB = Rp 30.000.000
SOAL 4
Bapak Krosbin Simatupang membeli sebidang tanah di Surabaya pada tanggal 5
Januari 2003 dengan harga perolehan menurut PPAT sebesar Rp.300.000.000,-
dan BPHTBnya telah dibayar lunas pada tanggal tersebut. Berdasarkan
pemeriksaan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu pada
tanggal 7 Pebruari 2003, ternyata NJOP PBB atas tanah tersebut adalah
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar
BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.
• o Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan
guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh
Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk
instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
• o Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama
menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan
hak oleh Pemerintah.
• o Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan
yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah
dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
11. Berapa lama jangka waktu pelunasan SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah?
• BPHTB terutang dalam SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang
4. Apa yang dapat disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum keputusan keberatan
BPHTB diterbitkan ?
Sebelum surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat
menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
6. Apa sanksi bagi Kepala Kantor Lelang Negara yang tidak melaporkan
pembuatan risalah lelang ke KPPBB ?
Dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Kedua, tahapan pembayaran biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah,
mengkonstruksi norma kesediaan anggota masyarakat membayar biaya
pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah.
Kesepuluh, tahapan paska penyerahan sertipikat hak atas tanah pada pemohon,
mengkonstruksi norma kemampuan anggota masyarakat memanfaatkan
sertipikat hak atas tanah yang ada padanya.
Bagian II
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa (jika yang mengajukan permohonan bukan ahli waris yang
bersangkutan).
2. Sertipikat hak atas tanah/sertipikat HMSRS.
3. Surat Keterangan Waris sesuai peraturan perundang-undangan.
4. Fotocopy identitas diri dan KK dari para ahli waris dan penerima kuasa yang
masih berlaku yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
6. Bukti pelunasan BPHTB, jika terkena/obyek BPHTB
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Hibah dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;
Keterangan:
1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk
itu, dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Tukar Menukar dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;
1. BPHTB;
2. PPh Final.
Keterangan:
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Pembagian Hak Bersama dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;
Keterangan:
1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk itu,
dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh
Dasar Hukum:
Persyaratan:
Dasar Hukum:
Persyaratan:
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat Permohonan.
2. Kutipan risalah lelang.
3. Sertipikat Asli.
4. Apabila Sertipikat asli tidak diserahkan, harus ada keterangan Kepala Kantor
Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya sertipikat dimaksud, yaitu:
1. Untuk Lelang non eksekusi:
Diproses sertipikat pengganti sebagaimana sertipikat hilang. Pengumuman satu
kali selama satu bulan di media cetak (lihat kegiatan Penerbitan Sertipikat
Pengganti Karena Hilang)
2. Untuk lelang eksekusi:
Diterbitkan stp pengganti dengan nomor hak baru, nomor hak lama dimatikan;
Hal penerbitan sertipikat pengganti tersebut diumumkan di media massa dengan
biaya pemohon.
5. Identitas diri pemenang lelang dan atau kuasanya (foto copy):
1. Perorangan: KTP dan KK yang masih berlaku (dilegalisir oleh pejabat
berwenang).
2. Badan Hukum: Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum (dilegalisir oleh
pejabat berwenang).
6. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan.
7. Bukti pelunasan harga pembelian.
8. Bukti SSB BPHTB.
9. Bukti pelunasan SSP Pph Final/Catatan hasil lelang.
10. Sertipikat Hak Tanggungan (jika dibebani Hak Tanggungan).
11. Surat pernyataan kreditor melepaskan Hak Tanggungan untuk jumlah yang
melebihi hasil lelang.
12. Risalah Lelang harus memuat keterangan Roya atau pengangkatan sita.
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat Permohonan.
2. Sertipikat Hak Atas Tanah.
3. Sertipikat Hak Tanggungan.
4. Surat tanda bukti peralihan (beralihnya piutang) berupa:
1. Akta Cessie atau akta otentik yang menyatakan adanya cessie tersebut, atau
2. Akta subrogasi, atau
3. Bukti pewarisan untuk kreditor perorangan
5. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih
berlaku untuk pewarisan dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang).
6. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan.
Keterangan:
Catatan:
1. Peralihan 1 (satu) Hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) Hak Atas Tanah
dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,-
2. Peralihan 1 (satu) Hak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu) Hak
Atas Tanah dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya Hak Atas
Tanah Obyek Hak Tanggungan
3. Peralihan 1(satu) Hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) Hak Atas Tanah
Obyek Hak Tanggungan dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- dikalikan
banyaknya Hak Tanggungan yang dialihkan
4. Peralihan 1(satu) Hak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu) Hak
Atas Tanah Obyek Hak Tanggungan dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,-
Subrogasi
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat Permohonan.
2. Sertipikat Hak Atas Tanah.
3. Sertipikat Hak Tanggungan.
4. Surat tanda bukti peralihan (beralihnya piutang) berupa:
1. Akta Cessie atau akta otentik yang menyatakan adanya cessie tersebut, atau
2. Akta subrogasi, atau
3. Bukti pewarisan untuk kreditor perorangan
5. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih
berlaku untuk pewarisan dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang).
6. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan.
