Professional Documents
Culture Documents
1. Latar Belakang
Timbulnya bahasa Nusantara dan sastra merupakan unsur yang integral dari
kebudayaan, khusunya kebudayaan ekspresif. Nenek moyang bangsa Indonesia yang
berasal dari daratan Asia Tenggara dan bermigrasi ke kepulauan Nusantara secara
bergelombang, menurut Kern (dalam Sukmono, 1973: 56-58) berasal dari rumpun bangsa
Auastronesia dan memiliki bahasa yang satu yaitu bahasa Austronesia. Setelah tiba dan
terpencar di berbagai pulau Nusantara Indonesia ini mereka saling ”memencilkan diri”,
karena sulitnya komunikasi. Mereka tumbuh dan berkembang secara sendiri-sendiri
sesuai dengan kondisi alam dan lingkungan geografis di daerah masing-masing. Akhirnya
faktor-faktor geografis dan sulitnya komunikasi telah membuat nenek moyang bangsa
Indonesia yang semula seasal mengalami proses evaluasi manusia (fisik dan kepribadian)
dan evaluasi kebudayaan dalam waktu yang panjang. Lingkungan alam dan geografis
kenusantaraan yang didiami oleh mereka telah membentuk pribadi dan watak serta
kebudayaan mereka masing-masing, sehingga nenek moyang bangsa Indonesia yang
menghuni pulau Sumatra telah melahirkan generasi suku-suku bangsa (etnis) di pulau
Andalas dengan aneka ragam kebudayaan mereka. Demikian pula nenek moyang bangsa
kita yang terdapat di pulau-pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
Irian Jaya, dan Timor Timur telah melahirkan berbagai suku bangsa beserta aneka ragam
kebudayaan di pulau-pulau tersebut. Kebudayaan-kebudayaan yang ada di seantero
Nusantara Indonesia itu dinamakan ”kebudayaan Nusantara”, yang memiliki ciri khas
kenusantaraannya yaitu bhineka tunggal ika. Maksudnya, demikian kebudayaan-
kebudayaan daerah di daerah kepulauan Nusantara itu telah tumbuh dan berkembang
sendiri-sendiri sesuai dengan kondisi alam geografisnya dan cenderung berbeda-beda,
mereka tetap memiliki persamaan-persamaan dasar yang satu. Dan salah satu unsur
”kebudayaan Nusantara” itu ialah bahasa-bahasa daerah yang kini jumlahnya sekitar 250
bahasa yang tersebar di kepulauan Nusantara Indonesia. Ciri kebhinekaan bahasa-bahasa
Nusantara tersebut antara lain tercermin dari kata ”padi” (dalam bahasa Indonesia)
ternyata mengacu pada berbagai istilah yang mirip dalam berbagai bahasa daerah : pare,
pari, padi parai, dsb. Setelah lahirnya nasionalisme Indonesia, dan bahasa Indonesia
dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan serta diresmikan sebagai bahasa nasional,
bahasa-bahasa Nusantara tetap hidup, dipelihara dan berkembang sebagai bahasa-bahasa
daerah, yang eksistensinya diakui oleh UUD 1995 pada penjelasan Bab XV pasal 36.
BAB II
SASTRA INDONESIA MASA SEJARAH
2. Tinjauan Sejarah
Kepulauan Nusantara yang terletak di antara dua benua dan di antara dua
samudra, yaitu antara benua Asia dengan benua Australia dan di antara samudra Hindia
(yang sekarang disebut juga samudra Indonesia) dengan lautan Teduh, dihuni oleh
beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejarah, kebudayaan, adat-
istiadat dan bahasa sendiri-sendiri. Di abad bersilam-silam di beberapa tempat si
kepulauan Nusantara itu pernah berdri kerajaan-kerajaan besar : yang terpenting
kerajaan-kerajaan yang berdiri di Jawa, Sumatra, Semenanjung dan lain-lain. Madjapahit,
Sriwijaya, Padjadjaran, Malaka, Pasai dan lain-lain, adalah nama beberapa kerajaan yang
dalam abad-abad yang silam pernah cemerlang dan besar pengaruhnya di seluruh
kepulauan Nusantara, konon juga sampai ke daratan benua Asia.
Pada abad ke-16 dan ke-17 kerajaan-kerajaan itu satu demi satu menjadi daerah
jajahan bangsa-bangsa Eropah yang pada mulanya datang ke mari untuk mencari rempah-
rempah. Beberapa wilayah malah menimbulkan pertikaian di antara negara-negara
Eropah itu sendiri. Portugis yang mula-mula sekali meluaskan armadanya ke wilayah
Nusantara ini, sedikit demi sedikit harus mengurangi peranannya, terdesak oleh Inggris,
Spanyol, dan Belanda. Kepulauan Pilipina jatuh ke tangan orang Spanyol. Semenanjung
Malaka pada akhir abad ke-17 sudah jatuh ke tangan orang Inggris. Kepulauan yang
kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia pada waktu itu sebagian besar sudah jatuh
pula ke tangan orang Belanda. Beberapa daerah yang masih berdaulat setapak demi
setapak ditaklukkan orang Belanda. Pada awal abad ke-20, dengan selesainya perang
Aceh, seluruh kepulauan Indonesia sudah semuanya menjadi daerah takluk kerajaan
Belanda.
Perbedaan bangsa yang menjajahnya menimbulkan perbedaan-perbedaan pula
dalam pertumbuhan kebudayaan, cita-cita politik dan pola berpikir di wilayah-wilayah
Nusantara itu. Sementara itu penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan
suatu bangsa penjajah merasakan nasib yang sama dan penderitaan yang sama, sehingga
perhubungan antara merka semakin erat. Maka juga para penduduk daerah yang semula
dikenal dengan sebutan ”Nederlandsch Indie” (Hindia Belanda) merasakan persamaan
nasib yang diakibatkan oleh karena sama-sama diajajah oleh bangsa Belanda.
Perasaan tak puas karena merasa menjadi hamba di tanah air sendiri,
menyebabkan timbulnya perlawanan-perlawanan berupa pemberontakan-pemberontakan
bersenjata di berbagai daerah. Mula-mula perlawanan-perlawanan terhadap penjajah itu
bersifat sporadic, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu sukubangsa atau suatu
daerah melawan “orang asing” itu bukanlah hanay orang kulit putih dari Eropah saja,
melainkan semua suku bangsa lain yang berasal dari kepulauan Nusantara juga. Hal itu
memudahkan orang Belanda untuk melakukan adu domba di antara sukubangsa-
sukubangsa se-Nusantara. Politik yang dikenal sebagai politik devide et impera itu efektif
sekali dalam melumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Tapi pada awal abad ke-20, mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan
kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari
perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman
penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nasionalisme itu menghilangkan
perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan-perbedaan sejarah,
lingkungan kebudayaan, bahasa, adatistiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi
musuh bersama yang satu, maka yang diperhitungkan bukanlah perbedaan-perbedaan
yang ada di antara di antara sukubangsa-sukubangsa itu, melainkan persamaan-
persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam
dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang dinamakan Sumpah Pemuda. Sumpah itu
sekarang sudah sangant terkenal dan bunyinya sebagai berikut :
• Pertama : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah satu,
Tanah Indonesia
• Kedua : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa satu,
Bangsa Indonesia
• Ketiga : Kami putera dan puteri Indonesia mengaku menjunjung bahasa
persatuan, Bahasa Indonesia
Kalau kita teliti maka akan nampak dengan jelas, bahwa pengertian “Indonesia”
yang dimaksud oleh sumpah itu melingkupi seluruh wilayah yang pada masa itu dikenal
sebagai ”Nederlandsch Indie” alias (Hindia Belanda), yaitu wilayah Hindia yang dijajah
oleh Belanda.
