You are on page 1of 11

PENGEMBANGAN MATERI AJAR BAHASA INGGRIS

Oleh
Widiatmoko
E.: moko.geong@gmail.com
W.: http://widiatmoko.blog.com

Manakala seorang guru atau dosen hendak mengajarkan suatu materi ajar,
khususnya materi bahasa Inggris, kepada siswa atau mahasiswa, dia akan
berhadapan dengan ‘apa yang seharusnya’ (what should be) dan ‘apa yang ada’
(what it is). Batas di antara keduanya tidaklah terang, kecuali ketidakrataan dan
diskrepensi (discrepency) yang berupa problem yang mesti dipecahkan. Masalah
yang dimaksud adalah penyajian ‘apa’ yang seharusnya untuk menjembatani
kedua kutub ekstrim yang dimaksud.
Manakala seorang guru atau dosen hendak memberikan penyajian agar
tercapai apa yang seharusnya, dia akan menyentuh apa yang disebut ‘materi’.
Materi ini adalah suatu olahan yang memadu tujuan instruksional sebagaimana
silabus deskripsikan dan bagaimana olahan yang berada di dalam silabus
dimanifestasikan melalui materi serta penyajiannya. Capaian ini akan berupa
‘learning outcome’ (Gronlund, 1981).
Manakala seorang guru atau dosen berbicara dan setidak-tidaknya turut
melahirkan dan mengembangkan materi, dalam hal ini materi ajar bahasa
Inggris, perlulah dia mengajukan beberapa hal, yakni: (1) oleh siapa dan untuk
apa materi dikembangkan, (2) apakah materi tersebut kompatibel dengan silabus
yang mencakupi prosedur, teknik, dan penyajian, (3) bagaimana materi tersebut
memberikan pilihan tersendiri bagi pendidik atau pembelajar bertalian dengan
tugas-tugas, pola belajar, teknik penyajian, dan hasil yang diharapkan, (4)
keterampilan yang mana yang dicakup di dalam materi, (5) apakah keotentikan
jenis teks ada di dalam materi?, dan (6) bagaimanakah materi digunakan?

