You are on page 1of 13

“Who says what to whom via which channels with what effects?

” (The Methodology of
Content Analysis of Media Messages by Harold Lasswell, 1927)

SOSOK KYAI HAJI ABDUL WAHID HASYIM


Sifat Manusiawi Sang Tokoh di Mata KH. Syaifuddin Zuhri

KH. Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 juni 1914 di Tebuireng Jombang.
Membidani terbitnya majalah bulanan bernama “Suluh Nahdlatul Ulama” yang
diasuh dan dikemudikan dari tengah-tengah Pesantren Tebuireng. Majalah ini
menjadi mimbar dan sekaligus menara Nahdlatul Ulama (NU). Melalui penerbitan
majalah inilah, KH. Abdul Wahid Hasyim mengakui rasa simpatinya pada karya-
karya KH Saifuddin Zuhri yang tersebar di berbagai media NU seperti “Berita
NU” di Surabaya, Majalah bulanan “Suara Ansor NU” di Surabaya, Majalah
bulanan “Trompet Pemuda” terbitan Ansor NU Cabang Kudus, Majalah bulanan
berbahasa Jawa “Panggugah” diterbitkan Konsulat NU Banyumas dan Mingguan
“Pesat” yang berisi berita-berita politik populer di Semarang.

Dari sinilah KH A. Wahid Hasyim kemudian meminta KH Syaifuddin Zuhri untuk


menulis dalam “Suluh NU” yang diasuhnya. Selama hampir 3 kemudian KH
Syaifuddin Zuhri secara tetap, membantu menulis dalam “Suluh NU” hingga
dilarang terbit oleh pemerintahan militer Jepang pada tahun 1942 M.
Awalnya, KH. Abdul Wahid Hasyim berkiprah sebagai Ketua Lembaga
Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama pada tingkat Cabang Jombang, kemudian
melompat menjadi Ketua Pengurus Pusat Ma’arif NU dan berkantor di Surabaya.
Dalam

Mengenalnya Dekat

Semenjak berkenalan, KH Syaifuddin Zuhri sering sekali menyertai KH. A Wahid


Hasyim dalam perjalanan perjuangan, menghadiri pertemuan politik, mengunjungi
tokoh-tokoh ulama dan pemimpin pemimpin ormas dan lain sebagainya.

Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah,
PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.
Wahid Hasyim juga kemudain duduk pula dalam kepemimpinan Presidium
Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI
(Gabungan Partai Politik Indonesia).

Hampir seluruh kota-kota di pulau Jawa mereka singgahi salama zaman


pendudukan militer Jepang dan zaman Revolusi fisik (1945-1949), baik untuk
urusan politik maupun pertahanan TAir selama perang kemerdekaan.

Selama kurang lebih 14 tahun KH Syaifuddin Zuhri memperoleh kesempatan


untuk mengenal lebih dekat KH A. Wahid Hasyim. Sehingga KH A. Wahid
Hasyim telah memberi bekas mendalam bagi pertumbuhan karakternya sebagai
seorang pemuda yang berusia sekitar 25 tahun.

Perkenalan ini terus berjalan hingga 5 hari sebelum KH A. Wahid Hasyim wafat
pada tanggal 19 April 1953 dalam usia 39 tahun. Wafat ketika sedang malakukan
tugas selaku Ketua Umum Pengurus Besar NU (partai politik yang berusia 2 tahun
setelah memisahkan diri dari partai Masyumi).

Musibah itu terjadi tatkala KH A. Wahid Hasyim mengalami kecelakan mobil di


desa Cimindi dekat Cimahi Bandung dalam perjalanan menuju ke Sumedang.
Pada hari wafatnya KH A. Wahid Hasyim telah lebih dari 7 tahun menjalani puasa
sepanjang tahun, kecuali pada hari-hari yang dilarang oleh Islam untuk menjalani
puasa (Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Tasriq)

Makanan dan Pakaian

KH A. Wahid Hasyim termasuk orang besar yang tidak pernah menyusahkan diri
maupun orang lain dalam masalah makanan. Tentang makanan Nabi Besar
Muhammad SAW bersabda, ”Kami adalah golongan orang-orang yang makan bila
merasa lapar dan jika makan pun tidak sampai kenyang.”

