You are on page 1of 47

BAB I

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA

1. Latar Belakang

Pada hakikatnya kebudayaan (termasuk di dalamnya sastra dan seni)


eksistensinya sama tuanya dengan manusia, dan ia terus berkembang sejalan dengan
perkembangan masyarakat pendukung kebudayaan itu. Kebudayaan bangsa cukup tua
usianya, meskipun pengertian “Indonesia” itu politis baru lahir pada peristiwa Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Perjalanan budaya bangsa Indonesia telah berlangsung
berabad-abad lamanya, sejak kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia (secara
bergelombang) daratan Asia Tenggara ke kepulauan Nusantara ini.

2. Sastra Indonesia Masa Prasejarah

Gelombang pertama nenek moyang bangsa Indonesia (yang tergolong homo


sapiens) yang dating di Nusantara ialah manusia wajak atau Wajakensis sekitar 40.000
tahun yang lalu. Mereka memiliki kebudayaan meramu atau kebudayaan palaselith-
mesolitik. Tingkat peradabannya masih rendah sekali, hidup mengembara sebagai
pemburu dengan cara meramu (food gathering), yaitu mengumpulkan makanan-makanan
seperti binatang buruan, umbi-umbian, buah-buahan, dsb. yang mereka dapatkan dari
alam. Peralatan mereka masih sederhana, berupa tombak dan panah dari tulang (bone
culture), kapak (pabble) dan belati (flake) dari batu yang belum diasah/diperhalus.
Mereka mendiami gua-gua dan juga hidup di tepi pantai (jokkonmoddinger). Kemudian
datang rumpun bangsa Papua Melanosoid dari daerah pegunungan Backson-Hoabinh,
dekat teluk Tonkin, di daratan Indocina, yang menyebar di Nusantara bagian timur
sampai Australia dan Pasifik. Mereka masih berkebudayaan meramu, tapi peralatan
mereka yang dinamakan Backson-Hoabinh berupa kapak Sumatra dan kapak pendek
serta flake, sudah diperhalus/diasah-lazim disebut pebble dan flake. Mereka juga mngenal
bone culture. Menurut van Paursen dalam Strategi Kebudayaan (1976:34-35) orang
primitif ini hidup dalam tahap kebudayaan mistis, di mana dalam kehidupannya manusia
merasa dirinya terkepung/terikat oleh kekuatan gaib yang ada di alam sekitarnya.
Dalam alam pikiran mereka yang amat sederhana, alam dahsyat sehingga mereka
tunduk pada alam. Untuk melepaskan diri dari rasa takut pada alam yan serba gaib itu
manusia memuja kekuatan atau dunia gaib dari alam itu dengan berbagai upacara
kepercayaan, antara lain dengan media bahasa serupa mantra dan mitos bentuk awal dari
sastra yaitu sastra lisan. Sedangkan untuk mengenal dan menguasai dunia luar (binatang-
binatang buruan, dll.) manusia primitif berimajinasi dengan lambing-lambang visual
dengan bentuk garis dan warna, sehingga terciptalah lukisan. Misalnya lukisan babi
terkena tombak dan diberi warna merah yang terdapat di gua Leang-leang, Sulawesi
Selatan.
Lukisan babi di gua Leang-leang itu dianggap bentuk awal dari seni lukis yang
diciptakan oleh nenek moyang kita dari kebudayaan meramu. Bagi seniman purba,
lukisan magis tersebut menunjukkan ada hubungan keajaiban antara gambar dengan
kenyataan lambang dengan yang dilambangkan. Maka lukisan babi yang terkena tombak
itu mengandung magi bahwa, nantinya orang dapat menangkap babi dengan tombak.
Selain mengenal seni, mereka (sejak Homo Wajakensis) sudah mengenal pula tradisi
penguburan, yaitu kepercayaan kepada roh nenek moyang yang meninggal. Gelombang
terakhir nenek moyang bansa Indonesia yang menyebar, secara merata di pulau-pulau
Nusantara ialah rumpun bangsa Austronesia atau Melayu Polinesia. Rumpun bangsa
Austronesia yang datang pertama kali di pulau-pulau Nusantara ialah Proto Melayu atau
Melayu Tun sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Mereka berkebudayaan masa bercocok
tanam atau kebudayaan neolitik. Peradabannya cukup maju : hidup menetap dengan
mendirikan rumah di atas tiang, pandai bertani (menanam padi dengan sistem irigasi),
peralatannya berbentuk kapak persegi seperti pacul, beliung, kapak, tarah, dll. yang
terbuat dari batu yang diasah. Dalam bidang kesenian mereka sudah pandai membuat
kerajinan tangan berupa gelang dan manik-manik kalung dari batu indah, pakaian dari
serat-serat kayu yang ditenun dan dibatik (cap), serta membuat periuk belangan dan
tembikar dari tanah liat. Di samping itu mereka juga pandai beternak, hidup
bermasyarakat punya organisasi kemasyarakatan, berkebudayaan laut yaitu menjadi
nelayan dan pelaut dengan memakai perahu bercadik.
Bahasa yang mereka pergunakan ialah bahasa Austronesia. Menurut penelitian
Kern (1989) daerah penyebarannya amat luas, dari Madagaskar di barat sampai pulau
Paska dari bumi timur, dan dari Formosa di utara sampai Selandia Baru di selatan,
mencakupi bahasa-bahasa di Nusantara (Indonesia), bahasa-bahasa Polynesia, Melanesia
dan Micronesia (Sukmono, 1973 : 58). Dari hasil penelitian Kern (dengan teori
perbandingan bahasa) dan Haine Gelderen (teori kapak persegi) terdapatlah titik temu
bahwa, asal bangsa Austronesia itu di daerah Yunan, Cina Selatan, tempat berhulunya
sungai-sungai Mekong, dan sungai-sungai besar lainnya di Asia Tenggara. Rumpun
bangsaAustronesia terakhir yang datang ke kepulauan Nusantara ialah Deutro Melayu
atau Melayu Muda, pada masa 500 tahun sebelum masehi. Mereka berkebudayaan
perundagian yaitu pandai menuang logam dan membuat alat-alat dari logam. Karena
kebudayaan logam ini asalnya/pusatnya di Dongso (daerah Tenkin, Indocina) maka
disebut juga kebudayaan Dongson
Dengan kebudayaan yang dimilikinya itu nenek moyang kita dapat mebuat
peralatan dan kesenian dari logam seperti kapak corong, candrasa, nekara, moko, dll. dari
perunggu yang diberi pola hiasan yang indah (motif flora dan fauna), di samping juga
membuat arca dan perhiasan seperti manik-manik, gelang, kalung (dari perunggu dan
kaca), dan uang logam. Selanjutnya, mereka juga mengenal kebudayaan megalitik
(arsitektur bangunan dari batu besar), seperti menhir, punden berundak-undak, keranda,
kubur batu dan dolmen, yang kesemuanya erat berkaitan dengan religi (kepercayaan)
pada pemujaan roh nenek moyang. Sedangkan khasanah budaya dan nilai-nilai budaya
serta adat-istiadat dari kebudayaan-kebudayaan terdahulu tetap mereka warisi dan
lestarikan. Kebudayaan rumpun bangsa Austronesia inilah yang menjadi dasar
kebudayaan Indonesia selanjutnya, sebagaimana dikemukakan oleh Sukmono (1973:80),
“Oleh karena bangsa Austronesia inilah yang menjadi nenek moyang langsung dari
bangsa Indonesia, dapatlah sekarang dikatakan, bahwa kebudayaan-kebudayaan yang
dibawa oleh mereka ke negeri kita itu adalah yang dapat kita namakan kebudayaan
Indonesia, kebudayaan bangsa kita yang menjadi dasar untuk perkembangan melanjutkan
sampai kini”. Nilai dan Unsur Budaya Kuntjaraningrat dalam Kebudayaan, Metalitet dan
Pembangunan membagi kebudayaan atas kebudayaan idial, kebudayaan kelakuan, dan
kebudayaan fisik. Tergolong dalam idial ini adalah nilai budaya dan tingkatan-
tingkatannya : nama sistem hukum, dan peraturan-peraturan. Termasuk juga adat-istiadat.
Yang dimaksud nilai budaya atau nilai ialah konsepsi ide-ide yang paling baik yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat dan menjadi pedoman mereka dalam bertingkah laku.
Kebudayaan ini bersifat akumulatif, terus bertambah dan berkembang. Kebudayaan
Indonesia sekarang adalah lanjutan kebudayaan masa lampau, dimana kebudayaan
Nusantara awal (kebudayaan Indonesia prasejarah) tingkat kebudayaan neolitik menjadi
pilarnya.
Dalam kebudayaan Nusantara awal ini telah dikenal nilai-nilai dan unsur-unsur
pokok kebudayaannya sebagai berikut :
a. Masyarakat Nusantara kuno telah mengenal sistem pengetahuan tentang alam,
binatang, musim, teknologi, peralatan, meskipun cara berpikir mereka masih
emosional (dikuasai perasaan) dan komplek. Adanya pengetahuan-pengetahuan
tersebut memungkinkan mereka dapat mengembangkan berbagai sektor
kehidupan, seperti pertanian, pelayanan, perdagangan, peternakan, dll.
b. Sistem religi menduduki tempat teramat penting. Kepercayaan pada dunia roh
(animisme) dan kekuatan-kekuatan gaib (dinamisme) meresapi seluruh
kehidupan. Dalam kehidupan masyarakat religi menjadi pusat dari segala aktifitas
kehidupan; segala seuatu dimulai dengan religi dan upacara-upacaranya, agar
manusia mendapat rahmat kebaikan dari kekuatan-kekuatan gaib itu.
c. Sistem kemasyarakatan pada masyarakat Nusantara awal bertumpu pada sistem
wilayah desa, dengan sistem organisasi pemerintahan yang demokratis, atas dasar
musyawarah dan mufakat, yang dipimpin oleh kepala suku dan majelis orang-
orang tua dalam balai desa. Kewajiban pemerintahan desa antara lain
menjalankan adat istiadat yang turun-temurun dalam berbagai sektor kehidupan.
Sistem dan nilai solidaritasnya (rasa bersatu, kegotongroyongan, kerja sama) amat
kuat. Individu terdesak. Ia terikat dan tunduk pada aturan-aturan adat, religi dan
masyarakatnya. Tapi nilai solidaritas tersebut memberi rasa aman pada
individu/anggota masyarakat. Di samping itu masyarakat Nusantara awal
memiliki sistem kekerabatan yang kuat pula, yaitu patrilineal, matrilineal, dan
parental, yang merupakan sumber norma-norma perbuatan yang baik dalam hal
pembentukan keluarga dan hal-hal yang berkaitan dengan itu (perkawinan,
kematian, harta warisan, dll). Dalam melaksanakannya hukum dipegang kuat
sekali. Adat (yang bersumber dan realisasi dari religi) ini menguasai kehidupan
manusia termasuk juga kehidupan seninya; sehingga kehidupan masyarakat
Nusantara awal bersifat konservatif dan statis.
d. Keseniannya sudah berkembang. Kesenian yang dikuasai oleh instuisi, perasaan
dan fantasi itu selalu terjalin dengan religi. Alat memanifestasikan seni ialah
bahasa (seni sastra), wayang dan lain-lain.
Bentuk seni sastra itu antara lain : mitos atau mitologi yang isinya mengisahkan
kejadian bumi, melukiskan hubungan manusia dengan dewa-dewa, dunia gaib dan isi
alam sebagai proses kosmos. Bentuk-bentuk pusi (mantra, pantun, dan bidal) mewarnai
pula kebijaksanaan-kebijaksanaan lisan dalam sistem kehidupan masyarakat. Pengucapan
sastra itu disampaikan dengan bahasa indah, halus dan teliti serta berulang-ulang dalam
upacara-upacara (yang kadang-kadang disertai tari dan nyanyi), karena kehidupan dan
keselamatan manusia bergantung pada tenaga-tenaga gaib. Bentuk seni wayang juga
sudah berawal pada masa ini Seperti permainan wayang nini Towok, ponakwan, dll.
Fungsinya sebagai penangkal terhadap bahaya, karena roh itu dipanggil dan diharapkan
melindungi kehidupan mereka; (wayang pertunjukan bayang-bayang nenek moyang).
Dengan adanya seni wayang, maka seni-seni yang lain berkembang pula seperti seni
suara, instrumentalia dan tari. Juga seni-seni patung muncul dan berkembang seirama
dengan perkembangan religi dalam kehidupan masyarakat.

3. Sastra Cermin Masyarakat

Sastra merupakan bagian dari kehidupan, karena sebagai pramata sosial ia


mencerminkan keadaan masyarakat dan kehidupan budaya pada suatu zaman tertentu.
Sastra merupakan ekspresi pengkhayatan dan pengalaman bathin si pencerita (atau pun
pengarang) terhadap masyarakat dalam suatu situasi dan waktu tertentu. Di dalamnya
dilukiskan keadaan kehidupan sosial suatu masyarakat, ide-ide, nilai-nilai kejadian-
kejadian yang membangun cerita, serta bahasanya, mencerminkan kehidupan suatu
masyarakat pada suatu masa, sehingga sastra berguna untuk mengenal masyarakat dan
zamannya.
Keadaan masyarakat Nusantara/Indonesia kuno (prasejarah) yang bercorak statis,
komunal, terikat pada alam mistis dan adat-istiadat yang kukuh ini, juga tercermin dalam
sastranya yang mencerminkan : statis, milik bersama, bahasa klise, terikat pada adat, dan
disampaikan secara lisan (sastra lisan-baik bentuk prosa maupun puisi). Sastra lisan ini
adalah warisan budaya sejak berabad-abad bangsa Indonesia. Sastra yang dituturkan
secara turun-temurun tersebut setidaknya ada dua macam, yaitu :
a. Sastra yang berkaitan dengan religi/kepercayaan, berupa mitos yang isinya
menceritakan tentang dewa-dewa dan cerita-cerita kepercayaan yang lainnya, di
samping mantra, yang penuturannya terkait dengan upacara-upacara religi itu.
Dituturkan oleh ahlinya yang bernama pawang.
b. Sastra yang berkaitan dengan sikap dan perilaku kehidupan masyarakat sehari-
hari (sesuai dengan irama alam) : di kala riang gembira, sedih, berkabung, duka
cita, santai, dll. Isi sastra (cerita-cerita) banyak mengandung nilai-nilai moral,
pendidikan, kepercayaan dan nilai-nilai kehidupan lainnya.
Jenis-jenis sastranya adalah pantun, bidal-bidal, dan dongeng-dongeng jenaka
tentang binatang dan manusia yang dapat menjadi nasehat dan pengajaran hidup di mana
bidal itu lahir dan hidup (seperti di kalangan nelayan, petani, rumah tangga, dsb). Contoh
bidal-bidal sebagai berikut :
- Jika kail panjang sejengkal, jangan laut hendak diduga
- Pagar makan tanaman
- Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah
Cerita-cerita yang bersifat menghibur (hiburan disampaikan oleh penutur cerita yang
lazim disebut pelipur lara.