Politik Belanda dalam sejarah Indonesia sangat keras. Mereka melakukan segala
macam cara dan paksa untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya sebanyak
mungkin. Baru pada awal abad ke-20, politik Belanda menjadi agak lunak, yaitu sebagai
reaksi terhadap cultuurstelsel (tanam-paksa) yang telah sangat merusak kehidupan rakyat
bumiputra. Sebagai gantinya dianutlah politik etis atau “elitsche politiek”.
Politik etis tidak mengurangi ketamakan penjajah dalam mengeksploitasi daerah
jajahannya, tetapi sebagai “balas jasa” mereka mulai memperhatikan nasib anak negri.
Kemungkinan untuk bersekolah, untuk mendapat pendidikan, untuk maju bagi orang-
orang bumiputra mulai agak lebih leluasa.
Politik etis itu becita-cita antara lain membuat bangsa Indonesia merasa “dekat”
dengan bangsa Belanda. Maka dalam sekolah-sekolah anak bumiputra dididik mengenai
tatacara kehidupan, ilmu bumi negri Belanda, pengetahuan, ilmu, moral bahkan bahasa
Belanda. Bahasa Belanda yang merupakan dahasa bangsa kecil, ysng ampir tak ada
pengaruh dan peranannya dalam percaturan di Eropah sekalipun, hendak dijadikan
bahasa resmi di seluru wilayah Indonesia.
Sebagai reaksi terhadap cita-cita itu, maka para pemimpin nasional Indonesia kian
giat memperjuangkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. “Bahasa Melayu” yang
sejak berabad-abad sebagai bahasa pergaulan atau bahasa perhubungan “lingua franca” di
antara sukubangsa-sukubangsa di seluruh Nusantara pada masa itupun sudah banyak
dipergunakan dalam lingkungan pergerakan agama Islam. Misalnya dala lingkungan
Syarikat Islam, H. O. S Tjokroaminoto selalu mempergunakan bahasa Melayu. Mungkin
disebabkan karena para pemimpin dan pengikut Islam kebanyakan bukan keluaran
sekolah Belanda. Tetapi agaknya pada mulanya penggunaan itu tidaklah begitu disadari
benar pentingnya. Baru setelah menghdapi ancaman pemaksaan penggunaan bahasa
Belanda secara resmi pada sekitar tahun 1920, pemakaian bahasa Indonesia dilakukan
secara lebih sadar.
Para pemimpin nasional dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya mulai banyak
mempergunakan bahasa Indonesia yang mempergunakan bahasa Indonesia yang sampai
ketika itupun masih disebut bahasa Melayu. Muhammad Yamin dalam tulisan-tulisannya
dalam majalah Jong Sumatra pada sekitar tahun 1918, menyerukan penggunaan bahasa
Melayu. kalau pada tahun-tahun itu belasan para pejuang kemerdekaan Indonesia seperti
KI Hadjar Dewantara, Dr. Tjipto Mangoenkoesomo dan lain-lain lebih fasih dan lebih
banyak mempergunakan bahasa Belanda dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya,
maka pada tahun duapuluhan para pejuang Indonesia telah lebih umum mempergunakan
bahasa nasional. Haji Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun, dan lain-lain
mempergunakan bahasa Melayu saja, baik dalam tulisan maupun dalam pidato-pidatonya,
sehingga membantu perkembangan bahasa tersebut menjadi bahasa Indonesia. Terutama
Soekarno yang pada tahun duapuluhan menerjunkan diri dan aktif bergerak dalam
perjuangan kebangsaan, besar jasanyadalam pertumbuhan bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia. Soekarno telah membuat bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia yang hidup,
lincah, lentuk, mudah dicernakan bukan saja oleh orang-orang yang berasal dari Sumatra
atau kepulauan Riau, melainkan juga oleh orang-orang yang berasal dari wilayah
Nusantara yang lain. Soekarno telah membuat bahasa Indonesia menjadi lebih popular.
Sudah sejak abad 19 ada hasil-hasil sastra yang berbahasa Melayu yang tidak
ditulis oleh orang-orang yang tidak berasal dari kepulauan Riau atau Sumatera. Juga
bahasa yang dipergunakannyaakan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang Murni.
Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu
Tinggi, melainkan bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa MelayuTinggi
banyak. Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di kepulauan Nusantara.
Banyak hikayat, syair, pantun dan karya sastra lain yang mengagumkan dan usianya
sudah berabad-abad.Hikayat si Miskin, Hikayat Malim Dewa, Hikayat Indra Bangsawan,
Hikayat Amir Hamzah, syair Bidasari, syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu adalah
beberapa karya sastra klasik Melayu. Pengarang-pengarangnyapun tidak sedikit, terutama
dari lingkungan ulama dan hesultanan di kepulauan Riau. Di antara pengarang yang
paling masyhur antara lain ialah Raja Ali Haji, Nuruddin Al-Raniri, Tun Sri Lanang,
Hamzah Fansyuri dan Abdullh Bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah terkenal karena usaha-
usahanya memperbaharui sastra Melayu. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan
menghasilkan banyak karya, seperti Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Perjalanan
Abdullah dari Singapura ke Kelantan (1838), Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
(1849), dan Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Jedah (1854). Abdullah meninggal di
Jiddah, dan bukunya yang terakhir ini tidak sampai selesai.
Kecuali kesusastraan Melatu banyak kesusastraan daerah yang layak diketahui.
Kesausastraan Jawa, Sunda, Bali, Aceh, Batak, Bugis, dan lain-lain juga merupakan
kesusastraan yang kaya dan usianya sudah berabad-abad.