Jika kebetulan dalam perjalanan KH A. Wahid Hasyim harus makan dalam sebuah
restoran dan memesan berbagai jenis makanan ”kelas berat” aneka ragam, maka
tujuannya hanyalah untuk menyenangkan teman dalam perjalanan. Termasuk bila
di rumah, hanyalah untuk menghormati tamu saja.

Pada suatu hari KH Syaifuddin Zuhri menyertai KH A. Wahid Hasyim dalam


suatu perjalanan perjuangan ke daerah Jawa Barat. Seharian penuh keduanya
disibukkan dengan acara-acara yang sangat padat, sekalipun demikian, KH A.
Wahid Hasyim tetap berpuasa (sunnat). Ketika tiba di hotel, waktu sahur telah
datang, sementara KH Syaifuddin Zuhri baru menyadari kelengahannya. KH
Syaifuddin Zuhri lupa menyediakan santapan sahur bagi KH A. Wahid Hasyim.

Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas
teh bagian KH Syaifuddin Zuhri ketika sore. Dengan sebutir telur dan segelas teh
itulah KH A. Wahid Hasyim bersahur. Padahal bila KH A. Wahid Hasyim mau
lebih dari itu, KH Syaifuddin Zuhri masih bisa membelikannya di sebuah warung
dekat hotel yang masih melayani para pembeli. Di sana masih bisa dipesan nasi
goreng, sate ayam, gado-gado dan sebagainya.

Namun KH A. Wahid Hasyim tidak memperdulikan tawaran KH Syaifuddin Zuhri.


Jawaban KH A. Wahid Hasyim hanya, ”Ah besok toh lapar juga sepanjang hari.”
Sebutir telur itu bahkan hendak dibagi dengan KH Syaifuddin Zuhri, demi
”keadilan Sosial” katanya. Tetapi tentu saja KH Syaifuddin Zuhri tolak, toh KH
Syaifuddin Zuhri tidak selalu puasa sunnat serutin KH A. Wahid Hasyim. Sambil
menyelesaikan sebutir telur yang satu-satunya untuk sahur itu KH A. Wahid
Hasyim berucap, ”Kita berlapar-lapar supaya tidak melupakan nasib kaum lapar,”
yang dimaksud adalah pada hari kiamat kelak.
Sementara dalam hal berpakaian, KH A. Wahid Hasyim berpendirian, tidak asal
berpakaian! Itu sebabnya KH A. Wahid Hasyim selalu berpenampilan necis dan
harmonis. Di kalangan yang mengerti seni berpakaian ,K.H.A Wahid Hasyim
termasuk bergolongan well dressed selalu rapih dalam berpakaian. Kualitas
maupun warna baju, kemeja, dasi, celana, hingga sepatu dan kaos kaki selalu
serasi, sedap dipandang. Begitu pula jika mengenakan kain sarung, kombinasi
antara baju kemeja dan sarungnya mempunyai daya pikat dan mendatangkan rasa
hormat. Warna-warna pakaian yang menjadi kegemarannya selamanya kalem,
meskipun sesekali ada variast, namun tidak menimbulkan ‘kejutan’.
Pernah KH Syaifuddin Zuhri menanyakan tentang ”falsafat” berpakaiannya, maka
jawabannya adalah, ”Tugas kita menjalankan misi perjuangan ini adalah untuk
menarik simpati orang banyak. Jika mereka belum tertarik pada ide atau gagasan
kita, biarlah sekurang-kurangnya mereka tertarik pada kepribadian kita. Nah,
berpakaian yang menyenangkan dalam pandangan orang, akan menimbulkan
kesan mengenai kepribadian kita,” terang KH A. Wahid Hasyim.

KH A. Wahid Hasyim berpakaian dengan disertai cita rasa dan daya insting yang
begitu kuat. KH A. Wahid Hasyim tahu benar mengenai kecocokan antara situasi
dan keserasianpakaianny a. Mengerti tentang menggunakan setelan celana, dan
setelan sarung dalam waktu yang tepat.

Pada suatu hari KH A. Wahid Hayim diundang Bung Karno ke Istana Presiden di
Yogyakarta. Di sana telah berkumpul Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus salim, Mr.
Muhammad Yamin, dan tokoh nasional lainnya. Perundingan politik sedang
berlangsung berhubung atau situasi tanah air. Tiba di Istana Presiden, KH A.
Wahid Hasyim langsung bercengkrama dengan yang tengah menantikan
kedatangannya. Sedangkan KH Syaifuddin Zuhri yang mendampinginya duduk
bersama para ajudan dan pengawal dalam jarak 20 meter. Tiap kali KH A. Wahid
Hasyim mengemukakan pendapatnya dalam diskusi, maka para pejabat tinggi
negara itu tergelak tertawa sebagai tanda persetujuan dalam suasana gembira.

