You are on page 1of 61

KONSERVASI PENYU DI INDONESIA (Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Berbagai Spesies Penyu Lain)

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dan merupakan tugas akhir pada Mata Kuliah Zoologi Vertebrata dengan dosen pengampu Dosen Assisten : Dr.Hj.Tuti Kurniati, M.Pd : Sumiyati Saadah, M.Si

Disusun oleh: Aan Amilah (1211206002) IV/A

JURUSAN PEND. MIPA PRODI PEND. BIOLOGI FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2013

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohiim..... Alhamdulillah, segala puji bagi Tuhan semesta alam Allah SWT. Berkat izinnya akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Solawat serta salam juga tetap terlimpah pada sang revolusi Islam Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Saya selaku penyusun menghaturkan terimakasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam memberikan saran dalam penyusunan makalah ini dan membantu dalam mencari berbagai referensi sehingga akhirnya makalah ini dapat tersusun dengan baik. Makalah yang berjudul PENYU ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuannya khususnya

yang berkaitan dengan judul materi ini.

Bandung, Mei 2013

Penyusun

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 3 C. Tujuan Pembahasan .................................................................... 3 BAB II PEMBAHASAN A. Jenis dan Sebaran Penyu 1. Identifikasi Jenis ................................................................. 4 2. Bentuk Luar Penyu ............................................................ 6 B. Keadaann Penyu Saat Ini 1. Kelimpahan dan Kecenderungan Populasi ........................... 12 2. Kelompok atau Keragaman Populasi Penyu di Indonesia .... 18 C. Bio-Ekologi Penyu 1. Reproduksi ........................................................................ 21 2. Siklus Hidup Penyu ............................................................ 32 D. Jalur Migrasi Penyu 1. Jalur Migrasi Penyu Hijau ................................................... 34 2. Jalur Migrasi Penyu Belimbing ........................................... 35 3. Jalur Migrasi Penyu Abu-Abu ............................................. 36 E. Status Perlindungan Penyu ........................................................... 37 F. Ancaman dann Permasalahan Penyu ............................................ 38 G. Deskripsi Penyu Hijau ............................................................ 45

H. Nasib Penyu Hijau di Indonesia ................................................... 47 I. Pembudidayaan Penyu Hijau ........................................................ 50

BAB III SIMPULAN ................................................................................. 55 DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I PENDHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dari luas laut sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan territorial dari 2,8 juta km2 perairan nusantara) atau 62% dari luas territorial. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman dan sumber daya alamnya baik sumberdaya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang ) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan tambang lainnya). Hal tersebut menunjukkan bahwa di sekitar kelautan mempunyai potensi yang sangat besar dalam bangunan di masa depan (Dahuri,2001). Kondisi ini merupakan habitat yang sesuai bagi penyu untuk singgah dan bereproduksi di pantai kepulauan Indonesia. Di Indonesia terdapat 6 dari 7 jenis penyu yang ada di dunia. Dari 6 jenis penyu tersebut, 4 jenis diantaranya: yaitu penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eremochelys imbricate),dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) telah diketahui berbiak di Indonesia, sementara jenis yang lain, penyu tempayan (Caretta caretta) diduga juga berbiak disini (Salm, 1984; salm dan Halim, 1984; Kitchener, 1996). Jenis keenam, penyu pipih (Natator epresus) diketahui hanya berbiak di Australia, tetapi telah teramati mencari makan di perairan Indonesia (Kitchener, 1996). Sampai saat ini kehidupan penyu di Indonesia sangat terancam, keseriusan ancaman penyu di Indonesia dari kepunahan nampak dari kekhawatiran Green peace (1989) dalam Nuitja, 1997 mengatakan bahwa pertambahan populasi secara alamiah penyu laut di Indonesia mendekati nol. Bahkan IUCN, 1984 dan TRAFFIC Japan sudah mulai mengkhawatirkan dimasa mendatang penyu tidak akan ditemukan lagi di Indonesia (Troeng, 1997). Pembantaian penyu dan pengambilan telur penyu di Indonesia telah mendorong kearah kepunahan penyu

laut, sebab secara alamiah keberhasilan hidup penyu hanya 1% dari seluruh telur yang dihasilkan. Pembantaian penyu dan pengambilan telur secara liar telah mendorong menurunnya populasi penyu di Indonesia. Bahkan catatan terakhir WWF menyatakan penurunan populasi penyu di Indonesia mencapai 60% (Partomo, 2004). Penyu merupakan hewan langka dunia, sehingga kepunahan penyu di Indonesia akan sangat merugikan Indonesia baik akibat kehilangan

keanekaragaman hewan maupun posisi Indonesia di percaturan Internasional. Sebagai contoh Green Peace mengancam memboikot wisata ke Indonesia akibat pemantaian penyu di Bali tahun 1989, di Tingkat Asean tahun 1997 telah ada perjanjian bersama untuk perlindunan penyu, bahkan ASEAN Serikat memboikot ekspor udang dari ASEAN akibat menggunakan jaring yang membunuh penyu (Arshad Khan, 2003). Secara formal, pemerintah Indonesia telah berusaha melindungi penyu dari kepunahan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam peraturan pemerintah tersebut ditetapkan semua jenis penyu dilindungi. Beberapa tempat juga telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan penyu di Indonesia di antaranya, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo, Suaka Margasatwa Jamursba Medi Irian Jaya dan lain-lain. Salah satu usaha perlindungan adalah dengan menyelamatkan telur penyu di pantai, membesarkan dan melepas ke laut. Namun permasalahan yang muncul akibat kurang pengetahuan pelaksana dan pendanaan ternyata banyak telur penyu yang tidak menetas dan anak penyu yang mati selama perawatan. Maka dari itu, makalah ini akan membahas tetang penyu kehidupannya di alam. dan

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka saya dapat menyimpulkan rumusan masalah menjadi beberapa pertanyaan yaitu: 1. Bagaimana bentuk luar penyu dan terdiri apa saja bagian tumbuhnya? 2. Seperti apa keadaan penyu saat ini (kelimpahan dan keragaman)? 3. Bagaimana tahapan penetasan telur penyu?

C. Tujuan Pembahasan Dari rumusan masalah yang telah kami rumuskan maka tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. engetahui bentuk luar penyu dan terdiri apa saja bagian tumbuhnya. 2. Mengetaui keadaan penyu saat ini (kelimpahan dan keragaman). 3. Mengetahui tahapan penetasan telur penyu.

BAB II PEMBAHASAN
A. Jenis dan Sebaran Penyu 1. Identifikasi Jenis Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu beserta fungsinya sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi dengan baik. Tubuh penyu terdiri dari bagian-bagian: a. Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian punggung dan berfungsi sebagai pelindung. b. Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut. c. Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas dengan lastrn. Bagian ni dapat digunakan sebagai alat identifikasi. d. Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat dayung. e. Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi sebagai alat penggali. Gambaran bagian-bagian tubuh penyu dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

Tungkai depan Plastron Karapas

Infra marginal

Kuku

Tungkai

Tampak dari dorsal

Tampak dari ventral


Tungkai belakang

Bagian-Bagian Tubuh Penyu (Sumber: Yayasan Alam Lestari, 2000)

Family : Cheloniidae, meliputi : Species : 1) Chelonia mydas (penyu hijau) 2) Natator depressus (penyu pipih) 3) Lepidochelys olivacea (penyu abu) 4) Lepidochelys kempi (penyu kempi) 5) Eretmochelys imbricata (penyu sisik) 6) Caretta caretta (penyu karet atau penyu tempayan) Family : Dermochelyidae, meliputi : Species : 7) Dermochelys coriacea (penyu belimbing) Dari 7 spesies penyu di atas, penyu jenis Lepidochelys kempi (penyu kempi) tidak berada di Indonesia, tapi berada di Ameraka Latin. Oleh karena itu pada pembahasan makalah ini tidak dibahas tentang Penyu Kempi tetapi hanya membahas ke 6 penyu diatas yng beada di Indonesia.

Tabel 1. Nama ilmiah, internasional dan nama daerah (Indonesia) NO NAMA ILMIAH DAN INTERNASIONAL Chelonia mydas (Green turtle) Natator depressus (Flatback turtle) Lepidochelys olivacea (Olive ridley turtle) Dermochelys coriacea (Leatherback turtle) NAMA DAERAH Penyu Hijau (Jawa Barat dan Kalimantan Timur), Penyu Daging (Bali), Penyu Sala (Sumbawa), Katuwang (Sumatera Barat), Penyu Pendok (Karimun Jawa) Penyu Pipih Penyu Abu-Abu Penyu Belimbing

2 3 4

Eretmochelys imbricata (Hawksbill turtle)

Penyu Sisik (Jawa Barat, Sumatera Barat, Bali, Belitung, Simelue, Pulau Seribu, Sulawesi, Kalimantan Timur), Penyu Genting (Jawa Timur), dan Penyu Sisir (Madura) Penyu karet dan penyu tempayan

Caretta caretta (Loggerhead turtle)

Identifikasi jenis penyu dapat dilakukan berdasarkan pada hal-hal berikut: a. Bentuk luar (morfologi) b. Tanda-tanda khusus pada karapas c. Jejak dan ukuran sarang (diameter dan kedalaman sarang) serta kebiasaan bertelur d. Pilihan habitat peneluran

2. Bentuk luar penyu Identifikasi penyu berdasarkan bentuk luar (morfologi) setiap jenis dapat dilihat pada Tabel dibawah. Tata cara atau kunci identifikasi jenis penyu berdasarkan ciri-ciri morfologi dapat dilihat pada abel dibawah ini.

Tabel 2. Identifikasi Berdasarkan Bentuk Luar (Morfologi) Jenis Penyu NO 1 JENIS-JENIS PENYU Chelonia mydas (Penyu Hijau) Natator depressus (Penyu Pipih) CIRI-CIRI MORFOLOGI Karapas berbentuk oval, berwarna kuning keabu-abuan, tidak meruncing dipunggung, kepala bundar. Karapas meluas berbentuk oval, berwarna kuning keabu-abuan, tidak meruncing di belakang, kepala yang kecil dan bundar. Karapas berbentuk seperti kubah tinggi, terdiri dari 5 pasang coastal scutes dimana disetiap sisi terdiri dari 6-9 bagian. Bagian pinggir karapas lembut. Karapas berwana hijau gelap (dark olive green) dan bagian bawah berwarna kuning. Kepala penyu abu-

Lepidochelys olivacea (Penyu Abu-Abu)

Dermochelys coriacea (Penyu Belimbing)

Eretmochelys imbricata (Penyu Sisik)

Caretta caretta (Penyu Tempayan)

abu tergolong besar. Punggung memanjang berbentuk buah belim bing , epalanya sedang serta membundar, kaki depan panjang serta punggung berwarna hitam, hampir seluruhnya disertai bintik-bintik putih. Bentuk karapas seperti jantung (elongate) , meruncing dipunggung, kepalanya sempit seta karapasnya berwarna coklat dengan beberapa variasi terang mengkilat. Bentuk memanjang, meruncing dibagian belakang,kepala berbentuk triangular hampir seluruhnya berwarna cokelat kemerah-merahan.

