You are on page 1of 27

onsep Dasar Cedera Kepala Untuk memperkaya pemahaman akan konsep Cedera Kepala, berikut ini aka dibahas

tentang pengertian, etiologi, tipe trauma, mekanisme, klasifikasi, perdarahan intrakranial, patofisiologi, meifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan. 1. Pengertian Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2000 : 2210). Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Rita juliani, 2001). 2. Etiologi Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah : a. Kecelakaan lalu lintas. b. Terjatuh c. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala. d. Olah raga e. Benturan langsung pada kepala. f. Kecelakaan industri. 3. Mekanisme Cedera Kepala Menurut tarwoto (2007) mekanisme cedera memegang peranan yang sangat sadar dalam berat ringannya dari trauma kepala. Mekanisme cedera kepala dapat dibagi menjadi : a. Cedera Percepatan (akselerasi) yaitu jika benda yang bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang-orang diam kemudian terpukul atau terlempar batu. b. Cedera Perlambatan (Deselerasi) yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur. c. Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya ada fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak. 4. Patifisiologi Menurut Tarwoto, dkk (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema, dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan serebral menimbulkan hematoma, misalnya pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya antara periosteum tengkorak dengan durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoid dan intra serebral hematom adalah berkumpulnya darah di dalam jaringan serebral. Kematian pada cedera kepala disebabkan karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak, Gambaran mengenai masalah keperawatan yang mungkin muncul pada kasus Cedera Kepala secara rinci dapat

dilihat pada skema 2.1. Skema 2.1. Pathways Cedera Kepala

(Sumber : Arif Muttaqin, 2008) 5. Klasifikasi Cedera Kepala Menurut Eka J. Wahjoepramono (2005 : 21) Cedera Kepala diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis dan kelainan patologis. a. Klasifikasi Klinis Klasifikasi keadaan klinis adalah penilaian terhadap tingkat kesadaran. Berdasarkan skala koma Glasgow (Glasgow Koma Scale), yaitu Cedera Kepala Ringan (CKR), Cedera Kepala Sedang dan Cedera Kepala Berat. b. Klasifikasi Patologis Klasifikasi patologis terbagi menjadi kerusakan primer dan sekunder : 1) Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) local maupun difus. a) Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relatif tidak terganggu. b) Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis. 2) Cedera kepala sekunder adalah kelainan atau kerusakan yang terjadi setelah terjadinya trauma/benturan dan merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi pada kerusakan primer.

Berdasarkan kerusakan jaringan otak : 1) Komusio Serebri (gegar otak) : gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hingga kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia, mual muntah, nyeri kepala. 2) Kontusio Serebri (memar) : gangguan fungsi neurologic disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas jaringan masih utuh, hingga kesadaran lebih dari 10. 3) Konfusio Serebri : gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak, massa otak terkelupas keluar dari rongga intrakranial. 6. Tipe Trauma Kepala Tipe trauma kepala terbagi menjadi 2 macam, yaitu : a. Trauma Terbuka Trauma ini menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak, laserasi durameter, dan kerusakan otak jika tulang tengkorak menusuk otak. b. Trauma Tertutup Trauma kepala tertutup terbagi menjadi 2 macam, yaitu komusio serebri/gegar otak dan kontusio serebri/memar otak. 1) Komusio serebri/gegar otak adalah merupakan bentuk trauma kapitis ringan. 2) Kontusio serebri atau memar otak merupakan perdarahan kecil pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler, hal ini bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf atau otak yang menimbulkan edema jaringan otak di daerah sekitarnya. Bila daerah yang mengalami edema cukup luas akan terjadi peningkatan terkanan intrakranial. 7. Perdarahan Intrakranial

Perdarahan vaskuler yang utama dari trauma meliputi perdarahan epidural, subdural dan sub araknoid. a. Hematom Epidural Hematom epidural adalah keadaaan dimana terjadi penumpukkan darah di antara durameter tulang tengkorak. Umumnya disebabkan karena trauma pada kepala yang mengakibatkan fraktur linear. b. Hematom Subdural Hematoma subdural adalah penggumpalan darah diantara durameter dan dasar otak. Perdarahan subdural terjadi karena ruptural vena jembatan dan robekan pembuluh darah kortikal, sub araknoidal atau araknoidal disertai robekan araknoid.

c. Hematoma Sub Araknoid Hematoma subaraknoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang subaraknoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak. d. Hematoma Intraserebri Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Gambar perdarahan intrakranial dapat dilihat pada gambar 2.3. di bawah ini. 8. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang biasa timbul pada kasus cedera kepala di antaranya : a. Hilangnya kesadaran. b. Perdarahan dibelakang membrane timpani c. Ekimosis pada periorbital d. Mual dan muntah. e. Pusing kepala. f. Terdapat hematom. g. Bila fraktur mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorhea) bila fraktur tulang temporal. 9. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dilakukan mencakup pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologi. a. Pemeriksaan Laboratorium Adapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera kepala yaitu : Tabel 2.1. Pemeriksaan Laboratorium Pada Kasus Cedera Kepala No Tes Fungsi 1

8 Hemoglobin

Leukositosis

Golongan Darah

GDS

Fungsi Ginjal

Analisa Gas Darah

Elektrolit

Toksikologi Sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat.

Untuk salah satu indikator berat ringannya cedera kepala yang terjadi.

Persiapan bila diperlukan transfusi darah pada kasus perdarahan yang berat.

Memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun hiperglikemia.

Memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak boleh dilakukan pada fungsi ginjal yang tidak baik.

PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan memberikan prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg, SaO2 > 95 % dan PCO2 30-50 mmHg. Atau mengetahui adanya masalah ventilasi perfusi atau oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.

Adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan kesadaran.

Mendeteksi obat yang mungkin menimbulkan penurunan kesadaran.

b. Pemeriksaan Radiologi 1) CT Scan Adanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran, mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak. 2) Angiografi Serebral Menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma. 3) EEG (Electro Encephalografi) Memperlihatkan keberadaan/perkembangan gelombang patologis.