Subjek dan Objek Pengembangan Materi


Membicarakan tentang materi, pastilah seorang guru atau dosen akan
merujuk pada asal materi tersebut. Ia bermakna bahwa perkembangan materi itu
akan berakar dari siapa yang mengembangkan dan menggagasnya, selain dalam
bentuk apa materi itu muncul.
Sebelum mengupas dari mana materi berasal, di sini disodorkan tentang
bentuk materi itu sendiri. Secara umum, materi yang ideal akan memiliki dua
bentuk yakni materi komersial dan materi nonkomersial (Dubin dan Olshtain,
1986). Materi-materi yang nonkomersial berasal dari perancang materi itu sendiri
yang mana seorang perancang materi akan mengetahui seluk beluk pengajaran
dan memenuhi persyaratan. Persyaratan di sini adalah adanya uji coba dan
brainstorming terhadap materi itu kapada pembelajarnya dan peer-designer lain
yang mana tujuan holistik harus terliput di dalamnya.
Materi yang dikembangkan sendiri ini bisa berasal dari pendidik yang
telah berhasil di dalam mengembangkan materi untuk kebutuhan kelas secara
langsung dan terkandung hal-hal yang berupa gagasan besar, baik isi, penyajian,
maupun keotentikannya. Ia bisa muncul dari tenaga pengajar yang
mengembangkan keprofesionalannya melalui medium yang profesional. Ini bisa
berkembang untuk guru-guru atau pengajar di perusahaan atau institusi
pelatihan yang berkonsentrasi pada penanganan pengembangan materi dan
pengajarannya. Materi yang dikembangkan sendiri ini cenderung bersifat
tertutup dan manakala terbuka akan dijual dengan mahal yang lazimnya
melibatkan suatu institusi tertentu.
Sedangkan bentuk materi komersial adalah materi yang disajikan di
dalam buku teks yang mana penyelenggaranya adalah institusi tertentu. Teks-
teks ini mengacu pada kurikulum dan digunakan secara formal. Ini akan
ketinggalan beberapa langkah di belakang karena selain tidak visible juga kurang
berorientasi pada pasar.
Kenyataannya adalah hasil yang ada belumlah memuaskan dan
menimbulkan diskrepensi. Hal yang menyebabkan demikian adalah bahwa
materi yang dikembangkan sendiri (teacher-made) sering mengacu pada silabus
yang lebih aplikatif, yakni silabus komunikatif. Memang, silabus tersebut
merupakan bagian kecil dari berbagai silabus yang ada. Silabus ini, di dalam
desainnya, dibagi menjadi structural-functional, structures and functions, variable
focus, functional, fully notional, dan fully communicative (Yalden, 1983).
Perbedaan keduanya sudah jelas. Selain telah diuraikan di atas, penyajian
materi yang teacher-made lebih memprioritaskan pasar bisnis dan aplikasi
kegunaan atau untuk tujuan khusus. Materi ini didesain untuk berbagai tujuan,
seperti materi bahasa Inggris untuk kedokteran, bahasa Inggris untuk sekretari,
bahasa Inggris untuk perhotelan, dan sebagainya. Sedangkan materi yang
nonteacher-made bisa menyasar pada kebutuhan konsumen, seperti pengadaan
program TOEFL, IELTS, GMAT, dan sebagainya. Ini tentu disajikan, misalnya,
untuk memasuki perguruan tinggi di luar negeri yang mensyaratkan, atau untuk
tujuan lain dari konsumen itu sendiri.
Relasi Materi dan Silabus
Membicarakan materi tidak akan terlepas dari komponen silabus yang
merupakan roda di dalam pembelajaran di mana pembuat keputusan
menyampaikan informasi kepada guru, penulis buku, penguji, dan pembelajar
(siswa, mahasiswa) bertalian dengan program-program yang dimaksud.
Silabus merupakan nama lain dari kurikulum, atau bisa juga merupakan
perencanaan, garis-garis besar, dan lain-lain. Apapun namanya, ini merupakan
suatu dokumen yang secara ideal menggambarkan hal-hal, antara lain: apa yang
harus diketahui oleh pembelajar pada akhir suatu program, apa yang harus
diajarkan dan dipelajari selama program berlangsung, kapan materi diajarkan
dan seberapa jauh kemajuannya, bagaimana materi diajarkan, dan bagaimana
materi dievaluasi. Sedangkan materi yang merupakan kaitan yang begitu
signifikan dengan silabus harus memiliki kriteria-kriteria tertentu dan
mendasarkan pada latar penyajiannya di dalam kelas.
Karena begitu pentingnya peranan sebuah materi, kategori terhadapnya
yang begitu wajar terjadi, seperti: materi yang permanen (reference material),
materi yang cenderung pada tujuan utama (development of the lesson), dan materi
di luar materi (the unpreditable) (Wanjnryb, 1992).
Refleksi materi akan terjadi melalui subjek pembelajaran dan mencakupi
materi yang berasal dari pembelajar itu yang disebut whole-learner materials di
mana konsep yang mendasari munculnya konsep ini adalah berasal dari
pandangan terhadap pengajaran bahasa humanistik. Kriteria ini dimaksudkan
untuk bisa berarti bagi pembelajar dan ia meliputi hal-hal, seperti: materi yang
mengekspresikan tentang keadaan di luar kelas melalui bahasa, materi yang
mencerminkan realitas dunia, materi yang memberi kepeminatan bagi
pembelajar secara efektif, materi yang memberi kebebasan cara pandang
pembelajar dalam menentukan pilihannya, materi yang menjadikan interaksi
beramakna bagi pembelajar untuk tujuan komunikatif, dan materi yang memberi
kontribusi bagi pembelajar akan rasa aman dalam konteks pembelajaran
(Wajnryb, 1992). Oleh karena itu, bagaimana menjadikan materi yang tersaji
merupakan idealitas karena bagaimanapun juga bukanlah disebut learning
outcome yang baik suatu pembelajaran manakala ia tidak mencerminkan silabus
dan tidak menyajikan apa yang diharapkan.
Namun, sebagaimana Wajnryb sebutkan, tidaklah mustahil suatu materi
berubah meskipun silabusnya sama. Hal ini mencermati sifat suatu materi itu
sendiri, sebut saja apa yang disebut reference materials, di sini kita secara konstan,
longitudinal, dan kontinyu menggunakan materi yang dianggap baku. Suatu
contoh jenis reference material adalah materi-materi kemasan yang dimaksudkan
untuk program khusus, seperti TOEFL. Materi-materi ini juga bisa merupakan
suatu materi yang disebut development of the lesson, untuk menunjang kebutuhan
suplemen dari suatu pembelajaran.
Memang, materi adalah suatu objek abstrak yang dibawa ke dalam kelas
atau program sebagai suatu objek yang konkret sehingga cerminan dari keadaan
di luar kelas merupakan suatu refleksi yang mesti dilakukan dalam pengadaan
materi. Materi bisa merupakan resultan antara keadaan di luar sebagai realita
yang tergambar di dalam silabus dan idealita yang hendak terukur melalui
evaluasinya, yang diskrepensi antar-keduanya muncul di dalam pengadaan
materi tersebut. Memang materi yang baik balum tentu baik bagi pembelajar.
Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: ketidaksesuaian metoda
dan teknik penyampaian, ketidaksesuaian dengan realita, usang, dan
ketidakmampuan materi untuk diukur melalui evaluasi dan tidak valid bagi
pembelajar

