You are on page 1of 44

Teori-Teori Belajar

Tanggal: 04 Oktober 2008

oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.

Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber
dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori
belajar, yaitu: (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori
pemrosesan informasi dari Gagne, dan (D) teori belajar gestalt.

A. Teori Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.

Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum


belajar, diantaranya:

1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan,
maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak
memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi
antara Stimulus- Respons.
2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan
organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana
unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu.
3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin
bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak
dilatih.

2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya :

1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang
sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut
akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant
conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh
reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4. Social Learning menurut Albert Bandura

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar
yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar
menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih
memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang
individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini,
seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan
teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold
method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The
Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan
untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan
individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1)
sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan
akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which
a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the
evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind
or concepts by the process of assimilation”

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya
dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan
kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.

C. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.
Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk
kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan
informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal
individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai
hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah
rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.

Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2)
pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7)
perlakuan dan (8) umpan balik.

D. Teori Belajar Gestalt

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau
konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan
dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada
tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa
setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang.
Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan
figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi
kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun
ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan
dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada
dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk
tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya
bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang
baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola
obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:

1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku


“Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau
keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan
dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah
beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan
perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan
geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang
sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak.
Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan
behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan
hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian
peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya,
adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan
sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti
gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses
yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan
suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang
diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :

1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam
perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan
tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau
peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang
terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas
makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat
penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan
pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya
memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku
bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan
dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta
didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya
menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam
memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan
lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki
keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk
kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi).
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok
dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam
memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat
membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang
diajarkannya.

Teori Belajar Behavioristik


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia


Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi
artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode
pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh
karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka
respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment;
(2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency
Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses
(Gage, Berliner, 1984).

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin
Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan
analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Teori Belajar Menurut Thorndike


• 2 Teori Belajar Menurut Watson
• 3 Teori Belajar Menurut Clark Hull
• 4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
• 5 Teori Belajar Menurut Skinner
• 6 Analisis Tentang Teori Behavioristik
• 7 Aplikasi Teori Behavioristik dalam
Pembelajaran

• 8 Rujukan

[sunting] Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah
apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta
didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah
laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme
(Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum
latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana
hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

[sunting] Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses
belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi
pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

[sunting] Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,
seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan
pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral
dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,
tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

[sunting] Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus
yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan
yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara,
oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat.
Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

[sunting] Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih
komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah
sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon
yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang
nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami
tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu
dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi
yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi,
demikian seterusnya.

[sunting] Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku
dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam
berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan
kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan
suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang
sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep
hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar
yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau
belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat
menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas
sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak
kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan
atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang
mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan
penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan
berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

• Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat


sementara;
• Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
• Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun
salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman
dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih
buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)
dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang
disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

[sunting] Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya,
apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-
hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri
mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang
perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku
yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,


sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan
paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila
pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa
pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

[sunting] Rujukan

1. ^ [Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition,


Chicago: Rand Mc. Nally]

• Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV.


Rajawali
• Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and
Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press
• Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable.
Jakarta: Depdikbud
• Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston,
Toronto: Little, Brown and Company
• Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and Teaching ini Higher Education.
London: Paul Chapman Publising
• Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and
Bacon
• Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition.
Boston: Allyn and Bacon

Teori Belajar
Posted by: admin, in Pendidikan

Beberapa teori belajar yang akan di bahas antara lain :


Teori belajar Skinner “Operant Conditioning”
Teori Belajar Conditining of Learning, Robert M. Gagne
Teori Belajar Perkekmembangan Kognitif Jean Piaget
Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Teori Belajar Orang Dewasa
Teori Pembelajaran Orang Dewasa

a) Teori Operant Conditioning


Teori operant conditioning dimulai pada tahun 1930-an. Burhus Fredik Skinner selama periode
teori stimulus (S)- Respons ( R) untuk menyempurnakan teorinya Ivan Pavlo yang disebut
“Classical Conditioning”. Skinner setuju dengan konsepnya John Watson bahwa psikologi akan
diterima sebagai sain (science) bila studi tingkah laku (behavior) tersebut dapat diukur, seperti
ilmu fisika, teknik, dan sebagainya.
Menurut Skinner , belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang harus dapat diukur. Bila
pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila tidak belajar
banyaknya respon berkurang, sehingga secara formal hasil belajar harus bisa diamati dan diukur.
Hasil temuan skinner terdapat tiga komponen dalam belajar yaitu :
Discriminative stimulus (SD)
Response
Reinforcement (penguatan)
- penguatan positif
- penguatan negative
b) Teori Conditioning Of Learning, Robert M. Gagne
Teori ini ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang faktor-faktor yang
kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya diamksudkan untuk menemukan teori
pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar, yaitu urut-
urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari
hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks.
Menurut Gagne belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk
mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil
dari efek belajar yang komulatif (gagne, 1968). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu
bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena
belajar bersifat kompleks.
Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah : mekanisme dimana seseorang menjadi anggota
masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill, pengetahuan,
attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil
dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome.
Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari :
1. Stimulus dan lingkungan
2. proses kognitif
Menurut Gagne belajar dapat dikategorikan sebagai berikut :
1) Verbal information (informasi verbal)
2) Intellectual Skill (skil Intelektual)
3) Attitude (perilaku)
4) Cognitive strategi (strategi kognitif)

Belajar informasi verbal merupakan kemampuan yang dinyatakan , seperti membuat label,
menyusun fakta-fakta, dan menjelaskan. Kemampuan / unjuk kerja dari hasil belajar, seperti
membuat pernyataan, penyusunan frase, atau melaporkan informasi.
Kemampuan skil intelektual adalah kemampuan pembelajar yang dapat menunjukkan
kompetensinya sebagai anggota masyarakat seperti; menganalisa berita-berita. Membuat
keseimbangan keuangan, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan konsep, menggunakan
rumus-rumus matematika. Dengan kata lain ia tahu “ Knowing how”
Attitude (perilaku) merupakan kemampuan yang mempengaruhi pilihan pembelajar (peserta
didik) untuk melakukan suatu tindakan. Belajar mealui model ini diperoleh melalui pemodelan
atau orang yang ditokohkan, atau orang yang diidolakan.
Strategi kognitif adalah kemampuan yang mengontrol manajemen belajar si pembelajar
mengingat dan berpikir. Cara yang terbaik untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah
dengan melatih pembelajar memecahkan masalah, penelitian dan menerapkan teori-teori untuk
memecahkan masalah ril dilapangan. Melalui pendidikan formal diharapkan pembelajar menjadi
“self learner” dan “independent tinker”.

c) Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget (Cognitive Development Theory)


Menurut Piaget pengetahuan (knowledge) adalah interksi yangterus menerus antara individu
dengan lingkungan.
Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan secara alami fikiran pembelajar
mulai anak-anak sampai dewasa. Konsepsi perkembangan kognitif Piaget, duturunkan dari
analisa perkembangan biologi organisme tertentu. Menurut Piaget, intelegen (IQ=kecerdasan)
adalah seperti system kehidupan lainnya, yaitu proses adaptasi.
Menurut Piaget ada tiga perbedaan cara berfikir yang merupakan prasyarat perkekmbangan
operasi formal, yaitu; gerakan bayi, semilogika, praoprasional pikiran anak-anak, dan operasi
nyata anak-anak dewas.
Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu :
1) lingkungan fisik
2) kematangan
3) pengaruh sosial
4) proses pengendalian diri (equilibration)
(Piaget, 1977)