Hesusastraaan Jawa termasuk salah satu kesusastraan yang paling kaya di
kepulauan Nusantara. Pengaruhnyapun tampak pula pada kesusastraan-kesusastraan di
Asia Tenggara umumnya dan di kepulauan Nusantara khususnya. Umpamanya cerita
Panji pengaruhnya sampai ke Campa, Malaysia, dan Filipina (Tagalog). Epos
Mahabharata dan Ramayana dari India menem,ukan bumi subur dalam sastra Jawa. Versi
Jawa dari Bharatayudha diakui para ahli keindahannya. Demikian pula cerita-cerita lain
yang berpangkal pada Mahabharata banyak diciptakan orang, baik dalam bahasa Jawa
Kuno, bahasa Jawa Tengahan , maupun bahasa Jawa Baru. Dalam bahasa Kawi terkenal
buah tangan mPu Kanwa yang berjudul Arjuna Wiwaha. Demikian pula mPu Panuluh
terkenal dengan buah-buah tangannya Gatotkacaraja, Hariwangsa, dan lain-lain.Sastra
dalam bahasa Jawa Tengahan terkenal seperti Tantri Kamandaka, Calon Arang, Dewi
Ruci, Pararaton, dan laian-lain. Di antara para pengarang Jawa Baru antara laian terkenal
sekali Kijahi Jasadipura I dan II yang banyak menyadur karya-karya sastra Jawa Kuna ke
dalam bahasa Jawa Baru berbentuk Tembang. Demikian juga Raden Ngambehi
Ranggawarsita yang sangat terkenal di luar lingkungan orang Jawa karena Tembangnya
tentang jaman edan yang berjudul Serat Kalatida, kebanyakan menuliskan kembali cerita-
cerita wayang yang sudah dikenal sebelumnya. Antara lain ia menyadur cerita wayang
dalam Serat Pustaka Raja Purwa.
Kesusastraan Sunda termasuk kesusastraan yang tua dan kaya pula. Tapi berlainan
dengan kesusastraan Jawa, terhadap naskah-naskah Kuna Sunda perhatian Sarjana masih
kurang sehingga masih banyak naskah-naskah kuna yang belum diketahui isinya. Di
antara naskah-naskah yang sudah diketahui isinya adalah yang berasal dari abad ke-15,
berjudul Siksa Kanda Karesian. Naskah-naskah lain yang kuna pula ialah : Tjarita
Parahyangan, Tjarita Waruga Guru, Kundjarakarna, dan lain-lain. Di samping itu dikenal
pula jenis Tjarita pantun, yang agaknya berasal dari jaman Padjadjaran (abad ke14-15),
turun temurun secara lisan sampai sekarang. Baru pada abad ke-19 ada yang
mencatatkannya secara tertulis.di antara cerita-cerita yang termashur adalah Lutung
Kasarung, Mundinglaja Di Kusumah, Tjurng Wanara, dan lain-lain. Naskah-naskah
Sunda Kuna itu ditulis dengan huruf Sunda Kuna, yang agaknya tidak lagi dipergunakan
pada abad ke-18 karena sudah digantikan oleh huruf arab dan huruf jawa. Bersama
dengan pergantian huruf itu timbul pula pengaruh kesusastraan Jawa terhadap
kesusastraan Sunda. Bentuk Tembang mulai muncul dan dikenal. Pda abad ke-19, banyak
sekali cerita-cerita tembang yang disebut wawatjan dijumpai dalam sastra Sunda.
Kebanyakan tak dikenal lagi pengarangnya, seperti Surjakanta, Ranggawulung,
Surianingrat, Danumaja, Amir Hamzah dan lain-lain. Menjelang akhir abad 19 muncul H.
Muhammad Musa yang menulis Wawatjan Pandjiwalung, Wawatjan Alimuchtar, dan
lain-lain. Penarang-[engarang lain yang menulis wawatjan ialah H. Abdul Salam yang
menulis wawatjan Rengganis, Raden Aria Adipati Martanegara yang menulis wawatjan
Anglingdarma, Batara Rama dan Babad Sumedang dan lain-lain. Wawatjan yang paling
utama yang diciptakan orang dalam bahasa Sunda ialah wawatjan Purnama Alam
karangan R. Suriadiredja. Pujangga Sunda yang terpenting ialah H. Hasan Mustapa
(1852-1930) yang banyak menulis puisi berbentuk dangding.
Kesusastraan Balipun, seperti juga kesusastraan Jawa dan Sunda, banyak
mengerjakan kembali cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India.
Banyak naskah-naskah Kuna yang ditulis dalam bahasa Bali berdasarkan kisah-kisah
tersebut. Tetapi kisah-kisah asli Bali pun tidak kurang. Di antaranya yang paling terkenal
ialah kisah tentang Djajaprana dengan Lajonsari yang diakui para ahli bernilai tinggi.
Umumnya karya-karya sastra kuna itu mengisahkan kehidupan antah berantah
kerajaan-kerajaan atas angin dengan rajaputra-rajaputra yang gagah perwira dan putri-
putri yang cantik jelita : kepada para pembacanya memberikan nasehat secara langsung
ataupun tidak langsung antara lain yang berkenaan dengan moral, agama, ilmu dan lain-
lain. Dengan kata lain umumnya sastra kuna itu bersifat keraton sentris. Kehidupan orang
banyak, petani-petani di kampung atau pedagang di kota-kota, tak pernah menjadi
perhatian pujangga, karena itu tak pernah masuk hitungan.
Demukian juga bentuknya. Umumnya sudah mempunyai bentuk yang tradisionil.
Kebanyakan berbentuk Tembang (puisi). Pendeknya bukan bahasa sehari-hari. Bahasa
prosa cenderung dianggap tidak bernilai sastra,
Dengan berkembangnya pers (terutama suratkabar) mulai pertengahan abad ke-
19, maka mulai digunakanlah bahas prosa yang zakelijk dan praktis untuk menyampaikan
peristiwa hidup sehari-hari. Ditambah oleh pengruh bacaab sastra Eropah melalui
Belanda, maka mulailah orang mempergunakan bahasa prosa untuk bercerita. Mungkin
pada awalnya mereka tidak begitu sadar untuk bersastra, tetapi lama kelamaan jenis karya
sastra ini berkembang pesar setelah mendapat banyak peminat.
Adalah suatu kenyataan menarik bahwa roman pertama yang mengisahkan
kehidupan sehari-hari itu mula-lula disebut sebagai feuilleton dalam suratkabar-
suratkabar ditulis dalam bahas pergaulan sehari-hari. Yaitu dalam bahasa Melayu rendah.
Banyak di antara para pengarang yan menulis roman-roman pertama pada abad ke- 19
atau awal abad ke-20 itu bukan asal Sumatra atau Kepulauan Riau. Ada yang berasal dari
Jawa. Ada yang berasal dari Ambon dan ada orang Indo. Mereka tidak menulis dalam
bahasa daerahnya masing-masing, dalam bentuk Tembang atau Serat yang sudah
tradisionil itu. Tercatat misalnya seorang Menado bernama Pangemanan yang pada awal
abad ke-20 merupakan seorang wartawan yang piawai, iapun ada juga yang menulis
cerita-cerita roman. Demikian juga seorang Indo yang bernama G. Francis yang menulis
kisah Njai Dasima (1896) yang konon betul-betul berasal dari peristiwa yang berasal dari
Betawi. H. Moekti menulis Hikayat Siti Mariah yang meskipun disebut ”Hikayat”
namun tak ada persamaannya dengan hikayat-hikayat yang dikenal dalam sastra klasik.
Cerita itu dimuat sebagai feuilleton dalam suratkabar Medan Priadji yang terbit di
Bandung. Demikian juga cerita-cerita terangkan Raden Mas Tirto Adhisurjo, Boesono
dan Nyai Permana dimuat dalam surat kabar tersebut.
