You are on page 1of 36

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN POLITIK DESENTRALISASI

DAN OTONOMI DAERAH SERTA IMPLEMENTASINYA

I. PENDAHULUAN
Masih dalam suasana memperingati hari kemerdekaan
Republik Indonesia, hari ini tanggal 22 Agustus 2008 kita hadir
dalam rangka penyampaian RAPBN 2009 dengan agenda
Pembangunan Daerah. Peringatan kemerdekaan yang ke-63
tahun ini sekaligus kita peringati pula bersamaan dengan satu
abad Kebangkitan Nasional dan satu dekade Reformasi.
Keseluruhan semangat peringatan itu melebur dalam satu
semangat yaitu semangat kebangsaan, kebangkitan, kemajuan
dan kemandirian bangsa Indonesia.
Satu abad yang lalu, di tahun 1908, bangsa ini
mendeklarasikan tekad untuk bangkit sebagai bangsa yang
merdeka, maju dan jaya. Selanjutnya, tahun 1928, Jong Java,
Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatera serta segenap
pemuda dari berbagai daerah di bumi Nusantara dengan
semangat kebangkitan, berikrar Sumpah Pemuda: Satu Nusa,
Satu Bangsa dan Satu Bahasa yaitu Indonesia. Kemunculan
pemuda-pemuda tersebut tidak lain merupakan refleksi politik
dengan pijakan kedaerahan yang tersebar di Kepulauan
Nusantara.
Kebangkitan Nasional 1908 merupakan tonggak sejarah
penting yang membawa bangsa ini hadir dalam wujud sosok
negara bangsa. Selama kurun waktu dua puluh tahun yaitu
sejak 1908 hingga 1928, nilai-nilai kebangkitan establish
menjadi etos kebangsaan yang digemakan dalam persatuan
Indonesia untuk bangkit dari kungkungan penjajahan dan
kesadaran akan kebutuhan bersama akan perlindungan serta
keadilan dalam memperoleh hak pendidikan dan hak
kesejahteraan ekonomi. Tujuh belas tahun kemudian, tahun
1945, nilai-nilai kebangsaan itu semakin mantap dalam wujud
nilai-nilai kesatuan yang diringi dengan kemampuan diplomasi
dan berorganisasi. Nilai-nilai kesatuan itu telah melahirkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945.

1
Sejarahpun berlanjut, pada Mei 1998, gerakan reformasi di
tahun 1998 melakukan koreksi untuk menata kembali
perjalanan kehidupan berbangsa. Sebuah gerakan yang
dilandasi semangat untuk mengkritisi paradigma pengelolaan
negara yang sentralistik, tak demokratis, kurang menunjukkan
nilai-nilai keadilan dan kerakyatan. Yang diharapkan oleh
gerakan reformasi adalah agar negara atau pemerintahan
terkelola dengan baik, hak-hak azasi manusia dapat terjamin,
kualitas pelayanan masyarakat meningkat dalam iklim yang
demokratis, menuju negara kesejahteraan. Dalam kaitan itu
pula maka pilihan politik berdasarkan kehendak rakyat adalah
desentralisasi, dimana daerah harus menjadi aktor sentral
dalam pengelolaan republik.
Sekarang, setelah hampir sewindu dicanangkannya
agenda Otonomi Daerah pada 1 Januari 2001, ternyata kitapun
mendapati bahwa Otonomi Daerah yang sebenarnya memberi
harapan baru, pada kenyataannya belum terlihat nyata
membawa perubahan berarti. Oleh karenanya, peringatan satu
abad Kebangkitan Nasional saat ini sesunguhnya masih
membawa pesan pada kita bahwa diperlukan penanganan
cerdas untuk membawa negeri ini menjadi maju dan nyaman
bagi semua anak bangsa.
Presiden RI akan menyampaikan pidato tentang
pembangunan daerah dan pembangunan nasional yang
diselenggarakan di daerah dalam RAPBN 2009, beserta
kebijakan-kebijakan penting pemerintah khususnya yang
menyangkut daerah dan dalam hal hubungan pusat dan
daerah. Untuk itu kami menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi kepada Saudara Presiden, demikian
juga kepada Saudara Wakil Presiden, para Pimpinan Lembaga
Negara, Anggota Kabinet Indonesia Bersatu serta para Duta
Besar Negara Sahabat dan para undangan yang hadir dalam
acara Sidang Paripurna Khusus DPD-RI ini.
Kami juga menyampaikan ucapan terima kasih dan
selamat datang kepada para pemangku kepentingan daerah
yakni para Gubernur, Bupati/Walikota; serta Pimpinan DPRD
Provinsi, Kabupaten dan Kota dari seluruh Indonesia.
Kehadiran para pemimpin pemerintahan dan pemangku
pembangunan di tingkat pusat maupun daerah saat ini untuk

2
mendengarkan secara langsung penjelasan Presiden mengenai
rencana kebijakan pembangunan di daerah, serta berbagai
kebijakan pemerintah pusat mengenai daerah.
Sidang Paripurna Khusus DPD RI Tahun 2008, kali ini
mengambil tema Rekonstruksi Kebijakan Politik
Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta Implementasinya.
Tema ini sengaja diangkat berdasarkan kesadaran terhadap
realitas selama rentang waktu 8 tahun implementasi kebijakan
otonomi daerah yang dipandang bukan saja masih belum
optimal melainkan mengalami hambatan struktural dan kultural
akibat kebijakan dan perilaku para pihak yang terkait. Dan
berdasarkan permasalahan itu, DPD RI menganggap perlu
dilakukan berbagai upaya perbaikan kebijakan dan
implementasinya ke arah yang lebih menjamin tercapainya
tujuan otonomi daerah.

II. EVALUASI KRITIS KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI


OTONOMI DAERAH
Adalah kenyataan yang secara jujur harus kita akui
sebagaimana kita saksikan dikeseharian yang terjadi di daerah,
yang selama ini diamati, diawasi dan dicermati oleh seluruh
Anggota DPD dalam tugas konstitusionalnnya, bahwa secara
agregasi, yang muncul kepermukaan ialah distorsi akan makna
desentralisasi. Munculnya distorsi makna dalam implementasi
otonomi daerah ini lebih disebabkan karena beberapa faktor.
Pertama, adanya in-konsistensi antara kebijakan dasar
desentralisasi dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan
lainnya, termasuk di dalamnya pada level operasional. Setelah
keluarnya UU tentang Pemerintahan Daerah (mulai dari UU
No.22 Tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004),
maka idealnya seluruh kebijakan (UU, PP) baik yang sudah
berlaku sebelumnya maupun produk setelahnya, seyogyanya
dilakukan penyesuaian dengan kebijakan dasar pengelolaan
daerah itu. Namun kenyataannya masih demikian banyak
produk perundangan-undangan yang belum disinkronkan.
Demikian juga dengan kebijakan operasional dalam bentuk
kebijakan teknis, terlebih lagi dalam implementasinya, masih
menunjukkan semacam keengganan untuk menjalankan
agenda pembangunan sesuai dengan prinsip dasar kebijakan
otonomi daerah. Contoh inkonsistensi dalam hal kewenangan

3
secara kasat mata bisa kita lihat seperti dalam hal pertanahan,
dalam hal penanaman modal juga dalam hal pembangunan
infrastruktur.
Kebijakan dasar desentralisasi adalah melimpahkan
urusan-urusan pemerintahan kepada daerah, kecuali dalam
bidang-bidang tertentu yang tetap ditangani secara terpusat,
yaitu bidang luar politik negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional serta agama. Dalam
kenyataannya, di luar itu baru sebagian saja bidang yang
sudah benar-benar diserahkan kepada daerah. Akibatnya
sering kali terjadi di satu pihak tumpang-tindih, di pihak lain ke-
vakum-an kewenangan. Meskipun kanwil-kanwil telah
ditiadakan, sebagai gantinya berkembang UPT-UPT pusat yang
melanjutkan kewenangan instansi vertikal di daerah yang
sesungguhnya telah didesentralisasikan. Kami memahami
bahwa, proses pelimpahan kewenangan perlu dilakukan secara
berhati-hati dan bertahap, sesuai perkembangan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah, karena memang daerah-
daerah otonom belum semuanya memiliki kapasitas
kelembagaan yang sama dan belum tentu mampu memikul
tanggung jawab otonomi apabila dibebankan sepenuhnya
sekarang. Namun harus ada rencana dan langkah kedepan
yang jelas meskipun bertahap, ke arah otonomi, disertai
dengan upaya penguatan kapasitas kelembagaan.
Proses-proses penentuan kebutuhan pembangunan di
daerah yang memerlukan dukungan pendanaan dari
pemerintah pusat, kerap dirasakan masih lebih bersifat
formalistik. Mekanisme bottom up yang sudah dilakukan oleh
Pemerintah Daerah mulai dari desa, kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi, yang kemudian diajukan ke tingkat
nasional, banyak yang terabaikan atau tidak direalisasikan.
Dalam konteks ini memang pemerintah (pusat) juga memiliki
keterbatasan pendanaan sehingga tak mungkin semua
kebutuhan daerah bisa memperoleh fasilitas pendanaan.
Sehingga bagi Pemda dirasa perlu untuk lebih mempertajam
lagi rencana kebutuhan pembangunannya berdasarkan skala
pririoritas bagi kepentingan rakyat dan daerah pada umumnya.
Ironisnya pada saat yang sama, tak sedikit daerah yang
menerima agenda-agenda pembangunan dalam bentuk

4
program dekonsentrasi, perbantuan maupun dana alokasi
khusus yang lebih merupakan arahan dari instansi
vertikal/teknis yang ada. Program-program seperti itu, bagi
pemerintah pusat, dianggap sebagai agenda nasional yang
harus dilakukan di daerah, sehingga daerah dipandang perlu
memperoleh panduan teknis hingga pada tingkat operasional.
Setiap daerah tentu saja berkepentingan dengan masuknya
program berikut pendanaannya di daerah. Persoalannya, kerap
program seperti itu menimbulkan kekakuan dalam
implementasinya di lapangan, lantaran tak jarang kurang sesuai
dengan kebutuhan di daerah. Karena umumnya kebutuhan
pembangunan lokal sudah dirumuskan melalui proses-proses
bottom up seperti yang sudah dijelaskan di atas. Akibatnya,
agenda pembangunan dengan skenario instansi vertikal di
Jakarta, tak jarang hanya merupakan proyek yang diselesaikan
sesuai dengan tuntutan administrasi pembangunan dan
anggarannya, tidak menimbulkan rasa kepemilikan bagi
daerah. Kebijakan-kebijakan seperti ini ke depan perlu lebih
disesuaikan dengan kebutuhan daerah, sehingga dirasa perlu
dikembangkan proses pengambilan kebijakan dan
implementasinya di daerah berwatak kemitraan (partnership)
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang tetap
harus mendasarkan pada kebutuhan lokal yang sudah
teragenda dari bawah. Pada tingkat tertentu juga perlu dikaji
ulang tingkat efektifitas atau keperluan dana alokasi khusus,
dalam artian bila memungkinkan hal itu bisa diserahkan saja
sepenuhnya untuk dikelola oleh daerah otonom berdasarkan
kebutuhan daerahnya.
Kita juga melihat di lapangan kelemahan dalam
desentralisasi fiskal, dimana dirasakan oleh daerah kurangnya
kejelasan dalam kebijakan dana bagi hasil serta transparansi
dalam penghitungan-penghitungannya, juga masih belum
disepakatinya berbagai ukuran parameter penentu alokasi
menurut kepentingan daerah dan kepentingan nasional.
Kedua, kebijakan dasar otonomi daerah sebagai
bangunan yang berjenjang (hierarchical autonomy), yaitu di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sekaligus mungkin saja
merupakan kebijakan yang bersifat win-win. Dalam kaitan itu,
kita diperhadapkan dengan permasalahan keefektifan
koordinasi antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota.

