You are on page 1of 36

ID, EGO & SUPER-EGO

Doktrin Freud
Sigmund Freud (1856 - 1939) mengumpamakan alam pikiran manusia ibarat gunung es.
Sebagian besar tenggelam dalam air, tersembunyi dalam alam bawah sadar. Di bawah
permukaan air itu tersembunyilah motif, perasaan dan keinginan-keinginan, yang tidak hanya
tersembunyi bagi orang lain, melainkan menjadi rahasia pula bagi dirinya sendiri. Menurut
doktrin Freud alam bawah sadar itu adalah sumber dari nereuse.

Freud mengklasifikasikan aktivitas mental dalam tiga level: Id, Ego dan Super-Ego. Id dan
Super-Ego terletak dalam alam bawah sadar. Yang terpenting ialah Id, bagian yang gelap dari
personalitas. Id dapat diungkapkan dengan cara mengkaji mimpi (interpretation of dreams) dan
nereutic symptom. Id adalah pusat dari naluri dan iradah (impuls) yang bersifat primitif dan
kebinatangan. Id itu buta dan serampangan (ruthless), hanya menginginkan kesenangan hura-
hura, dan asyik ma'syuk (pleasure), tanpa mengindahkan konsekwensinya. Id tidak mengenal
nilai, tidak mengenal baik dan buruk, tidak mengenal moralitas. Semua impuls dari Id menurut
doktrin Freud diisi oleh tenaga psikis (psychic energy) yang disebutnya libido, berkarakteristik
seksual. Teori libido ini disebut dengan "hakikat (essence) dari doktrin pasikoanalisis". Semua
kehandalan kultural manusia, seperti seni, hukum, agama dll. dipandang sebagai
perkembangan libido. Pada bayi aktivitas libido itu berupa menetek dari puting payu dara ibu,
mengisap dot dan mengisap jari. Setelah dewasa libido itu tertransfer dalam hubungan
seksual, atau berupa kreasi seni, sastra, musik yang disebut dengan "displacement". Naluri
seksual libido ini menurut doktrin Freud adalah sumber dari karya kreatif.

Pengaruh libido ini menurut doktrin Freud, suatu doktrin spekulatif yang sangat kontroversial
dari psikoanalisis, adalah pertumbuhan perasaan seksual anak terhadap orang tuanya. Dimulai
dari kesenangan bayi mengisap dari puting susu ibunya, dalam diri anak laki-laki perasaanya
berkembanglah hasrat seksual terhadap ibunya, membenci ayahnya sebagai saingan, yang
disebut oleh Freud dengan komplex Oedipus. Dalam mitologi Yunani tersebutlah konon
seorang yang bernama Oedipus yang mengawini ibunya dan membunuh bapaknya. (Dalam
sastra Sunda klasik tersebut Sangkuriang membunuh ayahnya, yaitu si Tumang seekor anjing
dan ingin mengawini Dayang Sumbi, yaitu ibunya. Andaikata Freud itu urang Sunda, maka
wishful thinking Freud tersebut tentang hasrat seksual anak laki-laki terhadap ibunya, tentu
akan disebutnya komplex Sangkuriang).

Berlainan dengan Id yang didominasi oleh libido itu, Ego menyadari alam sekelilingnya. Id yang
tidak mengindahkan konsekwensi, serampangan, tidak dibiarkan oleh Ego, oleh karena Id yang
tidak mengenal aturan itu akan memenimbulkan konflik dengan realitas, utamanya aturan-
aturan dari masyarakat. Menurut Freud, Ego itu berupa mediator antara klaim yang
serampangan dari Id dengan realitas yang ada di dunia luar dari individu.

Adapun Super-Ego yang berada dalam alam bawah sadar seperti Id, senantiasa dalam konflik
dengan Id. Terjadinya konflik antara Id dengan Super-Ego dalam alam bawah sadar itu
menurut Freud itulah penyebab timbulnya penyakit kejiwaan yang disebutnya dengan neurose,
yang dapat mengakibatkan keadaan yang fatal dari personalitas. Seorang pengikut Freud,
A.A.Brill, orang Amerika, menulis bahwa Super-Ego itu adalah evolusi mental yang tertinggi
dari manusia.

Istilah doktrin dipakai dan bukan istilah teori, oleh karena para pengecer (meminjam ungkapan
Anwar Arifin) psikoanalisis Freud itu tidak memandangnya lagi sebagai suatu teori, melainkan
sudah diyakini sungguh-sungguh kebenarannya. Padahal psikoanalisis Freud belum pernah
dibuktikan secara ilmiyah. Dari hasil observasi pasiennya di Vienna, Freud membuat rampatan
(generalisasi), bahwa semua manusia mesti demikian itu. Freud tentu saja tidak dapat

1
dipersalahkan betul dalam membuat rampatan itu, oleh karena alat ilmiyah untuk rampatan itu
belum didapatkan pada waktu itu, yakni ilmu statistik. Walaupun pembacaan buku-buku
psikologi saya sangat terbatas ketimbang para pakar psikologi, namun saya berani
mengatakan bahwa belumlah pernah diadakan penelitian apakah memang teori Freud itu
berlaku secara umum untuk semua manusia.

Apakah libido yang merambat pada komplex Oedipus itu berlaku umum untuk seluruh
manusia? Apakah anak perempuan juga punya dorongan libido sehingga senang mengisap
puting susu ibunya dan karena itu logikanya ia terlahir sebagai lesbian? Apakah anak
perempuan berkomplex Xena (bukan Oedipus karena Oedipus laki-laki), benci kepada ibunya
dan ingin mengawini bapaknya? Apakah ini tidak kontradiktif dengan pembawaan lesbian?
Apakah semua kehandalan kultural manusia, seperti seni, hukum, agama dll. dipandang
sebagai perkembangan libido? Apakah semua mimpi itu adalah pencapaian (fulfillment)
tersembunyi dari hasrat yang tertekan? Apakah semua mimpi itu merupakan drama dalam
alam bawah sadar? Apakah semua mimpi itu adalah buah (product) konflik? Walaupun
sekarang sudah dikenal ilmu statistik, namun sangatlah sulit untuk mengujicoba bahwa doktrin
Freud itu berlaku umum untuk semua manusia. Kesulitan itu pada hakekatnya adalah suatu
keniscayaan.

Allah SWT adalah Sumber dari segala sumber, Allah adalah Sumber ilmu, Sumber informasi.
Allah menurunkan ayat sebagai sumber informasi. Al Quran tidak membedakan pengertian
ayat, baik yang dimaksud dengan isi Al Quran, maupun yang dimaksud dengan alam. Dalam
kedua ayat di bawah ini jelas Al Quran tidak membedakannya.

Wa la- Tasytaruw biAyatiy Tsamanan Qaliylan(S. Al Baqarah, 2:41), dan janganlah engkau
menjual ayat-ayatKu dengan harga murah. Wa Yunazzilu mina sSama-i Ma-an fa Yuhyiy bihi-
lArdha ba'da Mawtiha- inna fiy dza-lika laA-ya-tin li Qawmin Ya'qiluwna (S. Ar Ruwm, 30:24),
dan diturunkanNya hujan dari langit, dan dengan itu dihidupkanNya bumi sesudah matinya,
sesungguhnya dalam hal ini adalah ayat-ayat bagi kaum yang mempergunakan akalnya.

Jadi baik isi Al Quran maupun alam semesta adalah sumber informasi, suatu fakta yang tak
boleh diragukan. Dalam bahasa Indonesia dan juga bahasa lain selayaknya bahasa Al Quran
ayat ini tetap dipakai, tidak usah diterjemahkan. Maka orang akan memfokuskan minatnya
menghilangkan polarisasi antara imaniyah dengan ilmiyah. Lalu melebur keduanya menjadi
satu sistem, yaitu Pendekatan Imaniyah-Ilmiyah seperti berikut:

1) berlandaskan tawhid,
2) pengamatan,
3) penafsiran,
4) bersikap ragu terhadap pemikiran manusia,
5) ujicoba.

Dalam Seri berikutnya, insya Allah, Al Quran dan Al Hadits dipakai secara proaktif untuk
mengujicoba doktrin Freud. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

2
Ujicoba Doktrin Freud Dengan Ayat Qawliyah
Rampatan (generalisasi) doktrin Freud melalui ilmu statistik belum pernah dan tak akan pernah
dapat dilakukan. Karena rujukan pada ayat Kawniyah (ayat alam) sebagai sumber informsi tak
akan pernah dapat dilakukan, maka ditempuhlah alternatif rujukan pada ayat Qawliyah (Al
Quran) dan Al Hadits.

Dalam Al Quran dikenal tiga jenis personalitas atau kejiwaan yang disebut An Nafs(u). Kata ini
dipungut ke dalam bahasa Indonesia: nafsu dengan perubahan makna, berkonotasi jelek,
biasanya dalam bentuk kata majemuk: hawa nafsu. Ketiga jenis kejiwaan itu adalah: Pertama,
An Nafsu lAmma-rah. Sesungguhnya Nafsu Ammrah itu mendorong untuk berbuat kejahatan
(S.Yuwsuf, 12: 53). Kedua, An Nafsu lLawa-mah. Dan Aku bersumpah dengan Nafsu
Lawwamah (dalam diri manusia) (S.Al Qiya-mah, 75:2). Nafsu Lawwamah ini mendorong
manusia untuk introspeksi. Wa ma- Ka-na liy 'alaykum min Sultha-nin illay an Da'awtukum
faStajabtum liy, fala- Taluwmuwny wa Luwmuw Anfusakum, (Setan berkata) tidak ada
kekuasaan dariku atasmu, kecuali aku membujukmu dan engkau tergiur. Sebab itu janganlah
kamu mencercaku, melainkan cercalah dirimu sendiri (S.Ibrahim, 14:22). Ayat ini menjelaskan
tentang ucapan setan kepada manusia yang sudah terlanjur mengikuti Nafsu Ammarahnya,
lalu mengumpat setan yang telah menjerumuskannya. Janganlah mengumpat setan, kritiklah
dirimu sendiri, introspeksilah. Yang ketiga, An Nafsu lMuthmainnah. Hai Nafsu Muthmainnah,
(jiwa yang tenang dan suci) (S.Al Fajr, 89:27).

Freud telah berjasa memperinci jenis Nafsu Ammarah itu dalam gambaran Idnya. Namun
kesalahan Freud yang fatal ialah bahwa agama yang bersumberkan wahyu dipandang sebagai
perkembangan libido. Pandangan Freud bahwa libido adalah sumber dari karya kreatif
sangatlah spekulatif dan terlalu ekstrem. Selanjutnya aktivitas mental Id yang diletakkan Freud
dalam alam bawah sadar, memberikan konsekwensi bahwa manusia itu tidak dapat diminta
pertanggung-jawabannya. Bukankah perbuatannya itu didorong oleh hasrat yang tidak
disadarinya? Freud yang melecehkan tanggung jawab asasi manusia ini bertentangan dengan
aqidah tentang Yawmu dDiyn (Hari Pengadilan).

Semua kehandalan kultural manusia, seperti seni, hukum, agama dll. bukanlah perkembangan
libido. Libido yang berkarakteristik seksual itu hanyalah sekadar salah satu unsur dari Nafsun
Ammarah. Doktrin libido bertentangan dengan aqidah, karena Freud menganggap libido itu
sumber agama.

Menurut Hadits manusia berpikir dan kemudian berbuat jahat, oleh karena tatkala itu sedang
lupa kepada Allah, namun ia menyadari akan pikiran dan perbuatannya itu. Rasulullah SAW
bersabda: Pezina tidak berzina tatkala ia dalam keadaan beriman. Pencuri tidak mencuri
tatkala ia dalam keadaan beriman, dan peminum tidak minum tatkala ia dalam keadaan
beriman (Hadits Shahih riwayat Al Bukhari dan Muslim dan yang lain-lain dari keduanya, dari
Abu Hurairah). Jadi orang berbuat jahat itu karena ia lupa kepada Allah, namun ia sadar kan
dirinya tatkala ia berbuat itu.

Bahwa Super-Ego itu adalah evolusi mental yang tertinggi dari manusia itu ada benarnya.
Bahwa manusia senantiasa berusaha mencapai Nafsu Muthmainnah, menjadi Sufi dan
WaliyuLlah (dalam arti tasawuf yang tidak "liar"). Yang tidak benar adalah Super-Ego itu
dimasukkan sebagai aktivitas mental dalam alam bawah sadar. Nafsu Muthma'innah itu adalah
tahap kesadaran yang paling tinggi.

Dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Yusuf AS bermimpi melihat 11 bulan, matahari dan
bulan sujud kepadanya. Itu bukan drama dalam alam bawah sadar. Itu bukan hasrat terpendam

3
Yusuf yang masih remaja itu ingin menjadi orang berkuasa sehingga orang-orang tunduk
kepadanya. Itu adalah pertanda dari Allah SWT untuk masa yang akan datang. Yaitu Nabi
Yusuf AS kelak di kemudian hari akan menjadi raja muda Mesir. Tatkala itu ke-11 saudaranya,
bapaknya (Nabi Ya'cub AS) dan ibunya menghormatinya sebagai raja muda. Mimpi raja Mesir
(bukan dari dinasti Fir'aun), 7 ekor sapi gemuk dimakan 7 ekor sapi kurus, bukan drama alam
bawah sadar raja Mesir.

Di samping mimpi sebagai pertanda dari Allah SWT untuk para nabi dan waliyullah serta orang-
orang tertentu yang dipilih Allah, mimpi adalah aktivitas jiwa dalam qalbu (sadru + fuad + hawa)
yang bekerja terus. Mimpi tukang jahit Singer dikejar-kejar orang memegang tombak yang
ujungnya berlubang adalah proses berpikir dalam fuadnya berjalan terus selagi ia tidur. Ia
berhasil memecahkan permasalahan di dalam tidur bagaimana menyelesaikan jahitan yang
bertumpuk menjelang tahun baru, yaitu dengan membuat jarum yang berlubang pada ujungnya
yang runcing. Mimpi makan kenyang orang terapung di atas rakit di tengah laut adalah proses
naluri mempertahankan hidup dalam hawanya berlanjut terus sementara ia tidur (hal ini juga
diangkat dalam novel sastra daerah Makassar "I Kukang"), adalah proses naluri
mempertahankan hidup dalam ALHWY (dibaca: al hawa-) yang berlanjut terus sementara ia
tidur.

Demikianlah mimpi itu bukanlah pencapaian tersembunyi dari hasrat yang tertekan. Mimpi itu
bukanlah drama dalam alam bawah sadar, dan bukan pula produk konflik dalam alam bawah
sadar. Mimpi itu tidak lain adalah pertanda untuk masa yang akan datang dari Allah SWT yang
diberikan kepada para Nabi, waliyuLlah ataupun orang-orang tertentu, atau mimpi itu adalah
proses merasa, berpikir dan bernaluri yang berlanjut terus tatkala tidur.

Terakhir, tidak ada konflik antara Id dengan Super-Ego dalam alam bawah sadar, karena alam
bawah sadar itu tidak ada. Sesungguhnya persepsi Freud tentang alam bawah sadar tidak lain
melainkan rekaman pada kulit otak tentang pengalaman proses merasa, berpikir dan bernaluri,
ibarat rekaman pada tape recorder. Telah dijelaskan dalam Seri 306 bahwa nafsu (jiwa)
merasa, berpikir dan bernaluri dengan memakai mekanisme otak dalam jisim. Doktrin alam
bawah sadar bertentangan dengan aqidah adanya Hari Pengadilan. Manusia harus
mempertanggung-jawabkan seluruh aktivitasnya di dunia ini pada Hari Pengadilan kelak. Allah
Maha Adil, memberikan ganjaran baik atau buruk sesuai yang dilakukan manusia dengan
sadar. Semua aktivitas jiwa disadari, karena jiwa itu disinari oleh ruh. Ruh inilah yang
menyebabkan manusia itu sadar akan eksitensinya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

4
Mendidik dan Mengajar tanpa Menggurui,
Metode Jibril
Jika materi yang disampaikan menyangkut nalar (kognitif dan keterampilan) disebut mengajar,
dan apabila yang disampaikan adalah pesan-pesan nilai yang menyangkut hati nurani (yang
membentuk sikap) disebut mendidik. Seorang guru yang baik dalam menyampaikan materi
senantiasa menggabungkan mendidik dan mengajar, sekaligus mengandung aspek kognitif,
keterampilan dan sikap. Berdasarkan hal ini maka ungkapan proses belajar mengajar
seyogianya diubah menjadi mendidik, mengajar.

