You are on page 1of 2

HIKMAH PUASA: MENGELIMINASI PERILAKU KEKERASAN Musdah Mulia1

Minggu malam, 4 Agustus 2013 kita dikejutkan oleh berita meledaknya sebuah bom di Vihara Budha yang berlokasi di daerah Mangga Dua, Jakarta dan melukai tiga orang. Persisnya, peristiwa sadis itu terjadi ketika umat Islam baru saja berbuka puasa dan menunaikan shalat Magrib. Menyedihkan karena pada bom tersebut terbaca tulisan: Kami menjawab jeritan Muslim Rohingya Siapa pun pelaku dibalik kejadian tersebut, dan apa pun alasannya bagi saya sungguh tidak bisa diterima akal sehat. Jika pelaku betul-betul ingin membela kepentingan Muslim Rohingya tentu bukan jalur kekerasan yang dipilihnya. Mengapa? Karena kekerasan tidak pernah menyelasaikan masalah, malah akan mempersulit keadaan dan justru menambah masalah baru. Penyelesaian masalah Rohingya hanya dapat dilakukan melalui diplomasi politik yang demokratis dan dialogis dengan pihak-pihak yang berwenang serta melibatkan kelompok Rohingya secara langsung. Saya yakin umat Islam dan umat beragama pada umumnya di Indonesia sudah cukup dewasa dan tidak mudah terprovokasi oleh aksi biadab seperti itu. Mari kita semua menjaga kesatuan dan persatuan di antara sesama warga bangsa sehingga kita tidak mudah dipecah-belah oleh siapapun dan untuk kepentingan apa pun, termasuk kepentingan yang mengatasnamakan agama. Sebagai Muslim. Saya amat yakin bahwa Islam diturunkan untuk menebarkan rahmat bagi semua manusia, bahkan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Ajarannya mengandung nilai-nilai universal yang meliputi semua aspek kehidupan manusia. Islam amat menonjolkan prinsip kesetaraan dan kesederajatan manusia. Seluruh ajarannya mengedepankan persamaan nilai dan derajat kemanusiaan (Q.S. al-Hujurat, 49:13). Kalaupun dalam realitas, terlihat ada perbedaan di antara manusia, perbedaan itu tentu tidaklah dimaksudkan untuk saling menindas, menyakiti dan memusuhi. Perbedaan adalah sunnatullah untuk tujuan luhur dan ideal, yaitu saling mengenal agar timbul saling pengertian (mutual understanding), dan sekaligus menjadi ajang kompetisi berbuat amal kebajikan menuju takwa. Manusia hanya dibedakan dari segi prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa, hanya Allah semata berhak menilai, bukan manusia. Manusia cukup berfastabiqul khairat, berkompetisi untuk berbuat amal sebanyak mungkin dan kemudian menyerahkan penilaian amal tersebut hanya kepada Allah swt. Demikian ajaran yang termaktub dalam teks-teks suci ajaran Islam. Baik dalam Al-Quran maupun hadis Nabi. Ajaran Islam, seperti termuat dalam Al-Quran, sarat dengan nilai-nilai yang dapat dikembangkan sebagai basis perdamaian, kerukunan dan toleransi. Mari simak ayat berikut: Jika Tuhanmu menghendaki tentunya semua manusia yang ada di muka bumi akan beriman. Lalu apakah kamu berkeinginan memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri untuk beriman? (Yunus, 10:99). Ayat ini menyadarkan Nabi Muhammad saw, betapa beliau sendiri tidak berpretensi memaksa manusia untuk menerima dan
Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religion for Peace), Anggota Komisi Bidang Kebudayaan AIPI
1

mengamalkan ajaran Islam. Ayat itu jelas mengecam perilaku kekerasan, termasuk kekerasan berbasis agama, apa pun alasannya. Akhirnya, apa yang harus dilakukan? Paling tidak ada tiga hal: Pertama, perlu upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama pendidikan dalam keluarga. Namun, juga penting dalam lembaga pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal di masyarakat. Tujuannya, mengubah masyarakat; dari kecenderungan eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju sikap dan perilaku inklusif, toleran, cinta damai dan bersikap pluralis. Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya sikap damai dan saling menghargai di antara sesama warga. Ketiga, reinterpretasi ajaran agama sehingga yang tersosialisasi di masyarakat hanyalah interpretasi agama yang mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, kedamaian dan toleransi, serta membebaskan manusia dari semua belenggu kebencian dan kekerasan. Dalam konteks melakukan tiga hal inilah ibadah puasa Ramadhan menjadi sangat signifikan. Puasa hakikatnya adalah sebuah mekanisme kontrol diri agar manusia lebih mengedepankan sisi kemanusiaan yang sejati. Puasa akan mempertajam rasa empati, peduli dan memihak kelompok tertindas, lebih toleran, dan cinta kasih kepada sesama manusia dan juga kepada semua mahkluk, termasuk menjaga kelestarian lingkungan. Membiasakan puasa dalam kehidupan keluarga akan mengeliminasi rasa permusuhan dan kebencian, sebaliknya memupuk rasa cinta dan kasih sayang di antara anggota keluarga sehingga selalu tercipta suasana harmoni dan bahagia. Dalam kehidupan sosial, puasa akan membuat para pengambil kebijakan merumuskan undang-undang dan kebijakan publik yang memihak kelompok rentan dan bermanfat bagi semua warga tanpa diskriminasi sedikit pun. Puasa yang hakiki akan menuntun para pemuka agama menyuarakan interpretasi agama yang damai dan sejuk, serta akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Puasa akan membuat para penyelenggara negara lebih pro-aktif melindungi warganya dan menjamin mereka terbebas dari semua bentuk kekerasan. Masalahnya, apakah puasa yang esensinya adalah kontrol diri telah dilakukan dengan cara yang benar? Ataukah yang terjadi hanyalah sekedar memindahkan jam makan dan minum? Wallahu alam bi al-shawab.

You might also like