4) MRI (Magnetic Resonance Imaging) Mengidentifikasi perfusi jaringan otak, misalnya daerah infark, hemoragik. 5) Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak. 6) Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG) Untuk menentukan apakah penderita trauma kepala sudah pulih daya ingatnya. 10. Komplikasi Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala menurut Eka J. Wahjoepramono (2005 : 90) antara lain : a. Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensi Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang terjadinya bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran nafas, atelektasis, aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak pernafasan dapat berdampak pasien mengalami kesulitan bernafas dan pada akhirnya mengalami hipoksia. b. Edema Serebral Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan. Edema serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak di dalam rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya juga berakibat penurunan perfusi jaringan otak. c. Peningkatan Tekanan Intra Kranial Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural). Pada perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma serebri), dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu berupa edema serebri. d. Herniasi Jaringan Otak Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi. Namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi dan terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu kearah celah-celah yang ada. e. Infeksi Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis, Ensefalitis, Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan abses otak. f. Hidrisefalus

Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat. 11. Penatalaksanaan Medis Menurut Tarwoto, dkk (2007 : 130) penatalaksanaan medis pada cedera kepala sebagai berikut : a. Penatalaksanaan Umum Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal. 1) Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi, pemeriksaan AGD, bahkan oksigen bila perlu. 2) Monitor tekanan intrakranial. 3) Atasi syok bila ada. 4) Kontrol tanda-tanda vital. 5) Keseimbangan cairan elektrolit. b. Operasi Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka, kraniotomi. c. Menilai sirkulasi 1) Diuretik : Untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20 %, furosemid (lasik). 2) Antikonvulsan : Untuk menghentikan kejang misalnya dilantin, fegretol, valium. 3) Kortikosteroid : Untuk menghambat pembentukkan edema misalnya dengan dexamethasone. 4) Antagonis histamin : Mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat trauma kepala misalnya dengan cimetidine, ranitidine. 5) Antibiotik : Jika terjadi luka yang besar. C. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala (Doengoes, 2000). 1. Pengkajian a. Aktivitas/Istirahat Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. Tanda : Perubahan kesalahan, letargi, hemisparase, quadriplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik. b. Sirkulasi Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (Hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia, distritmia). c. Integritas Ego Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis). Tanda : Cemas, mudah tersinggung, Delirium, Agitasi, bingung, depresi dan impulsif. d. Eliminasi Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi. e. Makanan/Cairan Gejala : Mual/muntah dan mengalami perubahan selera. Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dispagia), berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan. f. Neurosensori Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, Amnesia seputar kejadian, Vertigo, Sinkope, tinnitus, kehilangan

pendengaran, tingling, baal pada ekstrimitas, perubahan pola dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris/deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti). Kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflex tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, quadriplegia, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh. g. Nyeri/kenyamanan Gejala : Sakit kepala intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama. Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak dapat beristirahat, merintih.

h. Pernafasan Tanda : Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif. (kemungkinan adanya aspirasi). i. Keamanan Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan. Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan. Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti raccoon eye tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran (drainage) dari telinga/hudung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami pralisis, demam dan gangguan dalam regulasi suhu tubuh. j. Interaksi Sosial Tanda : Afasia motorik atau sensorik, berbicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria. k. Penyuluhan/pembelajaran Gejala : Penggunaan alkohol atau obat lain. Rencana pemulangan : membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang, dan pemanfaatan fasilitas lainnya di rumah sakit. 2. Diagnosa Keperawatan Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan (Cedera Kepala) adalah sebagai berikut : a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah ; edema serebral ; penurunan TD sistemik/hipoksia. Tujuan : Memaksimalkan perfusi/meningkatkan fungsi serebral. Intervensi : 1) Kaji status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (seperti GCS). 2) Pantau tanda-tanda vital. 3) Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah atau posisi sejajar, hindari pemakaian bantal besar pada kepala. 4) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. 5) Berikan obat-obatan sesuai indikasi. b. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler ; kerusakan persepsi atau kognitif ;

obstruksi trakeobronkial. Tujuan : Mempertahankan pola pernafasan normal/efektif, mencegah komplikasi.

