You are on page 1of 3

Sejarah Pembukuan Hadits Hadits atau sunnah adalah hukum islam yang kedua , merupakan landasan dan pedoman

dalam kehidupan umat islam setelah Al-Quran. Oleh karena itu perhatian kepada hadits yang di terima Nabi Muhammad SAW, dilakukan dengan cara memahami dan menyampaikan kepada orang yang belum mengetahuinya. Perhatian seperti ini sudah ada pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup. Namun pada saat itu para perawi hadits sangat berhati-hati dalam menerima maupun meriwayatkan hadits dan menjaga kemurniannya. Pada zaman Rasulullah, para sahabatlah yang meriwayatkan hadits yang pertama. Para sahabat adalah penerima hadits langsung dari Nabi Muhammad SAW, baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban atas maslah yang di hadapi. Pada masa itu para sahabat umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadits yang di terima. Meskipun ada, jumlahnya sangat sedikit. Hal ini di sebabkan antara lain : Khawatir tulisan hadits itu bercampur dengan tulisan Al-Quran Menghindarkan umat menyandarkan ajaran islam kepada hadits saja Khawatir dalam meriwayatkan hadits salah, dan tidak sesuai dengan yang di sampaikan Nabi Muhammad saw. Pada abad ke-2 hijriah hadits-hadits Nabi mulai di kumpulkan dan di tulis secara resmi.Umar ibn Abd al-aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Umayyah yang mulai memerintah dipenghujung abad pertama hijriah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan Hadits Nabi secara resmi. Hal tersebut dirasakannya begitu mendesak, karena pada masa itu wilayah kekuasaan Islam telah meluas sampai ke daerah-daerah jazirah Arabia, di samping para Sahabat sendiri, yang hafalan dan catatan-catatan pribadi mereka mengenai Hadits Nabi merupakan sumber rujukan bagi ahli Hadits ketika itu, sebagian besar telah meninggal dunia karena faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan. Dan pada masa itu, yaitu awal pemerintahan Umar ibn Abd al-aziz, hadits masih belum dibukukan secara resmi. Ada beberapa faktor yang mendorong Umar ibn Abd al-aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadits, diantaranya adalah :

Pertama, tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadits, yaitu kekhawatiran bercampurnya hadits dengan Al-Quran karena pada masa itu telah dibukukan dan di sebarluaskan. Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadits karena banyaknya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi peperangan. Ketiga, semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhabdi kalangan umat Islam. Keadaan ini apabila dibiarkan terus menerus akan merusak kemurnian ajaran Islam, sehingga upaya untuk menyelamatkan hadits dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan. Keempat, karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari hadits Nabi SAW, selain petunjuk Al-Quran sendiri. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) ,seorang khalifah masyhur dari Dinasti Umayyah. Ia khawatir ilmu yang diwariskan Rasulullah perlahan hilang seiring wafatnya para ulama. Sejak saat itulah, sejarah pembukuan hadits dimulai. Sejarah ini secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga fase : Fase Pengumpulan Umar bin Abdul Aziz menunjuk Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, atau dikenal sebagai Ibnu Hazm untuk melakukan misi pengumpulan hadits Ia lalu menugasi Ibnu Syihab Az-Zuhri untuk sama-sama melaksanakan tugas itu. Para kepala daerah diminta untuk mengumpulkan hadits yang tersebar pada para tabiin (generasi setelah sahabat). Ibnu Hazm juga menyusun ilmu Riwayatul Hadits, ilmu untuk memeriksa keabsahan sebuah hadits berasal dari Nabi Muhammad saw. Ilmu tersebut juga berfungsi untuk memeriksa sanad dan matan. Fase Verifikasi Setelah hadits-hadits terkumpul, pada abad ke-3 Hijriah, para ulama melakukan tashih (koreksi dan verifikasi). Mereka yang terlibat dalam misi ini antara lain Ahmad bin

Hambal, Abdullah bin Musa Al-Abasi Al-Kufi, Musaddad Al-Bashri, Nuam bin Hammad Al-Khuzai dan Utsman bin Abi Syubah. Hasilnya, hadits-hadits terkumpul dan terkategorisasi ke dalam kelompok hadits marfu (yang memang berasal dari Nabi Muhammad saw), mauquf (berisi perilaku sahabat Nabi), dan maqtu (perilaku tabiin). Fase Pembukuan Masih pada abad ke-3 Hijriah, setelah terverifikasi, hadits-hadits di teliti sanad dan rawinya untuk mengecek sahih atau tidak sahihnya hadits. Misi ini dilakukan oleh Ishaq bin Rahawaih, lalu dilanjutkan oleh Imam Bukhari, kemudian muridnya, Imam Muslim. Usaha ini dilanjutkan lagi oleh ulama-ulama setelahnya. Kemudian hadits-hadits ini dibukukan berdasarkan hasil peneliti tersebut. Hasilnya, hadits-hadits terkelompok dalam tiga macam kitab (buku) hadits, yaitu : Kitab Sahih (Sahih Bukhri, Sahih Muslim) berisi hadits-hadits sahih Kitab Sunan (Ibnu Majah, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) berisi hadits-hadits sahih dan dhaif yang tidak munkar Kitab Musnad (Abu Yala, Al-Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) berisi hadits-hadits tanpa penelitian. Perkembangan selanjutnya setelah tiga fase ini hanyalah beberapa penyempurnaan. Dengan demikian, umat islam kini memiliki referensi yang baku dalam menggali hadits.

You might also like