You are on page 1of 36

STATUS EPILEPTIKUS

MAKALAH

Diajukan kepada Hippocrates Emergency Team Fakultas Kedokteran Universitas Andalas sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Anggota Khusus

Oleh : WICI SEPTIYENI HET 11-XXII-337

HIPPOCRATES EMERGENCY TEAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2012

STATUS EPILEPTIKUS

MAKALAH

Oleh :

WICI SEPTIYENI HET 11-XXII-337 Telah disetujui oleh pembimbing makalah Hippocrates Emergency Team BEM KM Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Pembimbing Makalah Nama Dr.Rila Rivanda HET 08-XIX-273 LB Louisa Ivana Utami, S.Ked HET 09-XX-300 Pembimbing II Jabatan Pembimbing I Tanda Tangan

STATUS EPILEPTIKUS MAKALAH

Oleh : WICI SEPTIYENI HET 11-XXII-337

Telah dipertahankan di depan penguji makalah Hippocrates Emergency Team BEM KM Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Penguji Makalah Nama Dr.IGM Afridoni,Sp.A HET 91-II-015 LB Jabatan Penguji Tanda Tangan

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Status Epileptikus. Salawat beriringan salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat seperti saat ini. Makalah ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar anggota khusus pada Hippocrates Emergency Team Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Keberhasilan dalam pembuatan makalah ini tidak terlepas dari peran serta berbagai pihak, baik itu bantuan, bimbingan, maupun semangat yang tidak pernah henti-hentinya diberikan kepada penulis. Oleh sebab itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini dan tidak lupa pula kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. 2. Ayahanda (Zamrudi), Ibunda (Desliati), Kakak dan Adik tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada penulis.

3. Kakanda Dr. IGM Afridoni,Sp.A dan Dr. Putra Setiawan sebagai penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi kesempurnaan makalah ini. 4. Kakanda Dr. Rila Rivanda dan Louisa Ivana Utami, S.Ked sebagai pembimbing yang selalu memberikan masukan serta meluangkan waktunya untuk membatu kelancaran penulisan makalah ini. 5. Ketua HET Revi Naldi dan ketua Ketua Pantia Pengondisian Khusus Dian Rahma beserta seluruh panitia pengondisian Khusus angkatan XXII yang telah mengangkatkan acara ini serta kesabaran dalam menghadapi setiap masalah maupun kendala yang timbul selama acara berlangsung. 6. Rekan-rekan seperjuangan saat suka dan duka angkatan XXII tercinta Headpunch (Mailia Ulfa, Bagus Sedayu, Wahyu TNS , Aldi Andika Nugratama, Ilhami Fadhila, Dhia Afra, Utari Gestini Rahmi , Reza Ekatama Rajasa , Akbara Pradana , Mutia Dwi Putri, Amanda Besta Rizaldy, Dhini Datu Oktariani, Aghnia Jolanda Putri, Roza Aulia, Hasnal Laily Yarza , M.Ihsan F ) atas persahabatan, semangat, dukungan serta perjuangan yang akan tetap saling menguatkan. 7. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Semoga semua bantuan, bimbingan,saran, dan doa ataupun semua amal kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan pahala dan rahmat dari Allah SWT. Dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki, penulis

menyadari sepenuhnya makalah ini masih kurang sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kemajuan HET kedepan khususnya maupun ilmu pengetahuan umumnya. Wici Septiyeni ( HET 11-XXII-337)

DAFTAR ISI
Halaman Kata Pengantar.................................................................................................... i

Daftar Isi............................................................................................................. iii BAB 1. Pendahuluan.......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1 1.2 Batasan Masalah............................................................................... 2 1.3 Tujuan............................................................................................... 2 1.3.1 1.3.2 Tujuan Umum................................................................. 2 Tujuan Khusus................................................................ 2 3 4

1.4 Manfaat............................................................................................ BAB 2. Tinjauan Pustaka..................................................................................

2.1 Definisi............................................................................................. 4 2.2 Klasifikasi... 4 2.3 Epidemiologi........................................................................ 5 2.4 Etiologi dan faktor risiko............................................................. 5

2.5 Patogenesis...................................................................................... 6 2.6 Manifestasi Klinis........................................................................... 9

2.7 Diagnosis........................................................................................ 13 2.7.1 2.7.2 2.7.3 Anamnesis... 13 Pemeriksaan Fisik... 13 Pemeriksaan Penunjang...... 14

2.8 Diagnosis Banding....................................................................... . 15 2.9 Tatalaksana.................................................................................. 19 2.9.1 2.9.2 Tindakan Umum.. 19 Tindakan spesifik. 21

2.10 Komplikasi.......................................................................... 24 2.11 Prognosis... 24 BAB 3 Penutup.............................................................................................. 26 3.1 Kesimpulan.................................................................................. 26 3.2 Saran............................................................................................ 26 Lampiran Algoritma Penatalaksanaan Status Epileptikus.............................. 27 Daftar Pustaka................................................................................................. 28