Keterangan:
Catatan:
1. Pencatatan Sita
2. Hapusnya Hak Tanggungan – Roya
3. Roya Parsial
4. Penghapusan Catatan Buku Tanah Sporadik
5. Pendaftaran SK Pembatalan Sertipikat
6. Pendaftaran Hapusnya Hak / Pelepasan Hak
7. Hapusnya Hak
8. Pembatalan Sertipikat
9. Hak Tanggungan
10. Peralihan Hak - Jual Beli
11. Peralihan Hak – Pewarisan
12. Peralihan Hak – Hibah
13. Peralihan Hak - Tukar Menukar
14. Peralihan Hak - Pembagian Hak Bersama
15. Peralihan Hak - Pemasukan ke Dalam Perusahaan
16. Penggabungan - Peleburan Perseroan - Koperasi – Merger
17. Pemindahan Hak – Lelang
18. Cessie (Berdasarkan Akta Jual Beli & Penyelesaian Piutang)
19. Subrogasi
20. Merger
21. Ganti Nama
22. Ralat Nama
23. Penetapan Putusan Pengadilan
24. Pengecekan Sertipikat
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Jual Beli dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;
Keterangan:
1*) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk itu,
dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh
Pencatatan Sita
Dasar Hukum:
Persyaratan:
Keterangan:
Catatan:
1. Pencatatan sita jaminan langsung dilakukan pada Buku Tanah atau daftar
lainnya oleh petugas yang ditunjuk (mencantumkan jam penerimaan).
2. Bagi tanah-tanah yang belum terdaftar, pencatatan sita jaminan ditolak
dengan surat resmi.
Pelayanan pencatatan sita jaminan / pemblokiran, kecuali yang dimohon oleh
instansi / lembaga pemerintah yang berwenang untuk itu seperti Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dalam rangka menunjang pelaksanaan tugasnya
Pencatatan Sita
Dasar Hukum:
Persyaratan:
Keterangan:
Catatan:
1. Pencatatan sita jaminan langsung dilakukan pada Buku Tanah atau daftar
lainnya oleh petugas yang ditunjuk (mencantumkan jam penerimaan).
2. Bagi tanah-tanah yang belum terdaftar, pencatatan sita jaminan ditolak
dengan surat resmi.
Dasar Hukum:
Persyaratan:
Keterangan:
1. Roya 1 (satu) HT yang membebani 1 (satu) hak atas tanah dikenakan biaya
sebesar Rp. 25.000;
2. Roya 1 (satu) HT yang membebani lebih dari 1 (satu) hak atas tanah
dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000 dikalikan banyaknya hak atas tanah obyek
HT.
3. Roya lebih dari 1 (satu) HT yang membebani 1 (satu) hak atas tanah obyek
HT dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000 dikalikan banyaknya hak tanggungan
yang dihapus
4. Roya lebih dari 1 (satu) HT yang membebani lebih dari 1 (satu) hak atas tanah
obyek HT dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000 dikalikan banyaknya HT dan
dikalikan dengan banyak obyek hak atas tanah obyek HT.
Roya Parsial
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Rp. 25.000,-
2. Waktu: 7 hari (UU 4 tahun 1996).
3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.
Keterangan:
1. Roya 1 (satu) hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) hak atas tanah
dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000,-
2. Roya 1(satu) Hak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu) hak atas
tanah di kenakan biaya sebesar Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya hak atas
tanah obyek Hak Tanggungan.
3. Roya lebih dari 1 (satu) Hak Tanggungan yang membebani 1 (satu) Hak Atas
Tanah Obyek Hak Tanggungan dikenakan biaya sebesar Rp. 25.000-
4. Roya lebih dari 1(satu) Hhak Tanggungan yang membebani lebih dari 1 (satu)
Hak Atas Tanah pada satu kegiatan pendaftaran dikenakan biaya sebesar Rp.
25.000,- dikalikan banyaknyha Hak Atas Tanah Obyek Hak Tanggungan.
Persyaratan:
1. Surat Permohonan.
2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang).
3. Kelengkapan kekurangan persyaratan data yuridis dan data fisik, Akta
perdamaian, Surat keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat Permohonan.
2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang).
3. Surat kuasa yang bermeterai cukup jika permohonannnya dikuasakan.
4. Sertipikat Hak Atas Tanah asli (Apabila pemohon tidak dapat menyerahkan
sertipikat, ditempuh melalui prosedur pengumuman).
5. Untuk Penetapan Pengadilan (bukan Peralihan Hak) harus menyerahkan
Putusan / Ketetapan Pengadilan (SK Pembatalan dari pejabat yang berwenang
pada BPN)
Hapusnya Hak
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Permohonan.
2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang).
3. Surat kuasa yang bermeterai cukup jika permohonannnya dikuasakan.
Keterangan:
Pembatalan Sertipikat
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat Permohonan.
2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang).
3. Surat kuasa yang bermeterai cukup jika permohonannnya dikuasakan.
4. Sertipikat Hak Atas Tanah asli (Apabila pemohon tidak dapat menyerahkan
sertipikat, ditempuh melalui prosedur pengumuman).
Hak Tanggungan
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat:
1. Permohonan dari Penerima Hak Tanggungan (Kreditur);
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan*).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
4. Salinan APHT yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk
disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor untuk pembuatan sertipikat Hak
Tanggungan.
5. Fotocopy identitas diri pemberi HT (debitrur), penerima HT (Kreditur) dan atau
kuasanya yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) apabila Pemberian
Hak Tanggungan melalui Kuasa.
Keterangan:
1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk itu,
dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
Catatan:
Dasar Hukum:
Persyaratan:
1. Surat:
1. Permohonan
2. Kuasa otentik, jika permohonannya dikuasakan *).
2. Sertipikat hak atas tanah/Sertipikat HMSRS
3. Akta Jual Beli dari PPAT
4. Fotocopy identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya yang
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
5. Bukti pelunasan : **)
1. BPHTB;
2. PPh Final.
6. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.