Tahap perkembangan kognitif :


1) Periode Sensori motor (sejak lahir – 1,5 – 2 tahun)
2) Periode Pra Operasional (2-3 tahun sampai 7-8 tahun)
3) Periode operasi yang nyata (7-8 tahun sampai 12-14 tahun)
4) Periode operasi formal
Kunci dari keberhasilan pembelajaran adalah instruktur/guru/dosen/guru harus memfasilitasi
agar pembelajar dapat mengembangkan berpikir logis.

d) Teori Berpikir Sosial (social Learning Theory)


Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari Stanford
University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar
dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-
kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan
hubungan yang saling berpengaruh (interlocking),
Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku
Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-
kesan personal
Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan
Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi
lingkungan yang berbeda.
Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu.
Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.
P
B
E

Tingkah laku dihadirkan oleh model


Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan oleh model)
Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar)
Pemrosesan kode-kode simbolik
Skema hubungan segitiga antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku, (Bandura,
1976).

Skema
Proses Kognitif Pembelajar
Pembelajar mampu menunjukkan kompetensi/tingkah laku
Performance/unjuk kerja
Motivasi pembelajar mengolah tingkah laku

Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru (kompetensi)
tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi sangat penting agar
pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal dan penyimpanan dalam
memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal (ulangan ) memegang peranan
penting.
Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri dan
Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak
hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri yakni “sense of
self Efficacy” dan “self – regulatory system”. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar
bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi tingkah laku
dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan pengatur tingkah
laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan menentukan “goal setting”
dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang
tinggi dan sebaliknya.
Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan
model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of
mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu
sebagi berikut :

No
Strategi Proses
1
Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model yang terdiri :
a. Apakah karekter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, motor skil
atau efektif?
b. Bagaimanakah urutan atau sekuen dari tingkah laku tersebut?
c. Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam sekuen tersebut?
2
Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai model.
a. Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam
kehidupan dimasa datang? (success prediction)
b. Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidk begitu penting) model
manakah yang lebih penting?
c. Apakah model harus hidup atau simbol?
Pertimbangan soal biaya, pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi
nilai dan tingkah laku.
d. Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih?

3
Pengembangan sekuen instruksional
a. Untuk mengajar motor skill, bagaimana caramengerjakan pekerjaan/kemampuan yang
dipelajari :how to do this” dan bukannya “not this”.
Langkah-langkah manakah menurut sekuen yang harus dipresentasikan secara perlahan-lahan
4
Implementasi pengajaran untuk menunut proses kognitif dan motor reproduksi.
a. motor skill
1) hadirkan model
2) beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secarasimbolik
3) beri kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan umpan balik visual
b. proses kognitif
1) Tampilkan model, baik yang didukung oleh kode-kode verbal atau petunjuk untuk mencari
konsistensi pada berbagai contoh
2) Beri kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ihtisar atau summary
3) Jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan
pembelajar untuk berpartisipasi secaraaktif
4) Beri kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi ke berbagai siatuasi.

Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara
lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.
2. komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap
model dan proses-proses kognitif pembelajar.
3. hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali
atau tidak (retrievel).
4. dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran
komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self
regulatory” pembelajar.
5. dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk
latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang
tidak perlu.

Ahli lain yaitu Bloom dkk, menjelaskan domain tujuan pendidikan ada tiga ranah yaitu : 1)
kognitif, yang berhubungan dengan ingatan, pengetahuan, dan perkembangan kemampuan dan
skill intelektual, 2) afektif yang menjelaskan tentang perubahan dalam minat, perilaku (attitudes),
nilai-nilai dan perkembangan dalam apresiasi dan penyesuaian , dan 3) psikomotor.

2. Teori Belajar Orang dewasa


Gagne membagi teori belajar dalam 3 famili :
a. conditioning
b. modelling
c. kognitif

Kingsley dan Garry membagi teori belajar dalam 2 bagian yaitu ;


a. teori stimulus-respon
b. teori medan
Taba membagi teori belajar menjadi 2 famili :
a. teori asosiasi atau behaviorisme
b. teori organismik, gestalt dan teori medan

Di dalam pembahasan akan difokuskan pada teori belajar orang dewasa. Ada aliran inkuiri yang
merupakan landasan teori belajar dan mengajar orang dewasa yaitu : “scientific stream” dan
“artistic atau intuitive/reflective stream”. Aliran “scientific stream” adalah menggali atau
menemukan teori baru tentang belajar orang dewasa melalui penelitian dan eksperimen . Teori
ini diperkenalkan oleh Edward L. Thorndike dengan pubilkasinya “ Adult Learning”, pada tahun
1928.
Pada aliran artistic, teori baru ditemukan melalui instuisi dan analisis pengalaman yang
memberikan perhatian tentang bagaimana orang dewasa belajar. Aliran ini diperkenalkan oleh
Edward C. Lindeman dalam penerbitannya “ The Meaning of Adult Education” pada tahun 1926
yang sangat dipengaruhi oleh filsafat pendidikan John Dewey.
Menurutnya sumber yang paling berguna dalam pendidikan orang dewasa adalah pengalaman
peserta didik. Dari hasil penelitian, Linderman mengidentifikasi beberapa asumsi tentang
pembelajar orang dewasa yang dijadikan fondasi teori belajar orang dewasa yaitu sebagai berikut
:
1) pembelajar orang dewasa akan termotivasi untuk belajar karena kebutuhan dan minat dimana
belajar akan memberikan kepuasan
2) orientasi pembelajar orang dewasa adalah berpusat pada kehidupan, sehingga unit-unit
pembelajar sebaiknya adalah kehidupan nyata (penerapan) bukan subject matter.
3) Pengalaman adalah sumber terkaya bagi pembelajar orang dewasa, sehingga metode
pembelajaran adalah analisa pengalaman (experiential learning).
4) Pembelajaran orang dewasa mempunyai kebutuhan yang mendalam untuk mengarahkan diri
sendiri (self directed learning), sehingga peran guru sebagai instruktur.
5) Perbedaan diantara pembelajar orang dewasa semakin meningkat dengan bertambahnya usia,
oleh karena itu pendidikan orang dewasa harus memberi pilihan dalam hal perbedaan gaya
belajar, waktu, tempat dan kecepatan belajar.

Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran yaitu “ Student-Centered Learning”


yang intinya yaitu :
1) kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya.
2) Seseorang akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat
memperkuat/menumbuhkan “self”nya
3) Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan
4) Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap
peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir

Peserta didik orang dewasa menurut konsep pendidikan adalah :


1) meraka yang berperilaku sebagai orang dewasa, yaitu orang yang melaksanakan peran sebagai
orang dewasa
2) meraka yang mempunyai konsep diri sebagai orang dewasa

Andragogi mulai digunakan di Netherlands oleh professor T.T Ten have pada tahun 1954 dan
pada tahun 1959 ia menerbitkan garis-garis besar “Science of Andragogy”
Model andragogi mempunyai konsep bahwa : kebutuhan untuk tahu (The need to know), konsep
diri pembelajar ( the learner’s concept),peran pengalaman pembelajar (the role of the leaner’s
experience), kesiapan belajar ( readiness to learn), orientasi belajar (orientation of learning) dan
motivasi lebih banyak ditentukan dari dalam diri si pembelajar itu sendiri.
Didalam pembelajaran orang dewasa tidak sepenuhnya harus menggunakan model andragogi,
tetapi bisa digabung model pedagogi. Jika pembelajarnya belum mengetahui atau sangat asing
dengan materi yang disampaikan tentunya kita bisa menggunakan model pedagogi pada awal-
awal pertemuan untuk mengkonstruksi pengalaman dengan pengetahuan yang baru didapatkan,
selanjutnya bisa digunakan model andragogi sebagai penguatan dan pengembangan.

TEORI BELAJAR DALAM

DESAIN SISTEM PEMBELAJARAN ONLINE LEARNING


(Review Artikel “Foundations of Educational Theory for Online Learning”

Karya Mohamed Ally dari Athabasca University dalam Terry Anderson & Fathi Elloumi (Eds.).
2004. Theory and Practice of Online Learning. Canada. Athabasca University)

Oleh: Lukman

A. Pendahuluan

Sistem instruksional didesain dengan tujuan utama untuk meningkatkan efektivitas


pembelajaran. Secara operasional, sistem instruksional memerlukan teori-teori belajar yang
sebagai dasar pijakan aplikasi dan kemungkinan pengembangan sistem. Begitu juga dengan
sistem instruksional media Online Learning, sebagai media penyampaian, harus disadari bahwa
Online Learning bukanlah faktor tunggal yang menentukan kualitas pembelajaran.

Penelitian terkini mengatakan bahwa lingkungan pembelajaran yang bermedia teknologi


dapat meningkatkan nilai para pelajar, sikap mereka terhadap belajar, dan evaluasi dari
pengalaman belajar mereka. Teknologi juga dapat membantu untuk meningkatkan interaksi antar
pengajar dan pelajar, dan membuat proses belajar yang berpusat pada pelajar (student oriented).
Walaupun penelitian mengatakan seperti itu, tetapi ada juga penelitian yang berisikan dampak
negatif dari Lingkungan Pembelajaran Maya berbasis ini, yaitu para pelajar memungkinkan
mengalami perasaan terisolasi, frustasi, cemas, dan kebingungan atau mengurangi minat
terhadap bidang studi.

Tulisan ini akan mereview sebuah artikel yang berjudul “Foundations of Educational
Theory for Online Learning” Karya Mohamed Ally dari Athabasca University, yang berupaya
meminimalisir dampak negatif Online Learning dengan semaksimal mungkin mendesain sistem
Online Learning Berparadigma Teori Belajar. Pereview akan fokus membahas posisi materi yang
dibahas penulis dalam kaitannya dengan Bidang Ilmu Teknologi Pembelajaran.

B. Foundations Of Educational Theory For Online Learning Karya Mohamed Ally dari
Athabasca University

Artikel ini dimulai dengan adanya diskusi tentang apakah penggunaan teknologi atau disain
dari instruksi tertentu yang secara efektif meningkatkan pembelajaran? Satu pihak berpendapat
bahwa penggunaan media menggunakan audio visual atau komputer media dapat membantu
siswa itu memperoleh pelajaran bermanfaat. Pihak yang lain berpendapat bahwa efektivitas
pembelajaran dipengaruhi oleh strategi pembelajaran dan isi pelajaran dibanding oleh jenis
teknologi (media) yang digunakan. Penulis artikel ini menawarkan solusi dengan
mengaplikasikan pondasi teori bidang pendidikan untuk perancangan materi Online Learning
yang efektif, dan menyarankan suatu model untuk mengembangkan pembelajaran online
berdasar pada teori bidang pendidikan yang sesuai.

Pengembang Online Learning harus mengetahui perbedaan pendekatan-pendekatan dalam


belajar agar dapat memilih strategi pembelajaran yang tepat. Strategi pembelajaran harus dipilih
untuk memotivasi para pebelajar, memfasilitasi proses belajar, membentuk manusia seutuhnya,
melayani perbedaan individu, mengangkat belajar bermakna, mendorong terjadinya interaksi,
memberikan umpan balik, memfasilitasi belajar kontekstual, dan mendorong selama proses
belajar. Berkaitan dengan hal ini, penulis artikel ini kemudian mendeskripsikan prinsip-prinsip
teori belajaran dan implementasinya pada Desain Strategi Pembelajaran Online. Ada 3 teori
belajar yang penulis kemukakan pada artikel tersebut, yaitu: 1) Behaviorime; 2) Kognitivisme;
dan 3) Kontruktivisme. Strategi behaviorisme dapat digunakan untuk mengajar “apa”(fakta),
strategi kognitivisme dapat digunakan untuk mengajar “bagaimana” (proses dan prinsip-prinsip).
Strategi konstruktivisme dapat digunakan untuk mengajar “mengapa” (tingkat berfikir yang lebih
tinggi yang dapat mengangkat makna personal dan keadaan dan belajar kontekstual).
Selengkapnya sevagai berikut:

1. Behaviorisme dan Online Learning

Behaviorisme memandang fikiran sebagai ‘kotak hitam” dalam merespon rangsangan


yang dapat diobsevasi secara kuantitatif, sepenuhnya mengabaikan proses berfikir yang
terjadi dalam otak. Kelompok ini memandang tingkah laku yang dapat diobservasi dan
diukur sebagai indikator belajar. Implementasi prinsip ini dalam mendesain strategi Online
Learning adalah sebagai berikut:

a. Siswa harus diberitahu secara eksplisit outcome belajar sehingga mereka dapat
mensetting harapan-harapan mereka dan menentukan apakah dirinya telah mencapai
outcome dari pembelajaran online atau tidak.
b. Pebelajar harus diuji apakah mereka telah mencapai outcome pembelajaran atau tidak.
Ujian online atau bentuk lainnya dari ujian dan penilaian harus diintegrasikan kedalam
urutan belajar untuk mencek tingkat pencapaian pebelajar dan untuk memberi umpan
balik yang tepat.
c. Materi belajar harus diurutkan dengan tepat untuk meningkatkan belajar. Urutan dapat
dimulai dari bentuk yang sederhana ke yang kompleks, dari yang diketahui sampai yang
tidak diketahui dan dari pengetahuan sampai penerapan.
d. Pebelajar harus diberi umpan balik sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana
melakukan tindakan koreksi jika diperlukan.

2. Kognitivisme dan Online Learning


Kognitivisme membagi tipe-tipe pebelajar, yaitu: 1) Pebelajar tipe pengalaman-konkret
lebih menyukai contoh khusus dimana mereka bisa terlibat dan mereka berhubungan dengan
teman-temannya, dan bukan dengan orang-orang dalam otoritas itu; 2) Pebelajar tipe
observasi reflektif suka mengobservasi dengan teliti sebelum melakukan tindakan; 3)
Pebelajar tipe konsepsualisasi abstrak lebih suka bekerja dengan sesuatu dan symbol-simbol
dari pada dengan manusia. Mereka suka bekerja dengan teori dan melakukan analisis
sistematis. 4) Pebelajar tipe eksperimentasi aktif lebih suka belajar dengan melakukan paktek
proyek dan melalui kelompok diskusi. Mereka menyukai metode belajar aktif dan
berinteraksi dengan teman untuk memperoleh umpan balik dan informasi.