Intervensi : 1) Pantau frekuensi irama dan kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan. 2) Catat kopetensi reflek gigi/menelan dan kemampuan klien untuk melindungi nafas. 3) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi. 4) Anjurkan klien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika klien sadar. 5) Lekukan penghisapan dengan hati-hati, jangan sampai lebih dari 10-15 menit. 6) Kolaborasi dalam pemberian oksigen. 7) Lakukan kolaborasi dalam pemeriksaan gas darah. c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan resepsi sensori, tranmisi dan atau integrasi (trauma atau defisit neurologis). Tujuan : mengoptimalkan fungsi otak, tingkat kesadaran, dan fungsi persepsi. Intervensi : 1) Evaluasi / pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan / efektif sensorik dan proses piker. 2) Kaji kesadaran sensori seperti respon sentuhan. 3) Observasi prilaku klien. 4) Berikan keamanan terhadap klien. Catat adanya penurunan persepsi pada catatan dan letakkan pada tempat tidur klien. 5) Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi kognitif.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin. (2001). Dasar-dasar Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya Medika. Doenges, Marilynn E. et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perwatan Pasien, Edisi 3. (Alih bahasa oleh : I Made Kariasa, dkk). Jakarta : EGC. Iskandar. (2004). Memahami Aspek-aspek Penting Dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Lindsay, David. (1996). Funtcion Human Anatomy. USA : Human Anatomy Mosby. Martini, Prederic H. (2001). Foundamentals of Anatomy & Physiology, Edition 5 : ISBN. Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika. Nursalam. (2001). Proses dan Dokumentasi Perawatan : Konsep dan Praktek. Jakarta : Salemba Medika Scanton, Valerie C. (2006). Essentials of Anatomy and Physiology, Edisi 3. Philadelphia : Pengylvania. Smeltzer, Suzanna C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. (Alih bahasa Agung Waluyo), Edisi 8. Jakarta: EGC. Suriadi. (2007). Manajemen Luka. Pontianak : STIKEP Muhammadiyah. Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3. Jakarta : EGC. Tarwoto, et. al. (2007). Keperawatan Medikal Bedah, Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Sagung Seto. Wahjoepramono, Eka. (2005). Cedera Kepala. Lippokarawaci : Universitas Pelita Harapan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala adalah salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi kecelakaan lalu lintas, disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal dan di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya (Mansjoer A, dkk, 2009). Menurut Miller (1978) dalam Saanin (2007), memperkirakan kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab yang paling sering terjadinya cedera kepala, diperkirakan sekitar 49% dari kasus, biasanya dengan derajat cedera kepala yang lebih berat dan lebih sering mengenai usia 15-24 tahun. Sedangkan jatuh lebih sering terjadi pada anak-anak serta biasanya dalam derajat yang kurang berat. Klien dengan kecelakaan kendaraan bermotor biasanya disertai cedera berganda, dan lebih dari 50% penderita cedera berat disertai oleh cedera sistematik berat. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal dunia sebelum tiba dirumah sakit. Sedangkan yang sampai rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), dan 10% termasuk dalam cedera kepala sedang (CKS),dan 10% sisanya adalah digolongkan sebagai cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh, dan 3%-9% disebabkan oleh tindakan kekerasan, kegiatan olah raga dan rekreasi (Irwana, 2009). Menurut Oman, KS, dkk (2008), prevalensi cedera kepala di Amerika Serikat ada 2 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya, satu setengah juta merupakan cedera ringan yang ditangani sebagai klien rawat jalan, sedangkan 500.000 kasus mengalami cedera kepala yang cukup parah dan memerlukan perawatan dirumah sakit, jumlah tersebut memprediksikan besarnya kemungkinan menghadapi klien cedera kepala, cedera kepala merupakan penyebab separuh dari seluruh kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor, orang muda memiliki insiden cedera kepala yang paling tertinggi, dan orang tua merupakan kelompok berikutnya yang mempunyai angka insiden tertinggi, serta dengan bertambahnya populasi manula di Amerika Serikat, insiden tersebut akan meningkat. Angka kejadian cedera kepala di Indonesia masih cukup tinggi. Penanganan akan berlanjut dalam jangka waktu lama dan melibatkan banyak pihak termasuk keluarga, orangorang di lingkungan sekitar, di samping tenaga medis dan para medis. Sedangkan dari data rekam medik RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang tiga tahun terakhir adalah sebagai berikut: 1. Januari Desember 2010 sebanyak 420 orang 2. Januari Desember 2011 sebanyak 435 orang 3. Januari Juli 2012 sebanyak 378 orang.

Melihat banyaknya kasus Cedera Kepala Sedang berdasarkan hasil data rekam medik RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang, maka penulis merasa tertarik untuk mengambil kasus mengenai Asuhan Keperawatan pada Tn. Y dengan Cedera Kepala Sedang di Ruang Perawatan Bedah RSUD Ade Muhammad Djoen Sintang yang berorientasikan pada penerapan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan pendekatan proses keperawatan, dan fokus pemberian asuhan keperawatan adalah untuk meminimalkan risiko komplikasi yaitu hemorrhagic, infeksi, edema serebral, dan hernia.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam Laporan Kasus ini adalah: Bagaimana gambaran Asuhan Keperawatan pada Tn. Ydengan Cedera Kepala Sedang diruang Perawatan Bedah RSUD Ade Muhammad Djoen Sintang.

C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan umum


Agar penulis dapat memperoleh gambaran nyata dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. Y dengan Cedera Kepala Sedang di Ruang Perawatan Bedah RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang.

2. Tujuan khusus Tujuan khusus dari penulisan kasus ini, penulis mampu: a. Memahami Askep dan Teori klien dengan Cedera Kepala Sedang b. Melakukan pengkajian pada klien dengan Cedera Kepala Sedang. c. Menyusun diagnosa keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang. d. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang e. Melaksanaankan implementasi keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang. f. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedang. g. Membandingkan perbedaan antara konsep Cedera Kepala Sedang secara teoritis dengan kasus yang terjadi di lapangan.

D. Ruang Lingkup Penulisan


Adapun ruang lingkup penulisan Laporan Kasus ini, penulis hanya membatasi masalah pada Asuhan Keperawatan pada Tn. Y dengan Cedera Kepala Sedang yang dirawat di Ruang Perawatan Bedah RSUD Ade Mohammad Djoen Sintang selama 3 hari, dari tanggal 5 Juli 2012 sampai dengan tanggal 7 Juli 2012.

E.

Metode Penulisan Penulis dalam menyelesaikan Laporan Kasus ini menggunakan metodedeskriptif yaitu metode ilmiah yang bersifat mengumpulkan data, menganalisa dan menarik kesimpulan.

Tekhnik pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Studi kepustakaan dengan mencari dan menelaah berbagai referensi yang berkaitan dengan laporan kasus ini. 2. Studi kasus dengan melakukan observasi dan analisa. F. Sistematika Penulisan Penulisan Laporan Kasus ini terdiri atas 5 bab, yaitu Bab I: Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisan. Bab II Tinjauanpustaka yang terdiri dari tinjauan Asuhan Keperawatan dan landasan teori kasus. Bab III Aplikasi Asuhan Keperawatan terdiri dari pengkajiankeperawatan, diagnosis keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasikeperawatan dan evaluasi keperawatan. Bab IV Pembahasan yang terdiri daripengkajian keperawatan, diagnosis keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan, dan Bab V Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebelum memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Sedangini, pemahaman perawat tentang teori yang mendasar sangatlah penting. Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai Asuhan Keperawatan pada klien dengan Cedera KepalaSedang secara teoritis dan konsep dasar anatomi fisiologi sistem persyarafan Cedera KepalaSedang. A. Tinjauan Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival klien dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitas dan preventif keperawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan keperawatan telah mengidentifikasikan proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang saling relevan dari system teori, dengan metode ilmiah (Doenges, 2006). Proses keperawatan adalah suatu metode pemberian asuhan keperawatan yang logis dan sistematis, dinamis dan teratur yang memerlukan pendekatan, perencanaan dan pelaksanaan asuhan keperawatan yang metodis dan teratur dengan mempertimbangkan ciri-ciri pasien yang bersifat biopsiko-sosio-spiritual maupun masalah kesehatannya. (Depkes RI, 2008) Menurut Nursalam (2005), proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini bisa disebut sebagai suatu pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu, teknik, dan keterampilaninterpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga. Adapun tujuan dari proses keperawatan ini adalah, pertama, menggunakan metode pemecahan masalah. Dalam hal ini perawat mengidentifikasi seluruh kebutuhan yang diperlukan klien, dimana menggambarkan masalah yang terjadi pada klien, baik yang aktual maupun resiko.