Setelah kira-kira satu jam, pertemuan para pemimpin itu pun usai. KH A. Wahid
Hasyim cepat-cepat meninggalkan mereka, meskipun tampaknya para koleganya
ini masih hendak menahan agar bisa bercengkerama lebih lama lagi. Terasa adanya
suasana kangen antara satu dengan lainnya. Tetapi KH A. Wahid Hasyim cepat-
cepat menuju mobilnya. Dalam mobil KH Syaifuddin Zuhri menanyakan,
mengapa menghadiri pertemuan tingkat tinggi itu, KH A. Wahid Hasyim cuma
mengenakan sarung saja? Maka KH A. Wahid Hasyim menjawab, ”Kedatangn
saya bukan karena atas keinginan saya, melainkan atas permintaan mereka. Buat
mereka tidak menjadi persoalan pakaian yang saya kenakan. Kecuali itu saya
sengaja memakai sarung untuk mengangkat harkat kaum bersarung!” Kemudian
KH A. Wahid Hasyim menyambung pernyataannya, ”Para kyai kadang-kadang
tidak dihargai oleh mereka yang sok intilektual hanya karena sarungnya. Padahal
lihatlah, Ki Sarmidi Mangunsarkoro selalu mengenakan sarung, padahal beliau
menteri P dan K!” tandas KH A. Wahid Hasyim.

Membaca Buku

KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.
Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-
tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid
Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa
Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku
ilmiah saat itu.

Meskipun tidak pernah sekolah formal di bangku sekolah pemerintah Belanda,


sejak dari tingkat dasar sekalipun, namun KH A. Wahid Hasyim telah mulai
belajar menulis dan membaca huruf latin sejak dini secara self studie. Dari cara
belajar non formal inilah KH A. Wahid Hasyim mampu mempelajari berbagai
buku dalam bahasa Belanda dan Inggris.

Menurut cerita yang dituturkan kepada KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid


Hasyim merupakan pelanggan tetap sebuah perpustakaan di kota Surabaya. Tidak
seperti orang kebanyakan yang datang keperpustakaan dengan memilih judul yang
telah disiapkan dari rumahnya, KH A. Wahid Hasyim membaca buku apa saja
tanpa memilih judul. Mengambil secara berurutan, buku-buku yang tersusun di rak
hingga seluruh buku habis dibacanya. Karenanya, tidaklah mengherankan jika KH
A. Wahid Hasyim mengetahui pengetahuan umum di bidang sejarah, pengetahuan
alam, filsafat, politik, ekonomi, seni budaya, dan lain-lainnya.

KH A. Wahid Hasyim mengkritik orang-orang terpelajar yang tidak peka terhadap


masalah-masalah kemasyarakatan. Menurut KH A. Wahid Hasyim, mereka hanya
bisa membaca buku-buku kecil dalam huruf-huruf kecil a-b-c-d atau alif-ba-ta-tsa,
tetapi tidak bisa membaca buku-buku besar dengan huruf-huruf besar. Yang
dimaksudkan di sini adalah kebanyakan orang pandai tidak mampu membaca
tanda-tanda (fenomena) yang sedang bergejolak dalam masyarakat.
Dalam memori KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim menganggap bahwa
membaca sejarah amatlah penting, tetapi jauh lebih penting lagi adalah membuat
sejarah itu sendiri, atau setidak-tidaknya ikut membuat sejarah.

Bagi KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim telah membuktikan


anggapannya ini. KH A. Wahid Hasyim telah terlibat dalam serangkaian tokoh-
tokoh yang menjadi ujung sejarah kelahiran Indonesia bersama-sama dengan Ir.
Soekarno, Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. AA
Maramis, Mr. Muhammad Yamin, Abikousno Cokrosuyoso dan KH. Abdulkahar
Muzakkir dalam menyusun Jakarta Charter tertanggal 22 juni 1945 yang akhirnya
manjelma menjadi pembukaan UUD 1945.