Implikasi terhadap Desain Strategi Online Learning adalah sebagai berikut:

a. Materi pembelajaran online harus memasukan aktivitas gaya belajar yang berbeda,
sehingga siswa dapat memilih aktivitas yang tepat berdasarkan kecenderungan gaya
berlajarnya.
b. Sebagai tambahan aktivitas, dukungan secukupnya harus diberikan kepada siswa dengan
perbedaan gaya belajar. Siswa dengan perbedaan gaya belajar memiliki perbedaan pilihan
terhadap dukungan, sebagai contoh, assimilator lebih suka kehadiran instruktur yang
tinggi. Sementara akomodator lebih suka kehadiran instruktur yang rendah.
c. Informasi harus disajikan dalam cara yang berbeda untuk mengakomodasi berbedaan
individu dalam proses dan memfasilitasi transfer ke long-term memory.
d. Pebelajar harus dimotivasi untuk belajar, tanpa memperdulikan sebagaimana efektif
materi, jika pebelajar tidak dimotivasi mereka tidak akan belajar.
e. Pada saat belajar online pebelajar harus diberi kesempatan untuk merefleksi apa yang
mereka pelajari. Bekerja sama dengan pebelajar lain, dan mengecek kemajuan mereka.
f. Strategi online yang memfasilitasi transfer belajar harus digunakan untuk mendorong
penerapan yang berbeda dan dalam situasi kehidupan nyata. Simulasi situasi nyata,
menggunakan kasus kehidupan nyata, harus menjadi bagian dari pelajaran.
g. Psikologi kognitif menyarankan bahwa pebelajar menerima dan memproses informasi
untuk ditransfer ke long term memory untuk disimpan.

3. Konstruktivisme dan Online Learning

Penekanan pokok pada konstruktivis adalah situasi belajar, yang memandang belajar
sebagai yang kontekstual. Aktivitas belajar yang memungkinkan pebelajar
mengkontekstualisai informasi harus digunakan dalam Online Learning. Jika informasi harus
diterapkan dalam banyak konteks, maka strategi belajar yang mengangkat belajar multi-
kontekstual harus digunakan untuk meyakinkan bahwa pebelajar pasti dapat menerapkan
informasi tersebut secara luas. Belajar adalah bergerak menjauh dari pembelajaran satu-cara
ke konstruksi dan penemuan pengetahuan. Implementasi pada online learning adalah sebagai
berikut:

a. Belajar harus menjadi suatu proses aktif. Menjaga pebelajar tetap aktif melakukan
aktivitas yang bermakna menghasilkan proses tingkat tinggi, yang memfasilitasi
penciptaan makna personal.
b. pebelajar mengkonstruksi pengenetahuan sendiri bukan hanya menerima apa yang diberi
oleh instruktur. Konstruksi pengetahuan difasilitasi oleh pembelajaran online interaktif
yang bagus, karena siswa harus mengambil inisiatif untuk berinteraksi dengan pebelajar
lain dan dengan instruktu, dan karena agenda belajar dikontrol oleh pebelajar sendiri.
c. Bekerja dengan pebelajar lain memberi pebelajar pengalaman kehidupan nyata melalui
kerja kelompok, dan memungkinkan mereka menggunakan keterampilan meta-kognitif
mereka.
d. Pebelajar harus diberi control proses belajar. Harus ada bentuk bimbingan penemuan
dimana pebelajar dibiarkan untuk menentukan keputusan terhadap tujuan belajar, tetapi
dengan bimbingan dari instruktur.
e. Pebelajar harus diberi waktu dan kesempatan untuk refleksi. Pada saat belajar online
siswa perlu merefleksi dan menginternalisasi informasi.
f. Belajar harus dibuat bermakna bagi siswa. Materi belajar harus memasukan contoh-
contoh yang berhubungan dengan pebelajar sehingga mereka dapat menerima informasi
yang diberikan.
g. Belajar harus interaktif dan mengangkat belajar tingkat yang lebih tinggi dan kehadiran
sosial, dan membantu mengembangkan makna personal. Pebelajar menerima materi
pelajaran melalui teknologi, memproses informasi, dan kemudian mempersonalisasi dan
mengkontekstualisasi informasi tersebut.

Pada akhir artikel, penulis mengusulkan suatu model, yang didasarkan pada teori
pendidikan, yang menunjukan komponen-komponen belajar yang penting yang harus digunakan
ketika mendesain materi online. Baik penempatan informasi pada Web maupun link ke sumber-
sumber digital lainnya Online Learning.

C. Implementasi Teori Belajar dalam Kawasan Teknologi Pembelajaran

Implementasi Teori Belajar sebagai Paradigma Online Learing sebagaimana


dideskripsikan dalam artikel di atas, dilihat dari perspektif bidang ilmu Teknologi Pembelajaran
berada pada kawasan pertama, yaitu kawasan Desain, lebih fokus lagi pada sub kawasan Desain
Sistem Pembelajaran (DSP). Teknologi pembelajaran memiliki lima kawasan yang menjadi
bidang garapnya, baik sebagai objek formal maupun objek materinya, yaitu desain,
pengembangan, pemanfaatan, pengolahan, evalusi sumber dan proses belajar. Oleh karenanya
aplikasi teknologi pembelajaran juga tidak terlepas dari lima kawasan tersebut. Seels dan Richey
(1994: 122) menjelaskan bahwa demi menjaga keutuhan definisi (teknologi pembelajaran. pen.)
kegiatan-kegiatan dalam setiap kawasan teknologi pembelajaran dapat dikaitkan baik kepada
proses maupun sumber pembelajaran. Seels dan Richey juga membuat gambar tentang hubungan
antara kawasan dan kegiatan dalam bidang sebagai berikut:
MENGEM-BANGKAN Proses dan Sumber

MERAN-CANG

Proses dan Sumber

MEMAN-FAATKAN Proses dan Sumber

MENILAI Proses dan Sumber

MENGE-LOLA

Proses dan Sumber

PRAKTIK
Gambar: Hubungan antara Kawasan dan Kegiatan dalam Bidang

Desain Sistem Pembelajaran (DSP) adalah prosedur yang terorganisasi yang meliputi
langkah-langkah: 1) penganalisaan, yaitu proses perumusan apa yang akan dipelajari; 2)
perancangan, yaitu proses penjabaran bagaimana hal tersebut akan dipelajari; 3) pengembangan,
yaitu proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pembelajaran; 4) pelaksanaan,
yaitu pemanfaatan bahan dan strategi yang bersangkutan; dan 5) penilaian, yaitu proses
penentuan ketepatan pembelajaran (Seels dan Richey, 1994: 33).