Tapi sementara itu bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh kepulauan
Nusantara seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Minang, Bugis, dan lain-lain
tetap juga berkembang. Bahasa-bahasa daerah itu setelah lahirnya Nasionalisme
Indonesia, juga setelah diresmikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
bahasa resmi, terus juga hidup. Bahkan banyak yang hidup dengan subur. Hal itu sama
sekali tidak bertentangan dengan nasionalisme Indonesia. Bahkan sesuai dengan bunyi
dan maksud Undang-Undang Dasar (1945), di mana kehidupan kebudayaan (termasuk
bahasa, seni dan sastra) daerah dijamin kelangsungan perkembangannya.
Nasionalisme sesungguhnya adalah suatu paham kebangsaan yang berasal dari
kebudayaan Eropa modern. Lahirlah bahasa Indonesia dan sastra Indonesia adalah hasil
pertemuan bahasa dan sastra Melayu dengan paham-paham yang berasal dari kebudayaan
Eropa modern itu. Tapi pertemuan dan pengaruh dari kebudayaan Eropa modern itu tidak
hanya dialami oleh bahasa dan sastra Melayu saja, melainkan juga oleh bahasa-bahasa
dan sastra-sastra daerah yang lain terdapat di seluruh kepulauan Nusantara. Paham-
paham dan bentuk-bentuk sastra Eropa seperti soneta, roman, esai, kritik, dan cerita
pendek kemudian banyak diikuti dan menemui perkembangan yang subur, juga dalam
bahasa-bahasa daerah.
Maka supaya jangan keliru harus dijelaskan di sini, bahwa sekalian sastra yang
ditulis dalam bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh wilayah Nusantara ini
dinamakan Sastra Nusantara, sedangkan yang dinamakan sastra Indonesia hanyalah sastra
yang ditulis dalam bahasa nasional Indonesia saja.
Sastra yang berkembang setelah pertemuan dengan kebudayaan Eropa dan
mendapat pengaruh daripadanya itu disebut sastra modern; sedang yang sebelumnya
dinamakan sastra klasik. Maka kita mengenal sastra Jawa Klasik dan sastra Jawa Modern,
sastra Sunda klasik dan Sunda modern, dan seterusnya. Namun dalam hal ini kekecualian
ada juga. Yaitu mengenai sastra Melayu, karena meskipun kita mengenal sastra Melayu
Klasik, namun biasanya tidak bersambung dengan sebutan sastra Melayu modern,
melainkan dengan sastra Indonesia. Hal itu disebabkan karena sastra yang ditulis dalam
bahasa Melayu setelah pertemuan dan pengaru kebudayaan Eropa modern menjelma
menjadi sastra Indonesia di sini, yaitu yang hidup di negara kita. Di Semenanjung
(Malaysia) bahasa Melayu menemukan perkembangannya sendiri menjadi bahasa
Melayu yang juga mempunyai sejarah perkembangan sastra tersendiri.
Karena nasionalisme Indonesia tidaklah hanya bersumber kepada suatu daerah
saja, maka seyogianya yang dinamakan sastra Indonesia klasik adalah sama dengan sastra
Nusantara klasik. Jadi bukan hanya sastra Melayu klasik saja melainkan seluruh sastra
klasik yang ditulis dalam semua bahasa daerah yang terdapat di seluruh wilayah
Indonesia, termasuk bahasa Melayu.
Maka sebaiknya seluruh hasil sastra klasik yang ditulis dalam bahasa daerah itu
segera diterjemahkan dan diperkenalkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga menjadi
milik seluruh bangsa Indonesia. Pengajaran sastra Melayu Klasik di sekolah-sekolah,
harus disertai pula dengan pengajaran sastra Jawa Klasik, Sunda klasik, Aceh, Bali,
Bugis, dan lain-lain.
BAB IV
SASTRA INDONESIA MODERN
Kebudayaan modern muncul dengan adanya rennaisence di Barat pada abad ke-
17. Rennaisence meletakkan sendi-sendi bangunan ilmu pengetahuan ketika tokoh-tokoh
pemikirnya : Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, dll., semakin percaya akan
kesanggupan rasio manusia untuk mengetahui rahasia alam dan menguasainya.
Kemudian ditinjau oleh Descartes yang dengan semboyannya ”cogito ergosum”
melahirkan rasionalisme; yang menekankan bahwa kunci bangunan ilmu pengetahuan
harus dimulai dari rasio dan kesadaran manusia, pada masa aufklarung, rasio memberi
penerangan dan mendatangkan masa kecerahan dalam hidup manusia pada abad ke-18.
selanjutnya ditemukannya metode-metode dan giatnya penelitian oleh para pemikir, tela
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya bebagai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Peranan ilmu pengetahuan dan teknologi amat besar dan menentukan bagi
kehidupan manusia zaman modern, karena sejak awal abad ke-19 iptek telah memberikan
sumbangan besar pada kemajuan industri dan ekonomi bagi kesejahteraan hidup manusia,
dan mengubah keseluruhan hidup masyarakat ke dalam kebudayaan modern. Kebudayaan
modern disini diartikan, suatu kebudayaan yang mencerminkan pemikiran, perbuatan,
kreativitas yang bersufat baru, yang ditandai oleh unsur-unsur pokoknya berupa sains dan
teknologi maju serta kehidupan rohani yang memberi tanggungjawab dan solidaritas baru
dan luad kepada manusia.
Kuntjaraningrat menyebutkan dengan istilah ”peradaban dunia masa kini”
(contemporary world civilization) yang unsurunsur pokoknya berupa sains, teknologi dan
ilmu pengetahuan yang maju serta metropolitan (Alfian, 1985 : 129). Manusia-manusia
barat modern (Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris) dengan kebudayaan modern yang
dibawanya berduyun-duyun datang ke Asia untuk mencari rempah-rempah, sejak
manusia rennaisence Vasco Da Gama berlayar mengelilingi Afrika, lalu menemukan jalan
ke Asia dan mendarat di Kalilut.
Kedatangan orang Belanda yang berhimpun dalam VOC ke Indonesia pada
mulanya juga untuk berdagang rempah-rempah. Tapi lama-kelamaan , Belanda
mencengkramkan kuku kolonialismenya di Indonesia. Dengan keunggulan iptek yang
dimiliki, Belanda berhasil menaklukkan satu per satu kerajaan-kerajaan di Nusantara
Indonesia. Lalu dengan sistem cultuurstelsel Belanda memeras bangsa Indonesia dan
mengeruk kekayaan alamnya. Bangsa Indonesia dibiarkan bodoh dan miskin. Keadaan
barulah sedikit berubah setelah muncul elitsche politiek di kalangan masyarakat Belanda
di Nederland pada tengah abad ke-19. gerakan politik etis menggugah pemerintah
Belanda untuk menjalankan politik ”balas budi” dengan mulai memperhatikan nasib anak
negeri jajahannya.
Pemerintah Belanda membuka sekolah-sekolah untuk pribumi, memberi izin
berdirinya sekolah-sekolah swasta, dan juga memberi kesempatan bagi anak pribumi
untuk memasuki sekolah-sekolah untuk orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh petra-putri Indonesia, sehingga sejak
awal abad ke-20 mulai muncul sejumlah kaum cerdik dan pandai yang berpendidikan
modern.