5
Setiap pemerintahan daerah otonom berupaya mewujudkan
agendanya sendiri-sendiri, termasuk bersaing dalam
memperebutkan “pembagian kue” berupa program
pembangunan (berikut dananya) dari instansi vertikal di
Jakarta. Dan ketika persaingan dari setiap pemegang otritas di
daerah itu menonjol dengan arogansi para aktornya sendiri-
sendiri, maka konflik antar pejabat utamanya antara
kabupaten/kota (Bupati/Walikota) dengan provinsi (Gubernur)
tak dapat dihindari. Apalagi memang kalau habitat atau latar
belakang para pejabat politiknya berbeda satu sama lain, sudah
pasti yang muncul adalah daerah otonom dengan wajah yang
sarat ketegangan. Itu semua belum termasuk struktur
kelembagaan pemerintahan daerah yang berjenjang itu dengan
konsekwensi pembiayaannya, akibat adanya keperluan untuk
mengisi jabatan pada struktur kelembagaan pemerintahan
daerah (orientasi pada jabatan), tanpa memperhitungkan
kebutuhan dan efisiensi penggunaan anggaran negara/daerah.
Ke depan, barangkali saatnya perlu dilakukan kaji ulang
tentang otonomi daerah kita yang berjenjang itu, dikaitkan
dengan prinsip-prinsip pelayanan masyarakat lokal yang lebih
efektif dan memungkinkan secara bertahap terwujudnya tujuan
nasional. Tepatnya, harus dicari formula kebijakan jenjang
otonomi daerah untuk satu level saja, apakah di tingkat provinsi
atau kabupaten kota. Hal ini juga akan berimplikasi pada
pemilihan kepala daerah secara langsung. Kalau otonomi kelak
dititik beratkan pada level provinsi, maka kepala daerah
provinsilah (gubernur) yang harus dipilih secara langsung.
Sementara di tingkat kabupaten/kota lebih merupakan ujung
tombak operasional kebijakan pembangunan untuk pelayanan
pada masyarakat lokal. Sebaliknya, kalau level otonominya
pada tingkat kabupaten/kota, maka Bupati/Walikota-lah yang
akan dipilih oleh rakyat secara langsung. Gubernur berposisi
sebagai Wakil pemerintah Pusat di daerah, ditunjuk atau
diangkat langsung oleh Presiden, untuk mengkoordinasikan
berbagai kebijakan atau agenda pembangunan di wilayah
administrasi provinsi.
Kita sekarang memilliki 33 provinsi, 389 kabupaten dan 96
kota. Setiap lima tahun sekali dilakukan Pilkada gubernur,
bupati dan walikota. Luar biasa besarnya biaya yang harus
dikeluarkan. Pertanyaannya, apakah sebanding dengan

6
manfaat yang diperoleh rakyat yang harus membiayainya?
Kalau manfaatnya memang sebanding, maka itu dapat
dipahami sebagai ongkos demokrasi, namun apabila tidak,
maka sifatnya adalah penghamburan keuangan negara yang
sesungguhnya dapat digunakan untuk tujuan lain yang lebih
baik untuk rakyat.
Dalam konteks pemikiran tersebut, kiranya perlu kita kaji
ulang bagaimana memahami amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang pemerintahan
daerah khususnya Pasal 18.
Terkait dengan pelaksanaan Pilkada secara langsung
yang sudah dan sedang berjalan sejak dicanangkan tanggal
15 Maret 2005 hingga sekarang, masih terdapat banyak kasus
Pilkada yang memerlukan perhatian serius untuk dapat
ditangani dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Berdasarkan
pengalaman selama ini, kasus Pilkada Maluku Utara
merupakan kasus yang menjadi begitu rumit dan sulit
penanganannya, memakan waktu terlama dalam sejarah
penyelesaian sengketa Pilkada di Indonesia. Disisi lain terdapat
pula masalah Pilkada Kalimantan Timur akibat interpretasi
hukum yang ditunggangi pretensi politik. Hal ini patut menjadi
pembelajaran bagi semua pihak khususnya Pemerintah untuk
lebih mempertegas sikap, menjaga momentum penyelesaian
masalah (tidak lambat, sehingga memberi kesempatan
masukan politiking dan akhirnya menjadi akumulatif) serta
dengan senantiasa berada dalam koridor dan penegakan
hukum secara konsisten.
Hal lain yang patut mendapat perhatian adalah terkait
dengan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang perlu dinaungi
dengan prinsip agar otonomi secara khusus tidak
menghilangkan historis yang oleh daerah dianggap penting.
Ketiga, kebijakan subyek pejabat pemerintahan daerah
yang menyimpang dari kepentingan publik, sekaligus
menyandra prinsip-prinsip pengelolaan pemerintahan daerah
yang baik (good local governance). Birokrasi pemerintahan
daerah yang berada di bawah kendali kepala daerah, pada
banyak kasus telah mengalami distorsi terkait dengan nilai-nilai
profesionalisme. Tak jarang aparat yang ditempatkan pada
posisi jabatan tertentu di daerah sesuai dengan kepentingan

7
pemegang otoritas lokal, kurang berdasarkan pada standar
profesionalisme birokrasi yang ideal untuk efektifnya pemberian
pelayanan kepada rakyat lokal.
Sejumlah daerah otonom seperti kabupaten Jembrana,
Sragen, Kota Tarakan, Provinsi Gorontalo, dan beberapa
lainnya, secara relatif telah menjalankan prinsip-prinsip
pengelolaan pemerintahan yang baik. Best practices seperti itu
sebenarnya juga sudah dicoba ditawarkan untuk diaplikasikan
ke daerah-daerah lain. Namun hingga saat ini, masih belum
banyak yang menerapkannya, sehingga terjadi kelambanan di
sebagian besar daerah otonom dalam proses pemberian
manfaat yang optimal bagi rakyat lokal. Apalagi di era pemilihan
kepala daerah secara langsung sekarang ini, legitimasi kepala
daerah yang diperoleh melalui proses-proses yang demikian
sulit, dengan pengorbanan materi yang tidak sedikit,
memungkinkan untuk terjadinya menggunakan kewenangan
pada jabatan yang ada untuk kepentingan yang lebih sempit
dan fragmatis. Kondisi seperti itu lebih memungkinkan terjadi
ketika pemerintah pusat atau pejabat yang berwenang yang
terkait kurang melakukan supervisi dengan instrumen-
instrumen yang meyakinkan.
Untuk itu, ke depan perlu dikembangkan kebijakan yang
memungkinkan dipisahkannya antara kewenangan kepala
daerah sebagai pejabat politik dengan birokrasi pemerintahan
daerah yang harus dikelola secara profesional. Subyek ini telah
pernah dipikirkan dan bergulir dalam pembahasan-
pembahasan diwaktu yang lalu terkait dengan posisi
Gubernur/Bupati/Walikota dengan Sekretaris
Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai pejabat karir puncak di
daerah. Namun karena sikap ewuh-pakewuh serta
penghormatan yang tinggi kepada pejabat politik (political
appointee dan elected appointee) maka pembahasan tersebut
di kalangan birokrat tidak pernah berlanjut. Yang terjadi
sekarang sudah sangat memprihatinkan dan mengajak kita
untuk memikirkan secara mendalam hal tersebut. Karena
elemen birokrasi sama pentingnya dengan elemen politisi
dalam kehidupan bernegara. Birokrasi harus memilki sosok dan
nilai-nilainya sendiri (feature and values) yang semata-mata
berorientasi untuk negara dan rakyat, bukan untuk politisi.

8
Sehubungan dengan itu DPD memandang perlu adanya
penegasan hubungan antara pejabat publik yang dipilih melalui
proses politik dengan birokrat yang disatu pihak harus
mendukungnya, tetapi di lain pihak birokrat harus terbebas dari
perangkap politik dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dengan demikian proses demokrasi di daerah tidak diikuti
dengan politisasi birokrasi yang dapat mengakibatkan
demoralisasi pada pejabat-pejabat karir. Aparat birokrasi
haruslah tetap profesional dan non-partisan, siapapun pejabat
yang dipilih oleh rakyat sebagai pimpinan puncak di daerah.