1. Pendekatan Desain Sistem Pembelajaran

Langkah dalam Desain Sistem Pembelajaran (DSP) yang pertama adalah


merumuskan materi yang akan dipelajari siswa. Perlu dirumuskan aspek-aspeknya. Pertama,
apa saja materinya, apakah bersifat kognitif, afektif atau psikomotorik, berapa porsinya, dan
sebagainya. Kedua, bagaimana metode instruktur dalam media Online Learning dalam proses
pembelajarannya, prasyarat apa saja yang perlu diberikan kepada siswa dan sebagainya.
Ketiga, sarana tambahan apa yang perlu diberikan. Keempat, lingkungan maya yang
bagaimana yang diperlukan untuk mendukung pelajaran tersebut.

2. Aspek Strategi Pembelajaran

Aspek ini pada dasarnya adalah menjawab bagaimana materi Online Learning tersebut
dipelajari. Pada aspek inilah teori belajar mempunyai peran yang sangat signifikan. Ide-ide
dalam artikel di atas dapat diimplementasikan pada perancangan aspek Strategi Pembelajaran
ini.

3. Aspek Desain Bahan Pembelajaran

Langkah ketiga dalam Mendesaian Sistem Pembelajaran adalah pengembangan, yaitu


proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pembelajaran. Proses penulisan
bahan pembelajaran harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kejelasan tujuan pembelajaran (realistis dan terukur);


b. Relevansi tujuan pembelajaran dengan Kurikulum/SK/KD;
c. Ketepatan penggunaan media yang sesuai dengan tujuan dan materi pembelajaran;
d. Kesesuaian materi, pemilihan media dan evaluasi (latihan, test, kunci jawaban) dengan
tujuan pembelajaran;
e. Sistematika yang runut, logis, dan jelas;
f. Interaktivitas;
g. Penumbuhan motivasi belajar;
h. Kontekstualitas;
i. Kelengkapan dan kualitas bahan bantuan belajar;
j. Kejelasan uraian materi, pembahasan, contoh, simulasi, latihan;
k. Konsistensi evaluasi dengan tujuan pembelajaran;
l. Relevansi dan konsistensi alat evaluasi;
m. Pemberian umpan balik terhadap latihan dan hasil evaluasi.

Proses pemanfaatan bahan dan strategi tersebut harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Efektif dan efisien dalam pengembangan maupun penggunaan media pembelajaran;


b. Reliabilitas (kehandalan);
c. Maintainabilitas (dapat dipelihara/dikelola dengan mudah);
d. Usabilitas (mudah digunakan dan sederhana dalam pengoperasiannya);
e. Ketepatan pemilihan jenis aplikasi/software/tool untuk pengembangan;
f. Kompatibilitas (media pembelajaran dapat diinstalasi/dijalankan diberbagai hardware dan
software yang ada);
g. Pemaketan program media pembelajaran terpadu dan mudah dalam eksekusi;
h. Dokumentasi program media pembelajaran yang lengkap meliputi: petunjuk instalasi
(jelas, singkat, lengkap), trouble shooting (jelas, terstruktur, dan antisipatif), desain
program (jelas dan menggambarkan alur kerja program);
i. Reusabilitas (sebagian atau seluruh program media pembelajaran dapat dimanfaatkan
kembali untuk mengembangkan media pembelajaran lain).

4. Aspek Pemanfaatan Bahan

Selain harus memperhatikan aspek-aspek di atas, langkah pemanfaatan juga dapat


menggunakan komunikasi visual sebagai strategi pembelajaran, dengan memperhatikan hal-
hal berikut:

a. Komunikatif: visualisasi mendukung materi ajar, agar mudah dicerna oleh siswa;
b. Kreatif: visualisasi diharapkan disajikan secara unik dan tidak klise (sering digunakan),
agar menarik perhatian;
c. Sederhana: visualisasi tidak rumit, agar tidak mengurangi kejelasan isi materi ajar dan
mudah diingat;
d. Unity: menggunakan bahasa visual yang harmonis, utuh, dan senada, agar materi ajar
dipersepsi secara utuh (komprehensif);
e. Penggambaran objek dalam bentuk image (citra) yang representatif;
f. Pemilihan warna yang sesuai, agar mendukung kesesuaian antara konsep kreatif dan
topik yang dipilih;
g. Tipografi (font dan susunan huruf), untuk memvisualisasikan bahasa verbal agar
mendukung isi pesan, baik secara fungsi keterbacaan maupun fungsi psikologisnya;
h. Tata letak (lay-out): peletakan dan susunan unsur-unsur visual terkendali dengan baik,
agar memperjelas peran dan hirarki masing-masing unsur tersebut;
i. Unsur visual bergerak (animasi dan/atau movie), animasi dapat dimanfaatkan untuk
mensimulasikan materi ajar dan video untuk mengilustrasikan materi secara nyata;
j. Navigasi (icon) yang familiar dan konsisten agar efektif dalam penggunaannya.

5. Penilaian, Umpan Balik dan Perbaikan Terus Menerus

Langkah kelima dalam mendesain sistem pembalajaran adalah penilaian, yaitu proses
penentuan ketepatan pembelajaran. Setiap bab menyajikan rangkuman/kesimpulan dan atau
soal latihan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik dan sekaligus mengevaluasi
ketepatan strategi pembelajaran. Penilaian ini mutlak dilakukan sebagai sistem manajemen
mutu dan pengendalian proses belajar mengajar sehingga terjadi umpan balik dan perbaikan
secara terus menerus (continous improvement).

D. Kesimpulan

Dalam mereview artikel ini, pereview berusaha mengkaitkan dengan isi artikel dengan
konteks Teknologi Pembelajaran sebagai suatu bidang Ilmu. Hal ini untuk membangun
komitmen keilmuan dan struktur berpikit yang konsisten dengan Bidang Keilmuan.

Dari hasil pembahasan di atas, pereview menemukan bahwa Teori Belajar sebagai
Paradigma Online Learning berada pada kawasan Desain, yaitu kawasan pertama di antara lima
kawasan Teknologi Pembelajaran. Lebih khusus, implementasi dari hal teori belajar ini berada
pada subkawasan Desain Sistem Pembelajaran (DSP).

DAFTAR PUSTAKA

Seels, Barbara B. & Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya.
Penerjemah Dewi S. Prawiradilaga dkk. Jakarta: Kerjasama IPTPI LPTK UNJ.

Terry Anderson & Fathi Elloumi (Eds.). 2004. Theory and Practice of Online Learning. Canada.
Athabasca University.
Teori Belajar Psikologi Kognitif

INDRA - POSTAR

Teori Belajar Psikologi Kognitif

INDRA - Teori Belajar Psikologi Kognitif

I. Prinsip dasar psikologi kognitif

Psikologi kognitif

Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai proses-proses mental atau
pikiran. Bagaimana informasi diperoleh, dipresentasikan dan ditransfermasikan
sebagai pengetahuan. Psikologi kognitif juga disebut psikologi pemrosesan
informasi.

Tingkah laku seseorang didasarkan pada tindakan mengenal/ memikirkan situasi


dimana tingkah laku itu terjadi.

Prinsip dasar psikologi kognitif

* Belajar aktif
* Belajar lewat interaksi sosial
* Belajar lewat pengalaman sendiri

Teori psikologi kognitif berkembang dengan ditandai lahirnya teori Gestalt (Mex
Weitheimer) yang menyatakan bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk
dalam suatu keseluruhan.

Ada 2 hukum wajib dalam teori Gestalt:

- pragnaz (kejelasan)

- closure (totalitas)

Konsep yang penting dalam teori ini INSIGHT, yaitu: pengmatan atau pemahaman
mendadak terhadap hubungan antara bagian-bagian di dalam suatu situasi
masalah.