Cendekiawan- cendekiawan modern kita yang telah sadar dan membuka matanya
terhadap nasib dan penderitaan bangsanya yang dijajah, kemudian tampil sebagai
pemimpin- pemimpin bangsa. Mereka mendirikan organisasi-organisasi modern seperti
Budi Utomo, dll., untuk mendidik dan menyadarkan rakyat akan ”perasaan senasib dan
sepenanggungan: sehingga tergalanglah kesadaran kesadaran kebangsaan atau kesadaran
nasional. Dan sebagai tali pengikat dan penghubung jiwa kesadaran kebangsaan itu ialah
bahasa melayu, yang sejak awal tahun 20-an gencar dipakai oleh pemimpin- pemimpin
kita dalam pidato-pidato, tulisan-tulisan di suratkabar dan majalah dalam rangka
memperjuangkan kebangsaan. Salah satu pemimpin yang gigih memperjuangkan
pemakaian bahasa melayu ialah Mohammad Yamin. Di samping itu di kalangan penerbit
swasta banyak yang menerbitkan bacaan-bacaan yang berbahasa melayu.
Sejalan dengan itu cendekiawan- cendekiawan bangsa Indonesia yang
memperoleh pendidikan modern dan berkenalan dengan kebudayaan modern lewat
sekolah-sekolah Belanda (Kweek-School, HBS, AMS, dll) seperti Moh. Yamin, Sutan
Takdir Alisyahbana, Rustam Effendi, dll. Mengambil dan mengadaptasi unsur-unsur
kebudayaan modern itu ke dalam budaya modern Indonesia, sastra modern. Pengarang-
pengarang modern Indonesia ini dalam wawasan sastranya berorientsi ke barat,
khususnya angkatan 80 sastra Belanda yang salah satu pendirinya , kebebasan individual
dalam mencipta. Meskipun demikian dalam isi dan corak, karya-karya sastra Yamin.
Rustam Effendi dari angkatan 20-an tetap menyuarakan cinta tanah air dan cita-cita
kebangsaan. Sastra tahun 20-an bercorak romantis-nasionalistis, dan coba memasukkan
ide-ide modernisasi dalam roman-roman bertema adat.
Dari segi bentuk sastra, puisi-puisi Yamin dan Rustam Effendi mulai menggemari
soneta dan drama. Bentuk roman mulai muncul dalam suratkabar sebagai fuelleton (cerita
bersambung), misalnya Nyai Dasima yang ditulis oleh seorang Indo bernama G. Francis.
Orientasi budaya ke barat tetap dianut oleh sastrawan tahun 30-an (Pujangga
Baru) yaitu yang berkiblat ke ankatan 80 (De Tachgiers) sastra Belanda, dengan konsesi,
perasaan ingin bebas merdeka dalam mengekspresikan pengalaman batin menurut gerak
sukma dan jiwa individu masing-masing.
Ketika sastrawan-sastrawan angkatan 45 tampil, dengan mendengungkan
semboyan ”kami ahli waris kebudayaan dunia” dengan menganut pandangan seni
”humanisme universal”. Tapi pada kenyataannya tidak begitu berbeda dengan Pujangga
Baru, mereka berorientasi ke sastra Barat.
Keadaan masyarakat modern Indonesia selanjutnya tercermin dari karya-karya
sastranya. Sastra Indonesia sebagai ekspresi yang bebas dari para pengarang,
mempersoalkan tema-tema kemanusiaan dan kehidupan masyarakat yang aktual dalam
raganya. Umpamanya persoalan kawin paksa, pembenturan adat dengan inspirasi modern
yang banyak diungkapkan dalam roman-roman tahun 20-an, seperti Siti Nurbaya, Salah
Asuhan dll. Masalah-masalah emansipasi wanita, pergaulan kaum intelektual dan
kehidupan masyarakat kota yang tercermin dalam novel-novel tahun 30-an, seperti Layar
Terkembang, Belenggu, konflik kehidupan dan penderiataan akibat perang yang banyak
dikisahkan dalam novel-novel angkatan 45, seperti Keluarga Gerilya, Atheis, Jalan Tak
Ada Ujung, dan lain-lain.
Roman adalah bentuk sastra Eropa yang tumbuh subur sekitar abad 18 dan ke 19.
Bentuk ini ternyata digemari pula di Indonesia. Pengaruh Eropa itu tidak hanya nampak
dalam prosa, melainkan juga dalam puisi. Pada sekitar tahun 1920, Muhammad Yamin,
Sanusi Pane, Muh. Hatta, Rustam Effendi dan lain-lain banyak menulis soneta, yaitu
bentuk puisi yang berasal dari Italia dan digemari di Inggris dan di Belanda.
Barulah pada tahun 1920 terbit pada Balai Pustaka roman yang ditulis dalam
bahasa Melayu Tinggi, yaitu karangan Merari Siregar berjudul Azab dan Sengsara. Dua
tahun kemudian terbit roman yang sekarang telah menjadi klasik ialah Sitti Nurbaja buah
tangan Marah Rusli. M. Kasim menulis Muda Teruna dan Nur Sutan Iskandar dengan
mempergunakan nama Nursinah Iskandar menerbitkan Apa Dajaku Karena Aku
Perempuan (keduanya juga terbit tahun 1992).
Sementara itu perkembangan penulisan roman di luar Balai Pustaka yang
mempergunakan bahasa Melayu Pasarpun tidaklah terhenti. Kalau roman-roman Balai
Pustaka digemari oleh para pembaca yang hidup dalam lingkungan pegawai negeri dan
”sekolahan”, maka umumnya roman-roman Melayu Pasar digemari dalam lingkungan
para pedagang dan para buruh yang tidak pernah mengecap pendidikan sekolah dengan
pengajaran bahasa Melayu yang baik. Kedua macam penulis dan penerbit itu agaknya
berkembang sendiri-sendiri pada waktu yang bersamaan. Roman-roman Balai Pustaka
yang mempergunakan bahasa Melayu Tinggi, bahasanya secara tertib mengikuti bahasa
tulisan, sehingga terasa suasananya adalah suasana ”bahasa buku”. Sedangkan roman-
roman yang ditulis dalam bahasa Melayu Pasar mempergunakan bahasa lisan sehari-hari
yang terasa lebih spontan dan kadang-kadang lebih hidup, lebih bebas dari ikatan tata
bahasa. Pihak para penggemar roman-roman bahasa Melayu Rendahan, tidak menyukai
cerita-cerita terbitan Balai Pustaka barangkali karena terasa kurang ”syur” dan bahasa
yang dipergunakannya ”bahasa sekolahan” yang dianggap terlalu sulit dan kurang hidup.
Cerita-ceritanya pun penuh nasihat-nasihat kepada para pembaca agar menjadi warga
negara yang ”tertib” dan ”sopan”. Sedangkan dari pihak penggemar bahasa Melayu
Tinggi, roman-roman Melayu Pasar diangap lebih rendah tingkatannya dan ”kurang
beradab”.