1.

a. Tanda: b. Gejala:

Sehingga perawat dapat menetapkan desain pemecahan masalahnya, dan tindakan yang dilakukan perawat merupakan tindakan yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang terjadi pada klien. Kedua, menggunakan standar untuk praktik keperawatan. Standar praktik diperlukan untuk menjaga mutu asuhan yang diberikan kepada klien. Ketiga, memperoleh metode yang baku dan sesuai, rasional (logis), dan sistematis (urut, rapi). Keempat, memperoleh metode yang dapat dipakai dalam segala situasi. Kelima, mempunyai hasil keperawatan yang berkualitas tinggi. Dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien cedera kepala sedang ini menurut Doenges (2006), dilakukan melalui lima proses keperawatan, yaitu: pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan. Pengkajian keperawatan Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis yang diangkat akan menentukan desain perencanaan yang ditetapkan. Selanjutnya, tindakan keperawatan dan evaluasi mengikuti perencanaan yang dibuat. Oleh karena itu, pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan cermat, sehingga seluruh kebutuhan perawatan pada klien dapat di identifikasi, (Rohmah dan Walid, 2009). Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2005). Pengkajian meliputi pengumpulan data, validasi data, pengorganisasian data, dan identifikasi masalah/analisa data. Jenis pengumpulan data ada dua yaitu pengumpulan data dasar (Data Base Nursing) yang mengumpulkan data secara lengkap pada saat kontrak awal dengan klien dan pengkajian fokus (Fokus Nursing Assesment) yang mengumpulkan data yang berfokus pada masalah keperawatan spesifik yang sudah diidentifikasi dari hasil pengumpulan data dasar sedangkan tipe data ada dua yaitu data subjektif yang didapatkan dari klien dan data objektif yang dapat diobservasi dan diukur. Validasi data untuk meyakinkan bahwa data yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data adalah fakta. Pengorganisasian data adalah mengelompokan berdasarkan kerangka kerja yang dapat membantu mengidentifikasi masalah keperawatan dan analisa data adalah mengelompokan data sesuai dengan keadaan klien. Berikut beberapa hal yang perlu dikaji pada klien Cedera Kepala Sedang yaitu: Aktivitas/istirahat Gejala: Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quardreplegia, ataksiacara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera kepala ringan (trauma ortopedi), kehilangan tonus otot spastik. Sirkulasi Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).

c. Integritas ego Gejala: Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).

Tanda: Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif. d. Eliminasi Gejala: Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi. e. Makanan/cairan Gejala: Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera. Tanda: Muntah (mungkin proyektil). Gangguan menelan (batu air liur keluar, disfagia). f. Neuro sensori Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian.Vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan, sepertiketajamannya, diplopia kehilangan sebagian lapang pandang,fotofobia. Gangguan pengecapan dan juga penciuman. Tanda: Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetris),deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan, seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetris. Genggaman lemah, tidak seimbang. Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah. kejang. Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan. Kehilangan sensasi sebagian tubuh. Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh. g. Nyeri /kenyamanan Gejala: Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama. Tanda: Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih. h. Pernapasan Tanda: Perubahan pola napas (apnea yang diselingi hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). i. Keamanan Gejala: Trauma baru/trauma karena kecelakaan. Tanda: Fraktur/dislokasi. Gangguan penglihatan. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti raccoon eye, tanda Batle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (cairan serebro spinal). Gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh. j. Interaksi sosial Tanda: Afasia motorik/sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,disartria, anomia. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan adalah tahap dimana perawat menggunakan kemampuan berfikir kritis dalam menafsirkan analisa data terhadap kekuatan dan masalah klien (Kozier, et. al, 2004). Adapun diagnosa keperawatan pada klien cedera kepala sedang menurutWahyu, dkk (2008) dan Smeltzer dan Bare (2002) yaitu: a. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d trauma kepala, penghentian aliran darah oleh SOL (space occupaying lesion) (hemoragi, hematoma);edema serebral (respons lokal atau umum pada cedera, perubahanmetabolik, takar lajak obat/alkohol); penurunan TD (tekanan

b. c. d. e. f. g.

h.

i. j.

darah)sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung), peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) (Wahyu, dkk, 2008) Risiko tinggi terhadap tak efektif pola napas b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak); kerusakan persepsi atau kognitif;obstruksi trakeobronkial. (Wahyu, dkk, 2008) Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensori, transmisi dan atau integrasi (trauma atau defisit neurologis). (Smeltzer dan Bare, 2002) Perubahan proses pikir b.d perubahan fisiologis; konflik psikologis. (Smeltzer dan Bare, 2002) Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi atau kognitif;penurunan kekuatan/tahanan; terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, misal, tirah baring, imobilisasi. (Wahyu, dkk, 2008) Defisit perawatan diri b.d kerusakan mobilitas fisik (Wahyu, dkk, 2008) Risiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedurinvasif; penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh; kekurangan nutrisi; respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid); perubahan integritassistem tertutup kebocoran cairan serebrospinal (CSS). (Wahyu, dkk, 2008) Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat keasadaran; kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan; status hipermetabolik. (Smeltzer dan Bare, 2002). Perubahan proses keluarga b.d transisi dan krisis situasional; ketidakpastian tentang hasil/ harapan.. (Smeltzer dan Bare, 2002) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b.d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi/sumber-sumber; kurang mengingat/ keterbatasan kognitif. (Wahyu, dkk, 2008)