7. Ijin Pemindahan Hak, dalam hal di dalam sertipikat/keputusannya
dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh
dipindahtangankan apabila telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang;
Keterangan:
1. *) untuk daerah yang belum ada pejabat publik yang berwenang untuk itu,
dapat menggunakan surat kuasa di bawah tangan.
2. **) untuk yang terkena obyek BPHTB dan atau PPh
PENDAHULUAN
Pejabat Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri
Hukum dan HAM dan dibawah pembinaan dan pengawasan ada pada pejabat
yang ada dibawah kementerian tersebut yakni Pengadilan negeri. PPAT diangkat
dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (KBPN), sedangkan
pembinaan dan pengawasannya ada pada pejabat yang ditunjuk dalam tingkat
daerah kabupaten / kota hal ini Kepala Kantor pertanahan setempat.
Produk hukum yang dihasilkan adalah akte otentik, namun berbeda jenisnya.
Didalam UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pejabat notaris
berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, dst,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-
undang. Disamping itu dikatakan notaris berwenang pula antara lain : "membuat
akta yang berkaitan dengan pertanahan". ( lihat pasal 15 UU No. 30 tahun 2004).
PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-
akta otentik untuk perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak
Milik atas Satuan Rumah susun yang terletak diwilayah kerjanya (lihat UU No. 5
tahun 1960, PP No.24/1997, PP No. 37/1998 yo. Permenag/KBPN No.1 / 2006).
Persoalan hukumnya, sampai saat ini masih terjadi Pro dan kontra penjabaran
lebih lanjut berkaitan kewenangan pembuatan akta pertanahan?.
Ada 8 ( jenis ) akta PPAT yang menjadi alat bukti dan dasar perubahan data
pendaftaran tanah ( lihat pasal 95 ayat 1 Peraturan Menteri Negara Agraria /
KBPN ( Permenag/KBPN) No. 3 tahun 1997 jo. Pasal 2 ayat 2, Per KBPN No. 1
tahun 2006)yakni:
1. Akta Jual beli,
2. Akta tukar menukar,
3. Akta Hibah,
4. Akta Pemasukan ke dalam perusahaan ( inbreng),
5. Akta pembagian bersama,
6. Akta pemberian Hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik,
7. Akta pemberian hak tanggungan, dan
8. Akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.( lihat pasal 2 ayat 2)
dalam pembuatan akta PPAT tidak mempergunakan bentuk, isi dan cara
pembuatan akta yang telah ditentukan oleh permenag / KBPN No. 3 tahun 1997
PPAT tidak membacakan akta yang dibuatnya kepada para pihak dan
menjelaskan maksud, dan isi akta serta prosedur pendaftarannya sesuai
ketentuan yang berlaku, sebagaimana pasal 101 Permenag/ KBPN No. 3 tahun
1997.
Sebelum pembuatan akta atas 8 jenis perbuatan hukum, PPAT wajib melakukan
pengecekan/ pemeriksaan keabsahan sertifikat dan catatan lain pada kantor
pertanahan setempat dan menjelaskan maksud dan tujuannya.
Dalam pembuatan akte tersebut tidak diperbolehkan memuat kata-kata " sesuai
atau menurut keterangan para pihak" kecuali didukung oleh data formil.
PPAT berwenang menolak pembuatan akta yang tidak didasari data formil.
PPAT tidak diperbolehkan membuat akta atas 8 jenis perbuatan hukum dimaksud
atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum
diukur oleh Kantor pertanahan dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah
( NIB).
Dalam pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB atau nomor hak atas
tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak terutang ( SPPT) PBB, penggunaan
dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan.
SANKSI
Selanjutnya, dalam peraturan jabatan PPAT ( pasal 10 PP No. 37 tahun 1998 yo.
PerKBPN No. 1 tahun 2006) menjelaskan ada dua klasifikasi pemberhentian dari
jabatan PPAT, diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak
dengan hormat.
JENIS PELANGGARAN
Sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 66 ayat (3) peraturan KBPN ini
pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT oleh Kepala Kantor Pertanahan
sebagai berikut:
• Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan
pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan
oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan;
• Memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan tercara tertulis kepada
PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat
untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya;
• Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT.
Akta Tanah yang dibuat oleh Notaris adalah sah dan mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat sebagai akta otentik, karena akta tanah Notaris memenuhi
unsur sebagai akta otentik, dan Notaris sendiri menurut UU Jabatan Notaris,
berwenang untuk membuatnya. Namun dilihat dari produk Pejabat Pembuat Akta
Tanah yang berupa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah maka Pejabat Pembuat
Akta Tanah merupakan Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk
mengkonstantir suatu perbuatan hukum hak atas tanah antara para pihak ke
dalam akta. Notaris yang tidak merangkap sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
tidak mempunyai kompetensi untuk membuat perjanjian pemindahan hak atas
tanah. Akta tanah yang dibuat oleh Notaris juga tidak dapat dijadikan dasar untuk
pendaftaran tanah di BPN, karena dilihat dari konsideran UUJN, maka Notaris
bukanlah partner kerja dari BPN dalam urusan pertanahan. Hal ini berbeda
dengan yang ada dalam konsideran PP No. 37 Tahun 1998 tentang PPAT yang
menegaskan bahwa PPAT merupakan partner kerja dari BPN dalam bidang
pertanahan.