Pendidikan Agama

Pendidikan agama KH A. Wahid Hasyim diperoleh secara langsung dari asuhan


ayahandanya, KH Hasyim Asy’ari, ulama terbesar Jawa pada zamannya.
Lingkungan Pesantren Tebuireng dengan sendirinya merupakan faktor yang sangat
penting di dalam menempa jiwa dan semangat KH A. Wahid Hasyim. Kecerdasan
otaknya sangat menolongnya dalam mengembangkan jiwa kritis yang
mendambakan kemajuan.

Sekedar contoh, konon sewaktu masih kanak-kanak, KH A. Wahid Hasyim gemar


bermain main di halaman Masjid, dekat serambi tempat ayahandanya mengajar
para santri. Meskipun tampaknya perhatian KH A. Wahid Hasyim kala itu hanya
terpusat pada permainannya bersama teman-temannya, namun uraian kata sang
ayah yang tengah mengajar itu dapat ditirukan serta merta sambil asik bermain-
main.

KH A. Wahid Hasyim kecil mulai belajar bahasa Belanda sambil asyik bermain
main dengan teman-temannya. Daya tangkap serta kecerdasan menjadikannya
mudah mempelajari bahasa Belanda. Bukan saja”berguru” kepada Imam Sukarlan
(guru prifatnya), namun KH A. Wahid Hasyim juga berguru kepada santri-santri
lain yang mahir berbahasa Bseperti Abdul Aziz Diyar yang merangkap guru juga
sebagai di Pesantren Tebuireng.

Menginjak usia sekitar 20-an tahun, KH A. Wahid Hasyim telah mulai sering
membantu KH Hasyim Asy’ari menyiapkan kurikulum dalam pesantren dan
menjawab surat-surat ayahandanya dalam bahasa Arab. Surat-surat ini banyak
diterima dari para ulama di berbagai pelosok tanah air yang menanyakan beberapa
masalah hukum Islam aktual yang sedang menjadi topik hanyag di masyarakat.
Namanya mulai dikenal masyarakat seiring seringnya KH A. Wahid Hasyim
mewakili ayahandanya menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah maupun
ceramah-ceramah atas undangan pesantren-pesantren di daerah lain.

Kegemarannya KH A. Wahid Hasyim adalah menelaah kitab-kitab agama di


bidang fikih, akidah, tafsir, tasawuf, serta buku-buku berbahasa Belanda dan
Inggris. Di tengah kesibukannya sebagai seorang pemimpin tingkat nasional, yang
hari-harinya dipenuh dengan acara-acara politik dan perjuangan, namun bila tiba
waktunya menghafal Al-Qur’an maka disisipkanlah waktu beberapa menit untuk
menghafal Al-Qur’an. Bahkan saat sedang menghadiri sidang kabinet atau sedang
menyetir mobil sekalipun.

Mulia dan Sederhana

KH A. Wahid Hasyim telah memiliki sifat mulia sejak kecilnya. Sikap mulia dan
sederhana ini tetap disandangnya hingga dirinya telah menjadi menteri negara. KH
A. Wahid Hasyim tetap menulis surat-surat yang diketik sendiri kepada teman-
temannya, baik yang masih sering berjumpa, apalagi yang sudah jarang bersua.
Surat-suratnya biasanya berisi anjuran mempererat tali persaudaraan, paparan
perkembangan masyarakat dan menasehatkan cara-cara menghadapi situasi
terkini.

Surat-surat yang datang dari teman-teman maupun orang yang tak dikenalnya,
selalu diperhatikan dan dijawab seperlunya. Diceritakan dalam suatu surat, si
pengirim menyatakan dirinya adalah seorang petani miskin yang diperlakukan
tidak adil oleh pamong desanya. KH A. Wahid Hasyim sangat antusias menerima
surat dari orang yang tak dikenal itu, diambulnya mesin ketik dan seketika itu pula
ditulis jawabannya dengan pendek.

”Surat Saudara sangat mengharukan saya. Harap dimaafkan, bahwa pada saat inii
saya belum sempat membalas surat Saudara. Insya Allah saya akan perhatikan
benar-benar. Bahkan saya berpikir akan datang kepada Saudara untuk turut
memecahkan persoalan Saudara. Wassalam”
Benar juga, di hari lain KH A. Wahid Hasyim datang ke daerah Kediri untuk
menjumpai si pengirim surat dan lalu datang kepada camat di daerahnya untuk
mencari jalan penyelesaiannnya. Akhirnya masalah si pengirim surat dapat
dipecahkan.