III. LANGKAH-LANGKAH MENUJU REKONSTRUKSI


Kami menyadari bahwa terhadap segala permasalahan
yang muncul dalam penyelenggaraan otonomi daerah tentu
saja terdapat gradasi dalam penyelesaiannya, apakah itu
penyelesaian pada tingkatan UUD, demikian pula pada tingkat
UU, juga pada tingkat implementasi bahkan hanya pada lingkup
tugas teknis kementerian atau direktorat jenderal saja misalnya.
Namun adalah juga kenyataan bahwa bagi masyarakat
khususnya yang ada di daerah-daerah, di gunung-gunung, di
pinggir hutan, di pojok pesisir, yang dibutuhkan adalah
pemenuhan kebutuhan hidup esensial yang pelayanannya
diperoleh dari pemerintah, tanpa harus mereka tahu bagaimana
mekanisme ataupun sistem pemerintahan itu berlangsung.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tak bisa
dilepaskan dengan agenda good governance dan clean
government. Hal ini amat penting karena pada dasarnya nasib
rakyat, utamanya yang terkait dengan peningkatan kualitas
hidup baik dari segi ekonomi maupun sosial dan budaya, di era
otonomi daerah ini lebih tergantung pada bagaimana kebijakan
dan perilaku para stakeholders di daerah. Dalam konteks ini,
DPD menganggap perlu terus diupayakan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang memungkinkan terwujudnya agenda
pemerintah yang baik yang berorientasi pada rakyat
daerah/lokal itu.
Kita menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan
yang baik baru bisa terwujud apabila terjadi transparansi dan
akuntabilitas serta partisipasi masyarakat dalam proses-proses
pengambilan kebijakan dan implementasinya. Aspirasi,

9
kepentingan atau kebutuhan rakyat lokal yang selalu sinerjik
dengan tuntutan regional, nasional maupun internasional,
haruslah menjadi dasar dan sekaligus orientasi dalam segala
kebijakan era otonomi daerah.
Dalam kaitan itu, DPD menganggap perlu terus
dilakukannya supervisi dari pemerintah pusat dalam kaitan
dengan proses-proses penganggaran dan alokasi pembiayaan
di daerah, termasuk di dalamnya mencegah terjadinya
penyimpangan dan atau penyalahgunaan anggaran
negara/daerah. Pihak BPK dan KPK diharapkan bisa selalu
melakukan koordinasi supervisi dan pembinaan kepada para
penyelenggara pemerintahan di daerah sehingga diharapkan
secara bertahap bisa mengeliminir pelanggaran administrasi
anggaran, dan atau pencegahan korupsi. DPD sendiri sekarang
ini telah membangun kelembagaan yang bertugas khusus
untuk melakukan pemantauan terhadap kasus-kasus
penyimpangan anggaran atau korupsi di daerah, bekerjasama
dengan KPK.
Pada tanggal 15 Agustus 2008, dalam Sidang Paripurna
DPR, Presiden telah menyampaikan keterangan Pemerintah
atas Rancangan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara
(RAPBN) Tahun 2009 beserta nota keuangannya. Didalamnya,
Presiden juga telah menyampaikan berbagai kondisi nyata
yang tengah dihadapi oleh Pemerintah dan bangsa Indonesia
beserta proyeksi-proyeksinya ke depan yang secara umum
cukup memberikan gambaran optimistik terutama pada
rangkuman-rangkuman ekonomi makro yang mempesona.
Kondisi ekonomi makro tampak mengalami perbaikan.
Namun demikian, situasi makro ekonomi yang membaik
itu harus pula didukung oleh kondisi mikro ekonomi yang sehat.
Lebih dari itu, pada kondisi mikro ekonomi inilah sebenarnya
realitas ekonomi masyarakat berlangsung. DPD tidak pernah
henti-hentinya mengingatkan kepada Pemerintah untuk dapat
membangkitkan sektor riil melalui pendekatan kebijakan yang
tepat guna agar roda ekonomi dapat berlangsung lebih cepat.
Pemerintah juga telah menyampaikan bahwa sektor riel
telah digenjot dan membaik. Yang penting selanjutnya adalah
daya coverage berbagai kegiatan sektor riel tersebut di tengah-
tengah masyarakat, sehingga masyarakat mendapatkan

10
pekerjaan dan sekaligus penghasilan. Pembangunan ditengah
masyarakat harus berselimut martabat rakyat, bukan charity
dan berakibat melemahkan inovasi dan motivasi rakyat. Oleh
karenanya berbagai program yang bersifat open menu seperti
contohnya PNPM harus lebih disosialisasikan dengan baik
hingga ke pelosok tanah air dan para Bupati/Walikota agar
lebih responsif terhadap program open menu PNPM tersebut
dan terus menumbuhkan kreativitas masyarakat.
Masyarakat terutama yang kami pantau di daerah sangat
mengharapkan secercah cahaya, dibalik mendungnya awan itu
akan makin terang sinarnya, bahwa ekonomi kita sudah
kembali pada momentum pertumbuhan seperti sebelum krisis.
Namun untuk betul-betul kita bisa mewujudkannya, memang
banyak kerja yang harus kita lakukan, kemajuan yang telah
dicapai harus dikonsolidasikan, dan kebijakan-kebijakan yang
tercerai-berai harus diserasikan. Masyarakat di daerah yang
ingin mengikuti perkembangan di pusat, sering bertanya
kepada anggota-anggota DPD, tentang berbagai kebijakan
pemerintah, dan terkesan risau apabila mendengar ada
perbedaan apalagi pertentangan antar-pejabat atau antar-
sektor di pemerintahan. Alangkah baiknya apabila selama
masih ada perbedaan atau sebelum ada kesepakatan,
janganlah sebuah kebijakan ditampilkan, sehingga bukan
hanya akan menjadi bulan-bulanan dan spekulasi, tetapi
terlebih lagi membingungkan rakyat yang jauh dari pusat yang
hanya bisa mengikuti perkembangan dari apa yang dibaca,
dilihat atau didengarnya dari media.
Selain dari pada itu, seperti telah kami sampaikan diwaktu
yang lalu dalam forum ini juga, rakyat di daerah sangat
mengharapkan sektor riil dapat bergerak lebih cepat, untuk
membuka kegiatan ekonomi diakar rumput masyarakat. Seperti
dicontohkan oleh negara-negara yang sekarang ekonominya
berkembang pesat kegiatan ekonomi haruslah bersumber dari
daerah, dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi harus berada di
daerah. DPD mengharapkan pemerintah lebih meningkatkan
ikhtiar pemberdayaan ekonomi daerah, dengan terobosan-
terobosan strategis sehingga kondisi ekonomi makro yang telah
cukup baik itu, dapat benar-benar ditransfer ke dalam kegiatan
ekonomi di tingkat masyarakat.

11
Energi adalah bagai oksigen yang diperlukan oleh tubuh
ekonomi. Dalam kunjungan ke daerah, para anggota DPD
seringkali memperoleh keluhan bukan hanya oleh
ketidakpastian pasokan listrik, tetapi juga kesulitan memperoleh
bahan bakar minyak di berbagai daerah, yang bukan hanya
menyangkut soal harga tetapi kelangkaannya, serta tidak
mudahnya konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas.
Oleh karena itu, kami menyambut baik penekanan
Saudara Presiden tentang pentingnya menjaga keamanan
energi (energy security) di tanah air. Maka bersama dengan
para menteri dan instansi yang terkait, DPD akan mempelajari
upaya pemerintah untuk meningkatkan pasokan energi dan
efisiensi pemanfaatan energi, dalam perspektif daerah.
Mengingat besarnya investasi yang diperlukan untuk bidang
energi, maka tidak dapat dihindari ikut sertanya swasta dalam
memasok energi. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan yang
jelas dan konsisten serta kepastian hukum yang dilandasi oleh
peraturan perundangan yang tegas, dan prosedur yang
transparan. Kesemuanya itu diharapkan akan menjadi panduan
bagi para pelaksana di lapangan, investor, dan masyarakat
pada umumnya.
Dalam hubungan itu, kami juga mendorong pembangunan
pembangkit-pembangkit listrik yang menggunakan batubara di
muka tambang (mine mouth), sehingga bagi daerah ada nilai
tambah, disamping juga menghindari masalah-masalah
transportasi, fasilitas penampungan batubara dan sebagainya.
Untuk itu memang jaringan transmisi listrik harus diperluas
termasuk antar-pulau seperti Sumatera-Jawa.
Selain energy security, bagi Bangsa Indonesia yang besar
jumlah penduduknya dan tersebar luas di bumi Nusantara,
persoalan ketahanan pangan (food security) adalah juga
masalah yang penting. DPD menyambut gembira bahwa
Indonesia sekarang sudah kembali swa-sembada pangan,
khususnya beras. Namun, agar supaya swa-sembada itu dapat
terus berlanjut, pemerintah harus senantiasa waspada, karena
banyak faktor mempengaruhi produksi pertanian. Selain faktor
iklim dan cuaca, juga ketersediaan sarana produksi dan
kelancaran sistem distribusi. Misalnya DPD mendapat laporan
dari beberapa daerah, antara lain di Provinsi Sumatera Utara,

12
Kalimantan Timur dan Riau tentang terjadinya kelangkaan
pupuk.
Meletakkan otonomi daerah pada suatu tingkatan
pemerintahan tertentu merupakan pilihan dengan konsekuensi
dalam kewenangan, alokasi anggaran serta ketatalaksanaan
unit manajemen pemerintahan. Pemerintah pusat saat ini
mengatur alokasi anggaran melalui SKPD berdasarkan
peraturan perundangan, dan terindikasi adanya persepsi politik
lokal bahwa mengembangkan unit formal manajemen
pemerintahan daerah akan berbanding lurus dengan
peningkatan alokasi anggaran pemerintah. Akibatnya, sangat
kuat aspirasi politik yang muncul dan dijustifikasi kemudian
dalam aspirasi dan mekansime teknis untuk pengembangan
daerah-daerah otonom baru.
Hal spektakuler terjadi dimana pertambahan jumlah
kabupaten kota di Indonesia mengalami peningkatan jumlah
yang sangat siginifikan, yakni dari jumlah sekitar 300 ditahun
1998 menjadi berjumlah hampir 500 di tahun 2008. Upaya
Pemerintah mengendalikan pemekaran daerah dilakukan
melalui pengetatan persyaratan dengan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 78 Tahun 2007, tetap saja tidak mengubah
keinginan daerah untuk memekarkan daerahnya. Sejumlah
usulan dari daerah untuk membangun unit pemerintahan
daerah otonom baru sekarang ini ada di meja pemerintah, DPR
dan DPD, pada kita semua; memang kita memiliki kewajiban
konstitusional untuk menindak lanjuti aspirasi masyarakat
daerah dalam upaya membangun daerah otonom, kendati ke
depan perlu lebih mendasarkan pada perencanaan yang
menyeluruh sebagai kebijakan dasar (grand design) dalam
rangka penataan daerah-daerah di Indonesia.
Kebijakan dasar ini seyogyanya akan menjadi landasan
dalam rangka pengendalian dan pembahasan usulan
pemekaran daerah bagi penguatan implementasi otonomi
daerah di Indonesia. Tentu saja sebelum pemerintah pusat
berhasil merampungkannya perlu terlebih dahulu
penyusunannya dilakukan pada tingkat pemerintahan provinsi
dalam bentuk master plan yang secara sistematis dan metodis
dirancang berdasarkan situasi dan kondisi daerah.