Ada hal yang kontradiktif dalam ungkapan judul di atas. Pendidik dan pengajar adalah seorang
guru, lalu mengapa dikatakan pula tidak menggurui. Kalau kita bicara dalam konteks hubungan
antara guru dengan murid, maka menggurui murid ataupun anak didik dalam pendidikan dan
pengajaran yang formal dan non-formal, tidak ada masalah. Sang guru dan murid dituntut
mempunyai persyaratan ijazah tertentu untuk dapat mendidik dan dididik, mengajar dan diajar
di SMA (formal), demikian pula kedua pihak harus mempunyai persyaratan tertentu untuk
kursus-kursus non-formal (komputer, melas, menjahit, bimbingan dll). Sehingga guru dalam hal
ini mendapat pengakuan secara sukarela dari para murid ataupun anak didiknya bahwa guru
yang mendidik dan mengajarnya itu lebih tahu dan lebih menguasai materi yang disampaikan
oleh sang guru.

Lain halnya dalam pendidikan dan pengajaran yang informal, khususnya pendidikan dan
pengajaran lingkungan. Para guru yang menyampaikan dan para khalayak yang menerima
pesan tidak perlu persyaratan formal, tidak seperti pada yang formal dan non-formal seperti
yang telah disebutkan di atas. Sehingga dalam hal konteks hubungan antara guru atau sang
penyampai dengan khalayak, gelagat menggurui dalam meneruskan informasi dan pesan-
pesan nilai itu tidaklah bijaksana. Sebab selalu ada kemungkinan di antara khalayak ada yang
lebih unggul dari sang penyampai itu.

Berikut ini disajikan anekdot yang kemungkinan besar berakar dari suatu kejadian yang
sebenarnya pernah terjadi. Seorang mahasiswa agronomi Fakultas Pertanian yang sementara
ber-KKN dengan sikap yang amat menggurui mengajarkan para petani perihal produktivitas
dalam bertanam padi. Pada waktu itu sedang galak-galaknya dipromosikan padi jenis PB5.
Dengan semangat "over confidence" sang mahasiswa menyuruh para petani bertanam padi
jenis PB5 itu, yang untuk areal sawah yang sama akan membuahkan produksi padi yang lebih
banyak ketimbang jenis padi yang biasanya ditanam oleh para petani. Sang mahasiswa
dengan bersemangat mengeritik pula pematang sawah yang lebar tempat ia berpidato
menyuluh itu. Kalaulah pematang-pematang sawah yang lebar itu dipersempit akan dapat
memperluas areal lahan yang dapat ditanami, dengan demikian produksi padi dapat pula
ditingkatkan.

Setelah tiba saatnya untuk makan siang, sang mahasiswapun diundang ke dangau untuk
bersantap siang. Sebenarnya dangau itu tidak berapa jauh dari tempat penyuluhan tadi, namun
penunjuk jalan membawa mereka itu mengambil jalan yang tidak memintas, melainkan
berkeliling, sehingga mereka itu melalui pematang sawah yang sempit. Oleh karena sang
mahasiswa tidak terampil meniti pematang sempit, beberapa kali ia terpelset jatuh ke sawah
sehingga bermandikan lumpur. Setelah sampai di dangau makanan yang dihidangkan adalah
nasi dingin tanpa sayur. Nasi itu demikian kerasnya tanpa sayur pula sehingga sukar sekali
melalui kerongkongan, seperti ungkapan peribahasa lama: Nasi dimakan bagai sekam. "Nak,"
ucap yang empunya dangau, "apa yang anak telan itu adalah beras PB5, dan tempat anak
menyuluh tadi adalah pematang yang sekali gus berupa jalan setapak."

5
Yang berikut ini cerita yang sesungguhnya terjadi puluhan tahun yang lalu. Drs. Abd.Razak
Mattaliu, seorang muballigh dan juga seorang wartawan senior generasi Abd.Rahman Arge,
pada waktu itu masih menjadi anggota jama'ah Masjid Syura, menyampaikan pesan di atas
mimbar. Ia telah beberapa lama memperhatikan ada dua tiga orang anggota jama'ah masjid
yang caranya shalat perlu diperbaiki. Ia mulai dengan pengantar bahwa apa yang akan
disampaikannya ini bukan untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, melainkan khusus untuk anak-anak.
Sesudah itu barulah ia menjelaskan bagaimana caranya shalat menurut tuntunan RasuluLlah
SAW.

Bagaimanapun juga apabila materi yang disampaikan adalah cara shalat yang benar, tentu
tidak dapat mengelak dari sikap menggurui. Untuk menghilangkan kesan bahwa ia menggurui
bapak-bapak dan ibu-ibu, maka Adbd.Razak mengatakan khusus ditujukan bagi anak-anak
dalam masjid. Ia mengaplikasikan ayat Al Quran: Ud'u ilay Sabiyli Rabbika bi lHikmati, serulah
ke jalan Maha Pengaturmu dengan bijaksana.

Pada suatu waktu ketika RasuluLlah SAW duduk bersama-sama dengan para sahabat,
datanglah ke dalam majelis itu seseorang dengan penampilan seperti orang datang dari jauh,
namun wajahnya tetap segar, pakaiannya tetap rapi. Setelah memberi salam ia duduk,
kemudian bertanya kepada RasuluLlah SAW apa itu Iman, Islam dan Ihsan. Lalu RasuluLlah
SAW sebelum menjawab mengatakan bahwa yang bertanya lebih tahu dari yang beryanya,
kemudian beliau baru menjelaskan pengertian (Rukun) Iman, (Rukun) Islam dan Ihsan. Setelah
orang itu pergi RasuluLlah menyampaikan kepada para sahabat, bahwa sesungguhnya "orang"
tadi itu adalah Malaikat Jibril.

Kalau kita simak proses penyampaian pengertian Rukun Iman dan Rukun Islam itu akan dapat
kita ungkapkan keluar nilai yang tersirat yang erat kaitannya dengan metode menyampaikan
pesan tanpa menggurui. Metode ini dapat dipakai dalam pendidikan dan pengajaran informal
menyampaikan pesan-pesan nilai-nilai Islami untuk memperkaya metode yang telah lazim
dipergunakan selama ini, yaitu ceramah dan diskusi. Selama ini umumnya hanya dipraktekkan
dua jenis pertanyaan. Pertama, dari orang yang tidak tahu kepada yang tahu, yaitu pertanyaan
dari murid kepada guru, maka jawaban guru itulah yang disebut menggurui. Kedua, pertanyaan
dari guru kepada murid, maka itu disebut menguji. Ketiga, pertanyaan dari yang tahu kepada
yang tahu, itulah penyampaian pesan kepada khalayak, pendengar, ataupun pemirsa secara
tidak menggurui, yang disebut Metode Jibril. WaLlahu a'lamu bishshawab.

6
Jujur, Adil, dan Ihsan
Ada sebuah anekdot. Tersebutlah konon seorang Badui (bukan yang dari negeri Arab,
melainkan yang dari Jawa Barat) dalam perjalanannya berjalan kaki kemalaman di sebuah
dusun. Ia menumpang bermalam pada sebuah rumah di dusun itu. Yang empunya rumah
menyodorkan bantal ke kepala tamunya itu. Orang Badui itu memindahkan bantal tersebut dari
kepala ke kakinya. Ibarat kata pepatah, orang mengantuk disorongkan bantal, maka dengan
segera orang Badui itu terlelap. Yang empunya rumah terheran-heran melihat orang Badui
yang tidur lelap itu dengan kedua kakinya yang berbantal. Pagi-pagi keesokan harinya pada
waktu menyuguhkan sarapan pagi ala kadarnya, yang empunya rumah bertanya kepada
tamunya itu.

- Sobat, apakah memang demikian adat kebiasaan di kampung tempat asalmu, kedua
kaki yang berbantal, bukan kepala?
- Sebenarnya adat kebiasaan di kampung asal saya sama juga dengan adat kebiasaan
orang di sini, kepala yang berbantal. Akan tetapi demi keadilan, karena kaki yang penat
berjalan kaki sejauh itu, maka kakilah yang harus menikmati bantal. Kaki telah lebih
banyak melaksanakan kewajibannya, sehingga kaki lebih berhak ketimbang kepala
diberi berbantal, jawab orang Badui itu.
- Oh, ya, itulah keadilan ditinjau dari segi keseimbangan antara hak dengan kewajiban,
bergumam yang empunya rumah sambil manggut-manggut. Kata-katanya itu lebih
ditujukan kepada dirinya sendiri ketimbang kepada tamunya itu.

Apakah sesungguhnya yang disebut adil itu?! Adil adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan mengeluarkan atau memindahkan sesuatu dari tempat yang bukan pada
tempatnya. Orang Badui itu menempatkan bantal itu pada tempatnya yaitu di kaki dan
memindahkan bantal itu dari kepala yang bukan pada tempatnya, berhubung karena kaki lebih
banyak menjalankan kewajibannya. Dalam hal ini kriteria yang dipakai untuk berlaku adil
adalah keseimbangan antara kewajiban dengan hak.

Isu hak asasi manusia (HAM) sedang merebak sekarang ini. Dilihat dari segi kriteria
keseimbangan antara kewajiban dengan hak, maka gerakan organisasi internasional perihal
HAM ini tidaklah adil. Hanya getol dalam hal melancarkan hak asasi, tidak pernah kedengaran
organisasi HAM ini bergerak dalam hal kewajiban asasi manusia (KAM).

Sesungguhnya ada organisasi yang bergerak dalam bidang kewajiban asasi manusia ini, akan
tetapi tidaklah secara demonstratif mempergunakan ungkapan kewajiban asasi ini. Organisasi
yang dimaksud itu adalah organisasi yang bergerak dalam lapangan da'wah. Hanya orang-
orang yang beriman kepada Allah yang dapat membentuk organisasi yang bergerak dalam hal
KAM dan sekaligus HAM. Firman Allah:

Wa Ma- Khalaqtu lJinna walInsa Illa- liYa'buduwni (S. AdzDza-riyat, 56), tidaklah Aku jadikan
jinn dan manusia, melainkan mereka mengabdi kepadaKu (51:56).

Mengabdi kepada Allah SWT, itulah kewajiban asasi dan sekaligus hak asasi manusia. Maka
tidaklah mungkin organisasi internasional yang bergerak dalam HAM ini akan berlaku adil
dengan bergerak pula di bidang KAM, oleh karena pendiri ataupun orang-orang yang aktif
dalam organisasi internasional itu adalah mereka penganut humanisme yang tidak mau tahu,
bahkan ada yang tidak percaya kepada Allah SWT.

Kriteria keseimbangan antara kewajiban dengan hak bukanlah satu-satunya kriteria untuk
berbuat adil. Buruh mengeluarkan keringat lebih banyak, artinya bekerja lebih keras dari

7
mandur, akan tetapi gaji mandur lebih tinggi dari buruh. Sepintas lalu ini kelihatannya tidak adil.
Kriteria yang dipakai di sini dalam hal menempatkan sesuatu pada tempatnya, adalah
tanggung jawab. Tanggung jawab mandur lebih besar dari buruh, itulah sebabnya gajinya lebih
tinggi.

Seorang bapak yang memandang warna kuning yang paling indah, membelikan semua
anaknya pakaian baru berwarna kuning menjelang lebaran. Bapak itu menyangka sudah
berlaku adil pada anak-anaknya, tidak memilih kasih salah seorang di antaranya, karena ia
telah memberikan warna yang paling indah kepada semuanya. Akan tetapi sebenarnya sang
bapak tidak berlaku adil, karena ada beberapa orang anaknya yang tidak senang pada warna
kuning, sehingga mereka merasa tidak diperlakukan dengan adil. Dalam hal ini kriteria untuk
berlaku adil adalah selera.

Seorang ibu memberikan uang saku yang sama banyak kepada anak-anaknya. Sang ibu
sudah menyangka berlaku adil, tidak memilih kasih salah seorang di antaranya, semua
mendapat bagian yang sama banyak. Akan tetapi sebenarnya sang ibu tidak berlaku adil oleh
karena anaknya itu ada yang mahasiswa, ada yang masih di sekolah menengah bahkan masih
ada yang di taman kanak-kanak. Dalam hal ini kriteria yang harus dipergunakan oleh sang ibu
adalah kebutuhan.

Tidaklah yang menempuh ujian itu harus lulus semuanya. Yang luluspun tidak semuanya akan
mendapatkan nilai yang sama. Kriteria keadilan dalam hal ini adalah kesanggupan.

Karena bermacam-macamnya kriteria dalam hal berbuat adil, maka untuk menentukan kriteria
yang tepat haruslah jujur. Orang yang tidak jujur tidak mungkin dapat berbuat adil.

Khutbah kedua dalam khutbah Jum'at biasanya ditutup dengan S. An Nahl, 90: InnaLlaha
Ya'muru bil'Adli walIhsa-ni, sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan (16:90).

Apa pula yang disebut ihsan? Yaitu mereka yang dengan ikhlas memberikan kepada orang lain
hak yang berlebihan atau memilih kewajibannya lebih besar dari haknya. Contohnya, bapak-
bapak dengan ikhlas memberikan hak kepada ibu-ibu adanya Hari Ibu dengan tidak menuntut
adanya Hari Bapak. Seorang suami yang dengan ikhlas mengganti popok bayinya. Bukankah
mengganti popok itu kewajiban sang isteri? Sang suami menambah kewajibannya mengganti
popok, karena bayinya menangis-nangis, pada hal sang isteri sedang berkadahajat di WC.
WaLlahu A'lamu bi shShawab.

8
Apakah Mungkin Disiplin Ilmu Teknik Mesin
Dapat Diberi Nilai Agama?
Demi keotentikan, sebagai pertanggung-jawaban kepada Allah SWT, dalam kolom ini setiap
ayat Al Quran ditransliterasikan huruf demi huruf. Bila pembaca merasa "terusik" dengan
transliterasi ini, tolong dilampaui, langsung ke cara membacanya saja. Saya menerima
tanggapan melaui telepon yaitu bagaimana mungkin dalam kurikulum setiap mata ajaran dapat
diwarnai oleh nilai agama. "Ustadz, apakah mungkin disiplin ilmu teknik mesin dapat diberi nilai
agama?" Sayangnya penanya itu tidak menyebutkan namanya. Tetapi menurut hemat saya dia
itu dosen Jurusan Mesin, atau sekrang-kurangnya mahasiswa Jurusan Mesin. Tanggapan itu
sehubungan dengan yang saya tulis pada hari Ahad yang lalu (Seri 272) dalam rangka
menyambut Tahun Baru Hijriyah, 1 Muharram 1418. Saya kutip paragraf yang menyangkut
materi tersebut:

"Kinerja sumberdaya manusia yang berakhlaq tinggi hanya dapat dicapai dengan merenovasi
kurikulum dan mengubah sistem proses belajar-mengajar menjadi proses mendidik-mengajar.
Pendidikan nilai-nilai agama dalam kurikulum diperbanyak porsinya. Silabi ditekankan pada
nilai-nilai Syari'ah, bukan pada fiqh dan bukan pula bersifat hafalan. Bahkan pada setiap mata-
ajaran diwarnai oleh nilai agama. Pilihan ganda (multiple choice) jangan dipakai dalam sistem
evaluasi."