5. Jaman Kolonial • Karena banyak kritik, maka pemerintah kolonial Belanda lalu
melakukan penelitian mengenai “menurunnya kesejahteraan rakyat” (mindere
welvaarts onderzoek- MWO). Kesengsaraan rakyat menjadi terbukti! •
Pemerintah kolonial lalu menambil langkah kebijakan yang dikenal sebagai
“Ethical Policy” (Ethische Politiek): enam program perbaikan, yaitu irigasi,
reboisasi, kolonisasi (transmigrasi), pendidikan, kesehatan dan perkreditan. •
Politik Etis (kecuali kesehatan), langsung atau tidak langsung, berkaitan dengan
masalah agraria. Tapi ternyata tidak banyak mengubah keadaan. Bahkan
sengketa-sengketa agraria juga merebak di mana-mana, dan pada tahun 1929—
1933, Hindia Belanda mengalami krisis ekonomi yang sangat berat.
18. Periode 1965—1998 (Orde Baru) • Tahun 1967 tiga undang-undang yang
mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA 1960 (UU PMA; UU
Pokok Kehutanan; UU Pokok Pertambangan). • Untuk sekitar 11 tahun lamanya
UUPA 1960 dipersepsikan secara keliru, sebagai produk PKI. Stigma ini bahkan
masih melekat di benak sebagian masyarakat kita sampai sekarang. • Baru pada
tahun 1978 keberadaan UUPA 1960 dikukuhkan kembali sebagai “produk
nasional” (bukan produk PKI), setelah adanya laporan hasil penelitian dari
Panitia Soemitro Djojohadikoesoemo (almarhum) yang pada saat itu adalah
Menristek. Kembalinya perhatian atas keberadaan UUPA 1960 ini —barangkali—
juga karena adanya undangan dari FAO untuk menghadiri Konferensi Sedunia
tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan di Roma tahun 1979.
19. Periode 1965—1998 (Orde Baru) • Dalam Konferensi Roma tahun 1979,
Indonesia mengirim delegasi besar. Hasil konferensi ini adalah sebuah dokumen
yang di tahun 1981 diterbitkan oleh FAO dengan judul Peasant’s Charter
(Piagam Petani). Disepakati bahwa setiap dua tahun sekali tiap negara akan
melaporkan pelaksanaan Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan. Tidak
ada berita, apakah Indonesia memenuhi kesepakatan tersebut. • Di tahun 1981
di Selabintana Sukabumi (Jawa Barat) berlangsung lokakarya internasional
dengan tema yang sama, sebagai tindak lanjut Konferensi Roma, yang hasilnya
disertai sebuah rekomendasi kepada pemerintah Indonesia. • Keberadaan
Piagam Petani hasil pertemuan Roma, dan rekomendasi Selabintana ternyata
tidak mampu mendorong pemerintah Orde Baru melakukan “re-orientasi
kebijakan”. Bahkan, kebanggaan yang berlebihan dari berhasilnya swasembada
pangan di tahun 1984 telah membuat Orde Baru terlalu percaya diri bahwa tanpa
Reforma Agraria (melalui “jalan pintas”) kita akan mampu memakmurkan rakyat.
21. Periode 1965—1998 (Orde Baru) • Berbagai krisis agraria yang terjadi itu tak
lepas dari kecarut-marutan dalam sistem perundang-undangan di bidang agraria
(secara luas). • Meskipun UUPA dikukuhkan kembali, hal itu tidak membantu
mengatasi, sebab beberapa UU sektoral – yang berbeda semangatnya dengan
UUPA 1960 sudah terlanjur berlaku demikian lama, maka ketika UUPA 1960
dikukuhkan kembali, yang terjadi bukannya penjernihan, melainkan ketumpang-
tindihan. Terdapat kesan kuat bahwa di sana-sini terjadi rekayasa hukum dan
manipulasi agar seolah-oleh suatu kebijakan itu merujuk kepada UUPA 1960,
sedangkan pada hakikatnya adalah demi memfasilitasi investasi asing,
berlawanan total dengan cita-cita dasar UUPA 1960.
22. Pasca Orde Baru • Masa kepresidenan B.J. Habibie sebenarnya ada niat
meninjau kembali kebijakan landreform. Pernah dibentuk Panitia di bawah
pimpinan Prof. Dr. Muladi, S.H. Tapi belum sempat panitia ini bekerja, sudah
terjadi pergantian presiden. Panitia ini kemudian tidak jelas kabarnya.
23. Pasca Orde Baru • Di jaman Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur),
terlontar pernyataannya yang menggemparkan, yaitu bahwa 40% dari tanah-
tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada rakyat. Euphoria
kebebasan sebagai akibat lengsernya Orde Baru telah melahirkan berbagai
organisasi rakyat (serikat tani dan nelayan, serikat buruh, ormas perempuan dan
lain-lain, termasuk munculnya puluhan partai politik), selain juga berbondong-
bondongnya rakyat menduduki tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai oleh
pemilik/yang menguasainya. Isu agraria pun terangkat kembali ke permukaan
oleh desakan berbagai organisasi tani/nelayan serta berbagai LSM.
25. Pasca Orde Baru • Dilihat dari semangat UUPA 1960, isi TAP ini memang
ambigu. Namun, bagaimanapun juga, harus diterima kenyataan bahwa itulah
hasil maksimal yang bisa dicapai sebagai hasil kompromi dari pertarungan
berbagai kepentingan. Bahkan TAP seperti yang ada sekarang itupun mungkin
tidak akan lahir seandainya saja tidak ada dukungan pressure group berupa
demo sekitar 12.000 orang anggota berbagai Serikat Petani. Isi TAP MPR No.