Upaya Pengembangan Materi


Manakala kita menarik hipotesis, kita akan sadar bahwa sebenarnya
materi, betapapun bentuknya, akan menjadi hidup bagi pembelajar manakala
didukung oleh hal-hal, seperti: bentuk penyajian (metoda dan teknik), tugas
yang diberikan (individu, pasangan, kelompok), dan aktivitas di dalam kelas
(permainan, debat, dan sebagainya).
Hal-hal tersebut merupakan suatu konsep yang dipandang dari sisi
pendidik. Sebaliknya manakala dipandang dari sisi siswa, akan dijumpai hal-hal
yang esensial yaitu bahwa pembelajaran bahasa kedua/asing pada hakikatnya
adalah suatu proses konstruksi kreatif (creatif construction) (Littlewood, 1984).
Oleh karena itu, hal ini juga ditentukan oleh guru, artinya bagaimana
memberikan siswa peluang untuk berkreasi di dalam pembelajarannya. Di sini,
teknik, prosedur, materi, dan penyajian adalah faktor-faktor yang saling mengait.
Littlewood juga mengemukakan peranan pembelajaran bahasa sebagai
akulturisasi di mana keberhasilan seseorang adalah bergantung pada motivasi
terhadap kebutuhan komunikatif secara nyata yang meliputi kebutuhan
fungsional (functional needs) – penyampaian pesan tanpa salah paham – dan
kebutuhan sosial (social needs) – kegunaan di masyarakat (Littlewood,1984).
Kebutuhan-kebutuhan tersebut secara umum, bagi pembelajar, adalah untuk
menekankan proses berpikir tinggi, kreativitas, penguasaan literatur klasik,
produksi tulis dan lisan, serta telescoping ketrampilan dasar dalam paramasastra
(Semiawan, 1997).
Manakala ditarik suatu garis resultan, akan dijumpai kebutuhan
pembelajar pada garis horisontal dan penyajian materi pada garis vertikal di
mana resultan yang dihasilkan bisa berupa kepeminatan pembelajar terhadap
materi untuk memenuhi kebutuhan pembelajar serta harapan dari guru
sebagaimana termaktub di dalam silabus.