4. Timbulnya Bahasa-bahasa Nusantara

Timbulnya bahasa Nusantara dan sastra merupakan unsur yang integral dari
kebudayaan, khusunya kebudayaan ekspresif. Nenek moyang bangsa Indonesia yang
berasal dari daratan Asia Tenggara dan bermigrasi ke kepulauan Nusantara secara
bergelombang, menurut Kern (dalam Sukmono, 1973: 56-58) berasal dari rumpun bangsa
Auastronesia dan memiliki bahasa yang satu yaitu bahasa Austronesia. Setelah tiba dan
terpencar di berbagai pulau Nusantara Indonesia ini mereka saling ”memencilkan diri”,
karena sulitnya komunikasi. Mereka tumbuh dan berkembang secara sendiri-sendiri
sesuai dengan kondisi alam dan lingkungan geografis di daerah masing-masing. Akhirnya
faktor-faktor geografis dan sulitnya komunikasi telah membuat nenek moyang bangsa
Indonesia yang semula seasal mengalami proses evaluasi manusia (fisik dan kepribadian)
dan evaluasi kebudayaan dalam waktu yang panjang. Lingkungan alam dan geografis
kenusantaraan yang didiami oleh mereka telah membentuk pribadi dan watak serta
kebudayaan mereka masing-masing, sehingga nenek moyang bangsa Indonesia yang
menghuni pulau Sumatra telah melahirkan generasi suku-suku bangsa (etnis) di pulau
Andalas dengan aneka ragam kebudayaan mereka. Demikian pula nenek moyang bangsa
kita yang terdapat di pulau-pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
Irian Jaya, dan Timor Timur telah melahirkan berbagai suku bangsa beserta aneka ragam
kebudayaan di pulau-pulau tersebut. Kebudayaan-kebudayaan yang ada di seantero
Nusantara Indonesia itu dinamakan ”kebudayaan Nusantara”, yang memiliki ciri khas
kenusantaraannya yaitu bhineka tunggal ika. Maksudnya, demikian kebudayaan-
kebudayaan daerah di daerah kepulauan Nusantara itu telah tumbuh dan berkembang
sendiri-sendiri sesuai dengan kondisi alam geografisnya dan cenderung berbeda-beda,
mereka tetap memiliki persamaan-persamaan dasar yang satu. Dan salah satu unsur
”kebudayaan Nusantara” itu ialah bahasa-bahasa daerah yang kini jumlahnya sekitar 250
bahasa yang tersebar di kepulauan Nusantara Indonesia. Ciri kebhinekaan bahasa-bahasa
Nusantara tersebut antara lain tercermin dari kata ”padi” (dalam bahasa Indonesia)
ternyata mengacu pada berbagai istilah yang mirip dalam berbagai bahasa daerah : pare,
pari, padi parai, dsb. Setelah lahirnya nasionalisme Indonesia, dan bahasa Indonesia
dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan serta diresmikan sebagai bahasa nasional,
bahasa-bahasa Nusantara tetap hidup, dipelihara dan berkembang sebagai bahasa-bahasa
daerah, yang eksistensinya diakui oleh UUD 1995 pada penjelasan Bab XV pasal 36.
BAB II
SASTRA INDONESIA MASA SEJARAH

1. Sastra Indonesia Masa Sejarah

Ketika kebudayaan Hindu-Budha dari India datang di Nusantara sekitar abad 7 M,


maka kebudayaan Indonesia mulai memasuki masa sejarah kebudayaan yang ditandai
adanya tulisan. Penemuan tulisan membawa ari penting bagi perkembangan sastra
Indonesia, karena dengan adanya tulisan lahirlah sastra tulis yang menguasai ruang dan
waktu. Sastra dapat didokumentasikan, ditulis di daun lontar, bambu, dan kulit kayu, kulit
binatang, dsb. dan kapan saja. Selain itu dengan datangnya kebudayaan-kebudayaan
asing itu terjadilah akulturasi kebudayaan. Dalam akulturasi tersebut kebudayaan
Indonesia tetap sebagai subjek yang berkembang dan memperkaya dirinya dengan unsur-
unsur kebudayaan Hindu-Budha, kebudayaan Islam dan kebudayaan modern (Barat),
sehingga muncullah kebudayaan Indonesia Hindu, kebudayaan Indonesia Islam dan
kebudayaan Indonesia modern.

2. Tinjauan Sejarah

Kepulauan Nusantara yang terletak di antara dua benua dan di antara dua
samudra, yaitu antara benua Asia dengan benua Australia dan di antara samudra Hindia
(yang sekarang disebut juga samudra Indonesia) dengan lautan Teduh, dihuni oleh
beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejarah, kebudayaan, adat-
istiadat dan bahasa sendiri-sendiri. Di abad bersilam-silam di beberapa tempat si
kepulauan Nusantara itu pernah berdri kerajaan-kerajaan besar : yang terpenting
kerajaan-kerajaan yang berdiri di Jawa, Sumatra, Semenanjung dan lain-lain. Madjapahit,
Sriwijaya, Padjadjaran, Malaka, Pasai dan lain-lain, adalah nama beberapa kerajaan yang
dalam abad-abad yang silam pernah cemerlang dan besar pengaruhnya di seluruh
kepulauan Nusantara, konon juga sampai ke daratan benua Asia.
Pada abad ke-16 dan ke-17 kerajaan-kerajaan itu satu demi satu menjadi daerah
jajahan bangsa-bangsa Eropah yang pada mulanya datang ke mari untuk mencari rempah-
rempah. Beberapa wilayah malah menimbulkan pertikaian di antara negara-negara
Eropah itu sendiri. Portugis yang mula-mula sekali meluaskan armadanya ke wilayah
Nusantara ini, sedikit demi sedikit harus mengurangi peranannya, terdesak oleh Inggris,
Spanyol, dan Belanda. Kepulauan Pilipina jatuh ke tangan orang Spanyol. Semenanjung
Malaka pada akhir abad ke-17 sudah jatuh ke tangan orang Inggris. Kepulauan yang
kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia pada waktu itu sebagian besar sudah jatuh
pula ke tangan orang Belanda. Beberapa daerah yang masih berdaulat setapak demi
setapak ditaklukkan orang Belanda. Pada awal abad ke-20, dengan selesainya perang
Aceh, seluruh kepulauan Indonesia sudah semuanya menjadi daerah takluk kerajaan
Belanda.
Perbedaan bangsa yang menjajahnya menimbulkan perbedaan-perbedaan pula
dalam pertumbuhan kebudayaan, cita-cita politik dan pola berpikir di wilayah-wilayah
Nusantara itu. Sementara itu penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan
suatu bangsa penjajah merasakan nasib yang sama dan penderitaan yang sama, sehingga
perhubungan antara merka semakin erat. Maka juga para penduduk daerah yang semula
dikenal dengan sebutan ”Nederlandsch Indie” (Hindia Belanda) merasakan persamaan
nasib yang diakibatkan oleh karena sama-sama diajajah oleh bangsa Belanda.
Perasaan tak puas karena merasa menjadi hamba di tanah air sendiri,
menyebabkan timbulnya perlawanan-perlawanan berupa pemberontakan-pemberontakan
bersenjata di berbagai daerah. Mula-mula perlawanan-perlawanan terhadap penjajah itu
bersifat sporadic, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu sukubangsa atau suatu
daerah melawan “orang asing” itu bukanlah hanay orang kulit putih dari Eropah saja,
melainkan semua suku bangsa lain yang berasal dari kepulauan Nusantara juga. Hal itu
memudahkan orang Belanda untuk melakukan adu domba di antara sukubangsa-
sukubangsa se-Nusantara. Politik yang dikenal sebagai politik devide et impera itu efektif
sekali dalam melumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Tapi pada awal abad ke-20, mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan
kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari
perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman
penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nasionalisme itu menghilangkan
perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan-perbedaan sejarah,
lingkungan kebudayaan, bahasa, adatistiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi
musuh bersama yang satu, maka yang diperhitungkan bukanlah perbedaan-perbedaan
yang ada di antara di antara sukubangsa-sukubangsa itu, melainkan persamaan-
persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam
dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang dinamakan Sumpah Pemuda. Sumpah itu
sekarang sudah sangant terkenal dan bunyinya sebagai berikut :

• Pertama : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah satu,
Tanah Indonesia
• Kedua : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa satu,
Bangsa Indonesia
• Ketiga : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku menjunjung bahasa
persatuan, Bahasa Indonesia

Kalau kita teliti maka akan nampak dengan jelas, bahwa pengertian “Indonesia”
yang dimaksud oleh sumpah itu melingkupi seluruh wilayah yang pada masa itu dikenal
sebagai ”Nederlandsch Indie” alias (Hindia Belanda), yaitu wilayah Hindia yang dijajah
oleh Belanda.
Politik Belanda dalam sejarah Indonesia sangat keras. Mereka melakukan segala
macam cara dan paksa untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya sebanyak
mungkin. Baru pada awal abad ke-20, politik Belanda menjadi agak lunak, yaitu sebagai
reaksi terhadap cultuurstelsel (tanam-paksa) yang telah sangat merusak kehidupan rakyat
bumiputra. Sebagai gantinya dianutlah politik etis atau “elitsche politiek”.
Politik etis tidak mengurangi ketamakan penjajah dalam mengeksploitasi daerah
jajahannya, tetapi sebagai “balas jasa” mereka mulai memperhatikan nasib anak negri.
Kemungkinan untuk bersekolah, untuk mendapat pendidikan, untuk maju bagi orang-
orang bumiputra mulai agak lebih leluasa.
Politik etis itu becita-cita antara lain membuat bangsa Indonesia merasa “dekat”
dengan bangsa Belanda. Maka dalam sekolah-sekolah anak bumiputra dididik mengenai
tatacara kehidupan, ilmu bumi negri Belanda, pengetahuan, ilmu, moral bahkan bahasa
Belanda. Bahasa Belanda yang merupakan dahasa bangsa kecil, ysng ampir tak ada
pengaruh dan peranannya dalam percaturan di Eropah sekalipun, hendak dijadikan
bahasa resmi di seluru wilayah Indonesia.
Sebagai reaksi terhadap cita-cita itu, maka para pemimpin nasional Indonesia kian
giat memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. “Bahasa Melayu” yang
sejak berabad-abad sebagai bahasa pergaulan atau bahasa perhubungan “lingua franca” di
antara sukubangsa-sukubangsa di seluruh Nusantara pada masa itupun sudah banyak
dipergunakan dalam lingkungan pergerakan agama Islam. Misalnya dala lingkungan
Syarikat Islam, H. O. S Tjokroaminoto selalu mempergunakan bahasa Melayu. Mungkin
disebabkan karena para pemimpin dan pengikut Islam kebanyakan bukan keluaran
sekolah Belanda. Tetapi agaknya pada mulanya penggunaan itu tidaklah begitu disadari
benar pentingnya. Baru setelah menghdapi ancaman pemaksaan penggunaan bahasa
Belanda secara resmi pada sekitar tahun 1920, pemakaian bahasa Indonesia dilakukan
secara lebih sadar.
Para pemimpin nasional dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya mulai banyak
mempergunakan bahasa Indonesia yang mempergunakan bahasa Indonesia yang sampai
ketika itupun masih disebut bahasa Melayu. Muhammad Yamin dalam tulisan-tulisannya
dalam majalah Jong Sumatra pada sekitar tahun 1918, menyerukan penggunaan bahasa
Melayu. kalau pada tahun-tahun itu belasan para pejuang kemerdekaan Indonesia seperti
KI Hadjar Dewantara, Dr. Tjipto Mangoenkoesomo dan lain-lain lebih fasih dan lebih
banyak mempergunakan bahasa Belanda dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya,
maka pada tahun duapuluhan para pejuang Indonesia telah lebih umum mempergunakan
bahasa nasional. Haji Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun, dan lain-lain
mempergunakan bahasa Melayu saja, baik dalam tulisan maupun dalam pidato-pidatonya,
sehingga membantu perkembangan bahasa tersebut menjadi bahasa Indonesia. Terutama
Soekarno yang pada tahun duapuluhan menerjunkan diri dan aktif bergerak dalam
perjuangan kebangsaan, besar jasanyadalam pertumbuhan bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia. Soekarno telah membuat bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia yang hidup,
lincah, lentuk, mudah dicernakan bukan saja oleh orang-orang yang berasal dari Sumatra
atau kepulauan Riau, melainkan juga oleh orang-orang yang berasal dari wilayah
Nusantara yang lain. Soekarno telah membuat bahasa Indonesia menjadi lebih popular.