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status Epileptikus (SE) merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir ini terutama di negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA mengakibatkan kematian.1 Secara definisi, SE adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar. 2 Status epileptikus dapat disebabkan oleh beberapa hal, tetapi penyebab paling sering adalah penghentian konsumsi obat antikonvulsan secara tiba-tiba. Sedangkan penyebab lainnya adalah infark otak mendadak, anoksia otak, gangguan metabolisme, tumor otak, serta menghentikan kebiasaan meminum minuman keras secara mendadak.2,3 Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terusmenerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otak menyebar luas. Apabila status epileptikus tidak dapat ditangani dengan segera, maka kemungkinan besar dapat terjadi kerusakan jaringan otak permanen dan kematian.2,4 Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas karena SE juga berhubungan dengan epilepsi yang sampai saat ini masih belum ada penelitian secara epidemiologi.5 Sedangkan data secara global sendiri menunjukkan bahwa SE

terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang per tahun dan paling sering terjadi pada anak-anak.2 Lebih dari 15 % pasien dengan epilepsi memiliki setidaknya satu episode SE. Risiko lainnya yang meningkatkan frekuensi terjadinya SE adalah usia muda, genetik serta kelainan pada otak. Angka kematian pada penderita status epileptikus pada dewasa sebesar 15 %- 20 % dan 3%-15% pada anak-anak. Kemudian, SE dapat menimbulkan komplikasi akut berupa hipertermia, edema paru, aritmia jantung serta kolaps kardiovaskular. Sedangkan untuk komplikasi jangka panjang dari SE yaitu epilepsi (20% - 40%), ensefalopati (6% -15%) dan defisit neurologis fokal (9% sampai 11%).6 Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana cara penatalaksanaan status epileptikus dengan tepat agar dapat menekan angka morbiditas dan mortalitasnya. 1.2 Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulisan makalah ini dibatasi pada penatalaksanaan status epileptikus . 1.3 Tujuan 1.3.1 Umum Mengetahui penatalaksanaan status epileptikus 1.3.2 Khusus 1. Mengetahui dan memahami definisi dan klasifikasi status epileptikus 2. Mengetahui dan memahami epidemiologi status epileptikus 3. Mengetahui dan memahami etiologi dan Faktor Risiko status epileptikus

4. Mengetahui dan memahami patogenesis status epileptikus 5. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis status epileptikus 6. Mengetahui dan memahami diagnosis dan diagnosis banding status epileptikus 7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan status epileptikus 8. Mengetahui dan memahami komplikasi status epileptikus 9. Mengetahui dan memahami prognosis status epileptikus 1.4 Manfaat Makalah 1. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang status epileptikus 2. Memberikan kontribusi untuk HET dalam menambah pengetahuan anggota tentang status epileptikus

10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi adalah manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yakni serangan berkala yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dan paroksismal.5 Sedangkan menurut Epilepsion Foundation , status epileptikus (SE) didefinisikan sebagai dua atau lebih rangkaian kejang yang berurutan dimana tidak ada pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang terus-menerus selama lebih dari 30 menit. 7,8

2.2 Klasifikasi SE Berdasarkan lokasi, awal bangkitan status epileptikus terjadi dari area tertentu di korteks ( Partial Onset ) atau kedua hemisfer otak ( Generalized onset ) sedangkan jika berdasarkan pengamatan klinis, status epileptikus terbagi atas konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik) dan non-konvulsif (bangkitan bukan umum tonikklonik).8 Banyak pendekatan klinis yang diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus yaitu status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana dan kompleks).8

11

2.3 Epidemiologi SE Status Epileptikus terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang per tahun, di Amerika Serikat tercatat ada 65.000 kasus per tahunnya.9 SE konvulsif umum merupakan jenis SE yang paling sering muncul dibandingkan dengan jenis SE lain.8 Sedangkan SE parsial kompleks merupakan SE yang paling jarang terjadi dibandingkan dengan yang lain bahkan di pusat-pusat rujukan epilepsi anak.8 SE tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, pada pria dan wanita sama. SE juga diyakini tidak memiliki kecenderungan untuk kelompok ras atau etnis tertentu. Frekuensi usia SE mungkin mengikuti kurva sama dengan kejadian kejang pada umumnya. Kurva berbentuk J mencerminkan frekuensi tinggi pada usia muda dan meningkatnya insiden dengan bertambahnya umur. Sampai dengan 70% kasus SE terjadi pada anak. Namun, kejadian SE tertinggi pada populasi lebih tua yaitu usia lebih dari 60 tahun pada 83 kasus per 100.000 penduduk.8

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko SE SE dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Selain itu, SE juga dapat mewakili eksaserbasi dari gangguan kejang yang sudah ada sebelumnya, manifestasi awal dari gangguan kejang, atau hal berat lain selain gangguan kejang.8 Penyebab paling umum pada pasien dengan riwayat epilepsi sebelumnya adalah perubahan dalam pengobatan. Banyak kondisi lain yang juga dapat menimbulkan SE termasuk penyebab toksik atau metabolik dan apa pun yang mungkin menghasilkan kerusakan struktur kortikal yaitu stroke, cedera akibat hipoksia, tumor, subarachnoid hemorrahage, trauma kepala, obat-obatan ( misalnya kokain,teofilin ); isoniazid
12