IX/2001 itu pada dasarnya semacam ”perintah”, baik kepada Presiden maupun
kepada DPR, agar mengambil langkah tindak lanjut. Ketika sampai dengan
tahun 2003 ternyata tidak ada tanda-tanda tanggapan baik dari DPR maupun
dari presiden, maka Komnas HAM bersama sejumlah LSM dan organisasi tani
mengambil prakarsa lain, yaitu menyusun usulan kepada Presiden Megawati
agar membentuk KNUPKA (Komite Nasional untuk Penanggulangan Konflik
Agraria). Tanggapan presiden positif, tetapi, sekali lagi, belum sempat konsep ini
direalisasikan keburu terjadi pergantian presiden. • Sementara itu, pada masa
akhir jabatannya Presiden Megawati mengeluarkan Keppres No. 34/2003 yang
isinya memberi mandat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk
melakukan penyusunan RUU mengenai ”penyempurnaan” UUPA 1960. Dengan
adanya pergantian presiden, masalah inipun mengalami perkembangan yang
tidak mulus.
26. Pasca Orde Baru Masa kepresidenan SBY: • Mandat kepada BPN untuk
melakukan ”penyempurnaan” UUPA 1960 masih tetap berlaku, dan proses
penyempurnaan itu masih tetap berlangsung. Namun hasilnya bukan
penyempurnaan, melainkan perubahan total terhadap UUPA. • Perpres No.
36/2005 (tentang infrastruktur) yang mengundang berbagai reaksi masyarakat.
Perpres ini, telah menimbulkan kegelisahan luas di masyarakat.
27. Pasca Orde Baru • Perpres No. 10/2006 mengenai penataan ulang secara
internal kelembagaan BPN. Salah satu yang positif, mungkin adalah dibentuknya
Deputi Bidang Pengkajian Dan Penanganan Sengketa Dan Konflik Agraria.
Namun bagaimana hasil kerjanya kita belum mendengar lebih jauh. Yang
mengejutkan adalah, dalam rangka mendukung penyelesaian konflik agraria
telah ditanda-tangani sebuah keputusan bersama antara Ketua BPN dan
KAPOLRI tentang Penanganan Konflik Agraria yang pendekatannya
dikhawatirkan akan menjadikan semakin meluasnya kekerasan oleh aparat
negara kepada pihak-pihak yang terlibat konflik, dalam hal ini khususnya massa
petani atau rakyat yang lain yang menduduki tanah-tanah sengketa yang
berhadapan dengan kaum bermodal, terutama karena sampai saat ini kita belum
sepenuhnya berhasil memisahkan POLRI dari karakter militernya dan kita belum
28. Pasca Orde Baru • Keempat, di samping ketiga hal tersebut, perlu dicatat
juga bahwa pada bulan Maret 2006 yang baru lalu, Indonesia telah mengirim
delegasi untuk menghadiri ICARRD (International Conference on Agrarian
Reform and Rural Development) di Porto Alegre, Brazil, tanggal 7 —10 Maret
2006. Namun ternyata tidak ada arahan yang jelas dari pimpinan nasional, misi
apa yang harus diemban oleh delegasi ini sehingga ini sekedar menjadi
kesempatan jalan-jalan anggota delegasi pemerintah RI. Tidak ada hasil yang
dapat dilihat masyarakat dari kunjungan ini.
29. Pasca Orde Baru • Redistribusi lahan untuk petani yang dikampanyekan oleh
SBY. Tanah mana yang akan diredistribusi. Mari kita lihat data!!!
30. Data Struktur Agraria No. Penggunaan Lahan Luas Lahan (juta Ha) 1 Luas
Total Daratan Indonesia 192,26 2 Kontrak Kerja Migas 95,45 96, 81 3 Kontrak
Karya Mineral 6,47 90,34 4 Kontrak Karya Batu Bara 24,77 65,57 5
KKB/PKP2PB 5,2 60,37 6 HPH 27,72 32.65 7 HTI 3,40 29,25 8 Perkebunan
Negara 3,30 25,95 9 Perkebunan Swasta 1,08 24,87 11 Lahan Pertanian 11,80
13,07 13 Perumahan, Pertokoan, Perkantoran, 14,00* Industri dll
31. Kesimpulan: Kira-kira, jika program distribusi lahan itu dilaksanakan, yang
akan didistribusi adalah tanah-tanah bekas perkebunan yang sdh tandus itu!!
Jadi. Para petani hendaknya tidak terhanyut mimpi indah yang berlebihan
dengan kampanye ini. Namun demikian program ini tetap harus didesak untuk
segera dilaksanakan, dengan mengutamakan petani di wilayah konflik terdekat
dengan lokasi distribusi.
32. Perdebatan Seputar Revisi UUPA Noer Fauzi (1999), terdapat 4 (empat)
golongan alasan dalam merevisi UUPA: • Golongan Pertama, adalah mereka
yang beranggapan bahwa UUPA dan semua perundang-undangan lainnya pasti
dibuat dengan niat baik untuk menjamin hak dan kewajiban masyarakat,
sehingga tentunya UUPA dan peraturan-peraturan pelaksananya sangat dapat
diandalkan sebagai sarana perlindungan hak-hak masyarakat yang dirugikan.
Soal perampasan tanah dinilai terjadi karena penyimpangan dari pejabat
berperilaku menyimpang dalam mempergunakan kewenangannya. Versi ini
menganggap tidak perlu ada revisi UUPA, yang diperlukan adalah pembaruan
pelaksanaannya saja.
