You are on page 1of 8

BERBAHASA DENGAN PENDEKATAN PSIKOLINGUISTIK

Oleh
Widiatmoko
E.: moko.geong@gmail.com
W.: http://widiatmoko.blog.com

Setiap makhluk hidup memiliki cara tertentu dalam berkomunikasi dengan


sesamanya. Manusia biasanya melakukan komunikasi dengan menggunakan
bahasa. Binatang memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi dengan
sesamnya.
Eksperimen yang dilakukan oleh Yerkes dalam Vygotsky (1982) terhadap
simpanse menunjukkan bahwa binatang sejenis simpanse tidak memiliki sistem
bahasa seperti yang dimiliki oleh manusia. Menurutnya, kemampuan berbicara
membutuhkan kemampuan menggunakan intelek dalam berbagai situasi.
Kemampuan ini dimiliki oleh manusia, tetapi tidak ada tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa simpanse memiliki kemampuan semacam ini. Kekurangan
inilah yang merupakan perbedaan utama antara intelek manusia dan simpanse.
Ditambahkan olehnya bahwa pikiran dan bahasa memiliki hubungan yang erat.
Ini tidak dimiliki oleh simpanse. Percobaan yang dilakukan oleh Koehler dalam
Vygotsky (1962) terhadap simpanse juga memberikan informasi bahwa simpanse
hanya bisa menirukan sesuatu yang dicontohkan dan melakukan sesuatu yang
sudah menjadi kodratnya, tetapi tidak bisa mengembangkan atau menghasilkan
sesuatu yang baru selain yang dilatihkan. Dengan kata lain, simpanse tidak
memiliki daya imajinasi seperti yang dimiliki oleh manusia. Padahal daya
imajinasi, menurut Vygotsky, penting dalam memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi. Keterbatasan daya imajinasi inilah yang merupakan ciri utama
dari perilaku intelek simpanse. Jadi, kemampuan berbahasa simpanse sangat
terbatas karena keterbatasan intelek dan terutama karena kekurangan daya
imajinasi. Sebaliknya, manusia memiliki kedua unsur ini sehingga membuat
mereka mampu mengembangkan bahasa sesuai dengan konteks dan situasi
(Vygotsky, 1962)
Manusia, menurut Goleman (1996) dalam Semiawan (1997) memiliki akal
yang pada hakikatnya dibagi menjadi dua jenis kehidupan mental, yaitu yang
ditandai oleh aspek rasio yang bersumber dari kepala dan diukur oleh IQ; dan
yang ditandai oleh aspek emosional yang bersumber dari hati yang diukur
dengan EQ (Semiawan, 1997).
Secara lebih spesifik, Chomsky telah membuat diferensiasi antara
penguasaan bahasa manusia dan lainnya. Dia mengatakan ‘Having mastered a
language, one is able to understand an indefinite number of expressions that are new to
one’s experience, that bear no simple physical resemblnce and are in no simple way
analogous to the expressions that constitute one’s linguistic experience; and one is able,
with greater or less facility, to produce such expressions on an occasion, despite their
novelty and independently of detectable stimulus configurations, and to be understood by
others who share this still mysterious ability (Chomsky, 1968).

