You are on page 1of 102

MENCAPAI VISI 2030: SEBUAH MODEL MAKROEKONOMI

INDONESIA DENGAN PEMODELAN SYSTEM DYNAMICS

TESIS

Karya tulis sebagai salah satu syarat


Untuk memperoleh gelar Magister dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh

MUHAMAD KHAIRUL BAHRI


NIM : 24007044
Program Studi : Studi Pembangunan

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2008
ABSTRAK

MENCAPAI VISI 2030: SEBUAH MODEL MAKROEKONOMI


INDONESIA DENGAN PEMODELAN SYSTEM DYNAMICS

Oleh
MUHAMAD KHAIRUL BAHRI
NIM : 24007044

Dua lembaga konsultan keuangan dunia, Price Water House Coopers (2006) dan
Goldman Sachs (2007), memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu
negara dengan kekuatan ekonomi terbesar pada tahun 2050. Goldman Sachs
dalam makalahnya yang berjudul N-11: More than Acronym menggolongkan
Indonesia dalam kelompok Next-Eleven (N-11) pada urutan ke 7. N-11 adalah
kelompok 11 negara yang mempunyai potensi pertumbuhan ekonomi besar dan
diprediksi akan merajai PDB dunia setidaknya paling lambat tahun 2050. Senada
dengan Goldman Sachs, Price Water House Coopers juga menetapkan Indonesia
sebagai kekuatan ekonomi terbesar nomor 6 paling lambat pada tahun 2050 dalam
artikel berjudul “The World in 2050”. Bahkan untuk menguatkan prediksi itu telah
terbit visi 2030 (www.indforum.org) yang menyatakan bahwa Indonesia akan
mampu tampil sebagai negara dengan kekuatan ekonomi ke-lima didunia dengan
pendapatan per kapita US$ 18.000 per tahun pada tahun 2030.

Perkembangan ekonomi Indonesia tahun-tahun terakhir ini menunjukkan


pertumbuhan ekonomi Indonesia ke arah yang positif. Peningkatan besaran PDB
(Produk Domestik Bruto) yang ditandai dengan tingkat inflasi yang relatif rendah
dan nilai tukar yang relatif stabil menunjukkan peluang Indonesia untuk tampil
sebagai negara adidaya ekonomi.

Analisis dengan suatu pendekatan system dynamics menunjukkan bahwa


perekonomian Indonesia mempunyai peluang untuk mewujudkan visi 2030, jika
arah pembangunan diarahkan dengan meletakkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada peningkatan investasi dan penguasaan teknologi. Pendekatan
business as usual dalam perekonomian Indonesia tidak memadai untuk memandu
Indonesia mencapai visi 2030.

Hasil studi menunjukkan bahwa: a) perekonomian Indonesia cenderung ke arah


overheating economy, karena mengandalkan konsumsi sebagai pemacu
pertumbuhan ekonomi; b) perlunya pengarahan pembangunan Indonesia pada
sektor investasi dan daya saing iptek sehingga pertumbuhan ekonomi sejalan
dengan penyediaan kesempatan kerja dan kemandirian perekonomian; c)
diperlukan orientasi pengembangan industri yang mengurangi kebergantungan
ii

pada produk impor; dan d) peningkatan kerjasama industri, perguruan tinggi dan
pemerintah dalam mewujudkan visi 2030.

Kata kunci : teknologi , visi 2030, system dynamics


iii

ABSTRACT

ACHIEVING THE VISION 2030: AN INDONESIA MACROECONOMIC


MODEL WITH SYSTEM DYNAMICS MODELING

BY

MUHAMAD KHAIRUL BAHRI


NIM : 24007044

Price Water House Coopers (2006) and Goldman Sachs (2007), predict that
Indonesia will be one of the great economic blockbusters in year 2050. Goldman
Sachs in a titled article N-11: More than Acronym supposed that Indonesia will be
the seventh world economic blockbuster. N-11 is a group of eleven countries
around the world that will dominate world GDP by year 2050. In line with
Goldman Sachs, Price Water House Coopers also predict that Indonesia has
potential chance to be the sixth economy blockbuster by late 2050 in an article of
“The World in 2050”. Indonesian experts who named themselves as Yayasan
Indonesia Forum (www.indforum.org) also has same prediction with those
institusions’s prediction. Yayasan Indonesia Forum account Indonesia’s vision of
2030 which suppose that Indonesia will be the top of five of the world largest
GDP by year 2030 with predicted income per capita US$ 18.000.

Within later decade, Indonesia noted good economic growth. Indonesia’s


economic growth reached (4-6) % per year accompanied by low inflation and
stable exchange rate that show Indonesia’s chance to be one of the world largest
GDP.

Analysis with system dynamics reveals that Indonesia has chance to achieve the
vision 2030, if the economy strengthen investment as leading sector with
enhancing technology capability. Analysis also show that business as usual
approach not suitable to reach the vision 2030.

This study summarize of the following results a) Indonesia economy tend to be


overheating economy, caused consumption being a dominant factor in economic
growth b) we shall arrange the economic development to account investment as
leading sector and enhance our technological capability so that economic
development in line with labor demand and high economic foundation c) we shall
iv

minimize our dependency to import by developing suitable industry; and d)


enhancing coordination beneath industry, university and government to achieve
the vision of 2030.

Keyword: technology, the vision of 2030, system dynamics


v

PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS

Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut


Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta
ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi
pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus
disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin


Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
vi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis telah
berhasil menyelesaikan penulisan tesis S2 pada Program Magister Studi
Pembangunan ITB ini dengan Judul: Mencapai Visi 2030: Sebuah Model
Makroekonomi Indonesia Dengan Pemodelan System Dynamics.

Selama pembuatan tesis, penulis menyadari bahwa tesis ini takkan dapat
diselesaikan tanpa bantuan dari banyak pihak baik bantuan dari berbagai pihak
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu dengan segala
kerendahan dan ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Muhammad Tasrif, M.Eng, selaku Ketua Program Studi
Pembangunan dan sekaligus sebagai dosen pembimbing penulis, yang telah
memberikan arahan dan masukan yang sangat berguna dalam penyelesaian
penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. Sonny Yuliar dan Dr. Ir. Indra Budiman Syamwil selaku
dosen dan sekaligus sebagai penguji tesis. Banyak sumbangan pemikiran
yang kemudian menyempurnakan tesis ini.

3. BPKSDM Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia yang telah


memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa tugas
belajar di Institut Teknologi Bandung.

4. Pemerintah Daerah Kota Mataram yang telah memberikan dukungan


kepada penulis selama dalam selama proses pendidikan. Terima kasih
khususnya kepada Bapak Mustaan dan Mas Rudi atas bantuan untuk ijin
belajarnya.

5. Seluruh staf administrasi Program Studi Pembangunan ITB yang telah


banyak membantu penulis selama proses perkuliahan dan menyelesaikan
tesis ini. Terima kasih untuk Pak Gunawan, Pak Tarsiwad, Mbak Fitri dan
Mbak Yani atas segala bantuannya selama penulis mengikuti studi.
vii

6. Seluruh rekan-rekan Angkatan 2007 SP-ITB khususnya kelas PU-Bandung,


terutama kepada Jopi Herlian Joeniaga, Sri Damar Agustina, Fitri Novitasari,
Adri Yanti Rivai serta Nurul Fajri (Rully) yang telah membantu baik berupa
saran maupun dukungan moril sehingga penulis dapat merampungkan
penulisan tesis ini.

Penghargaan yang setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada Aurik Gustomo


yang telah sangat banyak membantu selama penulis melaksanakan studi, baik
bantuan moril dan materiil.

Tesis ini juga saya persembahkan untuk Bapak-Ibu, my beloved wife (Rida), dan
my funny little girls (Ema dan Alia) atas kesabaran, doa dan dukungan kepada
penulis selama dalam menyelesaikan studi.

Yang terakhir, semoga saja tesis ini memberikan sumbangan yang bermanfaat
bagi pembangunan Indonesia.

Bandung, September 2008

Muhamad Khairul Bahri


viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................... i
ABSTRACK ........................................................................................ iii
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS ............................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR …..................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................ xiv
BAB I Pendahuluan
I.1 Latar belakang .......................................................... 1
I.2 Perumusan masalah ………………………………… 2
I.3 Tujuan penelitian ....................................................... 5
I.4 Lingkup Permasalahan ......................................... 5
I.5 Metodologi penelitian ................................................ 5
I.6 Sistematika Pembahasan ............................................. 6
BAB II Landasan Pustaka
II.1 Pengertian Produk Domestik Bruto ……............. 7
II.1.1 Beberapa Indikator Ekonomi ……….…………….. 9
II.2 Masalah Pengangguran …………………… 12
II.3 Teori Pertumbuhan Solow …………… 14
II.3.1 Potensial Output ……………………… 15
II.3.2 Pengertian Produktivitas ……………………… 17
II.4 System Dynamics ……………………… 19
II.4.1 Sejarah dan Prospeknya di Masa Datang ………… 19
II.4.2 Sejarah dan Asal-Muasal ……………… ………… 20
II.4.3 Prinsip System Dynamics …………… ………… 21
II.4.4 Aplikasi-Aplikasi System Dynamics …………….. 26
II.5 Visi Indonesia 2030 ………………. 27
ix

BAB III Metodologi Penelitian


III.1 System Dynamics Sebagai suatu Metodologi ............. 31
III.2 Pemodelan System Dynamics ……………………….. 32
III.2.1 Proses Pengenalan Masalah ………………………. 33
III.2.2 Konseptualisasi Sistem .………………………… 35
III.2.3 Formulasi Model .………………………………… 35
III.2.4 Pengujian dan Pengembangan Model …………… 37
III.2.5 Analisis Kebijakan dan Penggunaan Model ……… 43
BAB IV Gambaran Umum Perekonomian Indonesia dan Model Makroekonomi
IV.1 Gambaran Makroekonomi Indonesia ……………. 45
IV.1.1 Pertumbuhan PDB dari segi Pengeluaran …………. 45
IV.1.2 Pertumbuhan PDB dari segi Lapangan Usaha …….. 46
IV.2 Model Dasar Makroekonomi dalam Sistem Dinamis . 50
IV.2.1 Sektor Pengeluaran Pemerintah (GS-Government
Spending)………………………………………………………. 53
IV.2.2 Sektor Potensial Output, Aggregate Demand dan Net
Ekspor ………………………………………………………….. 55

IV.2.3 Sektor Permintaan Jangka Panjang dan Jangka Pendek


(Long Run Expexted Demand = LED dan Short Run Expected
Demand=SED) …………………………………………………… 57

IV.2.4 Sektor Tenaga Kerja, Kapital, dan Pendapatan Per Kapita …58
IV.3 Uji Validitas Model ……………………………….. 59
IV.4 Perilaku Model ….…………………………….. 62
BAB V Analisis Dan Pembahasan
V.1 Simulasi Berbagai Skenario ……..…………………….. 66
V.1.1. Skenario Business as Usual ……………………………. 66
V.1.2. Skenario pertumbuhan Macan Asia ……………………. 66
V.1.3. Skenario peningkatan (Industri Padat Modal) ……….. 67
V.2 Analisis Hasil Simulasi……….…………….…………… 68
V.3 Perbandingan Pertumbuhan Output dan Tingkat
Pengangguran ………..………………….……………. 74
V.4 Fungsi Intermediasi Perbankan ……………………….. 76
x

V.5 Struktur Industri Indonesia dan Kemampuan Iptek


Indonesia …………………………………………… 76
V.6 Modal Sosial Pembangunan ………………………… 79
BAB VI Kesimpulan dan Saran
VI.1 Kesimpulan ............................................................... 81
VI.2 Saran-saran ............................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... ........... 85
xi

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Persamaan model (dalam Powersim) ……………………. 86
Lampiran 2 Prosedur Statistik Pengujian Model ………...……………. 89
Lampiran 3 Fitting ( )Alpha …………………….…………………… 93
Lampiran 4 Pentingnya TPF (Total Productivity Factor) dan Interaksi
TPF dengan ……………………. 94
Lampiran 5 Perbandingan Sumber Daya Iptek Indonesia dengan Negara Lain .96
Lampiran 6 Pengembangan Sektor Industri di Indonesia ……………… 98
xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Rasio Hutang Indonesia terhadap PDB ……….…………….. 2


Gambar 1.2 Pertumbuhan PDB dan PDB per kapita …………………….. 3
Gambar 2.1 PDB harga konstan 1993 & 2000 dan PDB harga berlaku …. 8
Gambar 2.2 Perbandingan Deflator PDB dan IHK (tahun dasar 2000)….… 10
Gambar 2.3 System Dynamics sebagai suatu metoda …………………… 22
Gambar 2.4 PDB Per Kapita Indonesia, 1990 – 2030 …………………….. 28
Gambar 2.5. GDP Harga Berlaku 5 Negara Terbesar, 2005 dan 2030 …… 28
Gambar 3. 1 Sebuah sistem ………………. ……………………………… 31
Gambar 3.2 Prosedur pemodelan system dynamics menurut Saeed (1994) . 33
Gambar 4.1 Pertumbuhan PDB Indonesia dan Persentase Sektor Pertanian vs
Sektor Pengolahan terhadap PDB Indonesia ……………………………. 49
Gambar 4.2 Causal Loop Model Makroekonomi ……..…………………. 51
Gambar 4.3 Flow Diagram Sektor Government dan Permanent Income . 54
Gambar 4.4 Flow Diagram Sektor Aggregate Demand, Potential Output dan
Inflasi serta Net Export ……………………………….…………………. 56
Gambar 4.5 Flow Diagram Sektor Kapital, SED dan LED ……………… 57
Gambar 4.6 Flow Diagram Sektor Tenaga Kerja dan Pendapatan per Kapita.58
Gambar 4.7 Flow Diagram Sektor Padat Modal ………………………… 59
Gambar 4.8 Hasil berbagai simulasi skenario dasar (business as usual)…. 63
Gambar 5.1 Causal loop dan TPF …………… …………..............…... 65
Gambar 5.2 Output PDB (Rp) ................……………………………….. 67
Gambar 5.3 Pendapatan Per Kapita (US$ per jiwa-thn) ………………... 67
Gambar 5.4 Potential Output (Rp) ……………………………………….. 67
Gambar 5.5 Kapital Output Ratio ……………………………………….. 67
Gambar 5.6 Koefisien (Betha) ……………………………………..…. 68
Gambar 5.7 Capital Labour Ratio ………………………………………. 68
Gambar 5.8 Price Level (P) …………………………………………….. 68
Gambar 5.9 Rasio Investasi-PDB .………………………………………… 68
Gambar 5.10 Desired Investment vs Investment……………………….…. 68
Gambar 5.11 Jumlah Tenaga Kerja ……………………………………... 68
xiii

Gambar 5.12 Peranan Investasi sebagai leading pertumbuhan ekonomi …. 69


Gambar 5.13 Diagram Flow yang menjelaskan hubungan antara tingkat investasi
yang tersedia …………….…………………………………………. 73
Gambar 5.14 Tingkat Investasi yang Tersedia ……………………………. 73
Gambar 5.15 Indikator Kemudahan Berinvestasi di Indonesia …………… 75
xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Karakteristik System Dynamics (Myrtveit, 2005) ………………. 32


Tabel 3.2 Pengujian-pengujian dalam System Dynamics…….……………. 41
Tabel 4.1 PDB Indonesia 1995-2006 (PDB Berdasarkan Jenis Pengeluaran). 47
Tabel 4.2 Persentase Jenis Pengeluaran terhadap PDB Indonesia 1995-2006. 47
Tabel 4.3 Persentase Pengeluaran terhadap Pertumbuhan PDB Indonesia 1995-
2006 ……..………………………. 47
Tabel 4.4 PDB Indonesia 1995-2006 (PDB Berdasarkan Sektor Industri )… 48
Tabel 4.5 Persentase Sektor Industri Terhadap PDB Indonesia 1995-2006 .. 48
Tabel 4.6 Persentase pertumbuhan sektor industri terhadap pertumbuhan PDB
Indonesia 1995-2006 ……………………………………………. 49
Tabel 4.7 Daftar Variabel Model …………………………………..…….. 50
Tabel 4.8 Uji Validitas Penduduk ……………………………………… 60
Tabel 4.9 Uji Validitas Output …………………………………………….. 60
Tabel 4.10 Uji Validitas PDB per kapita ……….…………………………. 61
Tabel 4.11 Uji Validitas Price Level ………………………………..……. 61
Tabel 4.12 Data yang digunakan untuk simulasi model dasar ……………. 61
Tabel 5.1 Persentase Impor Indonesia menurut golongan barang …..…… 72
Tabel 5.2 Perbandingan Hasil Simulasi ……..…………………………… 71
Tabel 5.3 Dana Pihak Ketiga Yg Terhimpun di Perbankan Indonesia (Milyar).72
Tabel 5.4 Realisasi FDI ………………………………………………….. 73
Tabel 5.5 Tingkat Pengangguran vs Pertumbuhan PDB ………………… 74
Tabel 5.6 Persentasi Investasi Terhadap PDB …………………………… 74
Tabel 5.7 Data Perkembangan Perbankan Indonesia …………………… 76
Tabel 5.8 Jumlah Paten Indonesia dan Negara Tetangga ………………. 78
Tabel 5.9 Perbandingan modal sosial dan institusi penelitian ………….. 80
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dua lembaga konsultan keuangan dunia, Price Water House Coopers (2006) dan
Goldman Sachs (2007), memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu
negara dengan kekuatan ekonomi terbesar pada tahun 2050. Goldman Sachs
dalam makalahnya yang berjudul N-11: More than Acronym menggolongkan
Indonesia dalam kelompok Next-Eleven (N-11) pada urutan ke 7. N-11 adalah
kelompok 11 negara yang mempunyai potensi pertumbuhan ekonomi besar dan
diprediksi akan merajai PDB dunia setidaknya paling lambat tahun 2050. Senada
dengan Goldman Sachs, Price Water House Coopers juga menetapkan Indonesia
sebagai kekuatan ekonomi terbesar nomor 6 paling lambat pada tahun 2050 dalam
artikel berjudul “The World in 2050”.

Ada banyak pertimbangan kedua lembaga tersebut menempatkan Indonesia layak


sebagai salah satu bakal kekuatan ekonomi terbesar pada tahun 2050 yang akan
datang. Antara lain adanya pertumbuhan ekonomi yang mempunyai rentang 4% -
6% per tahun, jumlah populasi yang besar dan stabilnya nilai tukar rupiah dalam
tahun-tahun terakhir ini.

Indonesia sendiri, berdasarkan perkiraan di atas, telah membuat visi Indonesia


2030 (YIF, 2007) yang pada intinya merumuskan visi Indonesia untuk menjadi
negara industri tangguh pada tahun 2030, dimana pada saat itu pendapatan per
kapita Indonesia diperkirakan akan mencapai US$ 18.000 per tahun.

Dari segi ekonomi sendiri, Indonesia sendiri mempunyai beberapa keunggulan


yaitu: a) jumlah populasi yang sangat besar (Indonesia termasuk negara
berpenduduk terbesar ke empat di dunia), b) kekayaan alam yang melimpah,
c) kemandirian Indonesia dari IMF – dengan melunasi semua komitmen utang
luar negeri Indonesia (sesuai Letter of Intent yang ditandatangani tahun 1997), dan
d) keberhasilan Indonesia meraih pertumbuhan ekonomi yang mendekati angka
6% per tahun (sama dengan pertumbuhan ekonomi sebelum krisis moneter). Yang
tidak kalah penting ialah menurunnya rasio utang luar negeri terhadap PDB yang
2

berkisar 80% (pada tahun 2000) menjadi kurang 40% tahun 2007, seperti yang
diperlihatkan dalam Gambar 1.1 di bawah ini (Bank Dunia, 2008). Beberapa
perubahan positif di atas jika dimanfaatkan dengan baik, dapat menempatkan
Indonesia pada posisi terhormat sesuai perkiraan di atas.

Gambar 1.1 Rasio Hutang Indonesia terhadap PDB (sumber: Bank Dunia)

Untuk itu perlu disadari pentingnya kita memahami struktur pertumbuhan


ekonomi Indonesia untuk meraih visi Indonesia 2030 sekaligus meraih posisi
terhormat sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia terbesar pada tahun 2050.

Pemahaman struktur perekonomian suatu negara sangatlah penting, di antaranya


untuk mengetahui kelebihan dan kelemahannya. Dengan memahami kelebihan
dan kekurangannya, kita dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis
untuk meraih kemajuan yang kita harapkan.