13
Perencanaan yang menyeluruh ini harus dimiliki oleh setiap
pemerintah daerah provinsi dalam bentuk master plan tersebut.
Melengkapi upaya itu perlu diawali evaluasi menyeluruh
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dan klasifikasi
yang memuat tingkat kemampuan manajemen pemerintahan.
Dengan hasil yang faktual dan rasional itu, pemerintah dapat
segera mengambil langkah antara lain mendorong dan
memfasilitasi daerah untuk mencapai kemajuan,
mengembangkan kerjasama antar daerah dalam satu kawasan
menurut kategori tertentu termasuk pada akhirnya apabila
terpaksa juga didorong untuk harus melakukan penggabungan
daerah-daerah otonom baru yang gagal dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat.
Efektifitas penyelenggaraan pemerintahan secara umum
tergantung pada dua hal pokok yaitu: pertama, adanya
dukungan dari parlemen dalam bentuk dukungan terhadap
kebijakan pemerintah antara lain dalam bentuk legislasi; dan
kedua, dukungan jajaran birokrasi yang baik. Sejalan dengan
itu, maka efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah juga
sangat membutuhkan dukungan dalam hal legislasi. Hubungan
pemerintah secara vertikal-horizontal dalam bidang legislasi
dengan demikian perlu mendapatkan perhatian.
Dalam hubungan vertikal, pusat dan daerah di bidang
legislasi, masih dirasakan cukup banyak persoalan.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, dalam hal legislasi,
diantaranya daerah harus berkonsultasi ke pusat dan
disamping itu legislasi daerah dapat dibatalkan oleh pusat.
Pola hubungan legislasi seperti ini sesungguhnya kurang tepat
karena secara nyata jelas menunjukkan ketidakpercayaan
pusat kepada daerah disatu sisi dan disisi lain, pemerintah
pusat (eksekutif pusat) berindikasi melakukan intervensi dan
delegitimasi terhadap produk wakil rakyat daerah (PERDA).
Dalam kaitan ini, setidaknya pemerintah pusat melakukan
koordinasi preventif dengan pembinaan terhadap para pihak
pengambil kebijakan di daerah (DPRD dan eksekutif terkait)
sehingga bisa mencegah lahirnya produk-produk kebijakan di
daerah yang tidak sejalan dengan ruh NKRI dan atau

14
menghambat proses akselarasi pelaksanaan pembangunan
dan kemajuan daerah.
Dalam hubungan strata pemerintahan (eksekutif) sendiri
hal seperti inipun mengandung ekses yang kurang baik, karena
komunikasi pusat-daerah (eksekutif) kemudian dapat
berkembang dalam bentuk-bentuk kontra produktif seperti pola
birokrat pelobi (lobbying-bureaucrats). Pola yang demikian
menunjukkan perkembangan yang kurang sehat dan
berindikasi rent-seeking. Sebetulnya yang dibutuhkan ialah
kebersamaan dan prilaku kemitraan dalam penyelenggaraan
pemerintahan antar berbagai strata pemerintahan. Yang
penting sebagai pegangan sesungguhnya adalah prinsip bahwa
membangun daerah itu merupakan kerangka dasar dari
pembangunan nasional secara umum, karena kemajuan secara
nasional sangat ditentukan oleh kemajuan daerah-daerah
otonom. Juga sebaliknya, kita membangun nasional dan
membangun daerah dengan prinsip keseimbangan keadilan
distributif untuk nasional dan untuk daerah.
Seperti telah kami uraikan terdahulu bahwa elemen
birkrokasi menjadi salah satu diantara tiga faktor penentu atas
apa yang terjadi sekarang dalam implementasi otonomi daerah.
DPD sangat menaruh perhatian pada reformasi birokrasi yang
dilakukan oleh pemerintah. Gambaran perkembangan birokrasi
di daerah yang mengemuka adalah kerancuan dalam hal
pengelolaan birokrasi dimana terjadi campur aduk (mix-up)
antara jabatan politik dan jabatan karir (elected appointee,
political appointee dan carrier appointee). Kerancunan dalam
kepemimpinan birokrasi terjadi dan semakin menjadi-jadi
belakangan ini dalam hal mutasi pejabat yang dilakukan
dengan pendekatan politik, bukan melalui assessment atau
judgemnet profesional. Perkembangan ini apabila dibiarkan
akan membahayakan sisi kehidupan komunitas bikorasi di
daerah-daerah. Memang betul bahwa kewenangan pembinaan
pegawai negeri sipil (PNS) ada ditangan Gubernur dan
Bupati/Walikota sesuai dengan pelimpahan wewenang dari
Presiden menurut UU Nomor 43 Tahun 1999. Tetapi yang
berkembang di lapangan, sudah berindikasi buruk dimana
setiap kali musim Pilkada, maka terjadi tekanan dan ganguan
pada sistem kerja birokrasi dan para pejabat, pegawai negeri
sipil, khususnya dalam kaitan penempatan pada jabatan-

15
jabatan strategis. Usul kami cukup tegas yaitu kita tinjau
kembali dan reka ulang tentang posisi antara pejabat politisi
dan birokrat, jangan tercampur aduk.
Sangatlah sulit dipahami dengan kebijakan dasar
desentralisasi dan pelimpahan hampir semua kewenangan
kepada daerah dimana hanya tersisa kewenangan tingkat
pusat yaitu bidang luar negeri, moneter, yustisia, pertahanan
dan agama, ternyata organisasi tingkat pusat semakin besar
dan gemuk; berkembang pula UPT-UPT pusat di daerah yang
semakin banyak jumlahnya. Mengguritanya organisasi pusat
seperti ini perlu dievaluasi secara jernih dan pemerintah pusat
sudah harus mengurangi cara-cara penyelesaian masalah
dengan pendekatan solusi melalui pemekaran organisasi
kerja.
Dalam ketatalaksanaan juga cukup banyak persoalan.
Adalah kenyataan bahwa tidak pada semua daerah terjadi
koordinasi yang baik dan harmonis dalam penyelenggaraan
pemerintahan, antara pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan kabupaten/kota. Ini kembali menunjukkan pada
kita bahwa ada permasalahan, dalam mekanisme perijinan
misalnya. Kasus-kasus seperti ini tampak seperti misalnya
dalam kaitan dengan kegiatan BUMN dalam pengelolaan
pertambangan umum dan galian. Indikasi yang muncul ialah
kesulitan hubungan ketatalaksanaan juga antara pusat dan
daerah. Harus diakui bahwa dalam berbagai kegiatan
pembangunan, terjadi kelemahan supervisi oleh pemerintah
pusat (departemen) kepada daerah-daerah). Tentu banyak
sebab bisa diutarakan dalam hal ini, namun yang penting ialah
bahwa meskipun dalam semangat otonomi daerah, berkaitan
dengan standarisasi teknis dan keberhasilan program, agenda,
dan sasaran secara menyeluruh di wilayah tanah air, tentulah
tetap menjadi tanggung jawab pemerintah secara nasional
sebagaimana pesan tujuan negara.
Oleh karena itu, kegiatan supervisi dan pengawasan
menjadi sangat penting diperhatikan. Unit pengawasan di
daerah sudah waktunya untuk di-injeksi dari pusat baik untuk
tingkat ketajaman profesional pengawasannya, maupun untuk
tingkat kekuatan posisi/statusnya yang mengait dengan
pemerintah pusat, setidaknya dalam kaitan standard dan

16
perlakuan yang mendukung posisi mereka sebagai pengawas
untuk tidak dengan mudah terkooptasi. Hadirnya Ombudsman
Daerah mungkin akan dapat menolong dalam mencapai
sasaran fungsional politis tersebut.
Dalam hal sumberdaya manusia aparatur, yang perlu
menjadi perhatian adalah berkaitan dengan penyelesaian
tenaga honorer. Sesuai rencana Kabinet Indonesia Bersatu
untuk menyelesaikan seluruh tenaga honorer seperti tleha
diutarakan pemeirntah waktu-waktu yang lalu. Hal ini perlu
ditekankan, karena data tentang tenaga honorer ini masih
banyak yang tersisa di daerah, yang sampai saat ini masih
belum ditangani sebagaimana diharapkan dalam upaya
memberdayakan mereka dan sekaligus mengangkat mereka
menjadi CPNS sebagaimana janji pemerintah untuk
menuntaskannya tahun 2009 yang akan datang.
Dewan Perwakilan Daerah sesuai dengan tugas
konstitusionalnya juga terus mendorong daerah serta menjaga
dalam kaitan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Yang menjadi pegangan dalam pengelolaan sumberdaya
alam ialah prinsip membangun dengan menjaring nilai tambah
sebesar-besarnya untuk manfaat pada masyarakat terbanyak;
serta prinsip kesinambungan. Prinsip kesinambungan atau
sustainability maknanya adalah bahwa apa yang kita lakukan
terhadap sumberdaya alam saat sekarang ini, akan tetap
memberikan jaminan bahwa anak cucu generasi penerus kita
nantinya juga akan memiliki kesempatan yang sama seperti
yang kita miliki atas sumberdaya alam dan lingkungan tersebut
bahkan mungkin lebih baik dari yang kita miliki sekarang ini.
Sustainability janganlah hanya menjadi jargon
perencanaan dan harus disiplin menjadi pegangan. Menurut
agenda-21 Rio de Janeiro cakupan untuk menjaga
sustainability meliputi: Pertama, dimensi sosial (yaitu tangani
kemiskinan, ikuti perkembangan dinamika demografi,
kembangkan pendidikan dan kesadaran publik, lindungi
kesehatan manusia dan kembangkan lingkungan pemukiman
yang sehat); Kedua, dimensi ekonomi (yaitu perubahan pola
konsumsi dan pengelolaan mekanisme serta sumber-sumber
keuangan); Ketiga, dimensi lingkungan (yaitu kembangkan
pembangunan pertanian dan perdesaan, tangani deforestasi,