A. Teori Belajar Cognitive-Field dari Lewin


Bertolak pada teori Gestalt, Lewin mengembangkan teori belajar berdasarkan Life
Space (dunia psikologis dari kehidupan individu). Masing – masing individu berada
di dalam medan kekuatan psikologis, medan itu dinamakan Life Space yang terdiri
dari dua unsure yaitu kepribadian dan psikologi social.

Ia menyatakan bahwa tingkah laku belajar merupakan usaha untuk mengadakan


reorganisasi/ restruktur (dari isi jiwa). Tingkah laku merupakan hasil dari interaksi
antar kekuatan baik dari dalam (tujuan, kebutuhan, tekanan batin, dan sebagainya)
maupun dari luar (tantangan, permasalahan).

B. Cognitive Development (Jean Piaget )

Dalam teorinya, ia memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari
fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Ia memakai istilah scheme: pola
tingkah laku yang dapat diulang. Yang berhubungan dengan :

* Reflex pembawaan (bernapas, makan, minum)

* Scheme mental (pola tingkah laku yang susah diamati, dan yang dapat diamati)

Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tingkat yaitu
:

(1) sensory motor;

(2) pre operational;

(3) concrete operational dan

(4) formal operational

Perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap menurut Piaget yaitu:

a. Kematangan

b. Pengalaman fisik/ lingkungan

c. Transmisi social

d. Equilibrium/ self regulation

Menurut Piaget intelegensi itu terdiri dari tiga aspek, yaitu:

-struktur (scheme) : pola tingkah laku yang dapat diulang


-isi (content) :pola tingkah laku yang spesifik (saat menghadapi masalah)

-fungsi (function) :berhunbungan dengan cara seseorang untuk mencapai kemajuan


intelektual.

C. Pembelajaran Menurut JA Brunner (Discovery Learning)

Teori Brunner menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif dalam belajar di
kelas. Maksud dari Discovery Learning yaitu siswa mengorganisasikan metode
penyajian bahwa dengan cara dimana anak dapat mempelajari bahan itu, sesuai
dengan tingkat kemampuan anak.

The act of discovery dari Burner:

1. Adanya suatu kenaikan di dalam potensi intelektual


2. Ganjaran intrinsic lebih ditekankan daripada ekstrinsik
3. Murid yang mempelajari bagaimana menemukan berarti murid itu menguasai
metode discovery learning
4. Murid lebih senang mengingat-ingat informasi

Selain ketiga tokoh tersebut Ausubel juga berpengaruh dalam psikologi kognitif. Dia
mengungkapkan teori ekspository teaching, yaitu dapat diorganisasikan atau
disajikan secara baik agar dapat menghasilkan pengertian dan resensi yang baik
pula sama dengan discovery learning.

D. Implikasi teori perkembangan kognitif

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu
guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-
baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi
dengan teman-temanya.

Pengaplikasian teori kognitif dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada


siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena
ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja.dengan adanya area baru,
siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.

II. Peran pendidik dan peserta didik

Peran pendidik dan peserta didik

- Guru sebagai demonstrator


- Guru sebagai mediator dan fasilitator
- Guru sebagai evaluator
Guru secara umum berperan sebagai:

Pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partissipan,


ekspeditor, perencana,suvervisor,motivator,penanya,evaluator dan konselor.

Selain peran yang telah disebutkan di atas, hal yang perlu dan penting dimiliki oleh
pendidik yaitu pendidik harus mengetahui psikologis mengenai peserta didik.
Suryabrata : 2004)

Peran peserta didik

belajar mandiri memposisikan pebelajar sebagai subyek, pemegang kendali,


pengambil keputusan atau pengambil inisiatif atas belajarnya sendiri.

III. Pendekatan dan Metode Pembelajaran

A. Pendekatan Belajar

Banyak pendekatan belajar yang dapat digunakan oleh para guru kepada para
siswanya unttuk mempelajari bidang studi atau materi pelajaran yang sedang
mereka tekuni, dari yang paling klasik sampai yang paling modern. Di antaranya:

1). Pendekatan Hukum Jost

Menurut Reber (1988), salah satu asumsi penting yang mendasari Hukum Jost
(Jost’s Law) adalah siswa yang lebih sering mempraktikkan materi pelajaran akan
lebih mudah memanggil kembali memori lama yang berhubungan dengan materi
yang sedang ia tekuni. Selanjutnya, berdasarkan asumsi Hukum Jost itu maka
belajar dengan kiat 5 x 3 adalah lebih baik daripada 3 x 5 walaupun hasil perkalian
kedua kiat tersebut sama.

2). Pendekatan Ballard & Clanchy


Menurut Ballard & Clanchy (1990), pedekatan belajar siswa pada umumnya
dipengaruhi oleh sikap terhadap ilmu pengetahuan (attitude to knowledge). Ada
dua macam siswa dalam menyikapi ilmu pengetahuan, yaitu: 1) sikap melestarikan
apa yang sudah ada (conserving); dan 2) sikap memperluas (extending).

3). Pendekatan Biggs

Menurut hasil penelitian Biggs (1991), pendekatan belajar siswa dapat


dikelempokkan ke dalam tiga prototype (bentuk dasar).

1) Pendekatan surface (permukaan/bersifat lahiriah)


2) Pedekatan deep (mendalam)
3) Pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi).

B. Metode Belajar

Metode secara etimologi berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum, metode
diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan
dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis. Dalam dunia
psikologi, metode berarti prosedur sistematis (tata cara yang berurutan) yang biasa
diguanakan untuk menyelidiki fenomena atau gejala-gejala kejiwaan seperti metode
klinik, metode eksperimen, dan sebagainya.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan metode belajar ialah cara yang berisi prosedur
baku untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran, khususnya kegiatan penyajian
materi pelajaran.

Ragam dan jumlah metode belajar sesungguhnya banyak sekali dan hampir tidak
dapat dihitung dengan jari, mulai dari yang paling tradisional sampai yang paling
modern.

Berikut ini penyusun sajikan sebuah metode belajar untuk mempelajari teks
(wacana), khususnya yang terdapat dalam buku, artikel ilmiah, dan laporan
penelitian. Kiat yang secara spesifik dirancang untuk memahami isi teks itu disebut
SQ3R yang dikembangkan oleh Francis P. Robinson di Universitas Negeri Ohio
Amerika Serikat. Metode ini bersifat praktis dan dapat diaplikaikan dalam berbagai
pendekatan belajar.

SQ3R pada prinsipnya merupakan singkatan langkah-langkah mempelajari teks


yang meliputi:

1. Survey, maksudnya memeriksa atau meneliti atau mengidentifikasi seluruh teks.


Dalam melakukan aktivitas survey guru perlu membantu mendorong siswa untuk
memeriksa atau meneliti secaa singkat seluruh struktur teks. Tujuannyaaga siswa
mengetahui panjangnya teks, judul bagian (heading) dan judul subbagian (sub-
heading), istilah dan kata kunci, dan sebagainya.

2. Question, ialah menyususn daftar pertanyaan yang relevan dengan teks. Dalam
hal ini guru diharapkan berperan untuk memberi petunjuk atau contoh kepada para
siswa untuk menyusu pertanyaan-pertanyaan yang jelas, singkat dan relevan
dengan bagian-bagian teks yang telah ditandai pada langkah pertama.