3. Perencanaan Keperawatan Perencanaan atau rencana asuhan keperawatan adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat mengenai rencana tindakan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa keperawatan. Dalam merumuskan tujuan harus memenuhi syarat yaitu seperti, dapat diukur, dapat dicapai, realitas, dan ada standar mutu, hal ini dimaksudkan agar tindakan keperawatan yang diberikan tidak menyimpang dari masalah yang dihadapi, sehingga tindakan menjadi efisien, efektif dan langsung tertuju pada pemecahan masalah. Rencana asuhan keperawatan disusun dengan melibatkan klien secara optimal agar dalam pelaksanaan asuhan keperawatan terjalin suatu kerjasama yang saling membantu dalam proses pencapaian tujuan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Dari diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana asuhan keperawatan sebagai berikut: a. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah olehSOL (space occupaying lesion) (hemoragi, hematoma); edema serebral (respons lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat/alkohol); penurunan TD (tekanan darah) sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung). 1) Tujuan: Perubahan perfusi jaringan serebral tidak terjadi. 2) Kriteria Hasil: mempertahankan tingkat kesadaran biasa/ perbaikan,kognisi, dan fungsi motorik/sensorik; mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tandatanda tekanan intrakranial.

3) Rencana: a)Observasi status neurologis. Rasional: hasil dari pengkajian dapat diketahui secara dini adanya tanda-tanda PTIK sehingga dapat menentukan arah tindakan selanjutnya. Kecenderungan terjadinya penurunan nilai GCS menandakan adanya peningkatan tekanan intracranial dari normal 0-15 mmHg. b) Monitor TTV (TD, nadi, RR, suhu) minimal setiap jam sampai keadaan klien stabil. Rasional: dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda peningkatanTIK. c) Naikkan kepala dengan sudut 15-450 (tidak hiperekstensi dan fleksi) dan posisi netral (dari kepala hingga daerah lumbal dalam garis lurus) Rasional: dengan posisi kepala 15450 dari badan dan kaki maka akan meningkatkan dan melancarkan aliran balik darah vena kepala sehingga mengurangi kongesti serebrum, edema dan mencegah terjadinya peningkatan TIK. Posisi netral tanpahiperekstensi dan fleksi dapat mencegah penekanan pada sarafmedula spinalis yang menambah peningkatan TIK. d) Monitor masukan dan haluaran setiap 8 jam sekali. Rasional: untuk mencegah kelebihan cairan yang dapat menambah edema serebri sehingga terjadi peningkatan TIK. e) Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Rasional: demam menandakan gangguan hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolik karena demam dan suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan TIK. f) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan antiedema seperti manitol, gliserol dan lasix. Rasional: manitol ataugliserol merupakan cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari intraseluler (sel) keekstraseluler (vaskuler).Lasix untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air yang diinginkan, untuk mengurangi edema otak. b. Risiko tinggi terhadap tak efektif pola napas b.d kerusakan neurovaskuler(cedera pada pusat pernapasan otak); kerusakan persepsi atau kognitif; obstruksi trakeobronkial. 1) Tujuan: pola napas efektif dalam batas normal. 2) Kriteria Hasil: Pola napas dalam batas normal dengan frekuensi 1420 kali/menit (dewasa) dan iramanya teratur; bunyi napas normal tidak ada stridor, ronchi, dullness dan wheezing; tidak ada pernapasancuping hidung; pergerakan dada simetris/tidak ada retraksi; nilai AGD arteri normal, yaitu: pH darah 7,35-7,45; PaO2 80-100 mmHg; PaCO235-45 mmHg; HCO3- 22-26 mEq/L; BE-2,5-+2,5; Saturasi O2 95-98%. 3) Rencana: a) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Rasional: perubahan yang terjadi dari hasil pengkajian berguna dalam menunjukkan adanya komplikasi pulmonal dan luasnya bagian otak yang terkena. b) Catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan klien untuk melindungi jalan napas sendiri. Rasional: kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresipenting untuk pemeliharaan jalan napas. c) Lakukan pengisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari

15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret. Rasional: penghisapan biasanya dibutuhkan jika klien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. d) Auskultasi suara napas. Rasional: untuk mengidentifikasi adanya masalah paru sepertiatelektasis, kongesti atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi serebral dan menandakan terjadinya infeksi paru. e) Kolaborasi berikan oksigen. Rasional: memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. c. Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensori, transmisi dan /atau integrasi (trauma atau defisit neurologit). 1) Tujuan: tidak terjadi perubahan persepsi sensori 2) Kriteria hasil: Melakukan kembali atau mempertahankan tingkatkesadaran biasanya dan fungsi persepsi, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan prilaku atau gaya hidup untuk mengkompensasi atau defisit hasil. 3) Rencana: a) Kaji kesadaran sensorik seperti respons sentuhan, panas atau dingin, benda tajam atau tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Rasional: informasi penting untuk keamanan klien. b) Catat adanya perubahan yang spesifik dalam hal kemampuan seperti memusatkan kedua mata dengan mengikuti instruksi verbal yang sederhana dengan jawaban ya atau tidak, makan sendiri dengan tangan dominan klien. Rasional: membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami gangguan dan mengidentifikasi tanda dan perkembangan terhadap peningkatan fungsi neurologis. c) Hilangkan suara bising atau stimulasi yang berlebihan sesuai kebutuhan. Rasional: menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan atau bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan. d) Pastikan atau validasi persepsi klien dan berikan umpan balik Rasional: membantu klien untuk memisahakan pada realitas dari perubahan persepsi. e) Berikan lingkungan terstruktur termasuk terapi, aktivitas. Rasional: meningkatkan konsistensi dan keyakinan yang dapat menurunkan ansietas yang berhubungan dengan ketidaktahun klien tersebut. f) Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan melakukan aktivitas. Rasional: menurunkan frustasi. g) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi kognitif. Rasional: pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksnaan integrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ ketidakmampuan secara individu yang berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan keterampilan perseptual. d. Perubahan proses pikir b.d perubahan fisiologis; konflik psikologis. 1) Tujuan: perubahan proses pikir tidak terjadi.

e. 1) 2)

3)