(INH) dapat menyebabkan kejang dan memiliki keunikan dengan memiliki antidotumnya, piridoksin(vitamin B-6), penghentian konsumsi alkohol secara tibatiba, kelainan elektrolit (misalnya hiponatremia, hipernatremia, hiperkalsemia, ensefalopati hepatik), neoplasma, infeksi SSP (misalnya meningitis, abses otak, ensefalitis) dan zat toksik khususnya yang bersifat simpatomimetik.8 Dalam penelitian terbaru, infeksi HIV dan penggunaan narkoba juga dapat menyebabkan terjadinya SE. Hal ini sesuai dengan meningkatnya frekuensi kejadiannya.8 Penyebab SE bervariasi secara signifikan dengan usia. DeLorenzo dkk melaporkan bahwa pada pasien dibawah usia 16 tahun, penyebab paling umum adalah demam atau infeksi(36%) sebaliknya ini hanya terjadi sebesar 5% pada orang dewasa. Pada orang dewasa, penyebab paling umum adalah penyakit serebrovaskular (25%), sedangkan faktor ini disebabkan hanya 3% pada kasus pediatrik.8 Pasien dengan riwayat epilepsi sebelumnya mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya SE. Hal ini termasuk juga pasien yang cenderung mengalami epilepsi berulang serta ketidakteraturan dalam meminum obat antikonvulsan.8

2.5 Patogenesis SE Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter eksitatori: glutamat, aspartat dan asetilkolin) melebihi kemampuan hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif.8

13

Pada lebel neurokimia, bangkitan terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan dan kurangnya inhibisi. Neurotransmitter eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah glutamat dan juga turut dilibatkan disini adalah reseptor subtipe NMDA ( N-methyl-D-aspartat ). Neurotransmiter inhibisi yang terbanyak ditemukan adalah gamma-aminobutyric acid ( GABA ). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme utama pada status epileptikus. 8 Inhibisi yang diperantarai oleh reseptor GABA berperanan dalam terminasi bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam perambatan bangkitan.

Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan kadar kalsium intraseluler yang menyebabkan cedera sel saraf pada status epileptikus. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin sulit dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi GABAergik inhibisi berlebihan.8 Suatu naiknya lepasan tekanan muatan darah simpatis akan menyebabkan denyut jantung. yang inadekuat ke transmisi NMDA eksitasi yang

d a n bertambahnya

Autoregulasi peredaran darah otak hilang mengakibatkan turunnya resistensi serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat bertambah didorong oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah sistemik akan turun bila kejang berlangsung terus dan mengakibatkan turunnya tekanan perfusi yang selanjutnya menyebabkan iskemik pada otak. Hal ini dan berbagai faktor lain akan menyebabkan
14

hipoksia pada sel-sel otak. Kejang otot yang luas dan melibatkan otot pernafasan selain mengganggu pernafasan secara mekanis juga menyebabkan inhibisi pada pusat pernafasan di medula oblongata. Disamping itu pelepasan muatan saraf otonom menyebabkan sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi

mengakibatkan gangguan difusi o k s i g e n m e l a l u i d i n d i n g a l v e o l u s . Perubahan penggunaan fisiologis energi lain ya n g ya n g sangat paling penting ialah ya n g a d a n ya terus

b a n ya k . N e u r o n

m e n e r u s t e r p a c u menyebabkan bertambahnya metabolisme otak secara berlebihan sehingga persediaan senyawa fosfat energi tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksia akan memperburuk keadaan yang berakhir dengan kematian sel sel neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengak ibatkan a r i t m i a j a n t u n g , h i p o k s i a o t a k ya n g b e r a t d a n k e m a t i a n . K e j a n g o t o t d a n g a n g g u a n autoregulasi lain juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot, edema paru dan nekrosis tubuler mendadak.8 Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan apa yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksi a. Sel-sel neuron yang mengalami iskemik selalu terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6 korteks serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje.8 Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase, yaitu : a. Fase pertama : Pada fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
15

output ,p e n i n g k a t a n o k s i g e n a s e j a r i n g a n o t a k , p e n i n g k a t a n t e k a n a n d a r a h , peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan oleh asidosis laktat dan terjadi perubahan saraf yang bersifat reversibel pada tahap ini.8 b. Fase Kedua : Setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu kemampuan tubuh beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kemudian, terjadilah kerusakan saraf yang bersifat irreversibel pada tahap ini.8 c. Fase ketiga : Pada fase ketiga, aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia ( s u h u m e n i n g k a t ) , p e r b u r u k a n pernafasan y a n g irreversibel.8 d. Fase keempat : A k t i v i t a s k e j a n g ya n g b e r l a n j u t d i i k u t i o l e h m i o k l o n u s s e l a m a t a h a p k e e m p a t , k e t i k a peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.8 e. Fase kelima : Keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf dan kerusakan otak berlanjut.8 dan peningkatan kerusakan saraf