Gambar 2. Kunci identifikasi jenis penyu berdasarkan ciri-ciri morfologi (Sumber: Queensland Department of Environment and Heritage)

Perbedaan bentuk morfologi setiap jenis penyu dapat dilihat pada Gambar.

Penyu Hijau (Chelonia mydas)

Tampak Atas

Penyu Pipih (Natator depressus)

Tampak Atas

Penyu Abu-abu (Lepidochelys olivacea)

Tampak Atas

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)

Tampak Atas

Penyu Belimbing ( Dermochelys coriacea)

Tampak Atas

Penyu Tempayan (Caretta caretta)

Tampak Atas

c. Jejak, ukuran sarang dan kebiasaan bertelur penyu Identifikasi jenis penyu berdasarkan jejak (track), ukuran sarang dan kebiasaan bertelur penyu dijelaskan pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Identifikasi Berdasarkan Jejak (track) dan Ukuran Sarang IDENTIFIKASI NO JENIS UKURAN SARANGA JEJAK DAN KEBIASAANN BERTELUR Chelonia mydas (Penyu Hijau) Lebar jejak + 100 cm Bentuk pintasan dan tanda diagonal berpola simetris yang dibuat oleh tungkai depannya. Lebar jejak + 90 cm Pintasannya jelas dengan tanda diagonalnya yang berpola simetris dibuat oleh tungkai depannya. Kedalaman antara 55-60 rb

Natator depressus (Penyu Pipih)

Lepidochelys olivacea (Penyu Abu-Abu)

Pembuatan sarang dilakukan di pantai terbuka dan luas, di daratan atau di pulau-pulau besar berhabitat karang. Bertelur setiap saat (malam atau siang), Lebar jejak + 80 cm ditemukan serentak dalam Bentuk pintasan beberapa hari arribada dangkal, tanda diagonal Arribada adalh perilaku yang dibuat tungkai unik dari betina L. depannya tidak simetris. Olivacea yang bersarang secara serentak pada waktu

Dermochelys coriacea (Penyu Belimbing)

tertentu. Penyu ini bertelur di daerah tropis berpohon. Lebar jejak antara 150- bertelur di pantai yang luas dan panjang di daerah yan 200 cm Pintasan sangat dalam trois. dengan tanda diagonal yang simetris. Lebar jejak antara 75-80 cm Bentuk pintasan dangkal, tanda diagonal yang dibuat tidak simetris. Lebar track antara 90100 cm Pintasannya ajelas tetapi dalam dan tanda diagonalnya yang berpola dibuat oleh kaki depannya Tempat bertelur memilih di pasir koral atau pasir granit. Kedalaman sarang paling dangkal dibanding jenis penyu lainnya. Pembuatan sarang umumnya dilakukan di pantai pada daratan pulau besar

Eretmochelys imbricata (Penyu Sisik)

Caretta caretta (Penyu Tempayan)

Pengukuran jejak setiap jenis penyu bertelur dilakukan mulai saat naik dari permukaan air menuju intertidal sampai mencari lokasi yang cocok untuk digali. Pengukuran jejak dilakukan malam hari. Contoh jejak beberapa jenis penyu disajikan pada gambar di bawah ini.

Contoh jejak beberapa jenis penyu. (1) penyu sisik; (2) penyu belimbing; dan (3) penyu hijau (1. Ali Mashar, 2007;2..www.bss.sfsu.edu; 3. www.ecoworld.com)

Panjang kaki belakang (pore flipper) pada penyu jenis tertentu menentukan dalamnya sarang. Secara umum penyu mampu membuat lubang
10

sarang sejauh panjang jangkauan kaki belakangnya untuk mengeduk pasir di sekitarnya. Sarang yang paling dangkal adalah yang dibuat oleh penyu sisik karena kaki belakang penyu sisik adalah yang terpendek diantara penyu lainnya. Sebagai gambaran jumlah telur dan kondisi sarang telur beberapa jenis penyu dapat dilihat pada gambar ini.

Gambaran kondisi sarang telur penyu hijau di alam dan penghitungan telur penyu sisik oleh petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pesisir Selatan di Pulau Penyu, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

11

B. Keadaan Populasi Penyu Saat Ini A. Kelimpahan dan kecenderungan populasi Penyu hijau, penyu sisik, penyu belimbing dan penyu abu-abu adalah jenis penyu yang terdapat di perairan Indonesia dan telah masuk dalam daftar Appendix I CITES. Upaya untuk menghitung kelimpahan populasi berbagai jenis penyu yang ada di Indonesia. Sebelum tahun 1997 pernah dilakukan (Tomascik et al, 1997), namun setelah periode tersebut pembaruan data belum pernah dilakukan. Data kelimpahan populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun hanya ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Jamursba MediWarmon di Papua, Kabupaten Berau - Kalimantan Timur serta pantai Sukamade dan Ngagelan di Jawa Timur. Semua jenis penyu di lokasi tersebut mengalami penurunan, kecuali populasi bertelur penyu Lekang di pantai peneluran Alas Purwo, Jawa Timur. Pada penjelasan di bawah ini disajikan contoh kelimpahan populasi beberapa jenis penyu di beberapa pantai peneluran. a. Kelimpahan populasi Penyu Belimbing di Jamursba Medi Warmon, Papua Pantai Jamursba Medi adalah lokasi peneluran penyu belimbing terbesar di kawasan Pasifik (Hitipeuw et al, 2007). Panjang kedua pantai tersebut adalah 18 km dan 6 km. Hasil pemantauan terhadap populasi penyu belimbing oleh WWF dan rekan dari tahun 19932004 yang dilakukan oleh Hitipeuw et al (2007) menunjukkan bahwa jumlah sarang telur (nest) penyu di pantai Jamursba Medi berfluktuasi dan diprediksi antara 1921 13.360 sarang, dengan rerata 4573 2910 (SD). Angka ini diduga ditelurkan oleh sekitar 300900 ekor penyu betina. Angka yang sebanding juga diperoleh di lokasi peneluran Warmon yang berjarak 30 km dari Jamursba Medi. Berdasarkan pemantauan pada periode 19932004, jumlah penyu belimbing yang bertelur di kedua lokasi ini diperkirakan

12

antara 6001800 ekor per-tahun. Musim bertelur puncak di Jamursba Medi adalah pada Bulan AprilSeptember, sedangkan di Wermon adalah OktoberMaret. Kecenderungan populasi (population trend) di Jamursba Medi mengalami penurunan, demikian pula prediksi di Warmon.

Jumlah sarang telur (nests) penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) per musim di pantai peneluran Jamursba Medi, Papua. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari Hitipeuw et al, 2007.

b. Kelimpahan Populasi Penyu Hijau di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur adalah salah satu lokasi peneluran dan ruaya pakan penyu hijau di Asia (Adnyana, 2003; Adnyana et al, 2007). Kepulauan ini terletak di wilayah perairan seluas 1.222.988 ha, lokasinya mulai dari Pulau Panjang (di Utara) hingga semenanjung. Mangkaliat (di Selatan). Di Perairan ini terdapat 31 pulau-pulau kecil dimana 9 diantaranya tempat penyu bertelur, yaitu Pulau Derawan, Sangalaki, Samama, Maratua, Bulang-Bilangan, Mataha, Sambit, Balikukup dan Pulau Kaniungan. Pulau Kaniungan adalah lokasi bertelur bagi penyu sisik. Situasi pulaupulau penyu yang tersebar di seluruh

13

perairan Berau tidak memungkinkan dilakukannya pemantauan populasi di semua tempat Kelimpahan populasi bertelur penyu hijau di wilayah ini diperkirakan antara 45005000 ekor per tahun (Tomascik et al, 1997; Adnyana, 2003). Musim peneluran terjadi sepanjang tahun dengan musim puncak sekitar Bulan MeiOktober. Pulau Sangalaki adalah pulau dengan kepadatan bertelur tertinggi, menyumbang lebih dari 30% dari total keseluruhan populasi bertelur di Kabupaten Berau (Adnyana et al, 2007). Pemantauan populasi yang dilakukan di pulau ini sejak awal Tahun 2002 menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi yang semakin menurun (Gambar 8). Bahkan jika dibandingkan dengan total sarang telur penyu yang dicatat pada periode tahun 1985-1990, rerata (SD) jumlah sarang pada periode 20022007 (4151 1088) adalah sekitar 57,5% dari rerata yang diperoleh pada periode 1995 2000 (Adnyana et al, 2007).

Jumlah sarang telur (nests) penyu Hijau (Chelonia mydas) per tahun di Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari Adnyana et al, 2007.

14

c. Kelimpahan Populasi Penyu Hijau di Pantai Sukamade, Jawa Timur Pantai Sukamade yang terletak di kawasan Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu pantai peneluran penting di Jawa Timur. Di sepanjang 3 km pantai peneluran ini terdapat 4 jenis penyu yang bertelur, yaitu penyu hijau, belimbing, sisik dan abu-abu. Namun data yang dikumpulkan sejak periode awal 1980-an menunjukkan hanya penyu hijau yang masih dominan ditemukan bertelur, sedangkan jenis lainnya sangat jarang. Jumlah sarang telur per tahun yang ditemukan di Sukamade berkisar antara 1772.072 dengan rerata (SD) 747 475. Kajian yang dilakukan oleh tim gabungan dari Universitas Udayana, WWF Indonesia dan pengelola Taman Nasional Meru Betiri di Tahun 2004-2005 memperkirakan bahwa jumlah penyu hijau yang bertelur di lokasi ini tak kurang dari 500 ekor per tahun (Adnyana et al, 2005). Musim peneluran terjadi sepanjang tahun dengan musim puncak sekitar Bulan November-Desember. Cakupan wilayah peneluran yang relatif pendek (3 km) memungkinkan dilakukannya pemantauan yang intensif. Pemantauan populasi yang dilakukan sejak awal 1970-an menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi yang semakin menurun (Gambar 9).