Sudah menjadi kebiasaan KH A. Wahid Hasyim, bila berkunjung kepada seorang


teman, selalu membawa oleh-oleh, baik berupa buah-buahan maupun sebungkus
kue dan rokok bila seorang yang dikunjungi adalah seorang perokok, meskipun
KH A. Wahid Hasyim sendiri tidak merokok. Di dalam sakunya selau ada korek
api untuk memberi api teman bicaranya yang hendak merokok.

Pada suatu hari, KH A. Wahid Hasyim bertandang ke rumah KH Syaifuddin Zuhri.


Seperti biasa jika KH A. Wahid Hasyim datang, maka kawan-kawan dan keluarga
KH Syaifuddin Zuhri pun ikut mengerumuninya. Setelah orang-orang bubar untuk
memberi kesempatan KH A. Wahid Hasyim beristirahat. KH Syaifuddin Zuhri pun
menyiapkan kamar tidurnya untuk bermalam.

Sementara KH Syaifuddin Zuhri dan istrinya menyiapkan kamar tidur untuk


tamunya ini, rupanya KH A. Wahid Hasyim justru asyik membersihkan meja yang
terserak-serak, gelas-gelas bekas minuman dan puntung-puntung rokok yang
ditinggalkan oleh para pengerumun sebentar tadi. KH A. Wahid Hasyim
merapikan meja dan kursi dari asbak tempat menaruh bekas punting rokok.
Sudah tentu KH Syaifuddin Zuhri amat terperanjat dan mencoba mencegah agar
KH A. Wahid Hasyim tidak usah mengerjakan hal-hal yang seharusnya dilakukan
oleh tuan rumah. Namun pada saat itu justru KH A. Wahid Hasyim menjawab
dalam bahasa Arab, ”Khalash,” (sudah selesai).

Menurut KH A. Wahid Hasyim, ”Orang-orang tua tidak usah dilihat dari ilmu
maupun kedudukannya, dari segi usia saja, orang yang lebih muda wajib
memuliakannya.

Dalam kamus KH A. Wahid Hasyim, cara menghadapi kesombongan bukanlah


dengan bersikap rendah hati. Menurut KH A. Wahid Hasyim orang-orang
sombong dan angkuh hanya mengenal satu bahasa, yakni kesombongan. Mereka
tidak mengenal rendah hati dan mengalah. ”Kita tidak usah menyombong, karena
terkena najis tidak boleh dibersihkan air najis! kepada mereka harus kita
perlihatkan bahwa diri kita adalah kuat dan sanggup mengalahkannya. Orang
sombong maupun zalim harus ditolong.” Cara menolong orang sombong yang
baiasa dipilih oleh KH A. Wahid Hasyim adalah dengan menyetop atau mencegah
agar seseorang tidak sombong atau dzalim lagi.

Profil Pendidik, Ulama, dan Negarawan

Sebagai seorang pendidik KH A. Wahid Hasyim termasuk seorang pembaharu


dalam lingkungan madrasah dan pesantren. Bagi KH A. Wahid Hasyim, metode
sekolah dapat diterapkan dalam pembaharuan madrasah dan pesantren tanpa
menghilangkan kepribadian yang menjadi ciri khas madrasah dan pesantren.
Pembaharuannya dilakukan secara bijaksana dengan menanamkan pengertian serta
kesadaran tentang arti penting pengoganiasaian (manajemen) yang baik. Pesanten
sebagai dunia santri berbeda dengan perguruan tinggi atau sekolahan.Pesantren
juga bukan sekedar asrama pelajar.

Pesantren adalah sebuah sistem pendidikan serta kader vorming yang telah
mempunayi tradisi tersendiri. Pesantren inilah yang menimbulkan salah satu
inspirasi bagi Ki Hajar Dewantara tatkala mencetuskan idenya membangun
Perguruan Taman Siswa.

KH A. Wahid Hasyim senantiasa mengembangkan ide-ide pembaharuan pesantren


dan madradsah melalui pendekatan kepada sahabat-sahabatnya dekatnya seperti
KH.Hamid pemimpin Pesantern Termas Pacitan, KH Zarkasyi pemimpin
Pesantren Gontor Ponorogo, KH. Ali Maskum pemimpin Pesantren Krapyak,
Yogyakarta, KH Ajengan Ruhiyat pemimpin Pesantren Cipasung Tasikmalaya, KH
Ali Mansur pemimpin Pesantren Lirboyo Kediri, KH R. As’ad pemimpin
Pesantren Asembagus ,Situbonbo, dan lain-lain.