17
konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan atmosfir dan
pengelolaan bioteknologi yang berorientasi lingkungan); serta
Keempat dimensi kelembagaan (yaitu kembangkan terus
pengetahuan tentang pembangunan yang sustainable,
ketersediaan informasi dalam pengambilan keputusan dan
penguatan peran kelompok-kelomok yang terkait).
Terkait dengan itu, maka kegiatan-kegiatan ekonomi yang
ramah lingkungan seperti pariwisata haruslah digalakkan. Tidak
pantas rasanya jumlah wisatawan asing yang datang ke negara
kita yang begitu luas, indah dan beragam budaya dan alamnya,
lebih sedikit dibanding yang ke negara-negara tetangga.
Demikian pula pengembangan kegiatan ekonomi yang tidak
memerlukan banyak bahan baku alam dan tidak berpengaruh
pada lingkungan, yaitu ekonomi yang berbasis pengetahuan,
seperti IT, dan berbasis kreativitas dan budaya masyarakat
perlu lebih digalakkan, dengan basis daerah-daerah yang
sesuai untuk pengembangan kegiatan ekonomi tersebut.
Kebijakan dan insentif untuk mendorong bidang-bidang
tersebut perlu terus diupayakan oleh pemerintah.
Persoalan pencemaran lingkungan juga menjadi lebih
serius beberapa tahun terakhir seperti pencemaran air di
Demak, Jawa Tengah juga pencemaran perairan di Kepulauan
Riau.
Beberapa hal dalam aspek sumberdaya alam dan
lingkungan hidup menjadi perhatian DPD, termasuk keterlibatan
DPD dalam agenda perubahan iklim dan konsistensinya
dengan langkah-langkah tindak lanjut. Terhadap ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah perlu segera dilakukan
langkah-langkah penataan yang benar. Banyak kasus sengketa
tanah yang terus berkembang sementara penanganan
terhadap kasus tersebut berjalan relatif sangat lamban.
Pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan terlihat
belum berjalan sebagaimana mestinya. Urusan pertanahan
yang sudah didesentralisasikan kepada daerah dalam
implementasinya banyak mengalami kendala. Banyak faktor
yang menjadi penyebabnya seperti penegasan semangat
otonomi daerah bidang pertanahan, pentahapan dalam
distribusi urusan/kewenangan, rincian urusan/kewenangan dan
kegiatannya serta SDM aparatur profesional.

18
Kemauan politik pemerintah pada saat ini sangat
diharapkan untuk dapat mendukung pelaksanaan UU PA yang
bermanfaat bagi masyarakat petani. Yang perlu mendapat
perhatian bersama dari implementasi UU PA adalah bagaimana
keberadaan UU PA dapat memberikan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan menjamin kepastian hukum bagi
pemilikan tanah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan di segala bidang.
Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan
menjamin kepastian hukum atas hak-hak yang dimiliki oleh
persekutuan masyarakat hukum adat. Di dalam kesatuan
masyarakat hukum adat, terdapat kepemilikan kolektif atas
tanah dan apa-apa yang ada dan tumbuh di atasnya, seperti
hak ulayat atas tanah, hak ulayat atas hutan, hak ulayat atas
rumput dan savana, dan juga ikan-ikan di sungai dan danau
serta semua unsur pembentuk bentang alam atau ekosistem
daerah. Karena itu, meskipun hak ulayat itu berada di atas atau
di bawah tanah-tanah yang dimiliki persekutuan masyarakat
hukum adat, maka dalam proses pemindahannya, diberlakukan
dengan ketentuan yang lebih khusus, agar keadilan masyarakat
terlindungi.
Presiden juga telah menjelaskan berkaitan dengan energy
security, upaya menyiapkan cadangan listrik dan sebagainya
dalam Sidang Paripurna DPR. Pada kesempatan ini, kami
sampaikan pandangan bahwa salah satu prasyarat utama
untuk menerapkan tata kelola yang lebih baik dalam
membangun sektor ketenagalistrikan nasional dimana tenaga
listrik diakui sebagai kebutuhan strategis yang menyangkut
hajat hidup orang banyak ialah dengan kepastian hukum
berupa peraturan perundang-undangan yang disusun secara
transparan, dapat dilaksanakan, dan mendorong tercapainya
maksud dan tujuan yang diharapkan. Dengan kata lain,
pengelolaan energi nasional memerlukan suatu roadmap yang
akan selalu menuntun pelaku kebijakan, investor dan
masyarakat secara luas dan transparan serta akuntabel.
Melekat dengan persoalan energi ialah pembangunan
pertambangan umum dan galian yang akhir-akhir ini muncul ke
permukaan. Ijin pertambangan umum dan galian seperti
batubara, dan nikel misalnya di Sulawesi ataupun bahan galian

19
lain seperti zirkonia, emas dll di Kalimantan menjadi persoalan
yang cukup serius. Masalahnya bukan hanya pada persoalan
tumpang tindih dalam perizinan atas suatu lokasi, akan tetapi
lebih rawan lagi karena telah nyata menjadi bentuk kegiatan
ekspor material dasar bongkahan tanah dan pasir yang jelas-
jelas mengubah bentang alam dan lingkungan di mana secara
kasat mata mempertontonkan pula pada kita tentang
translokasi “tanah” ke luar daerah bahkan ke luar negeri. Yang
ingin didorong disini ialah agar usaha-usaha pertambangan
galian dilakukan dengan prinsip menjaring nilai tambah yang
maksimal, misalnya pabrik harus didirikan dan berada di
lokasi/daerah yang bersangkutan. Intinya adalah agar
membangun nilai tambah sebesar-besarnya untuk kepentingan
rakyat daerah yang sebanyak-banyaknya.
Dalam kaitan RUU Minerba, daerah mengharapkan agar
direvisi dengan baik karena tidak ada keseimbangan antara
pendapatan dan kerusakan lingkungan. Daerah meminta
keadilan dari pembagian royalti dari sumberdaya energi dan
mineral yaitu 50% untuk pusat dan 50% untuk daerah.
Terkait dengan kasus penunggakan utang royalti oleh
enam perusahaan besar pertambangan batubara dengan
jumlah sekitar Rp 7 triliun seperti yang sedang banyak
dibicarakan sekarang, DPD meminta perhatian agar pemerintah
segera menyelesaikan masalah tunggakan utang royalti
tersebut karena cukup berarti bagi penerimaan pusat dan
khususnya daerah serta untuk keadilan bagi daerah. Dalam
kaitan itu, daerah juga mendorong pemerintah pusat segera
mengeluarkan kebijakan untuk mengevaluasi segala bentuk
kontrak karya, kontrak kerja dan kerjasama lainnya yang tidak
memberikan manfaat bagi kepentingan daerah.
Era otonomi daerah memang memberi ruang yang begitu
luas kepada Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan
eksploitasi sumberdaya alam yang berada dalam wilayah
administrasi pemerintahannya. Namun perlulah selalu
diingatkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam, sesuai
dengan amanat UUD 1945, haruslah diorientasikan untuk
pemenuhan kemakuran rakyat. Konsep pengelolaan
sumberdaya alam di daerah, dengan sendirinya, haruslah
dibangun di atas paradigma yang secara perlahan bisa

20
memastikan rakyat sebagai penerima manfaat yang besar dan
secara langsung menunjang kemajuan pembangunan daerah
secara umum. Para pihak yang diberi kesempatan untuk
mengelola atau mengeksploitasi sumberdaya alam, dengan
sendirinya harus memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip
yang bernilai manfaat dan berkesinambungan (sustainable)
seperti itu. Konsekwensinya, kebijakan dan agenda CSR
(Corporate Social Responsibility) atau berupa dana-dana
pembangunan masyarakat (community development fund) dari
setiap perusahaan yang mengelola atau mengeksploitasi
sumberdaya alam haruslah memiliki kepastian yang memberi
manfaat jangka panjang bagi masyarakat daerah.
Sangatlah disadari bahwa berkaitan dengan itu, mutlak
adanya kebutuhan untuk jaminan infrastruktur dasar, jaringan
jalan dan kemudahan dalam usaha di daerah. Bentang
geografis Indonesia yang luas dari Sabang di bagian barat
hingga Merauke di bagian timur dan dari Miangas di Kepulauan
Talaud di utara hingga Rote di bagian selatan merupakan
gambaran jelas mengenai pentingnya pembangunan
infrastruktur sebagai urat nadi pembangunan perekonomian.
Belum lagi masalah demografi dan etnis yang cukup unik
dengan sebaran yang tidak merata. Pola pengembangan
infrastruktur bagi bangsa ini jelas harus dilaksanakan secara
adil dan merata sesuai dengan kebutuhan masyarakat selaku
pemangku kepentingan. Pola penanganan infrastruktur dengan
pengelolaan pelaksanaan pembangunannya secara terpusat
haruslah segera ditinggalkan karena tidak banyak memberi
manfaat besar bagi masyarakat setempat. Yang perlu
dikembangkan kemudian adalah pengembangan infrastruktur
yang berbasis pada pengembangan kebutuhan daerah dan
masyarakat dalam satu sistem transportasi nasional seperti
penyelesaian trans Kalimantan dan trans Sulawesi serta
pemantapan pemulihan trans Sumatera. Peran pemerintah
pusat masih cukup besar dalam hal pengambilan kebijakan
yang lebih integratif dan holistik, namun tataran
pelaksanaannya kemudian harus lebih banyak dilakukan oleh
pemerintah daerah.
Dengan pemaknaan daerah sebagai suatu yang unik
sebagai basis pengembangan wilayah maka terdapat 3 (tiga)
bidang rujukan yang dianggap strategis untuk dimaju

21
kembangkan. Tiga bidang tersebut adalah bidang pertanian,
perikanan dan kehutanan. Alasan perlu dikembangkannya
ketiga bidang tersebut paling tidak ada 2 (dua) hal yaitu: alasan
historis sosiologis; dimana menjadi suatu kenyataan bahwa
pola bentukan budaya di Indonesia adalah pola masyarakat
agraris dan pola masyarakat pesisir. Kedua pola ini banyak
mewarnai corak dan cara berpikir masyarakat di Indonesia
selama ratusan bahkan ribuan tahun. Alasan lain ialah alasan
ekonomis; dimana ketiga bidang tersebut merupakan bidang-
bidang yang menyerap angka tenaga kerja paling besar.
Namun disisi lain ketiga bidang tersebut kurang memberikan
sumbangsih yang signifikan dalam perekonomian secara
nasional yang dampaknya antara lain terlihat bahwa para
pekerja di bidang tersebut (petani, nelayan) merupakan salah
satu faktor penyumbang terbesar pada angka kemiskinan di
Indonesia. Menyikapi kondisi yang terjadi pada masyarakat
petani dan nelayan, diperlukan suatu kebijakan pembangunan
secara komprehensif yang dilakukan secara bersama dan
berkesinambungan antara unsur pemerintah pusat, pemerintah
daerah serta unsur stakeholders lainnya. Pola kebijakan
revitalisasi terhadap bidang pertanian, kehutanan dan kelautan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah pada hakikatnya cukup
baik dan perlu mendapat dukungan secara politis. Namun tentu
saja diharapkan bahwa pola kebijakan ini tidak hanya dalam
tataran konsep belaka tanpa ada implementasi yang konsisten
dan berkesinambungan.
Sampai dengan saat ini sektor kelautan dan perikanan
merupakan salah satu sektor yang mempunyai keunggulan
kompetitif untuk menggerakkan perekonomian nasional. Namun
ironisnya, sumber daya tersebut mengalami ancaman serius
dari maraknya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
yang tidak bertanggungjawab. Dalam hal ini, kesamaan
pemahaman dan peningkatan pengayaan dalam operasional
pengawasan dan pengendalian serta peningkatan kualitas
teknis pengawasan melalui pemanfaatan sistem, prosedur, dan
teknis, harus segera diakomodasikan.
Bidang kehutanan juga sama beratnya, masalah
pengelolaan hutan dan kewenangan pemberian ijinnya, HPH,
penggundulan hutan, kebakaran hutan dan kabut asap,
sengketa pengelolaan hutan dengan masyarakat adat dan