Cakupan Keterampilan
Manakala hendak menyisipkan atau menekankan keterampilan yang
semestinya tercakup di dalam materi, kita akan menggunakan pendekatan yang
tepat terhadapnya. Pengajaran bahasa secara komunikatif merupakan pergulatan
akumulatif dari pengajaran tradisional yang masih menekankan pada
pemahaman wacana tulis dengan pendekatan strukturalnya sebelum tahun 1960-
an. Pengajaran tersebut menekankan aspek faktif dan aspek emotif sebagai aspek
yang mesti ada di dalam keterampilan (Oller,1979). Pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan komunikatif bertujuan untuk komunikasi di mana di
dalamnya memiliki karakteristik, seperti pentingnya arti, adanya materi dialog
otentik, adanya penekanan lafal, pilihan materi untuk komunikasi, dan
sebagainya (Richards dan Rodgers, 1986). Tujuan pengajaran dengan pendekatan
ini sebagaimana konsep Hymes (1972) di dalam Richards dan Rodgers (1986)
adalah sebagai communicative competence. Konsep ini merupakan kelengkapan
konsep Chomsky (1965) di dalam Richards dan Rodgers (1986) yang menyatakan
bahwa teori linguistik terjadi antara pembicara-pembicara di mana satu sama
lainnya saling memahami dan tidak terpengaruh secara gramatikal di dalam
masyarakat. Pemahaman merupakan kunci dari konsep kompetensi komunikatif
itu.
Komunikasi awalnya merupakan suatu keterampilan produktif di
samping menulis. Sekarang ia berubah menjadi suatu kompetensi yang meliputi
keterampilan komunikatif itu sendiri dan keterampilan reseptif, seperti
mendengar dan membaca. Oleh karena itu, pendekatan penyajian materi
(pengajaran) akan mengacu pada integrasi berbagai keterampilan dalam bingkai
integrative approach. Materi dapat digunakan manakala keterampilan yang
tercakup di dalamnya dapat diimplementasikan ke dalam pendekatan
pengajarannya.

Teks Otentik
Keotentikan suatu materi yang diberikan kepada pembelajar merupakan
hal yang penting untuk dipertimbangkan. Hal ini disebabkan oleh bagaimana
membawa materi yang berasal dari luar kelas yang bersifat abstrak menjadi
konkret di dalam kelas. Tidak bisa dipungkiri seandainya penyajian di dalam
kelas sudah mengalami modifikasi. Salah satu yang pernah Krashen tawarkan
untuk aktivitas yang melibatkan keotentikan materi teramu dalam suatu dialog
yang melibatkan perasaan, reaksi, gagasan, dan pengalaman pembelajar dan
disebut affective humanistic activities (Krashen dan Terrell, 1983).
Berikut ini adalah bentuk aktivitas tersebut dalam bentuk dialog terbuka
untuk melibatkan kreativitas otentik:
(1)S1: Are you hungry?
S2: ...........................
S1: I think I’ll order a..... How about you?
S2: I’d prefer............
(2)S1: What do you like to do on Saturday?
S2: I like to...............
S1: Did you.............. last Saturday?
S2: Yes, I did.
Bentuk lain dari affective humanistic activities adalah penyajian materi yang
berupa wawancara. Kegiatan penyajiannya bisa berupa in-pairs, siswa-siswa,
atau guru-siswa. Pendidik pada awalnya memberikan suatu model ekspresi
jawaban dan kemudian kegiatan terbimbing dilakukan di mana pendidik
berfungsi sebagai supervisor.
Berikut adalah contoh materi wawancara:
What’s your name? My name is..........
Where do you live? I live in.................
Do you studi or work? I............................
Bentuk wawancara yang baik bisa berupa wawancara yang memfokuskan
kejadian yang menarik yang dialami oleh siswa, seperti:
When you were a child, did you have a nickname? What games did you play?
When during childhood did you first notice the difference between boys and girls?
What is something you once saw that gave you a scare?
Manakala kemudian kita membuat modifikasi materi otentik menjadi
terfokus dari sisi topik, kita bisa mengarahkan topik seperti:
What illness did you have as a child? Who took care of you? Did you have to stay
in bed for long periods of time? Were you often sick as a child? What is the most
serius illness you ever had?
Bentuk lain dari affective humanistic activities adalah preference ranking. Di
sini, materi diberikan kepada seluruh pembelajar dan di dalamnya terdapat
pernyataan lead-in yang diikuti tiga atau empat respon alternatif, seperti:
My favorite summer activity is:
.....................swimming
.....................reading novels
.....................playing tennis
.....................cooking
Setelah materi dibagikan, aktivitas selanjutnya adalah pendidik mengadakan
pertanyaan seperti:
Who ranked swimming as number one? (Salah satu siswa yang
mengacungkan tangannya ditunjuk untuk kemudian diberi pertanyaan
lain) Where do you swim, (Aqila)? How often? When did you first learn to
swim? Have you ever swam competitively? Who else in the class swims a great
deal? (Bertanya kepada siswa yang lain).
Di atas adalah berbagai bentuk keotentikan materi yang menekankan
aspek keterampilan komunikatif dengan berbagai metoda penyajian.
Keotentikan materi juga bisa berupa penekanan aspek reseptif seperti
membaca dan mendengar, di samping aspek produktif lain, seperti menulis.
Keotentikan materi bagaimanapun juga haruslah disesuaikan dengan
kemampuan pembelajar berdasarkan level di mana mereka berada. Idealnya,
komunitas pembelajar di dalam suatu kelas harus memiliki kesamaan
kemampuan sehingga penyajian materi tidak akan mengalami distorsi kegiatan.