3. Sastra Indonesia Masa Hindu


Pada masa kebudayaan Indonesia Hindu terjadi perubahan besar dalam alam
pikiran dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu dijiwai oleh religi Hindu yang
mempengaruhi pula kehidupan masyarakatnya. Menurut Sutan Takdir Alisyahbana,
dalam filsafat agama Hindu hidup manusia adalah penderitaan. Hidup manusia senantiasa
mengalami reinkarnasi, yang membuat masyarakat Hindu jadi berkasta-kasta, sehingga
muncullah feodalisme di Indonesia dan puncak dari hirarki feodalisme itu adalah raja.
Dengan masuknya kebudayaan Hindu, sistem kemasyarakatan bangsa Indonesia yang
semula berupa persekutuan-persekutuan desa yang demokratis, berubah menjadi
kerajaan-kerajaan yang dipinpin oleh raja. Aekonomi desa menjadi ekonomi kerajaan,
sistem organisasi desa menjadi yang di dalamnya dikembangkan oraganisasi
kepegawaian negara beserta hirarhki dan hukum-hukumnya. Oraganisasi tersebut
memiliki pembagian pekerjaan, serta alat-alat keamanan yang menjaga keamanan dan
melindungi negara.
Peninggalan-peninggalan kerajaan Sriwijaya abad ketujuh di sekitar Summatera
Selatan (Palembang) sekarang dapat berupa batu-batu bertulis atau prasasti-prasasti.
Terdapat prasasti Kadukan Bukit (683), prasasti Talang Tuo (684), dan prasasti Karang
Brahi (688) tulisan yang paling tua ditemukan. Sampai kerajaan Majapahit, pengaruh
budaya Hindu dapat dikatakan masih dominant.
Religi tetap memegang peranan penting dalam setiap aktivitas kehidupan
manusia. Pada masa ini bangsa Indonesia mengenal tulisan dan memasuki kurun sejarah
kebudayaan. Dengan adanya tulisan, seni sastra berkembang pesat. Pujangga-pujangga
istana menyadur berbagai cerita Hindu seperti Ramayana dan Mahabrata ke dalam bahasa
Jawa Kuno pada masa raja Darmawangsa (sekitar tahun 1000 M). Dan pada masa zaman
raja Erlangga, para pujangga menulis cerita Arjuna Wiwaha, dan lain-lain. Pada masa
Majapahit Negarakertagama dan Pararaton.
Perlu diketahui pada masa ini, sastra menjadi bercorak Hindu: statis, bahasa klise,
dan istana sentris. Cerita-cerita seperti Fabel dan Dongeng banyak mengandun g ajaran
moral, pendidikan dan agama. Pada masa kekuasaan Sriwijaya bahasa Melayu
mengalami kemajuan pesat, baik sebagai bahasa pengantar ilmu pengetahuan
mempelajari pengetahuan agama maupun sebagai lingua franca di Nusantara.

4. Sastra Indonesia Masa Islam


Kedatangan agama dan kebudayaan Islam pada penghujung abad ke 13 disambut
bangsa Indonesia dengan akulturasi pula, sehingga muncullah kebudayaan Indonesia
Islam. Tapi menurut Takdir Alisyahbana, Islam yang datang di Indonesia adalah Islam
yang sepenuhnya dikuasai oleh golongan agama yang ortodoks dan ahli-ahli fikih, setelah
mundurnya keberanian dan kecakapan berpikir dalam filsafat dan ilmu pada umat Islam,
sehingga penganut Islam di Indonesia tak pernah mengalami kemajuan di kedua bidang
itu. Akibatnya ketika manusia Reanisance Eropa datang di Nusantara ini, satu-persatu
kerajaan-kerajaan Islam dikalahkan. Juga kemajuan ekonomi dan teknologi tak pernah
amat tinggi (STA : 29-30).
Dalam Islam kedudukan manusia di hadapan Allah adalah sama, karena itu nilai
solidaritas adalah kuat. Islam juga mengkehendaki demokrasi. Tapi dilihat dari jurusan ini
menurut S. T. Alisyahbana (1957 : 29) kedudukan raja dan sultan-sultan Islam yang
mengaku dirinya khalifah adalah bertentangan dengan semangat demokrasi Islam.
Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih merumuskan feodalisme warisan Hindu dan
tradisi-tradisi lainnya yang diakulturasikan.
Islam memberi pengaruh besar dalam alam pikiran dan kehidupan masyarakat
bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dalam hasil-hasil keseniannya yang bercorak Islam
seperti arsitektur bangunan mesjid, seni ukir hias, kaligrafi, seni wayang, seni musik, seni
sastra, dll. Seni sastranya merefleksikan kehidupan masyarakat Indonesia Islam, dll.
(yang bersifat didaktik ajaran moral dan nilai-nilai serta hiburan) bercorak Islam, dan
juga mengisahkan silsilah dan kehidupan raja (istana sentris). Bentuk-bentuk sastra
seperti hikayat, syair, sejarah, silsilah, tambe dan babad memperkaya sastra yang ada, tapi
isinya disadur demikian rupa dan bercorak Islam. Ramayana dan Mahabrata Hindu-
Indonesia misalnya disalin jadi gubahan baru, masing-masing berupa Hikayat Pandawa
Lima dan Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Sri Rama dan Hikayat Maharaja
Rawana. Pancatantra disalin menjadi Pancatandra. Kesemua cerita itu umumnya hidup di
daerah Melayu, di samping hikayat Panji Kudsa Semirang, Syair Ken Tambunan, Syair
Panji Semirang, dll.
Cerita-cerita dari Parsai dan Arab seperti Amir Hamzah disadur menjadi Hikayat
Amir Hamzah (di daerah Melayu). Serat Menak dan karangannya cerita Rengganis (di
Jawa); cerita Bayan Budiman (yang dalam bahasa Parsi disebut Tutiname) disadur
menjadi Hikayat Bayan Budiman. Selain itu ada cerita-cerita Hikayat Bakhtiar dan
Hikayat 1001 malam.
Selain itu ada bentuk-bentuk khusus dalam sastra Indonesia Islam ini, yaitu suluk
(kitab-kitab yang membentangkan soal-soal tassawuf yang sifatnya panteistis) seperti
Suluk Sukarsa, Suluk Wijil (di Jawa), Syair Perahu, dan Syair Burung Pingaika Karya
Hamzah Fansuri (di tanah Melayu).
Karya-karya sastra ditulis oleh pujangga-pujangga istana dan pemuka-pemuka
agama yang sudah mencantumkan namanya, seperti pengarang-pengarang sastra Melayu
yang termahsyur, Raja Ali Haji, Nuruddin Ar Raniri, Hamzah Funsari Tun Sri Lanang
dan Abdullah bin A. K. Munsyi. Sejalan dengan seni sastra, seni wayang berkembang
pula, sebagai penyebaran agama Islam. Cerita-cerita sastra banyak yang diangkat menjadi
lakon wayang, seperti Serat Menak, dll. Sampai abad ke 20 ini menurut Subagio
Sastrowardyo (1977 : 16), masyarakat kita yang luas dan telah diresapi oleh kebudayaan
Indonesia Islam itu, yang menimbulkan pengaruhnya pada perbendaharaan bahasa, tema
serta gaya sastra, ciri arsitektur, bentuk berbagai tata cara, sikap hidup, alam pikiran dan
pandangan dunia pada rakyat umumnya.
Dari kesusastraan Melayu yang dapat dikatakan hikayat Melayu asli ialah Hikayat
Hang Tuah. Hikayat si Miskin adalah hikayat Melayu yang di dalamnya terdapat unsur-
unsur Islam dan Hindu.Hikayat Amir Hamzah berasal dari Arab. Sedang Hikayat
Abdullah berarti riwayat atau cerita karena isinya mengenai carita kejadian dalam
kehidupan nyata sehari-hari.
BAB III
SASTRA NUSANTARA

Sudah sejak abad 19 ada hasil-hasil sastra yang berbahasa Melayu yang tidak
ditulis oleh orang-orang yang tidak berasal dari kepulauan Riau atau Sumatera. Juga
bahasa yang dipergunakannyaakan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang Murni.
Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu
Tinggi, melainkan bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa MelayuTinggi
banyak. Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di kepulauan Nusantara.
Banyak hikayat, syair, pantun dan karya sastra lain yang mengagumkan dan usianya
sudah berabad-abad.Hikayat si Miskin, Hikayat Malim Dewa, Hikayat Indra Bangsawan,
Hikayat Amir Hamzah, syair Bidasari, syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu adalah
beberapa karya sastra klasik Melayu. Pengarang-pengarangnyapun tidak sedikit, terutama
dari lingkungan ulama dan hesultanan di kepulauan Riau. Di antara pengarang yang
paling masyhur antara lain ialah Raja Ali Haji, Nuruddin Al-Raniri, Tun Sri Lanang,
Hamzah Fansyuri dan Abdullh Bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah terkenal karena usaha-
usahanya memperbaharui sastra Melayu. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan
menghasilkan banyak karya, seperti Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Perjalanan
Abdullah dari Singapura ke Kelantan (1838), Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
(1849), dan Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Jedah (1854). Abdullah meninggal di
Jiddah, dan bukunya yang terakhir ini tidak sampai selesai.
Kecuali kesusastraan Melatu banyak kesusastraan daerah yang layak diketahui.
Kesausastraan Jawa, Sunda, Bali, Aceh, Batak, Bugis, dan lain-lain juga merupakan
kesusastraan yang kaya dan usianya sudah berabad-abad.
Hesusastraaan Jawa termasuk salah satu kesusastraan yang paling kaya di
kepulauan Nusantara. Pengaruhnyapun tampak pula pada kesusastraan-kesusastraan di
Asia Tenggara umumnya dan di kepulauan Nusantara khususnya. Umpamanya cerita
Panji pengaruhnya sampai ke Campa, Malaysia, dan Filipina (Tagalog). Epos
Mahabharata dan Ramayana dari India menem,ukan bumi subur dalam sastra Jawa. Versi
Jawa dari Bharatayudha diakui para ahli keindahannya. Demikian pula cerita-cerita lain
yang berpangkal pada Mahabharata banyak diciptakan orang, baik dalam bahasa Jawa
Kuno, bahasa Jawa Tengahan , maupun bahasa Jawa Baru. Dalam bahasa Kawi terkenal
buah tangan mPu Kanwa yang berjudul Arjuna Wiwaha. Demikian pula mPu Panuluh
terkenal dengan buah-buah tangannya Gatotkacaraja, Hariwangsa, dan lain-lain.Sastra
dalam bahasa Jawa Tengahan terkenal seperti Tantri Kamandaka, Calon Arang, Dewi
Ruci, Pararaton, dan laian-lain. Di antara para pengarang Jawa Baru antara laian terkenal
sekali Kijahi Jasadipura I dan II yang banyak menyadur karya-karya sastra Jawa Kuna ke
dalam bahasa Jawa Baru berbentuk Tembang. Demikian juga Raden Ngambehi
Ranggawarsita yang sangat terkenal di luar lingkungan orang Jawa karena Tembangnya
tentang jaman edan yang berjudul Serat Kalatida, kebanyakan menuliskan kembali cerita-
cerita wayang yang sudah dikenal sebelumnya. Antara lain ia menyadur cerita wayang
dalam Serat Pustaka Raja Purwa.
Kesusastraan Sunda termasuk kesusastraan yang tua dan kaya pula. Tapi berlainan
dengan kesusastraan Jawa, terhadap naskah-naskah Kuna Sunda perhatian Sarjana masih
kurang sehingga masih banyak naskah-naskah kuna yang belum diketahui isinya. Di
antara naskah-naskah yang sudah diketahui isinya adalah yang berasal dari abad ke-15,
berjudul Siksa Kanda Karesian. Naskah-naskah lain yang kuna pula ialah : Tjarita
Parahyangan, Tjarita Waruga Guru, Kundjarakarna, dan lain-lain. Di samping itu dikenal
pula jenis Tjarita pantun, yang agaknya berasal dari jaman Padjadjaran (abad ke14-15),
turun temurun secara lisan sampai sekarang. Baru pada abad ke-19 ada yang
mencatatkannya secara tertulis.di antara cerita-cerita yang termashur adalah Lutung
Kasarung, Mundinglaja Di Kusumah, Tjurng Wanara, dan lain-lain. Naskah-naskah
Sunda Kuna itu ditulis dengan huruf Sunda Kuna, yang agaknya tidak lagi dipergunakan
pada abad ke-18 karena sudah digantikan oleh huruf arab dan huruf jawa. Bersama
dengan pergantian huruf itu timbul pula pengaruh kesusastraan Jawa terhadap
kesusastraan Sunda. Bentuk Tembang mulai muncul dan dikenal. Pda abad ke-19, banyak
sekali cerita-cerita tembang yang disebut wawatjan dijumpai dalam sastra Sunda.
Kebanyakan tak dikenal lagi pengarangnya, seperti Surjakanta, Ranggawulung,
Surianingrat, Danumaja, Amir Hamzah dan lain-lain. Menjelang akhir abad 19 muncul H.
Muhammad Musa yang menulis Wawatjan Pandjiwalung, Wawatjan Alimuchtar, dan
lain-lain. Penarang-[engarang lain yang menulis wawatjan ialah H. Abdul Salam yang
menulis wawatjan Rengganis, Raden Aria Adipati Martanegara yang menulis wawatjan
Anglingdarma, Batara Rama dan Babad Sumedang dan lain-lain. Wawatjan yang paling
utama yang diciptakan orang dalam bahasa Sunda ialah wawatjan Purnama Alam
karangan R. Suriadiredja. Pujangga Sunda yang terpenting ialah H. Hasan Mustapa
(1852-1930) yang banyak menulis puisi berbentuk dangding.
Kesusastraan Balipun, seperti juga kesusastraan Jawa dan Sunda, banyak
mengerjakan kembali cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India.
Banyak naskah-naskah Kuna yang ditulis dalam bahasa Bali berdasarkan kisah-kisah
tersebut. Tetapi kisah-kisah asli Bali pun tidak kurang. Di antaranya yang paling terkenal
ialah kisah tentang Djajaprana dengan Lajonsari yang diakui para ahli bernilai tinggi.
Umumnya karya-karya sastra kuna itu mengisahkan kehidupan antah berantah
kerajaan-kerajaan atas angin dengan rajaputra-rajaputra yang gagah perwira dan putri-
putri yang cantik jelita : kepada para pembacanya memberikan nasehat secara langsung
ataupun tidak langsung antara lain yang berkenaan dengan moral, agama, ilmu dan lain-
lain. Dengan kata lain umumnya sastra kuna itu bersifat keraton sentris. Kehidupan orang
banyak, petani-petani di kampung atau pedagang di kota-kota, tak pernah menjadi
perhatian pujangga, karena itu tak pernah masuk hitungan.
Demukian juga bentuknya. Umumnya sudah mempunyai bentuk yang tradisionil.
Kebanyakan berbentuk Tembang (puisi). Pendeknya bukan bahasa sehari-hari. Bahasa
prosa cenderung dianggap tidak bernilai sastra,
Dengan berkembangnya pers (terutama suratkabar) mulai pertengahan abad ke-
19, maka mulai digunakanlah bahas prosa yang zakelijk dan praktis untuk menyampaikan
peristiwa hidup sehari-hari. Ditambah oleh pengruh bacaab sastra Eropah melalui
Belanda, maka mulailah orang mempergunakan bahasa prosa untuk bercerita. Mungkin
pada awalnya mereka tidak begitu sadar untuk bersastra, tetapi lama kelamaan jenis karya
sastra ini berkembang pesar setelah mendapat banyak peminat.
Adalah suatu kenyataan menarik bahwa roman pertama yang mengisahkan
kehidupan sehari-hari itu mula-lula disebut sebagai feuilleton dalam suratkabar-
suratkabar ditulis dalam bahas pergaulan sehari-hari. Yaitu dalam bahasa Melayu rendah.
Banyak di antara para pengarang yan menulis roman-roman pertama pada abad ke- 19
atau awal abad ke-20 itu bukan asal Sumatra atau Kepulauan Riau. Ada yang berasal dari
Jawa. Ada yang berasal dari Ambon dan ada orang Indo. Mereka tidak menulis dalam
bahasa daerahnya masing-masing, dalam bentuk Tembang atau Serat yang sudah
tradisionil itu. Tercatat misalnya seorang Menado bernama Pangemanan yang pada awal
abad ke-20 merupakan seorang wartawan yang piawai, iapun ada juga yang menulis
cerita-cerita roman. Demikian juga seorang Indo yang bernama G. Francis yang menulis
kisah Njai Dasima (1896) yang konon betul-betul berasal dari peristiwa yang berasal dari
Betawi. H. Moekti menulis Hikayat Siti Mariah yang meskipun disebut ”Hikayat”
namun tak ada persamaannya dengan hikayat-hikayat yang dikenal dalam sastra klasik.
Cerita itu dimuat sebagai feuilleton dalam suratkabar Medan Priadji yang terbit di
Bandung. Demikian juga cerita-cerita terangkan Raden Mas Tirto Adhisurjo, Boesono
dan Nyai Permana dimuat dalam surat kabar tersebut.
Tapi sementara itu bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh kepulauan
Nusantara seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Minang, Bugis, dan lain-lain
tetap juga berkembang. Bahasa-bahasa daerah itu setelah lahirnya Nasionalisme
Indonesia, juga setelah diresmikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
bahasa resmi, terus juga hidup. Bahkan banyak yang hidup dengan subur. Hal itu sama
sekali tidak bertentangan dengan nasionalisme Indonesia. Bahkan sesuai dengan bunyi
dan maksud Undang-Undang Dasar (1945), di mana kehidupan kebudayaan (termasuk
bahasa, seni dan sastra) daerah dijamin kelangsungan perkembangannya.
Nasionalisme sesungguhnya adalah suatu paham kebangsaan yang berasal dari
kebudayaan Eropa modern. Lahirlah bahasa Indonesia dan sastra Indonesia adalah hasil
pertemuan bahasa dan sastra Melayu dengan paham-paham yang berasal dari kebudayaan
Eropa modern itu. Tapi pertemuan dan pengaruh dari kebudayaan Eropa modern itu tidak
hanya dialami oleh bahasa dan sastra Melayu saja, melainkan juga oleh bahasa-bahasa
dan sastra-sastra daerah yang lain terdapat di seluruh kepulauan Nusantara. Paham-
paham dan bentuk-bentuk sastra Eropa seperti soneta, roman, esai, kritik, dan cerita
pendek kemudian banyak diikuti dan menemui perkembangan yang subur, juga dalam
bahasa-bahasa daerah.
Maka supaya jangan keliru harus dijelaskan di sini, bahwa sekalian sastra yang
ditulis dalam bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh wilayah Nusantara ini
dinamakan Sastra Nusantara, sedangkan yang dinamakan sastra Indonesia hanyalah sastra
yang ditulis dalam bahasa nasional Indonesia saja.
Sastra yang berkembang setelah pertemuan dengan kebudayaan Eropa dan
mendapat pengaruh daripadanya itu disebut sastra modern; sedang yang sebelumnya
dinamakan sastra klasik. Maka kita mengenal sastra Jawa Klasik dan sastra Jawa Modern,
sastra Sunda klasik dan Sunda modern, dan seterusnya. Namun dalam hal ini kekecualian
ada juga. Yaitu mengenai sastra Melayu, karena meskipun kita mengenal sastra Melayu
Klasik, namun biasanya tidak bersambung dengan sebutan sastra Melayu modern,
melainkan dengan sastra Indonesia. Hal itu disebabkan karena sastra yang ditulis dalam
bahasa Melayu setelah pertemuan dan pengaru kebudayaan Eropa modern menjelma
menjadi sastra Indonesia di sini, yaitu yang hidup di negara kita. Di Semenanjung
(Malaysia) bahasa Melayu menemukan perkembangannya sendiri menjadi bahasa
Melayu yang juga mempunyai sejarah perkembangan sastra tersendiri.
Karena nasionalisme Indonesia tidaklah hanya bersumber kepada suatu daerah
saja, maka seyogianya yang dinamakan sastra Indonesia klasik adalah sama dengan sastra
Nusantara klasik. Jadi bukan hanya sastra Melayu klasik saja melainkan seluruh sastra
klasik yang ditulis dalam semua bahasa daerah yang terdapat di seluruh wilayah
Indonesia, termasuk bahasa Melayu.
Maka sebaiknya seluruh hasil sastra klasik yang ditulis dalam bahasa daerah itu
segera diterjemahkan dan diperkenalkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga menjadi
milik seluruh bangsa Indonesia. Pengajaran sastra Melayu Klasik di sekolah-sekolah,
harus disertai pula dengan pengajaran sastra Jawa Klasik, Sunda klasik, Aceh, Bali,
Bugis, dan lain-lain.
BAB IV
SASTRA INDONESIA MODERN