Di sisi lain, selama ini kajian makroekonomi Indonesia yang ada hanya berkutat
mengenai peran TPF (Total Productivity Factor=Faktor Produktivitas Total)
dalam pertumbuhan ekonomi. Dengan metodologi system dynamics, penulis akan
melakukan pendekatan yang dinamis dan menyeluruh dengan melihat interaksi di
1
antara dan TPF sehingga kita dapat mengenali kelebihan dan kelemahan
perekonomian kita. Dan dari itu kita dapat menetapkan strategi yang paling tepat
bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang kita harapkan bersama.

Yang juga menjadi sumber perbedaan pendapat dalam pertumbuhan ekonomi


suatu negara adalah “ bagaimana sebaiknya pengembangan sektor industri ? ”.
Suatu pendapat menyatakan pentingnya pengembangan sektor industri padat

1
adalah bagian prosentase output yang dihasilkan kapital
3

karya agar pertumbuhan ekonomi mampu menyerap tenaga kerja yang relatif
banyak daripada kita mengembangkan industri padat modal. Pendapat lain juga
menyatakan perlunya kita mengembangkan industri padat modal karena produk
padat modal merupakan produk yang bernilai tambah tinggi sehingga dapat
meningkatkan profitabilitas usaha.

Kenyataan yang kita hadapi memberikan fakta bahwa industri padat karya seperti
industri sepatu, TPT (tekstil dan produk tekstil) mengalami masa-masa sulit akibat
serbuan produk impor dengan harga jauh lebih murah. Industri padat karya yang
selama ini kita andalkan untuk meningkatkan kesediaan lapangan kerja justru
yang paling pertama mengurangi jumlah karyawannya belakangan ini. Timbul
pertanyaan bagaimana seharusnya kita membangun industri yang mampu
mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi jumlah pengangguran.

I.2 Perumusan Masalah


Standar kehidupan suatu negara sangat ditentukan oleh fungsi produksinya
(Mankiew, 2003). Semakin tinggi nilai fungsi produksi atau makin tinggi tingkat
produksinya, maka makin besar potensi negara tersebut untuk meningkatkan
standar kehidupannya. Besaran fungsi produksi dipengaruhi oleh jumlah kapital,
tenaga kerja dan faktor produktivitas total (total productivity factor). Ketiga faktor
ini sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi.

Gambar 1.2 Pertumbuhan PDB dan PDB per kapita

Seperti yang yang dapat kita amati dalam Gambar 1.2 diatas (Thomson, Western,
2007) ada perbedaan yang mencolok dalam pertumbuhan standar kehidupan antar
4

negara. Negara-negara di benua Afrika umumnya mengalami pertumbuhan


standar kehidupan yang relatif datar, di sisi lain negara-negara Macan Asia
tumbuh sangat pesat. Bahkan pertumbuhan Macan Asia (Taiwan, Korea Selatan,
Singapore dan Hongkong) jauh lebih pesat dibandingkan dengan pertumbuhan
negara maju (Amerika Serikat dan Eropa Barat).

Studi terakhir menunjukkan bahwa pertumbuhan standar kehidupan Macan Asian


didukung oleh peningkatan rasio investasi terhadap PDB (yang akan
meningkatkan jumlah kapital) dan peningkatan produktivitas (Mankiew, 2003).
Pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara dipengaruhi oleh jumlah
tenaga kerja, jumlah kapital dan tingkat penguasaan teknologi. Makin tinggi salah
satu faktor di atas (jumlah kapital, tenaga kerja dan faktor produktivitas total),
maka makin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Karena itu memahami peran kapital, tenaga kerja dan faktor produktivitas total
dalam struktur ekonomi suatu negara menjadi hal yang amat penting difahami
untuk menggiring ekonomi suatu negara ke arah yang lebih baik.

Dalam pandangan ekonomi, jumlah populasi dan kapital merupakan suatu


keniscayaan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Jumlah populasi kita yang besar
merupakan suatu faktor penting yang jika dapat kita kelola dengan baik dapat
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang penting.

Di sisi lain, jumlah kapital yang berasal dari investasi (dalam dan luar negeri)
merupakan alat produksi yang kita butuhkan untuk meningkatkan jumlah
produksi. Sedangkan untuk menggunakan kapital itu sendiri diperlukan
pengetahuan dan penguasaan teknologi yang memadai. Tanpa penguasaan
teknologi yang memadai, maka kita takkan dapat menggunakan kapital tersebut
secara memadai. Inilah gambaran keterkaitan penting antara tenaga kerja, kapital
dan tingkat penguasaan teknologi. Tingkat penguasaan teknologi erat kaitannya
dengan faktor produktivitas total, makin tinggi penguasaan teknologi dan makin
kondusif interaksi di antara masyarakat-swasta-pemerintah, makin besar potensi
untuk meningkatkan produktivitas output suatu negara.
5

Dalam penelitian ini yang akan dikaji ialah ”Bagaimana peran kapital, tenaga
kerja dan penguasaan teknologi dalam struktur ekonomi Indonesia ?”. Dalam
kaitan dengan rumusan permasalahan akan dikaji hal-hal sebagai berikut:
1) bagaimana struktur dan perilaku sistem perekonomian Indonesia;
2) apa saja faktor-faktor pendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia; dan
3) dengan memahami jawaban pertanyaan di atas, bagaimana skenario
pertumbuhan agar Indonesia dapat mencapai visi 2030.

I.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini antara lain : membuat model struktur pertumbuhan ekonomi
Indonesia jangka panjang untuk memprediksi pertumbuhan ekonomi ke depan
guna menyusun skenario menuju visi Indonesia 2030, khususnya mencapai
sasaran kuantitatif pendapatan per kapita US$ 18.000 per tahun. Selain itu juga
dapat diketahui pengaruh pertumbuhan kapital dan tenaga kerja terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia.

I.4 Lingkup Permasalahan


Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi untuk menyusun
skenario-skenario kebijakan ekonomi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Indonesia menuju visi Indonesia 2030. Pemahaman atas struktur ekonomi
dilakukan dengan pemodelan sistem yang dibangun dari serangkaian proses tiruan
dunia nyata. Melalui pemahaman atas perilaku sistem yang tidak diinginkan akan
ditemukan pilihan skenario kebijakan yang dapat mengurangi atau dalam kondisi
yang tidak kita inginkan, sehingga kita dapat membangun suatu struktur ekonomi
yang kokoh dan mampu membimbing kita ke arah yang kita cita-citakan.

I.5 Metodologi Penelitian


Penelitian dimulai bulan Juli 2008 dengan melakukan pengumpulan data-data
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data-data yang dikumpulkan antara lain: data
PDB (Produk Domestik Bruto), jumlah tenaga kerja dan jumlah investasi.

Metodologi dinamika sistem (system dynamics) digunakan untuk menyusun


struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia jangka panjang dan merumuskan
skenario-skenario guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Kemampuan system dynamics dalam mempresentasikan struktur dan perilaku
6

sistem serta kemampuan simulasinya untuk memprediksi masa depan merupakan


faktor penting pemilihan system dynamics sebagai metodologi penelitian. Seperti
yang telah diuraikan sebelumnya, kemampuan system dynamics untuk
mempresentasikan interaksi dan Faktor Produktivitas Total (TPF) juga
merupakan alasan lain yang dianggap penting. Interaksi dinamis dan TPF
mampu membantu kita melakukan pendekatan yang dinamis dan menyeluruh
untuk memahami struktur perekonomian kita sehingga dapat mengenali kelebihan
dan kelemahan perekonomian kita.

Langkah-langkah analisis adalah sebagai berikut ini:


1) menelaah faktor-faktor pertumbuhan Indonesia. Termasuk pengaruh sektor
konsumsi, pemerintah, impor dan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi.
Termasuk mengkaji peran kapital dan jumlah tenaga kerja Indonesia;
2) membuat model system dynamics yang menggambarkan struktur
perekonomian Indonesia; dan
3) hasil simulasi model yang dibuat di atas dibandingkan dengan data aktual
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika ditemukan kesamaan, maka model
selanjutnya digunakan untuk memprediksi pertumbuhan ekonomi ke depan
dengan sejumlah skenario. Skenario pertumbuhan ekonomi ke depan dibuat
berdasarkan telaah butir 1 di atas.

I.6 Sistematika Penulisan


Bab I terdiri atas latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, lingkup
permasalahan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan yang akan
memberi batas dan arahan dalam tesis ini. Bab II mencakup konsep-konsep ilmu
ekonomi, system dynamics dan visi 2030 yang menjadi dasar penulisan tesis ini.
Bab III akan menguraikan tentang metodologi penelitian yang akan menjadi
guidelines dalam proses penelitian tesis ini, sedangkan Bab IV menguraikan
gambaran umum perekonomian Indonesia dan model dasar yang digunakan dalam
penelitian ini. Bab V merupakan tahapan simulasi, analisis dan pembahasan
perilaku model untuk semua skenario kebijakan. Bab VI berisi kesimpulan dan
saran dari hasil simulasi dan analisis kebijakan.
7

BAB II
LANDASAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Produk Domestik Bruto (PDB)


Kegiatan ekonomi secara garis besarnya dapat digolongkan dalam kegiatan
produksi dan konsumsi barang dan jasa. Sejumlah perusahaan memproduksi
barang dan jasa yang menghasilkan pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang dimiliki oleh berbagai golongan dalam masyarakat, sehingga dari
pendapatan ini masyarakat akan membeli barang dan jasa baik untuk keperluan
konsumsi maupun investasi.

Karena itu, nilai produk akhir dari barang dan jasa yang diproduksi suatu
golongan akan sama dengan pendapatan yang diterima oleh golongan-golongan
lain dalam masyarakat dan akan sama pula dengan jumlah pengeluaran oleh
berbagai golongan dalam masyarakat.

Atas prinsip dasar di atas maka PDB yang didasarkan jumlah produksi, PDB
berdasarkan jumlah pendapatan dan PDB berdasarkan jumlah pengeluaran
sebenarnya sama. Hanya cara melihatnya saja yang berbeda :
Kalau ditinjau dari segi produksi, PDB adalah merupakan jumlah nilai
produk akhir atau nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-
unit produksi yang dimiliki oleh suatu negara dalam jangka waktu tertentu.
Ditinjau dari segi pendapatan, PDB adalah merupakan jumlah pendapatan
yang diterima oleh faktor produksi yang dimiliki oleh seluruh masyarakat di
suatu negara dalam jangka waktu tertentu.
PDB yang dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran konsumsi keseluruhan
masyarakat disuatu negara dinamakan PDB atas pengeluaran.

Hubungan antara PDB di atas dapat dirumuskan dalam persamaan berikut, PDB
atas produksi = PDB atas pendapatan = PDB atas pengeluaran. Dalam format
laporannya, PDB disajikan 2 bentuk nilai tukar yaitu PDB atas harga konstan
(GDP at constant prices) dan PDB atas harga berlaku (GDP at current prices).
PDB atas harga konstan adalah PDB yang dihitung atas harga dasar pada tahun
yang telah ditetapkan (standar internasional mempersyaratkan tahun dasar PDB
8

harus digit 0 atau 5, misal tahun dasar 2000 dan 2005). PDB atas harga berlaku
ditetapkan berdasarkan harga tahun berjalan.

Perbandingan antara PDB harga berlaku dan PDB harga konstan dapat dipakai
sebagai indikator umtuk melihat tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi (deflator
PDB). Penyajian PDB secara sektoral dapat memperlihatkan struktur ekonomi di
wilayah itu. Bila angka PDB dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja, atau
jumlah input yang digunakan, akan dapat menggambarkan tingkat produktifitas
secara sektoral maupun menyeluruh.
Sejak tahun 2004, BPS mempublikasikan pertumbuhan ekonomi dan nilai PDB
atas dasar harga konstan 2000 (sebelumnya menggunakan harga konstan 1993)
untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang lebih realistis dan memperlihatkan
perubahan struktur ekonomi terkini.
Nilai PDB atas harga konstan tahun 2000 lebih tinggi daripada pertumbuhan
ekonomi atas dasar harga konstan 1993. Sebagai contoh, nilai PDB pada tahun
2003 atas dasar harga konstan 1993 sebesar Rp. 444.453,5 milyar atau tumbuh
sebesar 4,10 persen jika dibandingkan tahun 2002. Sementara nilai PDB pada
tahun 2003 atas dasar harga konstan 2000 menjadi Rp. 1.579.558,9 milyar atau
tumbuh sebesar 4,51 persen. Gambar 2.1 mengilustrasikan PDB atas harga
konstan 1993 dan 2000.

3.000.000

2.500.000 PDB harga berlaku (Rp.billion)


PDB 2000=100 (Rp.billion)

2.000.000 PDB 1993=100 (Rp.billion)

1.500.000

1.000.000

500.000

0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Gambar 2.1 PDB harga konstan 1993 & 2000 dan PDB harga berlaku
9

PDB yang disajikan dalam bentuk neraca akan menggambarkan bagaimana


barang dan jasa itu di produksi, di konsumsi, di investasikan maupun di ekspor,
dan bagaimana sumber-sumber pembiayaan terhadap konsumsi, investasi maupun
ekspor atau impor.

Dengan demikian kita dapat memahami bahwa angka-angka yang disajikan oleh
PDB dapat menggambarkan kondisi ekonomi yang terjadi, baik mengenai struktur
ekonomi di masa lalu, keadaan yang sedang berjalan maupun kemungkinan-
kemungkinan dimasa yang akan datang. Dengan demikian PDB berfungsi
sebagai:
Indikator pertumbuhan ekonomi;
Indikator pertumbuhan pendapatan per kapita;
Indikator inflasi dan deflasi;
Indikator struktur perekonomian;
Indikator hubungan antar sektor.
Karena itu PDB menyajikan data-data yang sangat berguna jika kita ingin
melakukan perencanaan ekonomi (jangka pendek atau jangka panjang) atau untuk
menilai kebijakan ekonomi suatu negara.

II.1.2 Beberapa Indikator Ekonomi


Dalam memahami pertumbuhan ekonomi suatu negara dikembangkan-lah
beberapa indikator ekonomi yang umumnya dapat kita temui dalam berbagai
media massa atau laporan ekonomi:
a. Inflasi
Harga dari waktu ke waktu selalu berubah. Secara umum semakin stabil keadaan
ekonomi suatu negara, makin rendah tingkat inflasinya. Ada dua jenis perubahan
harga atau inflasi yang dikenal yaitu a) Indeks Harga Konsumer dan Deflator
PDB.
IHK (Indeks Harga Konsumen) merupakan perhitungan yang digunakan untuk
menghitung perubahan harga atas komoditi yang telah ditetapkan jenisnya.
Karena IHK sering dinamakan inflasi dengan komoditi tetap. Penetapan komoditi
dalam perhitungan IHK didasarkan atas perhitungan barang dan jasa yang paling
sering dikonsumsi oleh golongan masyarakat atau rumah tangga. Sedangkan
10

deflator PDB merupakan hasil bagi PDB harga berlaku dengan PDB harga
konstan untuk tahun yang sama.

Para ahli ekonomi sering bertanya-tanya ukuran inflasi yang manakah yang paling
efektif dalam menggambarkan keadaan ekonomi suatu negara ?. Apakah inflasi
dari IHK atau Deflator PDB lebih baik dari yang lain dalam menggambarkan
perubahan harga ? Jawabannya ternyata tidak ada satu yang paling unggul
diantara kedua cara perhitungan inflasi diatas (Mankiew, 2003).

Ilustrasinya demikian. Jika suatu hari, terjadi kegagalan panen jeruk, maka IHK
akan cenderung menghitung inflasi yang terlalu tinggi karena tidak menghitung
kemungkinan subsitusi jeruk dengan apel. Disisi lain, deflator PDB dalam kasus
yang sama mungkin tidak dapat menangkap penurunan daya beli masyarakat
karena kenaikan harga jeruk.

Untungnya dalam praktek perbedaan atas inflasi yang dihitung dari IHK dan
deflator PDB mempunyai perbedaan yang tidak terlalu besar (Mankiew, 2003).
Kedua ukuran inflasi biasanya dapat memberi cerita yang sama tentang seberapa
harga naik.

Grafik Deflator and IHK

1,80

1,60

1,40

1,20
Deflator IHK
Nilai

1,00
0,80

0,60

0,40

0,20

0,00
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun

Gambar 2.2 Perbandingan Deflator PDB dan IHK (tahun dasar 2000)
11

b. Pembiayaan Pemerintah
Pembiayaan pemerintah merupakan unsur penting dalam perekonomian negara.
Pembiayaan ini biasanya mencakup proyek pemerintah dan gaji para pegawai
pemerintah. Biasanya pembiayaan pemerintah mencakup 20-30% dari PDB suatu
negara.

Dilihat dari tujuannya, pembiayaan pemerintah digolongkan atas a) government


spending dan government transfer. Government spending boleh dikatakan
merupakan pengeluaran pemerintah yang ditujukan untuk masyarakat luas
mencakup pengeluaran proyek pemerintah, administrasi pemerintahan dan gaji
pegawai. Sedangkan government transfer, merupakan pengeluaran pemerintah
yang ditujukan untuk meredistribusi ulang kekayaan masyarakat. Dimanapun kita
berada, selalu ada kesenjangan dalam pendapatan ekonomi. Melalui subsidi dan
bantuan langsung tunai kita dapat mengurangi ketimpangan pendapatan. Inilah
tujuan dari goverment transfer.

c. Investasi
Pemerintah dan swasta, dalam sebuah perekonomian, membeli barang-barang
investasi. Perusahaan membeli investasi untuk menambah persediaan modal dan
mengganti modal yang sudah aus. Rumah tangga, disisi lain, membeli rumah baru
yang juga merupakan bagian dari investasi. Jumlah barang modal yang diminta
tergantung pada tingkat suku bunga, makin rendah suku bunga makin tinggi
investasi yang diminta dan sebaliknya.

d. Konsumsi
Rumah tangga membelanjakan pendapatan yang didapatnya dengan membeli
makanan, pakaian dan perlengkapan. Setelah membayar bermacam-macam pajak,
rumah tangga membagi pendapatannya dalam konsumsi dan tabungan.

e. Net Ekspor
Net Ekspor merupakan selisih antara ekspor dan impor. Impor, karena bukan
bagian dari produksi, akan dikurang dari ekspor (hasil produksi suatu negara)
untuk menghasilkan tingkat net ekspor.
12

f. Pendapatan Permanen (Permanent Income)


Definisi pendapatan permanen merupakan karya monetaris terkenal, Milton
Friedman. Friedman beranggapan bahwa kenaikan pendapatan rumah tangga tidak
berarti serentak akan meningkatkan pengeluaran rumah tangga, karena pendapatan
rumah tangga mengandung 2 jenis pendapatan yaitu pendapatan transitoris dan
pendapatan permanen. Dalam jangka panjang pendapatan permanen yang akan
meningkatkan konsumsi dan pendapatan transitoris umumnya akan ditabung
masyarakat.

Contoh pendapatan permanen dan pendapatan transitoris. Pak Jopi yang


mempunyai pendidikan lebih tinggi dibanding Pak Tofid, mempunyai pekerjaaan
dengan penghasilan lebih tinggi, maka dapat dikatakan Pak Jopi mempunyai
pendapatan permanen yang lebih tinggi dibanding Pak Tofid. Tapi dalam suatu
ketika, Pak Tofid menang undian (kuis) maka hadiah uang yang diterima Pak
Tofid tadi termasuk pendapatan transitoris (sementara).

Dalam pandangan Friedman, hadiah uang yang diterima Pak Tofid, tidak otomatis
akan meningkatkan konsumsi Pak Tofid ( karena merupakan pendapatan
sementara/transitoris) tapi cenderung akan dikonsumsi sepanjang hidup atau
ditabung. Disisi lain kenaikan penghasilan Pak Jopi dipandang sebagai
pendapatan permanen yang akan meningkatkan konsumsi masyarakat secara
umum (Mankiew, 2003).

g. Pendapatan Disposable (Disposable Income)


Pendapata per kapita seseorang tidak lantas dapat langsung dibelanjakan untuk
keperluan sehari-hari. Karena ada pajak atau pengeluaran wajib yang harus bayar
individu setiap kali menerima pendapatan atau gajinya. Ini menimbulkan istilah
baru yang dinamakan pendapatan disposable. Pendapatan disposable merupakan
pendapatan individu setelah dikurangi dengan pajak-pajak. Termasuk pajak disini
ialah iuran pensiun, pajak penghasilan dan iuran ASKES. Pendapatan disposable
dapat juga didefinisikan sebagai pendapatan yang siap dibelanjakan.