Penggunaan Materi
Pada dasarnya, setiap hal, sekalipun abstrak bentuknya, bisa dijadikan
materi dengan kreativitas seorang guru dalam mendesain materi yang hendak
diberikan. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana materi bisa
digunakan oleh guru. Menurut sejarah, para ilmuwan Amerika pernah
menerapkan metoda grammar translation method sebagai upaya untuk memahami
teks-teks kuno ketika belajar bahasa asing, khususnya bahasa Latin. Kemudian
berkembang, pembelajaran dan pengajaran bahasa asing tidak semata untuk
tujuan yang sama. Semakin kompleks kebutuhan suatu masyarakat bahasa
untuk mempelajari bahasa asing, semakin kompleks materi yang harus
dihadirkan. Semakin kompleks materi yang tersedia, semakin kompleks pula
materi akan digunakan.
Secara empirik, materi yang ada baik yang teacher-made atau textbook-
oriented dimaksudkan untuk keperluan yang ada bagi konsumen, pembelajar
bahasa. Manakala dikategorikan, di sana ada materi yang dimaksudkan untuk
tujuan umum (general) dan materi yang dimaksudkan untuk tujuan khusus
(specific). Penilaian antarkeduanya dimaksudkan untuk mendeskripsikan topik-
topik yang hendak disajikan termasuk komponen-komponen lain seperti
kosakata dan sebagainya. Namun pada prinsipnya adalah bagaimana pembelajar
menguasai suatu materi yang telah disediakan.
Penggunaan materi di dalam kelas akan bergantung pada metoda yang
digunakan. Sekarang, metoda mana yang paling tepat? Jawabnya akan
bergantung pada minat pendidik. Beberapa metoda pengajaran bahasa yang
dimaksudkan untuk mempermudah mendeskripsikan bagaimana materi
digunakan antara lain adalah sebagai berikut.
a. grammar-translation method
Metoda ini merupakan metoda tradisional yang dikembangkan sebagai
refleksi untuk belajar bahasa Latin dan Yunani bagi para ilmuwan.
Perkembangan selanjutnya dari metoda ini adalah perhatiannya terhadap
bahan bacaan yang merupakan sumber segala informasi yang hendak
diperoleh. Metoda ini jarang atau sama sekali tidak dipakai di dalam
pengajaran komunikatif dewasa ini (van Els, 1984).