2.6 Manifestasi Klinis SE Manifestasi klinis status epileptikus berbeda tergantung pada masing-masing jenisnya. Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic16

Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.8 A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epilepticus) Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran di antara serangan dan peningkatan frekuensi.8 Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hiperpnea dengan retensi karbondioksida. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,

hiperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.8 B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status

Epilepticus) Ada kalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.8
17

C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epilepticus) Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.8 D. Status Epileptikus Mioklonik Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselopati. Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosis yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.8 E. Status Epileptikus Absens Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Status epileptikus memberikan respon yang baik terhadap Benzodiazepin intravena.8 F. Status Epileptikus Non Konvulsif Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai
18

perubahan kepribadian dengan paranoid, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.8 G. Status Epileptikus Parsial Sederhana a. Status Somatomotorik Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermiten atau gangguan berbahasa (status afasik).8 b. Status Somatosensorik Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.8 H. Status Epileptikus Parsial Kompleks Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan di antara episode. Pada SE parsial kompleks juga dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG,
19

tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.8

2.7

Diagnosis SE 2.7.1 Anamnesis Pada anamnesis, tenaga medis dapat menanyakan kepada pasien ataupun keluarga tentang adanya riwayat epilepsi berulang, riwayat penyakit sistemik atau SSP, riwayat putus obat atau gagalnya pengobatan yang sudah berjalan dan riwayat trauma pada pasien tersebut. Selain itu, dari anamnesis dapat digali informasi tentang bagaimana gambaran serangan, berapa lama durasinya, tingkat kesadaran selama ataupun antara kejang,sifat kejang dan sejak kapan serangan terjadi.4 2.7.2 Pemeriksaan Fisik Cara yang paling penting untuk membedakan status epileptikus dari suatu bangkitan umum biasa adalah dengan memeriksa aktivitas susunan saraf s i m p a t i s . M e n e t a p n ya takikardi, hipertensi,

k e r i n g a t b e r l e b i h a n , h i p e r s a l i v a s i merupakan gambaran umum status epileptikus. Papilledema, tanda peningkatan tekanan intrakranial menunjukkan kemungkinan adanya lesi ,massa atau infeksi otak. Fitur neurologis juga tampak seperti tonus yang meningkat dan refleks asimetris.

Ekstensor berulang cepat atau sikap fleksor dapat membingungkan dengan aktivitas kejang lainnya oleh pengamat biasa. Mioklonus berulang pada pasien koma setelah cedera otak hipoksia difus dapat mensimulasikan kejang umum.
20

Asal fisiologis tersentak mioclonic mungkin tidak kortikal,myoclonus biasanya hanya terbatas dalam durasi beberapa jam.8 Pasien dengan status epileptikus halus tidak menunjukkan peningkatan kesadaran pada 20-30 menit setelah aktivitas kejang umum. Ekspresi motor aktivitas listrik abnormal kortikal dapat berubah sehingga terlihat kedipan kelopak mata atau kedutan ekstremitas yang merupakan satu-satunya tanda dari pelepasan listrik umum yang berkelanjutan. Aktivitas motorik mungkin tidak ada walaupun adanya aktivitas listrik pada status epileptikus. Trauma dapat juga ditemukan pada pasien dengan kejang termasuk luka lidah (biasanya lateral), dislokasi bahu, trauma kepala, dan trauma wajah.8 2.7.3 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Kadar obat antikonvulsan : Yang harus dipantau untuk menjamin konsentrasi s e r u m y a n g adekuat.9 Segera setelah status epileptikus dapat dikendali kan, p a s i e n dengan epilepsi yang sudah ada sebelumnya dapat diberikan kembali regimen antikonvulsan oral yang biasa dipakai.9 b. Lumbal Punksi Lumbal punksi harus dilakukan pada pasien yang demam walaupun tidak ada tanda-tanda adanya meningitis.9 c. Kimia darah rutin Meliputi kadar Mg, Ca, dan kadar zat kimia darah lainnya.9
21

2. EEG Untuk mengkonfirmasi diagnosis terutama pada kasus refrakter yang mungkin fungsional yaitu pseudostatus dan tidak menunjukkan kelainan EEG.4 Untuk memantau pengobatan, melakukan titrasi obat

a n e s t e s i sampai pola burst-suprpresion dicapai.4 3. Brain Imaging Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dapat menentukan tempat lesi di otak. Jika pemeriksaan CT menunjukkan keadaan yang normal, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan MRI untuk lebih mengkonfirmasi adanya lesi di otak.9