II.2 Masalah Pengangguran


Masalah pengangguran merupakan masalah yang selalu menghantui pengambil
kebijakan ekonomi di hampir semua negara didunia ini. Disaat kita menekan
13

inflasi, pengangguran cenderung meningkat dan sebaliknya, disaat kita


menurunkan tingkat pengangguran, inflasi cenderung meningkat. Inilah yang
dinamakan trade off inflasi-pengangguran. Hubungan antara negatif antara inflasi
dan pengangguran ini pertama kali dikemukakan oleh A.W Philip, dan kemudian
istilah kurva Philip dikenal untuk merumuskan secara grafis hubungan diantara
keduanya.

Pada awalnya, kurva Philip hanya mengandung hubungan antara tingkat upah dan
pengangguran. Namun dalam perkembangan selanjutnya kurva Philip
mengandung hubungan antar tingkat inflasi dan pengangguran. Penambahan
dalam kurva Philip modern juga mencakup inflasi yang diharapkan (Mankiew,
2003).

Umumnya teori pertumbuhan dibangun dengan asumsi bahwa perekonomian


selalu menyerap tenaga kerja atau dalam kondisi full employment (Mankiew,
2003). Kenyataan-nya tentu saja semua perekonomian mempunyai masalah
pengangguran.

Ada beberapa definisi pengangguran:


a. Pengangguran friksional;
Dalam kenyataan-nya, walau ada lowongan pekerjaan, tidak semua semua
pekerjaan dapat segera penuhi. Para pekerja bisa saja mempunyai preferensi
dan kemampuan yang berbeda dengan yang diharapkan oleh dunia kerja.
Karena itu mencari pekerjaan membutuhkan waktu dan usaha. Pengangguran
friksional adalah karakteristik pengangguran yang disebabkan oleh waktu
yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan.
b. Pengangguran struktural
Alasan lain yang menyebabkan adanya pengangguran ialah kekakuan harga.
Kadang-kadang upah tertahan diatas tingkat equilibriumnya, sehingga tingkat
penawaran dan tingkat permintaan tenaga kerja tidak bersesuaian.
Pengangguran struktural ialah pengangguran yang disebabkan kekakuan harga
(atau karena adanya peraturan upah minimum). Pengangguran jenis ini timbul
bukanlah karena pencari kerja tidak sesuai dengan kriteria dunia kerja, tapi
karena pada tingkat upah tertentu penawaran kerja melebihi permintaanya.
14

Karena itu alasan-alasan yang diuraikan diatas, maka setiap perekonomian


umumnya mempunyai tingkat pengangguran alamiah. Yaitu tingkat pengangguran
yang ada dalam jangka panjang (Mankiew, 2003).

II.3 Teori Pertumbuhan Solow


Robert M. Solow mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara
bergantung pada fungsi produksi yang mencakup faktor input kapital (sebagai
modal) dan tenaga kerja. Dalam pandangan Solow, semakin tinggi input kapital
(atau tenaga kerja), maka makin tinggi pertumbuhan ekonomi. Walau demikian
faktor input kapital dan tenaga kerja bersifat diminishing returns. Artinya
pertambahan output akan berkurang sejalan dengan pertambahan input. Karena
mengandung sifat diminishing returns ini teori Solow sering juga digolongkan
sebagai teori pertumbuhan neoklasik

Lebih jelasnya, teori pertumbuhan Solow dapat di uraikan sebagai kombinasi dari
tiga persamaan berikut ini (Bergman, 2005):
1. Fungsi Produksi Agregat:
Y = F(K, L)= A*K*L , ………………………………………….. [2.1]
dengan pemenuhan kondisi dibawah ini :

a) jumlah Kapital (K) dan Tenaga Kerja (L) >0;


Fk > 0, Fl > 0, dimana Fk=fungsi turunan pertama Y atas Kapital dan Fl =fungsi
turunan Y atas Tenaga Kerja (L). Dimana Fk=Y/K dan Fl=Y/L;

b) faktor kapital dan tenaga kerja bersifat penambahan output menurun sejalan
dengan peningkatan faktor kapital dan tenaga kerja:
Fkk < 0, Fll < 0; dimana Fkk=-Y/K2 dan Fll=-Y/L2;

c) fungsi produksi di atas mempunyai sifat “skala pengembalian konstan”


(constant returns to scale – artinya penambahan suatu faktor akan meningkatkan
output sebesar jumlah yang sama dengan penambahan faktor tesebut):
AF ( K, N) = AF (K, N)
Dalam banyak kajian makroekonomi fungsi produksi yang sejalan dengan
karakteristik di atas adalah fungsi produksi Cobb-Douglas :
F = A K(t)a L(t)1- ………………………………………….. [2.2]
Y/L=F/L=A (K/L)a …………………………………………. [2.3]
15

Pada awalnya teori pertumbuhan Solow mengasumsikan A sebagai technological


change atau technological progress (tingkat penguasaan teknologi). Dimana
peningkatan perekonomian selain dipicu penambahan kapital dan tenaga kerja,
juga disebabkan meningkatnya penguasaan teknologi.

Setelah mengaplikasikan teori Solow untuk menjelaskan pertumbuhan sejumlah


negara, konstanta A kemudian didefinisikan sebagai faktor produktivitas total
(TPF=total productivity factor) yang menginterprestasikan efisiensi pada sistem
pasar atau produksi dan efisiensi penggunaan input produksi (mencakup
instabilitas politik, proteksi industri dalam negeri).

Jika r = tingkat hasil kapital (return of capital), w=tingkat upah, =bagian output
yang dihasilkan kapital, =bagian output yang dihasilkan tenaga kerja dan
Y=output (PDB) maka:

=r*K/Y dan =w*L/Y, dimana + =1 ………………….……….. [2.4]


Y=rK+wL atau Y= K+ L ………..………………….……….. [2.5]

Sedangkan tingkat kapital dan tenaga kerja yang diinginkan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Dk= * (AG/(1/t+i) dan Dl = * (AG/w), ………………..… [2.6]

Dimana Dk= tingkat kapital yang diinginkan, Dl=tingkat kebutuhan tenaga kerja
yang dinginkan, AG=Aggregate Demand, t=harapan hidup kapital dan i= tingkat
suku bunga riil. Menurut Tasrif (1995), variabel dapat dirumuskan sebagai
berikut:

= (ln A+ln KOR)/(ln KLR), …………………………………… [2.7]


= 1 - (ln A+ln KOR)/(ln KLR), ……………………………..… [2.8]
dimana KOR = kapital output ratio = K/Y dan KLR = kapital labor
ratio=K/(L*w).
II.3.1 Potensial Output
Dalam literatur makroekonomi seringkali fungsi produksi Cobb-Douglas diatas
diberi nama lain yaitu “Potensial Output”. Fungsi produksi atau potensial output
menunjukkan kemampuan penduduk dan kapital suatu negara dalam
menghasilkan barang dan jasa. Semakin besar nilai fungsi produksi ini semakin
16

tinggi besar potensi suatu negara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
diidamkan.

Misalkan A=1 (tetap), maka perubahan output_Y (PDB) sebanding dengan


perubahan input K dan L. Tapi jika output_Y > Potensial Output, menandakan
adanya pertumbuhan produktivitas dari tiap input. Pada awalnya Solow melabeli
A sebagai technological change. Belakangan, para ahli melabeli A sebagai TPF
(Total Producitivity Factor=Faktor Produktivitas Total) yang menyatakan A
mencakup peningkatan output_Y (PDB) sebagai efisiensi yang lebih luas, yaitu
mencakup peningkatan output_Y karena meningkatnya tingkat pendidikan,
perluasan skala pasar ekspor (dari produk suatu negara/daerah) dan kebijakan
pemerintah yang kondusif (Mankiew, 2003).

Menurut Hornstein dan Krussel (1996), TPF tidak selalu mengandung perubahan
teknologi, tapi juga dapat mencakup monetary shocks, military spending dan
perubahan politik. Sebagai perbandingan A sebagai technological change dan A
sebagai faktor produktivitas total, dibawah ini dilampirkan tabel di bawah ini:
A sebagai technological change A sebagai Faktor Produktivitas Total
Pertambahan output_Y [yang lebih Pertambahan output_Y [yang lebih
besar dari tambahan input K atau L] besar dari tambahan input K atau L]
diakibatkan oleh peningkatan diakibatkan oleh peningkatan
penguasaan teknologi. Padahal dalam penguasaaan teknologi plus adanya
prakteknya mungkin saja peningkatan peningkatan kondisi ekonomi secara
teknologi terjadi, tapi peningkatan umum.
teknologi tidak terlihat karena kondisi
perekonomian negara tidak
mendukung.

Dengan melihat persamaan 2.3 diatas kita dapat melihat bahwa peningkatan
output (produksi) per pekerja suatu negara akan dipengaruhi oleh jumlah kapital,
tenaga kerja, besaran variabel dan nilai TPF.

Dalam banyak literatur makroekonomi yang menggunakan pendekatan


ekonometrika (dimana variabel diasumsikan konstan), peningkatan nilai TPF
17

akan meningkatkan output (fungsi produksi). Tapi jika kita memodelkan


pertumbuhan output dengan system dynamics, maka meningkatnya nilai fungsi
produksi (output) juga ditunjukkan dengan peningkatan nilai variabel .
Meningkatnya variabel menunjukkan tingkat penggunaan teknologi
(produktivitas parsial tenaga kerja atas output, yaitu peningkatan produktivitas
tenaga kerja untuk memproduksi lebih besar). Seperti yang telah diuraikan TPF
akan mencakup perluasan ekspor, eksternalitas positif (negatif) terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu negara.Menurut Mankiew (2003) TPF mencakup
semua yang merubah hubungan antara input dan output.

Nilai TPF ini umumnya sering dihitung sebagai residu (residu Solow) sebagai
berikut:

Y A K L
; ……………………………. (2.5)
Y A K L

Dengan sedikit modifikasi kita dapat mencari nilai TPF sebagai berikut:
Y=AK L , dimana Y=output (PDB); tetapkan A=1; dengan Yo output awal, Lo
tenaga kerja awal dan Ko kapital awal, maka persamaan (2.5) dapat diturunkan
sebagai berikut:

Y Yo K Ko L Lo
, selanjutnya,
Yo Ko Lo

Y K L
1 ( 1) ( 1) ; karena 1- - =0, maka
Yo Ko Lo

K L
Y Yo * ( ) ˆ * ( ) ˆ , jika Potential Output (PTY) atau Fungsi Produksi
Ko Lo
K L
PTY= Yo * ( ) ˆ * ( ) ˆ , maka
Ko Lo

TPF=Y/PTY …………………………..….. (2.6)

atau dengan kata lain TPF merupakan hasil pembagian antara output (PDB)
dengan fungsi produksi atau potential output (PTY).
18

II.3.2 Pengertian Produktivitas

Menurut Mali dalam Nugroho artikel “Total Produktivitas Faktor” (2005),


produktivitas adalah pengukuran seberapa baik sumber daya yang digunakan
bersama dalam suatu organisasi untuk menyelesaikan kumpulan hasil-hasil.

Sedangkan Dewan Produktivitas Nasional (dalam artikel sama) menyatakan


bahwa produktivitas adalah sikap mental yang selalu mempunyai pandangan
bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari ini dan hari ini adalah
lebih baik dari hari ini. Sedangkan definisi yang cukup diantaranya, perbandingan
antara elemen-elemen produksi dengan yang dihasilkan merupakan ukuran
produktivitas (ILO).

Dalam prakteknya, produktivitas dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal


dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain: teknologi, pabrik dan peralatan,
tenaga kerja dan metode kerja. Dilain pihak lain kebijakan pemerintah dan kondisi
sosial ekonomi merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi produktivitas.

Produktivitas sangat penting dalam suatu fungsi produksi, karena kenaikan


produktivitas dapat meningkatkan output lebih besar daripada kenaikan input
dengan kata lain, jika kenaikan output lebih besar dari kenaikan faktor input,
maka telah terjadi peningkatan produktivitas. Produktivitas dapat membantu kita
menghasilkan produk yang lebih yang lebih baik atau lebih banyak dengan jumlah
jumlah input yang sama.

Dalam skala negara, Produk Domestik Bruto merupakan output yang dihasilkan
oleh seluruh input modal dan tenaga kerja yang dimiliki suatu negara.
Perbandingan antara output dan jumlah inputlah yang dinamakan Faktor
Produktivitas Total. Perlu diketahui juga bahwa perekonomian suatu negara tidak
saja dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja dan kapital-nya, tapi juga dipengaruhi
oleh kebijakan pemerintah dan situasi politik, sosial dan ekonomi-nya.
19

II.4 System Dynamics 2


II.4.1 Sejarah dan Prospeknya di Masa Datang
System Dynamics berhubungan dengan interaksi berbagai unsur-unsur dari suatu
sistem pada waktunya dan menangkap aspek yang dinamis dengan konsep-konsep
utama seperti stok dan flow, umpan balik dan delay, dan dengan demikian
berusaha membangun satu pengertian yang mendalam dari perilaku dinamis
sebuah sistem dari waktu ke waktu. Sebagai suatu ranah pengetahuan, SD dapat
dimengerti sebagai suatu perluasan logis rancang-bangun sistem (System
Engineering) dan analisis sistem (System Analysis). SD dengan tegas
mempertimbangkan perilaku yang dinamis yang timbul akibat adanya delay dan
feedback di dalam sistem.

Salah satu definisi system dynamics yang dikenal luas ialah :


System Dynamics adalah suatu perspektif dan sekumpulan perkakas konseptual
(conceptual tools) yang membantu kita untuk memahami struktur dan dinamis
dari sistem kompleks. System Dynamics juga merupakan metoda pemodelan yang
padat dan memungkinkan kita membangun model komputer untuk
mensimulasikan sistem kompleks serta menggunakan model tersebut untuk
mendesain kebijakan dan organisasi yang lebih efektif (Sterman., 2001).

System Dynamics sebagai suatu metoda telah sukses diterapkan di dalam lingkup
persoalan bisnis dan ekonomi-sosial untuk memahami permasalahan dan
membangun satu pengertian yang mendalam tentang perilaku unsur-unsur dalam
sebuah sistem dengan melakukan berbagai intervensi-intervensi kebijakan.

Beberapa aplikasi system dynamics yang paling sering dibicarakan para ahli ialah
World Dynamics (1971) dan The Limits to Growth (1972). Walau model-model
diatas mendapat kecaman dan kritik dari banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu,
mereka sukses di dalam menjawab tantangan-tantangan dan isu-isu sangat penting
yang sedang dihadapi oleh umat manusia kini dan masa datang.

2
Sebagian besar dari deskripsi system dynamics ini merupakan kompilasi karya Victor Tang and Samudra
Vijay ( System Dynamics Origins, development, and future prospects of a method ) dan tugas system
dynamics penulis
20

II.4.2 Sejarah dan Asal-Muasal


Jay W.Forrester, penemu system dynamics, adalah lulusan jurusan teknik elektro
yang belakang hari bekerja pada Gordon S.S. sebagai asisten riset di dalam
laboratorium mekanisme servo yang ditemukan pada tahun 1940. Selama Perang
Dunia II, ia merancang dan mengembangkan mekanisme servo untuk kendali dari
antena-antena radar, dan peralatan-peralatan militer lain. Selama periode ini, ia
secara ekstensif menggunakan teori kontrol matematika (the mathematical theory
of controls) dan konsep feedback dan stabilitas dalam aplikasi-aplikasi rekayasa.
Sesudah itu ia memimpin desain dan pengembangan Whirlwind I, komputer
cacahan yang pertama di Digital Computer Laboratory MIT. Ia juga sempat
memimpin Division 6 Lincoln Laboratory, yang merancang komputer-komputer
untuk SAGE (Ground Environment Semi-Automatic) sistem pertahanan udara
untuk kawasan Amerika Utara.

Forrester kemudian bergabung ke sekolah binis MIT (Sloan School of Business)


tahun 1956, di mana ia mulai meletakkan pondasi bagi system dynamics, sebagai
suatu metoda untuk memahami perilaku dinamis dari berbagai persoalan. Dalam
suatu kesempatan, dia mencoba membantu GE (General Electric) memecahkan
masalah fluktuasi permintaan alat elektrik rumah tangga. Forrester memecahkan
masalah ini dengan menggunakan feedback loop untuk mensimulasikan
persediaan perusahaan GE ( "sistem pengendalian persediaan pertama itu dengan
simulasi pensil adalah permulaan system dynamics" Forrester, 1991). Professor
Jay W Forrester kemudian memperluas penggunaan system dynamics dalam
bidang manajemen bisnis dan secara formal mengartikulasikan metodologi system
dynamics dalam bukunya yang berjudul Industrial Dynamics yang diterbitkan
tahun 1961.

Pertemuannya dengan walikota Boston memberi kesempatan untuk menerapkan


aplikasi system dynamics untuk memecahkan perumahan di area Boston Metro.
Hasil kajiannya atas masalah perumahan di Boston Metro dirangkum dalam
bukunya yang berjudul Urban Dynamics, dimana kesimpulan dari masalah
perumahan diatas "kebijakan membangun perumahan murah merupakan sumber
permasalahan utama". Kesimpulan ini mendapat kecaman karena bernuansa
politik, tapi Prof. Jay W Forrester berargumentasi bahwa kebijakan pembangunan
21

rumah telah berimplikasi pada mengurangnya ketersediaan lahan produktif untuk


pengembangan bisnis dan kesempatan kerja sehingga menimbulkan masalah
pengangguran yang akut dan kebutuhan perumahan murah yang lebih besar
dimasa datang.

Sejak itu, secara perlahan tapi mantap, system dynamics berkembang dan
diaplikasikan pada banyak pemecahan masalah yang menghasilkan solusi yang
lebih baik. Sekolah bisnis MIT kemudian memperluas aplikasi system dynamics
untuk permasalahan bisnis seperti masalah inventori dan siklus bisnis. Dewasa ini,
banyak sekolah manajemen di seluruh dunia menawarkan kursus system
dynamics.

II.4.3 Prinsip System Dynamics


Prinsip-prinsip dari system dynamics berdasarkan pada 2 prinsip utama,
1) pertama ialah stock dan flows, dan delays menentukan perilaku sistem. Hal ini
dapat kita amati di dalam kehidupan sehari-hari. Air mengalir lewat pipa dan
terkumpul di reservoir-reservoir, bak mandi, dan wadah-wadah air lainnya. Air
menghangat pelan-pelan setelah tombol air panas dihidupkan. Prinsip stock dan
flows, dan delays merupakan sumber inspirasi untuk Forrester untuk
mengkonseptualisasikan perilaku unsur-unsur sistem dan sistem sosial yang ada
disekitar kita; 2) kedua rasionalitas yang terbatas (Simon 1957). Simon
menggunakan kiasan dari sebuah gunting, di mana satu mata pisau nya adalah
"pembatasan-pembatasan teori" (cognitive limitations) dan yang lainnya "struktur
dari lingkungan." System Dynamics tidak menyatakan alamat semua variabel dari
suatu masalah, tapi lebih berkonsentrasi pada beberapa variabel yang merupakan
kunci masalah dan konteksnya, yaitu "lingkungan" seperti yang digambarkan oleh
pemodel. System Dynamics tidak mengoptimalkan, tetapi cenderung pada
pembentukan aturan-aturan yang seminimal mungkin yang mampu ditangkap oleh
analis sistem sesuai pemahamannya tentang suatu masalah (Gigerenzer dan Selten
2000).
22

S y s t e m D y n a m ic s is a m e t h o d

g o v e rn m e n ta l a ir d e fe n s e e c o n o m ic
s y s te m s s y s te m s a n d s o c ia l s y s te m s

p r in c i p le s e p a r a t io n o f s u p e r -s y s te m b o u n d e d ra tio n a l,
p o w e rs o f h e te ro g e n e o u s g ro u n d e d th e o r y
s y s te m s s to c k s , flo w s , d e la y s

m e th o d p rim a ry i n t e r o p e r a b i lit y o f system


e le c tio n s s y s te m s o f s y s te m s d y n a m ic s
n e t w o r k s o f n e tw o r k s

t o o ls v o t in g m a c h in e s c o m p u te rs , V e n s im
n e tw o r k s , o th e r DYNAMO
a r t if a c t s S t e lla

© s lid e 1 1

Gambar 2.3 System Dynamics sebagai suatu metoda

Prof. John D. Sterman dalam artikelnya berjudul “All Models are Wrong:
Reflections on Becoming a System Scientist” mengemukakan karakteristik-
karakteristik yang dimiliki system dynamics antara lain:

1) Mengandung dasar-dasar matematika yang padat dan elegan untuk membuat


dan mengembangkan suatu model.