KH A. Wahid Hasyim sendiri tidak sependapat dengan adanya bantuan keuangan


dari pemerintah. Menurut KH A. Wahid Hasyim bantuan pemerintah justru akan
menempatkan pesantren ke arah ketergantungan maupun merasa berhutang budi
kepada pemerintah, baik secara terang-terangan maupun terselubung. KH A.
Wahid Hasyim mengharapkan, pesantren dapat tumbuh dengan tetap berdikari,
seperti tradisinya semenjak berabad-abad. Karena itulah, pada zaman kolonial
Belanda, Tebuireng tidak pernah bersedia menerima subsidi dari pemerintah,
meskipum sekolah-sekolah Muhammadiyah justru menerimanya dengan antusias.
Pada zamannya, sikap Tebuireng ini merupakan pola panutan bagi seluruh
pesantren yang berafiliasi kepada NU.
Perjuangan Masa Kolonial Belanda dan Jepang

Sebagai seorang tokoh Nahdlatul Ulama maka KH A. Wahid Hasyim bersikap


anti-kolonialisme dan anti-kapitalisme. Karenanya, tidak mengherankan, KH A.
Wahid Hasyim bersama tokoh-tokoh lain dalam NU, mempoerjuangkan hapusnya
subsidi pemerintah kolonial kepada sekolah-sekolah Islam, memperjuangkaan
keringanan beban-beban pembiayayan bagi para jamaah calon Haji di pulau
Onrust dan sebagainya. Penghapusan biaya korban penyembelihan korban pada
Hari Raya Idul Adha, menuntut kepada pemerintah agar para pejabat yang
diangkat dalam kedudukan-kedudukan pada kantor-kantor Kepenghuluan/ Qadhi
dipilih dari orang-orang yang memiliki standar pengetahuan hukum Islam dan
akhlak Islam dan lain-lain.

Atas dorongan K.H. Mahfudz Shiddiq Ketua Umum PBNU yang dipilih selama 4
kali kongres (Orang kuat dalam NU), maka pada tahun 1939 KH A.Wahid Hasyim
dipilih menjadi Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Para anggota
MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.
Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar
Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan
sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik
menghadapi penjajahan.

Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian
atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro
Muslimin Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat
latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta dan penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh
KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.

Selama zaman kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh


sentral di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai
anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut
KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah
badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang
bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdiri
dari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil
Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua. Oleh karena KH Hasyim
Asy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan
ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang
menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945)

Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah,


mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai
kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama)
dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik
(kekuasaan ) di zaman Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer
Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman
pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim,
dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segala
yang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang
panjang.

Perjuangan Revolusi Indonesia(1945)

Meskipun KH A. Wahid Hasyim sudah menjadi menteri sejak dalam kabinet


pertama dan menjadi menteri pula di kabinet-kabinet sesudahnya, namun Beliau
tidak melepaskan kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat. Adalah menjadi
pendirianya yang tak tergoyahkan: tanpa seorang masyarakat seorang menteri
tidak ada artinya dalam arti perjuangan dan pengabdian masyarakat.

Republik Indonesia yang mendapat pukulan-pukulan dari Nica yang hendak


menegakkan kembali penjajahan Belanda atas bekas jajahannya, menyebabkan
perlunya penggalangan Umat Islam Indonesia dalam satu kekuatan. Maka lahirlah
Partai Politik Islam ”Masyumi” dalam suatu Kongres yang diselengarakan di Ibu
Kota Republik Indonesia, Yogyakarta, pada November 1945. Nama Masyumi
dipergunakan hanya sekedar nama, bukan dalam arti ”Majelis Syuro Muslimin
Indonesia” seperti ketika masih di zaman Jepang.

Partai Masyumi dipimpin oleh dr. Sukiman, sedang pimpinan Majelis Syuro-nya
dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah selaku
Wakilnya. Adapun KH A.Wahid Hasyim memegang jabatan Ketua Dewan
Pertahanan Partai yang langsung memimpin Markas Tertinggi ”Hizbullah”, yang
diketuai oleh Zainul Arifin dan Markas Tertinggi ”Barisan Sabillah” yang diketuai
oleh KH. Masykur. Berhubung tugasnya di dalam partai ”Masyumi” yang
membidani politik pertahanan (kemiliteran) , maka KH A.Wahid Hasyim diangkat
oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi penasehat pribadinya.
Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid
Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar
waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali
menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang
penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin
hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.