22
masyarakat sekitar hutan serta illegal logging selalu
menghantui bidang kehutanan ini. Persoalan lain seperti
masalah penyuluhan yang berkesinambungan, ketersediaan
pupuk dan pestisida, pemberian kredit murah bagi petani dan
nelayan serta hal lain seperti pendidikan, sanitasi dan
kesehatan serta infrastruktur pertanian dan perikanan/kelautan
menjadi hal yang perlu pula menjadi perhatian utama bagi
proses revitalisasi tersebut.
Berbagai permasalahan seputar kemiskinan dan
pengangguran di Indonesia hingga kini sudah digambarkan
oleh Presiden pada Sidang Pairpurna DPR yang lalu dengan
catatan yang optimisik. Untuk itu DPD ingin mempertegas saja
bahwa kebijakan ekonomi makro, terutama kebijakan fiskal
perlu dikaitkan dengan upaya mengatasi kemiskinan dan
pengangguran, kesenjangan antar daerah dan memacu
pertumbuhan ekonomi bukan hanya pada tingkat nasional
tetapi juga regional. Guna mewujudkan pertumbuhan tersebut,
maka sektor bisnis yang harus dimaksimalkan perannya adalah
sektor usaha mikro kecil dan menengah yang tersebar di
seluruh Indonesia.
Aspek lain dalam desentralisasi yang tidak kalah penting
terkait dengan peningkatan investasi daerah. Daerah-daerah
perlu menciptakan iklim investasi dan iklim berusaha yang
sehat. Berbagai peraturan daerah yang tumpang tindih dan
berpotensi mengurangi minat investasi sudah saatnya secara
sensitif diperbaiki. Demikian pula pelayanan birokrasi, terutama
yang berkaitan dengan perizinan. Hal ini menegaskan bahwa
potensi, tugas dan kemampuan untuk menggerakan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah/wilayah adalah sektor
usaha yang digerakkan masyarakat secara dinamis.
Pemerintah lebih berfungsi sebagai lembaga yang
memperkuat, menjaga dan mengarahkan dalam proses
pembangunan perekonomian yang berlangsung tersebut.
Dalam konteks pembangunan regional, investasi memegang
peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Investasi dipandang dapat menjadi titik tolak pertumbuhan
ekonomi; dengan ekonomi yang bertumbuh diharapkan
persoalan keuangan negara akan dapat teratasi oleh
mekanisme hubungan timbal balik/interaksi yang terjadi.
Dengan investasi yang bertumbuh juga ekonomi akan

23
menggeliat, daya beli meningkat, dan masyarakat tidaklah
menjadi enggan untuk memenuhi kewajibannya kepada
negara. Sedangkan negara juga dapat memenuhi
kewajibannya berupa pelayanan kepada negara sehingga
siklus keuangan pun dapat berjalan baik. Dalam kerangka
pengembangan investasi itu, tentu daerah memiliki hal-hal
yang perlu dijaga seperti berbagai kearifan lokal dan budaya
turun temurun yang harus tidak terkikis, seperti misalnya Bali
yang telah menjadi primadona wisata Indonesia dengan daya
tarik investasi yang luar biasa, diharapkan untuk senantiasa
terjaga ciri budayanya dalam kehidupan keseharian. Terkait
dalam bidang kepariwisataan, yang harus dihindari adalah
pariwisata yang sebenarnya memiliki ciri-ciri khusus dan
dikembangkan secara spesifik berubah menjadi daerah tujuan
wisata massal, yang tidak terkendalikan.
Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia
pada masa yang akan datang adalah manusia yang mampu
menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa
lain di dunia. Bahwa global competitiveness menuntut kita
untuk makin produktif, makin terampil, memiliki etos kerja yang
makin kuat, serta berdisiplin tinggi, sehingga bisa tetap survive
dalam percaturan masyarakat internasional. Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2005 berada di posisi
108 dari 177 negara, menurun dari posisi tahun 2008 yang
berada di peringkat 107 dari 177 negara. Posisi ini hampir
sama dengan Vietnam yang berada di peringkat 105 (2005) dan
109 (2006). Hal ini sungguh perlu menjadi renungan kita semua
mengingat kondisi Vietnam yang belum terlalu lama terbebas
dari konflik, bahkan negara tersebut pernah menimba ilmu di
negara kita pada banyak bidang di berbagai daerah di
Indonesia pada awal tahun 1990-an.
Kualitas manusia unggul tersebut dihasilkan melalui
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Kemajuan suatu
negara dapat diukur dari tingkat pendidikan masyarakatnya.
Kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa
depan. Merupakan tugas besar dari DPD untuk mendorong
agar pendidikan menempati tempat terdepan dalam upaya
pemulihan kembali dan pembangunan bangsa kita. Lahirnya
Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 telah
disikapi oleh Pemerintah dengan pemenuhan budget

24
pendidikan 20 persen dan konsekuensi bahwa akan terjadi
penambahan kucuran dana pendidikan sekitar 46 triliun rupiah.
DPD berpandangan bahwa konsep pembangunan bidang
pendidikan haruslah bersifat substantif, bukan sekedar aspek
administratif. Agenda dan program pelayanan di bidang
pendidikan yang substantif akan menghasilkan anak-anak
generasi yang baik dalam arti sesungguhnya dan kompetitif di
era global. Oleh karena itu, besarnya dana APBN untuk
pendidikan harus lebih diorientasikan untuk peningkatan
kualitas guru, peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan
kualitas kurikulum serta media dan sarana. Terkait dengan
implementasi UU tentang Guru dan Dosen yang selama ini
hanya diatur dengan Permendiknas, kiranya perlu aturan yang
lebih tinggi dan mengikat lintas sektoral seperti PP atau
Peraturan Presiden sehingga pelaksanaannya dapat dijamin
dalam payung hukum yang lebih tegas.
Bagaimanapun juga guru betul-betul harus menjadi profesi
yang terhormat, bermartabat dan menjadi ujung tombak
pembangunan bangsa. Apabila kita menyebut guru, hendaknya
tidak dibedakan apakah itu guru sekolah-sekolah negeri atau
swasta; juga jangan dibedakan guru sekolah umum dan guru
madrasah, yang berdasarkan undang-undang adalah bagian
dari sistem pendidikan nasional. Sekarang ini karena sistem
otonomi, guru di sekolah umum mendapat bantuan dari
pemerintah daerah, disamping gaji pokoknya, sedangkan guru
madrasah tidak memperolehnya, karena bidang agama bukan
tanggung jawab pemerintah daerah. Dikotomi ini harus
dihilangkan, demi untuk keadilan, karena sekolah-sekolah
agama itu mendidik anak-anak bangsa juga, yang akan menjadi
kader-kader pembangunan seperti yang lain.
Semua program substantif-komprehensif di bidang
pendidikan ini harus menjadikan daerah sebagai basis
pengembangannya dengan karakter lokal masing-masing dan
dalam identitas nasional bangsa Indonesia. Mungkin sudah
saatnya secara konseptual dipikirkan oleh pemerintah untuk
reka-ulang desain sistem pendidikan dasar kita dalam satu
paket pendidikan dasar sembilan tahun baik secara substantif
maupun administratif dengan orientasi pendidikan karakter
anak dan karakter bangsa yang kemudian siap menerima

25
pendidikan keilmuan pada jenjang pendidikan lanjutannya.
Pola seperti ini cukup berhasil dalam konsep pembangunan di
China. Dalam kaitan itu semua, DPD akan terus berupaya
melakukan pengawasan terhadap implementasi kebijakan
alokasi anggaran di bidang pendidikan, yang diharapkan secara
bersama dapat mendorong terwujudnya agenda penbangunan
manusia Indonesia yang berkualitas dan memiliki daya saing
global.
Dimensi lain pembentuk kualitas manusia disamping
pendidikan ialah kesehatan. DPD memberikan pehatian pada
dimensi kesehatan terutama dalam hal jaminan kesehatan
masyarakat dan pemenuhan gizi anak balita dan ibu hamil,
sebagai dasar-dasar pembentukan generasi muda yang yang
secara agregat akan menjamin ketahanan masyarakat.
Masalah lain yang perlu disoroti adalah mengenai jaminan
kesehatan yang masih sangat diperlukan oleh masyarakat
miskin. Akses yang sangat terbatas bagi masyarakat miskin
terhadap jaminan kesehatan sangatlah memprihatinkan kita
semua. Lebih jauh lagi, hal ini memperlihatkan akan
keterbatasan Negara dalam menciptakan perlindungan dan
kesejahteraan masyarakat. Program jaminan kesehatan bagi
masyarakat miskin berupa program ASKESKIN sesungguhnya
merupakan terobosan yang sangat bagus dari pemerintah guna
lebih memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin
di seluruh tanah air yang jumlahnya cukup besar. Namun,
perangkat pendukungnya berupa alas hukum seperti peraturan
dan administrasi keuangan belum diatur secara memadai.
Akibatnya, di daerah-daerah timbul banyak sekali persoalan.
Penolakan rumah sakit terhadap pasien yang menggunakan
kartu ASKESKIN terindikasi kerap terjadi. Oleh karena itu, DPD
terus mencermati perkembangannya di daerah-daerah di tanah
air.
Dimensi pendidikan dan kesehatan secara simultan
resultantenya menjadi sangat penting sehingga ketahanan
masyarakat akan semakin tumbuh serta menguat; dan berbagai
penyakit masyarakat serta perilaku menyimpang yang sekarang
sudah dalam taraf memprihatinkan seperti penggunaan
narkoba, HIV/AIDS akan semakin teratasi.