3. Read, maksudnya membaca teks secara aktif untuk mencari jawabatas


petanyaan-pertanyaan yang telah tersusun. Dalam hal ini membaca aktif juga
berarti membaca yang difokuskan pada paragraph-paragraf yang diperkirakan
mengandung jawaban-jawaban yang diperkirakan relevan dengan pertanyaan-
pertanyaan tadi.

4. Recite, menghafal setiap jawaban yang telah ditemukan. Dalam kegiatan ini guru
menyuruh kepada para siswanya untuk menyebutkan jawaban-jawaban atas
pertanyaan yang telah tersusun tanpa membuka catatan dari jawaban tersebut.

5. Review, meninjau ulang seluruh jawaban atas pertanyaan yang tersusun pada
langka kedua dan ketiga.

IV. Materi dan Sumber Belajar

A. Materi Pembelajaran

Materi pembelajaran (instructional materials) adalah bahan yang diperlukan untuk


pembentukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai siswa
dalam rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan.

Materi Pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan


kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat
mencapai sasaran

Materi yang dipilih untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-
benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar .

Jenis-Jenis Materi Pembelajaran

Materi fakta adalah segala hal yang bewujud kenyataan dan kebenaran, meliputi
nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama
bagian atau komponen suatu benda, dan sebagainya

Contoh :

Mata Pelajaran Sejarah : Peristiwa sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 dan


pembentukan pemerintahan Indonesia.

Materi konsep adalah segala yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa
timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakekat,
inti /isi dan sebagainya.

Contoh :

Mata Pelajaran Biologi : Hutan hujan tropis di Indonesia sebagai sumber plasma
nutfah, Usaha-usaha pelestarian keanekargaman hayati Indonesia secara in-situ dan
ex-situ., dsb.

Materi prinsip adalah berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki posisi terpenting ,
meliputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema, serta hubungan antar
konsep yang menggambarkan implikasi sebab akibat.

Contoh :

Mata Pelajaran Fisika : Hukum Newton tentang gerak , Hukum 1 Newton , Hukum 2
Newton , Hukum 3 Newton , Gesekan statis dan Gesekan kinetis, dsb.

Materi Prosedur meliputi langkah-langkah secara sistematis atau berurutan dalam


mengerjakan suatu aktivitas dan kronologi suatu sistem.

Contoh :

Mata Pelajaran TIK : Langkah-langkah Akses Internet, trik dan strategi penggunaan
Web Browser dan Search Engine,

Materi Sikap atau nilai merupakan hasil belajar aspek afektif, misalnya nilai
kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat belajar dan bekerja,
dsb.

Contoh :

Mata Pelajaran Geografi : Pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan prinsip


ekoefisiensi, Pemanfaatan sumberdaya alam dan pembangunan berkelanjutan, dsb.
Mata Pelajaran Sosiologi : Interaksi sosial dan dinamika sosial, Sosialisasi dan
pembentukan kepribadian.

B. Sumber Belajar

AECT menguraikan bahwa sumber belajar meliputi: pesan, orang, bahan, alat,
teknik dan lingkungan. Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di
dalam kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan dengan dengan cara yaitu dilihat
dari keberadaan sumber belajar yang direncanakan dan dimanfaatkan.

Sumber belajar adalah bahan termasuk juga alat permainan untuk memberikan
informasi maupun berbagai keterampilan kepada murid maupun guru (Sudono,
2000:7).

Hamalik (1994:195), menyatakan bahwa sumber belajar adalah semua sumber


yang dapat dipakai oleh siswa, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan
siswa lainnya, untuk memudahkan belajar.

Mudhofir (1992:13) menyatakan bahwa yang termasuk sumber belajar adalah


berbagai informasi, data-data ilmu pengetahuan, gagasan-gagasan manusia, baik
dalam bentuk bahan-bahan tercetak (misalnya buku, brosur, pamflet, majalah, dan
lain-lain) maupun dalam bentuk non cetak (misalnya film, filmstrip, kaset,
videocassette, dan lain-lain).

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sumber belajar adalah
segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan guru maupun siswa dalam mempelajari
materi pelajaran, sehingga memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran
tersebut.

A. Macam-macam Sumber Belajar

AECT menguraikan bahwa sumber belajar meliputi: pesan, orang, bahan, alat,
teknik dan lingkungan. Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di
dalam kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan menjadi dua, yakni sumber
belajar yang sengaja direncanakan dan sumber belajar yang dimanfaatkan.
Penjelasan kedua hal tersebut sebagai berikut:

1) Sumber belajar yang sengaja direncanakan (by design) yaitu semua sumber
belajar yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem
instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.

2) Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yaitu sumber belajar yang
tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat
ditemukan, diaplikasi, dan digunakan untuk keperluan belajar (Satgas AECT,
1986:9).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa sumber belajar merupakan salah
satu komponen sistem instruksional yang dapat berupa: pesan, orang, bahan,
peralatan, teknik dan latar (lingkungan). Sumber belajar tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:

1) Pesan, adalah pelajaran/informasi yang diteruskan oleh komponen lain dalam


bentuk ide, fakta, arti, dan data.

2) Orang, mengandung pengertian manusia yang bertindak sebagai penyimpan,


pengolah, dan penyaji pesan. Tidak termasuk mereka yang menjalankan funsgi
pengembangan dan pengelolaan sumber belajar.

3) 3. Bahan, merupakan sesuatu (bisa pula disebut program atau software) yang
mengandung pesan untuk disajikan melalui penggunaan alat ataupun oleh dirinya
sendiri.

4) Alat, adalah sesuatu (biasa pula disebut hardware) yang digunakan untuk
menyampaikan pesan yang tersimpan di dalam bahan.

5) Teknik, berhubungan dengan prosedur rutin atau acuan yang disiapkan untuk
menggunakan bahan, peralatan, orang, dan lingkungan untuk menyampaikan
pesan.

6) Lingkungan, merupakan situasi sekitar di mana pesan diterima (Mudhoffir,


1992:1-2).
Semiawan (1992:96) menyatakan bahwa sebenarnya kita sering melupakan sumber
belajar mengajar yang terdapat di lingkungan kita, baik di sekitar sekolah maupun
di luar lingkungan sekolah. Betapapun kecil atau terpencil, suatu sekolah, sekurang-
kurangnya mempunyai empat jenis sumber belajar yang sangat kaya dan
bermanfaat, yaitu:

1) Masyarakat desa atau kota di sekeliling sekolah.


2) Lingkungan fisik di sekitar sekolah.
3) Bahan sisa yang tidak terpakai dan barang bekas yang terbuang yang dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan, namun kalau kita olah dapat bermanfaat
sebagai sumber dan alat bantu belajar mengajar.
4) Peristiwa alam dan peristiwa yang terjadi di masyarakat cukup menarik perhatian
siswa. Ada peristiwa yang mungkin tidak dapat dipastikan akan terulang kembali.
Jangan lewatkan peristiwa itu tanpa ada catatan pada buku atau alam pikiran siswa.