2) Kriteria hasil: Mempertahankan/melakukan kembali orientasi mental dan realitas biasanya, mengenali perubahan berpikir/perilaku, berpartisipasi dalam aturan terapeautik. 3) Rencana: a) Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan kepribadian/tingkah laku klien sebelum mengalami traumadengan respon klien sekarang. Rasional: masa pemulihan cedera kepala ringan meliputi faseagitasi, respons marah dan berbicara/proses pikir yang kacau. b) Dengarkan dengan penuh perhatian semua hal yang diungkapkan klien. Rasional: perhatian dan dukungan yang diberikan pada individu akan meningkatkan harga diri dan mendorong kesinambungan usaha tersebut. c) Tingkatkan sosialisasi dalam batas-batas yang wajar. Rasional: penguatan terhadap tingkah laku yang positif (seperti interaksi yang sesuai dengan orang lain) mungkin bermanfaat dalam proses belajar struktur internal. d) Anjurkan untuk melakukan teknik relaksasi. Rasional: dapat membantu untuk memfokuskan kembali perhatian klien dan untuk menurunkan ansietas. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi atau kognitif; penurunan kekuatan/tahanan; terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, misal, tirah baring, imobilisasi. Tujuan: mampu melakukan aktivitas fisik dan ADL (activity daily living), tidak terjadi komplikasi dekubitus, bronkopneumonia, tromboplebitis dan kontraktur sendi. Kriteria hasil: Klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut dalam mempertahankan fungsi gerak, tidak terjadi dekubitus, bronkopneumonia, tromboplebitis dan kontraktur sendi, mampu mempertahankan keseimbangan tubuh, mampu melakukan aktivitas ringan pasca akut dan aktivitas sehari-hari pada tahap rehabilitasi sesuai kemampuan. Rencana: a) Kaji tingkat kemampuan mobilisasi dengan skala 04. Rasional: Untuk menentukan tingkat aktivitas dan bantuan yang diberikan. b) Atur posisi dan ubah secara teratur tiap 2 jam sekali. Rasional: merubah posisi secara teratur dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh dan mencegah adanya penekanan pada organ tubuh yang menonjol. c) Berikan/bantu untuk melakukan latihan rentang gerak. Rasional: mempertahankan fungsi sendi dan mencegah penurunan tonus dan kekuatan otot dan mencegah kontraktur. d) Lakukan massage, perawatan kulit, dan mempertahankan alat alat tenun bersih dan kering. Rasional: meningkatkan sirkulasi, elastisitas kulit dan integritaskulit.

f.

Defisit perawatan diri b.d kerusakan mobilitas fisik

1) Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas fisik dan kebutuhan personal hygiene dan kebutuhan sehari-hari klien dapat terpenuhi 2) kriteria hasil: klien mampu dan pulih kembali setelah kecelakaan dan klien tampak segar, badan klien tampak bersih, rambut klien tampak bersih dan rapi, kuku klien pendek dan bersih, gigi klien tampak bersih. 3) Rencana: a) Kaji kemampuan klien Rasional: Untuk mengetahui kemampuan yang di miliki klien dan untuk mengetahui tingkat kekuatan dan kemampuan klien b) Bantu klien dalam aktivitas (bantu klien bangun dari tempat tidur), Rasional: Untuk merelaksasi otot klien c) Kaji kekuatan tonus otot Rasional: Untuk mengetahui kemampuan yang di miliki klien dan untuk mengetahui tingkat kekuatan dan kemampuan klien d) Bantu klien dalam personal hygiene, mandi, perawatan kuku jari kaki dan tangan, ganti alat tenun. Ganti alat tenun Rasional: Untuk memenuhi kebutuhan personal hygiene klien e) Anjurkan klien untuk Range of motion jika tidak ada indikasi Rencana: Untuk melatih kekuatan otot dan relaksasi f) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dalam melakukan latihan fisik Rasional: Untuk melatih kekuatan otot dan mencegah artrofi otot g. Risiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedurinvasif; penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh; kekurangan nutrisi; respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid); perubahan integritassistem tertutup kebocoran cairan serebrospinal (CSS). 1). Tujuan: Infeksi tidak terjadi. 2). Kriteria hasil: tidak terdapat tanda-tanda infeksi seperti rubor, dolor, kalor, tumor dan fungsiolesa; tidak ada pus. 3). Rencana: a) Observasi daerah luka. Rasional: deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya. b) Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan secara aseptik dan anti septik. Rasional: untuk mencegah infeksi nosokomil. Anjurkan untuk melakukan nafas dalam. Rasional: peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan risiko terjadinya pneumonia, atelektasis. c) Anjurkan untuk melakukan nafas dalam Rasional: peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, etelektasis. d) Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran. Rasional: untuk mendeteksi tanda-tanda sepsis. e) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat antibiotik

f)

h.

(1) (2)

(3) a) b)

c) d) e) f)

i.

Rasional: antibiotik berguna untuk membunuh atau memberantas bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh sehingga infeksi dapat dicegah. Kolaborasi dengan tim analis untuk pemeriksanaan laboratorium (kadar leukosit). Rasional: kadar leukosit darah dan urin adalah indikator dalam menentukan adanya infeksi. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat keasadaran; kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah,menelan; status hipermetabolik. Tujuan: kekurangan nutrisi tidak terjadi. Kriteria hasil: BB klien normal (BB normal = TB100 (10 % TB-100), tanda-tanda nutrisi tidak ada, nilai-nilai hasil laboratorium normal (protein total 68 gram %, albumin 3,55,3 gr %, globulin 1,8 3,6 gr %, Hb tidak kurang dari 10 gr %) Rencana: Observasi kemampuan mengunyah, menelan, reflek batuk dan cara mengeluarkan sekret. Rasional: dapat menentukan pilihan cara pemberian jenis makanan. Auskultasi bising usus. Rasional: fungsi saluran pencernaan harus tetap dipertahankan pada penderita cedera kepala ringan. Perdarahan lambung akan menurunkan peristaltik. Bising usus membantu untuk menentukan pemberian makanan dan mencegah komplikasi. Timbang berat badan. Rasional: penimbangan berat badan dapat mendeteksi perkembangan berat badan. Berikan makanan dalam porsi sering tapi sedikit. Rasional: memudahkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap nutrisi. Tinggikan kepala ketika makan. Rasional: mencegah regurgitasi dan aspirasi. Kolaborasi dengan tim analis untuk pemeriksaan laboratorium (protein total, globulin, albumin dan Hb) Rasional: untuk mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Perubahan proses keluarga b.d transisi dan krisis situasionalketidakpastian tentang hasil/ harapan. 1) Tujuan: keluarga dapat beradaptasi terhadap perubahan pengalaman traumatik secara konstruktif. 2) Kriteria hasil: mulai mengekspresikan perasaan dengan bebas dan tepat, mendorong dan memungkinkan anggota yang cedera untuk maju untuk ke arah kemandirian.