Sebenarnya pewarnaan nilai agama, terkhusus nilai Tawhid terhadap disiplin ilmu eksakta telah
pernah saya kemukakan sejumlah beberapa kali dalam kolom ini. Khusus pewarnaan nilai
Tawhid terhadap disiplin ilmu teknik mesin telah saya bahas dalam Seri 155 yang berjudul:
"Aplikasi Hukum Themodinamika Kedua dalam Cakrawala yang Lebih Luas daripada Iptek."
Saya akan kutip bagian esensial dari Seri 155 tersebut:

"Fisika klasik maupun fisika relativitas dengan gambaran dunia ruang waktu empat dimensi
(four dimensional picture of the world, space-time continuum) tidak mempunyai ketegasan
pengertian tentang arah waktu (time arrow). Oleh karena itu ada saja pakar yang membuat
postulat tentang arah waktu sebaliknya, dari masa depan ke masa lalu. Postulat ini
menimbulkan inspirasi bagi penulis novel yang bersipat science fiction, mengarang cerita
tentang orang-orang yang menembus lorong waktu ke masa silam.

Sehubungan dengan arah waktu Allah berfirman: SBH ASM RBK ALA'ALY . ALDZY KHLQ
FSWY (S. ALA'ALY, 1-2), dibaca: sabbihisma rabbikal a'la- . alladzi- khalaqa fasawwa- (s.
al.a'la-), artinya: Sucikanlah nama Maha Pengaturmu Yang Maha Tinggi. Yaitu Yang mencipta
lalu menyempurnakan (87:1-2). Menyempurnakan dalam ayat (87:2) memberikan keterangan
secara tegas tentang arah waktu, yaitu dari masa lalu ke masa depan.

Dalam thermodinamika dikenal sebuah TaqdiruLlah yang disebut Hukum Thermodinamika


Kedua dengan perumusan William Thomson Kelvin (1842 - 1907) dan perumusan Rudolf
Clausius (1822 - 1888). Perumusan Kelvin menjadi asa mesin-mesin kalor dan perumusan
Clausius menjadi asas mesin-mesin pendingin. Walaupun kedua perumusan itu secara verbal
berbeda, namun pada pokoknya ialah dalam setiap proses thermodinamis, enropi akan naik.
Secara keseluruhan entopi alam syahadah naik terus, jangankan turun, berhentipun tidak
pernah. Ini yang disebut dengan irreversible.

Dalam hal panas, kenaikan entropi itu sebenarnya suatu kerugian dalam organisasi molekuler.
Ungkapan organisasi molekuler ini perlu penjelasan. Sebuah bola baja yang jatuh jika dilihat
secara mikroskopis, maka molekul-molekul bola baja itu bergerak ke bawah dengan

9
pertambahan kecepatan yang sama dalam arti setiap saat besarnya dan arahnya sejajar serta
molekul-molekul itu mengalami pula pertambahan tenaga kinetis yang sama besarnya. Dalam
hal ini kita melihat dua hal, yaitu energi dan organisasi energi. Setelah bola baja itu
menghantam landasan beton, maka sebagian dari molekul-molekul bola baja itu mengalami
perubahan arah secara acak (random), ibarat nyamuk-nyamuk beterbangan tak teratur.
Sebagian lagi molekul-molekul itu geraknya tetap teratur terorganiser, yaitu kecepataannya
tetap sejajar dan sama besarnya. Maka tenaga bola baja itu terbagi dua. Tenaga molekul-
molekul yang acak tak terorganiser yang ibarat nyamuk-nyamuk beterbangan itu berubah
wujud dari tenaga kinetis menjadi tenaga panas. Di samping itu keacakan molekul-molekul
yang seperti nyamuk itu mempengaruhi struktur bola baja itu dalam wujud perubahan bentuk
menjadi "gepeng". Sedangkan tenaga molekul-molekul yang tetap terorganiser itu tetap
berwujud tenaga kinetis yang menyebabkan bola baja itu "melenting" ke atas mengikuti hukum
mekanika yaitu bagian dari SunnatuLlah yang dapat diungkapkan oleh Sir Isaac Newton (1642
- 1727) dalam bentuk rumus: Aksi = - Reaksi. Makin tinggi keacakan molekul-molekul yang
seperti nyamuk itu makin besar pua kuantitas terjadinya tenaga panas. Tinggi rendahnya
keacakan itu tergantung dari sifat material itu. Benda yang plastis tinggi keacakannya
sedangkan benda yang elastis rendah keacakannya. Berubahnya sebagian tenaga kinetis itu
menjadi tenaga panas, itulah yang dimaksud dengan kerugian organisasi molekulur seperti
disebutkan di atas itu.

Karena memang didapatkannya ilmu thermodinamika itu untuk kepentingan efisiensi dalam
rancang bangun teknologi, sedangkan sifat Iptek khususnya dan ilmu sekuler umumnya yang
dipelajari orang hingga dewasa ini dibangun di atas paradigma empirisme yang bergandengan
tangan erat dengan filsafat posirtivisme dan utilitarianisme, maka pengkajian sudah logis jika
berhenti pada aplikasi Ip pada Tek. Yang logis belum tentu benar. Sesungguhnya Iptek itu
menurut Syari'ah harus dimerdekakan dari kungkungan positivisme dan menjangkau di atas
cakrawala yang lebih tinggi dari utilitiarisme. Iptek harus dibangun di atas landasan paradigma
empirisme (ayat kawniyah) yang bernilai Tawhid, dengan tidak mengabaikan kemanfaatannya.
Maka pemikiran logis tidak akan berhenti pada hanya aplikasinya dalam rancang bangun
mesin-mesin konversi tenaga belaka.

Demikianlah pula arah waktu dipertegas dalam ayat kawniyah yaitu bagian TaqdiruLlah yang
disebut Hukum Thermodinamika Kedua yang irreversible seperti yang telah diuraikan di atas
itu. Hukum Thermodinamika Kedua tidaklah menyangkut tabiat molekul secara individual,
melainkan menyangku keseluruhan unsur molekul yang acak dalam "masyarakat" molekul
yang hiruk-pikuk (the random element in the crowd). Keadaan molekul yang makin acak yang
tidak terorganiser itu menunjukkan arah waktu yang tegas dari masa lampau ke masa depan,
oleh karena molekul-molekul yang bergerak ibarat nyamuk itu tidak dapat lagi kembali kepada
keadaan semula. Keacakan ini adalah harga yang dibayar oleh transformasi fisis, suatu prinsip
umum TaqdiruLlah yang diungkap oleh Ludwig Boltzmann (1844 - 1906).

Allah SWT menyempurnakan hasil ciptaannya FSWY (fasawwa-) berupa transformasi fisis
alam syahadah di satu pihak, sedangkan di lain pihak Allah SWT mengurangi persediaan
tenaga. Begitu transformasi fisis sudah disemuprnakan Allah SWT, entropi menjadi maximum,
persediaan tenaga habis, berhenti pulalah proses di alam syahadah ini, dan inilah akhir alam
syahadah, kemudian menyusullah hari kiamat (dari Qiya-m artinya berbangkit), yaitu diri (nafs)
manusia di alam barzakh bangkit dengan tubuh yang baru, lalu menghadapi pengadilan Allah
di Yawmuddin (Hari Pengadilan), lalu masuk ke alam akhirat, surga bagi yang beruntung
karena tunduk pada Syari'ah, atau neraka bagi yang celaka karena tidak tunduk pada Syari'ah
baik karena membangkang ataupun karena kafir semasa hidupnya di dunia.

Dalam uraian di atas itu bukan hanya sekadar dibahas pewarnaan nilai agama (axiology)
terhadap disiplin ilmu thermodinamika, tetapi juga menyangkut dengan epistemology (the origin
of nature, methods, and limits of human knowledge) dan ontology (the nature of existence).
WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

10
Malaikat dan Sikap Hormat kepada Guru
Malaikat adalah makhluq Allah yang ghaib, artinya tidak dapat diindera oleh pancaindera
manusia, juga tak dapat dideteksi oleh instrumen laboratorium bikinan manusia bagaimanapun
canggihnya. Kita tahu tentang adanya malaikat karena Allah memberi-tahu kita melalui wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad RasuluLlah SAW, Nabi 'Isa AS dan Nabi Musa AS
yang berwujud ayat Qawliyah. Jadi malaikat itu harus diimani, termasuk satu di antara Rukun
Iman yang enam. Malak(un), nama spesi makhluq ghaib tersebut. Spesi makhluq lain seperti
misalnya Basyar(un), adalah nama spesi makhluq nyata yang berdarah daging yang
mempunyai ruh yaitu kita ini, manusia.

Dalam qaidah bahasa Arab muannats (gender perempuan) menyatakan sebagian dari
mudzakkar (gender laki-laki). Syajar(un) menyatakan keseluruhan spesi yang disebut pohon,
syajarah(tun), sekelompok atau sebagian jenis pohon. Malaikah (bentuk muannats)
menyatakan sekelompok atau sebagian dari malak (mudzakkar). Namun dalam bahasa
Indonesia, baik malak maupun malaikah, kedua-duanya biasanya diterjemahkan dengan
malaikat.

Walaupun malaikat itu makhluq ghaib, namun sewaktu-waktu Allah menyuruh makhluq ini
untuk berkomunikasi dengan spesi Basyar. Oleh karena itu malaikat itu diberi kemampuan oleh
Allah beralih wujud menjadi Basyar pula. Malaikat Jibril AS menjelma menjadi Basyar ketika
berkomunikasi dengan Maryam, untuk menginformasikan kepadanya bahwa Maryam kelak
akan melahirkan seorang anak yang suci. Pada waktu malaikat Jibril AS menyampaikan wahyu
yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW (berupa lima ayat yang pertama dari S. Al Alaq),
ia berubah wujud seperti Basyar. Tatkala Jibril AS mendatangi Maryam dan Nabi Muhammad
SAW, Jibril AS tidak disaksikan oleh Basyar yang lain oleh karena Maryam dan Nabi
Muhammad SAW tatkala itu sedang sendirian.

Malaikat Jibril AS yang sedang berwujud Basyar dapat pula disaksikan oleh para sahabat,
tatkala Jibril AS berkunjung kepada Nabi Muhammad SAW yang sedang duduk satu majelis
dengan para sahabat, bertanya kepada Nabi yang artinya: "Apa itu iman apa itu Islam, dan apa
itu ihsan." Demikian pula tatkala para malaikat yang berwujud Basyar, yang diperintahkan Allah
untuk menghubungi Nabi Ibrahim AS, turut pula disaksikan oleh Sarah. Tujuan para malaikat
yang berubah wujud menjadi Basyar itu ialah untuk menginformasikan kepada Nabi Ibrahim
AS, bahwa pertama, isterinya Sarah akan mempunyai putera kelak, walaupun Sarah pada
waktu itu sudah dalam keadaan berhenti haid, dan kedua, bahwa Sodom dan Gomorrah
(Qamran), pemukiman Nabi Luth AS akan dibinasakan oleh para malaikat itu, karena
penduduknya homosexual dan lesbian. Karena para malaikat itu berwujud Basyar, maka
penduduk Sodom dan Gomorrah yang berada sekitar rumah Nabi Luth AS dapat pula melihat
malaikat itu, bahkan orang-orang homosexual itu ingin memesumi malaikat dalam wujud
Basyar itu.

Berfirman Allah dalam Al Quran: Qa-la YaAdamu Anbi'hum biAsma-ihim (S. AlBaqarah, 32).
Berfirman (Allah), hai Adam informasikan kepada mereka (malaikat) nama-nama (barang)
(2:32). Selanjutnya Firman Allah, Waidz Qulna- lilMalaikati Sjuduw liAdama faSajaduw illa-
Ibliysa Abay waStakbara (S. AlBaqarah, 33). Dan Kukatakan kepada malaikat sujudlah kepada
Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan sombong (2:33).

Ayat (2:32) menjelaskan latar belakang keluarnya perintah Allah kepada Al Malaikatu,
sekelompok malaikat. Bunyi perintah itu, Usjuduw liAdama sujudlah kamu kepada Adam. Allah
SWT memerintahkan sekelompok malaikat itu sujud kepada Adam bukan sebagai pernyataan
dari malaikat itu untuk mengkultuskan Adam, melainkan sebagai pernyataan hormat kepada
Adam, oleh karena Adam telah menjadi guru, mengajar malaikat itu mengenal identitas barang-
barang disekitar majelis itu. Walaupun tidak secara tegas dijelaskan dalam ayat itu bagaimana

11
wujud sekelompok malaikat pada waktu berkomunikasi dengan Adam, kita dapat
mengansumsikan bahwa pada waktu terjadinya komunikasi itu, sekelompok malaikat tersebut
berubah wujud menjadi Basyar.

Jelaslah ayat di atas itu mengandung muatan nilai: Para murid wajib menghormati gurunya.
Murid yang tidak menghormati gurunya sifatnya seperti Iblis. Nilai hormat kepada guru ini
masih dijunjung tinggi dahulu, walaupun masih dalam penjajahan. Pada waktu saya masih di
sekolah dasar dahulu hingga zaman pendudukan Jepang (Futsu dan Jokyu Kogakko), murid-
murid menghormati gurunya dengan memanggil karaeng (di daerah yang berbahasa Makassar,
Konjo dan Selayar) dan puang (di daerah yang berbahasa Bugis). Di dalam cerita silat guru
(suhu) sangat dihormati. Murid harus sujud (paykui) kepada gurunya. Bangsa Jepang adalah
bangsa yang menaruh hormat kepada guru. Pada waktu pendudukan Jepang, balatentera
(heitai) Jepang yang kejam-kejam dan bengis, tidak pernah berlaku kejam kepada guru bumi-
putera. Kalau tentara Jepang bertanya kepada penduduk: Ano katawa sensei desuka? (Apakah
orang itu guru?), dan mendapat jawaban: Hai (ya), maka sikap galaknya berubah menjadi
sopan, mendatangi guru itu sambil menghormat dengan membungkuk.

Nilai hormat kepada guru, sebagai hormatnya malaikat kepada Adam, sang guru, sudah
tercecer dari bangsa kita. Hanya tinggal sebagai cerita saja. Bangsa Indonesia sekarang ingin
menghasilkan produksi unggulan yang dapat diekspor, strateginya ialah meningkatkan
Sumberdaya Manusia (mestinya disingkat SM, bukan SDM), yang kuncinya antara lain terletak
dalam sikap hormat kepada guru. Tawuran dalam kalangan siswa dan mahasiswa insya Allah
dapat diredam, jika menempuh strategi: Gerakan nasional membina sikap hormat kepada guru.
WaLlahu A'lamu bi shShawab.

12
Prasangka
Ada sebuah cerita yang kelihatannya ringan. Sebuah keluarga yang terdiri atas: ayah, ibu,
seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, sudah gadis. Dari segi komposisi adalah
merupakan keluarga ideal menurut program KB. Namun perlu dicatat, cerita ini sudah lama ada
sebelum Indonesia merdeka. Saya mendengar cerita ini dari nenek semasa saya masih kecil.
Diceritakan nenek menjelang tidur malam. Keempat anggota keluarga itu semuanya pekak.
Artinya tuli betul, sebenar- benarnya tuli. Suatu hari si anak laki-laki sedang menggembalakan
kambingnya di pinggir kampung. Seorang asing liwat. Menanyakan arah jalan yang bercabang
dua. Si anak menjawab: "Ini kambing saya, ini kambing bapak saya. Mengapa engkau
mengatakan kambing ini milikmu. Awas, tunggu di sini, saya beritahu ibuku di rumah. "Anak itu
menghalau kambingnya pulang ke rumah. Masih di tangga si anak berteriak: "Ibu, di pinggir
kampung, di luar sana ada orang yang mengaku-ngaku kambing kita ini kambingnya." Dengan
suara pasrah si ibu menjawab: "Biarlah nak, kita ini memang orang miskin. Tidak usah marah.
Biarkanlah dia mencela celana bapakmu yang penuh dengan tambalan itu." Sepulangnya
suaminya dari kebun, belum sempat melangkahkan kaki suaminya masuk rumah, si isteri
berucap: "Pak, menurut anak kita ada yang mencela celanamu yang penuh tambalan. Saya
katakan, sudahlah nak, tidak usah masukkan di hati, kita ini memang petani miskin." Si suami
menjawab: "Haram, kalau saya makan pisang di kebun. Kalau ada yang menyampaikan
kepadamu saya ini suka makan pisang secara sembunyi-sembunyi di kebun, itu fitnah." Si
gadis di dapur melirik ke depan pintu tempat kedua orang tuanya berdialog. Dia tentu saja
hanya mampu melirik, karena tidak sanggup menguping, maklumlah ia pekak. Setelah dialog
berakhir, si gadis melompat ke dekat pintu dengan tersedu-sedu ia berkata: "Biarlah mak,
biarlah pak, kalau ada yang meminang, jangan ditolak, terima saja."