Kebudayaan modern muncul dengan adanya rennaisence di Barat pada abad ke-
17. Rennaisence meletakkan sendi-sendi bangunan ilmu pengetahuan ketika tokoh-tokoh
pemikirnya : Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, dll., semakin percaya akan
kesanggupan rasio manusia untuk mengetahui rahasia alam dan menguasainya.
Kemudian ditinjau oleh Descartes yang dengan semboyannya ”cogito ergosum”
melahirkan rasionalisme; yang menekankan bahwa kunci bangunan ilmu pengetahuan
harus dimulai dari rasio dan kesadaran manusia, pada masa aufklarung, rasio memberi
penerangan dan mendatangkan masa kecerahan dalam hidup manusia pada abad ke-18.
selanjutnya ditemukannya metode-metode dan giatnya penelitian oleh para pemikir, tela
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya bebagai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Peranan ilmu pengetahuan dan teknologi amat besar dan menentukan bagi
kehidupan manusia zaman modern, karena sejak awal abad ke-19 iptek telah memberikan
sumbangan besar pada kemajuan industri dan ekonomi bagi kesejahteraan hidup manusia,
dan mengubah keseluruhan hidup masyarakat ke dalam kebudayaan modern. Kebudayaan
modern disini diartikan, suatu kebudayaan yang mencerminkan pemikiran, perbuatan,
kreativitas yang bersufat baru, yang ditandai oleh unsur-unsur pokoknya berupa sains dan
teknologi maju serta kehidupan rohani yang memberi tanggungjawab dan solidaritas baru
dan luad kepada manusia.
Kuntjaraningrat menyebutkan dengan istilah ”peradaban dunia masa kini”
(contemporary world civilization) yang unsurunsur pokoknya berupa sains, teknologi dan
ilmu pengetahuan yang maju serta metropolitan (Alfian, 1985 : 129). Manusia-manusia
barat modern (Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris) dengan kebudayaan modern yang
dibawanya berduyun-duyun datang ke Asia untuk mencari rempah-rempah, sejak
manusia rennaisence Vasco Da Gama berlayar mengelilingi Afrika, lalu menemukan jalan
ke Asia dan mendarat di Kalilut.
Kedatangan orang Belanda yang berhimpun dalam VOC ke Indonesia pada
mulanya juga untuk berdagang rempah-rempah. Tapi lama-kelamaan , Belanda
mencengkramkan kuku kolonialismenya di Indonesia. Dengan keunggulan iptek yang
dimiliki, Belanda berhasil menaklukkan satu per satu kerajaan-kerajaan di Nusantara
Indonesia. Lalu dengan sistem cultuurstelsel Belanda memeras bangsa Indonesia dan
mengeruk kekayaan alamnya. Bangsa Indonesia dibiarkan bodoh dan miskin. Keadaan
barulah sedikit berubah setelah muncul elitsche politiek di kalangan masyarakat Belanda
di Nederland pada tengah abad ke-19. gerakan politik etis menggugah pemerintah
Belanda untuk menjalankan politik ”balas budi” dengan mulai memperhatikan nasib anak
negeri jajahannya.
Pemerintah Belanda membuka sekolah-sekolah untuk pribumi, memberi izin
berdirinya sekolah-sekolah swasta, dan juga memberi kesempatan bagi anak pribumi
untuk memasuki sekolah-sekolah untuk orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh petra-putri Indonesia, sehingga sejak
awal abad ke-20 mulai muncul sejumlah kaum cerdik dan pandai yang berpendidikan
modern.
Cendekiawan- cendekiawan modern kita yang telah sadar dan membuka matanya
terhadap nasib dan penderitaan bangsanya yang dijajah, kemudian tampil sebagai
pemimpin- pemimpin bangsa. Mereka mendirikan organisasi-organisasi modern seperti
Budi Utomo, dll., untuk mendidik dan menyadarkan rakyat akan ”perasaan senasib dan
sepenanggungan: sehingga tergalanglah kesadaran kesadaran kebangsaan atau kesadaran
nasional. Dan sebagai tali pengikat dan penghubung jiwa kesadaran kebangsaan itu ialah
bahasa melayu, yang sejak awal tahun 20-an gencar dipakai oleh pemimpin- pemimpin
kita dalam pidato-pidato, tulisan-tulisan di suratkabar dan majalah dalam rangka
memperjuangkan kebangsaan. Salah satu pemimpin yang gigih memperjuangkan
pemakaian bahasa melayu ialah Mohammad Yamin. Di samping itu di kalangan penerbit
swasta banyak yang menerbitkan bacaan-bacaan yang berbahasa melayu.
Sejalan dengan itu cendekiawan- cendekiawan bangsa Indonesia yang
memperoleh pendidikan modern dan berkenalan dengan kebudayaan modern lewat
sekolah-sekolah Belanda (Kweek-School, HBS, AMS, dll) seperti Moh. Yamin, Sutan
Takdir Alisyahbana, Rustam Effendi, dll. Mengambil dan mengadaptasi unsur-unsur
kebudayaan modern itu ke dalam budaya modern Indonesia, sastra modern. Pengarang-
pengarang modern Indonesia ini dalam wawasan sastranya berorientsi ke barat,
khususnya angkatan 80 sastra Belanda yang salah satu pendirinya , kebebasan individual
dalam mencipta. Meskipun demikian dalam isi dan corak, karya-karya sastra Yamin.
Rustam Effendi dari angkatan 20-an tetap menyuarakan cinta tanah air dan cita-cita
kebangsaan. Sastra tahun 20-an bercorak romantis-nasionalistis, dan coba memasukkan
ide-ide modernisasi dalam roman-roman bertema adat.
Dari segi bentuk sastra, puisi-puisi Yamin dan Rustam Effendi mulai menggemari
soneta dan drama. Bentuk roman mulai muncul dalam suratkabar sebagai fuelleton (cerita
bersambung), misalnya Nyai Dasima yang ditulis oleh seorang Indo bernama G. Francis.
Orientasi budaya ke barat tetap dianut oleh sastrawan tahun 30-an (Pujangga
Baru) yaitu yang berkiblat ke ankatan 80 (De Tachgiers) sastra Belanda, dengan konsesi,
perasaan ingin bebas merdeka dalam mengekspresikan pengalaman batin menurut gerak
sukma dan jiwa individu masing-masing.
Ketika sastrawan-sastrawan angkatan 45 tampil, dengan mendengungkan
semboyan ”kami ahli waris kebudayaan dunia” dengan menganut pandangan seni
”humanisme universal”. Tapi pada kenyataannya tidak begitu berbeda dengan Pujangga
Baru, mereka berorientasi ke sastra Barat.
Keadaan masyarakat modern Indonesia selanjutnya tercermin dari karya-karya
sastranya. Sastra Indonesia sebagai ekspresi yang bebas dari para pengarang,
mempersoalkan tema-tema kemanusiaan dan kehidupan masyarakat yang aktual dalam
raganya. Umpamanya persoalan kawin paksa, pembenturan adat dengan inspirasi modern
yang banyak diungkapkan dalam roman-roman tahun 20-an, seperti Siti Nurbaya, Salah
Asuhan dll. Masalah-masalah emansipasi wanita, pergaulan kaum intelektual dan
kehidupan masyarakat kota yang tercermin dalam novel-novel tahun 30-an, seperti Layar
Terkembang, Belenggu, konflik kehidupan dan penderiataan akibat perang yang banyak
dikisahkan dalam novel-novel angkatan 45, seperti Keluarga Gerilya, Atheis, Jalan Tak
Ada Ujung, dan lain-lain.
Roman adalah bentuk sastra Eropa yang tumbuh subur sekitar abad 18 dan ke 19.
Bentuk ini ternyata digemari pula di Indonesia. Pengaruh Eropa itu tidak hanya nampak
dalam prosa, melainkan juga dalam puisi. Pada sekitar tahun 1920, Muhammad Yamin,
Sanusi Pane, Muh. Hatta, Rustam Effendi dan lain-lain banyak menulis soneta, yaitu
bentuk puisi yang berasal dari Italia dan digemari di Inggris dan di Belanda.
Barulah pada tahun 1920 terbit pada Balai Pustaka roman yang ditulis dalam
bahasa Melayu Tinggi, yaitu karangan Merari Siregar berjudul Azab dan Sengsara. Dua
tahun kemudian terbit roman yang sekarang telah menjadi klasik ialah Sitti Nurbaja buah
tangan Marah Rusli. M. Kasim menulis Muda Teruna dan Nur Sutan Iskandar dengan
mempergunakan nama Nursinah Iskandar menerbitkan Apa Dajaku Karena Aku
Perempuan (keduanya juga terbit tahun 1992).
Sementara itu perkembangan penulisan roman di luar Balai Pustaka yang
mempergunakan bahasa Melayu Pasarpun tidaklah terhenti. Kalau roman-roman Balai
Pustaka digemari oleh para pembaca yang hidup dalam lingkungan pegawai negeri dan
”sekolahan”, maka umumnya roman-roman Melayu Pasar digemari dalam lingkungan
para pedagang dan para buruh yang tidak pernah mengecap pendidikan sekolah dengan
pengajaran bahasa Melayu yang baik. Kedua macam penulis dan penerbit itu agaknya
berkembang sendiri-sendiri pada waktu yang bersamaan. Roman-roman Balai Pustaka
yang mempergunakan bahasa Melayu Tinggi, bahasanya secara tertib mengikuti bahasa
tulisan, sehingga terasa suasananya adalah suasana ”bahasa buku”. Sedangkan roman-
roman yang ditulis dalam bahasa Melayu Pasar mempergunakan bahasa lisan sehari-hari
yang terasa lebih spontan dan kadang-kadang lebih hidup, lebih bebas dari ikatan tata
bahasa. Pihak para penggemar roman-roman bahasa Melayu Rendahan, tidak menyukai
cerita-cerita terbitan Balai Pustaka barangkali karena terasa kurang ”syur” dan bahasa
yang dipergunakannya ”bahasa sekolahan” yang dianggap terlalu sulit dan kurang hidup.
Cerita-ceritanya pun penuh nasihat-nasihat kepada para pembaca agar menjadi warga
negara yang ”tertib” dan ”sopan”. Sedangkan dari pihak penggemar bahasa Melayu
Tinggi, roman-roman Melayu Pasar diangap lebih rendah tingkatannya dan ”kurang
beradab”.
Pada masa Pujangga Baru jurang perbedaan ini sedikit demi sedikit diperkecil. S.
Takdir Alisyahbana pernah mengemukakan tulisan pada masa itu (tahun 1934) yang
mengatakan secara tegas bahwa bahasa Melayu Rendah dan bahasa Melayu Tionghoa
pun tak kalah baiknya dengan bahasa Melayu Riau. Ucapan itu mengejutkan, apalagi
karena dikatakan oleh pejuang bahasa Indonesia, sehingga timbul reaksi yang keras dari
pihak para pecinta bahasa Melayu Tinggi yang murni.
Tetapi ucapan Takdir itupun barulah merupakan cita-cita saja. Bahasa Pujangga
Baru sangat keras menunjukkan pengaruh Melayu Riau, termasuk pula bahasa yang
dipergunakan oleh S. Takdir sendiri. Baru pada masa sesudah perang, dengan munculnya
Chairil Anwar, perbedaan kedua macam bahasa itu kian menciut. Pada saat sekarang
tidak bisa lagi dibedakan antara bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Pasar. Keduanya telah
menjadikan bahasa Indonesia. Perbedaan bahasa percakapan (lisan) dan bahasa buku
sudah boleh dibilang tak ada lagi.
BAB V
PERIODE 1900