15

Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Belimbing, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jumlah ini adalah dominan (>95%) penyu Hijau. Garis putusputus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari basis data TNMB dan Adnyana et al, 2005.

d. Kelimpahan populasi Penyu Abu-abu di Pantai Ngagelan, Jawa Timur Pantai Ngagelan terletak di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur juga merupakan lokasi peneluran bagi 4 jenis penyu (penyu hijau, belimbing, sisik dan penyu abu-abu). Jika di pantai Sukamade didominasi oleh penyu hijau, maka di pantai Ngagelan mayoritas penyu yang ditemukan adalah jenis penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea). Musim puncak peneluran di sepanjang 18 km pantai peneluran ini adalah sekitar Bulan April September. Data peneluran penyu yang dikumpulkan oleh para petugas lapangan Taman Nasional Alas Purwo sejak Tahun 19832008 menunjukkan bahwa populasi penyu (>95% penyu abu-abu) yang bertelur meningkat tajam dari tahun ke tahun (Gambar 10). Data ini semestinya dapat dipakai contoh keberhasilan suatu pengelolaan konservasi penyu di Indonesia. Namun demikian, mengingat kompleksitas isu konservasi penyu, maka data mesti diinterpretasi dengan hati-hati. Salah satu argumen

16

dari fenomena ini diduga karena tingkat eksploitasi penyu abu-abu untuk dimanfaatkkan dagingnya relatif rendah dibandingkan dengan penyu hijau, demikian halnya untuk diambil cangkangnya dibandingkan dengan penyu sisik. Meningkatnya upaya pemantauan oleh para petugas lapangan pada tahun-tahun belakangan (yang seiring dengan meningkatnya isu konservasi penyu) di Taman Nasional Alas Purwo adalah faktor lain yang sangat signifikan.

Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Belimbing, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai peneluran Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Jumlah ini adalah dominan (>95%) penyu Lekang. Garis putusputus menunjukkan kecenderungan penurunan) linier. Data dikutip dari basis data Taman Nasional Alas Purwo.

e. Kelimpahan Populasi di Lokasi Peneluran Lainnya Prediksi kelimpahan populasi juga bisa dilakukan dengan melihat catatan data lainnya yang terkait, misal data jumlah telur yang dilaporkan oleh para pemegang hak konsesi telur penyu seperti yang terjadi di pantai PalohSambas, Kalimantan Barat. Jumlah sarang telur penyu yang dihasilkan di pantai peneluran penyu Paloh, Kabupaten Sambas, provinsi Kalimantan Barat dari Tahun 1996 hingga 2004 adalah 27.872 sarang, dengan rerata SD per tahun adalah 3097750 (Laporan Koperasi Tanjung Bendera, 2004). Angka ini memang tidak menunjukkan angka kelimpahan populasi penyu di lokasi tersebut, karena merupakan catatan

17

petugas koperasi yang mesti membayar sejumlah konsesi kepada pihak tertentu. Data ini hanya bisa dipergunakan sebagai penduga minimal. Selain sebagai penduga kelimpahan minimal, seri data yang dikumpulkan dalam 9 tahun ini juga memberikan gambaran kecenderungan populasi penyu di Paloh yang menurun dari tahun ke tahun.

Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai peneluran Paloh, Kalimantan Barat. Jumlah ini adalah dominan (>90%) penyu Hijau. Garis putusputus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari basis data Koperasi Tanjung Bendera, 2004.

Indikasi penurunan populasi di lokasi peneluran lainnya seperti Pesisir Selatan dan Kepulauan Banyak di Sumatera Barat, area peneluran di wilayah Laut Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan tempattempat lainnya di Indonesia dapat diketahui dari laporan-laporan pemantauan singkat (Suganuma etal, 1999; dan Adnyana, 2009) maupun berita yang disampaikan oleh media cetak maupun elektronik. Pemantauan yang lebih terstruktur perlu dilakukan untuk mengetahui situasi yang sebenarnya. B. Kelompok atau Keragaman Populasi Penyu di Indonesia Secara taksonomik, dikenal 7 jenis penyu di dunia, dimana 6 (enam) diantaranya hidup di perairan Indonesia, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu pipih (Natator depressus), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu tempayan (Caretta

18

caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al., 1992, Charuchinda et al., 2002). Namun dengan teknik genetik telah diketahui bahwa setiap jenis terdiri dari berbagai populasi atau stok. Penelitian yang dilakukan oleh NOAA (Dutton, unpublished) menunjukkan bahwa populasi penyu belimbing yang bertelur di pantai Jamursba Medi sejenis dengan penyupenyu belimbing yang bertelur di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Populasi penyu ini kemudian disebut sebagai kelompok Pasifik Barat yang memiliki keragaman genetik berbeda dengan kelompok lainnya, yaitu kelompok Pasifik Timur (Mexico, Costa Rica, dan Amerika Tengah) serta Kelompok Peninsula Malaysia yang kini dinyatakan telah punah. Spesies penyu yang paling banyak ditemukan dan memiliki wilayah jelajah yang luas di perairan kepulauan Indonesia adalah penyu hijau (Chelonia mydas) diikuti oleh penyu sisik(Eretmochelys imbricata). Penyu hijau tidak mudah dibedakan dengan penyu-penyu lainnya. Data genetik yang dikombinasikan dengan temuan penanda metal (metal tag) maupun penelusuran telemetri mengindikasikan bahwa penyu-penyu belimbing yang berkembang biak (kawin dan bertelur) di Pasifik Barat (termasuk populasi Papua) memiliki ruaya pakan dan berkembang di Pasifik Utara. Sementara itu, stok populasi di Pasifik Timur diketahui beruaya pakan di belahan Selatan (southern hemisphere) yang meliputi perairan dekat Peru dan Chile.

19

Stok genetik penyu Belimbing yang masih tersisa di dunia Area berwarna solid adalah lokasi peneluran dengan stok genetik definitif. Area ber garis-garis adalah lokasi peneluran penyu Belimbing dengan stok genetik yang belum sepenuhnya dikertahui. Stok populasi yang ada di Papua sejenis dengan yang ada di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Stok populasi penyu Belimbing yang bertelur di Malaysia dinyatakan telah punah (Dutton, unpublished).

Studi keragaman genetik dengan teknik DNA mitokondrial pada penyu-penyu hijau menunjukkan bahwa populasi yang bertelur di tujuh pantai peneluran yaitu pantai Sukamade (Jawa Timur), pantai Pangumbahan (Jawa Barat), pulau Sangalaki (Kalimantan Timur), pulau Derawan (Kalimantan Timur), pulau Piai (Raja Ampat), pulau Enu (Aru), serta pantai Paloh (Kalimantan Barat) berbeda satu dengan yang lainnya dan dinyatakan sebagai stok populasi atau unit pengelolaan (management unit) yang masing-masing berdiri sendiri (Purwanasari dan Adnyana, 2009; Wahidah, 2008; Mahardika et al, 2007; Moritz et al, 2002). Hanya populasi penyu yang di pantai Paloh dinyatakan memiliki keragaman yang sama dengan populasi penyu di Sarawak (Moritz et al, 2002). Secara teoritis, terjadinya pertukaran individu petelur (dari lokasi peneluran satu dengan lainnya) pada populasi dengan stok genetik yang berbeda hampir tidak terjadi, dan setiap populasi akan memberikan respon

20

terpisah terhadap adanya suatu ancaman maupun pengelolaan konservasi (Moritz, 1994). Dengan ilustrasi lain, keberhasilan proteksi penyu yang bertelur di pulau Sangalaki tak akan memberikan efek positif bagi populasi penyu yang bertelur di pulau didekatnya, yaitu pulau Derawan (keduanya memiliki keragaman genetik yang berbeda). Dengan demikian, fokus konservasi mesti dilakukan pada kedua populasi tersebut. Sementara itu, karena memiliki keragaman genetik yang sama, maka masih eksisnya penyu-penyu hijau di pantai Paloh (Kalimantan Barat) sedikit banyak adalah akibat dari upaya proteksi yang dilakukan di pantai di dekatnya (Sarawak Malaysia), demikia pula sebaliknya. Selain identifikasi terhadap keragaman genetik populasi penyu yang bertelur, kajian terhadap keragaman populasi penyu di dua ruaya pakan (perairan Aru Tenggara dan perairan di dekat Pulau Panjang, Kalimantan Timur) juga telah dilakukan. Telaah stok campuran (mixed stock assessment) yang dilakukan di ruaya pakan perairan Aru Tenggara menunjukkan adanya agregasi populasi penyu yang tidak saja berasal dari pulau-pulau peneluran di dekatnya, namun juga dari Papua New Guinea dan Great Barrier Reef Utara, Australia (Moritz et al, 2002). Sementara, penyupenyu yang ada di ruaya pakan pulau Panjang diketahui berasal dari populasi yang bertelur di pulau Derawan, Sangalaki, kepulauan penyu yang ada di Malaysia-Philippines, serta Micronesia (Cahyani et al, 2007). Ini menegaskan pentingnya kolaborasi internasional dalam pengelolaan suatu ruaya pakan dengan stok populasi penyu yang majemuk. C. Bio-Ekologi Penyu 1. Reproduksi Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu dewasa jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai menghasilkan generasi baru (tukik). Penyu membutuhkan kurang lebih 1550 tahun untuk dapat melakukan perkawinan. Selama masa kawin, penyu laut jantan menarik perhatian betinanya dengan menggosok-gosokkan kepalanya atau menggigit leher sang betina. Sang jantan kemudian
21

mengaitkan tubuhnya ke bagian belakang cangkang si betina. Kemudian ia melipat ekornya yang panjang ke bawah cangkang betina. Beberapa jantan dapat saling berkompetisi untuk merebut perhatian si betina. Hanya penyu laut betina yang pergi kepantai untuk bersarang dan menetaskan telurnya. Penyu laut jantan jarang sekali kembali ke pantai setelah mereka menetas. Penyu laut pergi untuk menetaskan telurnya ke pantai dimana mereka dulu dilahirkan. Penyu betina naik ke pantai untuk bertelur. Dengan kaki depannya, mereka menggali lubang untuk meletakkan telur-telurnya. Kemudian mereka mengisi lubang itu dengan telur-telurnya sebanyak kurang lebih 100 butir (bahkan mungkin lebih). Kemudian mereka dengan hati-hati menutup kembali lubang tersebut dengan pasir dan meratakan pasir tersebut untuk menyembunyikan atau menyamarkan letak lubang telurnya. Setelah proses melelahkan ini selama kurang lebih 1-3 jam berakhir, mereka kembali ke laut. Penyu umumnya lambat dan canggung apabila berada di darat, dan bertelur adalah hal yang sangat melelahkan, Penyu yang sedang bertelur sering terlihat mengeluarkan air mata, padahal sebenarnya mereka mengeluarkan garamgaram yang berlebihan di dalam tubuhnya. Beberapa penyu dapat menghentikan proses bertelur apabila mereka terganggu atau merasa dalam bahaya. Oleh karena itu, sangat penting diketahui bahwa jangan mengganggu penyu yang sedang bertelur. Tahapan reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Perkawinan Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan bertengger di atas punggung penyu betina (Gambar 13). Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak 13% yang berhasil mencapai dewasa. Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada kasus penyu tempayan yang akan melakukan perkawinan meski dalam enangkaran apabila telah tiba masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat kelamin penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang sambil berenang mengikuti kemana penyu betina berenang. Penyu jantan

22

kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan perkawinan. Selama perkawinan berlangsung, penyu jantan menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit tubuh penyu betina agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih.