33. Perdebatan Seputar Revisi UUPA • Golongan kedua, adalah mereka yang
percaya bahwa UUPA adalah produk hukum yang memuat jaminan-jaminan hak-
hak masyarakat, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan
pelaksananya yang menyimpangkan mandat UUPA tersebut. UUPA adalah
hukum yang berkarakter responsif yang diproduksi di masa Orde Lama, namun
ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksanaan yang diproduksi Orde
34. Perdebatan Seputar Revisi UUPA • Golongan ketiga, adalah mereka yang
menganut ideologi pasar bebas dan melihat bahwa birokrasi yang rente dan
kolutif membuat ‘pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan’ merupakan
satu bagian dari pencipta biaya ekonomi tinggi (high cost economic), dan
karenanya peran birokrasi harus dikurangi seminimal mungkin. Hukum agraria
harus direformasi agar tercipta ‘kenyamanan’ berusaha bagi para pelaku bisnis.
UUPA merupakan rintangan besar, karena dengan UUPA intervensi negara
terhadap pengadaan tanah terlampau besar. Soal-soal perlawanan rakyat
terhadap perampasan tanah, tumpang tindih alokasi tanah dan kegagalan
penyelesaian sengketa merupakan hambatan bagi investasi dalam negeri
maupun investasi asing.
35. Perdebatan Seputar Revisi UUPA High cost economic ini harus dipangkas
melalui pelucutan kekuasaan intervensi negara dalam perekonomian, khususnya
di pasar. Golongan ini mempromosikan, apa yang mereka sebut efficient land
market, dimana pasar tanah merupakan jalan utama bagi bisnis memperoleh
tanah-tanah sebagai alas dari usaha mereka. Jawaban utama bagi sengketa
tanah adalah pemantapan status hukum dari semua persil tanah melalui program
pendaftaran tanah. Tapi, sekaligus dengan hal ini, sektor bisnis bisa memperoleh
tanah tanpa perlu menimbunkan kesulitan yang berarti. • Golongan keempat,
adalah yang mendudukkan UUPA sebagai produk hukum yang perlu dipandang
secara kritis. Diargumentasikan bahwa tidak dipungkiri adanya gejala
penyimpangan penggunaan wewenang dari pejabat sehubungan dengan
maraknya sengketa agraria -- sebagaimana disinyalir oleh golongan pertama.
Juga tidak dipungkiri pula adanya sejumlah peraturan pemerintah yang
melingkupi UUPA berorientasi kapitalistik, dan ada pula sejumlah peraturan yang
menyimpang dari UUPA. Namun, kegagalan UUPA dipersepsi pula sebagai
pemberi andil bagi terciptanya sengketa agraria yang marak lebih dalam lima
belas tahun belakangan.
39. Penutup • Ketidakjelasan kebijakan agraria tidak bisa lagi bisa dibiarkan,
langkah yang paling urgent dalam hal ini adalah penataan kebijakan agar semua
kebijakan terkait agraria agar semuanya memiliki semangat yang sama, yaitu
menghormati kedaulatan rakyat atas bumi Indonesia dengan tidak menjadikan
tanah sebagai komoditas atau insentif masuknya modal. Untuk tujuan ini,
legislatif dan eksekutif harus duduk bersama dan secara serius membuat
prioritas yang jelas dengan memperhatikan kepentingan para petani kecil, para
40. Penutup • Di sisi lain, elemen masyarakat sipil juga harus meningkatkan
kapasitas dalam melakukan lobby kebijakan. Organisasi-organisasi petani,
nelayan dan lain-lainnya tidak bisa hanya menggunakan metode unjuk rasa
untuk melakukan perubahan. Dukungan informasi dan pengalaman mereka
menghadapi konflik dan persoalan-persoalan kehidupan terkait dengan tanah
sangat diperlukan dalam menyusun kebijakan yang benar-benar dapat memberi
kesejahteraan bagi rakyat banyak. Kemampuan memformulasikan pengalaman
itu menjadi paparan yang runut dan usulan kebijakan yang logis sangat penting
untuk mulai dikembangkan. Demikian juga berbagai cara membangun dukungan
atas usulan-usulan itu dari berbagai pihak penentu kebijakan.
4. Penerbitan Sertifikat
2. Pemeliharaan Data karena Pemindahan Hak melalui (lelang & Non lelang);
DESKRIPSI SINGKAT
Mata kuliah ini merupakan mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (Teori dan
Praktek), sehingga membekali Mahasiswa dengan pengetahuan yang mendekati
praktis. Dengan demikian setelah lulus mata kuliah ini Mahasiswa diharapkan
mampu untuk menganalisis kebijakan pemerintah di bidang pendaftaran tanah
dan mampu menerapkan dalam praktik di lapangan. Dengan demikian mata
kuliah ini mendekatkan lulusan dengan dunia kerja.
Secara rinci, Hukum Pendaftaran Tanah ini meliputi pengetahuan teoritis dan
praktis mengenai :
Materi bahasan bersumber pada pustaka yang tersedia. Sementara itu, proses
pembelajaran dilakukan dengan metode kuliah mimbar (orientasi) yang didukung
dengan media pengajaran, responsi, pelatihan studi kasus, dan pemberian tugas
terstruktur. Hasil proses pembelajaran mahasiswa dievaluasi melalui tugas
terstruktur, ujian tengah semester, dan ujian akhir semester.