1. “Bacaan Liar” dan Commissie Voor De Volkslectuur (Balai Pustaka).

Pada tahun 1848 pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Raja
untuk mempergunakan uang sebesar F. 25.000 setiap tahun buat keperluan sekolah-
sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak orang-orang bumiputra, terutama para priyayi
yang akan dijadikan pegawai setempat. Pegawai-pegawai setempat itu diperlukan oleh
pemerintah Belanda untuk kepentingan eksploitasi kolonialnya, karena biaya-biaya untuk
membayar para pegawai setempat jauh lebih murah daripada kalau mendatangkan tenaga-
tenaga dari Belanda.
Tapi dengan didirikannya sekolah-sekolah itu meningkatkan pendidikan dan
timbullah kegemaran akan membaca, dan melalui bacaan-bacaan dalam bahasa Belanda,
bangsa Indonesia pun mulai mengerti akan kedudukan dirinya sebagai bangsa yang
dijajah. Beberapa orang berbakat yang menyadari hal ini lalu mulai menulis rupa-rupa
karangan, baik berbentuk uraian maupun cerita, yang sifatnya memberi penerangan
kepada rakyat. Surat kabar dicetak orang, bukan saja dalam bahasa Belanda melainkan
juga dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kabar dalam bahasa Melayu tidak
hanya di Melayu atau Jakarta saja, melainkan tersebar di kota-kota lain. Misalnya masih
pada abad ke 19, di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (mulai tahun 1862), di
Padang terbit Pelita Ketjil (mulai tahun 1882), dan di Jakarta sendiri terbit Bianglala
(mulai tahun 1867), dan lain-lain.
Sampai sekarang belum diselidiki secara teliti bagaimana peranan dan sumbangan
suratkabar-suratkabar itu kepada kelahiran sastra Indonesia. Tak mustahil bahwa sudah
sejak abad yang lampau suratkabar-suratkabar itu memuat karangan-karangan yang
bersifat sastra. Tetapi sepanjang yang sudah diketahui sampai sekarang, baru sesudah
tahun 1900 ada suratkabar yang memuat karangan yang bersifat sastra atau yang dapat
digolongkan kepada karya sastra. Pada awal aba ke-20 misalnya di Bandung ada
suratkabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung berbentuk roman.
Carita-cerita itu ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi bukan oleh pengarang kelahiran
Melayu atau Sumatra, mengisahkan tentang kehidupan masyarakat kita pada masa itu.
Yang sangat menarik adalah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang
ditulis oleh H. Moekti. Roman ini pengarangnya disebut ”hikayat”, tetapi melukiskan
keadaan sehari-hari pada zaman pengarangnya sendiri, ditulis dengan bahasa Melayu
yang hidup pula. Di samping itu, pemimpin redaksi suratkabar Medan Prijaji sendiri, Rd.
Mas (Djokomono) Tirto Adhisurjo (lahir 1875) menulis dua buah cerita roman, masing-
masing berjudul Boesono (1910) dan Njai Permana (1912).
Pengarang lain yang pada masa itu terbilang produktif adalah seorang wartawan
juga, bernama Mas Marco Martodikromo. Ia berkali-kali dijatuhi hukuman oleh
pemerintah jajahan Belanda karena tulisan-tulisannya dan akhirnya meninggal dalam
pembuangan di Digul-Atas, Irian Barat. Dari tangannya terbit beberapa buah buku,
kebanyakan roman, antaranya yang berjudul Mata Gelap (1914), Student Hidjo (1919),
Sjair Rempah-Rempah (1919), dan Rusa Merdeka (1924).
Juga Semaun yang menulis sebuah roman berjudul Hikajat Kadiroen (1924) yang
segera dilarang beredar oleh Pemerintah.
Pengarang-pengarang itu kebanyakan berpaham kiri. Semaun misalnya pada saat
itu adalah pemimpin Partai Komunis Indonesia. Ketika pada tahun 1926 gagal
mengadakan pemberontakan, Semaun melarikan diri ke Rusia dan baru kembali lagi
setelah proklamasi Kemerdekaan.
Karena sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut
rakyat untuk memberontak, maka karya-karya seperti itu secara populer disebut ”bacaan
liar” dan para penulisnya dinamakan pula ”pengarang liar.”
Roman-roman yang ditulis dalam bahasa Melayu tetapi tidak bernada menghasut
dan lebih banyak bersifat menghibur, banyak ditulis dan diterbitkan oleh para pengarang
keturunan Cina dalam bahasa Melayu yan dikenal sebagai Melayu-Cina. Perananakan
Indo pun ada yang menulis cerita seperti itu, misalnya G. Francis yang menulis kisah Njai
Dasima (1896). Kisah itu menceritakan nasib seorang wanita kampung yang dijadikan
nyai-nyai orang Inggris kemudian tertawan hatinya oleh pengaruh guna-guna seorang
Bang Samiun.
Melihat keadaan itu, tenti saja orang-orang Belanda merasa kuatir kalau-kalau
kejadian di India terjadi pula di sini. Seperti diketahui, Inggris di India pada wkru itu
mengalami kewalahan mengadapi tuntutan para pejuang kemerdekaan India yang telah
tumbuh kesadaran nasinalismenya justru setelah mendapat pendidikan barat yang
diselenggarakan oleh Inggris sendiri. Pemerintah Belanda yang mendapat keuntungan
selama menjajah Indonesia tentu saja tidak mau menghadapi kesulitan yang sama seperti
yang terjadi di India. Mereka tak mau pula kehilangan tanah jajahannya yang kaya
makmur ini!
Sementara itu kaum terpelajar Indonesia yang sudah mendapat pendidikan Barat
itu, karena menguasai bahasa Belanda, dapat pula membaca buku buah tangan para
pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan bangsa pribumi. Buku-buku buah
tangan Multatuli, misalnya Max Havelaar, sangat besar pengaruhnya dalam
mebangkitkan semangat kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli
adalah nama samaran yang artinya ”aku telah banyak menderita”. Nama sebenarnya
Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Ia sesungguhnya orang Belanda yang menjadi
pegawai Pemerintah jajahan di Indonesia. Ketika masih berusia 18 tahun ia meninggalkan
tanah kelahirannya dan bekerja di sini. Pada tahun 1856 ia menjadi asisten residen di
Lebak, Banten. Ketika itulah ia memprotes tindakan bupati dan pejabat lain yang
sewenag-wenang memeras para petani. Tetapi protesnya itu bukan saja tidak digubris,
malah ia dianjurkan untuk meminta maaf dan menarik protes itu kembali. Akhirnya ia
keluar dari jabatannya sebagai protes pula dan mulai menulis karangan untuk
melanjutkan protesnya itu.
Semua itu menyebabkan pemerintah Belanda mencari jalan dan akal supaya
terhindar dari segala kesulitan yang dialami orang Inggris. Sejalan dengan politik etis
yang ketika itu menjadi kebijaksanaan umumdalam menghadapi tanah jajahannya, maka
sampailah pada pikiaran untuk membendung bangkitnya kesadaran nasional dengan
mengadakan semacam bimbingan dalam bacaan rakyat. Maka pada tahun 1908
didirikanlah Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en
Volkslectuur) yang pada tahun 1917 berubah menjadi kantor bacaan rakyat(Kantoor voor
de Volkslectuur) atau Balai Pustaka. Tugas komisi itu jelas sekali dikemukakan oleh
sekretaris badan itu yang pertama, Dr. A. Rinkes : ”Hasil pengajaran itu boleh juga
mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab bacaaan
yang berbahaya dari saudagar kitab yang kurang suci dan dari orang-orang yang hendak
mengacau. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran itu haruslah diadakan kitab-
kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan
pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tatatertib dunia sekarang. Dalam usahanya
itu harus dijauhkan segala usaha yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan
ketentraman negri” (lihat Peringatan Wilhelmina 25 tahun di atas takhta, 1923).
Pekerjaan komisi ini mula-mula memeriksa dan mencetak segala naskah-naskah
cerita-cerita rakyat terutama yang ditulis dalam bahasa daerah. Tetapi kemudian juga
mencetak buku-buku terjemahan (sebenarnya lebih tepat disebut saduran tau ringkasan)
dari cerita yang mengisahkan pahlawan orang-orang Belanda dan cerita-cerita klasik
Eropah. Akhirnya buku-buku karangan baru diterbitkan pula. Dalam tahun 1914, komisi
ini menerbitkan roman pertama dalam bahasa Sunda, karangan D. K. Ardiwinata (1866-
1947) berjudul Baruang Ka Nu Nharora (Ratjun Bagi Paramuda). Pada tahun 1918
terbitlah Tjerita Si Djamin dan Si Djohan yang disadur Merari Siregar dari Jan Smees
karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbitlah roman dalam bahasa Indonesia
yang pertama oleh Balai Pustaka, karangan Merari Siregar juga, yang berjudul Azab dan
Sengsara Seorang Anak Gadis (1920). Dua tahun kemudian terbit roman karya Marah
Rusli berjudul Sitti Nurbaja (1922), kemudian disusul oleh Muda Teruna (1922) karangan
Muhammad Kasim. Sejak itu banyaklah roman yang ditulis dalam bahasa Melayu
ataupun bahasa daerah lain yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
BAB VI
BALAI PUSTAKA (1920)