b. direct method
Metoda ini merupakan perpaduan dari berbagai pendekatan dan teknik
pengajaran. Metoda ini muncul sebagai reaksi terhadap metoda grammar-
translation. Tujuan utama metoda ini adalah menekankan pada kemampuan
lisan dan ungkapan-ungkapan yang dihasilkan merupakan hasil dari objek
atau tindakan tertentu. Penggunaan bahasa pertama dalam pengajaran
dengan metoda ini patut dihindari. Metoda ini masih sering dipakai
meskipun tampak masih begitu terpisah dibandingkan dengan metoda yang
lebih integratif (van Els, 1984).

c. audioligual method
Metoda ini sebenarnya merupakan kelompok direct method sebab
penekanannya juga pada kemampuan lisan sebagai tujuan utama
pengajarannya (van Els, 1984).

d. total physical response


Metoda ini dimaksudkan untuk mengajarkan kemampuan berbicara pada
tingkat pemula. Sasaran yang hendak dicapai adalah latihan menerapkan
bentuk imperatif dalam tindakannya sebagai respon (Richards dan
Rodgers,1986).

e. natural approach
Metoda ini biasanya selalu bersamaan dengan pengajaran situational-based
di mana fokus pengajaran ini adalah pada kemampuan lisan dengan memakai
latar konteks sosial. Metoda ini hampir sama dengan direct method, namun di
dalam metoda ini ada beberapa karakteristik, seperti: materi disajikan secara
lisan, pengajaran disajikan secara lisan, bahasa target adalah bahasa yang
digunakan di dalam kelas, menyajikan suatu situasi, kosakata begitu penting,
gramatika diajarkan dari mudah ke sulit (Richards dan Rodgers, 1986).
Metoda ini begitu masyhur sebab bertalian dengan kebutuhan masyarakat
pembelajar bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Selain menggunakan
beberapa metoda pengajaran dalam rangka mempermudah suatu materi
diserap oleh pembelajar, juga ada beberapa aktivitas yang dilakukan
pembelajar yang merupakan kreativitas guru di dalam kelas. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut.
i. brainstorming (guessing games, finding connections, ideas from a central theme,
implications and interpretations).
ii. Organising activities (comparing, detecting differences, putting in order,
priorities, choosing candidates, layout problems, combining versions).
iii. Compound activities (composing letters, debates, publicity campaigns, surveys,
planning projects) (Ur, 1981).