3) Rencana: a) Catat bagian-bagian dari unit keluarga, dengan keberadaan/ keterlibatan sistem pendukung. Rasional: menentukan adanya sumber keluarga dan mengindentifikasikan hal-hal yang diperlukan. b) Anjurkan keluarga untuk mengungkapkan hal-hal yang menjadi perhatiannya. Rasional: pengungkapan tentang rasa takut secara terbuka dapat menurunkan ansietas dan meningkatkan koping terhadap realitas. c) Anjurkan untuk mengakui perasaannya.

Rasional: untuk membantu seseorang menyatakan perasaannya tentang apa yang sedang terjadi. d) Berikan penguatan awal terhadap penjelasan tentang luasnya trauma, rencana pengobatan dan prognosisnya. Rasional: dapat membantu menurunkan konsepsi yang keliru. j. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b.d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi/sumber-sumber; kurang mengingat/ keterbatasan kognitif. 1) Tujuan: dapat berpartisipasi dalam proses belajar. 2) Kriteria hasil: mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi. 3) Rencana: a) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari klien dan keluarganya. Rasional: memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang didasarkan atas kebutuhan secara individual. b) Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri. Rasional: berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual. c) Berikan instruksi dalam bentuk tulisan. Rasional: memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh. d) Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya. Rasional: membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini dan kebutuhannya. e) Berikan penguatan terhadap pengobatan yang diberikan sekarang. Rasional: aktivitas, pembatasan, pengobatan yang direkomendasikan diberikan atas dasar pendekatan dan evaluasi amat penting untuk perkembangan pemulihan/pencegahan terhadap komplikasi. 4. Implementasi keperawatan Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan (Hidayat AA, 2004). Menurut Gaffar, LOJ, (2002), implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual, dan teknikal. Intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan. 5. Evaluasi keperawatan Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan sudah berhasil dicapai (Nursalam, 2005).

Sedangkan menurut Hidayat AA, (2004), evaluasi merupakan tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan.

B. Landasan Teori Kasus 1. Anatomi Fisiologi Cerebri Sistem persyarafan terdiri dari otak, saraf perifer dan medula spinalis. Struktur struktur ini berfungsi untuk kontrol dan koordinasi aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik (Smeltzer dan Bare , 2002). Gambar 1. Anatomi Otak manusia ( wikimu: 2008 )
Motor korteks
LOBUS FRONTAL

Cerebral corteks
LOBUS PARIETAL
LOBUS OCCIPITAL

Corpus collosum
Cerebellum LOBUS TEMPORAL
Thalamus

Hypothalamus

Amygdala

a. Otak Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua alat tubuh. Otak terdiri dari: 1) Otak besar ( Serebrum) Serebrum merupakan bagian otak yang paling besar dan yang paling menonjol. Disini terletak pusat-pusat yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik, juga mengatur proses penalaran, memori, dan inteligensi. Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu: a) Lobus Frontal Lobus frontalis mencakup bagian dari korteks serebrum bagian depan yaitu dari sulkus sentralis dan di dasar sulkus lateralis. Lobus frontalis bertanggung jawab untuk prilaku bertujuan, penentuan keputusan moral, dan pemikiran yang kompleks. b) Lobus Parietalis Lonus parietalis terletak di belakang sulkus sentralis, di atas fisura lateralis, dan meluas ke belakang ke fisura parieto-oksipitalis. Lobus parietalis merupakan area sensorik primer otak untuk sensasi raba dan pendengaran. c) Lobus Oksipitalis Lobus oksipitalis terletak di sebelah posterior dari lobus parietalis dan di atas fisura-oksipitalis, yang memisahkannya dari serebrum. Lobus ini menerima informasi yang berasal dari retina mata. d) Lobus Temporalis Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura lateralis dan ke sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini terlibat dalam interpretasi bau dan penyimpanan memori. 2) Otak kecil ( Serebelum) Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Ada dua fungsi utama serebelum, meliputi: a) Mengatur otot-otot postural tubuh b) Melakukan program akan gerakan-gerakan pada keadaan sadar maupun bawah sadar. Serebelum mengkoordinasi penyesuaian secara tepat dan otomatis dengan memelihara keseimbangan tubuh. Serebelum merupakan pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus, dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh. 3) Batang otak Batang otak terletak pada fosa anterior, bagian bagian batang otak terdiri dari:

a) Diensefalon Diensefalon Bagian batang otak paling atas terdapat diatara serebelum dengan mensensefalon. Fungsi diensefalon adalah memproses rangsang sensorik dan membantu mencetuskan atau memodifikasi reaksi tubuh terhadap rangsang-rangsang tersebut. b) Mesensefalon ( otak tengah) Merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di atas pons. Bagian ini mencakup bagian posterior, yaitu tektum yang terdiri atas kolikuli superior dan kolikuli inferior serta bagian anterior, yaitu pedunkulus serebri. Kolikuli superior berperan dalam refleks penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan, kolikuli inferior berperan dalam refleks pendengaran, misalnya menggerakkan kepala ke arah datangnya suara. c) Pons Merupakan serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan pernapasan. Nukleus saraf kranial V ( trigeminus), VI ( abdusen), dan VII ( fasialis) terdapat di sini. d) Medula oblongata Merupakan pusat refleks yang pentinh untuk jantung, vasokonstriktor, pernapasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur, dan muntah. b. Saraf-saraf perifer Syaraf kranial terdiri dari: Nervus olfaktorius ( sensorik) Fungsi sebagai penciuman Nervus optikus ( sensorik) Fungsi sebagai penglihatan Nervus okulomotorius ( motorik) Fungsinya sebagai mengangkat kelopak mata atas Nervus troklearis ( motorik) Fungsi sebagai gerakan mata ke bawah dan ke dalam Nervus abdusen ( motorik) Fungsi sebagai deviasi mata ke lateral Nervus trigeminus ( motorik) Otot temporalis dan maseter ( menutup rahang dan mengunyah) gerakan rahang ke lateral Nervus fasialis (motorik) Fungsi sebagai pengecapan, salivasi, lakrimasi dan pergerakan otot wajah