2) Mengandung pengertian System Thinking dan Modeling Complex World.


Dengan kata lain system dynamics diawali dengan pemikiran bagaimana
sebaiknya kerja sebuah sistem dan apa saja unsur-unsur yang terdapat dalam
sebuah sistem bersama keterkaitan antar unsurnya. Baru setelah itu kita dapat
membuat pendekatan model dari dunia nyata untuk memecahkan masalah.

3) System Dynamics adalah alat (tool) untuk untuk membantu pengambil


kebijakan untuk memecahkan masalah penting.

4) System Dynamics dapat digunakan banyak kalangan dengan berbagai latar


belakang disiplin ilmu. Baik yang berlatar belakang ilmu sosial maupun ilmu
teknik.

5) System Dynamics mengajak kita untuk berpikir counterintuitive (tidak


menerima begitu saja sebuah model sistem yang dibangun oleh orang lain/diri
kita sendiri. Walaupun orang lain itu adalah seorang ahli). Berpikir
23

counterintuitive akan mengembangkan mental model sehingga kita mampu


melihat permasalahan secara menyeluruh (holistik) dan tidak melihat
permasalahan secara spasial (sepotong-potong).

6) Untuk meningkatkan kemampuan kita dalam membuat sebuah model


(modeling a complex world), diperlukan pemahaman system thinking. Yaitu
kemampuan melihat sebuah dunia sebagai sistem yang kompleks dan
memahami bagaimana semua koneksitas unsur-unsur yang ada didalamnya.
System thinking meliputi pemahaman tentang stock & flows (kapasitas dan
aliran), time delays (waktu tunda), nonlinearitas, system boundary dan
feedback.

7) Pemecahan masalah dalam system dynamics menggabungkan semua aspek


ilmu pengetahuan termasuk diantaranya ilmu teknik, sosial, ekonomi dan
ekologi. Penggabungan diperlukan karena real world merupakan interaksi dari
semua ilmu yang dikenal oleh manusia.
Professor John D. Sterman juga menyatakan “ Jika seorang sistem
thinker/modeler mampu membuat sebuah sistem yang baik maka tidak akan
terjadi policy resistance dan side effects. Yang ada hanyalah efek biasa (kejadian
yang bisa kita perkirakan) ”.

a. Dinamic Complexity, Feedback dan Policy Resistance


Kemampuan mental kita untuk untuk melakukan pemodelan sistem nyata
(modeling a complex world) sangat terbatas, inkonsisten dan tidak dapat
diandalkan. Tindakan kita sehari-hari sering didasarkan atas perspektif yang
sempit dan bersifat jangka pendek.

Professor John D. Sterman juga menyatakan bahwa pemahaman yang dangkal


akan sebuah sistem, sudut pandang/ perspektif yang sempit dan pemecahan
masalah yang event oriented serta pemahaman yang rendah tentang feedback akan
menyebabkan terjadinya policy resistance dan side effects (efek-efek samping)
yang seringkali tidak atau terlambat untuk diantisipasi.

Policy resistance didefinisikan sebagai kecendrungan suatu sistem untuk


memberikan reaksi (baik seketika maupun tunda/delay) atas aksi yang diberikan
kepada suatu sistem. Bahkan sebuah sistem juga dapat memberikan reaksi
24

melawan (mengalahkan) suatu aksi yang diberikan kepada sistem tersebut. Policy
resistance dapat menimbulkan side effect yang tidak atau terlambat untuk
diantisipasi.

Contoh Policy resistance dan side effect:


penyemprotan hama (serangga perusak tanaman) dengan pestisida dikemudian
hari membuat serangga tersebut semakin resistan (baca:kebal) terhadap pestisida
itu sendiri. Resistansi serangga terhadap pestisida tersebut dinamakan juga efek
samping (side effects).
Untuk membangun model system dynamics yang utuh dan handal, kita harus
memahami karakterisitik yang dimiliki system dynamics. Karakteristik ini
terkandung dalam kalimat kompleksitas dinamis (dynamic complexity).
Kompleksitas sebuah system dynamics selalu berkembang disebabkan faktor-
faktor sebagai berikut:

System dynamics selalu berubah setiap waktu.

Aktor-aktor yang ada dalam sistem saling berinteraksi dengan dinamis.

Rentan terhadap feedback. Aksi yang kita lakukan pada satu aktor akan
mempengaruhi tingkah laku aktor-aktor lain dalam sistem. Ini dikarenakan antar
aktor terjadi interaksi yang dinamis dan kuat.

Nonlinearitas. Reaksi yang diberikan sebuah sistem (atas suatu aksi) seringkali
tidak bersifat proporsional.

Counterintuitive. Hubungan sebab akibat sering tidak terjadi dalam waktu


yang berdekatan. Kadang-kadang suatu aksi menimbulkan reaksi yang jarak
waktunya sangat lama.

Policy resistance. Diterangkan dalam bahasan pada halaman berikutnya.

b. Event Oriented
Policy resistance juga terjadi karena kita melihat bahwa suatu sistem bersifat
event oriented. Event oriented ialah pemahaman bahwa suatu masalah disebabkan
oleh suatu masalah dalam urutan sebab akibat. Ini dapat menyesatkan kita.
Sistem tidak bereaksi sekuensial, sistem dapat bereaksi secara bersamaan (unsur-
unsur suatu sistem bereaksi bersamaan terhadap suatu aksi) sehingga metode
25

event oriented bukanlah metode yang cocok untuk memecahkan masalah dunia
nyata yang kompleksitasnya tinggi dan bersifat tidak linear.

c. Exogenous dan Time Delays


Unsur yang berada dalam sebuah sistem dinamakan Endogenous dan sebaliknya
dinamakan Exogenous.
Karena terbatasnya pemahaman akan sebuah sistem, kita dapat saja
menggolongkan sebuah (atau lebih) unsur sebagai exogenous (karena bisa saja
suatu unsur yang pada saat kita membangun model tidak ada hubungan dengan
model yang kita buat karena unsur-unsur tersebut mempunyai time delay).
Time delays didefinisikan sebagai tenggang waktu antara suatu aksi dengan
reaksi/efek dalam sebuah sistem. Dalam artian unsur tersebut mempunyai sifat
menunda pengiriman feedback kepada sebuah sistem dalam jangka waktu tertentu.
Padahal jika saatnya tiba, unsur yang semula exogenous berubah menjadi
endogenous dan memberikan feedback yang powerful.
Time delays juga mengaburkan pandangan kita akan sebuah sistem yang berujung
adanya perbedaan antara hasil yang kita inginkan dengan hasil nyata
(discrepancies between desired result and actual result).

d. Stock and Flows


Pemahaman tentang Stock and Flows sangat penting dalam kerangka kerja system
dynamics. Dalam kenyataannya banyak mahasiswa pascarsarjana (termasuk
sarjana teknik) gagal memberikan jawaban benar dalam kasus bathtub.
Stock dan Flows berubah selalu berubah sejalan dengan waktu. Stock berarti
tempat akumulasi materi dan/atau informasi dalam sebuah model sedangkan Flow
menyatakan rata-rata aliran materi dan/atau informasi.

e. System Boundary (Batas Sistem)


System Boundary dalam dunia nyata dibuat untuk mengurangi kompleksitas
masalah. System boundary juga diperlukan dan kadang tidak dapat dihindarkan.
Namun dalam membangun suatu model ( dengan prinsip system dynamics ), kita
harus memperluas system boundary tersebut dengan prinsip system dynamics. Dan
hanya melakukan system boundary untuk memfokuskan penyelesaian masalah
bukan untuk menyederhanakan masalah.
26

II.4.4 Aplikasi-aplikasi System Dynamics


System Dynamics kini sudah diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan. Kita
akan menggambarkan beberapa diantara contoh aplikasi System Dynamics yang
mampu menjelaskan keampuhan system dynamics.
o Simulasi Portofolio. Suatu model portofolio yang terkenal adalah 2x2 model
BCG, yang menggambarkan pangsa pasar relatif di sumbu-x dan pertumbuhan
pasar di sumbu-y. Model BCG adalah statis dan menghilangkan umpan balik
dalam perumusan-perumusan kebijakannya. Model BCG dalam bentuk system
dynamics dibuat oleh Mertern, Löffler, dan Wiedmann (1987) mampu
mengidentifikasi kekurangan-kekurangan model BCG yang pertama. Mereka
menunjukkan bagaimana dan mengapa kebijakan BCG gagal ketika pesaing-
pesaing mengadopsi tanggapan-tanggapan tidak lazim. System Dynamics mampu
menunjukkan perilaku kompetitif dinamis dari perusahaan (bandingkan dengan
hasil model BCG statis yang hanya menampilkan perilaku statis perusahaan).
o Pengembangan Produk. Ada faktor-faktor penting yang menentukan mutu
suatu produk dan kemampuan tim dalam memenuhi tenggat waktu produksi.
Suatu isu yang kritis adalah menyelesaikan pekerjaan yang harus diselesaikan dan
mengantsipasi permasalahan yang tidak terduga. Isu kritis lainnya adalah
interaksi-interaksi antara proses dan struktur-struktur fisik seperti manufakturing
produk di pabrik. Repenning dan Sterman (1997) dengan System Dynamics
mampu menunjukkan bahwa ketidaksinkronan (asynchronicas) proses-proses ini
menjurus kepada disfungsi performansi organisasi (dysfunctional organizational
performance).
o Jaringan Suplai (Suppy Chain). Volatilitas suatu jaringan suplai adalah
masalah yang penting bagi suatu perusahaan. Masalah supply chain ini dapat
menimpa setiap jenis bisnis baik yang kekurangan persediaan, atau mereka
mempunyai persediaan produk melimpah di gudang. Dengan system dynamics,
masalah supply chain dapat dipecahkan dengan hasil tingkat persediaan pada
masing-masing langkah jaringan suplai dan perilakunya yang dinamis dapat
ditirukan dengan ketepatan yang luar biasa (Sterman 2000).
Selain aplikasi diatas, system dynamics juga digunakan untuk menelaah masalah
makroekonomi seperti yang dilakukan John W. Hines dan Nathan Blair Forrester.
27

John W Hines berhasil memperkirakan perilaku suku bunga dengan memodelkan


sistem makroekonomi Amerika Serikat dengan system dynamics. Sedangkan
Nathan B Forrester (Forrester, 1993) membuat model untuk yang menggambarkan
fluktuasi output Amerika Serikat dan juga menguji berbagai pengaruh kebijakan
pemerintah (fiskal dan moneter) terhadap unjuk perekonomian Amerika Serikat.

II.5 Visi Indonesia 2030


Negara Maju yang Unggul dalam Pengelolaan Kekayaan Alam
Ditopang oleh empat pencapaian utama, yaitu:
Masuk dalam 5 besar kekuatan ekonomi dunia, dengan pendapatan perkapita
sebesar US$ 18 ribu per tahun;
Pemanfaatan kekayaan alam yang berkelanjutan;
Perwujudan kualitas hidup moderen yang merata (shared growth);
Mengantarkan sedikitnya 30 perusahaan Indonesia dalam daftar Fortune500
Companies.

Visi 2030:
Negara Maju Yang Unggul Dalam Pengelolaan Kekayaan Alam
Kata kunci visi tersebut ialah negara maju dan pengelolaan kekayaan alam.
Keduanya dijelaskan di bawah ini.

Negara Maju. Indonesia akan mencapai pendapatan per kapita sebesar US$ 18
ribu yang menempatkan Indonesia dalam lima besar perekonomian dunia, dan
representasi kelompok usaha yang terkemuka di dunia.

Saat ini Indonesia berada pada kelompok negara berpendapatan menengah ke


bawah (lower middle income). Posisi ini akan terus bertahan hingga tahun 2015
dan setelah itu Indonesia masuk sebagai negara berpendapatan menengah ke atas
(upper middle income). Proses industrialisasi akan menjadi katalisator akumulasi
modal menuju negara maju dengan kontribusi terbesar dari sektor jasa.
28

Gambar 2.4 PDB Per Kapita Indonesia, 1990 - 2030


Sumber: Proyeksi YIF

Dengan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sebesar 7,62 persen


per tahun, laju inflasi rata-rata sebesar 4,95 persen per tahun, dan pertumbuhan
penduduk rata-rata sebesar 1,12 persen per 4 tahun, maka pada tahun 2030
Indonesia akan mencapai PDB per kapita sebesar US$ 18.000 per tahun (lihat
Gambar 2.4).

Dengan jumlah penduduk sebesar 285 juta jiwa, PDB Indonesia mencapai US$
5,1 trilyun, dan pada saat itu Indonesia masuk ke dalam lima besar perekonomian
dunia (lihat Gambar 2.5).

Gambar 2.5. GDP Harga Berlaku 5 Negara Terbesar, 2005 dan 2030
Sumber: Proyeksi YIF
29

Perekonomian nasional akan dimotori oleh sektor jasa. Walaupun awalnya sektor
jasa tergantung kepada gerak sektor lainnya di perekonomian, namun pada
akhirnya sektor jasa akan memperoleh momentum untuk tumbuh lebih cepat.
Sektor jasa akan tumbuh lebih cepat dari sektor industri mulai tahun 2020, namun
kontribusi sektor jasa dalam GDP akan mengungguli kontribusi sektor industri
mulai tahun 2025.

Kontribusi sektor pertanian terus menurun hingga tahun 2030 namun dibarengi
oleh peningkatan kesejahteraan, produktifitas dan keterkaitannya dengan sektor
lain. Produktifitas sektor pertanian akan meningkat seiring dengan kemajuan
teknologi sehingga menghasilkan nilai tambah per pekerja yang lebih besar.

Kontribusi sektor industri terhadap PDB relatif stabil namun terjadi pergeseran
struktur industri ke arah sektor-sektor yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi
dan peningkatan produktifitas SDM. Sumber peningkatan nilai tambah tersebut
berasal dari inovasi teknologi, perbaikan kualitas input, dan perbaikan sistem
distribusi dan pemasaran. Kedekatan dengan pasar input dan output menyebabkan
perusahaan-perusahaan di Indonesia mendapatkan manfaat untuk mempunyai
efisiensi produksi yang tinggi. Dengan keunggulan kompetitif tersebut,
diharapkan pada tahun 2030 setidaknya 30 perusahaan Indonesia masuk dalam
daftar 500 perusahaan terbaik dunia.

Unggul dalam Pengelolaan Kekayaan Alam. Pengelolaan kekayaan alam


Indonesia secara optimal dilakukan melalui interaksi sumber daya manusia dan
teknologi dengan mengikuti prinsip keberlanjutan untuk menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang merata dalam rangka mewujudkan kualitas hidup
modern.
30

Gambar 2.6 Misi untuk Mencapai Visi 2030


31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
III. 1 System Dynamics sebagai suatu Metodologi
System Dynamics mendesak para pengambil keputusan untuk melihat arena
kebijakannya sebagai suatu paradigma atau model yang meyeluruh (world view)
(Meadows dalam Myrtveit, 2005). System dynamics tidak saja merupakan sebuah
pandangan holistik atas suatu masalah, ia juga merupakan sebuah metodologi.

Tujuan utama pemodelan system dynamics ialah meningkatkan pemahaman kita


tentang suatu masalah dan mengidentifikasi kebijakan yang sedang berjalan
dengan tujuan akhir untuk meningkatkan hasil atau output sistem sesuai dengan
yang kita inginkan.

Sebuah sistem (termasuk system dynamics) memuat sejumlah komponen dan


relasi diantara komponen-komponennya. Jenis komponen dan interrelasi-nya
membentuk identitas sistem dan cara sistem sistem mencapai tujuannya. Dengan
menggambarkan relasinya (grafik 3.1) kita dapat melihat struktur suatu sistem
termasuk boundary-nya.

X1 X2 Batas Sistem

X3 X4 Struktur Sistem

Gambar 3. 1 Sebuah sistem


System Dynamics difokuskan pada pemahaman antara penyebab dan efek (the
causes and effects) yang diekspresikan dengan hubungan antara stok (level) dan
flow (rate). Dalam system dynamics dinamika model merupakan fungsi dari
kondisi awal model dan struktur dari modelnya.

System Dynamics utamanya ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan


identifikasi penyebab dan solusi dari masalah dunia nyata, karena itu amat penting
bagi pemodel untuk membangun model yang sesederhana mungkin tanpa
melupakan tujuan pembuatan dan kompleksitas dunia nyata yang dimodelkan.
Dengan membuat model yang sederhana kita akan lebih mudah meningkatkan
32

pemahaman kita tentang sistem nyata yang kita amati. Sebaliknya dengan
membuat model yang besar dan kompleks kita akan kehilangan peluang untuk
meningkatkan pemahaman. Karena itu sebelum membangun suatu model peneliti
disarankan untuk mempelajari problem dengan tingkat pemahaman yang holistik
dan tidak spasial.

Tujuan utama dari pembuatan system dynamics ialah process oriented (Myrtveit,
2005). Pemahaman process oriented dimaksudkan untuk meningkatkan
pengetahuan kita melalui simulasi model dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan kita dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Dengan kata
lain, pemodelan system dynamics merupakan proses pembelajaran (learning
process) bukan sekedar sebuah model belaka.

Tujuan pemodelan system dynamics ialah untuk memahami perilaku sistem ke


depan (long term prediction) dan tidak sekedar memahami perilaku historis dan
fisik sistem. Metodologi system dynamics, dalam memprediksi masa depan,
menekankan pentingnya pemahaman tentang delay, efek samping untuk
memahami perilaku sistem lebih baik.

Meningkatkan pemahaman tentang penyebab dan efek-efek yang


Maksud
menghasilkan masalah. Identifikasi solusi dan membangun
sejumlah kebijakan untuk mencapai solusi
Lingkup Perspektif holistik, mencakup semua faktor penting yang
menyebabkan masalah.
Perspektif sistem secara agegrasi dengan menggabungkan event-
event dalam proses simulasi yang berjalan kontinu.
Asumsi Perilaku sistem merupakan fungsi keadaan awal dan struktur
sistem.
Pemahaman kualitatif sistem dibangun dari sejumlah umpan-balik
Hasil Akhir Berfokus pada pemahaman proses (process oriented)
Tabel 3.1 Karakteristik System Dynamics (Myrtveit, 2005)

III. 2 Pemodelan System Dynamics


Menurut Richardson dan Pugh (1981), dalam membangun sebuah model, replika
sistem nyata, kita selalu dihadapkan pada pertanyaan klasik mengenai keabsahan
model sebagai replika sistem nyata. Pertanyaan klasik tersebut:
33

a. Apakah suatu model telah baik ditinjau dari tujuan pembuatan dan
masalah yang ingin dipecahkan ?
b. Pertanyaan kedua, apakah model konsisten dengan realita (sistem nyata)
yang ingin dimodelkan ?

Langkah-langkah dalam pemodelan system dynamics (Khalid Saeed, 1994)


sebagai berikut:

Mental Model,
Mental Model, Pengalaman
Pengalaman,
Literatur

Bukti Empirik

Data empiris (time


Persepsi Struktur Sistem series)

Konseptualisasi Sistem
Perbandingan dan
Rekonsiliasi
Perbandingan dan Proses validasi Proses validasi
Rekonsiliasi struktur perilaku

Formulasi Model
Deduksi Prilaku
Representasi Struktur Model
Model

Tool diagram dan


Perlengkapan
deskripsi
Komputer

Gambar 3.2 Prosedur pemodelan system dynamics menurut Saeed (1994)

III.2.1 Proses Pengenalan Masalah

Identifikasi masalah dalam sistem yang kita amati perlu diidentifikasi terlebih
dahulu, sebelum kita mulai membuat modelnya. Identifikasi masalah biasanya
disertai dengan menetapkan struktur dan perilaku fenomena yang kita amati.
Pembentukan struktur-perilaku pada tahap ini dipengaruhi oleh literatur,
34

pengalaman yang kemudian membentuk mental model kita. Fase ini melingkupi
penetapan jangka waktu simulasi dan boundary model.

Pola referensi (reference mode)


Pola referensi dihasilkan dari pola historis yang menggambarkan perilaku
persoalan (problem behaviour). Dalam tahap ini kita juga bisa mempelajari
reference mode dari moel system dynamics yang telah ada sebelumnya dan
mengembangkannya sesuai dengan tujuan pembuatan model. Pola referensi ini
merupakan gambaran perubahan variabel-variabel penting dan variabel lain yang
terkait, dari waktu ke waktu.