Penyusun
Menurut data dan Catatan Badan Pertanahan Nasional, hampir 80% rakyat yang
memiliki tanah pertanian di pedesaan tidak memiliki Surat Tanda Bukti
Kepemilikan Tanah Pertanian dan Rumah Tempat Tinggal mereka. Rata-rata
Tanda Bukti Kepemilikan adalah selembar kertas segel atau kwitansi tanda
pelunasan jual beli tanah dan pengakuan masyarakat sekitar. Padahal
Pemerintah sudah membuat program Sertifikat berbiaya murah, yang dikenal
dengan program Prona. Namun, program tersebut tidak efektif berjalan di
tengah-tengah masyarakat, hal ini disebabkan rumitnya mengurus administrasi
Prona serta mahalnya biaya yang dikeluarkan oleh pemohon sertifikat Prona
tersebut. Dapat di bayangkan, apabila terjadi persoalan hukum, maka hal ini
sangat memperlemah rakyat di depan hukum. Rakyat pedesaan yang
menggantungkan hidupnya dari lahan pertaniannya sebagai alat produksi, sering
kewalahan dalam mempersiapkan modal untuk menanam komoditi yang di
rencanakannya, bila meminjam ke Bank Perkreditan Rakyat, mereka terganjal
ketiadaan jaminan atau boroh, maka jalan yang paling praktis adalah, meminjam
ke rentenir dengan bunga yang mencekik leher, maka petani harus pasrah
menghadapi nasibnya yang kurang di perdulikan oleh bangsa yang besar ini.
Untuk itulah peranan dan fungsi dari Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta
Tanah) sangat diperlukan untuk saat ini dan masa yang akan datang. Peranan
dan kepedulian dari Notaris dan PPAT yang bertugas disetiap Kecamatan di
seluruh Indonesia kelak secara merata, sangat berguna dan berfungsi untuk
Dalam membela hak satu pihak diharapkan seorang notaris tidak ikut campur,
tetapi dalam hal mencari dan membuat suatu bentuk hukum dimana kepentingan
pihak-pihak berjalan parallel, notaris memegang peranan dan advokat hanya
memberi nasehat.
Dilihat dari sudut lain A. W. Voors membagi pekerjaan seorang notaris menjadi:
Janganlah pernah sekali pun menodai kepercayaan yang diberikan oleh undang-
undang kepada jabatan notaris. Pengetahuan bahwa dirinya tidak pernah
menyelewengkan kekuasaan dan kepercayaan memberi kepada seorang notaris
kepuasan dan rasa aman dalam pekerjaannya. Selain itu, pelaksanaan tugas
secara jujur mengundang keseganan masyarakat.
Tan Thing Kie dalam bukunya Studi Notariat : Serba-serbi Notariat edisi tahun
1994 mengutip tulisan tahun 1686 yang dibuat oleh Ulrik Huber tentang sifat-sifat
yang seharusnya dimiliki oleh seorang notaries: “een eerlijk man, tot het instellen
van allerhande schriftuir bequamen ende bij publijke authoriteit daartoe
verordineert (artinya: seorang yang jujur, yang pandai membuat segala tulisan
dan ditunjuk oleh seorang pejabat publik untuk itu.) dan ordonansi saat intu
menunjukan bahwa tiada orang yang diijinkan memegang jabatan notaris
melainkan orang-orang yang terkenal sopan dan pandai serta berpengalaman.
Mr. A.G. Lubbers menulis dan dikutip oleh Tan Thong Kie bahwa di bidang
notariat terutama diperlukan suatu ketelitian yang lebih dari biasa, tanpa itu
seorang dalam bidang notariat tidaklah pada tempatnya. Apabila seorang notaris
tidak teliti baik secara material maupun formal tentu kebodohannya itu
A. W. Voors selanjutnya berkata bahwa sifat-sifat ini memang tidak dimiliki setiap
orang tapi dapat dipelajari, ditumbuhkan atau ditanam, dan dipelihara. inilah
yang paling penting sebab kode etik hanyalah alat Bantu; ceramah, preadvis
hanyalah pembuka mata anggota korps notaris. Dia juga mengemukakan:”sudah
barang tentu seorang notaris menguji setiap akta mengenai kepastiannya dalam
hukum dan menjaga hak-hak semua pihak dan jelas dalam setiap kontrak. Inilah
yang mengakibatkan bahwa seorang notaris bukanlah seorang pemberani dalam
bidang hukum; ia mengikuti jalan yang pasti dan dalam hal yang meragukan ia
lebih baik tidak bertindak daripada menempuh jalan licin dengan ketidakpastian
hukum.” Dan dikatakan pula oleh Mr. A.J.B. Rijke dalam WPNR no 1438: Allen
de notaris van studie zal zich zijne roeping getrouw kunnen toonen: hanya
notaris yang tetap belajar akan memperlihatkan kesetiaan pada panggilannya
(untuk menjadi notaris).
*Sumber Studi Notariat: Serba-Serbi Praktek Notaris, tulisan Tan Thong Kie,
terbitan tahun 1994.
Diposkan oleh Notariat Collegium di 08:03 0 komentar
Label: Fungsi dan Peranan Jabatan Notaris, Kedudukan
A. PENDAHULUAN
“Kantor” dapat dilihat dalam artian statis, yaitu keadaan fisik yang merupakan
wadah atau tempat, dapat berupa gedung, rumah atau ruangan, dimana
kegiatan-kegiatan tata usaha dilakukan. Dalam arti yang dinamis, kantor
merupakan suatu organisasi dimana terdapat struktur, tugas, tanggung jawab,
hak dan wewenang dari setiap anggota organisasi yang bersangkutan.