Dalam kehidupan kita sehari- sehari tidak jarang kita terlibat dalam hal prasangka. Sikap
berprasangka yang dibentuk oleh kepicikan, pandangan sempit, curiga kepada bayangan
sendiri. Cerita di atas itu dikarang oleh nenek moyang kita untuk memberikan potret
sekelompok manusia yang bersikap prasangka yang ekstrem. Memang nenek moyang kita,
pengarang cerita itu, orang jenius. Keadaan pekak menggambarkan orang yang tidak mau
mendengar pendapat orang lain. Yang penting adalah persepsinya sendiri, sangat sukar
berkomunikasi dengannya. Sikap prasangka yang ekstrem, yang dibentuk oleh kondisi
kejiwaannya.

Si anak laki-laki mendapat tugas menggembalakan kambingnya. Tanggung jawabnya itu


menyebabkan ia bersikap waspada secara berlebihan. Apapun yang diucapkan atau dilakukan
orang ditanggapinya mau meronrong kedudukannya sebagai gembala, mau mengambil, mau
merampas kambing itu dari tangannya. Si ibu yang pekerjaan rutinnya menambal celana
suaminya mnyebabkan ia dihinggapi penyakit rendah diri, minderwaadigheid complex. Semua
tindak-tanduk orang selalu ditafsirkannya mengejek celana suaminya. Si suami yang suka
makan pisang secara sembunyi-sembunyi, selalu ibarat mempunyai monyet di punggung.
Rasa kuatir bahwa isterinya akhir-akhirnya akan tahu juga, selalu mengusik jiwanya. Waktu
isterinya melapor bahwa celananya dicela orang, ia menyangka rahasianya sudah terbuka.
Yang bungkuk dimakan sarung. Si gadis, adalah gadis pingitan, yang jiwanya selalu meratap,
mendambakan orang datang meminang. Seperti diungkapkan oleh Kelong Mangkasara'
(pantun Makassar):

Bosi minne baraqminne, bungaminne campagayya. Inakatte minne, lamaqlonjoq paqrisiqna.


Turunlah hujan, musim barat tiba, pohon cempaka berbunga pula. Nasibku memang, selalu
dirundung malang.

13
Si gadis menanti harap-harap cemas dari tahun ke tahun. Yang ditandai dengan datangnya
musim barat, bahkan pohon cempaka sudah berbunga pula. Tetapi selalu dirundung malang,
belum ada yang datang meminang. Maka oleh pembicaraan ibu dengan bapaknya dekat pintu,
begitu serius dilihatnya, timbullah prasangkanya: telah ada yang datang meminang.

Sikap prasangka ini tidak terkecuali, juga subur bertumbuh dalam politik tingkat tinggi. Rezim
militer Aljazair, ibarat anak pekak yang menggembala kambing itu. Selalu diusik oleh kekuatiran
kambingnya diambil orang, lalu berprasangka. Golongan Islam yang membentuk kekuatan
politik, yang menempuh cara demokratis, menjadi salah satu kontestan dalam pemilihan
umum, dicap fundamentalis. Sebenarnya istilah fundamentalis ini pengertiannya baik-baik saja.
Tetapi dalam lapangan politik internasional istilah ini sudah mempunyai konotasi yang khas,
suka menempuh cara kekerasan. Kalaupun pada akhirnya kelompok ini terlibat dalam
kekerasan dan pertumpahan darah, itu karena lebih dahulu dikerasi dan dizalimi oleh rezim
militer: pemilu lanjutan dibatalkan, partainya disudutkan untuk mendapatkan alasan
pembubaran dan akhirnya memang dibubarkan oleh rezim militer. Nah kalau mereka akhirnya
terpaksa terlibat dalam tindak kekerasan dan pertumpahan darah, semutpun kalau diinjak,
niscaya menggigit.

Amerika Serikat yang begitu menggemborkan dirinya pahlawan demokrasi, bungkam, bahkan
bersikap menyokong rezim militer Aljazair, yang mentorpedo hasil dan proses pemilihan umum
itu. Mengapa? Amerika sedang risau, Iran potensial bakal menggantikan kedudukan mantan
Uni Sovyet untuk menantang, menjadi rival Amerika. Ambisi Amerika untuk menjadi negara
adidaya tunggal, menjadi polisi dunia, bakal mendapat hambatan, gangguan, bahkan ancaman
dari Iran. Ini membentuk sikap Amerika berprasangka kepada setiap gerakan Islam, tidak
terkecuali di Aljazair.

Nah, itulah semua sikap prasangka politik tingkat tinggi yang mengglobal. Tidak ada bedanya
dengan anak pekak yang selalu diusik oleh kekuatiran kambingnya diambil orang, seperti cerita
nenek menjelang tidur di atas itu. Adapun tentang hal sikap berprasangka yang disebabkan
oleh rasa rendah diri si ibu, oleh rasa ada monyet di punggung si ayah dan oleh rasa cemas si
gadis, pembaca dapat memperkembang sendiri, sebab ruangan ini terbatas untuk itu.

Marilah kita tutup pembahasan ini dengan Firman Allah dalam Al Quran, S.Banie Israil, ayat 36:
Wa laa taqfu ma laysa laka bihi- 'ilmun, inna ssam'a walbashara, walfuada, kullu ulaaika kaana
'anhu mas.uwlan, artinya: Dan janganlah engkau memperturutkan (prasangka) yang engkau
tidak tahu seluk- beluknya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan rasio,
kesemuaya itu akan dipermasalahkan (oleh Allah SWT di Hari Pengadilan). Ya-ayyuha
lladziyna a- manu jtanibuw katsiyran mina zhzhanni inna ba'dha zhzhanni itsmun (s. alhujuraat,
12), artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa (49:12). WaLlahu a'lamu bishshawab.

14
Nilai-Nilai yang Disimak dari Shalat, dalam
Hubungannya dengan Budaya Mundur dan
Unjuk Rasa
Agar kita sepaham atau kalau tidak sepaham, sekurang-kurangnya demikianlah pemahaman
saya, mundur dalam kontex budaya mundur tidaklah bermakna dalam arti gerak yang konkret,
"space-like" (untuk meminjam istilahnya Einstein), melainkan mengandung pengertian yang
abstrak. Seperti misalnya yang kita ucapkan dalam Shalat: Wajjahtu Wajhiya lilladziy Fathara
sSamawa-ti wa lArdha, kuhadapkan muka kepada Yang menciptakan langit dan bumi.
Menghadapkan muka di sini tidaklah bermakna dalam arah yang space-like, melainkan
abstrak, karena Allah tidak mengisi ruang yang space-like, SubhanaLlah, Maha Suci Allah dari
sifat yang demikian itu.

Ajaran Islam mengandung 'Aqiydah, Hukum Syari'ah dan Akhlaq. Ketiga unsur itu merupakan
satu sistem artinya tidak berdiri sendiri, melainkan ada kaitan di antara ketiganya, itulah yang
disebut dengan Kaffah. Dalam Hukum Syari'ah ada yang menyangkut dengan hubungan
antara manusia dengan Allah yang disebut dengan Hablun mina Lla-h dan ada yang
menayangkut dengan hubungan antara manusia yang disebut Hablun mina nNaas. Kedua sub-
unsur itu juga merupakan satu sistem, tidak berdiri sendiri, ada kaitannya.

Shalat menyangkut dengan Hablun mina Lla-h. Namun demikian, berdasar atas prinsip Kaffah
(sistem), maka Shalat itu tidaklah lepas dari Hablun mina nNaas. Dalam Fiqh pendekatan
secara Kaffah ini tidak dipakai, sebab yang dibahas hanya tentang apa hukumnya, yakni
menyangkut status wajib, bagaimana cara pelaksanaannya, apa rukunnya, persyaratan untuk
shahnya dan apa yang membatalkannya. Hal ini memang penting tetapi belum cukup. Padahal
kalau pembahasan itu memakai pendekatan Kaffah maka akan terungkap bahwa dalam Shalat
itu terdapat nilai-nilai yang mengisyaratkan bagaimana seharusnya orang itu hidup
bermasyarakat dan bernegara, Hablun mina nNaas.

Arkian, akan saya ulangi sepenggal yang pernah saya tulis dalam Seri 063. Saya teringat
sebuah peristiwa bertahun-tahun yang silam. Kejadiannya dalam bulan Rajab. Allahu yarham
H.AbdulGhani, imam tetap Masjid Syura waktu itu sedang mengimami shalat Maghrib.
Sementara membaca pangumpu' beliau diserang batuk. Beliau lalu menyingkir ke samping,
lalu Drs Sulthan BM, yang sekarang menjadi salah seorang imam tetap Masjid Syura maju ke
depan melanjutkan mengimami shalat Maghrib, bacaan pangumpu' disambung dan bacaan
serta gerak shalat diteruskan.

Dalam pengertian space-like, Allahu yarham H.AbdulGhani menyamping ke pinggir, dan dalam
arti abstrak mundur. Dalam konstruksi mesjid, pada bahagian mihrab harus ada pintu.
Maksudnya pintu itu antara lain khusus disediakan bagi imam untuk keluar masjid pergi
beristirahat, jika sementara shalat imam tidak sanggup atau tidak wajar lagi untuk mengimami
shalat. Ketidak sanggupan itu ada yang nampak, namun ada yang tidak nampak. Semisal
diserang batuk, itu adalah ketidak sanggupan yang kelihatan. Kalau mengeluarkan angin,
wudhuk akan batal, shalatpun akan batal. Dan ini adalah ketidak bolehan memimpin shalat
yang penyebabnya tidak dapat dipantau oleh makmun. Jadi etika kepemimpinan menurut Islam
seorang pemimpin akan dengan ikhlas mundur kalau sudah tidak sanggup atau tidak pantas
lagi menjadi pemimpin, apakah ketidak sanggupan atau ketidak pantasan itu dapat dipantau
atau tidak oleh para pengikutnya.

15
Adapun nilai lain dalam Shalat yang mengisyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, seorang imam (baca pemimpin) yang melakukan kesalahan, salah bacaannya atau
salah gerakannya wajib ditegur (baca unjuk rasa) oleh makmun (baca pengikut). Kalau yang
menegur itu laki-laki ucapan teguran itu adalah kalimah SubhanalLah, untuk gerakan yang
salah, dan membacakan bacaan yang benar untuk membenarkan bacaan imam. Dan kalau
yang menegur itu perempuan cukup dengan isyarat menepuk punggung tangan. Dan imam
harus tunduk pada teguran, memperbaiki bacaannya atau memperbaiki gerakannya.
Demikianlah nilai yang dapat disimak yang diisyaratkan oleh nilai dalam Shalat tentang
kepemimpinan dan kepengikutan. Seorang pengikut wajib menegur pemimpinnya. Namun cara
menegur haruslah sopan, tidak boleh vulgar. Unjuk rasa dengan kalimah SubhanalLah
bermakna bahwa Allah Maha Suci, hanya Allah yang luput dari kesalahan. Adapun manusia itu
tidak akan sunyi dari kesalahan. Pemimpin harus dengan ikhlas dan berlapang dada menerima
unjuk rasa, karena teguran itu adalah untuk memperbaiki demi kemaslahatan bersama, bukan
untuk menjatuhkan.

Apabila benar bahwa menurut penelitian budayawan dan pakar sejarah budaya mundur itu
bukanlah budaya bangsa Indonesia, maka alangkah sayangnya hal itu, oleh karena pertama,
mayoritas bangsa Indonesia adalah Ummat Islam, dan kedua, AGAMA Islam sudah berabad-
abad dianut di Indonesia ini, sehingga semestinyalah budaya mundur itu (selesai periode
Shalat, maupun sementara melaksanakan keimaman dalam Shalat) telah mengakar di
kalangan Ummat Islam di Indonesia ini.

Adalah tanggung jawab seluruh Ummat Islam agar nilai mundur yang diisyaratkan oleh 'ibadah
Shalat itu dimasyarakatkan, didarah-dagingkan, dibudayakan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Membudayakan budaya mundur bukanlah meniru-niru budaya bangsa lain,
oleh karena budaya mundur itu adalah bagian dari ajaran Islam. Yang salah besar jika teknis
pelaksanaan budaya mundur itu meniru cara bushido Jepang, harakiri. Akan halnya unjuk rasa
haruslah berlandaskan nilai SubhanaLlah. Pelaksanaan teknisnya telah dicontohkan oleh para
alim-ulama sewaktu berunjuk rasa yang sejuk tentang hal SDSB sekitar 4 bulan yang lalu di
Jakarta. WaLlahu a'lamu bisshawab.

16
Biar Lambat Asal Selamat, Takkan Lari
Gunung Dikejar
"Buat apa peribahasa itu dimunculkan kembali dari tumpukan perbendaharaan lama yang
kelihatannya sudah ketinggalan zaman? Yang sudah tidak relevan lagi dengan nilai kekinian?
Berpacu dengan waktu, atau waktu itu uang! Kita ini sekarang harus bertindak cepat, karena
cepat berarti efisien." Itulah penggalan-penggalan kalimat yang sempat saya dengar pada
waktu duduk di antara para penunggu pengantin laki-laki. Rupanya telah terjadi diskusi kecil-
kecilan sebelum saya datang bergabung di kelompok itu. Biar lambat asal selamat, takkan lari
gunung dikejar diucapkan sekadar untuk menghibur para penunggu itu untuk mengisi
kekosongan dan kebosanan karena rombongan "raja sehari" yang ditunggu itu belum kunjung
datang jua.

Sepintas lalu penggalan-penggalan kalimat yang sempat saya dengar itu kelihatannya ada
benarnya. Apapula jika diperhadapkan pada untaian kata dalam Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia: dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Maka pepatah: Biar lambat asal
selamat ini, tidak perlu diungkit-ungkit lagi, bukan lagi masanya sekarang ini untuk bersikap
demikian, cuma menghabiskan waktu saja untuk dibicarakan, tidak efisien. Demikianlah
logikanya.

Tunggu dahulu! Apa yang dikutip dari untaian kata dalam Proklamasi itu didahului oleh: dengan
cara saksama. Apa maknanya itu! Ini mengandung nilai yang masih relevan hingga kini, yaitu
nilai ketelitian, kecermatan. Orang tua yang banyak pengalaman kelihatannya lamban, tidak
tergesa-gesa, karena ia itu teliti, sudah banyak makan garam kehidupan yang serba getir, tidak
mau seperti keledai, terantuk pada patok yang sama untuk kedua kalinya. Orang muda yang
masih kurang pengalaman, belum makan garam kehidupan yang getir, memandang hidup ini
dari segi romantika cemerlangnya saja, semangat meledak-letup, rasa optimisme yang
berlebihan, maka ia itu bertindak serba cepat, tergesa-gesa.

Kedua nilai cermat dan cepat ini perlu dijadikan satu sistem, yaitu saling membingkai. Cermat
diberi berbingkai cepat dan cepat berbingkai cermat. Artinya orang tua yang lamban karena
ingin cermat, ditarik oleh orang muda supaya mempercepat langkah. "Hai Pak, yang cepat
sedikit". Sebaliknya jika orang muda terlalu cepat, berakselerasi, orang tua menahan, menarik
kebelakang. "Hai anak muda, jalan licin berjurang, perlambat langkah". Ini namanya kerja sama
antara generasi tua dengan generasi muda dalam arti yang sebenarnya.