Hipotesa Dinamik
Hipotesa dinamik merupakan proses iterasi (berulang) dari kombinasi hipotesa
awal dan interaksi sistem sesuai yang sesuai dengan hasil yang kita dapat pada
tahap reference mode. Hipotesa dinamik juga mengandung perbandingan dengan
bukti empiris dan reformulasi akan diperlukan untuk sampai pada suatu hipotesa
yang logis dan sahih sesuai data empirik.

Batas Model
Dinamika sebuah sistem dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal yang mempengaruhinya dinamakan faktor endogenous dan merupakan
variabel yang penting dalam menganalisa sistem. Sedangkan faktor eksternal yang
mempengaruhi sistem dinamakan faktor exogenous. Karena itu penentuan batas
model perlu ditentukan terlebih dahulu dengan jelas agar kita mudah
mendefinisikan faktor endogenous dan exogenous model. Batas model ini
membantu kita untuk memisahkan proses-proses yang menyebabkan adanya
kencenderungan internal yang diungkapkan dalam pola referensi dari proses-
proses yang merepresentasikan pengaruh-pengaruh eksogen, yaitu pengaruh yang
berasal dari luar sistem.

Waktu Simulasi
Setelah batas model ditetapkan bersamaan dengan penetapan variabel exogenous
dan endogenous-nya, pemodel harus menetapkan dengan cermat jangka waktu
simulasi model. Jangka waktu simulasi amat penting untuk mendapatkan
35

dinamika perubahan yang dibawa oleh interaksi diantara faktor internal dan
eksternal model. Jika waktu simulasi tidak cermat, bisa saja interaksi dalam model
tidak teramati dengan baik.

III.2.2 Konseptualisasi Sistem


Pada fase ini kita mulai untuk membangun struktur feedback sistem yang kita
amati. Pemahaman struktur umpan-balik ini penting karena struktur inilah yang
membangun dinamika model yang kita buat. Kita juga harus membangun struktur
informasi, menguji validitas model dan rancangan untuk melakukan eksplorasi
kebijakan.

Dalam tahap ini kita mulai menggambarkan sistem dalam fase kualitatif yaitu
membangun diagram causal loop. Dan mengembangkan diagram causal loop ke
dalam diagram alir (flow diagram) komputer.

III.2.3 Formulasi Model


Fase ini termasuk tahap pembangunan model yang bersifat kuantitatif. Yaitu
melengkapi model yang kita buat dengan persamaan-persamaan matematika yang
menghubungkan antara variabel satu dengan variabel lainnya – dalam bahasa
program simulasi yang kita gunakan. Proses kuantitatif ini memungkinkan model
kita untuk melakukan simulasi untuk menentukan perilaku dinamis yang sesuai
dengan konseptualisasi yang kita lakukan sebelumnya.

Menurut Richardson (2008) ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam menulis
persamaan model:
Parameter yang dikenal (Recognizable parameters)
Menggunakan parameter yang mudah dimengerti atau sudah dikenal luas.
Persamaan yang handal (Robust equation forms)
Menggunakan persamaan yang handal dalam artian mampu menjelaskan
dinamika model dalam keadaan ekstrim.
Fase relasi (Phase relations)
Membangun relasi yang jelas antara persamaan dalam model.
Richardson’s Rule: Menggunakan persamaan matematika yang
sesederhana mungkin. Dalam pandangan Richardson (2008) persamaan
36

matematika yang kompleks dan berlebihan akan mengurangi tingkat


konfidensi model.

Prinsip-prinsip untuk membuat model dinamik menurut Sterman (1981):


keadaan yang diinginkan dan keadaan yang terjadi harus secara eksplisit
dinyatakan dan dibedakan di dalam model;
adanya struktur stok dan aliran dalam kehidupan nyata harus dapat
direpresentasikan di dalam model:
aliran yang secara konseptual berlainan cirinya harus secara tegas
dibedakan di dalam menanganinya;
hanya informasi yang benar-benar tersedia bagi aktor-aktor di dalam
sistem yang harus digunakan dalam pemodelan keputusan-keputusannya;
struktur kaidah pembuatan keputusan di dalam model haruslah sesuai
(cocok) dengan praktek-praktek manajerial; dan
model haruslah robust dalam kondisi-kondisi ekstrim.

Struktur dasar dalam pemodelan system dynamics yaitu:


State Variabel, variabel ini sering dinamakan level atau stock, yang
berfungsi sebagai media storage perubahan yang terjadi dalam simulasi
model. Variabel ini sangat penting karena perubahan-perubahan variabel
lain diakumulasikan dalam variabel ini. Level pada suatu loop hanya bisa
didahului oleh rate, tetapi bisa diikuti oleh auxiliary atau rate.
Persamaan rate atau flow, menggambarkan aliran materi atau informasi yang
ada dalam model. menggambarkan aliran materi atau informasi yang ada
dalam model. Nilainya dipengaruhi oleh informasi-informasi atau materi
yang melaluinya.
Persamaan auxiliary, sesuai dengan namanya persamaan ini berfungsi
sebagai persamaan bantu dalam merumuskan persamaan rate, yang
digunakan untuk mendefinisikan faktor-faktor yang menentukan persamaan
rate secara terpisah.
37

Persamaan sisipan (supplementary). Untuk mempermudah pemahaman


tentang model, kita juga dapat mencantumkan persamaan sisipan yang
dipergunakan untuk mempermudah pembacaan model.
Persamaan nilai awal (initial value), variabel level harus ditentuksn terlebih
dahulu nilai initial-nya agar dapat disimulasikan.Terkadang nilai awal rate
harus terlebih dahulu ditentukan sebelum siklus pertama perhitungan
persamaan model dilakukan.
Aliran material, yaitu aliran benda fisik dari suatu variabel ke variabel lain
yang perpindahannya per waktu dinyatakan dalam persamaan rate.
Aliran informasi, yaitu suatu struktur yang berperan dalam fungsi-fungsi
keputusan yang tidak mempengaruhi variabel secara langsung.

III.2.4 Pengujian dan Pengembangan Model


a. Pengujian Model
Untuk mengetahui kesahihan model sebagai replika sistem nyata, perlu dilakukan
pengujian model. Uji model dilakukan dengan membandingkan perilaku model
dengan perilaku sistem yang sebenarnya yang direpresentasikan oleh data empirik
di lapangan. Jika perbandingan hasil simulasi model mempunyai kesesuaian
dengan data empirik, maka model dapat dinyataakan sebagai replika sistem nyata
yang baik atau valid.

Validasi ialah proses untuk menguji konfidensi struktur dan perilaku model
sebagai suatu representasi sistem nyata yang dapat dipercaya. Validasi diperlukan
dalam upaya untuk membandingkannya dengan pola referensi dan secara terus-
menerus memodifikasi dan memperbaiki struktur model. Suatu model secara
struktur dapat dikatakan valid jika model tidak hanya dapat membuat reproduksi
perilaku sistem, akan tetapi juga dapat mengungkapkan bagaimana sistem bekerja
dalam menghasilkan perilaku tersebut.

Oleh karena itu model dapat dikatakan baik jika model dapat menambah
pemahaman terhadap perilaku sistem yang dimaksud, mudah dikomunikasikan
dan dapat menolong perbaikan pada sistem tersebut. Bila ada korespondensi
antara model dan sistem nyata, makamodel yang dibuat dapat diterima sebagai
suatu representasi persoalan yang sahih dan dapat digunakan untuk analisis
kebijakan.
38

Validasi model dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:


Validasi melalui komparasi grafik hasil simulasi dengan data statistik;
Validasi jenis ini ditampilkan dengan menyatukan representasi data empirik
dan data hasil simulasi dalam satu grafik.
Validasi dengan uji statistik (Theil Statistics).
Dalam uji statistik, standar yang digunakan untuk mengukur kesalahan adalah
rataan kuadrat kesalahan (mean square error; MSE), yang dinyatakan dengan
persamaan berikut (Sterman, 1984) :

n
MSE = 1/n [(St – At)/At]2 ………….. (3.1)
n=1

dimana:

MSE = Mean Square Error;


St = nilai simulasi pada waktu t;
At = nilai aktual pada waktu t;
n = jumlah pengamatan (t = 1, …, n);

Semakin rendah nilai MSE menunjukan tingkat kesalahan yang kecil, dan
demikian sebaliknya. Penafsiran kesalahan-kesalahan hasil simulasi
dipresentasikan dengan Root Mean Square Percent Error (RMSPE), yang
dinyatakan dengan persamaan berikut :

n ..……….. (3.2)
RMSPE = v 1/n [(St – At)/At]2
n=1

Kesalahan-kesalahan yang termaktub dalam MSE dapat disusun dalam 3 jenis


kesalahan. Uji statistik Theil didasarkan pada perhitungan bahwa error dalam
model merupakan proporsi ketidaksamaan bias (Um), ketidaksamaan varian
(Us) dan ketidaksamaan kovarian (Uc). Dalam meningkatkan kepercayaan
terhadap model, model yang ideal seharusnya memiliki kesalahan yang
39

sangat kecil dan terkonsentrasi pada UC dan US. Namun dari semua uji
statistik dimaksud, penentuan signifikansi dan tingkat tolerasinya bergantung
pada tujuan model dibuat dan karakteristik datanya.

Persamaan-persamaan ketidaksamaan tersebut diuraikan di bawah ini :

( S– A)2
………….. (3.3)
UM = n
1/n [ S t – A t ]2
n=1

( SS– SA)2
………….. (3.4)
US = n
1/n [ St – A t ] 2
n=1

2 ( 1– r) SS . SA
C
U = ………….. (3.5)
n
1/n [ St – At ]2
n=1

………….. (3.6)
U M + US + U C = 1

Dimana :
Nilai dari masing-masing besaran di atas diberikan oleh persamaan-
persamaan berikut ini:

S = 1/n St ………….. (3.7)

 = 1/n At ………….. (3.8)

SS = v 1/n [ St – S ]2 ………….. (3.9)

SA = v 1/n [ At – A ]2
40

………….. (3.10)

1/n [ St – S ]2 [ At – A ]2 ………….. (3.11)


r =
SS.SA
dimana:
UM = proporsi MSE karena bias
US = proporsi MSE karena varian
UC = proporsi MSE karena kovarian
Ŝ = rata-rata nilai simulasi
 = rata-rata nilai aktual
St = nilai simulasi pada waktu t
At = nilai aktual pada waktu t
SS = standar deviasi nilai simulasi
SA = standar deviasi nilai aktual
n = jumlah pengamatan (t = 1, …, n)

Hasil uji ketidaksamaan Theil menjelaskan hal-hal sebagai berikut:


a. Kesalahan karena bias diindikasikan dengan nilai UM yang besar,
sementara nilai US dan UC kecil. Kesalahan karena bias dianggap
berpotensi serius dan biasanya merupakan kesalahan dalam mengestimasi
parameter. Kesalahan ini dikategorikan sebagai kesalahan sistematis
antara model dengan kenyataan.
b. Kesalahan karena ketidaksamaan varian yang besar juga termasuk
kesalahan sistematis. Terdapat dua kasus kesalahan yang tergolong dalam
kelompok ini, yaitu:
Jika nilai US mendominasi kesalahan, dengan nilai UM dan UC kecil,
berarti terdapat rata-rata yang sama dan korelasi yang tinggi, tetapi jarak
varian rata-ratanya berbeda. Keadaan ini menunjukkan nilai simulasi
dan nilai aktual yang mempunyai kecenderungan berbeda.

Jika US besar, tetapi memiliki rata-rata yang sama (UM = 0) dan UC


kecil, berarti kesalahan terjadi karena gangguan acak (random noise)
41

atau nilai aktual mempunyai siklus yang berbeda dengan nilai simulasi.
Interpretasi atas kesalahan ini sangat ditentukan oleh tujuan membuat
model. Jika model dibuat untuk menyelidiki pola siklus sistem, maka
kesalahan ini dapat dikategorikan sebagai kesalahan sistematis. Akan
tetapi apabila tujuan membuat model untuk menganalisa perilaku jangka
panjang, maka kesalahan ini tidak penting dan tidak bersifat sistematis.

Kesalahan karena ketidaksamaan kovarian yang diindikasikan dengan


nilai UC yang besar, sedangkan nilai UM dan US kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai tiap-tiap titik (point by point) antara simulasi
dengan hasil aktual tidak sama meskipun model dapat dikatakan
memiliki nilai rata-rata dan kecenderungan yang sama dengan nilai
aktualnya. Nilai UC yang besar merupakan indikasi terjadinya
gangguan (noise) pada pola siklus (cyclical modes) pada data historis
yang tidak dapat ditangkap oleh model. Kesalahan ini pada umumya
bukan merupakan kesalahan sistematis.

Proses validasi harus pula dilengkapi dengan proses-proses pengujian validasi


struktur dan perilaku. Selengkapnya pengujian-pengujian yang dapat dilakukan
dalam suatu proses pemodelan system dynamics dapat dinyatakan dalam tabel
dibawah ini.
Tabel 3.2 Pengujian-pengujian dalam System Dynamics
Tipe
Uraian Pengujian Pengujian Pertanyaan selama pengujian model
Proses pengujian Verifikasi Apakah struktur model konsisten dengan
struktur model Struktur pengetahuan deskriptif yang relevan tentang
sistem?
Verifikasi Apakah parameter-parameter konsisten dengan
Paramater pengetahuan deskriptif dan numerik mengenai
sistem?
Kondisi Apakah masing-masing persamaan masuk akal
Ekstrim kendati inputnya memiliki nilai-nilai ekstrim?
Kecukupan Apakah konsep-konsep yang penting
Bts menyangkut persoalan telah tercakup
(Struktur) (endogenus) dengan model ?
Konsistensi Apakah masing-masing persamaan konsisten
Dimensional secara dimensional tanpa menggunakan
parameter-parameter yang tidak ada di dunia nyata
?
42

Pengujian Reproduksi Apakah model secara endogenus membangkitkan


Perilaku Model Perilaku gejala-gejala dari persoalan, mode-mode perilaku,
frekuensi, dan karakteristik lain dari perilaku
sistem ril ?
Anomali Apakah perilaku abnormal muncul jika suatu
Perilaku asumsi model ditiadakan ?
Family Dapatkah model mereproduksi perilaku dari
Member contoh-contoh sistem lain dalam kelas yang sama
seperti model (mis.: dapatkah sebuah model
perkotaan membangkitkan perilaku kota New
York, Dallas, Carson City, dan Calcutta bilamana
diberi parameter masing-masing kota tersebut) ?
Perilaku Apakah model menunjukkan adanya suatu mode
Mengejutkan perilaku yang sebelumnya tidak dikenali dalam
sistem ril?
Kebijakan Apakah model berperilaku sebagaimana mestinya
Ekstrim bila dihadapkan pada kebijakan-kebijakan ekstrim
atau input-input pengujian ?
Kecukupan Apakah perilaku model sensitif terhadap
Batas penambahan atau perubahan struktur untuk
(Perilaku) mewakili teori-teori alternatif yang dapat dapat
diterima ?
Sensitivitas Apakah perilaku model sensitif terhadap variasi-
Perilaku variasi yang dapat diterima dalam parameter-
parameternya ?
Karakter Apakah output model memiliki karakter statistika
Statistika yang sama dengan “output” dari sistem ril ?
Pengujian Perbaikan Apakah kinerja sistem ril meningkat melalui
Implikasi Sistem penggunaan model ?
Kebijakan Prediksi Apakah model dengan benar menjabarkan hasil-
Perilaku hasil dari kebijakan yang baru ?
Kecukupan Apakah rekomendasi kebijakan sensitif terhadap
Batas penambahan atau pengubahan struktur untuk
(Kebijakan) merepresentasikan teori-teori alternatif yang dapat
diterima ?
Sensitivitas Apakah rekomendasi-rekomendasi kebijakan
Kebijakan sensitif dengan variasi-variasi yang masuk akal
dalam parameter-parameternya ?
Dikutip dari Taufik (2008, Sumber: Diadaptasi dari Sterman (1984))

b. Pengembangan Model
Dalam tahapan-tahapan awal pemodelan sampai dengan pengujian model (dalam
tiap tahapannya) mungkin saja dilakukan perubahan struktur model, baik dengan
melakukan penambahan atau pengurangan struktur model. Tujuan utama dari
tahap ini adalah untuk memperoleh suatu model yang sesuai dengan sistem yang
sebenarnya, atau sesuai dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, dan dapat
dimengerti dengan baik. Pengembangan model dapat dilakukan dengan
43

menambah/mengurangi variabel, menambah/mengurangi umpan-balik, atau


memperkecil/memperluas boundary model. Pengembangan model pada
peinsipnya ditujukan untuk process oriented, yaitu meningkatkan pemahaman
tentang struktur sistem nyata yang kita amati.

III.2.5 Analisis Kebijakan dan Penggunaan Model


Menurut Tasrif (2005) analisa kebijakan ialah menggunakan model untuk melacak
kebijakan-kebijakan yang dapat memberikan efek perubahan perilaku sistem
nyata sesuai dengan yang diinginkan (menanggulangi/ memperbaiki perilaku
sistem yang tidak diinginkan atau mewujudkan perilaku sistem yang diinginkan).
Analisa kebijakan mencakup 1) apa kebijakannya, mengapa 2) besaran dan 3)
kapan kebijakan diterapkan (Tasrif, 2005).

Analisis lebih mendalam dapat dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan


dampak dari berbagai kebijakan yang dipilih. Penyusunan alternatif kebijakan
merupakan tindakan atau kombinasi dari dua jenis intervensi terhadap model yaitu
perubahan parameter (nilai konstanta atau besaran variabel) dan perubahan
struktural (yang mencakup bentuk dan variasi persamaan variabel model).

a. Perubahan Parameter
Perubahan parameter menurut Tasrif (2005) mengandung perubahan parameter-
parameter kebijakan yang sensitif dalam suatu model yang mengindikasikan titik-
titik pengungkit (leverage points) dalam sistem nyata, tempat suatu perubahan
dapat dilakukan dalam sistem nyata yang akan mengubah (memperbaiki) perilaku
sistem.

Menguji sensitivitas model terhadap suatu nilai parameter kebijakan merupakan


uji sensitivitas sistem yang sebenarnya dalam kaitannya dengan perubahan
kebijakan. Di dalam model terdapat sejumlah parameter yang dikategorikan
sebagai parameter kebijakan, yaitu sejumlah nilai yang berada di bawah kendali
para pengambil kebijakan dalam sistem nyata.

b. Perubahan Struktural
Perubahan struktur dalam model mencakup penambahan/pengurangan struktur
umpan balik dalam model. Perubahan struktur ini menandakan adanya perubahan
kaidah keputusan. Perubahan struktur juga dapat dimaksudkan untuk mengubah
44

arah model ke arah yang diinginkan (desired state). Dengan kata lain perubahan
struktur ditujukan untuk meningkatkan pemahaman kita mengenai pengaruh
keputusan-keputusan terhadap hasil simulasi model.

Struktur umpan-balik dalam pemodelan system dynamics seringkali digunakan


untuk meningkatkan pemahaman kita tentang kompleksitas sistem amatan.
Umpan-balik timbul jika efek variabel satu ke variabel lainnya ditransfer ke
variabel asal. Ini biasanya menghasilkan efek-efek yang sering tidak disadari oleh
pengambil kebijakan. Karena itu banyak pakar menyatakan bahwa struktur umpan
balik merupakan salah satu keunggulan system dynamics khususnya dalam
memahami rangkaian halus (coupling subtle) yang bekerja dalam sistem nyata.

c. Hasil Akhir Analisis Kebijakan


Hasil akhir analisa kebijakan ialah menyusun rekomendasi kebijakan yang
didasarkan atas hasil simulasi dengan berbagai perubahan (parameter dan
struktural) yang dibuat pemodel. Hasil analisa kebijakan juga mencakup
bagaimana keadaan aktual kini dan berbagai intervensi kebijakan membawa
perubahan sistem di masa datang.

Menurut Richardson dan Pugh (1981), rekomendasi kebijakan dianggap memiliki


kekuatan yang memadai jika kebijakan tersebut dianggap sebagai kebijakan
terbaik meskipun dilakukan sejumlah perubahan dalam parameter model sewaktu
menghadapi kondisi exogenus yang berbeda. Dalam pandangan Sterman (2000)
tidak ada model yang benar-benar sesuai dengan sistem sebenarnya (Sterman,
2002) karena itu, kekuatan rekomendasi merupakan hal vital dalam mengusulkan
suatu rekomendasi kebijakan.