Abilitas Berbicara
Krashen dan Terrel mengatakan bahwa bahasa dikuasai melalui
pemerolehan dan belajar. Pemerolehan dan belajar bahasa pertama biasanya
dikaitkan dengan penguasaan bahasa ibu secara alamiah, sedangkan yang kedua
dikaitkan dengan penguasaan bahasa selain bahasa ibu secara sadar (Krashen
dan Terrel, 1983). Hockett (1954) sebagaimana dinukil oleh Jusczyk mengatakan
bahwa bahasa melibatkan dua pola, yaitu: on the one hand, there are patterns that
pertain to the way that sounds are organised; on the other hand, there are patterns that
relate to how meanings are organised (Jusczyk, 1997). Fries mengatakan bahwa
untuk menguasai suatu bahasa harus dimulai dengan yang lisan atau ucapan
karena ini merupakan dasar dari penguasaan suatu bahasa, sedangkan yang
tulisan hanya sebagai pelambangan kedua dari suatu bahasa (Fries, 1945). Secara
lebih tegas lagi, dikatakan bahwa untuk menguasai suatu bahasa tidak perlu
membaca, tetapi sangat diragukan apakah seseorang betul-betul bisa membaca
dalam suatu bahasa tanpa menguasai bahasa itu secara lisan lebih dahulu. Sebab,
manakala dirunut dari riset yang dilakukan oleh Jusczyk, persepsi
perkembangan bahasa dimulai sejak masa anak-anak. Dari sinilah bahasa
berkembang. Dia mengatakan ‘The picture that seems to emerge from development
studies of speech perception is that infants begin with a language-general capacity that
provides a means for discriminating potential phonetic contrasts in any of the world’s
languages and then winnow the set of contrasts to the ones most relevant to the native
language (Jusczyk, 1997).
Oller mengatakan bahwa kemampuan berbicara atau berbahasa lisan itu
lebih penting karena itu dapat menggambarkan kemampuan berbahasa
seseorang. Manakala seseorang tidak bisa menulis, dia masih dapat dianggap
pandai berbahasa karena kemampuan berbicara lebih mendasar (Oller, 1979).
Gatenby (1972) juga mengatakan bahwa kemampuan berbicara merupakan dasar
utama dari semua kemampuan berbahasa. Pendapat-pendapat mereka ini juga
sejalan dengan pendapat Bloomfield (1933) dan Gleason (1961) yang sama-sama
menekankan pentingnya bahasa lisan daripada bahasa tulis. Para ahli menyadari
bahwa perkembangan bahasa lisan lebih disebabkan oleh bagaimana seorang
pemeroleh bahasa ketika masih anak-anak. Menurut Jusczyk ‘For one thing, these
capacities may provide infants with a rough categorisation of the information that is
available in the input. The capacities allow for some generalisation across utterances by
different talkers and at different speaking rates. Grouping utterances according to salient
acoustic and/or general phonetic dimensions may permit infants to observe the
frequencies with which certain kinds of speech sounds appear in the input. Eventually,
discrepencies noted among the categories could be a factor that leads to some scutiny of
particular utterance types, resulting in some reorganisation of the categories themselves
the point is that any innate or early capacities that infants possess should allow them to
begin to make sense of sound patterns in the input and help them to detect any inherent
regularities that are present (Jusczyk, 1997).
Lado mengartikan kemampuan berbicara sebagai kesanggupan
mengekspresikan situasi kehidupan pembicara sendiri atau kesanggupan untuk
bercerita, melaporkan sesuatu, dan mengungkapkan sesuatu dengan lancar
(Lado, 1961). Sedangkan, Harris mengatakan bahwa kemampuan berbicara tidak
hanya ditunjang oleh berfungsinya alat-alat bicara dalam proses penyandian
suatu ujaran, tetapi juga oleh cara bagaimana ujaran dengan tepat dapat
diujarkan dan diterima oleh pendengar (Harris, 1969). Di samping itu, dalam
berbicara yang penting diperhatikan adalah penguasaan ucapan termasuk
unsur-unsur segmental, vokal, tekanan, intonasi, kosakata, dan penguasaan
materi yang dibicarakan.