Pada masa Pujangga Baru jurang perbedaan ini sedikit demi sedikit diperkecil. S.
Takdir Alisyahbana pernah mengemukakan tulisan pada masa itu (tahun 1934) yang
mengatakan secara tegas bahwa bahasa Melayu Rendah dan bahasa Melayu Tionghoa
pun tak kalah baiknya dengan bahasa Melayu Riau. Ucapan itu mengejutkan, apalagi
karena dikatakan oleh pejuang bahasa Indonesia, sehingga timbul reaksi yang keras dari
pihak para pecinta bahasa Melayu Tinggi yang murni.
Tetapi ucapan Takdir itupun barulah merupakan cita-cita saja. Bahasa Pujangga
Baru sangat keras menunjukkan pengaruh Melayu Riau, termasuk pula bahasa yang
dipergunakan oleh S. Takdir sendiri. Baru pada masa sesudah perang, dengan munculnya
Chairil Anwar, perbedaan kedua macam bahasa itu kian menciut. Pada saat sekarang
tidak bisa lagi dibedakan antara bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Pasar. Keduanya telah
menjadikan bahasa Indonesia. Perbedaan bahasa percakapan (lisan) dan bahasa buku
sudah boleh dibilang tak ada lagi.
BAB V
PERIODE 1900
Pada tahun 1848 pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Raja
untuk mempergunakan uang sebesar F. 25.000 setiap tahun buat keperluan sekolah-
sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak orang-orang bumiputra, terutama para priyayi
yang akan dijadikan pegawai setempat. Pegawai-pegawai setempat itu diperlukan oleh
pemerintah Belanda untuk kepentingan eksploitasi kolonialnya, karena biaya-biaya untuk
membayar para pegawai setempat jauh lebih murah daripada kalau mendatangkan tenaga-
tenaga dari Belanda.
Tapi dengan didirikannya sekolah-sekolah itu meningkatkan pendidikan dan
timbullah kegemaran akan membaca, dan melalui bacaan-bacaan dalam bahasa Belanda,
bangsa Indonesia pun mulai mengerti akan kedudukan dirinya sebagai bangsa yang
dijajah. Beberapa orang berbakat yang menyadari hal ini lalu mulai menulis rupa-rupa
karangan, baik berbentuk uraian maupun cerita, yang sifatnya memberi penerangan
kepada rakyat. Surat kabar dicetak orang, bukan saja dalam bahasa Belanda melainkan
juga dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kabar dalam bahasa Melayu tidak
hanya di Melayu atau Jakarta saja, melainkan tersebar di kota-kota lain. Misalnya masih
pada abad ke 19, di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (mulai tahun 1862), di
Padang terbit Pelita Ketjil (mulai tahun 1882), dan di Jakarta sendiri terbit Bianglala
(mulai tahun 1867), dan lain-lain.
Sampai sekarang belum diselidiki secara teliti bagaimana peranan dan sumbangan
suratkabar-suratkabar itu kepada kelahiran sastra Indonesia. Tak mustahil bahwa sudah
sejak abad yang lampau suratkabar-suratkabar itu memuat karangan-karangan yang
bersifat sastra. Tetapi sepanjang yang sudah diketahui sampai sekarang, baru sesudah
tahun 1900 ada suratkabar yang memuat karangan yang bersifat sastra atau yang dapat
digolongkan kepada karya sastra. Pada awal aba ke-20 misalnya di Bandung ada
suratkabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung berbentuk roman.
Carita-cerita itu ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi bukan oleh pengarang kelahiran
Melayu atau Sumatra, mengisahkan tentang kehidupan masyarakat kita pada masa itu.
Yang sangat menarik adalah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang
ditulis oleh H. Moekti. Roman ini pengarangnya disebut ”hikayat”, tetapi melukiskan
keadaan sehari-hari pada zaman pengarangnya sendiri, ditulis dengan bahasa Melayu
yang hidup pula. Di samping itu, pemimpin redaksi suratkabar Medan Prijaji sendiri, Rd.
Mas (Djokomono) Tirto Adhisurjo (lahir 1875) menulis dua buah cerita roman, masing-
masing berjudul Boesono (1910) dan Njai Permana (1912).
Pengarang lain yang pada masa itu terbilang produktif adalah seorang wartawan
juga, bernama Mas Marco Martodikromo. Ia berkali-kali dijatuhi hukuman oleh
pemerintah jajahan Belanda karena tulisan-tulisannya dan akhirnya meninggal dalam
pembuangan di Digul-Atas, Irian Barat. Dari tangannya terbit beberapa buah buku,
kebanyakan roman, antaranya yang berjudul Mata Gelap (1914), Student Hidjo (1919),
Sjair Rempah-Rempah (1919), dan Rusa Merdeka (1924).
Juga Semaun yang menulis sebuah roman berjudul Hikajat Kadiroen (1924) yang
segera dilarang beredar oleh Pemerintah.
Pengarang-pengarang itu kebanyakan berpaham kiri. Semaun misalnya pada saat
itu adalah pemimpin Partai Komunis Indonesia. Ketika pada tahun 1926 gagal
mengadakan pemberontakan, Semaun melarikan diri ke Rusia dan baru kembali lagi
setelah proklamasi Kemerdekaan.
Karena sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut
rakyat untuk memberontak, maka karya-karya seperti itu secara populer disebut ”bacaan
liar” dan para penulisnya dinamakan pula ”pengarang liar.”
Roman-roman yang ditulis dalam bahasa Melayu tetapi tidak bernada menghasut
dan lebih banyak bersifat menghibur, banyak ditulis dan diterbitkan oleh para pengarang
keturunan Cina dalam bahasa Melayu yan dikenal sebagai Melayu-Cina. Perananakan
Indo pun ada yang menulis cerita seperti itu, misalnya G. Francis yang menulis kisah Njai
Dasima (1896). Kisah itu menceritakan nasib seorang wanita kampung yang dijadikan
nyai-nyai orang Inggris kemudian tertawan hatinya oleh pengaruh guna-guna seorang
Bang Samiun.
Melihat keadaan itu, tenti saja orang-orang Belanda merasa kuatir kalau-kalau
kejadian di India terjadi pula di sini. Seperti diketahui, Inggris di India pada wkru itu
mengalami kewalahan mengadapi tuntutan para pejuang kemerdekaan India yang telah
tumbuh kesadaran nasinalismenya justru setelah mendapat pendidikan barat yang
diselenggarakan oleh Inggris sendiri. Pemerintah Belanda yang mendapat keuntungan
selama menjajah Indonesia tentu saja tidak mau menghadapi kesulitan yang sama seperti
yang terjadi di India. Mereka tak mau pula kehilangan tanah jajahannya yang kaya
makmur ini!