Kemampuan kebijakan dapat dilihat dari kemungkinan pelaksanaan kebijakan itu


dalam dunia nyata. Jika perubahan parameter dan struktur dimungkinkan dalam
dunia nyata, maka semakin besar kekuatan rekomendasi kebijakan itu sendiri.
45

BAB IV

GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA


DAN
MODEL MAKROEKONOMI

IV.1 Gambaran Makroekonomi Indonesia


Pertumbuhan PDB Indonesia sebelum krisis moneter berada pada kisaran 7 % per
tahun. Ini umumnya ditopang oleh pertumbuhan investasi dan net ekspor. Setelah
krisis moneter menimpa Indonesia, PDB kita hanya tumbuh maksimal 6,7% per
tahun. Bahkan pada saat krisis PDB mengalami pertumbuhan negatif.

IV.1.1 Pertumbuhan PDB dari segi Pengeluaran


PDB dari segi pengeluaran terdiri atas konsumsi swasta dan pemerintah, ditambah
dengan jumlah investasi dan ekspor dan dikurangi impor barang dan jasa.
Konsumsi masyarakat (swasta) adalah pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi,
ini tak terlepas dari persentasi konsumsi atas PDB yang rata-rata 60%. Sebelum
tahun 1998, sumbangan pertumbuhan konsumsi atas PDB berada dibawah angka
55 % per tahun dan kemudian meningkat rata-rata 4 % per tahun setelah krisis
moneter. Dapat dikatakan bahwa sumbangan konsumsi swasta (sebelum dan
sesudah krisis moneter) merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan PDB.

Pada tahun 2006, sumbangan pertumbuhan konsumsi atas pertumbuhan PDB


menurun 1,86 % yang diimbangi dengan peningkatan sumbangan investasi atas
pertumbuhan PDB 4,14 %. Disisi investasi, terlihat pertumbuhan yang bersifat
fluktuatif dari tahun-tahun, bahkan pertumbuhan investasi mengalami penurunan
pada tahun 1998-1999. Fluktuasi pertumbuhan investasi menunjukkan minat
investor yang menurun. Pada tahun 2006, investasi memberi sumbangan terbesar
atas pertumbuhan PDB 4,14% dibandingkan dengan sumbangan konsumsi yang
hanya 1,86 %.

Net Ekspor (selisih ekspor dan impor) sempat menunjukkan pertumbuhan negatif,
namun pada tahun 2006 mengalami pertumbuhan 4,14 %. Pertumbuhan net
ekspor yang positif menandakan bahwa Indonesia mempunyai peluang untuk
meningkatkan cadangan devisa. Pertumbuhan investasi dan net ekspor
mempunyai implikasi penguatan devisa negara dalam jangka panjang, ini penting
46

untuk menjaga stabilitas makroekonomi Indonesia yang masih dibelenggu hutang


luar negeri.

IV.1.2 Pertumbuhan PDB dari segi Lapangan Usaha


PDB dari segi lapangan usaha terdiri atas sektor pertanian, pertambangan dan
penggalian, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, bangunan, perdagangan
hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa
perusahaan dan jasa-jasa.

Sumbangan pertumbuhan industri pertanian terhadap pertumbuhan PDB semakin


menurun, dari 0,66% pada tahun 1995 menjadi hanya 0,38 % pada tahun 2006.
Penurunan ini dialami juga sektor industri pengolahan yang peran-nya menurun
menjadi 1,27 % pada tahun 2006 dibandingkan dengan 2,73 % pada tahun 1995.

Industri Jasa dan Komunikasi mempunyai peran yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Industri Jasa tumbuh menjadi 0,61% tahun 2006 dari hanya 0,29%
pada tahun 1995. Demikian juga industri komunikasi yang semula 0,39% tahun
1995 menjadi 0,92% pada tahun 2006.

Industri keuangan persewaan dan hotel juga mengalami penurunan peranan


terhadap pertumbuhan PDB. Kedua industri pada tahun 1990-an mempunyai
sumbangan diatas 1% dan hanya menyumbang 1% pada tahun 2000-an.

Peranan sektor pertanian semakin menurun atas PDB. Namun penurunan itu
diimbangi dengan makin besarnya peranan sektor industri (terutama sektor
industri pengolahan) dalam pertumbuhan ekonomi. Disisi lain, pemerintah perlu
menggalakkan peranan industri hotel dan restoran sebagai pemacu pertumbuhan
ekonomi. Demikian juga sektor-sektor lain yang peranannya harus ditingkatkan.

Terlihat bahwa Indonesia, walaupun mengalami pertumbuhan PDB, setelah krisis


moneter, mengalami kemacetan pertumbuhan disektor riil. Ini perlu dibenahi
pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
47

Tabel 4.1 PDB Indonesia 1995-2006 (PDB Berdasarkan Jenis Pengeluaran)


Uraian 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PDB 1.340.101,6 1.444.873,3 1.512.780,9 1.314.202,0 1.324.599,0 1.389.770,2 1.442.984,6 1.506.124,4 1.579.558,9 1.656.825,7 1.749.546,9 1.846.654,9
Konsumsi Swasta 726.185,3 796.776,5 859.089,0 806.097,6 843.445,5 856.798,3 886.736,0 920.749,6 956.593,4 1.004.109,0 1.043.805,1 1.076.928,1
Konsumsi Pmrintah 97.352,2 99.973,9 100.035,1 84.658,1 85.246,4 90.779,7 97.646,0 110.333,6 121.404,1 126.248,7 136.424,9 147.563,7
Investasi Total 346.857,7 397.201,9 431.234,5 288.891,8 236.326,6 275.881,2 293.792,7 307.584,6 310.776,9 354.561,3 389.757,2 404.606,6
Perubahan Stok 42.669,6 14.323,0 24.490,3 28.859,6 34.795,6 20.138,6 32.658,5 23.539,6 12.034,1 36.403,5 52.806,3 13.095,1
Ekspor Brng &Jasa 512.137,2 550.854,9 593.821,4 660.229,5 450.243,6 569.490,3 573.163,4 566.188,4 612.559,4 680.465,7 739.006,9 864.503,5
Impor Barang &Jasa 488.016,0 521.516,3 598.263,5 566.614,6 336.142,7 423.317,9 441.012,0 422.271,4 433.809,0 544.962,5 612.253,5 684.077,8
PDB Riil (%) 8,2 7,8 4,7 (13,1) 0,8 4,9 3,8 4,4 4,9 4,9 5,6 5,6

Tabel 4.2 Persentase Jenis Pengeluaran terhadap PDB Indonesia 1995-2006


Uraian 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Konsumsi Swasta (%) 54,2 55,1 56,8 61,3 63,7 61,7 61,5 61,1 60,6 60,6 59,7 58,3
Konsumsi Pemerintah (%) 7,3 6,9 6,6 6,4 6,4 6,5 6,8 7,3 7,7 7,6 7,8 8,0
Investasi Total (%) 25,9 27,5 28,5 22,0 17,8 19,9 20,4 20,4 19,7 21,4 22,3 21,9
Perubahan Stok (%) 3,2 1,0 1,6 2,2 2,6 1,4 2,3 1,6 0,8 2,2 3,0 0,7
Ekspor Barang dan Jasa (%) 38,2 38,1 39,3 50,2 34,0 41,0 39,7 37,6 38,8 41,1 42,2 46,8
Impor Barang dan Jasa (%) 36,4 36,1 39,5 43,1 25,4 30,5 30,6 28,0 27,5 32,9 35,0 37,0
Net Ekspor Barang dan Jasa 1,8 2,0 -0,29 7,1 8,6 10,5 9,2 9,6 11,3 8,2 7,2 9,8

Tabel 4.3 Persentase Pengeluaran terhadap Pertumbuhan PDB Indonesia 1995-2006


URAIAN 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Konsumsi Swasta (%) 4,45 5,36 4,44 -3,78 2,95 0,98 2,15 2,34 2,36 3,01 2,36 1,85
Konsumsi Pemerintah (%) 0,91 0,19 0,00 -0,99 0,04 0,42 0,51 0,95 0,77 0,30 0,63 0,65
Investasi Total (%) 0,35 3,99 2,44 -7,26 -3,25 3,32 1,32 0,96 0,20 3,01 2,21 0,83
Perubahan Stok (%) 0,45 -0,66 1,15 0,39 0,54 -0,61 1,41 -0,44 -0,37 4,45 1,36 -0,53
Ekspor Barang dan Jasa (%) 3,28 2,88 3,06 5,62 -10,81 10,85 0,26 -0,46 3,18 4,55 3,63 7,95
Impor Barang dan Jasa (%) 2,81 2,48 5,82 -2,28 -10,32 7,90 1,28 -1,19 0,75 8,43 4,32 4,35
Net Ekspor Barang dan Jasa 0,38 0,44 0,34 15,61 1,89 2,96 -0,88 0,85 2,74 -1,98 -0,47 4,14
Perbedaan Statistik PBD* 1,61 0,31 -0,31 -0,81 -0,09 0,00
48

Tabel 4.4 PDB Indonesia 1995-2006 (PDB Berdasarkan Sektor Industri )


Sektor 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertanian 209.033,4 211.132,3 208.318,5 212.824,2 216.831,4 225.685,7 232.973,5 243.076,0 248.222,8 254.391,3 261.296,8
Pertambangan dan Penggalian 162.704,1 166.147,9 161.559,9 158.937,8 167.692,2 168.244,3 169.932,0 168.426,7 160.100,4 162.642,0 168.729,9
Industri Pengolahan 375.581,4 395.304,4 350.095,3 363.824,0 385.597,9 398.323,8 419.388,1 441.754,7 469.952,4 491.699,5 514.192,2
Listrik gas dan air bersih 6.226,0 6.995,9 7.208,1 7.804,0 8.393,7 9.058,3 9.868,2 10.448,1 10.889,8 11.596,6 12.263,6
Bangunan 108.299,8 116.269,1 73.897,8 72.484,3 76.573,4 80.080,4 84.469,8 90.103,4 96.333,6 103.403,8 112.762,2
Perdagangan hotel dan restoran 245.579,2 259.890,5 212.548,8 212.418,0 224.452,6 234.273,1 243.409,3 256.299,5 271.104,9 294.396,3 311.903,5
Pengangkutan dan komunikasi 66.418,7 71.073,0 60.322,7 59.868,8 65.012,1 70.276,1 76.173,1 84.979,0 96.896,7 109.467,1 124.399,0
Keuangan persewaan dan jasa persh. 153.046,4 162.127,2 118.951,5 110.395,2 115.463,1 123.085,5 130.928,1 140.117,3 151.187,8 161.959,6 170.495,6
Jasa-jasa 124.838,9 129.353,3 124.378,2 126.795,8 129.753,8 133.957,4 138.982,3 144.354,2 152.137,3 159.990,7 170.612,1
Pendapatan Domestik Bruto 1.444.873,31.512.780,91.314.202,01.324.599,01.389.770,21.442.984,61.506.124,41.579.558,91.656.825,71.749.546,91.846.654,9
Pertumbuhan PDB Riil (%) 7,8 4,7 (13,1) 0,8 4,9 3,8 4,4 4,9 4,9 5,6 5,6

Tabel 4.5 Persentase Sektor Industri Terhadap PDB Indonesia 1995-2006


Sektor 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertanian 15,12 14,47 13,96 15,85 16,07 15,60 15,64 15,47 15,39 14,98 14,54 14,15
Pertambangan dan Penggalian 11,42 11,26 10,98 12,29 12,00 12,07 11,66 11,28 10,66 9,66 9,30 9,14
Industri Pengolahan 25,11 25,99 26,13 26,64 27,47 27,75 27,60 27,85 27,97 28,36 28,10 27,84
Listrik gas dan air bersih 0,41 0,43 0,46 0,55 0,59 0,60 0,63 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66
Bangunan 7,17 7,50 7,69 5,62 5,47 5,51 5,55 5,61 5,70 5,81 5,91 6,11
Perdagangan hotel dan restoran 16,94 17,00 17,18 16,17 16,04 16,15 16,24 16,16 16,23 16,36 16,83 16,89
Pengangkutan dan komunikasi 4,56 4,60 4,70 4,59 4,52 4,68 4,87 5,06 5,38 5,85 6,26 6,74
Keuangan persewaan &jasa persh. 10,77 10,59 10,72 9,05 8,33 8,31 8,53 8,69 8,87 9,13 9,26 9,23
Jasa-jasa 9,01 8,64 8,55 9,46 9,57 9,34 9,28 9,23 9,14 9,18 9,14 9,24
49

Tabel 4.6 Persentase pertumbuhan sektor industri terhadap pertumbuhan PDB Indonesia 1995-2006
Sektor 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertanian 0,66 0,45 0,14 -0,21 0,35 0,29 0,64 0,50 0,67 0,32 0,36 0,38
Pertambangan dan Penggalian 0,77 0,71 0,23 -0,34 -0,19 0,66 0,04 0,11 -0,09 -0,48 0,15 0,34
Industri Pengolahan 2,73 3,01 1,37 -3,05 1,08 1,66 0,91 1,47 1,49 1,81 1,30 1,27
Listrik gas dan air bersih 0,07 0,06 0,06 0,02 0,05 0,05 0,05 0,06 0,04 0,03 0,04 0,04
Bangunan 0,93 0,96 0,57 -2,05 -0,10 0,31 0,25 0,31 0,38 0,40 0,43 0,55
Perdagangan hotel dan restoran 1,35 1,39 1,00 -2,95 -0,01 0,92 0,71 0,63 0,86 0,95 1,45 1,00
Pengangkutan dan komunikasi 0,39 0,40 0,33 -0,69 -0,03 0,40 0,39 0,42 0,62 0,82 0,81 0,92
Keuangan persewaan & jasa persh. 1,19 0,64 0,64 -2,41 -0,60 0,38 0,56 0,55 0,62 0,72 0,66 0,49
Jasa-jasa 0,29 0,29 0,31 -0,36 0,19 0,22 0,30 0,35 0,35 0,50 0,47 0,61

Persentase Sektor Pertaninan & Ind. Pengolahan atas PDB


Persentase Konsumsi atas Pertumbuhan PDB
Pertumbuhan
10,0 Pertumbuhan
10,0

5,0
5,0

-
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 -
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
(5,0) Tahun Tahun
Pertumbuhan PDB Riil (%)
(5,0)
(10,0)
Konsumsi Swasta (%) Pertumbuhan PDB Riil (%)
Pertanian
Konsumsi Pemerintah (%) (10,0)
Industri Pengolahan
(15,0)

(15,0)

Gambar 4.1 Pertumbuhan PDB Indonesia dan Persentase Sektor Pertanian vs Sektor Pengolahan terhadap PDB Indonesia
IV.2 Model Dasar Makroekonomi dalam System Dynamics
Dalam bagian ini akan dibahas struktur dan perilaku model, sebelum beranjak
pada tingkatan simulasi. Pemahaman struktur dan perilaku model akan
meningkatkan pemahaman kita bagaimana variabel model berinteraksi satu sama
lain untuk menghasilkan tujuan model.
Berbeda dengan penelitian makroekonomi yang menetapkan diambil konstan
sepanjang waktu, model system dynamics yang dikembangkan di sini tidak
mengasumsikan kekonstanan . Dalam model yang -nya konstan, perubahan
teknologi akan ditangkap oleh variabel TPF (Total Productivity Factor= Faktor
Produktivitas Total). Dalam model system dynamics ini, peningkatan penguasaan
teknologi ditangkap oleh peningkatan koefisien dan peningkatan output karena
faktor eksternal ditangkap oleh TPF.

Dalam pemodelan system dynamics ada beberapa istilah yang patut diingat yaitu
variabel endogenous, exogenous dan excluded variabel. Variabel endogenous dan
exogenous adalah variabel yang tercakup dalam model. Perbedaannya ialah
variabel endogenous nilainya berubah selama simulasi model, sedangkan variabel
exogenous dibuat untuk mengurangi kompleksitas model. Variabel excluded
adalah variabel yang berada di luar pengamatan model. Jenis variabel model dapat
dilihat dalam Tabel 4.7 dibawah ini.

Tabel 4.7 Daftar Variabel Model


Endogenous Exogenous
o Output Y, Yo (output awal) [Rp/tahun] o Real Interest Rate [%/tahun]
o Desired Capital [DK=Rp] o Tingkat pertumbuhan Net Ekspor [%/tahun]
o Desired Investment, Investment o tae, tai, tak, tsy (time adjust.Employment,
[Rp/tahun] Investment,kapital, pendapatan ), nic (normal
o Desired Labor (DE), Labor (Lw) [Jiwa] inventory coverage) [tahun]
o Fraksi Pengangguran (U), Lagged o spc (slope philip curve), apc, Fraksi Angkatan
Unemployment (LU), nru [%] Kerja (fraksi AK), initial alpha, [dimensionless]
o SED, LED [Rp/tahun] o alk (average life time capital) [tahun]
(Short dan Long Run Expect.Demand) o Time adjustment KLR [tahun]
o Final Sales (FS) [Rp/tahun] o Exchange Rate [US$/Rp]
o Price Level (P), U_ratio [dimensionless] o fcu (flexibility capital utilization)-
o Inventory (IV), Desired Inventory(DIV) dimensionless
[Rp]; Populasi [Jiwa] o Growth Population Rate
o Betha_aktual=dimensionless (fract_growth)[%/tahun]
51

o AG (Aggregate Demand), PTY (potential Excluded


output) [Rp/tahun] ; Kapital (Kw) [Rp] o Pengaruh Balance of Payment terhadap PDB
o Capital Depreciation [KD=Rp/tahun] o World Supply and Demand
o Permanent Income (PY), Consumption o Utang Luar Negeri
(C)
& pendapatan disposable (CDY)[Rp/tahun]
o Pendapatan Per kapita [US$/tahun-jiwa]
o Real Wage (RW) [Rp/tahun-jiwa]
Model system dynamics selalu diawali dengan tampilan diagram causal loop.
Diagram non teknis ditandai dengan tanda + (plus) dan – (minus). Tanda +
menunjukkan bahwa kedua variabel (variabel dipangkal dan ujung garis panah)
mempunyai sifat searah (membesarnya variabel satu akan memperbesar variabel
yang terletak diujung garis). Untuk tanda – pernyataan sebelumnya berlaku
sebaliknya. Model makroekonomi tesis ini mempunyai diagram causal loop
sesuai di Gambar 4.2. Government Spending Net Ekspor
+ + +
Aggregate Demand Konsumsi

+ +
+ +
Output Y Permanent Income

+
Short Run Expected Demand
Potential Output
+ +
+ Desired Labor 2 +
+ + Long Run Expected Demand
- 3 + Kapital
- Employment + +1
Investasi
--
- Unemployment +
- +
4 Real Wage
Desired Kapital

Labor Intensity ( ) +
+ Explicit Capital Labor
Ratio Goal
- Capital Labor Ratio
Operating Goal + b

+
Change Capital in
a
Labor Ratio
-
+
Recognized Capital +
Labor Ratio Capital Intensity ( )

Gambar 4.2 Causal Loop Model Makroekonomi


52

Dalam diagram causal loop juga dikenal istilah loop positip dan loop negatif.
Loop positip menyatakan adanya pertumbuhan dan sebaliknya loop negatif
bersifat saling meniadakan atau menuju ekuilibrium (goal seeking). Loop positip
akan meningkatkan nilai variabel yang satu atas pertambahan nilai variabel yang
mempengaruhinya. Sementara dalam loop negatif, pertambahan satu variabel akan
mengurangi besaran variabel lain sehingga tercapai keseimbangan. Loop yang ada
dalam Gambar 4.2 diatas diuraikan dalam paragraf berikut ini.

Loop 1: Desired Kapital-Investasi-Kapital-Potential Output-Output-Aggregate


Demand-Long Run Expected Demand-Desired Kapital
- ini bermakna peningkatan desired kapital merupakan akselerator
Loop
pertumbuhan output melalui peningkatan permintaan investasi. Makin tinggi
desired kapital maka semakin tinggi pula permintaan investasi yang berujung
pada peningkatan output.

Loop 2: Desired Labor-Employment-Potential Output- Output-Aggregate


Demand- Short Run Expected Demand - Desired Labor
Loop ini menerangkan bahwa permintaan tenaga kerja dan output adalah loop
positip yang akan terus berkembang nilainya selama tingkat permintaan tenaga
kerja terpenuhi.

Loop 3: Desired Labor- Employment- Unemployment-Real Wage -Desired Labor


Ini merupakan loop negatif dimana variabel satu meniadakan pengaruh variabel
+ juga loop labor market clearing. Dimana peningkatan
lainnya. Loop ini disebut
pengangguran (unemployment) akan menurunkan real wage. Dan peningkatan
real wage akan menurunkan tingkat tenaga kerja yang dinginkan (desired labor).