Sebagai contoh, kantor Notaris yang membuat berbagai jenis akta, tidak akan
dapat melaksanakannya dengan baik tanpa adanya catatan-catatan mengenai
segala sesuatu tentang kliennya, tujuan dari dibuatnya akta, jenis akta yang
diinginkan, dan sebagainya.
Disamping itu, komunikasi yang efektif dan efisien juga merupakan faktor penting
dalam pelaksanaan pekerjaan kantor.
- perhitungan-perhitungan.
Catatan adalah segala sesuatu yang tertulis mengenai fakta-fakta atau kejadian-
kejadian untuk disimpan. Catatan-catatan tersebut merupakan data, yang perlu
diolah lebih lanjut untuk menjadi informasi.
Bagi suatu kantor Notaris, catatan itu antara lain dapat berupa :
Suatu kantor yang ditata dengan baik, akan menimbulkan rasa senang dan
nyaman, baik bagi para pegawai kantor yang bersangkutan, maupun bagi tamu-
tamu yang datang ke kantor yang bersangkutan. Oleh sebab itu, penataan ruang
kantor perlu mendapat perhatian bagi setiap pimpinan kantor. Dalam kaitan
dengan tata ruang beberapa kondisi fisik yang perlu diperhatikan adalah:
2. Warna, yang tidak hanya untuk mempercantik ruang kerja, tetapi juga juga
perlu diperhatikan faktor keindahan dan psikologis dari warna tersebut,
-Misalnya warna kuning, jingga, dan merah, dipandang sebagai warna yang
panas, dan biasanya memberikan pengaruh psikologis yang mendorong
kehangatan dan perasaan gembira. Sebaliknya, warna hijau tua, biru tua, dan
ungu, memberikan pengaruh ketenangan, sedangkan warna ungu muda dan biru
memberikan perasaan menekan.
Untuk penataan ruang kantor itu sendiri, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai
berikut:
Untuk penataan ruang kantor itu sendiri, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai
berikut:
d. Tempat rapat atau pertemuan diletakkan di tempat yang tidak terganggu oleh
berbagai suara, baik berupa percakapan maupun suara mesin-mesin.
3. Fleksibilitas penggunaan.
6. Nilai keindahan.
D.Tata Kearsipan.
1. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga Negara dan Badan-
badan Pemerintah dalam bentuk corak apa pun, baik dalam keadaan tunggal
maupun berkelompok dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah.
-pertama, arsip dinamis, yaitu arsip yang masih digunakan dalam pelaksanaan
kegiatan kantor, baik secara terus menerus atau tidak.
- Kedua, arsip statis, yaitu arsip yang tidak digunakan secara langsung dalam
perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan, tetapi masih perlu untuk disimpan
memiliki nilai dalam rangka penyelenggaraan negara dan kehidupan
kebangsaan.
Arsip statis ini disimpan di Arsip Nasional. Arsip dinamis dapat dirinci lebih lanjut
menjadi:
2. Arsip Semi Aktif, yaitu arsip yang frekuensi penggunaannya sudah mulai
menurun.
3. Arsip In-Aktif, yaitu arsip yang sudah jarang digunakan atau hanya digunakan
sebagai referensi saja.
c. Kedua, perlengkapan untuk penerimaan surat, seperti kotak surat, meja tulis,
rak, dsb. Ketiga alat penyimpan surat, seperti map, folder, lemari, filing cabinet,
lemari, dll.
2. Sistem pokok soal, yaitu penyimpanan yang didasarkan pada pokok masalah.
Satu masalah kemudian dapat dipecah menjadi beberapa sub masalah.
Misalnya jual beli, dapat dirinci dalam jual beli tanah, rumah, surat berharga, dsb.
4. Sistem nomor atau angka, yang sering disebut dengan kode klasifikasi
persepuluhan. Pada sistem ini yang dijadikan kode surat adalah nomor yang
ditetapkan sendiri oleh kantor yang bersangkutan. Misalnya, 000 Kepegawaian,
100 Keuangan, 200 Akta Jual Beli, 300 Akta Pendirian Perusahaan, dan
seterusnya.
Selain daripada itu, untuk menghindarkan hilangnya suatu arsip yang dipinjam
oleh seorang pegawai, diperlukan kartu pinjam arsip, yang harus disimpan oleh
petugas arsip sampai berkas yang dipinjam tersebut dikembalikan.
E. Komunikasi Kantor:
Komunikasi kantor adalah proses penyampaian berita dari suatu pihak kepada
pihak lain, yang berlangsung atau yang terjadi dalam suatu kantor. Komunikasi
ini dapat dilakukan secara lisan (langsung maupun dengan alat komunikasi),
maupun dalam bentuk tulisan. Komunikasi kantor dapat dibedakan atas:
F. Kepegawaian Kantor.
Berbagai aspek dari administrasi kantor yang baik, seperti tata ruang, tata
kearsipan, prosedur surat menyurat, dan kepegawaian, masih belum
mendapatkan perhatian sebagaimana yang diharapkan.
Beberapa masalah yang terlihat pada kantor Notaris, antara lain adalah:
2. Perumusan tugas, hak, wewenang, dan tanggungjawab yang jelas bagi setiap
pegawai.
Herman Adriansyah SH
Notaris/PPAT di Prabumulih
Diposkan oleh Notariat Collegium di 06:35 0 komentar
Label: Tertib Administrasi Kantor Notaris
April 2009
Halaman Muka
Langgan: Entri (Atom)
Pengikut
Arsip Blog
April (1)
Maret (18)