Ketika NU merasa sering dirugikan akibat mekanisme demokrasi yang timpang


dalam Partai Masyumi, maka NU menginginkan berpisah dari Masyumi. Sebagian
golongan yang mempunyai andil besar sering diabaikan aspirasinya disebabkan
pimpinan politik lebih condong pada permainan otoriter berdasarkan klik sistem
atau”konco-isme” . Kaum politisi sering mengabaikan pertimbangan Ulama
padahal masalahnya menyangkut nilai Agama. NU berusaha memperbaiki
ketimbangan yang terjadi di dalam Partai Masyumi, terutama ketika partai tersebut
berada di bawah pimpinan Muhammad Natsir dengan grup elit politisi
golongannya. Selama 4-5 tahun usaha NU mengadakan usaha-usaha dari dalam,
tetapi tidak berhasil. Karena tidak ada jalan lain maka koreksi NU ditingkatkan.

Atas prakarsa KH A.Wahid Hasyim, Nahdlatul Ulama mendirikan Biro Pilitik


yang bertugas melakukan perundingan dengan pihak Partai Masyumi untuk
mencari jalan islah menuju mekanisme demokrasi secara sehat. Usaha ini pun
mengalami kegagalan. Maka pada tahun 1950 dalan Kongres NU di Jakarta,
Kongres memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi. Namun pelaksanaannya
ditangguhkan untuk sementara waktu agar memberi kesempatan kepada Partai
Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi NU.

Bagi NU, Partai Masyumi terlalu mengandalkan kekuatan grup elita politisinya,
mengira bahwa Masyumi telah begitu kuat hingga memandang kecil terhadap
kekuatan dan pengaruh NU. Tahun 1952 NU melangsungkan Kongres di
Palembang, dr. Sukiman selaku ketua Partai Masyumi hadir dalam kongres itu atas
undangan NU. Acara terpenting dalam kongres ialah: apakah NU tetap di dalam
Masyumi atau keluar. Akhirnya kongres memutuskan NU menjelma menjadi
partai politik sendiri lepas dari Partai Masyumi. Kongres juga memilih KH
A.Wahid Hasyim menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Partai NU.
Sifat Menonjol

Sebagai pejuang KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang gigih mempertahankan


prinsip, tetapi toleran, pantang menyerah dan tidak mengenal putus asa. Di
kalangan para pemimpin, KH A. Wahid Hasyim terpuji keberaniannya atas
perhitungan matang menimbulkan rasa hormat di kalangan lawan sekalipun.
Menjadi kawan baik dari Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad
Subarjo, Sukiman, Pak Dirman, Bung tomo, Sungkono, Sukarno. Khoirul saleh,
BM Diah, Jamaludin Malik, Anwar Cokroaminoto, Sidik Joyosukarto, dan
segudang orang-orang terkemuka lainnya. Meskipun demikian, KH A. Wahid
Hasyim sanggup berjam-jam mengobrol denga para supir, kondektur kereta api,
dan montir di bengkel.

Tergolong orang berada (kekayaannya jangan dibandingkan dengan orang-orang


kaya zaman kini), KH A. Wahid Hasyim seorang dermawan dan memiliki jiwa
sosial tinggi, terutama orang-orang yang sedang dirundung kesusahan.

Kewafatannya dalam syahid meninggal dalam usia belum 40 tahun menyebabkan


dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat
baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh
akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul Wahid hasyim hanya ada satu
dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum
tidak pernah akan mati.

KH A. Wahid Hasyim sering menyatakan kepada orang-orang yang di dekatnya,


”Berusahalah mempunyai keuangan yang stabil, maka saudara akan hidup tanpa
menyandarkan bantuan orang lain yang akan manjadikan saudara bisa dibeli dan
akhirnya saudara haya menjadi seorang boneka dan alat orang lain saja.”

Demikian sekelumit saduran mengenai KH A. Wahid Hasyim yang dicatat oleh


KH Syaifuddin Zuhri. Catatan-catatan ini banyak dirilis oleh KH. Syaifuddin
Zuhri dalam beragam edisi, seperti Guruku Orang-orang dari Pesantren dan
Kaleidoskop Politik di Indonesia.

* Disadur kembali oleh Hendra Manurung

You might also like