2.8 Diagnosis Banding SE Diagnosis banding SE adalah sebagai berikut : 1. Ensefalitis Ensefalitis ialah radang parenkim otak, hadir sebagai disfungsi

neuropsikologi difus dan/atau fokal. Meskipun terutama melibatkan otak, meningen juga sering terlibat (meningoensefalitis).8 Gejalanya selain nyeri kepala, demam, gejala ISPA, kesadaran menurun sampai koma, serta dapat terjadi kejang fokal atau umum.5 2. Heat stroke Heat stroke dalah suatu bentuk hipertermia dimana suhu tubuh meningkat secara dramatis. Gambaran klinis dari heat stroke adalah suhu tubuh yang meningkat,
22

tidak adanya keringat, kulit kering kemerahan, denyut nadi yang cepat,kesulitan bernapas, perilaku aneh, berhalusinasi, kebingungan, gelisah, disorientasi, kejang bahkan sampai koma. 8 3. Hipernatremia dalam Kegawatdaruratan Hipernatremia didefinisikan sebagai tingkat natrium serum lebih dari 145mEq/L. Gejala hipernatremia cenderung non spesifik. Anoreksia, gelisah, mual, dan muntah terjadi lebih awal. Gejala-gejala ini diikuti oleh perubahan status mental dan akhirnya pingsan atau koma. Gejala mungkin juga termasuk otot berkedut, hiperefleksi, ataksia, atau tremor. Gejala neurologis umumnya non fokal (misalnya perubahan status mental, ataksia, kejang) namun defisit fokal seperti hemiparesis juga dilaporkan terjadi. 8 4. Hipokalsemia dalam Kegawatdaruratan Kadar kalsium serum kurang dari 8,5mg/dL atau tingkat kalsium terionisasi kurang dari 1,0 mmol/L dianggap hipokalsemia. Pasien mungkin mengeluh kram otot, sesak nafas sekunder akibat bronkospasme, kontraksi berhubung dengan tetanus, mati rasa pada ekstremitas distal, dan sensasi kesemutan. Manifestasi kronik termasuk katarak, kulit kering,rambut kasar,kuku rapuh, psoriasis, pruritus kronik dan gigi yang buruk. Hipokalsemia akut dapat menyebabkan sinkop, gagal jantung congestive (CHF) dan angina karena efek kardiovaskular ganda. 8 5. Hipoglikemia Hipoglikemia adalah situasi klinis yang ditandai dengan penurunan konsentrasi glukosa plasma ke tingkat yang dapat menyebabkan gejala atau tanda-

23

tanda seperti perubahan status mental dan atau stimulasi sistem saraf simpatik. Tingkat glukosa seorang individu menimbulkan gejala sangat bervariasi, meskipun kadar glukosa plasma kurang dari 50 mg / dL umumnya dianggap sebagai ambang batas. Gejala aktivasi simpatoadrenal termasuk berkeringat, takikardia, kecemasan, dan rasa lapar. Gejala neuroglikopenik termasuk kelemahan, kelelahan, atau pusing, perilaku yang tidak pantas (kadang-kadang dianggap mabuk), sulit berkonsentrasi, kebingungan, penglihatan kabur dan dalam kasus yang ekstrim, koma dan kematian. 8 6. Hiponatremia Hiponatremia didefinisikan sebagai tingkat natrium serum kurang dari 135mEq/L dan dianggap parah ketika tingkat serum di bawah 125mEq/L. Gejala berupa mual dan malaise dengan pengurangan ringan pada natrium serum, lesu, penurunan tingkat kesadaran, sakit kepala, dan jika parah kejang dan koma. Gejala neurologis yang jelas paling sering adalah karena sangat rendahnya kadar natrium serum (biasanya <115 mEq/L), sehingga terjadi pergeseran cairan osmotik intraserebral dan menyebabkan terjadinya edema otak. Kompleks gejala neurologis dapat menyebabkan herniasi tentorial dengan kompresi batang otak dan pernapasan berikutnya mengakibatkan kematian dalam kasus yang paling parah.8 Tingkat keparahan gejala neurologis berkorelasi baik dengan tingkat dan derajat penurunan natrium serum. Penurunan bertahap natrium serum, bahkan untuk tingkat yang sangat rendah, dapat ditoleransi dengan baik jika terjadi selama beberapa hari atau minggu, karena adaptasi saraf. Kehadiran penyakit neurologis yang mendasari, seperti gangguan kejang, atau kelainan metabolik non neurologik, seperti