Perkawinan Penyu (Sumber: SeaPics.com dan Yayasan Alam Lestari, 2000)

Untuk membedakan kelamin penyu dapat dilakukan dengan cara sexual dimorphism, yaitu membedakan ukuran ekor dan kepala penyu sebagai berikut:
NO 1 2 Kepala Ekor URAIAN JENIS KELAMIN JANTAN Lebih kecil Lebih memanjang kecil, BETINA Lebih besar Lebih pendek, agak besar

23

Jantan Betina Perbedaan jenis kelamin penyu. Kiri: jantan; Kanan: betina (Sumber: www.kathyboast.com)

Setiap jenis penyu melakukan kopulasi di daerah sub-tidal pada saat menjelang sore hari atau pada matahari baru terbit. Setelah 2-3 kali melakukan kopulasi, beberapa minggu kemudian penyu betina akan mencari daerah peneluran yang cocok sepanjang pantai yang diinginkan. b. Perilaku Peneluran Ketika akan bertelur penyu akan naik ke pantai. Hanya penyu betina yang datang ke daerah peneluran, sedangkan penyu jantan berada di daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan tingkah laku yang berbeda sesuai dengan spesies masing-masing. Setiap spesies penyu memiliki waktu (timing) peneluran yang berbeda satu sama lain. Lama antara peneluran yang satu dengan peneluran berikutnya (interval peneluran) dipengaruhi oleh suhu air laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin panjang. Tahapan bertelur pada berbagai jenis penyu umumnya berpola sama. Tahapan yang dilakukan dalam proses betelur adalah sebagai berikut: 1) Penyu menuju pantai, muncul dari hempasan ombak 2) Naik ke pantai, diam sebentar dan melihat sekelilingnya, bergerak melacak pasir yang cocok untuk membuat sarang. Jika tidak cocok, penyu akan mencari tempat lain.

24

3) Menggali kubangan untuk tumpuan tubuhnya (body pit), dilanjutkan menggali sarang telur di dalam body pit. 4) Penyu mengeluarkan telurnya satu per satu, kadangkala serentak dua sampai tiga telur. Ekor penyu melengkung ketika bertelur. 5) Umumnya penyu membutuhkan waktu masing-masing 45 menit untuk menggali sarang dan 10-20 menit untuk meletakkan telurnya. 6) Sarang telur ditimbun dengan pasir menggunakan sirip belakang, lalu menimbun kubangan (body pit) dengan ke empat kakinya. 7) Membuat penyamaran jejak untuk menghilangkan lokasi bertelurnya. 8) Kembali ke laut, menuju deburan ombak dan menghilang diantara gelombang. Pergerakan penyu ketika kembali ke laut ada yang bergerak lurus atau melalui jalan berkelok-kelok. 9) Penyu betina akan kembali ke ruaya pakannya setelah musim peneluran berakhir, dan tidak akan bertelur lagi untuk 2 8 tahun mendatang. c. Pertumbuhan Embrio Telur yang baru keluar dari perut penyu betina diliputi lendir, berbentuk bulat seperti bola pingpong, agak lembek dan kenyal. Sebagai contoh, gambaran pertumbuhan embrio penyu Tempayan, berdasarkan informasi dari Yayasan Alam Lestari (2000) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Embrio umur 30 hari - Panjang 2 cm - Kepala besar, mata berwarna hitam besar - Karapas sudah mulai terbentuk sebagian - Kaki dengan 5 tulang jari terlihat jelas

2) Embrio umur 40 hari - Panjang mencapai 4 cm - Kaki dan mata mulai bergerak perlahan-lahan - Karapas berwarna hitam, mulai mengeras

25

- Tampak pembuluh darah pada kuning telur yang menutup embrio - Tukik sudah sempurna 3). Embrio dan permukaan telur umur 50 hari - Permukaan telur berwarna putih jernih dan kering. Apabila digerak-gerakan

terasa akan pecah. - Seluruh tubuh tukik yang sudah terbentuk berwarna hitam, mata

kadang terbelalak 4) Embrio umur 52 hari - Telur menetas apabila sisa kuning telur sudah mengering - Panjang tukik mencapai 7 cm, berat 19 gram - Tukik keluar dari pasir pada hari ke- 52

Pertumbuhan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 2433 0C, dan akan mati apabila di luar kisaran suhu tersebut. Kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio sampai penetasan, antara lain: 1) Suhu pasir Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas. Penelitian terhadap telur penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir berbeda menunjukkan bahwa telur yang terdapat pada suhu pasir 32 0C menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir 24 0C menetas dalam waktu lebih dari 80 hari. 2) Kandungan air dalam pasir

26

Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam pasir. Makin banyak penyerapan air oleh telur dari pasir menyebabkan pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat diameter telur menjadi bertambah besar. Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air dari telur karena kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya embrio dalam telur tidak akan berkembang dan mati. 3) Kandungan oksigen Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio. Air hujan yang menyerap ke dalam sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan oksigen oleh telur, akibatnya embrio akan mati. d. Proses penetasan Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan induknya, masa inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Tahapan proses penetasan hingga tukik keluar dari sarang menurut Yayasan Alam Lestari (2000) disajikan pada gambar dibawah ini.

Proses Penetasan

Keterangan: 1. Telur dalam sarang. 2. Tukik memecahkan cangkang telur dengan menggunakan paruh (caruncle) yang terdapat di ujung rahang atas. 3. Tukik mulai aktif dan berusaha keluar dari sarang setelah selaput embrio terlepas. 4. Tukik bersama-sama dengan saudaranya berusaha menembus pasir untuk mencapai ke permukaan.

27

Jenis kelamin tukik semasa inkubasi sangat dipengaruhi oleh suhu. Berikut ini adalah grafik hubungan antara jenis kelamin tukik semasa inkubasi dengan suhu penetasan pada penyu tempayan.

Hubungan antara jenis kelamin tukik penyu Tempayan dan suhu penetasan (sumber : Yntema & Mrososvsky, 1980 dalam Yayasan Alam Lestari, 2000)

f. Tukik menuju laut Tukik menetas setelah sekitar 7-12 minggu. Kelompok tukik memerlukan waktu dua hari atau lebih untuk mencapai permukaan pasir, biasanya pada malam hari. Untuk menemukan arah ke laut tukik berpatokan pada arah yang paling terang serta menggunakan topografi garis horison di sekitarnya. Begitu mencapai laut tukik menggunakan berbagai kombinasi petunjuk (arah gelombang, arus dan medan magnet) untuk orientasi ke daerah lepas pantai yang lebih dalam. Kegiatan tukik melewati pantai dan berenang menjauh adalah upaya untuk merekam petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan kawin. Proses ini disebut imprinting process.

28

Tukik setelah menetas berusaha keluar ke permukaan pasir dan menuju laut (Sumber: SeaPics.com)

Saat tukik sudah berada di laut diduga memasuki kawasan dimana arusarus laut bertemu. Tukik-tukik tersebut menggunakan rumput-rumput laut yang mengapung, benda apung lain yan terperangkap oleh arus laut serta hewan-hewan

29

laut kecil sebagai makanan. Tukik bersifat karnivora sampai berumur 1 tahun, dan akan berubah setelah berumur lebih dari 1 tahun tergantung dari jenis penyu itu sendiri. Tukik jarang terlihat lagi hingga karapasnya mencapai ukuran 20-40 cm dengan usia sekitar 5-10 tahun setelah menetas. Pada saat itu tukik yang telah menjadi dewasa berenang kembali ke ruayan pakan di pesisir dan tinggal di daerah tersebut sampai siap memijah, dan saat itu pulalah siklus hidup penyu dimulai lagi. Masa tukik-tukik menghilang disebut sebagai tahun-tahun hilang (the lost years), yang ternyata saat itu tukik berlindung dan mencari makan di daerah sargassum.

Tukik berlindung diantara algae Sargassum (Sumber: SeaPics.com)

30

g. Habitat Bertelur Penyu


Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu

bertelur. Habitat peneluran bagi setiap penyu memiliki kekhasan. Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta terletak di atas bagian pantai. Rata-rata kemiringan 30 derajat di pantai bagian atas. Jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasanya terdapat di sepanjang daerah peneluran penyu secara umum dari daerah pantai ke arah daratan adalah sebagai berikut (Gambar 20): a) Tanaman Pioner b) Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus, Gynura procumbens, dan lainnya c) Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata, Terminalia catappa, Cycas rumphii, dan lainnya. d) Zonasi terdalam dari formasi hutan pantai Callophyllum inophyllum, Canavalia ensiformis, Cynodon actylon, dan lainnya.

Formasi Vegetasi dan Kondisi Pantai Peneluran Penyu di daerah peneluran penyu (penyu hijau dan penyu sisik) di Pulau Penyu, Sumbar (kiri) dan di daerah peneluran penyu hijau di Pantai Merubetiri, Jember, Jatim (kanan)

2. Siklus Hidup Penyu Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama. Penyu mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan berpuluhpuluh tahun untuk mencapai usia reproduksi. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh (hingga 3000 km) dari ruaya pakan ke pantai peneluran. Pada umur yang belum terlalu diketahui (sekitar 20-50 tahun)

31

penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di sekitar daerah kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas pantai satu atau dua bulan sebelum penelura pertama di musim tersebut. Baik penyu jantan maupun betina memiliki beberapa pasangan kawin. Penyu betina menyimpan sperma penyu jantan di dalam tubuhnya untuk membuahi tiga hingga tujuh kumpulan telur (nantinya menjadi 3-7 sarang) yang akan ditelurkan pada musim tersebut. Penyu jantan biasanya kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu betina menyelesaikan kegiatan bertelur dua mingguan di pantai. Penyu betina akan keluar dari laut jika telah siap untuk bertelur, dengan menggunakan sirip depannya menyeret tubuhnya ke pantai peneluran. Penyu betina membuat kubangan atau lubang badan (body pit) dengan sirip depannya lalu menggali lubang untuk sarang sedalam 30-60 cm dengan sirip belakang. jika pasirnya terlalu kering dan tidak cocok untuk bertelur, si penyu akan berpindah ke lokasi lain. Penyu mempunyai sifat kembali ke rumah (Strong homing instinct) yang kuat (Clark, 1967, Mc Connaughey, 1974; Mortimer dan Carr, 1987; Nuitja, 1991), yaitu migrasi antara lokasi mencari makan (Feeding grounds) dengan lokasi bertelur (breeding ground). Migrasi ini dapat berubah akibat berbagai alasan, misalnya perubahan iklim, kelangkaan pakan di alam, banyaknya predator termasuk gangguan manusia, dan terjadi bencana alam yang hebat di daerah peneluran, misalnya tsunami. Siklus hidup penyu secara umum dapat dilihat pada skema pada gambar ini:

32

Skema siklus hidup penyu (Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Serangan, Bali)

Upaya konservasi penyu tak akan pernah cukup jika hanya dilakukan di lokasi peneluran saja, karena penyu adalah satwa bermigrasi. Penyu yang telah mencapai usia dewasa di suatu ruaya peneluran (foraging ground) akan bermigrasi ke lokasi perkawinan dan pantai peneluran (breeding and nesting migration). Setelah mengeluarkan semua telurnya, penyu betina akan kembali bermigrasi ke ruaya pakannya masing-masing (post-nesting migration). Demikian pula halnya dengan penyu jantan, yang akan bermigrasi kembali ke ruaya pakannya setelah selesai melakukan perkawinan. Pengetahuan tentang jalur migrasi penyu diperoleh dengan penerapan teknik penelusuran menggunakan satelit telemetri. Di Indonesia, studi ini dilakukan secara intensif pada jenis penyu hijau, abu-abu dan belimbing. Studi pada penyu sisik juga pernah dilakukan di Pulau Segamat (Halim et al, 2002) dan Maluk-Sumbawa (Adnyana, 2008), namun dengan jumlah penyu yang sangat sedikit (2 ekor penyu din Segamat dan seekor penyu di Sumbawa). Studi dengan ukuran sampel kecil tersebut menunjukkan bahwa Pergerakan penyu Sisik di kedua wilayah peneluran ini hanya bersifat lokal, artinya tidak terlalu.

33

D. Jalur Migrasi Penyu 1. Jalur Migrasi Penyu Hijau Studi tentang migrasi pasca bertelur penyu hijau di Indonesia telah dilakukan di beberapa lokasi peneluran, yaitu Kepulauan Raja Ampat Papua (Gearheart et al, 2005), Pulau MisolPapua (Jayaratha & Adnyana, 2009), Berau - Kalimantan Timur (Adnyana et al, 2007)) serta SukamadeJawa Timur (Jayaratha & Adnyana, 2009). Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil penyu ber-ruaya pakan di area yang dekat dengan area perkawinan maupun bertelurnya. Ini ditemukan pada sebagian penyu yang di tag di Raja Ampat dan di Pulau Misol Papua. Sebagian besar lainnya bermigrasi ke area yang berjarak hingga ribuan kilometer dari lokasi bertelur dan menunjukkan jalur maupun tujuan yang relatif konsisten. Pola pergerakan migrasi penyu hijau cenderung bergerak melalui pesisir. Pergerakan lintas samudera ditemukan pada penyu Hijau yang di tag di pantai SukamadeJawa Timur. Penyu hijau di Raja Ampat sebagian besar bermigrasi turun ke arah Laut Arafura, dan sebagian lainnya ke Laut Sulu- Sulawesi dan Laut Jawa (Kalimantan Selatan). Penyu hijau di Sukamade sebagian besar bermigrasi ke Western Australia dan sebagian lagi ke Kepulauan Tengah (antara DompuSulawesi Selatan). Penyu hijau di Berau semuanya bermigrasi ke Laut Sulu; sebagian ke wilayah perairan Philipina dan sebagian lagi ke wilayah perairan Sabah Malaysia.

34

Migrasi pasca bertelur penyu Hijau di 3 lokasi peneluran di Indonesia. Keterangan: Penyu Hijau di Raja Ampat (RA)sebagian besar bermigrasi turun ke arah Laut Arafura, dan sebagian lainnya ke Laut Sulu-Sulawesi dan Laut Jawa (Kalimantan Selatan). Penyu Hijau di Sukamade (S) sebagian besar bermigrasi ke Western Australia dan sebagian lagi ke Kepulauan Tengah (antara DompuSulawesi Selatan). Penyu Hijau di Berau (B) semuanya bermigrasi ke Laut Sulu-Sulawesi.

2. Jalur Migrasi Penyu Belimbing Penyu belimbing diketahui memiliki kisaran pergerakan yang paling luas dibandingkan dengan reptil lautan lainnya, telah terbukti bermigrasi melintasi Samudera Pasifik maupun Atlantik (Ferraroli et al. 2004; Hays et al. 2004; James et al. 2005; Eckert 2006; Benson et al. 2007b). Penyu belimbing yang bertelur di Amerika Tengah dan Meksiko diketahui bermigrasi kearah selatan menuju perairan hangat/ tropis Pasifik selatan (Eckert dan Sarti 1997). Studi yang dilakukan terhadap 9 ekor penyu belimbing pasca bertelur di pantai peneluran Jamursba Medi menunjukkan bahwa penyu-penyu tersebut bergerak menuju berbagai perairan tropis, yaitu ke perairan Philipina dan Malaysia, perairan di Jepang, hingga menyeberangi equatorial Pasifik ke perairan hangat di Amerika Utara (Benson et al, 2007). Penyu belimbing yang menyeberangi Samudera Pasifik tiba di Perairan dekat Oregon-USA pada Bulan Agustus, saat tingginya agregasi ubur-ubur (Shenker 1984). Ini menunjukkan bahwa tujuan migrasi berhubungan dengan tersedianya sumber pakan (Benson et al 2007). Hubungan langsung antara lokasi peneluran Pasifik Barat dan ruaya pakan di Timur Laut Pasifik menegaskan konklusi mengenai struktur stok (genetik) oleh Dutton et al (2000).

35

Lintasan satelit telemetri 6 penyu Belimbing pasca-bertelur yang bergerak kearah Utara atau Timur Laut dari Jamursba Medi, Indonesia (tanda bintang). Lingkaran kecil hitam sepanjang lintasan menunjukkan lokasi bulanan. Lingkaran kosong besar menunjukkan lokasi transmisi terakhir.

Lintasan satelit telemetri 3 penyu Belimbing pasca-bertelur yang bergerak kearah Barat dari Jamursba Medi, Indonesia (tanda bintang). Lingkaran kecil hitam/penuh menunjukkan lokasi bulanan, sedangkan lingkaran besar kosong menunjukkan lokasi transmisi terakhir

3. Jalur Migrasi Penyu Abu-abu Penelusuran pergerakan pasca-bertelur terhadap penyu abu-abu telah dilakukan di dua wilayah peneluran, yaitu bagian Selatan (Alas Purwo Jawa Timur dan Bali) serta Utara (Jamursba Medi dan Kaironi, Papua). Dari empat penyu yang diamati di wilayah selatan, 3 ekor (75%) bermigrasi kearah Barat menuju perairan Provinsi Jawa Barat, sedangkan yang seekor bergerak mengelilingi wilayah selatan dan timur Pulau Bali sebelum bergerak menuju Laut Jawa. Sementara itu, seluruh (5 ekor) penyu dari wilayah Utara bermigrasi menuju ke selatan hingga laut Banda serta Arafura.

36

Lintasan satelit telemetry penyu Lekang pasca-bertelur di Jawa Timur (S Alas Purwo) & Bali (B), Kepala Burung Papua (J Jamursba Medi; K Kaironi)

E. Status Perlindungan Penyu Kompleksitas isu penyu berdampak pada pengaturan pengelolaan dan konservasinya, dan kenyataannya tidak tak satu aturanpun yang mampu menjawab kompleksitas permasalahan ini. Seluruh aturan mesti dipergunakan secara bersamaan. Aturan-aturan baru mesti dibangun untuk mengisi kesenjangan yang masih tersisa. Luasnya cakupan siklus hidup penyu mengharuskan adanya pengaturan yang meliputi daratan (pantai), wilayah perairan pesisir (hingga 12 mil), zona ekonomi ekslusif sampai di lautan lepas. Penyu telah terdaftar dalam daftar Apendik I Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna Spesies Terancam (Convention on International Trade of Endangered Species - CITES). Konvensi tersebut melarang semua perdagangan internasional atas semua produk/hasil yang datang dari penyu, baik itu telur, daging, maupun cangkangnya. Kita sendiri dapat menolong untuk melestarikan spesies penyu laut, yaitu dengan: 1. Tidak mengkonsumsi makanan yang berasal dari penyu (telur, daging) 2. Tidak menggunakan barang-barang yang terbuat dari cangkang penyu (mis: bingkai kacamata, dll) 3. Tidak membuang sampah plastik dan benda-benda lain yang berbahaya ke dalam laut. Penyu tertentu dapat salah mengartikan plastik sebagai makanan mereka yaitu ubur-ubur, sehingga menyebabkan sakit atau kematian penyu yang memakannya.

37

4. Tidak mengganggu penyu yang sedang bertelur karena mereka dapat menghentikan proses bertelur apabila merasa terancam. 5. Tidak mengambili telur-telur penyu karena akan menghancurkan populasi mereka. 6. Menjaga kesehatan terumbu karang kita. Terumbu karang yang sehat merupakan tempat makan dan tempat tinggal yang baik untuk penyu. 7. Turut mendukung program konservasi penyu laut. Sifat-sifat migrasinya yang cenderung lintas negara mewajibkan adanya pengaturan bilateral, tri nasional bahkan regional. Kompleksitas dampak sosialekonomi yang muncul pada setiap keputusan pengelolaannya memandatkan adanya partisipasi aktif dan progresif dari berbagai pihak. Hal terakhir ini, barangkali adalah salah satu faktor penting yang mendasari keterlibatan lembaga lembaga keagamaan serta komunitas Adat dalam upaya penyelamatan populasi penyu. F. Ancaman dan Permasalahan Penyu Keberadaan penyu, baik di dalam perairan maupun saat bertelur ketika menuju daerah peneluran banyak mendapatkan gangguan yang menjadi ancaman bagi kehidupannya. Permasalahan-permasalahan yang dapat mengancam

kehidupan penyu secara umum dapat digolongkan menjadi ancaman alami dan ancaman karena perbuatan manusia. Penyu laut telah mengalami penurunan yang dramatis dalam jumlah populasi dalam jangka waktu terakhir ini. Bahkan beberapa spesies terancam kepunahan dalam waktu yang dekat. Di alam, penyupenyu yang baru menetas menghadapi ancaman kematian dari hewanhewan seperti kepiting, burung, dan reptilia lainnya seperti biawak. Ancaman yang paling besar bagi penyu di Indonesia, seperti juga halnya di seluruh dunia, adalah manusia. Pembangunan daerah pesisir yang berlebihan telah mengurangi habitat penyu untuk bersarang. Penangkapan penyu untuk iambil tellur, daging, kulit, dan cangkangnya telah membuat populasi penyu berkurang. Di beberapa negara, penduduk masih mengambili telur penyu untuk dikonsumsi. Telur-telur itu dapat ditemui di pasar. Penyu hijau termasuk penyu yang dimanfaatkan secara berlebihan (over eksploitasi ) oleh penduduk Indonesia. Mereka dibunuh untuk
38

diambil dagingnya. Bali merupakan konsumer terbesar penyu laut. Mereka menggunakan penyu dalam upacaraupacara adat mereka. Ribuan penyu telah terbunuh untuk memenuhi permintaan pasar di Bali. Gangguan atau ancaman alami yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain: 1. Pemangsaan (predation) tukik, baik terhadap tukik yang baru keluar dari sarang (diantaranya oleh babi hutan, anjing-anjing liar, biawak dan burung elang) maupun terhadap tukik di laut (diantaranya oleh ikan cucut). 2. Penyakit, yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau karena pencemaran lingkungan perairan. 3. Perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut naik dan banyak terjadi erosi pantai peneluran sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap berubahnya daya tetas dan keseimbangan rasio kelamin tukik.