26
Hal lain yang juga menjadi fokus perhatian DPD adalah
masalah haji. Pengelolaan ibadah haji merupakan masalah
yang cukup kompleks. Kuantitas jamaah dengan rentang
wilayah yang sangat luas boleh jadi merupakan salah satu
penyebabnya. Yang penting segera membenahi persoalan
penyelenggaraan ibadah haji mengingat bahwa ibadah haji
menyangkut berbagai aspek sosial masyarakat dan
keagamaan. Yang kita harapkan adalah upaya menciptakan
pelaksanaan ibadah haji yang lebih nyaman, aman, efektif dan
efisien yang didalamnya mencakup persoalan persiapan
keberangkatan, pemondokan, kesediaan makanan, pelayanan
kesehatan sampai pada saat kembalinya jemaah haji ke tanah
air.
Selanjutnya DPD juga melihat pentingnya dimensi
pluralitas. Pluralitas pada hakikatnya merupakan esensi
kebangsaan kita atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa
perbedaan adalah fitrah bangsa Indonesia. Masalah pluralitas
juga kembali mengemuka akhir-akhir ini. Perbedaan atas tafsir
agama, eksistensi suku bangsa, perbedaan paham politik dan
golongan seringkali memicu timbulnya sengketa diantara
masyarakat. Sengketa tersebut acapkali berakhir dengan
bentrokan antar elemen masyarakat. Hal tersebut sungguh
patut disayangkan, sehingga oleh karenanya diperlukan upaya-
upaya khusus dan sekaligus diharapkan menjadi agenda
pemerintah di bidang pendidikan kewarganegaraan (civic
education) yang sesuai dengan kultur lokalitas masing-masing
komunitas daerah dengan tetap dalam jiwa anak bangsa
Indonesia. Dalam hal terjadi potensi aturan daerah dengan
indikasi konstitusional kiranya pemerintah dan pemerintah
daerah dapat lebih sensitif dan segera mengambil langkah
terutama berkaitan dengan keagamaan. Perda merupakan
bagian dari produk hukum nasional yang tertulis dan oleh
sebab itu penyusunan sebuah Perda tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Untuk itu,
DPD mendorong daerah lebih menaruh perhatian apabila
terdapat Perda yang bertentangan dengan konstitusi negara,
maka DPD merekomendasikan Perda tersebut untuk dicabut.
Pada sisi yang lain upaya-upaya pembinaan, supervisi dan
dukunga terus menerus pada daerah-daerah Provinsi Papua,
Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NAD dan Sulawesi Tengah

27
serta Kalimantan agar tetap terjaga dalam kohesi sosial dan
ketahanan masyarakat di bawah naungan jiwa NKRI.
Terkait dengan anggaran daerah Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, yang paling penting ialah sinergitas antara
APBD dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara). Bahwa APBD merupakan bagian integral dari APBN,
dan APBD pada konteks politik tertentu merupakan
konsekuensi logis kebijakan pemerintah pusat untuk
menerapkan dan melaksanakan prinsip desentralisasi. Sesuai
dengan arti dan makna desentralisasi yang melimpahkan
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
maka besaran dana-dana penerimaan APBD (baik Dana
Alokasi Umum - DAU, Dana Alokasi Khusus - DAK dan Dana
Bagi Hasil-DBH) merupakan konsekuensi pelimpahan
kewenangan tersebut atau money follows function.
Implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
telah memberikan atribusi realitas pelaksanaan anggaran
daerah. Naungan UU 33 Tahun 2004 terbukti hanya mengatur
tentang masalah pembagian ‘jatah’ keuangan bagi daerah lewat
DAU, Dana Bagi Hasil (DBH), dan DAK. Namun secara prinsip,
UU 33 Tahun 2004 tidak memisahkan aturan penggunaan
dana-dana tersebut (prioritas pemisahan penggunaan DAU,
DBH dan DAK). Sepintas lalu, gambaran tersebut tidak
memiliki dampak yang signifikan, tetapi jika dikaji lebih dalam
akan menunjukkan ketidakmampuan sumber daya manusia di
daerah. Sumber dari permasalahan ini bisa jadi dikarenakan
kurangnya transfer informasi dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah terkait dengan aturan pelaksanaan UU 33
Tahun 2004. Hal ini berhubungan dengan macetnya transfer
informasi dan prosedur mekanisme penggunaan dana-dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah. Minimnya
informasi ke daerah tentang garis-garis kebijakan penggunaan
dana DAU, DBH dan DAK menyebabkan sumber daya manusia
di daerah kehilangan daya kreatifitas dan inovasi dalam
memaksimalkan pemanfaatan dana-dana tersebut. Jika ditilik
lebih jauh, maka akibat yang (mungkin) timbul adalah, tidak
fokusnya penggunaan dana-dana DAU, DBH dan DAK dalam
rangka pembangunan daerah. Sejalan dengan upaya untuk
mendalami hal-hal itu maka perlu dipikirkan untuk melihat
kembali keselarasan kebutuhan pusat dan kebutuhan daerah

28
dalam formualsi baru melalui revisi UU 33 Tahun 2004 secara
paralel dengan revisi UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Urusan-urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, semuanya harus dilaksanakan tanpa
menghitung kemampuan di daerah. Korelasinya adalah, bahwa
urusan-urusan itu hanya bersifat taken (penyerahan) saja tanpa
melihat kemampuan daerah dalam melaksanakannya,
sehingga pembiayaan semua urusan-urusan wajib tersebut
menjadi tugas dan tanggung jawab daerah. Dalam penalaran
rasional yang wajar, daerah yang dibebani dengan tugas dan
tanggung jawab itu (seharusnya) diikuti dengan kewajiban
pemerintah pusat untuk share pembiayaannya. Hal inilah yang
masih belum terlihat, sehingga proses penentuan DAU, DBH
dan DAK tidak terjadi secara transparan. Daerah sebagai ujung
tombak pembangunan nasional seolah-olah belum menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat, karena
proses penentuan dan mekanisme dana-dana DAU, DBH dan
DAK diatur secara sepihak oleh pemerintah pusat.
Money follows function sebagai akibat dari desentralisasi
merupakan keniscayaan yang harus segera diberlakukan.
Pertanyaannya adalah, sebatas apakah pembiayaan yang
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk didistribusikan
kepada daerah? Hal inilah yang masih belum terjawab. Belum
cukup jelas aturan implemnetasi penentuan dana-dana DAU,
DBH dan DAK. Prioritas DAU (terutama) untuk pembiayaan
belanja pegawai merupakan atribusi minimnya political will
pemerintah pusat dalam melaksanakan konsekuensi
desentralisasi.
Untuk validasi temuan seluruh Anggota DPD di lapangan
dalam pelaksanaan tugas-tugas konstitusionalnya di daerah,
Pimpinan DPD telah melakukan konfirmasi atas berbagai
permasalahan berkenaan dengan DAU, DAK, DBH, Dana
dekonsntrasi dan Tugas Pembantuan dengan dikomunikasikan
langsung selama tiga hari pada bulan Juli lalu dengan para
pejabat daerah yang bergelut dalam persoalan tersebut. Hasil
rangkumannya telah disampaikan pula kepada Pemerintah cq

29
Sekretrais Negara. Secara overview pokok-pokok
permasalahan tersebut antara lain meliputi :
Pertama, dalam kaitan DAU. Secara menyeluruh sebagian
besar DAU dipergunakan untuk belanja pegawai yang
dilandaskan pada ketentuan UU 32 Tahun 2004. Oleh
karenanya kebijakan pemerintah untuk pengurangan DAU bagi
daerah-daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi pada
konteks ini menjadi tidak tepat. Daerah juga mengharapkan
parameter dan formulasi DAU direka-ulang karena dibutuhkan
untuk beberapa kriteria seperti provinsi, kabupaten dan kota
dengan wilayah kepulauan.
Kedua, dalam kaitan DAK. Secara menyeluruh daerah
mengangkat perlunya kejelasan dan harmonisasi dalam
perencanaan DAK termasuk format, mekanisme, konsistensi,
keterlibatan daerah dan dalam juklak-juknis DAK. Seleksi
daerah dan penerapan kriteria juga harus konsisten dan
transparan, tidak dengan justifikasi yang tak terukur (lobby-
lobby, tertutup, tinjauan politis, dsb). Kriteria DAK dan
formulasi, persyaratan perlu dipertimbangkan dengan
tambahan kriteria untuk kewilayahan pesisir, wilayah tertinggal,
lemahnya daya saing, posisi daerah pemekaran dan wilayah
perbatasan serta wilayah konservasi. Dalam hal ketata-
laksanaan mekanisme alur DAK agar melalui Gubernur untuk
dapat terekam dalam program dan dalam upaya pembinaan
hubungan strata pemerintahan dari provinsi kepada kabupaten
dan kota di bidang penganggaran guna mencapai optimalisasi
sasaran pembangunan daerah secara keseluruhan dalam satu
wilayah provinsi.
Ketiga, dalam hal Dana Bagi Hasil (DBH). Beberapa daerah
mengusulkan reka-ulang formulasi dalam penentuan DBH.
Dalam kaitan kebijakan kenaikan harga BBM dan pengaruhnya
terhadap DBH daerah membutuhkan kejelasan. Daerah juga
membutuhkan keterbukaan informasi data, skala dan besaran
sumber dan produksi serta penghitungan-penghitungannya.
Selain itu juga daerah meminta untuk pengaturan pencairan
dana DBH sesuai dengan kebutuhan dan program kerja
pembangunan daerah.
Keempat, terkait Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Yang paling prinsip dalam persoalan ini ialah berkaitan dengan

30
perencanaan dan pemrograman. Daerah seperti hanya
mendapatkan kucuran kegiatan yang tidak dapat diatur dalam
kerangka perencanaan makro pembangunan daerah yang
sistematis. Selain itu akibat dana dekonsentrasi, telah tumbuh
unit-unit kerja kepanjangan tangan pusat yang diharapkan oleh
daerah. Mungkin sudah harus serius perlu dipertimbangkan
untuk dana-dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara
bertahap dialihkan menjadi anggaran-anggaran yang langsung
dialokasikan kepada daerah .
Sebagai satu kesatuan dalam sistem negara, pemerintah
pusat seharusnya juga bertanggung jawab terhadap proses
pengendalian dan pengawasan atas pemanfaatan APBD. Hal
itu telah diawali dengan langkah-langkah konsultatif pra-APBD
oleh daerah kepada pemerintah melalui Departemen Dalam
Negeri. Disinilah sebetulnya peran dan arti konsultatif tersebut
yaitu sebagai bagian dari tanggung jawab membangun nilai-
nilai secara menyeluruh dalam satu negara. Sehingga
konsultasi tidak semata-mata dirasakan oleh daerah sebagai
instrumen penghambat atau membuat terlambatnya
pembahasan RAPBD di DPRD. Lebih parah lagi, keberadaan
juklak dan juknis diantaranya berpotensi memposisikan aparat
daerah terjerap pada aspek hukum. Pemerintah pusat harus
dapat menumbuhkan pengertian dan pemahaman bahwa,
APBD atau dana-dana yang dilimpahkan ke daerah merupakan
satu kesatuan yang utuh dari APBN, sehingga kerangka
berpikirnya dapat menimbulkan empati untuk (bersama-sama)
bertanggung jawab terhadap pemanfaatan dan penggunaan
dari dana-dana di daerah tersebut guna mewujudkan
pembangunan nasional.
Posisi hubungan pusat dan daerah dalam konteks
keuangan selama ini terindikasi lebih bersifat administratif dan
mekanistik. Padahal yang sesungguhnya harus terjadi ialah
bahwa dengan instrumen keuangan daerah, justru harus
terbangun sistem nilai kekuatan membangun negara dan
membangun daerah sekaligus dalam satu kesatuan (yaitu
sebagai values establishment dan goals establishment).