24

hipoksia, hiperkapnia, atau asidosis, juga mempengaruhi tingkat keparahan gejala neurologis.8 7. Medication-Induced Dystonic Reactions Medication-Induced Dystonic Reactions yang merugikan sering terjadi tak lama setelah mulai terapi obat neuroleptik. Reaksi-reaksi ini dapat terjadi karena berbagai macam obat-obatan. Reaksi distonik (yaitu diskinesia) ditandai dengan kontraksi intermiten spasmodik atau berkedutnya otot di wajah, leher, panggul, dan ekstremitas. Reaksi distonik jarang mengancam kehidupan, namun sangat tidak nyaman dan sering menghasilkan kecemasan yang signifikan dan kesusahan bagi pasien. Untungnya, pengobatan sangat efektif, dan gangguan motorik dapat diatasi dalam beberapa menit.8 8. Sindrom neuroleptik maligna Sindrom neuroleptik maligna (NMS) mengacu pada kombinasi hipertermia, kekakuan, dan disregulasi otonom yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari penggunaan obat antipsikotik. Adapun gejala klinis dari NMS yaitu diaforesis, disfagia, tremor, inkontinensia, delirium yang dapat berkembang menjadi lesu, pingsan dan koma,tekanan darah yang tidak stabil, pucat, dispnea,agitasi psikomotor, kekakuan, hipertermia, takikardia serta cara jalan menyeret.8 9. Ensefalopati Uremikum Uremia menggambarkan tahap akhir dari insufisiensi ginjal progresif dan kegagalan multiorgan yang dihasilkan. Ini merupakan hasil dari akumulasi metabolit protein dan asam amino dan kegagalan seiring proses katabolik, metabolisme, dan endokrinologik ginjal. Tidak ada metabolit tunggal telah diidentifikasi sebagai satu25

satunya penyebab uremia. Ensefalopatiuremik (UE) adalah salah satu dari banyak manifestasi gagal ginjal (Renal Failure). Gejala dapat berkembang perlahan atau cepat. Perubahan sensoris termasuk kehilangan memori, gangguan konsentrasi, depresi, delusi, lesu, lekas marah, kelelahan, insomnia, psikosis, stupor, katatonia, dan koma. Pasien mungkin mengeluh bicara cadel, pruritus, otot berkedut, atau kaki resah.8 10. Withdrawal Syndromes Withdrawal syndromes merupakan sindrom penarikan diri setelah penghentian konsumsi bahan-bahan kimia termasuk obat-obatan dan alkohol. Gejala terdiri dari persecutori, pendengaran, atau paling sering halusinasi visual dan taktil, namun, sensoris pasien dinyatakan jelas. Pada tahap awal, pasien jujur mengakui telah mengalami halusinasi tetapi dalam stadium lanjut, halusinasi dianggap nyata dan dapat menimbulkan ketakutan dan kecemasan yang ekstrim. Pasien dapat terlihat menarik benda-benda imajiner, pakaian, dan lembaran kertas. Sekitar 23-33% pasien dengan withdrawal alcohol signifikan mengalami kejang akibat penarikan alkohol (Rum fits).8

2.9

Penatalaksanaan SE 2.9.1 Tindakan umum Prioritas awal untuk penatalaksanaa SE adalah menstabilkan airway, breathing and circirculation. Tempatkan pasien pada posisi pemulihan dan pasang endotrakeal tube jika airway terganggu. Kemudian, tanyakan dengan hati-hati kepada keluarga ataupun saksi yang membawa pasien tentang hal-hal yang dapat
26

mengarahkan ke etiologi seperti overdosis obat-obatan ataupun perubahan terbaru pemakaian obat antikonvulsan pada pasien.10,11 Ketidakseimbangan elektrolit harus ditemukan dan lakukan tes ginjal, tes fungsi hati, kadar kalsium, gas darah arteri dan konsentrasi glukosa. Jika hipoglikemia dicurigai atau ketika ada gambaran hipoglikemia, berikan glukosa intravena (50 ml glukosa 50%), dengan 100 mg Thiamine intravena terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan ensefalopati Wernicke. Suntikan glukosa rutin tidak disarankan karena dapat menimbulkan hiperglikemia yang mungkin memperburuk kerusakan saraf. Periksa kadar obat anti-epilepsi atau penarikan obat yang merupakan penyebab penting dari SE. Kemudian, lakukan pemeriksaan gambaran darah, darah dan kultur urin untuk mencari bukti infeksi sistemik. Asidosis pernapasan dan atau metabolik yang umum tidak boleh diterapi kecuali pH telah turun sampai dibawah 7,0. Selama paruh awal satu jam dari SE, sebagian besar pasien mengalami hipertensi. Tekanan darah rendah adalah umum terjadi setelah fase ini terutama karena sebagian besar obat menginduksi hipotensi dan karena itu dokter harus siap untuk memulai pengobatan dengan agen vasopressor. Setelah pasien stabil dan kejang dikontrol , tahap kedua investigasi harus dimulai. Lakukan pemeriksaan pencitraan pada otak seperti CT Scan cukup untuk mengidentifikasi perdarahan intrakranial, hernia dan tumor. Jika dicurigai infeksi SSP sedangkan pungsi lumbal tidak dapat dilakukan dengan segera,berikan antimikroba segera setelah hasil kultur darah diperoleh. Perhatikan bahwa demam ringan merupakan efek dari SE itu sendiri. Penurunan suhu secara pasif harus