Pepatah di atas itu tidak berlaku secara umum, yakni situasional dan berbingkai. Situasional
karena adanya pernyataan asal selamat, artinya ada ranjau yang menghadang, maka gerak
perlu diperlambat. Berbingkai karena ruang lingkup dibatasi, yang dikejar itu adalah benda
yang tidak bergerak terhadap bumi. Kalau yang dikejar itu bergerak ataupun yang datangnya
hanya sekilas, maka ingatlah cerita dalam Hikayat Tuanta Salamaka. Bagaimana pengarang
hikayat itu menyampaikan pesan berbungkus mistik, bergaya simbolisme dalam peristiwa di
telaga Mawang. Datoka ri Pa'gentungang dengan gerak cepat menyulut rokoknya pada kilat
yang menyala, menunjukkan kesigapan memanfaatkan kesempatan yang ada walaupun
sekejap. Bagaimana kalau yang dikejar itu bergerak mendekat? Juga lihat peristiwa di telaga
Mawang, Lo'moka ri Antang menyulut rokok pada titik air hujan dari pinggir saraung
(sombrero)-nya.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari dari dahulu hingga sekarang dan insya-Allah untuk masa
yang akan datang tidaklah selamanya mesti cepat. Ada yang sengaja diperlambat. Artinya
cepat dan lambat itu situasional. Agar jelas inilah contohnya. Ilmu yang sangat bermanfaat

17
dalam mengelola proyek adalah Network Planning. Apabila hasil monitoring pada kegiatan
kritis menunjukkan terjadi penyimpangan, yaitu apa yang dicapai dalam pelaksanaan ternyata
lebih lambat dari menurut jadwal, maka harus segera diadakan kontrol. Caranya ialah dengan
mempercepat kegiatan kritis yang berikutnya. Perlu pengerahan sumber daya dari unit-unit
kegiatan lain yang tidak kritis. Itu dapat dilakukan oleh karena kegiatan-kegiatan yang tidak
kritis itu mempunyai waktu longgar (float), jadi sebagian sumberdayanya dapat diambil dengan
memperlambat kegiatan-kegiatan tersebut. Sumberdaya yang diambil itu kemudian dikerahkan
untuk mengeroyok kegiatan kritis yang akan dipercepat itu. Jadi dalam aksi kontrol ini nyatalah
bahwa cepat dan lambat itu situasional. Kegiatan-kegiatan yang tidak kritis diperlambat untuk
dapat mempercepat kegiatan kritis.

Lalu bagaimana dengan ajaran Al Quran? Semua ummat Islam asal saja ia mengerjakan shalat
mesti hafal S. Al 'Ashar:

Perhatikanlah waktu!(*) Sesungguhnya manusia senantiasa dalam kerugian. Kecuali, yang


beriman, dan berbuat kebajikan, dan berwasiat tentang yang haq, dan berwasiat atas
kesabaran.

Jadi menurut ajaran Islam dalam hal waktu bukanlah soal cepat ataupun lamban yang menjadi
perhatian utama. Yang penting adalah memanfaatkan waktu untuk berbuat kebajikan,
berkomunikasi dengan sesama manusia untuk meneruskan nilai-nilai wahyu dan dalam
berkomunikasi itu tidak ceroboh, tidak tergesa-gesa, melainkan harus cermat, dan untuk itu
perlu kesabaran, karena menurut SunnatuLlah semua itu memerlukan waktu untuk berproses,
tidaklah cespleng, sebagaimana bualan pembual dalam reklame obat-obatan, kosmetika,
sedap-sedapan menthos, kristal, dll. WaLlahu a'lamu bishshawab.

(*) Wa dalam permulaan ayat (1) S. Al'Ashr tersebut menyatakan sebuah qasm, semacam
"sumpah", namun tidak cocok untuk dibahasa-Indonesiakan dengan "demi". Sebab dalam
bahasa Indonesia "demi" itu menyatakan penguatan yang ditumpukan kepada sesuatu yang
lebih "tinggi", yaitu Allah. Sedangkan qasm itu semacam "sumpah" untuk menegaskan di mana
yang "bersumpah" kedudukannya itu lebih "tinggi". Jadi Wa l'Ashri tidak cocok di-Indonesia-kan
dengan "demi waktu", melainkan "perhatikanlah waktu", karena yang berqasm di sini adalah
Allah SWT.

18
Berbuat Baik, Tetapi Tidak Berlaku Adil,
Karena Distorsi
Tentang hal berlaku adil dan berbuat baik setiap hari Jum'at kita senantiasa mendengarnya.
Sebab menjelang akhir Al Khuthbatu tsTsa-niyah, khutbah kedua, setelah doa penutup, khatib
senantiasa membacakan ayat: Inna Lla-ha Ya'muru bi l'Adli wa lIhsa-n ....., sesungguhnya Allah
memerintahkan berlaku adil dan berbuat baik. Orang tidak dapat langsung berbuat baik begitu
saja, melainkan ada prasyarat, berbuat adil. Apalah arti berbuat baik misalnya seperti untuk
ketertiban dan keindahan kota lalu membersihkan pedagang K-5 sementara Bamboden
dibiarkan terus tanpa lapangan parker sehingga sangat mengganggu ketertiban lalu lintas?
Kalau terhadap Bamboden selama ini Pemerintah Kota bersikap tiba di mata dipicingkan,
mengapa kalau terhadap pedagang K-5 bersikap tiba di mata dinyalangkan dalam hal
ketertiban dan keindahan ini? Ketidak adilan yang menimpa para pedagang K-5 ini
menimbulkan pula hal yang kontradiktif terhadap upaya berbuat baik: mengentaskan
kemiskinan! Inna Lla-ha Ya^muru bi l'Adli wa lIhsa-n, suruh kosongkan ground floor Bamboden
untuk lapangan parker, biarkanlah pedagang K-5 berdagang di tempatnya semula selama jam-
jam tertentu dan ajar mereka bersih. Saya biasa berbelanja pada pedagang K-5 di Den Haag di
Negeri Belanda. Pemerintah Kota (Gemeente) memberi kesempatan berdagang para
pedagang K-5 ini. Untuk jam-jam tertentu lalu lintas kendaraan ditutup untuk dipakai pedagang
K-5 menggelar dagangannya. Pada saya sekarang masih ada jas tebal panjang berwarna hijau
yang saya beli dari pedagang K-5 di Den Haag itu.

Mengapa orang walaupun ingin berbuat baik kebanyakan terjerembab berlaku tidak adil? Pada
umumnya ini dapat terjadi karena pandangannya mengalami distorsi. Apa itu distorsi?

Kata sahibulhikayat dalam sebuah pabrik pengilangan minyak (refinery) para isteri dari middle
hingga top managers menjelang hari raya bersepakat untuk memberikan hadiah kepada para
buruh rendahan. Untuk mengetahui jenis apa saja hadiah itu yang cocok untuk para buruh itu
dibentuklah sebuah tim untuk melacaknya. Maka pergilah tim itu ke lokasi pabrik. Namun
karena semua anggota tim itu tidak ingin sanggulnya rusak maka mereka itu cukup melihat dari
luar lokasi saja. Perlu dijelaskan bahwa untuk dapat masuk ke lokasi pabrik yang cukup luas itu
harus pakai helm. Tampaklah oleh mereka itu di mana-mana kelompok-kelompok kecil buruh
sedang mengisap rokok. Rupanya pada waktu tim itu meninjau dari luar sedang tiba waktu
istirahat. Setelah tim melaporkan hasil lacakannya diputuskanlah bahwa hadiah yang cocok
bagi para buruh itu adalah rokok. Maka pada waktu hari raya dengan bangga para isteri
managers itu menghadiahkan berpak-pak rokok kepada para buruh rendahan itu.

Para buruh yang tidak merokok merasa tidak diperlakukan adil. Apa sesungguhnya yang terjadi
ialah sample yang diambil dalam pelacakan itu, tidaklah representatif untuk mewakili populasi,
yakni para buruh itu keseluruhannya. Dalam lokasi pengilangan minyak tidak sembarang
tempat orang dapat merokok seenaknya. Untuk keperluan merokok disediakan beberapa
tempat terbuka yang aman dari bahaya kebakaran. Inilah yang sempat dilacak oleh tim,
sehingga kelihatannya para buruh itu perokok semuanya. Ini namanya distorsi. Kesalahan
terletak dalam hal mengambil sample. Tim perlu masuk ke dalam lokasi supaya dapat
mengadakan stratifikasi. Cukup dua stratifikasi saja yaitu di tempat terbuka dan ditempat
tertutup. Kesalahan tim ini pernah dilakukan oleh Sigmun Freud sebelumnya. Sigmun Freud
hanya melacak sejumlah kecil orang di Vienna saja, lalu dianggapnya sudah mewakili semua
manusia di bumi.

Tentang distorsi ini pernah terjadi di Hongaria dan di Serawak. Adapun sahibulhikayatnya
adalah Hans Roseboom, dari Research-Instituut Voor Bedrijfswetenshappen (RVB) Delft,

19
Nederland. Jadi kalau cerita dalam paragraf sebelumnya adalah imajinasi, maka cerita yang ini
adalah kejadian yang sebenarnya. Di Hongaria tim peneliti yang sedang latihan praktek
lapangan berkesimpulan angka kelahiran tinggi, sebaliknya di Serawak mereka berkesimpulan
angka kelahiran rendah. Indikator yang mereka ambil adalah perempuan hamil. Persentase
orang hamil di Hongaria lebih tinggi dari Serawak. Ternyata kesimpulan mereka itu setelah
dikroscek dengan hasil sensus tidak sesuai. Distorsi terjadi karena sample yang diambil adalah
perempuan yang ada di jalanan dalam kota. Latihan praktek lapangan di Hongaria diadakan
pada musim panas, banyak yang pergi keluar kota untuk summer vacation. Perempuan-
perempuan hamil tetap tinggal di kota. Jadi di sinilah penyebab distorsi itu. Sedangkan di
Serawak menurut tradisi mereka perempuan hamil mesti tinggal di rumah, hanya keluar bila
perlu betul. Tradisi inilah penyebab distorsi.

Lebih indah dari warna aslinya, inilah landasan dalam dunia promosi, sengaja menjebak orang
agar pandangannya mengalami distorsi. Mau yang lebih canggih lagi? Distorsi yang terjadi oleh
ulah Sudomo, membuat referensi bahwa Edy Tanzil orang baik-baik orang tepercaya, sehingga
Edy Tanzil kelihatan indah pada hal warna aslinya ternyata jelek. Inilah distorsi yang membawa
musibah 1,3 triliyun yang konon sudah membengkak menjadi 1,7 triliyun. Tentu saja ini dengan
asumsi tidak ada sogok-menyogok dalam proses mendapatkan kredit itu. Apabila asumsi ini
tidak benar, artinya ada sogok-menyogok, maka yang terjadi bukan distorsi melainkan kolusi
(kongkalikong). Apakah itu distorsi atau kolusi, inilah yang menjadi penyebab puncak ketidak
adilan, konglomerat gampang mendapat kredit yang banyak, ibarat kelong Mangkasaraq:

Iya gangga iya golla


Iya nirappo ganggai
Iya kaluku
Iya pole nisantangi
Gangga itu gula
Diberi berkuah gangga
Kelapalah dia
Diberi bersantan pula
WaLlahu a'lamu bisshawab.

20
Pesan-pesan yang Bersifat Teknis
Administratif dan yang Berupa Isyarat dalam
Al Quran
Pesan-pesan yang disampaikan yang bersifat teknis-administratif tidak akan membingungkan
dan tidak akan menghebohkan bagi yang mendengarkan pesan itu, apapun latar belakang
kebudayaan ataupun pendidikan mereka itu. Seperti misalnya tentang hal kewajiban
menuliskan perjanjian dalam S. Al Baqarah, 282:

Wa idza- Tada-yantum bi Daynin ila- Ajalin Musamma Faktubuwhu, Walyaktub Baynakum Ka-
tibun bi l'Adli,.....Falaysa 'Alaykum Juna-hun alla- Taktubuwha-, dan apabila kamu membuat
perjanjian perikatan, hutang piutang, tuliskanlah, dan mestilah dituliskan oleh seorang penulis
di antara kamu dengan adil,.....dan janganlah kamu malas untuk menuliskannya, Sejak zaman
RasululLah SAW sampai kepada hari ini kepada siapa saja, kepada bangsa apa saja, dari latar
belakang kebudayaan atupun pendidikan yang bercorak ragam, tidaklah akan membingungkan
apatah pula akan menghebohkan jika disuruh menuliskan perjanjian. Mereka itu akan cukup
mengerti.

Namun apabila yang disampaikan itu berupa informasi seperti misalnya bumi itu bergerak
mengelilingi matahari, maka ini pasti akan membingungkan bahkan menghebohkan
masyarakat Arab pada zaman RasululLah SAW dan pada masyarakat di mana saja pada
zaman itu. Mereka itu niscaya akan menolak kebenaran informasi itu, sebab berdasarkan
pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman mereka bumi yang bergerak itu sangat
bertentangan kenyataan.

Sebaliknya apabila sebuah Kitab Suci jelas-jelas mengatakan secara konkrit bahwa bumi itu
diam, agar komunikatif pada masyarakat waktu permulaan Kitab Suci diturunkan, tentu akan
ditolak oleh masyarakat seperti yang keadaannya sekarang ini yang umumnya sudah
mempunyai latar belakang pengetahuan yang telah maju. Masyarakat sekarang yang telah
maju itu bukan hanya sekadar menolak tentang informasi tentang bumi yang diam itu, bahkan
mereka itu akan menolak keseluruhan Kitab Suci itu, karena kebenaran yang dikandungnya
hanya temporer, yaitu hanya berlaku pada waktu Kitab Suci itu mulai dimasyarakatkan.

Demikian pula informasi tentang bumi ini berpusing / berputar pada subunya yang
menyebabkan terjadinya siang dan malam. Ini akan membingungkan bahkan menghebohkan
masyarakat pada zaman Kitab Suci itu mulai dikomunikasikan. Itu sangat bertentangan dengan
kenyataan. Ambillah pakaian basah, lalu putar. Air dari pakaian basah itu akan memercik, akan
terlempar. Kalau bumi berpusing, niscaya akan habislah terlempar air laut meninggalkan bumi
dan semua benda-benda yang tidak terpaku pada bumi, termasuk manusia.

Dalam hal bumi bergerak dan berpusing Al Quran memakai gaya bahasa yang tidak
membingungkan dan tidak menghebohkan masyarakat Arab di zaman RasuluLlah SAW dan
masyarakat lain di luar tanah Arab yang sezaman, ataupun yang latar budaya dan
pengetahuaannya seperti masyarakat Arab itu, serta diterima pula oleh masyarakat yang latar
belakang pengetahuannya seperti dewasa ini. Perhatikanlah gaya bahasa Al Quran mengenai
kedua materi informasi di atas itu. Wa Tara lJiba-la wa Tashabuha- Ja-midatan wa Hiya
Tamurru Marra sSaha-bi, Engkau lihat gunung-gunung dan engkau memperhitungkannya diam,
pada hal gunung-gunung itu berlari, seperti larinya awan (S. An Namal, 88). Bagi masyarakat
dahulu kala gunung yang diam yang berlari seperti larinya awan tidaklah membingungkan,
karena tidak bertentangan dengan kenyataan yang berdasarkan pengalaman sehari-hari.

21
Orang yang memacu kuda atau untanya, akan menyaksikan gunung itu berlari seperti pula
dengan larinya awan dari kejauhan. Pada hal tadinya gunung itu diam sewaktu orang itu masih
tegak dengan kudanya, diam seperti awan di kejauhan. Kitapun dapat menyaksikan hal serupa
jika naik mobil dan melihat ke tempat yang jauh, gunung itu beralari mengikuti lari kencangnya
mobil. Jangan melihat pada pohon-pohon ataupun tiang-tiang di pinggir jalan, yang berlari
kencang ke belakang. Dan jika mobil kita berhenti, gunungpun berhenti, demikian pula pohon-
pohon ataupun tiang-tiang di pinggir jalan. Ayat di atas itu mengisyaratkan bahwa kelak di
kemudian hari ilmu pengetahuan akan mengungkapkan bahwa bumi ini sebenarnya bergerak.
Kalau gunung itu diam terhadap bumi, sedangkan gunung itu berlari maka bumipun niscaya
berlari atau bergerak pula.