Salah satu penelitian sekunder yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dari Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikarian an Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran (Unpad) menemukan adanya korelasi antara perubahan iklim dan makin terdegradasinya populasi penyu di habitatnya. Hasil penelitian tersebut bahkan secara ekstrem mengklaim bahwa penyu tidak akan lagi dapat melakukan reproduksi pada tahun 2070 yang akan datang. Menurut salah seorang mahasiswa yang menjadi salah satu orang yang menjadi tim peneliti tersebut mengatakan, ada dua aspek yang diyakini dapat mendegradasi keberadaan penyu dari habitatnya. Di antaranya adalah peningkatan debit air laut dan peningkatan temperatur udara di muka bumi secara konstan. Menurutnya, adanya peningkatan air laut ini akan makin menenggelamkan pantai yang telah lama menjadi tempat potensial bagi penyu untuk bertelur. Menurutnta, jika debit air laut terus meningkat, penyu akan mencari tempat untuk bertelur makin jauh dari bibir pantai, sedangkan tempat di atas pantai itu komposisi pasirnya sudah berbeda. Kalau air laut sudah sampai di tanah lapisan atas, ia sudah tidak akan bisa bertelur lagi. Kekhawatiran tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Pakar dinamika kelautan, Noir P. Purba, M'Simengatakan, berdasarkan data dari IPCC (Inter Panel on Climate Change), secara

39

global permukaan air laut terns meningkat sebanyak 0,25 milimete pertahun. Bahkan ada juga penelitian yang mengatakan kenaikannya hingga cm per tahun. Akan tetapi, itu tergantung geografinya, tidak sama di semua lokasi. Di Indonesia, yang hingga sekarang terlihat sangat terancarn itu Jakarta, Semarang, dan Banjarmasin, menrut penuturannya. Tidak hanya itu, menurut Noir, pantai selatan Jawa yang dikenal sebagai ternpat mendaratnya penyu untuk bertelur pun terlihat mengalarni peningkatan. Hanya saja, hingga saat ini peningkatannya belum terlihat secara signifikan.Menurunya sangat masuk akal jika laut pasang, otomatis pasir tergenang dan ketika lubang tempat penyu menyimpan telur itu tergenang, pasti telur itu akan jadi busuk karena air laut itu mengandung bakteri yang dapat memakan protein telur itu. Menurut pendapatnya. Penentuan Jenis Kelarnin Dibandingkan dengan jenis hewan lain, penyu memiliki struktur regenerasi yang terbilang cukup unik. Dalam truktur regenerasi penyu dikenal istilah temperature sex determination, yang artinya jenis kelamin tukik (anak penyu) sangat dipengaruhi oleh suhu yang ada di sekitarnya. Hal ini jelas berbeda dengan hewan lain yang struktur regenerasinya ditentukan oleh sifat genetik (genetic sex determination). Penyu tidak sama dengan reptillain yang kerap mengerami telur, Seusai bertelur, induk penyu akan mengubur telur tersebut dalam pasir lalu meninggalkannya begitu saja. Dalamjangka waktu sekitar 45 hari, telur-telur penyu tersebut kemudian akan menetas dengan sendirinya. Dalam suhu panas, yaitu diatas 29 derajat Celsius, kelak akan menghasilkan tukik betina. Begitu pula sebaliknya, dalam suhu di bawah 29 derajat Celsius akan lahir tukik jantan. Jika suhu di muka burni terus meningkat, menurnt Vikky salah satu mahasiswa yang tergabung kedalam tim peneliti Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikarianan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran (Unpad) menutup kemungkinan kelak telur penyu yang menetas secara alami selurnhnya akan berjenis kelamin betina. Jika suhu terus naik secara konstan, menurnt perhitungan mereka, tahun 2050 jenis kelarnin tukik yang lahir itu sudah betina semua. Kalau itu terjadi, tahun 2070 penyu betina akan sulit untuk bereproduksi karena penyu jantannya tidak ada. Tepi pendapat ini masih diragukan oleh pakar reptil dan

40

amphibi Institut Teknologi Bandung Dr. Djoko Tjahjono Iskandar. Menurunya, penentuan jenis kelamin berdasarkan suhu tidak hanya dapat ditemui pada reptil sejenis penyu semata. Banyak reptillain yang seperti itu. Ada suhu yang berbeda pada masing- masing spesies, Djoko mengatakan, sebelum penyu memutuskan untuk menggali sarang sebagai tempatnya untuk bertelur, ia memiliki insting untuk mendeteksi secara pasti suhu yang ada di sekitarnya. Kemungkinan tetap ada, tetapi sejauh ini belum bisa dikatakan secara pasti menurutnya. la menuturkan, selain temperatur, kedalaman lubang yang digali oleh penyu sebelum bertelur juga berpengaruh terhadap jenis kelarnin tukik kelak, mengingat temperatur dan kelembaban yang ada di dalam tanah belum tentu sama dengan temperatur udara di atas tanah. Sedangkan gangguan atau ancaman karena perbuatan manusia yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain: 1. Tertangkapnya penyu karena aktivitas perikanan, baik disengaja maupun tidak disengaja dengan berbagai alat tangkap, seperti tombak , jaring insang (gill net), rawai panjang (longline) dan pukat (trawl). 2. Penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang dan tulangnya. 3. Pengambilan telur-telur penyu yang dimanfaatkan sebagai sumber protein. 4. Aktivitas pembangunan di wilayah pesisir yang dapat merusak habitat penyu untuk bertelur seperti penambangan pasir, pembangunan pelabuhan dan bandara, pembangunan sarana-prasarana wisata pantai dan pembangunan dinding atau tanggul pantai (lihat Lampiran 2).Gambar dibawah ini mengilustrasikan berbagai ancaman yang membahayakan kehidupan populasi penyu..

41

Penyu banyak diburu atau ditangkap manusia dengan tombak dan jaring (Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Bali)

Pembangunan Dinding Pantai (Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Bali)

Ancaman Predator atau Pemangsa (Sumber: SeaPics.com)

42

Terkena Baling-Baling Kapal (Sumber: SeaPics.com)

Terjaring Trawl (Sumber: SeaPics.com)

43

Telur mati terlilit tanaman laut (kiri); Pemanfaatan oleh manusia (kanan) (Sumber: SeaPics.com)

Mati setelah menetas, kemudian dikerumuni oleh semut (Sumber: SeaPics.com)

44

G. Deskripsi Penyu Hijau Penyu laut termasuk ke dalam kelompok reptilia yang mempunyai daerah jelajah yang sangat luas, yang mendiami laut tropis dan subtropis di seluruh dunia. Penyu laut diperkirakan telah menghuni bumi ini lebih dari 100 juta tahun. Oleh karena itu penyu laut dikenal sebagai fosil hidup. Penyu telah mengalami beberapa adaptasi untuk dapat hidup di laut, diantaranya yaitu dengan adanya tangan dan kaki yang berbentuk seperti sirip dan bentuk tubuh yang lebih ramping untuk memudahkan mereka berenang di air. Penyu laut juga memiliki kemampuan untuk mengeluarkan garam-garam air laut yang ikut tertelan bersama makanan yang mereka makan dan juga kemampuan untuk tinggal di dalam air dalam waktu yang lama selama kurang lebih 20-30 menit. Telinga penyu laut tidak dapat dilihat, tetapi mereka memiliki gendang telinga yang dilindungi oleh kulit. Penyu laut dapat mendengar suara-suara dengan frekuensi rendah dengan sangat baik dan daya penciuman mereka juga mengagumkan. Mereka juga dapat melihan dengan sangat baik di dalam air. Penyu laut memiliki cangkang yang melindungi tubuh mereka dari pemangsa. Penyu laut berbeda dengan kura-kura. Apabila dilihat sepintas, mereka memang terlihat sama. Ciri yang paling khas yang membedakan penyu laut dengan kurakura yaitu bahwa penyu laut tidak dapat menarik kepalanya ke dalam apabila merasa terancam. Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan penyu laut yang berukuran pertengahan sampai besar. Penyu hijau betina yang siap bertelur (nesting female) memiliki ukuran karapas (Carapace) dengan 3 kaki dengan bobot lebih dari 400 pon. Tukiknya berukuran kecil, dengan panjang karapas 2 inch dengan bobot kurang dari 1 ons. Karapas penyu dewasa licin sepanjang marjin (edges) lateral dan posteior dengan sisik yang tidak beraturan (non-overlapping scales). Tukiknya memiliki karapas yang bundar. Warna penyu hijau bervariasi dari hijau ke abu-abu ke coklat, dan karapas sering kali ditandai dengan titik-titik yang lebih gelap atau ditandai dengan loreng-loreng. Nama penyu hijau diambil dari warna jaringan lemaknya yang hijau, bukan dari warna eksternalnya. Bagian bawah karapas (plastron) biasanya berwarna putih atau kuning.