Mengenal Ciri Khas Puisi Indonesia


Untuk melengkapi pengetahuan kita tentang pengarang, maka kenyataan sejarah
puisi Indonesia tidak dapat diabaikan. Setiap penulis menulis puisi dengan corak khas
puisi pada zaman kepengarangannya. Pengarang yang menulis dalam beberapa periode
akan mengikuti beberapa model puisi. Pemahaman kita pada terhadap ciri khas puisi pada
jaman tertentu akan mempermudah penafsiran makna puisi dan mempermudah
penginterpretasian lambang dan kiasan yang digunakan pengarang.
Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak
langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk kuna yang tidak lagi sesuai dengan
keadaan zaman modern. Roman ini adalah roman pertama tentang kawin paksa yang
kemudian untuk duapuluh tahun lamanya menjadi thema yang paling banyak digemari
dan paling banyak dikemukakan dalam roman-roman Indonesia.
Dalam Azab dan Sengsara diceritakan tentang nasib buruk seseorang gadis
bernama Mariamin yang tak berkesampaian kawin dengan lelaki yang dicintainya, karena
orangtua kekasihnya tidak setuju. Aminuddin yang juga saudara sepupu Mariamin,
dilarang juga kawin dengan Maariamin karena dia miskin. Sebenarnya orangtua
Mariamin dulu kaya, tetapi karena keserakahan ayahnya, Datuk Baringin, mereka jatuh
melarat. Ketika Datuk Baringin meninggal, ia meninggalkan anak dan istrinya dalam
kesengsaraan dan kemiskinan. Setelah kawin dengan Kasibun yang ternyata telah beristri
dan berpenyakit kotor pula, akhirnya Mariamin meninggal dalam kesengsaraan.
Meskipun mengisahkan kehidupan zaman modern, namun roman Azab dan
sengsara ini dalam komposisinya tidak banyak berbeda dengan hikayat-hikayat lama.
Situasi kejiwaan tokoh-tokohnya kurang mendapat perhatian dari pengarang. Dimana-
mana setiap ada setiap ada kesempatan pengarang tak lupa menyuruh pelakunya untuk
memberi nasehat panjang-panjang.
Demikian juga Muda Teruna karangan M. Kasim (lahir tahun tahun 1886) yang
terbit tahun 1922, banyak sekali persamaannya dengan hikayat-hikayat lama, terutama
komposisinya. Untunglah disana-sini M. Kasim membersit dengan humornya. Dalam
buku ini dikisahkan tentang seorang pemuda bernama Marah Kamil yang tergila-gila
dengan seorang gadis bernam Ani.sebelum perkawinan, Marah Kamil terlebih dahulu
mengalami berbagai pengembaraan ke berbagai tempat di Sumatera. Hal mana yang
mengingatkan kita pada cerita-cerita hikayat yang juga biasanya mengisahkan tokoh-
tokoh utamanya mengalami berbagai petualangan yang pada akhirnya berbahagia dengan
kekasih idaman hatinya.
Lebih berhasil adalah roman buah tangan Marah Rusli yang berjudul Sitti
Nurbaya yang juga terbit tahun 1922. pun cerita ini merupakan kritik terhadap berbagai
keburukan adat kuna berkenaan dengan perkawinan. Tokoh utama peristiwa ini bernama
Sitti Nurbaya sudah bertukar kasih dengan Samsul Bahri, kawannya sekolah yang
kemudian melanjutkan seokolah ke Betawi. Untuk mengongkosi SamsulBahri sekolah ke
Betawi itu, orangruanya, Sutan Mahmud, meminjam uang kepada Datuk Maringgih,
seorang saudagaryang kaya betul di Padang. Sementara orangtua Samsul Bahri terlibat
dalam kesukaran keuangan pula, yaitu harus membiayai pernikahan kemenakannya
perempuan yang menurut adat Minangkabau harus ditanggungjawabi oleh mamandanya.
Dengan akal busuk dan jahat Datuk Maringgih mengahancurkan kekayaan orangtua Sitti
Nurbaya, sehingga Baginda Sulaeman (orangtua Sitti Nurbaya) terpaksa meminjam uang
kepadanya. Ketika Baginda Sulaeman tidak bisa membayar pada waktu yang telah
dijanjikan, Datuk Maringgih mengancam untuk memenjarakannya atau Sitti Nurbaya
untuk dia peristri. Karena terpaksa maka akhirnya Sitti Nurbaya menikah dengan Datuk
Maringgih. Tetapi saat Baginda Sulaeman meninggal, Sitti Nurbaya merasa telah terbebas
dari cengkraman Datuk Maringgih. Akhirnya Sitti Nurbaya meninggal setelah diracun
oleh orang upahan Datuk Maringgih. Dan Dtuk maringgih pun mati pula dibunuh oleh
Letnan Mas, yaitu Samsul Bahri yang sementara itu telah masuk Kompeni. Tapi dalam
pertempuran itu, Samsul Bahri pun mendapat luka-luka berat sehingga akhirnya
meninggal juga.
Meskipun pada akhirnya semua orang mati, baik tokoh-tokoh kolot maupun
tokoh-tokoh kaum muda, namun dalam roman ini, Marah Rusli lebih jauh bertindak dari
Merari Siregar. Kritiknya lebih langsung menyorot kebobrokan masyaakatnya.
Marah Rusli lahir di Padang tanggal 7 Agustus 1889 dan meninggal di Bandung
tanggal 17 Januari 1968. ia adalah seorang dokter hewan. Tahun 1922 ia menerbitkan
Sitti Nurbaya dan baru 30 tahun kemudian bukunya yang kedua menyusul, ialah La Hami
(1952) dan Anak dan Kemenakan (1956). Ketika ia meninggal padanya masih ada sebuah
naskah roman yang belum diterbitkan berdasarkan riwayat perkawinannya sendiri
berjudul memang Djodoh.
Pengarang yang lebih jauh menentang adat kuna mengenai perkawinannya dalam
roman-romannya ialah Adi Negoro, nama samaran Djamaluddin (1904-1966). Ia menulis
dua buah roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Djadja (1928). Dalam kedua
roman itu, tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuna dalam membela haknya
memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu. Nurdin seorang pemuda
Minangkabau dalam Darah Muda bahkan menikah dengan Rukmini, seorang gadis
pilihan hatinya sendiri. Pernikahan itu belum pernah dikemukakan dalam roman
Indonesia sebelumnya. Dan dalam roman Asmara Djadja pernikahan antar suku yang
berdasarkan atas cinta bahkan menginsafkan kekerasan hati dan pandangan kaum tua :
akhirnya orangtua pemuda Rustam membenarkan tindakan anaknya yang berani kawin
dengan seorang gadis Sunda.
Persoalan pemilihan jodoh dan campurtangan orangtua dalam pernikahan anaknya
terdapat pula dalam berbagai roman lain terbitan Balai Pustaka tahun duapuluhan.
Misalnya dalam roman Karam dalam Gelombang Pertjintaan (1926) buahtangan Kedjora
(?), Pertemuan (1927) buahtangan Abas Soetan Pamuntjak, Salah Pilih (1928) karangan
Nur Sutan Iskandar, Tjinta Jang Membawa Maut (1926) karangan Abd. Ager dan
Nursinah Iskandar dan lain-lain.
Percintaan yang tokoh-tokohnya terdiri atas para pemuda yang telah mengecap
pendidikan sekolah merupakan thema yang disukai benar oleh umumnya para pengarang
masa itu, seperti misalnya dapat kit abaca dalam roman-roman Djeumpa Atjeh (1928)
buahtangan H. M. Zainuddin, tak Disangke (1929) karangan Tulis Sutan Sati, Tak PUtus
Dirindung Malang (1929) karangan Sutan Takdir Alisjahbana dan lain-lain.
Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun duapuluhan ialah
Salah Asuhan (1928) buahtangan Abdul Muis (1886-1959). Dalam roman itu
pengarangnya lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa.
Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot tidaklah dilihat lagi secara
blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan, menuliskan kebaikan-
kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi
masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan sejak Indische Partij
(tahun belasan) itu ialah akibat-akibat lebih jauh daripada pertemuan kebudayaan Eropah
yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah colonial
Belanda. Hanafi, tokoh utamanya adalah seorang pemuda Minangkabau yang karena
pendidikannya merasa lebih tinggi martabatnya dari bangsanya sendiri, mengikuti
nafsunya dan cintanya kawin Corrie itu. Ia tidak menemukan kebahagiaan seperti yang
diangan-angakannya itu.
Tokoh-tokoh roman salah asuhan ini terasa sudah merupakan lukisan-lukisan
manusia yang berwatak dan terlibat dalam berbagai belitan nasib dan persoalan-persoalan
hidup yang nyata. Hanafi adalah seorang tokoh hasil pendidikan kolonial Belanda yang
intelektualistis, tercabut dari lingkungan hidupnya sendiri. Ia sesungguhnya adalah
seseorang yang terbuang : oleh kaum sebangsanya ia tidak diakui lagi dan oleh orang
Belanda yang digaulinya dalam lingkungan hidup yang baru ia tetaplah seorang Inlander
yang tak tau diri. Hanafi akhirnya insaf, tetapi telah terlambat : Corrie meninggal karena
diserang kolera dan hal itu memukul jiwanya betul ia seperti seorang kurang ingatan. Ia
pulang kampung, tetapi keluarganya sudah mengeluarkannya dari lingkungan adat,
sehingga untuk menerimanya kembali harus menunggu rapat nyinyik-mamak dahulu.
Sementara menunggu itu Hanafi membunuh diri dengan menelan beberapa butir
sublimate. Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam Syarikat Islam pernah mendapat
hukuman dari pemerintah jajahan Belanda. Ia seorang Minangkabau yang karena
aktivitas politik dibuang dibuang ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di
tanah Priangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah Asuhan, iapun menulis
Pertemuan Djodoh (1933), juga sebuah roman percintaan yang bertendensi sosial.
Sehabis perang ia menulis roman berdasarkan sejarah ialah Surapati (1950)dan Robert
Anak Surapati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melawan
penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah
Asuhan nilainya.
Puisi-puisi periode ini masih mewarisi corak puisi lama mirip puisi dan pantun
dan syair. Hanya saja sampiran ditiadakan untuk menjadikan puisinya lebih intens. Corak
puisi seperti syair tidak digunakan sebagai cerita, namun digunakan sebagai pengungkap
makna yang lebih padat.
Tokoh:
Sanusi Pane (1905-1968) mula-mula menulis sajak-sajak yang dimuat dala majalah-
majalah, baik di Jakarta maupun di Padang. Bukunya yang pertam merupakan kumpulan
prosa dan lirik berjudul Pantjaran Tjinta (1926 ?), kemudian disusul oleh kumpulan sajak
Puspa Mega (1927). Sajak-sajak dalam kumpulan ini hamper seluruhnya berbentuk
sonata. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan oleh M. Yamin ini memang
sangat banya persamaannya dengan pantun. Sonata terdiri dari 14 baris yang umumnya
dua bait pertama (octavo) berupa empat-seuntai dan dua bait terakhir (sextet) tiga-seuntai.
Yang empat-seuntai biasanya digunakan penyairnya untuk melukiskan suasana
(keindahan) alam (lahir) dan yang tiga-seuntai dipergunakan untuk mengajuk hatinya
sendiri, sehingga keseluruhan sonata itu tak ubahnya dengan pantun yang terdiri dari
sampiran dan isi. Seperti diketahui pantun umumnya terdiri dari empat baris : dua baris
pertama merupakan sampiran yang biasanya berupa lukisan-lukisan alam dan dua baris
terakhir berupa isi.
Bab VII
Periode 1933