27

dimulai jika pasien mengalami demam. Hidrasi Liberal dengan salin normal dianjurkan untuk mengurangi risiko dehidrasi dan rhabdomiolisis. 10,11 2.9.2 Tindakan spesifik Terapi lini pertama terdiri dari benzodiazepin. Obat ini meningkatkan penghambatan GABAergic dengan mengikat kompleks BZD -GABA-

fenobarbital. Sebagai awal, pemberian Lorazepam intravena paling efektif untuk mengatasi konvulsif SE. 10,11 Dalam penelitian multisenter secara acak dan terkontrol pada 570 pasien, terutama laki-laki veteran AS yang memenuhi kriteria untuk SE yang terdaftar ke dalam penelitian dan secara acak dibagi menjadi empat kelompok menerima lorazepam, phenobarbitone, diazepam ditambah fenitoin atau fenitoin saja. Lorazepam adalah yang paling sukses sebagai obat yang dapat menghentikan kejang. Pada penelitian lainnya membandingkan khasiat dari benzodiazepin dan plasebo diberikan di luar lingkungan rumah sakit di antara 205 pasien, kejang dapat dihentikan pada 60% pasien yang diberikan lorazepam dan 43% diazepam. Lorazepam memiliki distribusi volume yang lebih rendah dibandingkan dengan diazepam dan karenanya memiliki efek dengan durasi yang lebih lama. 10,11 Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan mendistribusikan ke bagian lemak tubuh lainnya, dua puluh menit setelah dosis awal, konsentrasi plasma dari diazepam turun menjadi 20% dari konsentrasi maksimal. Permulaan tindakan dan tingkat depresi kardiorespirasi (sekitar 10%) dari lorazepam adalah sama, di samping injeksi arteri menyebabkan kejang arteri dan mungkin gangren pada kasus berat. Midazolam sebesar 0,2 mg / kg / jam intravena telah digunakan,
28

tetapi memiliki keuntungan karena dapat diberikan secara intramuskular atau bukal berangsur-angsur. Bukal midazolam 10 mg ditanamkan antara pipi dan gusi, sama-sama berkhasiat seperti diazepam rektal. Hal ini dapat dilakukan apabila akses intravena tidak dapat segera dilakukan. Menggunakan

antikonvulsan long-acting harus diberikan secara simultan dengan benzodiazepin. Fenitoin diberikan pada 18-20 mg / kg pada dosis tidak lebih dari 50 mg / hr dengan iv lambat atau infus. Pemuatan dosis lebih lanjut dari 5-10 mg / kg dapat ditambahkan jika kejang yang terjadi berulang. Efek samping meliputi hipotensi (28 - 50%) dan aritmia jantung (2%) dan lebih umum pada orang tua. Fenitoin Parental mengandung propilen glikol, alkohol dan natrium hidroksida. Obat ini harus disuntikan dengan jarum ukuran besar diikuti oleh siraman garam untuk menghindari iritasi lokal seperti thrombophlebitis dan "sindrom sarung tangan ungu". Dekstrosa tidak boleh digunakan untuk mengencerkan fenitoin karena akan membentuk mikrokristal. Fosphenytoin (Cerebyx) adalah prodrug yang

larut dalam air dengan konversi 15 menit paruh untuk fenitoin. Setelah konversi enzimatik, 150 mg fosphenytoin menghasilkan 100 mg fenitoin sehingga dosis 150 fosphenytoin diberi label setara sebagai 100 mg fenitoin. Meskipun valproate dapat diberikan secara intravena terdapat pengalaman yang terbatas bila diberikan dengan indikasi . Satu studi observasional menunjukkan bahwa valproate efektif dalam 19 dari 23 kasus SE dan tidak memiliki efek yang signifikan terhadap kardiorespirasi.10,11 Keputusan untuk memulai anti-epilepsi oral dalam waktu lama tergantung pada masing-masing pasien. Pasien dengan kelainan otak secara struktural harus
29

diberikan pengobatan antikonvulsan, tetapi pasien yang mengalami SE karena hiponatremi tidak memerlukan terapi maintenance karena dapat sembuh dengan sekali koreksi. 10,11 Protokol penatalakasanaan status epileptikus a. 0-5 menit Berikan O2 , kontrol ABC, buka akses intra vena, mulai monitoring EKG, periksa kimia darah, seperti Mg, Ca, CBC (Complete Blood Count), AED level (Anti epileptic drugs level ), ABG ( arterial blood gas ).9 b. 6-10 menit Berikan thiamin 100 mg IV : 50 ML Dextrose 50 % IV, jika kadar glukosa diketahui.9 Lorazepam (Ativan) 4 mg IV selama 2 menit, ulangi sekali pada 8-10 menit bila diperlukan.9 Atau diazepam (Valium) 10 mg IV selama 2 menit, ulangi sekali pada 3-5 menit bila diperlukan.9 c. 10-20 menit Jika status bertahan atau jika dapat berhenti dengan diazepam, segera mulai pemberian fosphenitoin (Cerebryx ) 20 mg/kg IV dengan 150 mg/min, dengan monitoring EKG dan tekanan darah.9 d. 20-30 menit Jika status tetap bertahan, beri tambahan 5 mg/kg fosphenitoin sebanyak dua kali ( total 30 mg/kg ).9
30

e. > 30 menit Jika status tetap bertahan, intubasi dan berikan satu dari berikut, dengan monitoring EEG.9 Phenobarbital 20 mg/kg IV dengan 50-100 mg/min. Tambahkan 5 mg/kg bolus dapat diberikan sesuai kebutuhan. Atau dilanjutkan dengan memasang infus midazolam 0.2 mg/kg, bolus lambat, kemudian 0.1-2.0 mg/kg/jam. Atau memasang infus profolol, bolus 1-5 mg/kg selama 5 menit, kemudian 2-4 mg/kg/jam.