Selanjutnya perhatikanlah pula ayat ini: Yukawwiru lLayla 'alay nNaha-ri, wa Yukawwiru nNaha-
ra 'alay lLayli, (S. Az Zumar, 5). Kalimah Yukawwiru dalam ayat di atas asal katanya Kawwara
artinya menggulung atau memutar sorban di kepala. Output dari pekerjaan menggulung atau
memutar serban di kepala, yaitu kepala itu tertutup. Terjemahan Al Quran dengan Hak Cipta
dari Departemen Agama Republik Indonesia bunyinya demikian: Dia menutupkan malam atas
siang dan menutupkan siang atas malam. Adapun terjemahan secara tekstual itu dapat
diterima baik oleh semua orang di mana saja dan kapan saja, tidak tergantung pada latar
belakang budaya apa saja.

Ayat itu dapat pula diterjemahkan secara kontekstual dengan ilmu pengetahuan kontemporer
apabila pemahaman kata Kawwara ditekankan pada proses menggulung atau memutar
sorban. Maka ayat di atas itu dapat diterjemahkan seperti berikut: (Allah) Memutar malam atas
siang dan memutar siang atas malam. Dengan kalimah Yukawwiru dalam ayat itu,
menunjukkan mu'jizat Al Quran, yaitu suatu isyarat bahwa kelak di kemudian hari ilmu
pengetahuan akan mengungkapkan bahwa terjadinya siang dan malam itu karena perputaran
bumi pada sumbunya.

Itulah dua buah contoh tentang hal informasi yang disampaikan Al Quran mengenai bumi yang
bergerak dan berputar dengan gaya bahasa sedemikian rupa sehingga tidak membingungkan
masyarakat dahulu kala dan diterima pula oleh masyarakat sejak ilmu pengetahuan
mengungkapkan tentang hal bumi bergerak dan berputar itu. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

22
Nilai-nilai dari yang Individual Hingga ke
Universal
Sebuah pohon yang berdiri tumbuh di tengah-tengah hutan adalah bebas nilai. Akan tetapi jika
pohon itu telah bersentuhan dengan seorang individu maka melekatlah nilai padanya. Kalau
individu itu menginginkan tempat berteduh, maka pohon yang tinggi, lurus, kurang cabangnya,
tidak rimbun daunnya, pohon itu tidak mempunyai nilai bagi individu tersebut. Pohon itu hanya
akan bernilai bagi seorang individu yang menginginkan pohon itu dijadikan tiang layar perahu.
Demikian pula pohon yang banyak cabang, rimbun daunnya tidak akan bernilai jika individu itu
menginginkan tiang layar, dan baru bernilai jika individu itu menginginkan tempat berteduh dari
terik matahari. Jadi nilai sesuatu ditentukan oleh keinginan kita, atau dengan perumusan yang
lebih singkat, nilai itu sesuatu yang kita ingini. Apa yang dikemukakan di atas itu menyangkut
nilai yang individual sifatnya, nilai individual.

Kayu gelondongan dapat kita tingkatakan nilainya, yaitu dengan mengubahnya menjadi balok
dan papan. Atau dalam bahasa ekonomi benda berupa balok dan papan itu mempunyai nilai
tambah. Proses yang mengubah kayu gelondongan menjadi balok dan papan yang telah
mempunyai nilai tambah itu disebut teknologi. Jadi teknologi adalah suatu proses yang
memberikan nilai tambah pada suatu benda. Makin canggih teknologi, makin canggih pula nilai
tambah yang dihasilkannya. Dari apa yang telah dijelaskan itu, maka teknologi itu berurusan
dengan bidang-bidang yang menyangkut ilmu pengetahuan dan alat-alat yang menyangkut apa
yang mesti dilakukan terhadap benda, cara dan teknik memproduksi benda-benda, lingkungan
secara menyeluruh tempat benda-benda itu diproduksikan, dan keinginan kelompok untuk
mengkonsumsi produksi itu, yang biasa disebut pasar. Dengan demikian teknologi itu
menjangkau masalah materi, masalah keinginan kelompok, nilai kelompok. Teknolgi tidaklah
bebas nilai.

Nilai kelompok jika ditingkatkan akan menjadi nilai budaya. Nilai budaya sebagai suatu sistem
memberikan corak dan warna bagi kebudayaan atau sivilisasi suatu bangsa. Biasanya ada
pembedaan antara pengertian kebudayaan dengan sivilisasi. Pada umumnya dikatakan orang
bahwa kebudayaan bersifat immaterial sedangkan sivilisasi sebaliknya. Atau dengan ungkapan
lain, kebudayaan itu adalah perangkat halus (soft ware) dan sivilisasi itu perangkat kasar (hard
ware). Bagi saya sendiri, kedua pengertian itu merupakan satu kesatuan, tidak dapat
dibedakan. Di mana ada perangkat kasar, di situ mesti melekat perangkat halus. Barangkali
jalan pikiran ini, tanpa banyak penjelasan, dapat dengan mudah diikuti. Yaitu dengan potret
teknologi di atas. Dalam teknologi seperti yang telah diuraikan di atas terpadu di dalamnya
perangkat halus dan perangkat kasar. Kebudayaan dan sivilisasi, kultur dan sivilisasi saling
melebur diri menjadi satu sistem. Insya Allah kita akan kembali memperbincangkan
kebudayaan dan sivilisasi ini dalam kesempatan yang lain.

Pada umumnya bangsa-bangsa di dunia kita sekarang ini terdiri dari masyarakat majemuk, tak
terkecuali bangsa Indonesia. Setiap kelompok masyarakat yang merupakan sub-kultur dalam
ruang lingkup bangsa Inonesia, disebut kebudayaan daerah. Dari sekian sistem nilai dari
kebudayaan daerah itu, setelah mengalami proses kristalisasi, akan terangkat menjadi sistem
nilai tingkat nasional, dan disebutlah dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Adapun nilai-nilai
yang berkristal itu akan menjadi nilai dasar yang kita kenal dengan pandangan hidup bangsa.
Bagi bangsa Indonesia sistem nilai hasil kristalisasi itu terdiri atas lima nilai dasar yang
tersusun secara sistematis hirarkis, bertangga turun, berjenjang naik, seperti tercantum dalam
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

23
Nilai budaya tidaklah segala-galanya. Masih ada di atasnya yaitu nilai universal. Adapun nilai
universal ini sumbernya tidaklah historis, tidak seperti nilai budaya yang sumbernya historis.
Nilai universal ini bersumber dari Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Pengatur universum.
Nilai univerasal ini diturunkan Allah kepada ummat manusia berupa wahyu yang diwahyukan
kepada para manusia pilihan yang disebut Nabi dan Rasul. Nilai universal yang bersumber dari
wahyu ini disebut Syari'at Islam, risalah yang dibawakan Nabi dan Rasul terakhir, yaitu Nabi
Muhammad RasulLah SAW, yang menerima wahyu itu dalam bulan Ramadhan, sebagaimana
Firman Allah dalam Al Quran, S. Al Baqarah, 285:

Syahru ramadhana-lladziena unzila fiehi-lQuran hudan li-nnasi wa bayyinatin mina-lhuda wa-


lfurqan, bulan Ramadhan yaitu di dalamnya (mulai) diturunkan Al Quran, petunjuk bagi
manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan Al Furqan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

24
Pengendalian Diri
Dalam Harian Fajar, edisi Rabu, 14 Agustus 1996, pada halaman 1, dapat kita baca
pemberitaan yang seimbang, bukan hanya sekadar covering both sides, melainkan three sides,
yaitu masing-masing dari sisi Ketua DPRD Ujung Pandang, dari sisi LBH Ujung Pandang yang
terdiri atas dua orang, seorang dari anggota LBH kuasa hukum warga Tamamaung serta dari
Direktur LBH Ujung Pandang, dan dari sisi warga Tamamaung Ujung Pandang.

Kita mulai kutip berita dari sisi Ketua Dewan. Ketika saya kejar keluar, sebenarnya saya mau
tanya, maksud dia apa dengan memperkeruh suasana. Tapi tiba di luar, dia justru lari terbirit-
birit sampai naik pete-pete. Di mana tanggung jawabnya. Tidak dipersilakan bicara, kok bicara
terus. Saya gebrak meja. Dia malah peringati saya untuk tidak berbuat begitu. Saya gebrak
meja lagi, lalu saya suruh keluar. Kalau mau bicara harus seizin pimpinan pertemuan. Jangan
menjadikan DPRD sebagai ajang mimbar bebas. Ada yang ingin menjadi pahlawan dalam
masalah ini, dan orang itu layak disebut pahlawan kesiangan. Tidak semua pernyataan yang
disampaikan warga Tamamaung bisa langsung diterima. Semua harus dicek dulu. Sebab
belum tentu pernyataan-pernyataan itu murni dari warga. Mungkin saja sudah direkayasa dan
warga itu sudah ditunggangi.

Itulah pemberitaan dari sisi Ketua Dewan. Selanjutnya kita ikuti pemberitaan dari sisi anggota
LBH Ujung Pandang, kuasa hukum warga Tamamaung. Pak ketua dewan tak hanya mengusir.
Ketika saya keluar, dia malah memburu saya dan berteriak-teriak. Dia benar-benar lepas
kontrol, sampai-sampai kancing bajunya bagian atas terlepas. Saat itu ketua Dewan
menanyakan siapa lagi yang akan dipanggil polisi, lantas ada warga yang menyebut nama
seseorang. Itu sebabnya saya kemudian ikut berbicara, memberi penjelasan bahwa warga
hanya menjawab pertanyaan ketua Dewan. Anggota LBH itu tak menyangka kalau reaksi ketua
Dewan justru teramat keras. Menurut anggota LBH itu, sembari menggebrak meja ketua
Dewan membentak. Diam. Saya tak butuh LBH. Tanpa LBH saya bisa diterima rakyat.
Bentakan ini dijawab: Saya ke sini untuk mendampingi mereka, Pak. Mereka kan rakyat Bapak
juga. Dan tidak perlu memukul meja. Ketua Dewan kembali menggebrak meja. Saya yang
berhak di sini. Keluar kau.

Selanjutnya mari kita ikuti pemberitaan dari sisi warga Tamamaung. Warga Tamamaung yang
menyaksikan kejadian itu menyatakan kekecewaannya. Menurut salah seorang warga
Tamamaung, kedatangan ke DPRD dibarengi harapan agar rencana penggusuran tanah yang
mereka tempati bisa teratasi. Dengan sikap ketua Dewan yang seperti itu, kami seperti tak
punya harapan lagi. Kemana lagi kami harus menyalurkan aspirasi?

Terakhir kita kutip pemberitaan dari sisi Direktur LBH Ujung Pandang. Bagi LBH Ujung
Pandang perlakuan ketua Dewan dinilai sudah keterlaluan. Tapi kami tidak akan melayangkan
protes keras. Sebagai rakyat, kami hanya akan memberi nasihat kepada wakil kami yang
duduk di DPRD itu. Soalnya, mereka bisa duduk di dewan karena pilihan rakyat juga. Apa
bukan begitu.

Ada dua hal yang menarik dari sikap arogan ketua Dewan. Yang pertama sikap arogan yang
diakibatkan oleh kepribadian kurangnya pengendalian diri. Yang kedua sikap arogan yang
ditimbulkan oleh semacam penyakit yang umum yaitu penyakit ego sektoral. (Saya tak butuh
LBH. Tanpa LBH saya bisa diterima rakyat). Sikap ego sektoral ini menyebabkan orang
mengira hanya lembaganya saja yang penting, lembaga yang lain tidak penting, tidak berpikir
secara pendekatan sistem, tidak menghayati yang disebut sinergi.

25
Setiap tahun satu bulan penuh ummat Islam berlatih untuk mengendalikan dirinya. Orang yang
beriman yang telah mampu mengendalikan dirinya akan meningkat ke derajat ruhaniyah yang
tertinggi yaitu taqwa.

Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Kutiba 'Alaykumu shShiya-mu Kama- Kutiba 'alay Lladziyna min
Qablikum La'allakum Tattaquwna (S. Al Baqarah, 183). Hai orang-orang beriman diwajibkan
atasmu berpuasa seperti telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu
bertaqwa (2:183). WaLlahu A'lamu bi shShawab.

26
Kejujuran
Besok insya Allah Belo akan memberikan jawaban resmi dan terbuka sesuai dengan janjinya
untuk membantah atau membenarkan omongannya di der Spiegel (artinya cermin).
Sebelumnya Belo telah membantah melalui Kapolda Dili. Adalah logis bahwa Belo harus
membantah, sebab kalau ia membenarkan (andaikata itu memang benar) maka tentu berat
baginya, berat dugaan saya ia tidak akan berani membenarkan der Spiegel (andaikata itu
memang benar). Bantahan Belo meragukan sebahagian orang, oleh karena kalau ia memang
benar tidak berkata demikian, mengapa tidak serta merta mengirim surat pernyataan bantahan
untuk dimuat dalam der Spiegel sendiri. Mengapa ia begitu terlambat membantah (andaikata ia
ingin membantah)? Mengapa baru membantah setelah ia didesak untuk menjawab? Mengapa
ia tidak menjawab dalam der Spiegel sendiri? Maka terpulang kepada diri kita masing-masing
siapa yang bohong, siapa yang jujur. Belokah atau der Spiegelkah?

Berbicara soal kejujuran lebih baik kita tinggalkan dahulu Timor Timur untuk sejenak menoleh
ke arah perkebunan kelapa di pulau Selayar dalam kalangan petani kelapa baik sebagai pemlik
tanah, maupun sebagai penggarap, dan di situ kita akan berjumpa dengan kejujuran. Pada
umumnya pemilik tanah di pulau itu tidak mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk
mengerjakan tanahnya, namun tetap ingin menikamti hasilnya. Maka pemilik tanah menyuruh
orang lain yaitu penggarap untuk menegrjakan tanahnya, dan kemudian penggarap
menyerahkan sebahagian hasilnya kepada pemilik tanah, berdasar atas perjanjian bagi hasil
yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan dalam proses timbulnya perjanjian bagi hasil itu
pada dasarnya tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.

Perjanjian bagi hasil itu di samping dilatar-belakangi oleh keadaan saling membutuhkan atas
dasar suka rela, bukan paksaan, maka dapat pula didorong oleh rasa kekeluargaan dan saling
tolong-menolong di antara pemilik tanah dengan penggarap secar turun-temurun. Bentuk
perjanjian bagi hasil dalam masyarakat dilakukan dalam bentuk tidak tertulis serta tidak
melibatkan secara langsung saksi-saksi dari kedua belah pihak. Nanti setelah penggarap
melaksanakan pengolahan tanah, barulah pemilik dan penggarap memberitahukan kepada
orang lain bahwa mereka mengadakan perjanjian bagi hasil dan bahkan biasanya mereka
secara aktif memberi-tahukan kepada orang lain, melainkan banyak-banyak orang lain tahu
akan adanya perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap, setelah orang lain
bertnya karena yang dilihatnya yang menggarap bukanlah pemilik tanah dari tanah yang
digarap itu. Pemberi-tahuan ini bukanlah suatu keharusan.

Hal ini disebabkan karena masyarakat masih dipengaruhi oleh adat kebiasaan, sehingga
perjanjian bagi hasil tidak dilakukan secara tertulis, hanya dalam bentuk lisan, bentuk
kesepakatan yang dirumuskan dengan saling pengertian belaka. Hal ini semata-mata
bersandarkan pada adat kebiasaan yang turun-temurun yang dilakukan dengan berpatokan
pada pola yang diberlakukan sebagai kesepakatan bersama oleh warga masyarakat.