Ihwal Berbicara
Para pakar bahasa membedakan antara percakapan dan bicara. Ada yang
berpandangan bahwa dalam bicara terjadi percakapan yang monolog karena
tidak ada interaksi resiprokal, sedangkan dalam percakapan terjadi interaksi
resiprokal, berlangsungnya proses alih peran dari yang satu ke yang lainnya.
Percakapan bertujuan untuk melakukan saling tukar informasi, menciptakan dan
memelihara hubungan sosial seperti persahabatan, membicarakan status dan
peran-peran sosial, dan memutuskan dan melaksanakan tindakan-tindakan kerja
sama. Keberhasilan strategi komunikasi bergantung pada kemauan orang lain
(pendengar) untuk memahami dan pemahaman yang mereka berikan terhadap
maksud yang diberikan oleh pembicara (Savignon, 1983).
Seperti diketahui bahwa sistem kaidah tentang kemampuan berbahasa
adalah bersifat takteramati. Sistem ini yang oleh Chomsky (1965) disebut
kompetensi (competence) yang memerlukan suatu alat ukur yang mampu
mewakili pengetahuan yang takteramati tersebut. Oleh karena itu, tugas
terpenting dari teori bahasa adalah mengidentifikasi model yang mampu
mewakili pengetahuan berbahasa yang tak teramati tersebut. Dengan model
teoretik ini dirumuskan apa yang dimaksud dengan kemampuan berbahasa
yang takteramati itu dan bagaimana kemampuan yang takteramati tersebut
dapat menjadi teramati.
Model ini bersifat deskriptif yakni disesuaikan dengan faktor-faktor yang
diusulkan oleh literatur bahasa yang berhubungan dengan pembelajaran bahasa
asing/kedua. Faktor ‘belajar’ dan faktor ‘pemerolehan’ yang diusulkan Krashen
merupakan konsep pokok yang dibahas dalam model teoretik ini. Dalam hal ini,
dipadukan dengan teori ‘monitor’ Krashen.
Pada tampilan bahasa sejalan dengan pernyataan Krashen, dinyatakan
bahwa pengetahuan tentang kaidah-kaidah gramatika yang dipelajari oleh
pembelajar bahasa asing atau kedua berfungsi sebagai monitor atau pengontrol
sehingga proses dalam pengetahuan eksplisit atau pengetahuan yang diperoleh
secara kesengajaan atau sadar menjadi lamban. Model ini bersifat menjelaskan
yakni menerangkan efek dari faktor-faktor yang ada dalam model dan adanya
interaksi yang terjadi di antara faktor-faktor tersebut. Kedua faktor ‘belajar’ dan
‘pemerolehan’ bersifat komplemen, tidak bersifat terpisah. Pengetahuan
gramatika yang dipelajari secara formal di kelas dan sering digunakan untuk
mengontrol struktur kalimat dalam komunikasi nyata lambat laun akan menjadi
otomatis (acquired). Oleh karena itu, dianjurkan agar dalam pengajaran bahasa di
dalam kelas, gramatika diajarkan secara fungsional dalam bentuk ungkapan
kontekstual. Model ini bersifat prediktif yakni meramalkan hasil pembelajaran
bahasa asing/kedua dengan cara memperhitungkan kondisi-kondisi yang ada
dalam model pembelajaran bahasa asing/kedua ini.
Hasil belajar yang diramalkan dibagi menjadi dua macam, yaitu yang
bersifat spontan dan yang bersifat kesengajaan. Hasil belajar yang bersifat
spontan dihasilkan melalui pemerolehan bahasa alami dalam kondisi yang tidak
disadari. Hal ini sebagaimana diungkapkan Subyakto, ‘pemerolehan B2 secara
alamiah atau spontan adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi
dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan guru.
Pemerolehan seperti ini tidak ada keseragaman dalam caranya sebab setiap
individu memperoleh B2 dengan caranya sendiri-sendiri (Subyakto-Nababan,
1992).
Krashen dan Terrel mengatakan tentang kealamiahan pemerolehan
bahasa kedua, yakni ‘language acquisition is the natural way to develop linguistic
ability, and is a subconscious process: children for example are not necessarily aware that
they are acquiring language, they are only aware that they are communicating’ (Krashen
dan Terrel, 1983). Sedangkan yang dimaksud komunikasi oleh Krashen dan
Terrel adalah sebagaimana diungkapkan oleh Klein ‘Whatever his actual
communicative competence at a given point in time, the learner is faced with two related,
but clearly different tasks: to utilise his actual and (for a long time) quite limited
repertoire in anoptimal fashion, in expressing himself as well as in understanding others
(his communication tasks); to approximate to the target language – i.e. the language as
used by the environment (his learning task)’ (Klein, 1986).
Kealamiahan pemerolehan bahasa juga pernah diungkapkan oleh
Steinberg, yakni ‘A second language can be learned under natural conditions. For
example, children who are taken to live in foreign countries may learn a second language
without formal instruction by associating with speakers of the foreign language, e.g.
playmates and household personnel’ (Steinberg, 1982).
Namun demikian, hasil belajar bahasa yang bersifat kesengajaan
melibatkan kondisi sadar dalam konteks formal. Hal ini lazim terjadi di sekolah
sebagaimana diungkapkan oleh Subyakto: ‘Ciri-ciri dari pemerolehan B2 seperti
ini adalah bahwa materi (seleksi dan urutan) tergantung pada criteria yang
ditentukan oleh guru (umpamanya, apa yang disebut ‘tingkat kesukaran’ bagi
pelajar), dan bahwa strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru juga sesuai
dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya (Subyakto-Nababan,
1992). Krashen dan Terrel melengkapi, ‘Language learning is ‘knowing about’
language, or ‘formal knowledge’ of a language’ (Krashen dan Terrel, 1983).
Untuk menunjang pembelajaran tersebut, Steinberg menyebutkan
karakteristik situasi pembelajaran: (1) psycho-social demands of classroom di mana
ruang kelas memerlukan penyesuaian pembelajar terhadap proses kelompok,
disiplin kelas, dan prosedur; (2) preselected language data di mana guru
mengenalkan butir bahasa target yang preselected untuk mewujudkan tujuan
pembelajaran sebagaimana tercantum di dalam kurikulum; (3) penyajian aturan
gramatikal dalam bahasa ibu agar pembelajar memahami, mengasimilasi, dan
menerapkan aturan yang lebih abstrak; (4) situasi terbatas taknyata; (5) alat
bantu untuk membantu belajar dan mencapai tujuan (Steinberg, 1982).
Sebagaimana disebutkan di atas, ada tiga pembagian model teori, yaitu
masukan, pengetahuan, dan keluaran. Masukan diartikan sebagai pajanan
bahasa di mana si pelaku bahasa itu terlibat langsung atau mengalami sendiri
peristiwa berbahasa yang terjadi. Informasi yang diperoleh oleh pelaku bahasa
disimpan ke dalam bentuk pengetahuan. Konstruk ini dibagi menjadi tiga
bagian yaitu pengetahuan implisit, pengetahuan eksplisit, dan pengetahuan lain.
Di dalam komunikasi nyata, bahasawan memproses ketiga pengetahuan tersebut
secara simultan, sadar maupun tidak sadar.
Secara operasional, pengetahuan implisit didefinisikan sebagai informasi
intuitif (innate) yang dioperasikan oleh pelaku bahasa untuk memproduksi dan
memahami respon pemahaman maupun respon produktif dalam bahasa
sasaran. Dalam pengetahuan implisit, bahasawan dapat menentukan apakah
suatu kalimat yang didengar atau dibaca atau diproduksi olehnya itu
berterima/tidak berterima. Selain itu, dalam pengetahuan implisit, disimpan
aturan-aturan bahasa yang memungkinkan bahasawan menggunakannya secara
spontan. Sedangkan pengetahuan eksplisit didefinisikan sebagai informasi yang
diambil secara sadar dari situasi dan konteks kebahasaan yang ada dalam suatu
peristiwa berbahasa. Dalam konstruk ini, disimpan aturan-aturan bahasa yang
kompleks yang perlu diolah terlebih dahulu melalui latihan formal maupun
fungsional agar dapat digunakan secara spontan.
Dalam konstruk pengetahuan lain tersimpan informasi kebahasaan yang
digunakan oleh manusia untuk membantu mempelajari bahasa asing/kedua.
Informasi tentang kebudayaan yang berhubungan dengan bahasa, pengetahuan
tentang aturan-aturan tata bicara dan sopan santun berbahasa bernaung di
dalam pengetahuan lain.