45

Penyu bukanlah ikan meskipun hewan ini hidup di perairan. Penyu tergolong ke dalam reptil dan bernafas dengan paru-paru. Bentuk cangkang yang mengerucut dan keempat anggota tubuhnya yang menyerupai sirip

memudahkannya bermigrasi ke berbagai samudra. Bahkan penyu hijau tercatat sebagai penjelajah antar benua yang hebat, mampu mengunjungi wilayah-wilayah tropis, seperti Indonesia, Hawai, dan Brazil. Namun begitu, seperti sudah menjadi kebiasaan, penyu akan kembali ke tempat dia menetas. Perbedaan penyu dengan kura-kura yaitu dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Penyu Laut

Kura-kura air tawar

Kura-kura Darat

46

H. Nasib Penyu Hijau di Indonesia Segitiga Karang meliputi Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Timor Leste menjadi rumah bagi 6 dari 7 jenis penyu yang ada di dunia. Penyu-penyu tersebut adalah penyu hijau atau dikenal dengan nama green turtle (Chelonia mydas), penyu sisik atau dikenal dengan nama Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata), penyu lekang atau dikenal dengan nama Olive ridley turtle (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing atau dikenal dengan nama Leatherback turtle (Dermochelys olivacea), penyu pipih atau dikenal dengan nama Flatback turtle (Natator depressus) dan penyu tempayan atau dikenal dengan nama Loggerhead turtle (Caretta caretta). Penyu belimbing adalah penyu yang di lindungi dan masuk dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) Appendix 1. Penyu hijau adalah salah satu jenis penyu laut yang umum dan jumlahnya lebih banyak dibanding beberapa penyu lainnya. Meskipun jumlahnya lebih banyak dibanding penyu lainnya, populasi penyu hijau tiap tahun berkurang oleh penangkapan dan pembunuhan baik sengaja maupun tidak sengaja yang terperangkap oleh jaring. Penyu hijau hidup di lautan tropis dan subtropis di Samudra Atlantik dan Pasifik. Penyu hijau memiliki leher yang pendek dan sirip yang menyerupai lengan yang beradaptasi untuk berenang. Paruhnya pendek dan tidak melengkung. Beratnya mencapai 315 kg, yang terbesar mencapai 395 kg. Penyu remaja menghabiskan waktunya di laut dangkal. Penyu akan kembali ke pantai saat bertelur. Penyu ini akan bertelur setiap tiga tahun sekali. Keberadaan penyu hijau sangat jarang sehingga dilindungi oleh setiap Negara dan ditetapkan sebagai hewan dilindungi oleh IUCN dan CITIES. Namun dibeberapa Negara seperti di Indonesia, penyu hijau masih diburu dan diambil telurnya untuk dimakan. Gerakannya yang unik dan khas seakan menggambarkan kelihayan perenang dasar laut yang mempesona. Ini mungkin bisa menggambarkan betapa unik dan indah melihat penyu laut berenang bebas di bawah permukaan laut. Dengan menggerakkan kedua kaki renang depan untuk mengontrol gerakan dan kecepatan, hewan ini bergerak gesit di dasar laut. Juga dengan bantuan kaki

47

belakang sebagai penyeimbang seakan memberikan kesempurnaan gaya renang yang memukau. Penyu laut khususnya penyu hijau adalah hewan pemakan tumbuhan (herbivore) namun sesekali dapat menelan beberapa hewan kecil. Hewan ini sering di laporkan beruaya di sekitar padang lamun (seagrass) untuk mencari makan, dan kadang di temukan memakan macroalga di sekitar padang alga. Pada padang lamun hewan ini lebih menyukai beberapa jenis lamun kecil dan lunak seperti (Thalassia testudinum, Halodule uninervis, Halophila ovalis, and H. ovata). Pada padang alga, hewan ini menyukai (Sargassum illiafolium and Chaclomorpha aerea). Pernah di laporkan pula bahwa penyu hijau memakan beberapa invertebrate yang umumnya melekat pada daun lamun dan alga. Penyu laut adalah adalah hewan yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di bawah permukaan laut. Induk betina dari hewan ini hanya sesekali kedaratan untuk meletakkan telut-telurnya di darat pada substrate berpasir yang jauh dari pemukiman penduduk. Untuk penyu hijau, seekor Induk betina dapat melepaskan telur-telurnya sebanyak 60 150 butir, dan secara alami tanpa adanya perburuan oleh manusia, hanya sekitar 11 ekor anak yang berhasil sampai kelaut kembali untuk berenang bebas untuk tumbuh dewasa. Dari 1.000 anak penyu (tukik) yang lahir, rata-rata hanya satu yang bisa hidup sampai dewasa. Beberapa peneliti pernah melaporkan bahwa presentase penetasan telur hewan ini secara alami hanya sekitar 50 % dan belum ditambah dengan adanya beberapa predatorpredator lain saat mulai menetas dan saat kembali ke laut untuk berenang. Predator alami di daratan misalnya kepiting pantai (Ocypode saratan, Coenobita sp.), burung dan tikus. Dilaut, predator utama hewan ini antara lain ikan-ikan besar yang beruaya di lingkungan perairan pantai. Sangat kecilnya presentase tersebut lebih diperparah lagi dengan penjarahan oleh manusia yang mengambil telur-telur tersebut segera setelah induk-induk dari penyu tadi bertelur. Karenanya, bila habitat penyu terganggu, berupa gugus pantai dan hamparan hutan mangrove-nya, Penyu tidak akan berani untuk naik ke pantai dan bertelur. Semakin lama populasinya akan menurun. Belum lagi gangguangangguan dari manusia yang mengancam keberadaannya. Aktifitas perburuan

48

daging penyu, jual beli cindera mata yang terdiri dari karapaks (cangkang penyu) atau menjual telurnya adalah hal-hal yang dapat membuatnya terancam punah. Semua jenis penyu adalah satwa yang dilindungi menurut undang-undang. Berdasarkan Undang-undang no 5 tahun 1990, perdagangan satwa langka termasuk penyu dapat dikenai hukuman penjara maksimum lima tahun dan denda seratus juta rupiah. Tasikmalaya (ANTARA News) - Populasi penyu hijau (Chelonia mydas) di Kawasan Konservasi Sindangkerta (KKS), Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jabar, kian memprihatikan, bahkan bukan mustahil beberapa tahun mendatang punah. Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jabar, Ir. Tata Jatirasa kepada ANTARA, mengakui adanya penurunan tingkat populasi penyu hijau yang datang ke KKS. Data tahun 2006, jumlah penyu hijau yang mendarat di KKS tercatat hanya 54 ekor, padahal data tahun 2002 menyebutkan populasi penyu hijau masih berjumlah 60 ekor, malahan tahun 2003 lalu jumlahnya lebih banyak lagi yakni mencapai 84 ekor. "Telur-telur yang ada itu dihasilkan dari penyu dewasa. Kalau penyu dewasanya sudah tidak ada atau semakin sedikit, maka jumlah telurnya pun otomatis berkurang". Dikatakan, tahun 2006 dari 54 penyu hijau tersebut yang mendarat hanya 49 ekor yang bertelur. Jumlah telur yang ditetaskan adalah 3.318 ekor dengan rincian 1.523 telur yang menetas dan dari jumlah itu sebanyak 1.348 tukik (anak penyu) hidup serta 175 tukik mati. Sementara itu hingga April 2007 ini jumlah penyu yang mendarat baru mencapai 12 ekor. Berkurangnya populasi penyu hijau dewasa itu antara lain dipengaruhi oleh perubahan alam di sekitar KKS dan penyebabnya sangat kompleks. Menurut Tata, sebenarnya kondisi pasir dan alam di sekitar KKS masih cukup bagus untuk dijadikan tempat penangkaran penyu hijau. Pihaknya mengaku khawatir dengan perubahan lingkungan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, pihaknya selalu melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tasikmalaya agar bisa mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ada. Menurut dia, adanya perusakan hutan yang dibarengi dengan kian padatnya area pemukiman di sekitar KKS, juga merupakan salah satu faktor yang membuat

49

populasi penyu hijau terus mengalami penurunan. Disebutkan, suasana gaduh dan alam yang makin tak nyaman membuat penyu yang ada di KKS itu enggan untuk bertelur. Wilayah konservasi penyu itu idealnya berada di tempat yang jauh dari kebisingan dengan situasi yang tenang, penyu-penyu menjadi merasa aman untuk bertelur. Ia mengatakan, ancaman kepunahan penyu hijau yang paling besar datang dari gangguan lingkungan sekitarnya, seperti munculnya pencurian telur penyu, kerusakan terumbu karang, hancurnya sepadan pantai dan masih banyak lagi. Jadi faktornya sangat kompleks, ujarnya. Kawasan Konservasi Penyu Sindangkerta memiliki luas yang memanjang sejauh 3 kilometer dari mulai Cikuya Hirup hingga Pasir Sindangkerta. I. Pembudidayaan Penyu Hijau Penangkaran merupakan sebuah praktek yang umum dilakukan dalam Konservasi Penyu untuk melindungi telur-telur penyu yang terancam di habitat alami. Problem-problem yang muncul pada program penangkaran penyu: biaya tinggi, kebutuhan akan staf yang terlatih dan terpercaya, biaya yang mencukupi untuk keberlanjutan penangkaran, keberhasilan tetas yang tidak konsisten, efek terhadap genetika penyu, hilangnya keragaman genetik, dan efeknya terhadap jenis kelamin yang dihasilkan dari penangkaran. Suhu selama masa inkubasi juga mempengaruhi keberhasilan tetas, lama masa inkubasi, ukuran, morfologi dan fisiologi serta perilaku tukik yang dihasilkan.. 1. Tegal Sereh Sejak tahun 2002 lalu, di kawasan Tegal Sereh yang tak jauh dari KKS telah dibangun Area Suaka Margasatwa. Sekarang, penyu-penyu hijau dewasa lebih senang bertelur di Tegal Sereh, sehingga untuk ke depannya Tegal Sereh diharapkan akan mampu menjadi benteng kepunahan penyu hijau. Puncak masa bertelur penyu hijau, dimana telor penyu hijau akan berserakan yakni pada bulan September hingga Desember. Pada saat-saat seperti itu semua petugas KKS disibukan karena harus menjaga dan mengamankan telurtelur yang berserakan. Bahkan tak jarang para petugas itu harus menjaganya hingga larut malam. Penyu hijau bertelur setiap tiga tahun sekali dengan jumlah