Dituangkannya perjanjian bagi hasil secara tidak tertulis oleh karena masih kuatnya
penghormatan masyarakat setempat terhadap integritas sesama, para warga masyarakat
masih senantiasa saling menghormati dan memberikan kepercayaan satu dengan yang lain.
Pemilik tanah dan penggarap tidak akan mengingkari apa yang mereka telah sepakati bersama
dan masing-masing pihak akan melaksanakan apa yang mereka telah perjanjikan. Kepastian
hukum untuk tidak mengingkari perjanjian itu berdasar atas nilai sub-kultur di Sulawesi Selatan,
yaitu harga-diri (siri') dan solidaritas sosial (passe, pesse, pacce). Oleh karena pemilik tanah di
Kabupaten Selayar mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi dari penggarap, maka
pemilik tanah tidak akan mengingkari apa yang telah mereka sepakati, karena apabila ia tidak
melaksanakan sesuai dengan kesepakatan, maka tentu harga dirinya (baca: siri') akan terusik,

27
nama baiknya akan tercemar di mata masyarakat. Demikian pula halnya dengan penggarap, ia
akan melaksanakan apa yang telah dijanjikannya sesuai dengan kesepakatan, karena ada
rasa segan dan hormat kepada pemilik tanah.

Adanya pengaruh rasa solidaritas sosial yang tinggi (passe) untuk hidup berdampingan secara
damai dan tenteram, saling menghargai dan saling menghormati, sehingga meskipun
perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara lisan tanpa saksi-saksi, kenyataannya sampai
sekarang hampir tidak pernah terjadi sengketa antara pemilik tanah dengan penggarap dalam
hal melaksanakan perjanjian bagi hasil perkebunan kelapa. Nilai siri' dari pihak pemilik tanah,
nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap membuahkan
nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini sama nilainya dengan kepastian hukum.

Namun perlu ditekankan bahwa persengkataan yang sering terjadi adalah di antara anak cucu
yang orang tua ataupun nenek moyangnya membuat perjanjian secara lisan dahulu, tetapi ini
bukan perjanjian bagi hasil melainkan transaksi hak kepemilikan tanah. Itu adalah cerita hingga
dewasa ini, namun untuk masa yang akan datang adanya angin puting beliuang dari
globalisasi, nilai siri' dari pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan
hormat dari pihak penggarap tidak akan mampu bertahan. Lemahnya pertahanan itu oleh
karena sekarang ini tidak ada lagi lembaga adat di Kabupaten Selayar yang bertanggung
jawab atas nilai-nilai itu. Siri' dan passe hanya dipertahankan secara individual, sehingga tidak
akan mampu bertahan. Dalam keadaan yang demikian itu perjanjian secara lisan tanpa saksi
yang tidak lagi diikat oleh nilai-nilai itu di masa-masa yang akan datang, akan menjadikan
perjanjian itu tidak lagi menjamin kepastian hukum tentang kedudukan kedua belah pihak.

Demikianlah nilai kejujuran itu akan kian memudar, karena sudah tidak ada lagi lembaga adat
yang memeliharanya. Maka benteng pertahanan yang paling ampuh adalah nilai-nilai agama,
asal saja lembaga-lembaga keagamaan dapat bekerja dengan kinerja yang tinggi dalam arti
metode da'wah harus membuahkan efisiensi dan efektivitas yang tinggi, dan aktivitas yang
agresif untuk dapat memberikan serangan balik atas angin puting-beliung globalisasi. Dan di
samping meningkatkan kinerja lembaga-lembaga keagamaan, maka masyarakat di pedesaan
jangan lupa mengaplikasikan teknik administrasi menurut qaidah agama dalam melakukan
perikatan perjanjian, seperti telah lazim dipakai di kota-kota biasa maupun metropolitan. Ya-
ayyuha lladziyna a-manuw idza- tada-yantum bidaynin ila- ajalin musamman faktubuwhu
walyaktub baynakum ka-tibun bil'adl (S. Al Baqarah, 252), artinya: Hai orang-orang beriman,
apabila mengadakan perjanjian perikatan utang-piutang untuk waktu yang ditetapkan, maka
tuliskanlah, dan haruslah dituliskan oleh seorang notaris dengan adil (2:252). WaLlahu A'lamu
bi shShawab.

28
Kejujuran Dalam Terpaan Angin Puting
Beliung Globalisasi
Sesungguhnya seri ini merupakan satu kesatuan dengan Seri 251 hari Ahad yang lalu yang
berjudul: Kejujuran. Melalui telepon saya menerima pertanyaan, mengapa bagian Seri 251
yang terakhir tidak jelas, seakan-akan ada yang hilang. Tanggapan itu betul. Memang ada yang
hilang, karena saya salah potong. Secara singkat Seri 251 yang lalu seperti berikut: Bentuk
perjanjian bagi hasil dalam masyanakat dilakukan dalam bentuk yang tidak tertulis serta tidak
melibatkan secara langsung saksi-saksi dan kedua belah pihak. Siri’ dari pihak pemilik tanah,
passe (posse, pacco) dari kedua belah pihak, segan dan hormat dari pihak pengelola
membuahkan nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini sama nilainya dengan kepastian hukum di
antara kedua pihak yang mengadakan perikatan penjanjian, Kalimat terakhir dari Seri 251 akan
saya kutip: Di samping meningkatkan kinerja lembaga-lembaga keagamaan, maka masyarakat
dipedesaan jangan lupa mengaplikasikan tehnik administrasi menurut kaidah agama di dalam
melakukan perikatan perjanjian, seperti telah lazim dipakai di kota-kota. Adapun yang
dimaksud dengan mengaplikasikan tehnik administrasi menunut kaidah agama, seperti Firman
Allah:

Nun, walQalami, waMa- Yasthuruwn, perhatikanlah pena dan apa yang mereka tuliskan. (S. Al
Qalam 1). Selanjutnya: Wa Idza- Tada-yantum biDaynin Ilay Ajalin Musammay faktubuwhu,
walYaktub Baynakum Ka-tibun bil Adli, dan apabila kamu membuat penjanjian perikatan,
hutang piutang, tuliskanlah, dan mestilah dituliskan oleh seonang notaris di antana kamu
dengan adil, (S. Al Baqarah, 282).

Seperti telah dikemukakan dalam Seri 251 dengan datangnya angin puting-beliung globalisasi,
nilai siri’ dan pihak pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat
dari pihak penggarap tidak akan mampu bertahan. Lemahnya pertahanan itu oleh karena
sekarang ini tidak ada lagi lembaga adat yang bertanggungjawab atas nilai-nilai itu. Siri’ dan
passe yang membuahkan nilai kejujuran hanya dipertahankan secara invidual, sehingga tidak
akan mampu bertahan. Dalam keadaan yang demikian itu sudah tidak mungkin lagi terdapat
kepastian hukum dalam perjanjian secana lisan tanpa saksi, oleh karena nilai kejujuran
(internal) yang nilainya sama dengan kepastian hukum sudah pudar. Oleh sebab itu untuk
menjamin kepastian hukum harus ada peraturan (eksternal), yaitu haruslah perjanjian perikatan
itu secara tertulis oleh notaris seperti yang diperintahkan oleh kaidah agama menurut S. Al
Baqanah, 282 yang telah dikutip di atas itu.

Semua ilmu dan metode yang dihasilkan untuk mengalihkan benda ke benda yang mempunyai
nilai ekonomis, yang disebut nilai tambah, akan bermuara pada kemajuan sivilisasi dalam
wujud keseragaman dan kemudahan hidup zahiriyah. Sivilisasi adalah konsep materialistik.
Kebudayaan sebagai perangkat halus ibarat jiwa sivilisasi sebagai tubuh kasar dan itu
menunjukkan bahwa tataran kebudayaan lebih tinggi dari sivilisasi. Arus globalisasi adalah arus
sivilisasi.

Bangsa yang tinggi peradabannya bukan hanya sekadar yang maju sivilisasinya, melainkan
sivilisasi dari bangsa itu harus bermuatan nilai-nilai budaya yang banyak menyerap nilai-nilai
wahyu. Rukun Islam yang pertama menanamkan nilai kejujunan dalam lubuk hati. Pengakuan
dua Kalimah Syahadatain haruslah diucapkan di mulut, dibenarkan oleh pikiran dan diyakinkan
dalam qalbu. Itulah hakikat kejujuran, itulah istiqamah, konsistensi, tidak boleh ada perbedaan
antara yang diyakinkan dengan yang dipikirkan, tidak boleh ada perbedaan antara yang
diyakinkan dengan yang diucapkan. Jika sikap istiqamah setiap individu ditingkatkan menjadi
barisan: Kaanahum Bunyanun Marshuwshun (61:4), laksana bangunan bangunan yang
bershaf-shaf teratur, maka dalam kondisi yang demikian itu, insya Allah, kita siap menantang,

29
memberikan serangan balik atas terpaan angin puting beliung globalisasi sivilisasi yang bertiup
dari barat. WaLlahu A’lamu bi shShawab.

30
Fitnah
Fitnah setelah menjadi kosa kata bahasa Indonesia maknanya sudah menyimpang dari bahasa
asalnya yaitu bahasa Al Quran. Menurut bahasa Indonesia memfitnah adalah menuduh
seseorang mengatakan atau berbuat yang sesungguhnya orang yang dituduh itu tidak pernah
mengatakan ataupun berbuat seperti yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi menurut bahasa
Al Quran fitnah bermakna musibah dalam kualitas cobaan, atau teguran keras, ataupun
kemurkaan dari Allah SWT. Ketiga ayat di bawah ini menjelaskan kepada kita apa yang
dimaksud dengan fitnah itu.

WA'ALMWA ANMA AMWALKM WAWLADKM FTNT WAN ALLH 'ANDH AJR 'AZHYM (S.
ALANFAL, 28), dibaca: wa'lamu- annama- amwa-lukum wa awla-dukum fitnah (s. al anfa-l),
artinya: Ketahuilah bahwa harta-harta kamu dan anak-anak kamu itu fitnah (8:28).

Dalam ayat (8:28) ini fitnah berarti cobaan dari Allah SWT. Orang tua almarhumah Anni
Mujahidah Rasunah (Una) yaitu suami isteri Drs. Jubaedi Saleh dan Dra. Nur Huda Noor
mendapat cobaan dari Allah SWT. Dalam tayangan televisi Jubaedi Saleh tampak tegar
menerima cobaan itu. Una, anak kesayangan mereka, umur 9 tahun yang telah menghafal 2
juz Al Quran dibantai oleh Benny yang kabarnya penderita Schizophrenia. Menghadapi orang
gila semacam itu masyarakat kecil yang bertanggung jawab dalam hal penyakit gila ini
kelihatannya terlalu sok (ero' nikana) manusiawi. Mestinya orang gila semacam itu karena tidak
dapat dijamin kesembuhannya diisoler saja secara tradisional: dipasung pada batang dedap!
Demikian pula sikap sok normatif formalistis tidak boleh menjadi hakim sendiri, sehingga Benny
dibawa hidup-hidup ke rumah sakit, tidak membiarkan saja ia mampus diamuk massa,
menyebabkan kemarahan massa yang ingin menegakkan siri' na pacce bertambah meluap-
luap. Sebenarnya andaikata Benny dibiarkan saja mampus diamuk massa maka prinsip tidak
boleh menjadi hakim sendiri sudah terpenuhi juga, karena massa tidak menjadi hakim sendiri
melainkan menjadi hakim beramai-ramai. Akhirnya kota Makassar menjadi lautan api.

TKN FTNT FY ALARDH WFSAD KBYR (S. ALANFAL, 73), dibaca: Takun fitnatun fil ardhi wa
fasa-dung Kabi-yr (s. al anfa-l), artinya: terjadilah fitnah di bumi dan kerusakan besar (8:73).

Dalam ayat (8:73) ini fitnah berarti peringatan keras dari Allah SWT. Allah telah memberikan
peringatan keras dengan menghancurkan klub-klub malam di Jalan Sulawesi, Jalan Nusantara
dan di tempat-tempat lain di Kota Makassar ini, melalui tangan-tangan mereka yang bersimpati
menegakkan harga diri dan solidaritas (appaenteng siri' siagang pacce) dari suami-isteri yang
mendapat cobaan dari Allah SWT itu.

Tempat-tempat hiburan (klub malam) yang dijadikan persyaratan sebuah kota metropolit
ataupun megapolit adalah suatu mithos yang menyesatkan ummat. Mithos ini wajib dipupus
dari benak para penanggung-jawab pembangunan kota metropolit seperti Kota Makassar ini
dan kota-kota lain. Dengan dihancurkannya klub malam di Jalan Sulawesi, Jalan Nusantara
dan di tempat-tempat lain maka para penanggung-jawab pembangunan kota perlu ihtisaban,
introspeksi. Bahwa hancurnya tempat-tempat maksiyat klub malam yang sesungguhnya tempat
pelacuran terselubung tersebut merupakan teguran keras dari Allah SWT, karena telah
memberikan perizinan berdirinya tempat-tempat tersebut. Bahwa tanpa klub malam tersebut
Kota Makassar tidak akan berkurang nilainya sebagai kota metropolit, dan bahwa tanpa uang
setoran pajak dari tempat-tempat maksiyat itu Pemda tidak akan menjadi miskin karenanya,
dan tanpa pajak pendapatan dari tempat-tempat maksiyat itu Pemda insya Allah akan dapat
menyesuaikan diri dalam pendanaan pembangunan kota, dan bahwa dengan tidak masuknya
lagi pajak dari tempat-tempat maksiyat itu kas Pemda akan menjadi bersih dan akan mendapat
barakah dari Allah SWT.

31
ANA J'ALNHA FTNT LLZHALMYN (S. ALSHFT, 63), dibaca: Inna- ja'alna-ha- fitnatal lizhzha-
limi-n (s. ashshafa-t), artinya: sesungguhnya Kami jadikan ia (pohon zaqqum) fitnah bagi
orang-orang aniaya (37:63). Pohon zaqqum adalah pohon pahit yang tumbuh di dasar neraka.

Dalam ayat ini fitnah berarti kemurkaan atau kutukan dari Allah SWT. Orang-orang aniaya
dalam kontex kerusuhan di Kota Makassar ini adalah mereka yang berkolusi baik dari pihak
oknum pejabat maupun dari pihak pengusaha non-pribumi yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan sosial yang selanjutnya menimbulkan kecemburuan sosial.

Sebenarnya secara teori kita bangsa Indonesia telah mempunyai nilai dasar dalam Pembukaan
UUD-1945 alinea ke-4 dan nilai instrumen dalam GBHN yang dapat mencegah terjadinya
kesenjangan sosial. Yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasil pembangunan. Sayangnya nilai praxis tidak jalan karena
terjadinya kolusi antara oknum pejabat dengan pengusaha non-pribumi. Maka nilai dasar dan
nilai instrumen itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, bahkan terjadi sebaliknya dari yang dikehendaki oleh nilai dasar dan nilai
instrumen, yaitu terjadinya kesenjangan sosial yang menimbulkan kecemburuan sosial.

Syahdan, marilah kita kaji ayat yang berikut:

WATQWA FTNT LA TSHYBN ALDZYN ZHLMWA MNKM KHASHT W'ALMWA AN ALLH


SYDYD AL'AQAB (S. ALANFAL, 25), dibaca: wattaqu- fitnatal la- tushi-bannal ladzi-na
zhalamu- mingkum kha-shshah (s. al anfa-l), artinya: Hindarkanlah fitnah yang tidak hanya
akan menimpa orang-orang aniaya secara khusus, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras
siksaanNya (8:25).