Sementara itu kaum terpelajar Indonesia yang sudah mendapat pendidikan Barat
itu, karena menguasai bahasa Belanda, dapat pula membaca buku buah tangan para
pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan bangsa pribumi. Buku-buku buah
tangan Multatuli, misalnya Max Havelaar, sangat besar pengaruhnya dalam
mebangkitkan semangat kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli
adalah nama samaran yang artinya ”aku telah banyak menderita”. Nama sebenarnya
Eduard Douwes Dekker (1820-1887). Ia sesungguhnya orang Belanda yang menjadi
pegawai Pemerintah jajahan di Indonesia. Ketika masih berusia 18 tahun ia meninggalkan
tanah kelahirannya dan bekerja di sini. Pada tahun 1856 ia menjadi asisten residen di
Lebak, Banten. Ketika itulah ia memprotes tindakan bupati dan pejabat lain yang
sewenag-wenang memeras para petani. Tetapi protesnya itu bukan saja tidak digubris,
malah ia dianjurkan untuk meminta maaf dan menarik protes itu kembali. Akhirnya ia
keluar dari jabatannya sebagai protes pula dan mulai menulis karangan untuk
melanjutkan protesnya itu.
Semua itu menyebabkan pemerintah Belanda mencari jalan dan akal supaya
terhindar dari segala kesulitan yang dialami orang Inggris. Sejalan dengan politik etis
yang ketika itu menjadi kebijaksanaan umumdalam menghadapi tanah jajahannya, maka
sampailah pada pikiaran untuk membendung bangkitnya kesadaran nasional dengan
mengadakan semacam bimbingan dalam bacaan rakyat. Maka pada tahun 1908
didirikanlah Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en
Volkslectuur) yang pada tahun 1917 berubah menjadi kantor bacaan rakyat(Kantoor voor
de Volkslectuur) atau Balai Pustaka. Tugas komisi itu jelas sekali dikemukakan oleh
sekretaris badan itu yang pertama, Dr. A. Rinkes : ”Hasil pengajaran itu boleh juga
mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab bacaaan
yang berbahaya dari saudagar kitab yang kurang suci dan dari orang-orang yang hendak
mengacau. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran itu haruslah diadakan kitab-
kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan
pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tatatertib dunia sekarang. Dalam usahanya
itu harus dijauhkan segala usaha yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan
ketentraman negri” (lihat Peringatan Wilhelmina 25 tahun di atas takhta, 1923).
Pekerjaan komisi ini mula-mula memeriksa dan mencetak segala naskah-naskah
cerita-cerita rakyat terutama yang ditulis dalam bahasa daerah. Tetapi kemudian juga
mencetak buku-buku terjemahan (sebenarnya lebih tepat disebut saduran tau ringkasan)
dari cerita yang mengisahkan pahlawan orang-orang Belanda dan cerita-cerita klasik
Eropah. Akhirnya buku-buku karangan baru diterbitkan pula. Dalam tahun 1914, komisi
ini menerbitkan roman pertama dalam bahasa Sunda, karangan D. K. Ardiwinata (1866-
1947) berjudul Baruang Ka Nu Nharora (Ratjun Bagi Paramuda). Pada tahun 1918
terbitlah Tjerita Si Djamin dan Si Djohan yang disadur Merari Siregar dari Jan Smees
karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbitlah roman dalam bahasa Indonesia
yang pertama oleh Balai Pustaka, karangan Merari Siregar juga, yang berjudul Azab dan
Sengsara Seorang Anak Gadis (1920). Dua tahun kemudian terbit roman karya Marah
Rusli berjudul Sitti Nurbaja (1922), kemudian disusul oleh Muda Teruna (1922) karangan
Muhammad Kasim. Sejak itu banyaklah roman yang ditulis dalam bahasa Melayu
ataupun bahasa daerah lain yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
BAB VI
BALAI PUSTAKA (1920)
struktur tematik puisi-puisi tahun 50-an juga berbeda dari tahun sebelumnya. Ciri-ciri
struktur tematik yang menonjol ialah :
1. mulai memunculkan corak-corak kedaerahan (subkultur), yang pada periode-
periode sebelumnya tidak dikemukakan;
2. beberapa penyair mengungkapkan suasana muram karena lukisan kehidupan yang
penuh penderitaan;
3. masalah-masalah social seperti : kemiskinan, pengangguran, perbedaan
kaya/miskin, dan sebagainya juga mewarnai isi puisi periode ini;
4. cerita-cerita rakyat dan mitos-mitos kedaerahan banyak dimunculkan (Jante
Arkidam, Atmo Karpo, Paman Doblang, Sibaganding Sirajagoda, dan
sebagainya).
Periode 1966-1970 ini disebut angkatan 66. Masa ini didominasi oleh puisi yang
beraliran rasionalisme social kanan, yakni puisi yaitu puisi demonstrasi Taufiq Ismail dan
puisi-puisi protes Rendra. Puisi-puisi demonstrasi lainnya misalnya karya-karya Bur
Rasuanto, Mansur Samin, Slamet Sukirmanto, Abdul Wahid Situmeang, dan sebagainya.
Cirri-ciri struktur puisi tersebut sama dengan puisi periode 1950-an. Karena tema protes
social dikemukakan dengan begitu berapi-api, maka slogan dan retorik sangat kuat.
Puisi demonstrasi dan protes sebenarnya memiliki cirri-ciri yang sama dengan
puisi pengarang-pengarang LEKRA. Perbedaannya terletak pada siapa yang dibela dan
siapa yang dikritik. Hal ini berpengaruh di antaranya pada pemilihan kata yang khas yang
membela golongan yang diwakili dan golongan yang diprotes. Dalam puisi pengarang
LEKRA, kata-kata revolusi, revolusioner, buruh, tani, perajurit, rakyat, perjuangan,
banyak ditemui. Dalam puisi LEKRA banyak dikemukakan kata-kata yang khas yang
digunakan untuk mengutuk lawan, seperti : blendis, kapitalis birokrat, reformis, tujuh
setan desa, subversi, nekolim dan sebagainya. Dalam puisi-puisi demonstasi muncullah
kata-kata : kebenaran, keadilan, pembangunan,kezaliman, dan sebagainya. Kebenaran
yang mereka suarakan lewat puisi-puisi ini adalah kebenaran dalam versi mereka.
Perlu dicatat pula disini dua tokoh yang sangat dominant dalam puisi protes,
yakni Taufiq Ismail yang merajai tahun-tahun 1966-1967, dan Rendra yang merajai dunia
kepuisian Indonesia antara tahun 1967 hingga tahun 1970-an yakni dengan kumpulan
sajaknya Blues untuk Bonnie (ditulis di New York tahun 1967). Ditambah lagi, sekitar
tahun 1968 hingga tahun 1975 Rendra menjadi pusat perhatian masyarakat dalam dunia
teater dengan pementasan-pementasan dramanya yang sukses. Hal ituberpengaruh juga
terhadap kepengarangannya.
Periode 1970-an
Dalam periode ini muncul puisi-puisi yang disenut puisi kontemporer. Istilah
“kontemporer” ini menunjuk pada waktu bukan pada model puisi tertentu, sebab pada
masa puisi ini banyak model puisi yang konvensional. Tokoh-tokoh pada masa ini sudah
banyak menulis pada periode 1965-1970. bahkan Rendra sudah menulis pada masa tahun
50-an.