g. communicative approach
Pendekatan komunikatif sebagaimana metoda audiolingual juga
mendapat dukungan dari teori-teori yang berkembang di Amerika dan Eropa.
Menurut Richards dan Rodgers (1986), ada dua hal yang ikut mempengaruhi
cepat lahirnya pendekatan ini, yaitu, pertama, berkurangnya popularitas
‘Metoda Lisan dan Situasional’ di Inggris akibat menurunnya dukungan dari
para ahli bahasa terhadap Metoda Audiolingual di Amerika pada
pertengahan 1960-an; dan kedua, meningkatnya saling kebergantungan
negara-negara di Eropa dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan
yang membuat para ahli bahasa berusaha mencarikan cara-cara yang tepat
untuk mengajarkan bahasa-bahasa utama di Eropa kepada orang-orang
dewasa.
Hymes (1972) telah melihat bahasa dari fungsi dan aspek sosial dengan
memunculkan konsep communicative competence yang diperlukan oleh seorang
pembicara dalam melakukan komunikasi secara efektif di dalam konteks sosial
budaya. Halliday (1975) mengembangkan suatu teori tentang fungsi bahasa yang
senada dengan pandangan Hymes. Menurut Halliday, ada tujuh fungsi bahasa
yaitu fungsi instrumental, fungsi untuk mengendalikan tingkah laku individu
lain, fungsi interaktif, fungsi pemecahan masalah, fungsi pribadi untuk
menyatakan perasaan, fungsi imajinatif, dan fungsi informatif.
Untuk mencapai tujuan kemampuan komunikatif, Littlewood (1983)
memberi perhatian pada fungsi bahasa dan struktur bahasa yang keduanya
dipandu ke dalam pandangan yang komunikatif. Secara lebih rinci, ia
membedakan dua kegiatan utama dalam upaya mengembangkan kemampuan
komunikatif, terutama dalam pengembangan kemampuan berbicara, yaitu
kegiatan komunikatif fungsional dan interaksi sosial. Secara operasional,
Littlewood mengelompokkan kegiatan komunikatif di dalam kelas menjadi
kegiatan prakomunikatif yang meliputi aktivitas struktural dan aktivitas semu-
komunikatif; dan kegiatan komunikatif itu sendiri yang meliputi aktivitas
fungsional dan aktivitas sosial. Penekanan dari dua kegiatan tersebut hanyalah
pada orientasi masing-masing kegiatan yang saling bergantung antarkaduanya.
Pengembangan kemampuan komunikatif bisa terjadi manakala
pembelajar memiliki motivasi dan kesempatan untuk mengungkapkan diri
dalam lingkungan masyarakat dengan suasana pembelajaran yang alamiah.
Kemampuan komunikatif seorang pembelajar dengan pendekatan pengajaran
komunikatif terhadap bahasa asing ini tidak akan meninggalkan kaidah-kaidah
gramatika bahasa tersebut yang juga merupakan bagian dari kebiasaan mekanik
pembelajaran bahasa. Latihan berkomunikasi dapat dilakukan tanpa menunggu
struktur dikuasai secara sempurna karena penguasaan struktur akan dapat
diperoleh secara bertahap manakala latihan berkomunikasi ini terus
berlangsung.
Dengan demikian, materi yang dianggap abstrak menjadi konkret, sukar
menjadi mudah, monoton menjadi bervariasi, dan sebagainya. Apapun
penyajian materi kepada pembelajar, itu akan dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti: teknik, metoda, pendekatan pengajaran, dan evaluasi. Di sampiang itu,
ia juga dipengaruhi oleh keragaman abilitas pembelajar, kesesuaian materi
dengan silabus/kurikulum, atau penekanan pada salah satu keterampilan. Oleh
karena itu, tugas seorang pendidik akan menjadi menantang manakala
kreativitas betul-betul diberi kesempatan untuk berkembang.

Simpulan
Di atas telah disajikan ihwal tentang materi pengajaran bahasa Inggris
dalam rekaan yang penulis kemukakan dengan cuplikan konsep ilmiah dan
praktik sebagaimana pengalaman penulis menyajikan kepada para pembelajar
bahasa Inggris. Modifikasi materi yang meliputi teknik penyajian, pendekatan,
pilahan materi, dan aktivitas di dalam kelas adalah elemen-elemen yang saling
padu. Ramuan yang diangkat berangkat dari konsep ilmiah dari para praktisi
linguistik terapan dan pengalaman secara empirik. Perpaduan inilah yang
menjadikannya menarik untuk dibaca.

Pustaka Acuan
Dubin, Fraida dan E. Olshtain. 1986. Course Design: Developing Programs and
Materials for Language Learning. Cambridge: Cambridge University.
Gronlund, Norman E. 1981. Measurement and Evaluation in Teaching. USA:
Macmillan.
Krashen, Stephen D. dan T.D. Terrel. 1983. The Natural Approach. Great Britain:
Pergamon.
Littlewood, William T. 1984. Foreign and Second Language Acquisition. Cambridge:
Cambridge University.
Oller, John W. 1979. Language Tests at School. London: Longman.
Richards, J.C. and T.S. Rodgers. 1986. Approaches and Methods in Language
Teaching. Cambridge: Cambridge University.
Savignon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory and Classroom
Practice. USA: Addison Wesley.
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.
Ur, Penny. 1981. Discussions that Work. Cambridge: Cambridge University.
van Els, Theo, et.al. 1984. Applied Linguistics and the Learning and Teaching of
Foreign Languages. Great Britain: Edward Arnold.
Wajnryb, Ruth. 1992. Classroom Observation Tasks. Cambridge: Cambridge
University.
Wright, Andrew. 1989. Pictures for Language Learning. Cambridge: Cambridge
University.
Yalden, Janice. 1983. The Communicative Syllabus: Evolution, Design, and
Implementation. Great Britain: Pergamon.

You might also like