Dalam ayat ini fitnah dalam kontex peristiwa 15, 16 dan 17 September 1997 di Makassar
adalah musibah kemarahan massal yang timbul karena kecemburuan sosial dalam budaya siri'
na pacce, akibat terjadinya kesenjangan sosial hasil kolusi oknum pejabat dengan pengusaha
non-pribumi yang dipicu oleh pelatuk anak perempuan berumur 9 tahun yang baru pulang dari
mengaji yaitu Anni Mujahidah Rasunah yang dibantai oleh Benny yang semestinya dipasung.
Dalam aksi solidaritas yang non-proporsional itu bukan yang aniaya saja yaitu yang berkolusi
yang ditimpa musibah melainkan orang-orang non-pribumi yang baik-baikpun (walaupun
jumlahnya tidak banyak) kena getahnya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

32
Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, Inti Norma Agama
Menurut Islam
Walaupun manusia itu makhluk individu, namun ia tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya.
Itulah keterbatasan manusia, ia tak mungkin mampu memenuhi segala kebutuhannya. Ia perlu
pertolongan orang lain, dan di samping itu ia perlu pula menolong sesamanya, sehingga ia juga
makhluk sosial. Fabel (cerita perumpamaan) tentang orang buta dengan orang lumpuh
menggambarkan perlunya tolong menolong. Sang buta memikul sang lumpuh di atas kedua
bahunya. Integrasi itu menghasilkan sinergi melihat dengan mata sang lumpuh dan berjalan
dengan mempergunakan kaki sang buta. Kemampuan sang buta yang dapat berjalan mengisi
kelemahan sang lumpuh yang tidak dapat berjalan. Kemampuan sang lumpuh yang dapat
melihat mengisi kelemahan sang buta yang tidak dapat melihat. Yang mampu mengisi yang
lemah, yang lemah diisi oleh yang mampu. Di sinilah pentingnya inter-aksi antara manusia
yang satu dengan yang lainnya, manusia harus bekerjasama, bantu-membantu untuk
memenuhi masing-masing hajat kehidupannya. Manusia harus hidup berjama'ah.

Dalam konteks hidup berjama'ah ini dapatlah difahami hikmah shalat berjama'ah, yang nilainya
27 kali dari shalat sendirian. Kebiasaan shalat berjama'ah akan menciptakan inter-aksi dan
integrasi di antara anggota jama'ah. Yang paling penting ialah bagaimana sedapat mungkin
filosofi shalat berjama'ah itu diaktualisasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya
kekompakan anggota jama'ah dalam satu komando dari pimpinan, tetapi dengan tegas
anggota jama'ah menegur ataupun meluruskan komando yang salah dari pimpinan, serta
kesadaran dari pimpinan untuk segera memperbaiki kesalahan dalam arti pimpinan itu
meluruskan kembali arah komadonya kepada jalan yang benar.

Dalam melakukan inter-aksi, tidak jarang terjadi konflik antara satu dengan yang lainnya.
Konflik ini dapat saja disebabkan oleh yang bersangkutan saling memperebutkan suatu obyek
kehidupan, mungkin pula adanya kepentingan yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya, dapat pula adanya sikap yang berbeda dalam memandang sesuatu, atau tak jarang
pula bersumber dari dalam diri manusia yaitu sifat serakah, hasad, dengki, mau menang
sendiri, angkuh dan dorongan naluri mempertahankan diri di atas ambang batas yang wajar.
Konflik yang terjadi di antara dua kubu yang bertikai akar permasalahannya niscaya terletak
dalam salah satu ataupun kombinasi dari beberapa sebab-sebab yang dikemukakan di atas
itu.

Demikiankah dalam berinter-aksi itu dibutuhkanlah suatu norma atau tata-kehidupan yang
dapat mengatur dan mengarahkan manusia, sehingga manusia dapat hidup aman dan
tenteram, tertib dan damai. Tanpa norma dan kaidah kehidupan maka jelas pertikaian,
pertentangan dan berjenis konflik lainnya niscaya akan terus berkepanjangan. Dengan norma
dan kaidah itu manusia dapat diatur sehingga dapat hidup berdampingan, berinter-aksi, dalam
melakukan aktivitas kehidupan.

Karena itulah Allah SWT Yang Maha Tahu di samping menciptakan manusia sebagai khalifah di
atas bumi ini, juga menuntun manusia dengan norma agama yang diwahyukan kepada
RasulNya. Dengan norma agama tersebut yang harus dipatuhi oleh manusia, dapatlah
manusia itu diharapkan akan melakukan aktivitas kehidupannya dengan terarah dan teratur.
Norma agama tersebut dimaksudkan untuk membimbing, mengatur dan mengarahkan hidup
dan kehidupan manusia demi keselamatan, kebahagian dan kesejahteraan ummat manusia.
Norma itu diatur dalam Kitab-Kitab Suci yang berasal dari wahyu yang diturunkan kepada para
Rasul yang disampaikan kepada ummat manusia dari zaman ke zaman. Rasul yang terakhir

33
adalah Nabi Muhammad SAW dan Kitab Suci yang terakhir adalah Al Quran. Firman Allah
SWT:

ALQRAN HDY LLNAS W BYNT MN ALHDY W ALFRQAN (S. ALBQRT, 2:185), dibaca: Alqur.a-
nu hudal linna-si wa bayyina-tim minal huda- wal furqa-ni (S. Al Baqarah), artinya: Al Quran,
petunjuk bagi manusia, dan penjelasan tentang petunjuk itu dan Al Furqan (2:185).

Al Furqan berasal dari akar: Fa, Ra, Qaf, artinya mengerat, memisahkan dua substansi,
bermakna pembeda antara yang positif dengan negatif. Al Furqan adalah norma mutlak, norma
agama yang secara tegas memberikan petunjuk mana yang ma'ruf, mana yang mungkar.
Norma agama ini mengatur dimensi kehidupan duniawi menuju kehidupan ukhrawi. Dengan
perkataan lain, norma agama mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan sekaligus
mengatur hubungan antar-manusia bahkan antara manusia dengan alam sekitarnya.

Hubungan antara manusia dengan Allah menyangkut akhlaq beraqidah dan akhlaq
menjalankan syari'ah yang ubudiyah. Aqidah khusus menyangkut pokok-pokok keimanan yang
berintikan tawhid (mengesakan Allah). Sedangkan syari'ah yang ubudiyah menyangkut sopan-
santun dalam berkomunikasi dengan Allah SWT, yang secara populer dikenal dengan ibadah
dalam pengertian yang sempit.

Hubungan antar-manusia dan hubungan antara manusia dengan alam sekitar menyangkut
akhlaq melaksanakan syari'ah yang muamalah. Di sini diatur tentang cara-cara melakukan
hubungan atau inter-aksi dengan sesama manusia dan tentang pengelolaan alam sekitar,
sumberdaya alam serta lingkungan hidup dalam fungsi manusia sebagai khalifah di atas bumi.
Syari'ah yang muamalah bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan serta
kemaslahatan umum. Norma agama dalam konteks syari'ah yang muamalah di samping tidak
menghendaki kerawanan sosial dan segala bentuk kemungkaran, juga memberikan motivasi
kepada penganutnya untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh memerangi kemiskinan
dan kebodohan sebagai sumber kerawanan sosial. Syari'ah yang mualamah itu intinya
berhubungan dengan norma tentang sikap dan perilaku yang seharusnya dilakukan, ataupun
yang seharusnya dihindarkan. Inilah yang dikenal dengan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar, berbuat
kebajikan dan mencegah kemungkaran.

Paket norma yang seharusnya dilakukan, ataupun yang seharusnya dihindarkan haruslah
diwujudkan ke dalam norma hukum oleh lembaga pembuat undang-undang yang menurut
UUD-1945 dilakukan oleh DPR bersama-sama dengan Pemerintah. Untuk dapat duduk dalam
kedua lembaga itu guna mewujudkan norma agama ke dalam norma hukum haruslah membina
kekuatan politik melalui partai politik yang mempunyai missi: Amar Ma'ruf Nahi Mungkar. Walla-
hu a'lamu bishshawa-b.

34
Nahi Mungkar yang Efektif dengan Penegakan
Syari’at Islam
Ketiga kasus di bawah ini adalah kisah nyata dalam bernahi mungkar.

Kasus pertama: Allahu yarham Ahmad Makkarausu’ Amansyah Dg Ngilau, salah seorang tokoh
karismatik Muhammadiyah, pernah menuturkan: Ada seorang muballigh muda yang masih
penuh semangat pergi bertabligh di daerah Turatea. Begitu turun dari mimbar datang panggilan
dari kepala distrik untuk datang ke kantornya. “Harangi bedeng nukana balloka? E anu alle
maenrinni balloka” (konon kau katakan tuak itu haram? Hai anu bawa kemari itu tuak). “Anne
alle je’ne’ balloka” (Ini mandilah dengan tuak ini), kata kepala distrik sambil mengguyurkan tuak
itu keseluruh badan muballigh itu. Inilah konsekwensi yang dipikul oleh muballigh muda itu
untuk bernahi mungkar dengan lisan (bilisa-nihi-). Ini terjadi sebelum Perang Dunia kedua,
tahun 30-han.

Kasus kedua: Nahi mungkar ini kejadian di Selayar, juga pada tahun 30-han, yang dikorek dari
ingatan saya sendiri. Ada yang melapor kepada kakek saya, Opu Tuan Imam Barat
Batangmata, ada pesta minum tuak di sebuah kebun di atas bukit di luar kampung. Dengan
segera Opu Imam mendatangi tempat itu seorang diri. Bila-bila (tempat tuak) yang masih berisi
tuak dihempaskan beliau, kemudian menantang: “Inai ngeha nrinni” (siapa berani melawan di
sini). Kata “ngeha” ini pernah dipopulerkan oleh Bupati Sinjai Moh. Rum, mensosialisasikan di
kalangan masyarakat Kabupaten Sinjai seruan Gubernur “ewako” menjadi “ngehako”. Para
peminum itu tidak ada yang berani, karena Opu Imam tersohor pesilat yang tidak jarang
membabak-belurkan beberapa pasolle’ kabarra-barra (istilah sekarang: preman kondang).
Setelah menumpahkan habis tuak itu barulah Opu Imam berkata: “Tuak itu haram, berhentilah
minum tuak.” Opu Imam berhasil bernahi mungkar single handed dengan tangan (biyadihi-),
dengan terlebih dahulu “menegakkan” wibawa.

Kasus ketiga: Pada bulan Ramadhan 1421 H setahun yang lalu Lasykar Jundullah dipimpin
oleh komandannya sendiri Agus Dwikarna mempergoki sebuah night club di Jalan Rusa
melanggar ketentuan jam-operasi. Segera hal itu dilaporkannya ke polisi. Sementara
menunggu polisi datang, Lasykar Jundullah membuat pagar betis menjaga agar para
pengunjung club itu tetap di tempat. Sebab dikuatirkan club itu nanti telah kosong baru polisi
datang, Agus yang akan kena getahnya, dapat saja dituduh membuat sensasi alias laporan
palsu. Celakanya, polsi relatif datang terlambat ketimbang jama’ah Masjid Nurul Amin selesai
melaksanakan shalat tarwih. Remaja masjid yang liwat di depan club itu ikut pula mengerumuni
bagunan club itu. Remaja masjid itu kurang sabaran, tidak seperti Lasykar Jundullah yang
punya disiplin, sabar menunggu polisi. Maka terjadilah perusakan oleh para remaja masjid itu
melaksanakan nahi mungkar. Nahi mungkar berhasil dilaksanakan, tetapi dengan embel-embel
Agus beberapa kali ke kantor polisi untuk “dimintai keterangan”.

***
Firman Allah SWT: WLTKN MNKM UMT YD’AWN ALY ALKHYR WYaMRWN BALM’ARWF
WYNHWN ‘AN ALMNKR WAWLaK HM MFLHWN (S. AL ‘AMRAN 104), dibaca: Waltakum
mingkum ‘ummatun yad’u-na ilal lhayri waya”muru-na bil ma’ru-fi wayanhawna ‘anil mungkari
waula-ika humul muflihu-n (s. ali ‘imra-n), artinya: Mestilah ada di antara kamu ummat yang
mengajak kepada nilai-nilai kebajikan, menyuruh berbuat arif dan mencegah kemungkaran,
dan mereka itulah orang-orang yang menang (3:104).

Apabila visi hanya secara parsial ditujukan kepada mengajak kepada nilai-nilai kebajikan,
menyuruh berbuat arif, benarlah yang dikemukakan oleh akhi K.H. Drs Nasruddin Razak, ketua

35
DPW Muhammadiyah Sul-Sel bahwa sebenarnya rakyat Sul-Sel telah lama menegakkan
Syari’at Islam, seperti pendirian masjid, sikap ramah, berucap salam dalam keseharian serta
saling lempar senyum. Cuma saja, sekali lagi hanya saja, bagaimana dengan nahi mungkar?
Sekarang sudah hampir tidak ada yang seperti Opu Tuan Imam Barat Batangmata. Kalaupun
ada seperti beliau, niscaya akan bentrok dengan polisi. Bahkan dalam kasus Jundullah,
komandannya harus berurusan dengan polisi dimintai keterangan. Berunjuk rasa di jalanan,
bawa spanduk, tutup semua tempat-tempat maksiyat yang berlabel night club! Berantas
pelacuran! Berantas KKN ! Apa itu efektif? Sama sekali tidak!

Industri pelacuran itu berstruktur dalam sistem jaringan. Tidak dapat dihadapi secara single
handed seperi cara bernahi mungkar Opu Imam. Organisasi da’wah, seperti MUI,
Muhammadiyah, NU, IMMIM dll. tidak bisa bernahi mungkar bilyad, sebab nanti bentrok
dengan polisi. Lebih-lebih lagi hukum positif kita tidak mendukung untuk memberantas
pelacuran.

KUHP, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht-nya kolonial Belanda, tidak melarang
perzinaan. Yang dilarang hanyalah bermukah (overspel = keliwat main). Yang disebut
bermukah (assangkili’) adalah hubungan seksual antara suami seseorang atau dengan isteri
seseorang. Bermukahpun hanya dilarang berayarat oleh pasal 284 KUHP, yaitu hanya delik
aduan. Pranata hukum dalam hal ini polisi tidak berdaya apa-apa jika suami atau isteri yang
bermukah tidak keberatan, walaupun masyarakat sekelilingnya (meskipun gabungan MUI,
Muhammadiyah, NU, IMMIM dll) sangat keberatan. Undang-undang kita tidak melarang free
sex jika yang berzina itu gadis dengan bujang atas dasar suka sama suka. Kalau sang gadis
jadi hamil, lalu gadis atau walinya melapor kepada polisi, maka polisi tidak dapat berbuat apa-
apa. Pelacuran tidak dilarang oleh KUHP, karena pelacuran itu adalah free sex suka sama
suka antara pelacur dengan hidung belang. Sehabis polisi merazia pelacur, paling-paling diberi
nasihat kemudian dilepaskan lagi. KUHP tidak melindungi gadis-gadis dimangsa hidung belang
!!! Ini merupakan koreksi bagi Mang Jalal yang mengatakan undang-undang dan berbagai
peraturan yang kita anut sekarang sudah sesuai dengan Syari’at Islam. Tolong Mang Jalal
bertanya hukum kepada ahli hukum barang sedikit. Sebab malu bertanya sesat di jalan.

Nahi mungkar hanya effektif, jika ketiga kaki tempat hukum bertumpu, tegak dengan sinkron.
Ketiga kaki itu adalah masyarakat yang sadar hukum, rancangan hukum yang disebut
peraturan perundang-undangan dan pranata hukum (polisi, jaksa, hakim). Dalam kenyataan
ketiga kaki itu tidak sinkron misalnya seperti contoh pelacuran tersebut di atas. Nilai-nilai Al
Furqan yang ditanamkan dalam masyarakat oleh MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM dll,
mengutuk pelacuran, namun KUHP tidak mendukung, sehingga pranata hukum lumpuh tidak
dapat bertindak.

Alhasil demi efektifnya nahi mungkar, Syari’at Islam perlu ditegakkan dalam menegara. Maka
akan sinkronlah ketiga kaki itu. Masyarakat yang sadar akan nilai-nilai Al Furqan yang selalu
tak henti-hentinya ditanamkan oleh MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM, dll, harus sinkron
dengan peraturan perundang-undangan yang ditimba dari Syari’at Islam dan juga sinkron
dengan pranata hukum pelaksana nahi mungkar (polisi, jaksa, hakim) yang bermafia,
dibersihkan melalui sanksi yang keras sesuai dengan Syari’at Islam. WaLlahu a’lamu
bishshawab.

36

You might also like