Ciri-ciri puisi pada periode ini ini adalah :
1. puisi bergaya mantra menggunakan sarana kepuitisan berupa : ulangan kata, frasa
atau kalimat. Gaya bahasa hiperbila dan enumerasi untuk memperoleh efek yang
sebesar-besarnya. Tipografi puisi dieksploitasi secara sugestif. Kata-kata nonsense
yang sebenarnya tidak mengandung arti banyak dipergunakan dan diberi arti baru;
2. banyak digunakan puisi konkret sebagai puisi eksperimen;
3. kata-kata daerah (subkultur) banyak dipergunakan, memberi warna daerah dan
efek ekspresif;
4. asosiasi bunti banyak dipergunakan untuk memperoleh makna yang baru;
5. puisi-puisi imajisme banyak ditulis; dalam puisi ini banyak digunakan kiasan,
alegori ataupun parable (seperti Dewa Ruci, Pariksit dan Nabi Nuh);
6. gaya penulisan banyak prosiasis;
7. banyak ditulis puisi lugu, mempergunakan pengungkapan yang secara polos,
dengan kata-kata selebral, dan kalimat biasa yang polos;
8. banyak kata-kata tabu yang digunakan, baik dalam suasana main-main, protes
(pamphlet), maupun puisi kokret.
Berikut ini diberikan contoh puisi kontemporer yang mempunyai ciri-ciri seperti
yang dikemukakan di atas :
Telinga
“Masuklah ke telingaku,” bujuknya
Gila :
Ia digoda masuk ke telinganya sendiri
Agar bias mendengar apapun
Secara terperinci- setiap kata, setiap huruf
Bahkan letupan dan desis
Yang menciptakan suara
“Masuklah,” bujuknya
Gila! Hanya agar bias menafsirkan sebaik-baiknya
Apapun yang dibisikkannya
Kepada diri sendiri
(Sapardi Joko Darmono, 1985)
Parable yang dikisahkan dalam puisi ini adalah cerita Dewaruci yang merupakan
parable terkenal di Jawa. Dewaruci adalah sukma Bima. Bima harus masuk ke telinga
Dewaruci untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Dalam diri Dewaruci, Bima berdialog
dengan dirinya sendiri.
Pemakaian kata-kata tabu dapat kita jumpai dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum
Bachri, Linus Suryadi Ag.,Rendra, dan Darmanto Jt. Kelonggaran terhadap tabu mungkin
merupakan gejala timbulnya sopan santun bahasa modern karena terbukti bahwa hal yang
sama juga banyak kita tenui dalam prosa atau drama.
1.
Period 1961
Manifest Kebudayaan
• Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengmumkan
sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendiria, sita-cita dan politik
Kebudayaan Nasional kami
• Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector
kebudayaan di atas sector kebudayaan yan lain. Setiap sector berjuang bersama-
sama untuk kebudayaan itu sesuai kodratnya.
• Dalam melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencita dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan
dan mengembangkan martabat diri kami sebgai banhsa Indonesia di tengah-
tengah menyelamatkan bangsa-bangsa.
• PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Manifest ini segera mendapat sambutan dari seluruh pelosok tanah air. Para
budayawan, seniman dan para pengarang yang hidup terpencil di kota-kota lain dan yang
selama itu hidup dalam suasana mental diteror oleh Lekra beserta kompanyonnya,
melihat manifest kebudayaan ini sebagai juruselamat. Maka segera mereka berlomba-
lomba menyatakan dukungan terhadap manifest itu yang berlomba-lomba menyatakan
dukungan terhadap manifest itu yang dipublisir pula oleh melalui majalah Sastra dan
penerbitan-penerbitan lain yang dikuasai oleh para pendukung manifest.
Pada pihak yang lain adanya manifest itu lebih mempermudah Lekra beserta
kompanyonnya untuk menghancurkan orang-orang yang selama ini mereka anggap
sebagai musuh. Orang-orang antikomunis dan yang menentang Lekra di setiap daerah
yang tadinya sulit untuk dipukuk Lekra secara terbuka, sekarang muncul ke permukaan
air. Manifest kebudayaan segera dijadikan sasaran utama Lekra. Ketika itu pers
(suratkabar, dan majalah, juga radio) hamper seluruhnya dikuasai orang-orang PKI. Maka
perspun digunakan secara beramai-ramai untuk menghantam “manifest kebudayaan”
yang secara popular mereka sebut manikebu.
Sementara itu pihak manifespun tidak tinggal diam. Mereka mempersiapkan
sebuah konprensi para pengarang yang dinamakannya Konperensi Pengrang Se-Indonesia
(KKPI). Meskipun namanya meliputi seluruh pengarang di seluruh Indonesia, tetapi pada
prakteknya, panitia hanya mengutamakan para penandatangan manifest saja. Terhadap
hal ini para pengarng dari Banung dan dari Jakarta mengusulkan supaya dikatakan
dengan tegas atau konperensi itu benar-benar dihadiri oleh seluruh pengarang Indonesia,
tidak peduli apa paham politiknya; atau menamakan konperensi itu secara tegas sebagai
konperensi pengarang Indonesia non-komunis. Tetapi usul ini ditolak panitia dan
konperensi akhirnya berlangsung terus di Jakarta pada bulan maret 1964. konperensi ini
menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tetapi sebelum PKPI
ini menjadi organisasi yang berjalan, Soekarno yang ketika itu menjadi presiden
menyatakan “Manifes Kebudyaan” terlarang. Hal ini merupakan pukulan yang hebat
terhadap gerakan ini dan pihak Lekra mendapat senjata yang segera dijadikannya alas an
buat menghantam setiap pengarang atau budayawan yang tidak sepaham dengan mereka
sebagai orang “Manikebu”. Para budayawan, seniman dan pengarang penandatangan
manifest diusir dari setiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan mengumumkan karya-
karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.
“Pembersihan seperti itu berlangsung secara terus-menerus dan besar-besaran di seluruh
penjuru tanah air, meskipun H. B. Jassin, Trisno Sumadjo dan Wiratmo Soekito segera
setelah pernyataan pembubaran manifest atasnama para penandatangan manifest
mengetuk kawat kepada Soekarno untuk meminta maaf dan meminta petunjuk serta
bimbingan.
Segera perkataan Manikebuiss menjadi istilah yang popular untuk menuduh
seseorang “kontra revolusi, anti manipol, anti usdek, anti nasakom” dan sebagainya.
Majalah Sastra dituntut supaya dilarang terbit. Demikian juga majalah-majalah lain yang
dianggap menjadi terompet golongan manifest seperti majalah Indonesia, dan lain-lain.
Meski larangan itu tidak sampai dikeluarkan pemerintah, namun majalah-majalah itu
berhenti sendiri, antara lain agaknya karena tekanan mental yang diderita. Para
penandatangan manifest terpaksa menulis dengan nama samaran. Itupun tidak semua
majalah atau surat kabar bersedia memuatkannya. Kebanyakan takut memikul resiko
kalau-kalau ketahuan oleh orang-orang Lekra.