Loop 4: Desired Labor- Employment- Unemployment-Real Wage –Capital Labor


Ratio Operating Goal – Recognized-Labor Intensity-Desired Labor
Loop ini juga loop negatif, dimana capital labor ratio (KLR) berfungsi sebagai
technology mix. Dimana peningkatan KLR akan mengurangi permintaan tenaga
kerja namun disisi lain pengurangan permintaan tenaga kerja akan mengurangi
real wage. Dimana real wage ini kembali akan meningkatkan nilai variabel KLR.
53

Dapat juga ditambahkan bahwa peningkatan Capital-Labor Ratio (KLR) akan


meningkatkan nilai variabel yang berarti industri bergerak menuju industri
padat modal. Sebaliknya peningkatan akan mengurangi permintaan tenaga
kerja. Sekilas kita melihat seolah-olah perubahan industri padat modal akan
meningkatkan pengangguran.

Jika kita lihat lebih dalam, loop 1 mengandung pernyataan bahwa peningkatan
permintaan kapital (yang disebabkan membesarnya KLR) akan meningkatkan
aggregate demand yang juga berarti peningkatan desired labor. Secara serentak
peningkatan aggregate demand akan meningkatkan permintaan tenaga kerja dan
kapital yang akan meningkatkan semua variabel penting dalam pertumbuhan
ekonomi yaitu: tingkat investasi, naiknya tingkat produksi potensial (potential
output) dan tingkat pendapatan serta tingkat konsumsi. Dengan kata lain
penurunan permintaan tenaga kerja akibat peningkatan capital-labor ratio akan
dieliminasi oleh peningkatan permintaan investasi, meningkatnya pendapatan,
tingkat produksi dan konsumsi sebuah perekonomian yang pada akhirnya akan
menaikkan permintaan tenaga kerja.

Gambar 4.2 diatas juga menjelaskan bahwa capital labor ratio (KLR) dapat
dikembangkan dengan arah garis a dan garis b. Garis a menunjukkan bahwa target
KLR (capital labor ratio operating goal) akan meningkat jika real wage lebih
besar dibandingkan marginal productivity labor. Garis b menunjukkan bahwa
capital labor ratio operating goal dapat di tingkatkan sesuai dengan sasaran
ekplisit.

Makin padat modal, maka makin tinggi tingkat produksi yang dapat dihasilkan
oleh suatu perekonomian. Pentingnya fungsi produksi diperkuat oleh pernyataan
Gregory N Mankiew, seorang ekonom terkenal, dalam buku “Mengenal
Pembangunan dan Analisis Kebijakan” (Partowidagdo, 2004) beliau menyatakan
bahwa “makin tinggi nilai fungsi produksi suatu negara, maka makin mampu
negara itu meningkatkan standar kehidupannya”.

IV.2.1 Sektor Pengeluaran Pemerintah (GS-Government Spending)


Pengeluaran pemerintah digolongkan dalam 2 kategori, yakni government
spending dan government transfer. Government Spending ialah pembiayaan rutin
54

yang dilakukan oleh pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan perekonomian.


Termasuk diantaranya pengeluaran gaji dan pembiayaan proyek pembangunan.
Disisi lain, government transfer merupakan pengeluaran pemerintah yang
ditujukan untuk meredistribusi ulang pendapatan masyarakat dengan tujuan
menghilangkan kesenjangan pendapatan. Misalnya beras miskin, biaya
operasional sekolah dan asuransi kesehatan miskin serta subsidi BBM.
SEKTOR GOV TRANSFER & SPENDING & PERMANENT
INCOME
Yo
Yo
GT
T

G_Spending GT
PY
tr CDY PY1 tsy apc
KD
Yo
T plsh C
fcu nic
persentase_GS
IV
SED FS G_Spending
plst
Y_aktual G_Spending_awal
Y taiInvestasi_aktual

DII
PTY sdvY
kurva_normal_Y DIV

Gambar 4.3 Flow Diagram Sektor Government dan Permanent Income

Model yang ditampilkan disini merupakan pengembangan model yang ditulis


Nathan Blair Forrester dalam disertasi yang berjudul “A Dynamic Synthesis of
Basic Macroeconomic Therory: Implications for Stabilization Policy Analysis”
(Forrester, 1993).

Dalam submodel ini terlihat bahwa Output (Y=PDB) mempunyai variabel noise
yang diasumsikan berdistribusi normal dengan tingkat noise 1%. Variabel noise
untuk representasi dari gangguan internal dan eksternal terhadap pertumbuhan
ekonomi. Aggregate Demand (AG) juga diasumsikan berdistribusi normal dengan
noise 2%.
55

Model ini mengasumsikan bahwa hubungan antara laju inflasi dan tingkat
pengangguran dinyatakan dengan kurva Philip. Dimana kemiringan kurva philip
diasumsikan sebesar 0,26 (variabel spc=0,26). Laju inflasi dipengaruhi oleh
inersia inflasi dan tingkat pengangguran siklis (Mankiew, 2003). Tingkat
pengangguran siklis merupakan selisih tingkat pengangguran sekarang dengan
tingkat pengangguran alamiah. Inflasi juga dinyatakan mempunyai gangguan yang
berdistribusi normal dengan rataan nol dan noise 7%. Besaran noise ini
menggambarkan besarnya tekanan dalam pengendalian inflasi di Indonesia.

Semakin besar nilai noise ini juga merupakan indikasi bahwa pelaku ekonomi
mempunyai backward looking inflation. Artinya pelaku ekonomi melakukan
aktivitas ekonominya berdasarkan pengalaman inflasi masa lalu. Inflasi tinggi
yang terjadi sebelumnya akan mendominasi tingkah laku pelaku ekonomi (bahkan
lebih dominan dibanding laju inflasi yang ditetapkan otoritas moneter) dalam
mengambil keputusan dalam bidang ekonomi.

IV.2.2 Sektor Potensial Output, Aggregate Demand dan Net Ekspor


Potensial Output (PTY) menyatakan fungsi produksi yang diwakili dengan fungsi
produksi Cobb-Douglas. Variabel ini menyatakan kemampuan (kapasitas)
produksi suatu negara berdasarkan jumlah tenaga kerja (penduduk usia produktif)
dan kapital yang dimiliki. Makin besar kapasitasnya makin besar kemampuan
produksi suatu area.

SEKTOR POTENTIAL OUTPUT SEKTOR AGGREGATE DEMAND

Net_Export
Lo
KOR

DII
AG_aktual AG
Yo

PTY Kw
betha_aktual kurva_normal_AG
Lw sdvAG FS
56

SEKTOR INFLASI
SEKTOR NET EXPORT
Ue
Uo
Net_export_growth
Po Ue_1 nru

Net_Export

P
spc P_dot KLR_target
Net_Export_DOT
switch
P_dot_aktual

kurva_normal_P
sdP

Gambar 4.4 Flow Diagram Sektor Aggregate Demand, Potential Output dan
Inflasi serta Net Export

Variabel betha_aktual merupakan pernyataan numerik seberapa besar peran


tenaga kerja bagi pertumbuhan ekonomi. Semakin besar sumbangan output yang
dihasilkan tenaga kerja terhadap pertumbuhan, maka makin tinggi besaran
variabel ini. Indonesia belum mempunyai data statistik yang lengkap dalam data
kapital (Kw) sehingga diasumsikan bahwa rasio KOR (kapital-output ratio)
konstan (2,39). Asumsi ini juga sejalan dengan banyak literatur ekonomi yang
menunjukkan konstanitas variabel ini dalam jangka panjang.

Khusus untuk variabel Aggregate Demand (AG) dilengkapi dengan variabel noise
dengan tingkat noise 2% yang diasumsikan berdistribusi normal. Asumsi ini
digunakan untuk mewakili keadaan perekonomian yang selalu mengalami siklus
bisnis (Forrester, 1993).

Dalam model dasar ini net ekspor (selisih ekspor dan impor) tumbuh 5,87% per
tahun (sesuai dengan data pada Tabel 4.3). Sedangkan pertumbuhan investasi
diperkirakan sebesar 6,67% per tahun. Data-data ini sesuai dengan tampilan Tabel
4.3 untuk pertumbuhan ekonomi dari tahun 2000-2006.
57

IV.2.3 Sektor Permintaan Jangka Panjang dan Jangka Pendek (Long Run
Expexted Demand = LED dan Short Run Expected Demand=SED)

SEKTOR KAPITAL SEKTOR SHORT DAN LONG EXP DEMAND

laju_investasi AG_aktual
SED
Yo

Investasi_Awal

SED1

available_investment Yo tssd
KOR
Yo nic
Kw
LED
KD Investasi_aktual
LED1
alk DIV
tak tsld
Desired_Investment
LED AG_aktual

betha_aktual
Real_Interest_rateDK

Gambar 4.5 Flow Diagram Sektor Kapital, SED dan LED

Model juga menjelaskan bahwa tingkat investasi dan pertumbuhan kapital


dipengaruhi permintaan jangka panjang (LED=Long Run Expected Demand)
(Forrester, 1993). Sedangkan permintaan tenaga kerja akan dipengaruhi oleh
permintaan jangka pendek – Short Run Expected Demand (SED).

Model kapital juga menyatakan bahwa tingkat investasi yang ingin dicapai
ditentukan oleh kapital yang diinginkan (DK=desired kapital). Makin besar nilai
semakin besar variabel DK (jumlah kapital yang diinginkan). Dalam
kenyataannya, jumlah investasi yang tersedia (available investment) dipengaruhi
oleh kondisi perekonomian suatu negara. Investasi aktual dalam sektor ini
dipengaruhi oleh kesediaan investasi (available investment), jika investasi
tersedia (available investment) < DK (desired kapital) maka investasi aktual sama
dengan tingkat available investment. Kesediaan investasi ini dipengaruhi laju
investasi, makin tinggi laju investasi, maka makin tinggi available investment.
58

IV.2.4 Sektor Tenaga Kerja, Kapital, dan Pendapatan Per Kapita


SEKTOR TENAGA KERJA DAN PENDAPATAN PER KAPITA

initial_alpha
P Yo
konversi_USD Y Lw

populasi
Lw_dot
growth_pop Ue Rw
income_per_kapita tae Ue Lo
fract_growth RWo
U_ratio
nru Y_USD
DE
labour_supply labour_supply
Uo betha_aktual
Lw SED
fraksi_AK adjusted_labor_supply

Uo jumlah_TK adjusted_labor_supply
LU Ue
Uo
tsu LU1

Gambar 4.6 Flow Diagram Sektor Tenaga Kerja dan Pendapatan per Kapita

Model juga menjelaskan bahwa tingkat tenaga kerja yang tersedia dibatasi oleh
tingkat kesediaan tenaga kerja (labour supply). Disini diasumsikan bahwa
perbandingan usia produktif dibandingkan jumlah total penduduk adalah konstan
46,4%. Pendapatan per kapita disini berdasarkan pendapatan per kapita menurut
harga berlaku yang dinyatakan dengan US$ dengan konversi rupiah ke US$
bernilai tetap Rp. 9.200 per US$ (exogenous).

Dalam model diasumsikan tingkat pertumbuhan penduduk tetap 1,2% per tahun.
Angka ini merupakan angka rataan pertambahan penduduk dari tahun 2000-2006.
Selama simulasi diasumsikan laju pertambahan penduduk diasumsikan tetap
dalam jangka panjang.

Diagram sektor diatas menyatakan hubungan diantara MPL (Marginal


Productivity Labour) dan tingkat pertumbuhan variabel . Selama Rw > MPL
(upah riil), maka makin tinggi permintaan kapital (variabel KLR=rasio kapital-
labour akan meningkat). Ini menunjukkan bahwa perusahaan akan meningkatkan
jumlah investasinya, jika upah riil lebih besar dari tingkat pertambahan output
untuk pertambahan 1 tenaga kerja dan sebaliknya. Peningkatan rasio ini akan
59

meningkatkan nilai sehingga industri akan cenderung bergerak ke arah padat


modal.

SEKTOR PADAT MODAL


Kw
Lw switch_1 KLR_aktual
KOR

KLR A
MPL
betha

Rw KLR_goal
KLR_target betha_aktual

U_ratio
KLR_aktual betha_dot
KLR_dot
ta_KLR tadjus_betha
U_ratio MPL
Rw
Lw
Y
RWo

Gambar 4.7 Flow Diagram Sektor Padat Modal


IV.3 Uji Validitas Model
Sebelum menggunakan model untuk menganalisa menaksir pertumbuhan ekonomi
kedepan, kita perlu melakukan uji validitas model. Pengujian model yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan perilaku sistem
dalam model dengan perilaku sistem yang sebenarnya yang direpresentasikan oleh
data empirik di lapangan.
Jika hasil simulasi model, memperlihatkan trend yang sesuai dengan data aktual
lapangan, maka model dapat diterima sebagai suatu representasi persoalan yang
dunia nyata dapat digunakan untuk analisis kebijakan.
Dalam uji statistik, standar yang digunakan untuk mengukur kesalahan adalah
rataan kuadrat kesalahan (MSE=mean square error), dan rincian distribusi
kesalahan-kesalahan yang timbul diuji dengan statistik ketidaksamaan Theil.
Dengan memisahkan kesalahan-kesalahan menjadi proporsi ketidaksamaan bias
(inequality bias proportion),UM, ketidaksamaan varian (variance inequality
proportion),US, dan proporsi ketidaksamaan kovarian (inequality covariance
proportion),UC. Uji prilaku model dilakukan atas 4 komponen variabel, yaitu :
60

variabel populasi penduduk Indonesia, tingkat pendapatan per kapita dan output
(PDB) serta indeks harga (P=price level).
Tabel 4.8 Uji Validitas Penduduk

Tahun Penduduk Penduduk


Simulasi Aktual Grafik Populasi Penduduk
2000 206.265.000 206.265.000 Jiwa

2001 208.754.152 208.647.000 2,250E+08

2002 211.273.342 211.057.000


2,200E+08
2003 213.822.933 213.494.000
2004 216.403.292 215.960.000
2,150E+08
2005 219.014.790 218.869.000
2006 221.657.803 222.051.000
2,100E+08
Jumlah 1,27553E+09 1,27429E+09
Rataan 2,12589E+08 2,12382E+08 Hasil Simulasi
2,050E+08
MSE 0,000 Data Aktual
RMSE 0,13% 2,000E+08 Tahun
Um 0,191
Us 0,064 1,950E+08
Uc 0,745 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Total U 1,00

Untuk variabel penduduk Indonesia dan output (PDB) kesalahan lebih besar pada
Uc sedangkan kesalahan Us dan Um relatif kecil. Ini mengindikasikan adanya
pengaruh perubahan siklis yang tidak dapat ditangkap oleh model. Ketiga variabel
juga mempunyai derajat MSE dan RMSPE yang mendekati 0 (nol). Umumnya
kesalahan ini bukanlah kesalahan sistematis.

Tabel 4.9 Uji Validitas Output (PDB)


Tahun PDB PDB
Simulasi Aktual
2000 1,38977E+15 1,38977E+15 Grafik PDB
3E+15
2001 1,53700E+15 1,44298E+15 Rp

2002 1,56300E+15 1,50612E+15 2E+15

2003 1,60800E+15 1,57956E+15


2004 1,65266E+15 1,65683E+15 2E+15

2005 1,72680E+15 1,74955E+15 Tahun


PDB
2006 1,79100E+15 1,84665E+15 1E+15

PDB_aktual
2007 1,87000E+15 1,96299E+15
5E+14
Jumlah 1,33740E+16 1,31345E+16
Rataan 1,67175E+15 1,64181E+15
0E+00
MSE 0,00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

RMSE 3%
Um 0,363
Us 0,187
Uc 0,451
Total U 1,00
61

Tabel 4.10 Uji Validitas PDB per kapita

Tahun PDB/kapita PDB/kapita


Simulasi Aktual
2000 732,37 789 2.500 Grafik Income Per Kapita
2001 888,00 775 US$

2002 1.000,00 932 2.000

2003 1.089,00 1.116 1.500

2004 1.199,00 1.167 1.000

2005 1.351,00 1.321 Tahun

2006 1.500,00 1.663


500
Income/Kapita Simulasi

2007 1.636,00 1.947 -


2000 2001
Income/kapita Aktual
2002 2003 2004 2005 2006 2007

Jumlah 7.759,37 7.763,00


Rataan 1.108,48 1.109,00
MSE 0,0078
RMSE 8,82%
Um 0,002
Us 0,369
Uc 0,630
Total U 1,00
Tabel 4.11 Uji Validitas Price Level
Tahun Indeks Harga Indeks Harga
Simulasi Aktual 2,00
Nilai
2000 1,000 1 1,90
Grafik Price Level (P)
1,80
2001 1,109 1,115
1,70
2002 1,243 1,2474
1,60
2003 1,333 1,3296 1,50
2004 1,444 1,4126 1,40
P rice Level Simulasi
2005 1,576 1,5603 1,30
2006 1,708 1,7648 1,20 P rice Level A ktual

2007 1,807 1,8307 1,10


1,00 Tahun
Jumlah 9,41 9,43
Rataan 1,34 1,35
00

01

02

03

04

05

06

07
20

20

20

20

20

20

20

20

MSE 0,0009
RMSE 2,94%
Um 0,365
Us 0,031
Uc 0,604
Total U 1,00
Fakta yang sama juga menjelaskan bahwa variabel pendapatan per kapita (income
per kapita=PDB per kapita) dan price level (P) mempunyai Uc yang relatif besar
dibandingkan Um dan Us. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tiap-tiap titik (point
by point) antara simulasi dengan hasil aktual tidak sama meskipun model dapat
dikatakan memiliki nilai rata-rata dan kecenderungan yang sama dengan nilai
62

aktualnya. Nilai UC yang besar merupakan indikasi terjadinya gangguan (noise)


pada pola siklus (cyclical modes) pada data historis yang tidak dapat ditangkap
oleh model. Kesalahan ini pada umumya bukan merupakan kesalahan sistematis.

IV.4 Perilaku Model


Untuk melihat perilaku model dalam skenario business as usual, pemodel mesti
menampilkan perubahan nilai variabel sesuai hasil simulasi sesuai perilaku
variabel yang telah diuji validitasnya.

Hasil simulasi variabel yang populasi, output dan pendapatan per kapita dari tahun
2000 sampai dengan 2050 ditampilkan dalam grafik-grafik dibawah ini:

Populasi dalam model standar


350.000.000 tumbuh 1,2% per tahun. Jumlah
populasi

300.000.000 populasi pada tahun 2030:


295.605.802 jiwa dan pada tahun
250.000.000
2050 mencapai: 375.754.822 jiwa
200.000.000 penduduk.
2.000 2.020 2.050
Time

Grafik Output (PDB) Output rill (PDB riil) akan tumbuh


3e16 mencapai: Rp. 8 milyar.
3e16
Sedangkan pada pada tahun 2050
2e16
diperkirakan akan mencapai Rp.
Y

2e16
1e16 30,5 milyar.
5e15

2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050


Time
63

Grafik Pendapatan per Kapita Pendapatan per kapita dinyatakan

income_per_kapita
60.000 dalam US$. Dimana nilai pada
50.000
40.000
tahun 2030: US$13.683 per jiwa-
30.000 tahun dan akhir simulasi
20.000
10.000 diperkirakan mencapai: US$
0 63.421 per jiwa-tahun.
2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050
Time

Grafik Price Level Tingkat harga (P-price level) yang


7 juga dikenal dengan istilah indeks
6
5 harga konsumen bernilai 4,71 pada
P

4
tahun 2030 dan 7,18 pada tahun
3
2 2050.
1
2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050
Time

Gambar 4.8 Hasil berbagai simulasi skenario dasar (business as usual)

Tabel 4.12 Data yang digunakan untuk simulasi model dasar.


Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rataan
Laju Konsumsi Pemerintah 7,56% 12,99% 10,03% 3,99% 8,06% 8,16% 8,47%
Laju Investasi Riil 6,49% 4,69% 1,04% 14,09% 9,93% 3,81% 6,67%
Noise Output (Y-PDB) 1%
Noise Permintaan Agregat (AG) 2%
Noise Price Level (P) 7%
1
Nilai awal 0,24
Skenario model dasar ini didasarkan pada asumsi pertumbuhan investasi riil
6,67 % per tahun, peningkatan konsumsi pemerintah 8,47% per tahun, tingkat
noise output 1% dan gangguan permintaan agregat (aggregate demand) 2% dan
price level 7%.