Secara umum, sumber belajar dapat berupa:


1) Barang Cetak, seperti kurikulum, buku pelajaran, Koran, majalah, dan lain-lain.
2) Tempat, seperti: sekolah, perpustakaan, museum, dan lain-lain
3) Nara sumber/orang, seperti: guru, tokoh masyarakat, instruktur, dan lain-lain.

Jenis-jenis sumber belajar tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lain dalam
proses belajar-mengajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dengan
demikian hasil belajar peserta didik pada dasarnya merupakan interaksi antara
komponen system instruksional dengan peserta-peserta didik.

B. Tujuan dan Fungsi Sumber Belajar

Penggunaan sumber belajar bertujuan untuk:

1) Menambah wawasan pengetahuan siswa terhadap materi pelajaran yang


disampaikan guru,
2) Mencegah verbalistis bagi siswa,
3) Mengajak siswa ke dunia nyata,
4) Mengembangkan proses belajar-mengajar yang menarik, dan
5) Mengembangkan berpikir divergent pada siswa (Semiawan, 1992:97)

Pemanfaatan sumber belajar sudah barang tentu akan menambah wawasan


pengetahuan siswa. Melalui sumber belajar, pemahaman siswa mengenai suatu
materi pelajaran akan bertambah. Hal tersebut sekaligus akan mencegah verbalistis
bagi siswa. Dengan pemanfaatan sumber belajar maka siswa tidak hanya
mengetahui materi pelajaran dalam bentuk kata-kata saja, namun secara
komprehensif akan mengetahui substansi dari materi yang dipelajari.

Sumber belajar juga bertujuan mengajak siswa ke dunia nyata. Dalam pengertian,
siswa tidak hanya berada dalam bayangan-bayangan suatu materi akan tetapi
melalui sumber belajar, siswa langsung dihadapkan ke dunia nyata, yaitu suatu
situasi yang berhubungan langsung dengan materi pelajaran.

Pemanfaatan sumber belajar juga bertujuan mengembangkan proses belajar-


mengajar yang menarik. Dalam pengertian, melalui pemanfaatan sumber belajar
sudah barang tentu proses belajar-mengajar lebih aktif dan interaktif. Hal menarik
yang dapat dijumpai ketika guru memanfaatkan sumber belajar adalah adanya
interaksi banyak arah, yakni antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa
dengan siswa dan guru.

Berpikir divergent merupakan suatu aktivitas berpikir di mana siswa mampu


memberikan alternatif jawaban dari suatu permasahalan yang dibahas. Melalui
pemanfaatan sumber belajar diharapkan siswa mampu berpikir divergent.

Adapun fungsi sumber belajar sebagai:


1) sarana mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan,
2) mengeratkan hubungan antara siswa dengan lingkungan,
3) mengembangkan pengalaman dan pengetahuan siswa,
4) membuat proses belajar-mengajar lebih bermakna (Semiawan,1992:100).

Keterampilan memproses perolehan mengacu pada sesuatu yang dapat diperoleh


ketika guru memanfaatkan sumber belajar. Oleh karena itu, fungsi sumber belajar
sebagai sarana mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan
berhubungan dengan aktivitas guru dalam memanfaatkan sumber belajar. Dalam
pengertian, ketika guru memanfaatkan sumber belajar sudah barang tentu harus
ada sesuatu yang dapat diperoleh oleh siswa.

Fungsi sumber belajar lainnya adalah mengeratkan hubungan siswa dengan


lingkungan. Hal tersebut berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar yang
dilakukan guru. Semakin guru memanfaatkan sumber belajar yang berasal dari
lingkungan sekitar, maka siswa semakin dekat dengan lingkungannya.

Pengalaman dan pengetahuan siswa akan materi pelajaran yang dipelajari


merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, keberadaan sumber belajar
berfungsi untuk mengembangkan pengalaman dan pengetahuan siswa. Melalui
pemanfaatan sumber belajar, maka pengalaman dan pengetahuan siswa akan lebih
berkembang.

Fungsi sumber belajar yang membuat proses belajar-mengajar lebih bermakna,


berhubungan dengan aktivitas guru dalam memanfatakan sumber belajar. Melalui
pemanfaatan sumber belajar yang tepat, maka guru dapat membuat proses belajar-
mengajar lebih bermakna. Artinya, guru mampu mengelola proses belajar-mengajar
yang berpusat pada siswa, bukan proses belajar-mengajar yang berpusat pada
guru.

Sumber Buku Bacaan :

H, Djali. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

M, Dalyono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Muhibin, Syah. 2002. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Sumanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan.


Jakarta: Rineka Cipta.

Teori-Teori Belajar Dec 16, '07 8:46 AM


for everyone
Teori-Teori Belajar Proses Perubahan Tingkahlaku & Belajar

Oleh:

Arie Asnaldi, S.Pd

Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang
bersumber dari aliran-aliran psikologi.Namun dalam kesempatan ini hanya akan
dikemukakan lima jenis teori belajar saja, yaitu: (a) teori behaviorisme; (b) teori belajar
kognitif menurut Piaget; (4) teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan (5) teori belajar
gestalt.

1. Teori Behaviorisme

Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab II bahwa behaviorisme merupakan salah


satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang
individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek
mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat,
minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata
melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu.

Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini,


diantaranya :

1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.

Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan


hukum-hukum belajar, diantaranya:

a. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang
memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka
semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
b. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa
kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar
(conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang
mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

c. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons


akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang
apabila jarang atau tidak dilatih.

2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan


hukum-hukum belajar, diantaranya :

a. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika


dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi
sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.

b. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika


refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya
terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

a. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan


stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.

b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah


diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan.
Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada
dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah
respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya seperti dalam classical conditioning.

4. Social Learning menurut Albert Bandura

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah
teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar
lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang
Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond),
melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar
menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial
dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku
(modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar


behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip
kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang
menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The
Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response
Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

2. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget


Dalam bab sebelumnya telah dikemukan tentang aspek aspek perkembangan kognitif
menurut Piaget yaitu tahap (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete
operational dan (4) formal operational. Menurut Piaget, bahwa belajar
akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta
didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu
oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan
kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari
dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik-baiknya.

c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temanya.

3. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne


Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang
sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-
kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu
keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses
kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan
dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1)
motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali;
(6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
4. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk
atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa
tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut
Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

a. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap
bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar
belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan
sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat
samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
b. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu
maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk
tertentu.

c. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan


dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.

d. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang


berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau
bentuk tertentu.

e. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang


pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung
membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan;
dan

f. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu


pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:

a. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku


“Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot
atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam
keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain
sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai
makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.

b. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara


lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah
lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada
sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah
sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan
suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).

c. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian
peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa.
Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces,
gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan
awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
d. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu
proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses
pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran
terhadap rangsangan yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :

a. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting


dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki
kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam
suatu obyek atau peristiwa.

b. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur


yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran.
Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang
dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya
dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal
yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis
dengan proses kehidupannya.

c. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan.


Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada
keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran
akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya.
Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas
pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.

d. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan
dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan
hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan
peserta didik.

e. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi


pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar
terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam
situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain
dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan
prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun
ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila
peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan
menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah
dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta
didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

You might also like