IV. RANGKUMAN PELAKSANAAN TUGAS


KONSTITUSIONAL

31
Sampailah pada bagian akhir, yaitu pertanggungjawaban
kepada masyarakat mengenai apa yang telah lakukan selama
empat tahun masa bakti DPD RI. Sebisa mungkin, DPD
berusaha mengartikulasikan harapan masyarakat dengan
berbagai keterbatasan. Kami perlu menyampaikan laporan ini,
karena bagi sementara kalangan, sepertinya ada anggapan
bahwa kerja DPD hanya memperjuangkan kewenangannya
melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Anggapan
itu tidaklah tepat. Sampai dengan tahun keempat ini, DPD
telah menghasilkan 154 buah keputusan yang terdiri dari 10
buah usul RUU, 78 buah pandangan dan pendapat, 5 buah
pertimbangan dan 38 buah hasil pengawasan serta 23 buah
pertimbangan yang berkaitan dengan anggaran. Tentu saja
ukuran ini bukan sekedar angka-angka statistik, melainkan
bagaimana muatan atas hal-hal yang dihasilkan itu.
Dari sebanyak 10 buah RUU yang telah disampaikan
kepada DPR, dan pada saat sekarang satu RUU ditindak lanjuti
oleh DPR yaitu RUU tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor
3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DI Yogyakarta. Itupun
masih terus kami montior tindak lanjutnya karena masih
dirasakan sangat lamban menurut kebutuhan daerah. RUU lain
yang banyak diserap oleh DPR dari masukan DPD diantaranya
ialah RUU tentang Pemerintahan Aceh, RUU tentang
pelabuhan, disamping RUU menyangkut pemekaran wilayah
yang cukup banyak jumlahnya. Selain mengolah RUU dalam
fungsi legislasi, DPD juga menyampaikan hasil pandangan,
pendapat, pertimbangan serta secara rutin menyampaikan
kepada DPR tentang hasil pengawasan pelaksanaan UU di
daerah untuk ditindak lanjuti; dan atas inisiatif DPD hasil
pengawasan juga disampaikan kepada Pemerintah dan
diantaranya telah ditindak lanjuti oleh pemerintah. Selain itu
juga DPD memberikan pertimbangan berkaitan dengan
anggaran (RAPBN).
Pada segmen dinamika politik nasional. Beberapa issue
sebagai contoh, terkait kenaikan harga BBM, DPD
mengusulkan kepada Presiden dan Pimpinan DPR. DPD juga
telah mendorong Presiden RI untuk segera menyelesaikan
RUU Tipikor. Berkaitan dengan issue korupsi, DPD telah
melakukan penyerapan khusus aspirasi berkaitan dengan
korupsi di daerah berdasarkan Nota Kesepahaman DPD dan

32
KPK tanggal 15 Agustus 2006. DPD juga telah menghasilkan
dokumen dalam rangka perubahan iklim global yang menjadi
issue penting bagi Indonesia selain bagi dunia.
Berkaitan dengan aspirasi masyarakat, DPD telah
melakukan penghimpunan aspirasi baik yang masuk melalui
surat atau melalui situs (web) dan melalui kegiatan Anggota
DPD-RI secara langsung. Beberapa contoh aspirasi yang
direspons dengan tindak lanjut meliputi: masalah Alas Tlogo,
masalah Lumpur Lapindo di Jawa Timur, masalah kelangkaan
listrik di Sumatera Utara, rencana terpadu pengembangan
kawasan Teluk Bone di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara
serta agenda Indonesian Regional Investment Forum (IRIF)
untuk mendorong jaringan investasi daerah dan dorongan ciri
wirausaha dalam kepemimpinan daerah melalui agenda
penghargaan untuk spirit Perdagangan, Pariwisata dan
Investasi Daerah (RTTI Award).
Seiring dengan dinamisnya praktek sistem
ketatanegaraan, tentu saja kita harus dapat menyesuaikan
dengan kekinian dan masa depan dengan tetap berpijak pada
hal-hal dan ciri Indonesia sebagai negara bangsa dengan
paham dasar yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka
Tunggal Ika, dan prinsip musyawarah mufakat. Oleh karenanya
amandemen konstitusi dipandang sebagai suatu keniscayaan.
DPD melalui Kelompok DPD di MPR dengan dukungan pakar
Hukum Tata Negara telah menghasilkan kajian komprehensif
UUD 1945. Dalam kerangka itu dipersiapkan desain sistem
ketatanegaraan Indonesia (grand design) secara komprehensi
yang secara lengkap Naskah Usulan Amandemen UUD 1945
beserta dasar-dasar pemikirannya. Kami juga terus meminta
tanggapan kepada para pakar/ahli, akademisi, tokoh, ormas,
LSM, dan semua elemen masyarakat atas materi usulan
amandemen UUD 1945 tersebut. Dalaim kaitan itu, gagasan
Presiden yang disampaikan dalam Sidang Paripurna Khusus
DPD pada tanggal 23 Agustus 2007 yang lalu mengenai
pembentukan komisi/panitia nasional yang bertugas menelaah
sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan, dan pranata
hukum yang tertuang dalam konstitusi perlu mendapat
dukungan kita semua.

33
Kita dapat memahami realitas situasi sekarang yang
sudah memasuki tahapan agenda Pemilu 2009 sejak tanggal 5
April 2008. Kita juga memahami cukup banyak persoalan dalam
implementasi UUD 1945 yang berpangkal dari UUD 1945 itu
sendiri. Kita melihat cukup banyak permohonan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh masyarakat, juga oleh
DPD. Permohonan gugatan oleh DPD atas UU Nomor 10
Tahun 2008 sesungguhnya merupakan catatan atas sistem
ketatanegaraan yang implementasinya sangat berpotensi
rancu. Dan yang paling penting adalah bahwa DPD semata-
mata ingin mendudukkan sistem ketata-negaraan yang
mempertegas hak-hak daerah dalam kancah nasional. Kita juga
melihat permohonan gugatan dari elemen-elemen bangsa
lainnya. Sangat jelas ini memberikan indikasi pada kita bahwa
ada persoalan dalam ketatanegaraan kita yang bukan tidak
mungkin justeru berpangkal dari UUD itu sendiri. Sebagai
laporan kami kepada seluruh daerah di Indonesia, telah kami
persiapkan dokumen resmi gugatan dan Putusan MK serta
sekaligus memori rangkuman proses selama persidangan di
Mahkamah Konstitusi. Sekali lagi, kegiatan judicial review yang
dilakukan oleh DPDRI semata-mata atas dasar semangat
keberpihakan DPD RI kepada daerah-daerah di seluruh tanah
air di Indonesia.

V. PENUTUP
Sebagai catatan penutup, menjawab tema Sidang
Paripurna kali ini, dorongan kami kepada pemerintah ialah
untuk kita refleksikan bersama hal-hal yang perlu
disempurnakan baik pada tingkatan yang paling mendasar
dalam konstitusi, maupun pada tingkatan kebijakan
operasional serta implementasinya. Kita juga akan bersama-
sama terus mendorong kemajuan daerah guna menjawab
semangat asli otonomi daerah yaitu untuk pemberdayaan
daerah dan ketangguhan berdaya saing. Konsep daya saing
mengandung arti kompetitif secara damai dan komplementer.
Artinya upaya yang dilakukan dalam membangun daerah harus
bersifat kompetitif kewilayahan dan komplementer secara
kewilayahan dan secara hirarkis termasuk bersama-sama
masyarakat, karena pada dasarnya kehadiran penyelenggara
negara adalah untuk rakyat. Kemampuan daerah berotonomi

34
juga mengandung makna sensitif serta akomodatif terhadap
globalisasi yaitu proses yang memungkinkan kejadian disatu
belahan dunia berakibat penting bagi individu dan komunitas di
bagian belahan dunia yang lain; berbeda dari hanya sekedar
internasionalisasi yang merupakan arus pertukaran barang,
jasa dan ide; juga berbeda dari multinasionalsiasi yang berarti
transfer terutama sumberdaya alam dan kapital dari satu
ekonomi nasional ke ekonomi nasional yang lain.
Otonomi daerah juga harus diiringi dengan konsep NKRI
yang utuh dalam prakteknya melalui perencanaan,
pengawasan dan pengendalian (RENWASDAL) serta
supervisi yang kokoh antar strata pemerintahan. Di atas
segalanya itu ialah semangat dasar kedaerahan dalam bentuk
keanekaragaman dan kemajemukan bangsa Indonesia sebagai
modal dasar berdiri kokohnya bangsa dan negara Indonesia.

Jakarta, 22 Agustus 2008


STEERING COMMITTEE

DAFTAR ISI

35
I. PENDAHULUAN.............................................................
1

II. EVALUASI KRITIS KEBIJAKAN DAN


IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH...........................
2

III. LANGKAH-LANGKAH MENUJU REKONSTRUKSI....... 8

IV. RANGKUMAN PELAKSANAAN TUGAS


KONSTITUSIONAL............................................................ 31

V. PENUTUP.......................................................................... 34

36

You might also like