Lahirnya Majalah Pujangga Baru


Meskipun sudah sejak sekitar tahun 1920 dikenal majalah, dan antaranya juga
yang memuat karangan-karangan berupa cerita, sajak serta karangan-karangan tentang
sastra seperti majalah majalah Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Pustaka (1919-1942),
Jong Sumatra (1920-1926), dan lain-lainnya, tetapi hingga awaltahun 1930-an niat para
pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesusastraan belum juga
terlaksana. Pada tahun 1930 terbit majalah Timboel (1930-1933), mula-mula dalam
bahasa Belada, kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia dengan
Sanusi Pane sebagi redaktur. Pada tahun 1932 itu pula Sutan Takdir Alisjahbana yang
ketika itu bekerja di Balai Pustaka mengadakan rubric ‘Menudju Kesusastraan Baru’
dalam majalah Pandji Poestaka.
Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana
berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baru (1933-1942 dan 1949-1953). Pada
mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah kesusastraan dan
bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi “pembawa
semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum” dan
sejak tahun 1936 bunyinya berubah menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis
untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
Dalam siaran yang ditandatangani oleh Armijn Pane, Amir Hamzah dan S. Takdir
Alisjahbana menjelan penerbitan nomor pertama majalah tersebut, antara lain kita dapat
kit abaca dari kalimat berikut : “Dalam zaman kebangunan sekarang inipun kesusastraan
bangsa kita mempunyai tanggunan dan kewajiban yang luhur. Ia menjelmakan semangat
baru yang memenuhi masyarakat kita. Ia harus menyampaikan berita kebenaran yang
terbayang dalam hati segala nagnsa Indonesia yang yajin akan tibanya masa kebesaran
itu”. Majalah ini diperuntukkan guna menampung segala tenaga yang selama ini tercerai-
berai memuatkan hasil-hasil karyanya di berbagai suratkabar dan majalah umum seperti
yang diberitakan dalam siaran tersebut lebig lanjut : “................sebuah majalah yang
semata-mata mementingkan kesusastraan dan mengikat serta memberikan pimpinan pada
pujangga yang cerai berai itu....................bahasa Indonesia umumnya telah lama pula
menantikan penyelidikan dan tuntunan berhubung dengan kehendak zaman dan keadaan
baru dalam pergaulan Indonesia.
Segera majalah Poedjangga Baroe menjadi tempat berkumpulnya kaum
budayawan, seniman dan cendekiawan Indonesia pada masa itu. Berturut-turut dalam
lingkungan majalah itu kita saksikan munculnya nama-nama Armijn Pane, S. Takdir
Alisjahbana, Mr. Sumanang, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. R. Mohd. Sjah, Dr. Ng.
Purbatjaraka, W. J. S. Poerwadarminta, H. B. Jassin dan lain-lainnya sebagai anggota
redaksi. Nama-nama itu silih berganti kecuali S. Takdir Alisjahbana yang sampaipun pada
masa sesudah perang ketika majalah itu diterbitkan kembali, tetap duduk memegang
kendali redaksi.
Sedangkan para pembantunya datang dai segala penjuru tanah air dan berasal dari
golongan segala sukubangsa : Dr. M. Amir (Tanjungpura), L. K. Bohang (Jakarta), Mr.
Djahoh (Bogor), Fatimah H. Delais (Palembang), Muhammad Dimjati (Solo), Karim
Halim (Padang), Ali Hasjmy (Seulimeum, Aceh), Intodjo (Rangkasbelitung), Aoh. K.
Hadjimaja (Parakan, Salak), Or. Mandank (Medan), Selasih (Padang Panjang), Sutan
Sjahrir (Bandaneira), Suwandi (Jogjakarta), J. E. Tatengkeng (Ulu, Siau), A. M. Thahir
(Makassar), I Gusti NJoman P. Tisna (Singaraja) dan lain-lain.
Dari deretan nama-nama tersebut nampaklah bahwa meski nama-nama pengarng
asal Sumatra masih lebih banyak daripada pengarang yang berasal dari tempat lain,
namun kebhinekaan penyumbang sastra Indonesia telah kelihatan. Sastra Indonesia bukan
milik sesuatu sukubangsa, melainkan milik sekalian sukubangsa yang hidup di seluruh
wilayah nusantara ini.
Majalah iin terbit dengan setia meskipun bukan tanpa kesulitan, berkat
pengorbanan dan keuletan S. Takdir Alisjahbana. Oplahnya pernah hanya mencapai 500
eksemplar saja setiap terbit, dan langganan yang membayar tetap hanya 150 orang saja.
Kerugian ditanggung oleh S. Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane.
Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah Poedjangga Baroe ini
segera dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan”. Tetapi setelah Indonesia
merdeka, majalah ini segera diterbitkan kembali oleh S. Takdir Alisjahbana dengan staf
redaksi yang diperkuat dengan tenaga-tenaga muda seperti Chairil Anwar, Rivai Apin,
Asru; Sani, Achdiat Kartamiharja, Dodon Djiwapradja, Harijadi S. Hartowardodjo, S.
Rukiah dan lain-lain. Majalah ini terus terbit sampai tahun 1953. kemudian dihentikan
penerbitannya dan Sutan Takdir menerbitkan majalah baru bernama Konfrontasi (1954-
1962) yang dalam staf redaksinya pernah duduk antara lain Soedjatmoko, S. Takdir
Alisjahbana, Beb Vuyk, Hazil Tanzil, Achdia K. Miharja dan lain-lain.
Kelahiran majalah Peodjangga Baroe yang banyak melontarkan gagasan-gagasan
baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya
menandaskan bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu, menimbulkan berbagai
reaksi. S. Takdir dalam sebuah esainya dalam tahun pertama (1933) menulis antara lain
“Bahasa Indonesia adalah bahasa perhubungan adalah bahasa yang berabad-abad tumbuh
perlahan-lahan di kalangan penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya
pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad 20 dengan insaf diangkat
dan dijunjung sebagai bahasa persatuan”. Sikap ini menimbulkan reaksi dari tokoh
bahasa yang erat berpegang pada kemurnian bahasa Melayu Tinggi seperti H. Agus Salim
(1884-1954), Sutan Moh. Zain (lahir 1887), S. M. Latif (?) yang menggunakan nama
samaran Linea Recta dan lain-lain. Maka terjadilah polemic tentang bahasa yang tidak
hanya dianut dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe saja, melainkan juga meluas
dalam suratkabar-suratkabar dan majalah-majalah yang terbit pada masa itu.
Polemic golongan Pujangga Baru dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai
bahasa saja, karena gerakan Pujangga Baru bukanlah gerakan sastra dan bahasa saja.
Huga mengenai soal-soal lainnya seperti kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup
kemasyarakatan, terjadi polemic yang seru. S. Takdir yang pro barat mengatakan bahwa
hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh barat sepuas-puasnya sajalah kita dapat
mengimbangi barat, merupakan seorang polemist yang tajam dan bersemangat. Ia
berhadapan dengan Dr. Soetomo (1888-1938), Ki Hajar Dewantara (1889-1958) dan lain-
lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap sebagai kepribadian
bangsa. Sanusi Pane yng juga turut aktif dalam polemic itu akhirnya menyatakan bahw
baginya manusi (Indonesia) baru haruslah merupakan Faust (yang dianggap mewakili roh
barat) dengan Ardjuna (sebagai wakil roh kepribadian Timur). Sikap ini dinyatakan dalam
dramanya Manusia Baru (1940). Sebelumnya Sanusi Pane dikenal sebagai seorang yang
sangat mempertahankan Timur dalam menghadapi S. Takdir.
Orang-orang lain yang turut serta dalam polemic itu antara lain adalah Dr. M.
Amir, Ki Bantjaktjakra, Tjindarbumi, Dr. Ng. Purbatjaraka, Adibegoro dan lain-lain.
Sebagian dari polemic mengenai kebudayaan itu kemudian dikumpukan oleh Achdiat K.
Mihardja dan diterbitkan sebagai buku dengan judul Polemik Kebudayaan (1949).
Periode 1953
Pada periode ini,sifat yang revolusioner berapi-api penuh semangat seperti pada angkatan
45 telah mereda. Banyak puisi yang bercorak romantic dan kedaerahan atau mencoba
menggali akar daerah (sub kultur). Cirri-ciri puisi pada periode ini adalah :
1. puisi dengan gaya bercerita (balada) banyak ditulis oleh para penyair;
2. balada-balada itu juga mulai menampakkan gaya mantra;
3. repetisi yang pada periode sebelumnya belum luas dipergunakan pada periode ini
lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan ritma dan rima;
4. gaya puisi liris yang diciptakan tidak banyak berbeda dari periode 1945-1953;
5. gaya slogan dan retorik yang dikenal pada periode 1945, berkembang dengan
pesat;
6. puisi romantic banyak diciptakan; pengaruh F. G. Lorca begitu kuat kepada
beberapa penyair;

struktur tematik puisi-puisi tahun 50-an juga berbeda dari tahun sebelumnya. Ciri-ciri
struktur tematik yang menonjol ialah :
1. mulai memunculkan corak-corak kedaerahan (subkultur), yang pada periode-
periode sebelumnya tidak dikemukakan;
2. beberapa penyair mengungkapkan suasana muram karena lukisan kehidupan yang
penuh penderitaan;
3. masalah-masalah social seperti : kemiskinan, pengangguran, perbedaan
kaya/miskin, dan sebagainya juga mewarnai isi puisi periode ini;
4. cerita-cerita rakyat dan mitos-mitos kedaerahan banyak dimunculkan (Jante
Arkidam, Atmo Karpo, Paman Doblang, Sibaganding Sirajagoda, dan
sebagainya).

Periode angkatan 1966

Periode 1966-1970 ini disebut angkatan 66. Masa ini didominasi oleh puisi yang
beraliran rasionalisme social kanan, yakni puisi yaitu puisi demonstrasi Taufiq Ismail dan
puisi-puisi protes Rendra. Puisi-puisi demonstrasi lainnya misalnya karya-karya Bur
Rasuanto, Mansur Samin, Slamet Sukirmanto, Abdul Wahid Situmeang, dan sebagainya.
Cirri-ciri struktur puisi tersebut sama dengan puisi periode 1950-an. Karena tema protes
social dikemukakan dengan begitu berapi-api, maka slogan dan retorik sangat kuat.
Puisi demonstrasi dan protes sebenarnya memiliki cirri-ciri yang sama dengan
puisi pengarang-pengarang LEKRA. Perbedaannya terletak pada siapa yang dibela dan
siapa yang dikritik. Hal ini berpengaruh di antaranya pada pemilihan kata yang khas yang
membela golongan yang diwakili dan golongan yang diprotes. Dalam puisi pengarang
LEKRA, kata-kata revolusi, revolusioner, buruh, tani, perajurit, rakyat, perjuangan,
banyak ditemui. Dalam puisi LEKRA banyak dikemukakan kata-kata yang khas yang
digunakan untuk mengutuk lawan, seperti : blendis, kapitalis birokrat, reformis, tujuh
setan desa, subversi, nekolim dan sebagainya. Dalam puisi-puisi demonstasi muncullah
kata-kata : kebenaran, keadilan, pembangunan,kezaliman, dan sebagainya. Kebenaran
yang mereka suarakan lewat puisi-puisi ini adalah kebenaran dalam versi mereka.
Perlu dicatat pula disini dua tokoh yang sangat dominant dalam puisi protes,
yakni Taufiq Ismail yang merajai tahun-tahun 1966-1967, dan Rendra yang merajai dunia
kepuisian Indonesia antara tahun 1967 hingga tahun 1970-an yakni dengan kumpulan
sajaknya Blues untuk Bonnie (ditulis di New York tahun 1967). Ditambah lagi, sekitar
tahun 1968 hingga tahun 1975 Rendra menjadi pusat perhatian masyarakat dalam dunia
teater dengan pementasan-pementasan dramanya yang sukses. Hal ituberpengaruh juga
terhadap kepengarangannya.

Periode 1970-an
Dalam periode ini muncul puisi-puisi yang disenut puisi kontemporer. Istilah
“kontemporer” ini menunjuk pada waktu bukan pada model puisi tertentu, sebab pada
masa puisi ini banyak model puisi yang konvensional. Tokoh-tokoh pada masa ini sudah
banyak menulis pada periode 1965-1970. bahkan Rendra sudah menulis pada masa tahun
50-an.
Ciri-ciri puisi pada periode ini ini adalah :
1. puisi bergaya mantra menggunakan sarana kepuitisan berupa : ulangan kata, frasa
atau kalimat. Gaya bahasa hiperbila dan enumerasi untuk memperoleh efek yang
sebesar-besarnya. Tipografi puisi dieksploitasi secara sugestif. Kata-kata nonsense
yang sebenarnya tidak mengandung arti banyak dipergunakan dan diberi arti baru;
2. banyak digunakan puisi konkret sebagai puisi eksperimen;
3. kata-kata daerah (subkultur) banyak dipergunakan, memberi warna daerah dan
efek ekspresif;
4. asosiasi bunti banyak dipergunakan untuk memperoleh makna yang baru;
5. puisi-puisi imajisme banyak ditulis; dalam puisi ini banyak digunakan kiasan,
alegori ataupun parable (seperti Dewa Ruci, Pariksit dan Nabi Nuh);
6. gaya penulisan banyak prosiasis;
7. banyak ditulis puisi lugu, mempergunakan pengungkapan yang secara polos,
dengan kata-kata selebral, dan kalimat biasa yang polos;
8. banyak kata-kata tabu yang digunakan, baik dalam suasana main-main, protes
(pamphlet), maupun puisi kokret.

Struktur tematik puisi juga memiliki ciri-ciri tersendiri, diantaranya dapat


dikemukakan sebagai berikut :
1. protes yang dikemukakn tidak seperti periode 66 yang ditujukan kepada orde
lama dan kemunafikan, namun kepada kepincangan-kepincangan masyarakat
pada awal mengingatkan kira. Keadaan seperti ini mengingatkan kita pada
keadaan revolusi industri di Jerman dan dampaknya pada puisi Jerman;
2. kesadaran bahwa aspek manusia adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek
dalam pembangunan;
3. banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistik;
4. cerita dan pelukisan bersifat alegoris atau parable;
5. hak-hak asasi manusia diperjuangakan : persamaan, pemerataan dan terhindar
dari pencemaran teknologi meodern;
6. kritik social kepada si kuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka
yang lemah; kritik juga dikemukakan bagi para penyeleweng.

Berikut ini diberikan contoh puisi kontemporer yang mempunyai ciri-ciri seperti
yang dikemukakan di atas :
Telinga
“Masuklah ke telingaku,” bujuknya
Gila :
Ia digoda masuk ke telinganya sendiri
Agar bias mendengar apapun
Secara terperinci- setiap kata, setiap huruf
Bahkan letupan dan desis
Yang menciptakan suara
“Masuklah,” bujuknya
Gila! Hanya agar bias menafsirkan sebaik-baiknya
Apapun yang dibisikkannya
Kepada diri sendiri
(Sapardi Joko Darmono, 1985)

Parable yang dikisahkan dalam puisi ini adalah cerita Dewaruci yang merupakan
parable terkenal di Jawa. Dewaruci adalah sukma Bima. Bima harus masuk ke telinga
Dewaruci untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Dalam diri Dewaruci, Bima berdialog
dengan dirinya sendiri.
Pemakaian kata-kata tabu dapat kita jumpai dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum
Bachri, Linus Suryadi Ag.,Rendra, dan Darmanto Jt. Kelonggaran terhadap tabu mungkin
merupakan gejala timbulnya sopan santun bahasa modern karena terbukti bahwa hal yang
sama juga banyak kita tenui dalam prosa atau drama.