Kompetensi Berbahasa
Kemampuan berbicara bahasa asing/kedua tidak hanya melibatkan
kaidah-kaidah bahasa, tetapi juga melibatkan kebiasaan untuk menggunakan
bahasa tersebut. Kebiasaan menggunakan ini selalu mengandung tujuan. Tujuan
ini tidak selalu sama dengan bentuk kalimatnya. Kalimat ‘udara panas’ sebagai
‘pernyataan’ oleh Hymes dinamakan kemampuan gramatika, dan sebagai
‘ungkapan untuk meminta orang membuka jendela’ dinamakan kemampuan
sosiolinguistik (Hymess, 1979). Kedua pengetahuan ini oleh Widdowson (1978)
dinamakan sebagai istilah usage dan use. Usage merujuk pada kemampuan
gramatika yakni kemampuan dalam menguasai bentuk struktur bahasa,
sedangkan use merujuk pada kemampuan komunikatif yakni kemampuan untuk
menerapkan unsur-unsur gramatika pada situasi dan kondisi yang benar dan
sesuai dengan konteks kebahasaan yang ada.
Rivers (1973) sebagaimana dikutip oleh Paulston mengatakan bahwa
kompetensi komunikatif adalah sama dengan ungkapan spontan dan ia khas
bagi para psikolinguis yang menggunakan istilah ini sebagai kemampuan untuk
menampilkan interaksi linguistik ke bahasa sasaran (Paulston, 1992). Ini berarti
bahwa mengkomunikasikan sesuatu dengan menggunakan bahasa merupakan
upaya untuk merepresentasikan pengalaman pribadi atau luar dengan kaidah-
kaidah bahasa yang bisa berterima oleh pendengar. Sebagaimana dikatakan oleh
Gumperz (1971) dalam Paulston, ‘Effective communication requires that speakers and
audiences agree both on the meaning of words and on the social import or values attached
to choice of expression… We will use the term social significance or social meaning to
refer to the social values implied when an utterance is used in a certain context’
(Paulston, 1992).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi berbahasa adalah kompetensi yang dimiliki seseorang untuk
memilih bentuk bahasa yangsesuai dan kemampuan untuk memahami pesan-
pesan komunikatif yang tersirat dari suatu bentuk bahasa. Sedangkan Shaw
mendeskripsikan kompetensi komunikatif adalah sebagaimana yang
diungkapkan oleh Canale (1983), Canale dan Swain (1980), Hymes (1972) yaitu
sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan, seperti fonologi,
sintaksis, kosa kata, dan semantik secara tepat di dalam komunikasi nyata (Shaw,
1992). Kompetensi komunikatif ini sebagaimana Canale (1983) dan Savignon
(1983) adalah yang diungkapkan oleh Shaw yaitu mencakupi kompetensi
gramatikal, sosiolinguistik, wacana, dan strategik. Namun yang diungkapkan
oleh mereka hanyalah sebagai aspek dan bukan komponen sebab di dalam
praktik performansi aspek-aspek tersebut tidaklah tampak secara bebas.
Sedangkan Chomsky yang dinukil Taylor (1988) dalam Shaw menyebutkan
kompetensi komunikatif hanya mencakupi pengetahuan (Shaw, 1992).
Selanjutnya Coseriu yang dinukil oleh Shaw mengembangkan pengetahuan dan
‘kemampuan untuk menggunakan’ sebagai kompetensi komunikatif (Shaw,
1992). Dia berpandangan bahwa kompetensi ini menentukan kemampuan
seseorang untuk berbicara secara koheren, logis, meyakinkan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, kompetensi berbahasa yang diharapkan adalah
kemampuan meminta dan memberikan informasi, berbicara tentang masa
lampau, dan masa yang akan datang, memberikan dan menolak pendapat,
menjelaskan sesuatu, berbicara tentang persamaan dan perbedaan,
membandingkan dan menentukan pilihan, serta melaporkan apa yang didengar,
dilihat, dibaca, dirasakan, dan menceritakan kembali segala sesuatu yang pernah
dialami di amasa lalu, dan sejenisnya.
Untuk itu kompetensi komunikatif sangat diperlukan karena ini bertailan
dengan penggunaan bahasa untuk berkomunikasi, dalam pengertian makna
yang disampaikan melalui bahasa tidak hanya dilihat dari sudut kebenaran
struktur semata, tetapi lebih dari itu pada makna yang dikaitkan dengan dimensi
sosial, yaitu sesuai dengan tujuan, situasi, dan konteks berbahasa.
Akhirnya, komunikasi yang diharapkan adalah sebagaimana yang
dikatakan oleh Johnson (1970) sebagaimana dikutip oleh Paulston
‘Communication requires interpeersonal responsiveness, rather than the mere production
of language which is truthful, honest, accurate, stylistically pleasing, etc., those
characteristics which look at language. Our end product is surely getting things done,
easing social tensions, goading ourselves into doing this or that, and persuading others to
do things. Communication arises when language is used as such interpersonal behavior,
which goes beyond meaningful and truthful manipulation of language symbols’
(Paulston, 1992).

Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi berbicara
adalah suatu kemampuan untuk menguasai bahasa manusia secara lisan yang
ditujukan untuk memahami sejumlah ungkapan yang diberikan oleh orang lain
dan mengungkapkannya pada situasi lain, mengekspresikan situasi kehidupan
pembicara atau merepresentasikan pengalaman pribadi pembicaranya dalam
bentuk kemampuan untuk meminta, memberikan informasi, berbicara tentang
masa lampau, sekarang, dan yang akan datang, memberikan dan menolak
pendapat, menjelaskan sesuatu, berbicara tentang persamaan dan perbedaan,
membandingkan dan menentukan pilihan, serta melaporkan apa yang didengar,
dilihat, dibaca, dirasakan, dan menceritakan sesuatu yang dialaminya, dan
sejenisnya.

Pustaka Acuan
Fries, C.C. 1945. Teaching and Learning English as a Foreign Language. Ann Arbor:
Michigan University.
Harris, David P. 1969. Testing English as a Second Language. New York: McGraw-
Hill.
Hymes, Dell. 1979. On Communicative Competence. Oxford: Oxford University.
Jusczyk, Peter W. 1997. The Discovery of Spoken Language. USA: Massachusetts
Institute of Technology.
Klein, Wolfgang. 1986. Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge
University.
Krashen, Stephen D. dan Tracy D. Terrel. 1983. The Natural Approach: Language
Acquisition in the Classroom. Oxford: Pergamon.
Lado, Robert. 1961. Language Testing. London: Longman.
Paulston, Christina B. 1992. Linguistic and Communicative Competence: Topics in
ESL. Great Britain: Longdunn.
Savignon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory and Classroom
Practice. USA: Addison-Wesley.
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.
Shaw, Philip. 1992. Variation and universality in communicative competence:
Coseriu’s model. Di dalam TESOL Quarterly Vol. 26/1. USA: TESOL Inc.
Subyakto-Nababan, Sri U. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Vygotsky, L.S. 1962. Thought and Language. Massachusetts: MIT.

You might also like