50

mencapai 180 telur. Proses bertelurnya sendiri, hanya memerlukan waktu sekitar 2,5 jam. Tapi kalau telur-telur itu dibiarkan menetas secara alami, kemungkinan hidupnya sangat kecil. Fluktuasi lingkungan sangat berpengaruh pada proses penetasan. Kawasan Konservasi Sindangkerta dinilai merupakan salah satu kawasan yang sebenarnya sangat cocok untuk proses penetasan teur penyu. Memang KKS bukanlah satu-satunya tempat konservasi penyu di Indonesia. 2. Pantai Pangumbahan Populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di pantai selatan Sukabumi terancam punah. Penyu Hijau atau Chelonia mydas yang habitatnya terdapat di pantai selatan Kabupaten Sukabumi, yaitu di Pantai Pangumbahan dan Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh di Desa Gunung Batu Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi, populasinya menurun drastis dan terancam punah. Penyebabnya eksploitasi untuk kepentingan komersial. Pada tahun 80-an, populasi penyu hijau yang terlihat naik ke daratan sekitar 50-an setiap malamnya. Namun sekarang penyu hijau yang bisa kita lihat pada musim bertelur hanya sekitar tiga ekor per malam, menurut Budiyanto, Direktur Eksekutif Kusuka bumiku, di Sukabumi, Budiyanto mengatakan kepada beritabumi.or.id, populasi penyu tersebut harus segera diselamatkan dan tidak boleh dieksploitasi dalam bentuk dan atau alasan apapun. Menurutnya, yang paling penting dan mendesak saat ini adalah melakukan upaya rehabilitasi dan restorasi untuk mengembalikan populasi penyu dan ekosistemnya, setidaknya seperti puluhan tahun silam. Sementara menurut Budiyanto, pengunduhan (pengambilan telur) penyu hijau di Pantai Pangumbahan selama ini justru dilakukan pihak swasta, yakni CV Daya Bakti yang menjadi rekanan Pemkab Sukabumi. Bahkan pihak pengelola berhak melakukan usaha pengambilan telur dari satwa yang dilindungi undang-undang tersebut dari sarang alaminya. Sedangkan di lokasi sepanjang pantai dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Cikepuh, pengambilan telur-telur penyu tersebut dilakukan oleh oknum masyarakat secara ilegal. Bahkan diduga melibatkan oknum pegawai pada lingkungan Departemen Kehutanan (Dephut). Menurut keterangan Budiyanto sejumlah oknum pegawai kehutanan yang terlibat tersebut telah mendapat sanksi

51

administrasi, yaitu dipindah-tugaskan ke daerah lain. Upaya pelestarian penyu yang dilakukan oleh pemerintah dapat ditempuh melalui kegiatan pengamanan pantai, pengumpulan telur, pembuatan tempat penetasan semi permanen, pemeliharaan telur yang ditetaskan, pemeliharaan tukik yang baru menetas, pemeliharaan tukik di tempat penampungan, tagging, sexing, pencatatan data jumlah penyu, pencatatan data jumlah telur, penyuluhan, pelayanan penelitian, pelepasan tukik ke laut, pendidikan dan pelatihan untuk pelajar dan mahasiswa. 3. Pulau Jemur Berdasarkan penelitan yang dibagi kedalam 3 stasiun (tempat) bertelurnya penyu. Beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat berelur penyu di stasiun I yaitu rintangan batu-batu cadas dan gelombang air laut yang lemah. Gelombang air laut lemah, diduga disebabkan oleh letak pantai, yaitu adanya pulau yang terletak sekitar 100 m dari pantai, dan selain itu diantara pulau dan pantai terdapat pula palung laut, sehingga pantai terhalang dari gelombang yang kuat. Di stasiun II dan III karakteristik pantai cenderung landai dan terbuka dengan kecepatan gelombang sedang dan kuat. Menurut Anonimus (1997) bahwa kehadiran penyu di pantai untuk membuat sarang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pantai landai dan kekuatan gelombang yang membantu penyu untuk mendarat dipantai, selain itu rintangan berupa tebing batu-batu cadas dan ganguan lainnya sangat mempengaruhi kehadiran penyu di pantai. Secara temporal aktivitas membuat sarang penyu hijau di pulau Jemur dimulai pada bulan April, dan aktivitas puncak membuat sarang berlangsung pada bulan Mei dan Juni , dan menurun pada bulan Juli. Menurut Pusphalaila et al (1999) bahwa masa bersarang penyu hijau secara temporal dimulai pada pertengahan bulan Mei, dan aktivitas puncak membuat sarang selama bulan Juni dan Juli, dan menurun pada bulan Agustus, dan berakhir dalam bulan September. Musim bersarang panyu normal dimulai pada bulan April dan puncaknya pada bulan Mei dan Juni, selanjutnya menurun pada bulan Juli (Winel et al, 2000).

52

Aktivitas puncak membuat sarang penyu di pulau Jemur memungkinkan terjadi pada bulan Mei dan Juni, karena pada saat itu berlangsung musim kemarau. Sesuai yang dikemukakan oleh Maria et al (2000) yaitu bahwa kelimpahan sarang memuncak berlangsung pada musim kemarau, hal ini ada hubungannya dengan kondisi iklim makroklimak dengan mikroklimak sarang yang berpengaruh terhadap keberhasilan penetasan dan berperan sebagai aspek biologi reproduksi penyu. Berdasarkan rerata sarang per bulan dari setiap zona di setiap stasiun, kemiringan pantai, tekstur pasir, rintangan dan gangguan di pantai, menunjukkan rerata sarang paling sedikit dijumpai di stasiun II. Diduga disebabkan oleh kemiringan pantai yang terlalu landai, yaitu dengan kemiringan pantai kecil dari 140, sehingga pantai sering diterpa gelombang dan akan memudahkan interupsi air laut kepantai. Hal ini menyebabkan pasir selalu basah dan cenderung lebih padat. Pasir yang lebih padat akan menyulitkan penyu dalam menggali lobang sarang. Sebaliknya pantai curam dan terjal merupakan kendala bagi penyu untuk mendarat kepantai. Kemiringan pantai yang tidak terlalu landai dan tidak pula terlalu curam yaitu berkisar antara 240-310, kondisi ini memudahkan penyu untuk mendarat dipantai sehingga dipantai tersebut relatif lebih banyak dijumpai sarang penyu. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Anonimus (1999) bahwa kondisi pantai yang cocok untuk sarang adalah pantai dengan kemiringan 300, dan lokasi daerah peneluran berada diatas daerah pasang surut antara 30-80 m. Tekstur pasir pun sangat menentukan dalam proses penetasan telur penyu. Menurut Nybakken (1998) bahwa ukuran partikel pasir dipantai merupakan fungsi dari gelombang ombak di pantai itu, jika ombak kecil partikelpartikel berukuran kecil, sedangkan jika ombak besar dan kuat partikel-partikel akan menjadi kasar dan membentuk kerikil serta kepentingannya terletak pada retensi air dan kesesuaian untuk digali. Selanjutnya Anonimus (1999) mengemukakan bahwa penyu tidak jadi bertelur jika tipe pasir yang berada dalam sarang berupa pecahan kerang yang kasar juga bercampur tanah liat atau kerikil, selain itu butiran pasir yang sangat halus didalam penggalian lubang sering longsor sehingga penyu tidak mau meneruskan penggalian sarang dan berpindah

53

mencari tempat yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa butiran pasir yang cocok dan disenangi oleh induk penyu untuk bersarang adalah dalam ukuran sedang dan halus. Dari uraian di atas dikemukakan bahwa kehadiran penyu membuat sarang di stasiun II rendah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adalah tekstur pasir dan rintangan batu-batu cadas. Tekstur pasir pantai merupakan interaksi dari kemiringan pantai dan kecepatan gelombang kepantai. Berdasarkan kemiringan sarang, jarak naungan dengan mikroklimak (suhu dan kelembaban) sarang (tabel 2). Sarang pada kemiringan 30-320 dengan suhu harian pagi hari 28-310C dan 30320 C pada sore hari. Sarang pada kemiringan 200-280 (<300) dengan suhu harian pagi hari 19-260C dan 20-280C pada sore hari. Suhu harian sarang pada sore hari relatif lebih tinggi dari pada pagi hari, hal ini disebabkan radiasi dan konduksi panas lebih optimal, sehingga daratan (pantai) mengalami kenaikan suhu.

54

BAB III SIMPULAN

Berdasarkan rumusan masalah pada diatas maka dapat di ssimpulkan pembahasan makalah ini menjadi beberapa poin, yaitu: 1. Tubuh penyu terdiri dari bagian-bagian: a. Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian punggung dan berfungsi sebagai pelindung. b. Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut. c. Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas dengan lastrn. Bagian ni dapat digunakan sebagai alat identifikasi. d. Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat dayung. e. Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi sebagai alat penggali. 2. Kelimpahan dan Keragaman Penyu saat ini. Keadaan penyu saat ini terancam punah karena eksploitasi penyu dan telur yang begitu tidak terkendali yang disebabkan oleh tingkah laku manusia yang serakah tanpa memperdulikan keseimbangan lingkungan. Penyu yang dahulu keadaannya melimpah terutama Chelonia mydas yang tersebar di seluruh Indonesia teapi sekarang statusnya menjadi dilindungi karena keberadaannya (populasi) nya semakin berkurang, sementara masa bertelurnya sangat lama harus menunggu sekitar 3-4 tahun untuk dapat bertelur, itu pun tidak semua telur dapat berkembang menjadi tukik (anak penyu) karena ancaman dari luar sangat banyak dan beragam ancaman. Untuk keberagaman ini masih tetap ada sampai saat ini hanya keberadaannya sangat sedikit, sehingga butuh perlindungan yang sangat ekstra untuk tetap mempertahankan setiap jenis penyu yang sekarang masih ada. 3. Tahapan yang dilakukan dalam proses betelur adalah sebagai berikut: a. Penyu menuju pantai, muncul dari hempasan ombak

55

b. Naik ke pantai, diam sebentar dan melihat sekelilingnya, bergerak melacak pasir yang cocok untuk membuat sarang. Jika tidak cocok, penyu akan mencari tempat lain. c. Menggali kubangan untuk tumpuan tubuhnya (body pit), dilanjutkan menggali sarang telur di dalam body pit. d. Penyu mengeluarkan telurnya satu per satu, kadangkala serentak dua sampai tiga telur. Ekor penyu melengkung ketika bertelur. e. Umumnya penyu membutuhkan waktu masing-masing 45 menit untuk menggali sarang dan 10-20 menit untuk meletakkan telurnya. f. Sarang telur ditimbun dengan pasir menggunakan sirip belakang, lalu menimbun kubangan (body pit) dengan ke empat kakinya. g. Membuat penyamaran jejak untuk menghilangkan lokasi bertelurnya. h. Kembali ke laut, menuju deburan ombak dan menghilang diantara gelombang. Pergerakan penyu ketika kembali ke laut ada yang bergerak lurus atau melalui jalan berkelok-kelok. i. Penyu betina akan kembali ke ruaya pakannya setelah musim peneluran berakhir, dan tidak akan bertelur lagi untuk 2 8 tahun mendatang.

56

DAFTAR PUSTAKA

Yustina, 2004, Jurnal Biogenesis, Analisis Distribusi Sarang Penyu Hijau Chelonia mydas di Pulau Jemur Riau, Pekan Baru, Vol. 1, ISSN: 1829-5460. Risma Illa Maulany, 2011, Biologi, Ekologi dan Manajemen Penyu Lekang (Lepidochely olivacea) di Taman Nasional Alas Purwo,

Banyuwangi: Natural and Rural Systems Management University of Queensland. Agus Dermawan dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Mimi. 2012. Penyu Laut .Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Albiansyah dan Aditya. 2011. Akibat Perubahan Iklim Populasi Penyu Terancam. Bandung: Pikiran Rakyat.

You might also like