1)

2)

3)

4)

5)

6)

7)

8)

Nervus vestibularis ( sensorik) Fungsi sebagai keseimbangan Nervus glosofaringeus ( motorik)

9)

Fungsi sebagaipengecapan, sensasi lain dari lidah, salivasi, dan menelan 10) Nervus vagus ( motorik) Fungsi sebagai menelan, monitor kadar oksigendan karbondioksida, dan tekanan darah 11) Nervus aksesorius ( motorik) Fungsi sebagai produksi suara di laring, pergerakan kepala dan bahu 12) Nervus hipoglosus ( motorik) Fungsi sebagai pergerakan lidah c. Medula spinalis Medula spinalis merupakan bagian susunan syaraf pusat yang terletak didalam kanalis vetebralis. Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar dari hemisfer serebral dengan memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otak. Panjangnya kira-kira 45 cm dan menipis pada jari-jari.medula sepinalis terdiri dari 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12 torak, 5 lumbal, 5 sakral dan 5 segmen koksigius. Medula spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal;masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh. Medula spinalis dikelilingi oleh meningen, dura, araknoid dan pia meter. medula spinalis berbebtuk H dengan badan sel saraf dikelilingi traktus asenden dan desenden. (Smeltzer dan Bare, 2002) & (Syaifuddin, 2006). 2. Pengertian cedera kepala sedang Cidera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak yang terbatas pada kompartemen yang kaku (Price & Wilson, 2005). Cedera kepala sedang adalah trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak (Smeltzer dan Bare, 2002) Cedera kepala sedang adalah trauma yang mengenai otak yang disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah laku dan emosional. (Wahyu, dkk, 2008) Kesimpulan dari cedera kepala sedang adalah suatu trauma atau gangguan fungsi otak yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang disebabkan oleh injuri, trauma tumpul atau trauma tusuk. Cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:

a.

Cedera kepala ringan/Mild Head Injury (GCS 13-15 dengan kehilangan kesadaran kurang dari 0-15 menit) b. Cedera kepala sedang/Moderat Head Injury (GCS 9-12 dengan kehilangan kesadaran sampai dengan 6 jam) c. Cedera kepala berat/Savere Head Injury (GCS 3-5 dengan kehilangan kesadaran > 6 jam) 3. Etiologi Jatuh; kecelakaan kendaraan motor, sepeda dan mobil; kecelakaan pada saat olahraga. (Suriadi dan Yuliani, 2005)

4. Patofisiologi Trauma langsung/ Benturan Cedera fokal

cedera difus

Memar otak, hematom epidural, Subdural, intraserebral Gangguan fungsional Gelombang kejut Pada seluruh arah Mengubah tekanan jaringan otak Tekanan jaringan otak akan meningkat

Jaringan otak akan rusak coup Suplay darah keotak menurun Gangguan suplay oksigen dan glukosa pada sel Gangguan metabolisme ( anaerob) Penumpukan asam laktat

Udem Herniasi pada foramen tentorium, magnum/ falks serebrum Iskemi Nekrosis Mati Gambar 2. Patofisiologi Cedera Kepala Sedang (Sjamsuhidayat & jong, 2005)

5. Tanda dan gejala Tanda dan gejala yang terjadi pada klien cedera kepala sedangmenurut Corwin ( 2009) adalah: a. Pada konkusio, segera terjadi kehilangan kesadaran b. Pada hematom, kesadaran mungkin hilang segera atau bertahap seiring dengan membesarnya hematom c. Pola pernapasan dapat secara progesif menjadi abnormal d. Respon pupil mungkin lenyap atau secara progesif memburuk e. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan intrakranium f. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekananintrakran Menilai tingkat keparahan menurut Mansjoer, dkk. (2009) adalah: a. Cedera kepala ringan ringan (kelompok risiko rendah) 1) Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif 2) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi) 3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang 4) Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing 5) Klien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematomakulit kepala 6) Tidak adanya kriteria cedera sedang berat b. Cedera kepala ringan sedang (kelompok risiko sedang) 1) Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, latergi, ataustupor) 2) Konkusi 3) Amnesia pasca-trauma 4) Muntah 5) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinoreacairan serebrospinal)

6) Kejang c. Cedera kepala ringan berat (kelompok risiko berat) 1) Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma) 2) Penurunan derajat kesadaran secara progesif 3) Tanda neurologis fokal 4) Cedera kepala ringan penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium 6. Pemeriksaan diagnostik Pada klien cedera kepala sedang dilakukan pemeriksaan diagnostik sebagai berikut: a. Tomografi komputerisasi atau pencitraan resonan magnetikuntuk mengidentifikasi dan melokalisir lesi, edema serebral, pendarahan b. Sinar X tengkorak dan spinal servikal untuk mengidentifikasifraktur dan dislokasi c. Uji neuropsikologis selama fase rehabilitasi untuk menentukan defisit kognitif d. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma e. BAER (Brain Auditory Evoked Respons), menentukan fungsikorteks dan batang otak f. PET (Positron Enission Tomography), menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak g. Pungsi lumbal: dapat menduga kemungkinan adanya perdarahansubarakhnoid h. GDA (Gas Darah Arteri): mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang akan dapat meningkatkan TIK ( Doenges, 2006 ) 7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada klien dengan cedera kepala ringan menurut Corwin (2009) adalah: a. Konkusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring b. Untuk cedera kepala ringan terbuka di perlukan antibiotik c. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intrakraniumtermasuk pemberian diuretik dan obat anti inflamasi d. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah danevakuasi hematoma secara bedah

You might also like