1.
Period 1961

1. Sastra dan Politik


Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhannya
sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yan serius kepada politik. Para
pengarang jaman sebelum perang banyak yang aktif dalam kegiatan pergerakan
kebangsaan pada masa itu. Bahkan ada diantaranya yang lebih terkenal sebagai politikus
daripada pengarang seperti Muh. Yamin dan Roestam Efendi. Demikian juga para
pengarang pujangga baru adalah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan
nasional. Pun para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersikap 1-
politis. Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Miharja, Moechtar Loebis dan
lain-lain adalah orang-orang yang punya kesadaran dan pandangan politik. Bahkan
merekapun banyak juga yang aktif dalam kegiatan politik praktis. Begitu juga pengarang
yang lebih muda-muda. Nugroho Notosusanto, Toto S. Bachtiar, Harijadi S.,
Hartowardojo dan lain-lain bukanlah orang-orang yang tidak berwawasan politik dan
bukan pula orang yang tidak mengikuti perkembangan politik.
Juga adanya perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang
berpangkal kepada perbedaan- perbedaan pandangan politik, sudah sejak lama kelihatan
dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun limapuluhan terjadi polemic yang seru
juga antara orang-orang yang membela hak hidup angkatan 45 dengan orang yang
mengatakan ankatan 45 sudah mampus yang berpangkal dari suatu sikap politik. Sudah
sejak polemic ini kelihatan bahwa orang yang mengatakan angkatan 45 sudah mampus
dalam menilai semuanya mempergunakan kacamata politik. Mereka ketika itu
berpendapat bahwa revolusi telah diselewengkan dank arena itu secara politik apa yang
seharusnya disebut angkatan 45 dalam politik sudahlah mati maka secara main logis-
logisan orang itu juga berpendapat bahwa juga dalam sastra Indonesia tidak ada apa yang
dinamakan Angkatan ’45. pihak yang berpaham realisme-sosialis, yaitu paham yang
menjadi filsafat-seni kaum komunis, aktif mengadakan polemic. Penganut realisme
sosialis yang paling keras teriakannya ialah A. S. Dharta yang sering menggunakan nama
samaran Yogasawara, Klara Akustia, dan lain-lain. Di pihak lain berdiri H. B. Jassin dank
awn-kawannya. Sementara itu polemic semacam itu terjadi pula di medan, antara Bakri
Siregar yang menganut paham realisme sosialis disatu pihak dengan Aoh K. Hadimadja
(yang ketika itu berada di medan) pada pihak yang lain. Sekitar tahun 1952 terjadi pula
polemic seperti itu antara Joebaar Ajoeb yang menganut paham realisme sosialis dan
Harijadi S. Hartowardojo di pihak yang lain di ruang Gelanggang/Siasat. Yang menjadi
pokok soal yang tak habis-habisnya dijadikan bahan polemic itu ialah paham “seni untuk
seni” dan “seni untuk rakyat”. Orang-orang yang menganut paham realisme sosialis
berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk orang-orang yang berpaham “seni untuk
seni” sebagai penganut “humanisme universeil” yang dicapnya sebagai filsafat kaum
borjuis kapitalis yang bobrok.
Yang paling bernilai di antara polemic-polemik itu karena kedua belah pihak
menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas dan hati terbuka ialah yang
terjadi antara tahun 1954 antara Boedjoeng Saleh Poeradisastra dengan Soedjatmoko
berkenaan dengan pandangan-pandangan Soedjatmoko yang dikemukakan dalam
karangannya “Mengapa Konfrontasi” yang telah kita singgung ketika memperkatakan
soal krisis. Polemic yang sayang “tidak selesai” karena masing-masing pihak terlibat
dengan kesibukan pekerjaan masing-masing berlangsung dalam majalah
Gelanggang/Siasat juga. Boejoeng Saleh juga ada menulis esai yang mengemukakan
pendapatnya tentang “Sastra Bertendens”.
Dari peristiwa-peristiwa itu nampak bagwa polemic semacam itu senantiasa
terjadi antara orang-orang yang berpaham realisme-sosialis dengan orang-orang dari
lingkungan “Gelanggang Seniman Merdeka”. Karena itu agak mengejutkan orang-orang
ketika Rivai Apin sebagai slah seorang pendiri dan pengasuh ruang Gelanggang dalam
wartasepekan siasat pada tahun 1954 keluar dari sana dan masuk kubu orang-orang yang
berpaham realisme sosialis.
Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jendralnya yang
pertama bertindak A. S. Dharta. Rupanya pada mulanya Lekra ini bukan lagi organ
kebudayaan dari PKI. Di antara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat
orang-orang yang kemudian secara tak ampun dihantammnya, antara lain H. B. Jassin
dan Achdiat K. Mihardja. Agaknya baru kemudian setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra
secara resmi menjadi organ kebudayaannya. “Mukadimah” Lekra yangmenjadi dasar
pendirian dan dasar sikap para anggotanya baru disusun beberapa tahun kemudian. Lekra
dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan tak henti-hentinya menghantam golongan
yang menganut paham “seni untuk seni” atau yang berlainan pendiriannya.
Sementara itu dalam gelanggang percaturan politik kedudukan PKI kian kuat
pula. Tahun 1959 Soekarno yang ketika itu menjadi presiden mendekritkan UUD 1945
berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (yang kemudian dikenal dengan
Manipol) sebagai dasar haluan Negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI
untuk sedikit demi sedikit merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting buat merebut
kekuasaan. Apalagi ketika kemudian ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis)
dijadikan pola perbandingan kekuatan dan lembaga-lembaga resmi dan tidak resmi. PKI
kian mendapat angin. Pada satu pihak PKI memberikan angin pada Soekarno untuk
menjadi tirani (dictator) sedang pada pihak yang lain mengobarkan ketakpuasan rakyat
dengan berbagai slogan seperti “tujuh setan desa” dan “tiga setan kota” dan semacamnya.
Semua itu dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan yang
kemudian terjadi pada tanggal 30 September malam menjelang 1 oktober 1965 tapi dapat
digagalkan oleh seluruh kekuatan non-komunis.
Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk memperebutkan kekuasaan itu, PKI
mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang lainnya dilakukan pengerahan
kekuatan secara demonstratif oleh missal untuk menggariskan lawan-lawannya. Dalam
bidang kebudayaan pengerahan tenaga itu dilakukan oleh Lekra yang secara simultan
bekerjasama dengan serikat buruh, organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana, petani dan
potensi masyarakat yang lain.
Seperti juga dalam bidang-bidang lain yang dilakukan oleh organ-organ PKI di
lapangan bersangkutan, pun di lapangan kebudayaan Lekra melakukan salah satu metoda
komunisme yang sudah terkenal dimana-mana, yaitu menteror orang-orang dan golongan
yang dianggapnya tidak sepaham atau tidak bias diajak sepaham dengan mereka.
Dalam lapangan sastra satu demi satu pengarang yang mempunyai paham yang
berbeda dengan mereka, dihantam dan dimusnahkan. S. Takdir Alisjahbana yang politis
menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI), dan Hamka (Masjumi) menjadi
sasarannya. Takdir kebetulan ketika itu berada di Malaysia, juga Idrus dan Balfas, maka
segera dicap sebagai pengarang kontra revolusi, ketika Indonesia ketika itu sedang
mengumumkan “konfrontasi” terhadap Malaysia. Hamka dihantam secara politis dan
secara mental. Bukunya Tenggelamnya Kapal van der Wijck yan punya persamaan
menyolok dengan Madjdulin Luthfi Al-Manfaluthfi dijadikan alas an untuk
menghancurkan namanya. Secara missal dan beramai-ramai Hamka dijatuhkan. Padahal
nenerapa tahun sebelum itu (1955) Ali Audah telah mengemukakan persoalan ini. Tetapi
karena karena saat itu Lekra belum pada tahap agresif, maka persoalan itu seolah-olah
tidak ada. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan, baik di sekolah-
sekolah maupun di masyarakat.
Metoda yang sama juga mereka gunakan ketika menghantam para penandatangan
manifest kebudayaan. Mengenai hal ini akan dibicarakan lebih kanjut kelak.
Pengarang-pengarang, senima-seniman dan budayawan diteror untuk bergabung
kepada Lekra atau hancur ditumpasnya. Mereka mempraktekkan teori untuk membagi
orang menjadi kawan atau menjadi lawan. Kawan mereka besarkan jasa-jasanya serta
mereka diamkan tau mereka tutup-tutupi meskipun melakukan berbagai pengkhianatam
yang menyolok. Tapi lawan mereka hantam, tak peduli apapun yang dilakukannya.
Teror intensif yang mereka lakukan itu telah menyebabkan banyak budayawan-
budayawan, seniman-seniman dan pengarang-pengarang lalu menggabungkan diri kepada
Lekra. Karena para seniman itu agaknya berpendapat kalau tidak begitu, mereka tidak
kan selamat. Sebagian lagi, yang tetap memegang prinsip menolak komunisme, lalu
menggabungkan diri pada organisasi-organisasi kebudayaan yang bernaung pada pada
partai-partai nasakom yang ada pada masa itu. Mengikuti PKI dengan dengan Lekranya,
partai-partai yang lain pun membentuk organisasi buruh, petani, nelayan, dan pemuda
yang bernaung pada partainya. Tahun 1959 PNI membentuk LKN (Lembaga Kebudayaan
Nasional) yang untuk pertama kali diketuai oleh Sitor Situmorang. NU (Nadhatul Ulama)
membentuk Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dengan ketua
Usmar Ismail, Asrul Sani dan lain-lain. Begitu pula dengan partai Kristen (Parkindo),
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Patai Indonesia (Partindo) dan lain-lain.
Dengan berbagai akal dan cara para budayawan, seniman dan pengarang-
pengarang Indonsia dipaksa untuk masuk salah satu kandang. Kalau tidak akan menjadi
bulan-bulanan orang-orang Lekra dan PKI. Bahkan organisasi-organisasi yang tidak
berinduk kepada salah satu partai nasakom, segera didesak untuk bubar atau memilih
salah satu partai nasakom sebagai induk. Organisasi-organisasi mahasiswa dan pelajar
yang hendak berdiri sendiri (independent) terus-terusan diteror dan difitnahnya, seperti
yang terjadi pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).

Manifest Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia


Atas usaha H. B. Jassin dan beberapa orang lain penyelenggara majalah Kisah
almarhum, sejak bulan Mei 1961 diterbitkan majalah Sastra. Sebagai ketua redaksi
bertindak H. B. Jassin. Sebagai redaksi penyelenggara D. S. Moeljanto. Sedang pada
nomer-nomer pertama turut pula M. Balfas sebagai anggota redaksi. Semuanya orang-
orang lama dari majalah Kisah juga. Karena itu tidaklah mengherankan kalau policy
redaksi majalah ini merupakan kelanjutan dari majalah Kisah.
Seperti itu juga majalah Kisah, Sastra juga mengutamakan memuat cerpen. Di
samping itu juga sajak, kritik dan essai. Berbeda dengan pada masa Kisah, pada masa
Sastra, jumlah pengarang-pengarang muda yang menulis esai sudah agak banyak.
Beberapa pengarang baru muncul pada majalah Sastra. Untuk menyebut beberapa nama
pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu ialah Goenawan Moehammad, Arief
Budiman yang pada masa itu masih bernama Soe Hok Djin, D. A. Peransi dan lain-lain.
Sementara itu penulis esai yang telah kita kenal lebih dahulu seperti Iwan Simatupang
dan Wiratmo Soekito banyak juga menulis dalam majalah Sastra. Di samping esai,
penulisan kritik sastra juga menjadi ramai. Boen S. Oemarjati, M. S. Hutagalung, Virga
Belan, Salim Said dan beberapa orang lagi sering mengumumkan kritik-kritiknya dalam
majalah tersebut.
Pengarang-prngarang cerpen yang dalam Sastra mendapat keleluasaan untuk
tampil dan berkembang antara lain B. Solarto, Bur Rasuanto, A. Bastari Asmin,
Styagraha Hoerip Soeprobo, Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B.
Jass, dan lain-lain. Sedangkan para penyair antara lain Isma Sawitri, Goenawan
Moehammad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C. Noer,
Sapardi Joko Darmono dan lain-lain.
Pada masa kehidupan sekeliling dipaksa untuk menerima slogan “politik sebagai
panglima”, Sastra menjadi tempat berkumpul orang-orang yang hendak
memepertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Pada tanggal 17 Agustus 1963
diumumkanlah “Manifest Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani oleh sejumlah
pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H. B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo
Soekito, Zaini, Goenawan Moehammad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain.

Manifest Kebudayaan
• Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengmumkan
sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendiria, sita-cita dan politik
Kebudayaan Nasional kami
• Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector
kebudayaan di atas sector kebudayaan yan lain. Setiap sector berjuang bersama-
sama untuk kebudayaan itu sesuai kodratnya.
• Dalam melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencita dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan
dan mengembangkan martabat diri kami sebgai banhsa Indonesia di tengah-
tengah menyelamatkan bangsa-bangsa.
• PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963

Manifest ini segera mendapat sambutan dari seluruh pelosok tanah air. Para
budayawan, seniman dan para pengarang yang hidup terpencil di kota-kota lain dan yang
selama itu hidup dalam suasana mental diteror oleh Lekra beserta kompanyonnya,
melihat manifest kebudayaan ini sebagai juruselamat. Maka segera mereka berlomba-
lomba menyatakan dukungan terhadap manifest itu yang berlomba-lomba menyatakan
dukungan terhadap manifest itu yang dipublisir pula oleh melalui majalah Sastra dan
penerbitan-penerbitan lain yang dikuasai oleh para pendukung manifest.
Pada pihak yang lain adanya manifest itu lebih mempermudah Lekra beserta
kompanyonnya untuk menghancurkan orang-orang yang selama ini mereka anggap
sebagai musuh. Orang-orang antikomunis dan yang menentang Lekra di setiap daerah
yang tadinya sulit untuk dipukuk Lekra secara terbuka, sekarang muncul ke permukaan
air. Manifest kebudayaan segera dijadikan sasaran utama Lekra. Ketika itu pers
(suratkabar, dan majalah, juga radio) hamper seluruhnya dikuasai orang-orang PKI. Maka
perspun digunakan secara beramai-ramai untuk menghantam “manifest kebudayaan”
yang secara popular mereka sebut manikebu.
Sementara itu pihak manifespun tidak tinggal diam. Mereka mempersiapkan
sebuah konprensi para pengarang yang dinamakannya Konperensi Pengrang Se-Indonesia
(KKPI). Meskipun namanya meliputi seluruh pengarang di seluruh Indonesia, tetapi pada
prakteknya, panitia hanya mengutamakan para penandatangan manifest saja. Terhadap
hal ini para pengarng dari Banung dan dari Jakarta mengusulkan supaya dikatakan
dengan tegas atau konperensi itu benar-benar dihadiri oleh seluruh pengarang Indonesia,
tidak peduli apa paham politiknya; atau menamakan konperensi itu secara tegas sebagai
konperensi pengarang Indonesia non-komunis. Tetapi usul ini ditolak panitia dan
konperensi akhirnya berlangsung terus di Jakarta pada bulan maret 1964. konperensi ini
menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tetapi sebelum PKPI
ini menjadi organisasi yang berjalan, Soekarno yang ketika itu menjadi presiden
menyatakan “Manifes Kebudyaan” terlarang. Hal ini merupakan pukulan yang hebat
terhadap gerakan ini dan pihak Lekra mendapat senjata yang segera dijadikannya alas an
buat menghantam setiap pengarang atau budayawan yang tidak sepaham dengan mereka
sebagai orang “Manikebu”. Para budayawan, seniman dan pengarang penandatangan
manifest diusir dari setiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan mengumumkan karya-
karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.
“Pembersihan seperti itu berlangsung secara terus-menerus dan besar-besaran di seluruh
penjuru tanah air, meskipun H. B. Jassin, Trisno Sumadjo dan Wiratmo Soekito segera
setelah pernyataan pembubaran manifest atasnama para penandatangan manifest
mengetuk kawat kepada Soekarno untuk meminta maaf dan meminta petunjuk serta
bimbingan.
Segera perkataan Manikebuiss menjadi istilah yang popular untuk menuduh
seseorang “kontra revolusi, anti manipol, anti usdek, anti nasakom” dan sebagainya.
Majalah Sastra dituntut supaya dilarang terbit. Demikian juga majalah-majalah lain yang
dianggap menjadi terompet golongan manifest seperti majalah Indonesia, dan lain-lain.
Meski larangan itu tidak sampai dikeluarkan pemerintah, namun majalah-majalah itu
berhenti sendiri, antara lain agaknya karena tekanan mental yang diderita. Para
penandatangan manifest terpaksa menulis dengan nama samaran. Itupun tidak semua
majalah atau surat kabar bersedia memuatkannya. Kebanyakan takut memikul resiko
kalau-kalau ketahuan oleh orang-orang Lekra.

You might also like