2.10 Komplikasi SE Komplikasi status epileptikus bervariasi. Komplikasi sistemik meliputi hipertermia, asidosis , hipotensi, kegagalan pernapasan , rabdomiolisis, serta aspirasi. 8

2.11

Prognosis SE Prognosis berhubungan paling kuat dengan proses yang mendasari menyebabkan SE. Misalnya, jika etiologinya adalah meningitis, perjalanan penyakit yang menentukan hasil. Pasien dengan SE dari ketidakteraturan antikonvulsan atau pasien kejang yang berhubungan dengan alkohol umumnya memiliki prognosis yang baik jika pengobatan dimulai dengan cepat dan komplikasi akan dapat dicegah.8

31

Tingkat mortalitas terkait dengan SE telah menurun selama 60 tahun terakhir, mungkin ada hubungannya dengan diagnosis cepat dan perawatan yang lebih agresif. Probabilitas kematian erat berkorelasi dengan usia. Dalam studi berbasis populasi prospektif, DeLorenzoetal menemukan tingkat kematian sebesar 13% untuk orang dewasa muda,38% untuk orang tua,dan lebih dari 50% untuk mereka yang lebih tua dari 80 tahun.8 Prognosis SE sendiri juga tergantung kepada respon terhadap pengobatan. Dalam studi yang dilakukan oleh Koperasi SE Veteran Affairs menunjukkan bahwa sebesar 56% dari pasien yang terdiagnosis jelas mengalami GCSE (General Convulsive Status Epilepticus) yang memberikan respon terhadap pengobatan tahap awal. Sedangkan untuk jenis SE Halus (Subtle SE) hanya 15% pasien yang menanggapi pengobatan awal. Sehingga jelas terlihat bahwa prognosis juga tergantung terhadap baik buruknya respon pasien terhadap pengobatan yang diberikan. Semakin rendah respon terhadap pengobatan, semakin buruk prognosis.8

32

BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Status epileptikus (SE) adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar. Status Epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus ditangani segera dan secepat mungkin karena melibatkan proses fisiologis pada sistem homeostasis tubuh, kerusakan saraf dan otak yang dapat mengakibatkan kematian. Penanganannya tidak hanya menghentikan kejang yang sedang berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit dasar dari status tersebut. Umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan, durasi dari status epileptikus dan lamanya dari onset sampai penanganan merupakan faktor prognostik penting.

3.2 Saran Dengan memahami dasar dari patofisiologi status epileptikus dan adanya konsensus mengenai penatalaksanaan status epileptikus, maka diharapkan prognosis pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.

33

Algoritma penatalaksanaan kejang akut dan status konvulsif 12

34

Daftar Pustaka 1. Shorvon,Simon. 2001.J Neurol Neurosurg Psychiatry; The Management of status epilepticus.Volume 70(suppl II):ii22ii27. 2. Manno,Edward M. April 2003. Mayo Clin Proc. Symposium On Seizures New Management Strategies in the Treatment of status epilepticus. Vol 78 508518. 3. Fountain,Nathan B. 2000. Lippincott Williams & Wilkins, Inc., Baltimore International League Against Epilepsy. Epilepsia. Vol 41(Suppl. 2):S23-S30. 4. Harsono, Endang Kustiowati, Suryai Gunadarma. 2008. Pedoman dan Tatalaksana Epilepsi edisi 3. Jakarta : PERDOSSI. 5. Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press 6. ACF Hui, CY Man, HC Wong. 2002. Hongkong journal medicine. Management of status epilepticus. Vol 9:206-212 7. Dorland. 2002. Kamus Kedokteran . Jakarta : EGC. 8. Medscape Reference. May 26, 2011. Status Epileptikus .

http://emedicine.medscape.com diakses pada 30 Juni 2012 20.29 WIB. 9. Rowland, Lewis P. dan Timothy A Pedley. 2010. Merritts Neurology 12th. New York : Wolters Kluwer. 10. Hauser,Stephen L. 2010.Harrisons Neurology 2nd. New York. Mc Graw Hill Medical.

35

11. Paul E. Marik and Joseph Varon. 2004. Chestjournal.chestpubs.org. Management of Status epilepticus. Vol 126;582-591. 12. Majalah Farmacia . Edisi April 2011 . Segera Atasi Kejang .

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=2078 diakses pada 5 Oktober 2012 21.20 WIB.

36

You might also like