Yang menarik kita lihat disini ialah besaran noise price level (P) menunjukkan
bahwa selama 7 tahun terakhir ini terlihat tekanan yang kuat terhadap

1
Nilai awal di tentukan dengan fitting sesuai lampiran 3.
64

pengendalian inflasi di Indonesia. Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah


mencabut subsidi BBM 3 kali dalam 5 tahun terakhir ini.

Fakta ini juga menunjukkan bahwa pelaku ekonomi Indonesia mempunyai


karakteristik backward looking inflation, yang menunjukkan tingkat ekspektasi
inflasi yang tinggi atau kepercayaan yang rendah pelaku ekonomi Indonesia
terhadap kapabilitas otoritas moneter dan fiskal dalam mengendalikan laju inflasi
di Indonesia. Gangguan output ini dapat dilihat dari dari grafik output (Y) yang
tidak “smooth”.

Uji validitas model yang menghasilkan nilai Uc yang dominan menunjukkan


bahwa noise atau gangguan sangat mempengaruhi besaran variabel
makroekonomi Indonesia. Penetapan noise merupakan hal yang patut
diperhitungkan karena Indonesia termasuk “the small open economy”. Istilah ini
dikaitkan dengan perekonomian Indonesia yang terbuka dan dipengaruhi oleh
perekonomian dunia. Sedangkan istilah “small” merujuk kepada kekuatan
ekonomi Indonesia yang relatif kecil sehingga variabel ekonomi Indonesia akan
dipengaruhi oleh perubahan variabel ekonomi dunia.
65

BAB V

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Model telah teruji validitasnya dapat dianggap merupakan repesentasi sahih dari
dunia nyata yang kita yang amati. Simulasi ditujukan untuk melihat hubungan
struktur dan perilaku setiap variabel yang ada dalam model. Dari bab terdahulu
telah disimulasikan model dengan tanpa intervensi kebijakan, hasil simulasi ini
dinamakan hasil simulasi skenario dasar. Perilaku skenario dasar dapat dijadikan
sebagai acuan dalam melakukan intervensi-intervensi kebijakan terhadap model.

Jika kita menetapkan konstan sepanjang waktu, peningkatan produktivitas


(penguasaan teknologi) dalam fungsi produksi direpresentasikan dengan
peningkatan nilai TPF. Tapi berbeda dalam pemodelan dinamika sistem (system
dynamics), peningkatan produktivitas fungsi produksi direpresentasikan dengan
peningkatan koefisien (penguasaan teknologi/perubahan industri ke arah padat
modal) dan peningkatan produktivitas total input lainnya direpresentasikan oleh
TPF.

Penguasaan
Teknologi
+ +
+
+ - + +
K/L ratio L PTY Y

+
+
+ TPF
K

+
Gambar 5.1 Causal loop dan TPF

Sesuai dengan diagram causal loop di atas, penguasaan teknologi akan tercermin
oleh peningkatan variabel dan faktor eksternal yang mempengaruhi output
seperti: kenaikan harga minyak, economy shock dan proteksi tercermin oleh TPF.
Tapi jika mengambil konstan, maka TPF akan mencerminkan penguasaan
teknologi dan faktor eksternal yang mempengaruhi output (karena TPF bisa
66

negatif atau positif, maka garis hubungan antara TPF dan Y tidak ditandai dengan
tanda + atau -).

V.1 Simulasi Berbagai Skenario


Skenario dapat dimaksudkan sebagai suatu cara untuk mencapai situasi yang kita
inginkan di masa datang. Dalam tulisan ini tujuan yang ingin dicapai, sesuai visi
2030, adalah pendapatan per kapita US$ 18.000 per tahun pada tahun 2030.
Skenario dasar ini sesuai dengan keterangan pada bab sebelumnya.

V.1.1 Skenario Business as Usual


Hasil simulasi pada skenario dasar ini sering dinamakan business as usual.
Simulasi dengan skenario dasar ini telah dibahas dalam bab sebelumnya dan garis
simulasi 1 merupakan representasi dari simulasi dengan skenario ini. Secara
umum dapat dikatakan bahwa skenario ini merupakan representasi pertumbuhan
ekonomi tanpa adanya intervensi kebijakan.

V.1.2 Skenario pertumbuhan Macan Asia


Pada saat pertumbuhan pendapatan per kapita Amerika Serikat tumbuh 2% per
tahun dari tahun 1966-1990, Macan Asia Timur (Hongkong, Singapura, Taiwan
dan Korea Selatan) mengalami pertumbuhan pendapatan per kapita lebih dari 7%
per tahun (Mankiew, 2003).

Dalam studi terbaru tentang Macan Asia Timur ini, didapatkan bahwa
pertumbuhan ekonomi ditopang oleh peningkatan rasio investasi terhadap PDB
yang semula 5% menjadi 30% (Mankiew, 2003). Ini meningkatkan ketersediaan
jumlah kapital dan lapangan kerja.

Skenario ini bertujuan melihat bagaimana pengaruh kenaikan investasi di


Indonesia terhadap variabel pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi dan
faktor produktivitas total. Sasaran operasional dari skenario ini peningkatan
tingkat investasi mulai tahun 2010 sebesar 9% per tahun.

Simulasi menunjukkan bahwa skenario ini akan meningkatkan pendapatan per


kapita dan nilai (sehingga industri bergerak ke arah industri yang lebih padat
modal). Dibandingkan dengan model standar, fungsi produksi (potential output)
67

pada skenario ini lebih besar dibandingkan dengan fungsi produksi skenario 1 di
atas. Beberapa hasil simulasi skenario ini ditunjukkan oleh garis simulasi 2.

V.1.3 Skenario peningkatan (Industri Padat Modal)


Pada kajian ini skenario 2 (skenario diatas) digabungkan dengan sasaran
operasional peningkatan nilai yang bertujuan mengubah industri Indonesia ke
arah padat modal. Sasaran operasional skenario ini ialah peningkatan KLR
(capital labour ratio) 4% per tahun.

Simulasi menunjukkan adanya peningkatan fungsi produksi dan yang sangat


mencolok dibandingkan dengan hasil simulasi skenario sebelumnya. Simulasi
juga menunjukkan bahwa perubahan menuju padat modal ini membutuhkan
investasi yang lebih besar. Untuk skenario ini, grafiknya ditunjukkan oleh garis
simulasi 3.

120.000

income_per_kapita
2 2
6e16 100.000
80.000
4e16 60.000
Y

3 3
2 1 40.000 2 1
2e16 3
23 1 20.000 2 1
3 1 3 1
123 12 01 2 3 1 2 3 12
123
2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050 2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050

Time Time

Gambar 5.2 Output PDB (Rp) Gambar 5.3 Pendapatan Per Kapita (US$ per jiwa-thn)

2e16
3
2,5
1
2e16 23
2,0 12
3 123 123
K_per_Y

123
1
PTY

1,5
1e16
3 1,0
5e15 3
2 1 0,5
1
1 23 12
123 123
0,0
2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050
2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050
Time
Time
Gambar 5.5 Kapital Output Ratio
Gambar 5.4 Potential Output (Rp)
68

123 12 12 12 12 1 600 3
3
0,7
3 500

betha_aktual

KLR_aktual
400
0,6
3
300
0,5
200
3
0,4 100
3
3 01 2 3 123 123 123 12 1
2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050 2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050

Time Time

Gambar 5.6 Koefisien (Betha) Gambar 5.7 Capital Labour Ratio

1
5 3
12
3 0,30
4

I_per_Y
12 2 23 23 2
3 23
P

3 3
12 0,25
1 1
3 1 1
2 2 1
1 3
0,20 1 2
3
11 2
2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050 2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050
Time Time
Gambar 5.8 Price Level (P) Gambar 5.9 Rasio Investasi-PDB1

2e17 3 160.000.000 1
3
Desired_Investment 2
1 1
2e17 140.000.000
3
Desired_Investment 2
2
Lw

1
1e17 Desired_Investment 120.000.000 3
3 2
1
Investasi_aktual 3
3 4 2
5e16 2 100.000.000 1
3 3
2 Investasi_aktual 2
3 2 1 5 1
6 2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050
01 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 4 5 4 Investasi_aktual
6 Time
2.000 2.020 2.050
Time
Gambar 5.11 Jumlah Tenaga Kerja
Gambar 5.10 Desired Investment vs Investment

V.2 Analisis Hasil Simulasi


Walaupun skenario dasar menunjukkan peningkatan pendapatan per kapita US$
13.683 pada tahun 2030 dan US$ 63.421 pada tahun 2050, hal ini tidak ditopang

1
Dalam ketiga simulasi di atas, Gambar 5.5, menunjukkan bahwa asumsi KOR konstan diimbangi
oleh hasil simulasi yang menunjukkan variabel K_per_Y relatif konstan sepanjang jalannya
simulasi. Variabel K_per_Y=KOR=kapital output ratio.
69

oleh peningkatan persentasi investasi (persentase investasi terhadap PDB dalam


jangka panjang menurun) dan fungsi produksi (potential output) hanya meningkat
relatif sedikit. Jika terjadi peningkatan permintaan dikhawatirkan suplai dalam
negeri berkurang, akibat kemampuan produksi yang relatif rendah. Ini bisa
menimbulkan overheating economy, situasi dimana suplai tersendat pada saat
demand meningkat.

Causal loop yang dapat menyatakan pentingnya investasi sebagai leading


pertumbuhan ekonomi dapat kiranya dinyatakan dalam Gambar 5.12 di bawah ini.
Loop positif (loop 1 di atas) menunjukkan bahwa peningkatan investasi (yang
berasal dari tabungan dalam negeri) bersifat pengganda bagi peningkatan PDB
dan pendapatan. Sebaliknya loop negatif (loop 2 di atas) menunjukkan bahwa
konsumsi merupakan faktor pelemah bagi peningkatan PDB dan pendapatan.

Pendapatan
+ 2
+
+ -
Konsumsi
PDB + 1 Investasi
-
+

Kapital
+
Gambar 5.12 Peranan Investasi sebagai leading pertumbuhan ekonomi

Ini menandai pentingnya kita untuk meningkatkan peran investasi terhadap


pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ibaratnya, konsumsi adalah gerbong dan
investasi adalah lokomotif, “ terlalu banyak gerbong, lokomotif tidak dapat
menarik gerbong yang terlalu banyak, sebaliknya lokomotif yang lebih banyak
memungkinkan peningkatan jumlah gerbong yang dapat ditarik”. Pernyataan ini
sejalan dengan sejarah pertumbuhan Macan Asia Timur yang mampu
meningkatkan pendapatan per kapitanya 7% per tahun (dengan meningkatkan
peran investasi dalam pertumbuhan ekonomi) pada saat pendapatan per kapita
Amerika Serikat (anggota G-8) hanya tumbuh 2% per tahun.
70

Dalam skenario 2 dan 3, simulasi menghasilkan output dan pendapatan per kapita
yang relatif sama. Namun perbedaan yang terpenting adalah, pada skenario 3
perekonomian mampu meningkatkan besaran fungsi produksi (PTY-potential
output) dengan laju eksponensial. Ini membawa implikasi penting, karena
peningkatan kemampuan produksi (PTY-potential output) akan meningkatkan
kemampuan suatu negara untuk meningkatkan standar hidupnya (Mankiew dalam
Partowidago, 2003).

Selain itu, melalui Gambar 5.8 kita dapat melihat perubahan pertumbuhan dengan
mengandalkan investasi sebagai faktor penting pertumbuhan dan skenario ke arah
sektor industri padat modal menunjukkan bahwa price level relatif konstan pada
ketiga skenario. Peningkatan modal sebagai peran utama tidak menyebabkan kita
terjerumus pada inflasi yang tinggi.

Simulasi juga menunjukkan bahwa grand scenario ke arah industri padat modal
sama sekali tidak menunjukkan penurunan lapangan kerja tapi justru akan
meningkatkan kesediaan lapangan kerja jika kita mampu mencapai tingkat
investasi sesuai sasaran investasi (sesuai Gambar 5.9 dan Gambar 5.10).

Pencapaian skenario 2 dan 3 ini jelas memerlukan kerja keras, karena


membutuhkan tingkat investasi yang memadai, yang didukung oleh peningkatan
penguasaan teknologi dan situasi dalam negeri kondusif sejalan dengan dukungan
pemerintah bagi pengembangan industri.

Kita juga dapat menyimpulkan bahwa skenario dasar tidak mampu membawa kita
menuju visi 2030 (pendapatan per kapita US$ 18.000 per tahun) tapi mampu
membawa kita menuju impian E-7 (Emerging-Seven versi The Price WaterHouse
Coopers) atau N-11 (Next-Eleven versi Goldman Sachs).

Goldman Sachs (2007) dan PriceWater House Coopers (2006) menempatkan


Indonesia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 (Goldman Sachs)
atau 6 (PriceWater House Coopers) dengan besaran PDB US$ 10.000 milyar atau
pendapatan per kapita US$ 30.000 pada tahun 2050. Apakah prediksi itu memiliki
alasan kuat ?

Simulasi (sesuai skenario 2) menunjukkan bahwa pencapaian besaran PDB per


kapita tersebut dapat dicapai sebelum tahun 2050 yaitu pada tahun 2040. Ini
71

menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan potensi besar untuk


menjadi negara dengan pendapatan per kapita pada kisaran US$ 146.000 pada
tahun 2050.

Goldman Sachs memperkirakan bahwa pada tahun 2025 Indonesia mencapai


pendapatan per kapita US$ 5.100. Simulasi menunjukkan bahwa pencapaian pada
tahun yang sama dapat mencapai US$ 8.000 jika ada peningkatan peranan
investasi dalam perekonomian Indonesia.

Dalam model, terjadi peningkatan nilai variabel (variabel mengecil) yang


menunjukkan perubahan menuju industri padat modal. Yang perlu ditekankan
dalam perubahan menuju industri padat modal ialah pengembangan industri yang
dapat mengurangi ketergantungan pada produk impor dan mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat (lihat Tabel 5.1). Sehingga diperoleh efek ganda, yaitu
peningkatan pendapatan masyarakat dan kemandirian perekonomian.
Tabel 5.1 Persentase Impor Indonesia menurut golongan barang

URAIAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

TOTAL 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%


BARANG 8% 7% 8% 9% 8% 8% 8% 9%
KONSUMSI
BAHAN 78% 77% 77% 78% 78% 78% 77% 76%
BAKU
PENOLONG
BARANG 14% 16% 14% 13% 14% 14% 15% 15%
MODAL
Perubahan industri ke arah padat modal banyak memberi keuntungan diantaranya:
peningkatan fungsi produksi yang tinggi dibandingkan dengan fungsi produksi
sesuai skenario 1 dan 2;
peningkatan output (PDB) yang tajam;
peningkatan peranan investasi sebagai motor pembangunan; dan
mempunyai potensi peningkatan lapangan kerja jika sasaran investasinya
terpenuhi (tingkat desired investment-nya tercapai);

Karena fungsi produksinya lebih tinggi, maka kebergantungan impor atas


consumer good, barang modal dan bahan baku penolong dapat dikurangi.

Keseluruhan hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan input kapital dan


manusia (tenaga kerja) yang tidak disertai penguasaaan teknologi akan
72

menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih lambat dibandingkan jika


kita meningkatkan tiga input secara bersamaan yaitu input kapital, tenaga kerja
dan penguasaan teknologi (ditunjukkan dengan peningkatan nilai ). Ini sejalan
dengan pandangan Robert M. Solow yang menyatakan hanya teknologi-lah
penjamin pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (Mankiew, 2003).
Tabel 5.2 Perbandingan Hasil Simulasi

Indikator Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3


Pendapatan per US$ 13.683 (2030) US$ 22.386 (2030) US$23.275 (2030)
kapita (US$ ) US$ 63.421 (2050) US$ 146.886 (2050) US$ 148.977 (2050)
PDB (Rp) Rp 8 Milyar (2030) Rp 12,9 Milyar (2030) Rp 13 Milyar (2030)
Rp 30,5 Milyar (2050) Rp 70,6 Milyar (2050) Rp 71,7 Milyar (2050)
Fungsi Produksi Relatif lebih rendah Relatif lebih tinggi Sangat tinggi baik
(PTY-Potential pada tahun 2030 dan pada tahun 2030 dan tahun 2030 dan 2050
Output) 2050 2050

Price Level (P) Relatif tidak berbeda Relatif tidak berbeda Relatif tidak berbeda
jauh jauh jauh
Investasi Membutuhkan investasi Membutuhkan investasi Membutuhkan investasi
yang rendah yang relatif lebih tinggi yang relatif sangat
tinggi
Karakter Masih Padat Karya; Relatif lebih padat Sangat padat modal;
Industri meningkat dari 0,24 modal; meningkat meningkat menjadi
ke 0,249 menjadi 0,251 0,54

Kemungkinan peningkatan investasi untuk mendukung intervensi kebijakan dapat


disimak dari Tabel 5.3 yang menampilkan data investasi dan dana pihak ketiga
(DPK).

Tabel 5.3 Dana Pihak Ketiga Yang Terhimpun di Perbankan Indonesia (Milyar)
Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Dana Pihak Ketiga
(triliun) 699.100 797.400 835.800 888.600 963.100 1.127.900 1.287.00
Investasi 275.881 323.875 353.967 392.789 515.381 657.625 800.083
Diagram alir (Gambar 5.13 di halaman berikut) menggambarkan hubungan antara
tingkat investasi tersedia dengan tingkat tabungan dan dana perbankan yang
tersedia, dimana fraksi investasi=50% per tahun dan tingkat pertumbuhan FDI
(Foreign Direct Investment=Investasi Asing Langsung) 10% per tahun. Hasil
simulasi (Gambar 5.14 di halaman berikut) menunjukkan bahwa dana investasi
73

yang tersedia lebih besar dari tingkat investasi aktual yang dibutuhkan untuk
skenario 2 dan 3.
Tabel 5.4 Realisasi FDI
Tahun Rp (Juta)
2000 90.872.080
2001 32.286.480
2002 28.439.040
2003 50.145.520
2004 42.341.160
2005 82.014.320
2006 54.988.400
2007 78.608.480
Rata-Rata
Pertumbuhan 10% per tahun3

Investasi_Tersedia_dlm_Negeri
PY

Dana_Perbankan
Tingkat_Tabungan

C fraksi_investasi

dana_investasi_tersedia

FDI

Gambar 5.13 Diagram Flow yang menjelaskan hubungan tingkat investasi

3e16 2

2e16 1

2e16
2 Investasi_aktual
1
1e16 dana_investasi_tersedia
1 2

5e15 2
1
1 2
01 2 1 2
2.000 2.010 2.020 2.030 2.040 2.050
Time

Gambar 5.14 Tingkat Investasi yang Tersedia

3
FDI mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2001, 2002, 2004 dan 2006.
74

V.3 Perbandingan Pertumbuhan Output dan Tingkat Pengangguran


Jika kita sandingkan data tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi (Tabel
5.5) terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan penyediaan tenaga
kerja. Ini dapat disebabkan peranan tingkat konsumsi yang sangat dominan4
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia (Zen dkk 2005). Dengan kata lain jika
peningkatan produksi tidak diimbangi peningkatan peran investasi maka
pertumbuhan ekonomi tidak akan disertai peningkatan kesempatan kerja.
Tabel 5.5 Tingkat Pengangguran vs Pertumbuhan PDB
Tahun Tingkat Laju PDB
Pengangguran riil
2000 6,1% 4,9 %
2001 8,1 % 3,8 %
2002 9,1% 4,4 %
2003 9,5% 4,9 %
2004 9,8% 4,9 %
2005 10,2% 5,6 %
2006 9,8% 5,6 %
Menurut Tabel 5.6 dibawah ini, terjadi konstanitas persentase investasi atas PDB
Indonesia, namun yang menjadi pertanyaan mengapa tingkat pengangguran tidak
turun ? Pertanyaan di atas disebabkan karena tersedianya investasi belum tentu
memberi solusi kesulitan sektor produksi untuk memperbaiki efisiensi dan daya
saing sektor produksi khususnya akibat tekanan biaya yang muncul dari kegiatan
non produksi.

Tabel 5.6 Persentasi Investasi Terhadap PDB


Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Investasi Total (%) 19,9 20,4 20,4 19,7 21,4 22,3 21,9

Sepanjang perbaikan efisiensi pembiayaan investasi sulit dilakukan maka ekspansi


usaha tidak akan ekonomis. Dengan demikian pengusaha akan lebih memilih
mempertahankan tingkat produksi kini dan sebagai akibatnya enggan
meningkatkan jumlah tenaga kerja akibat tidak tertarik meningkatkan produksi.

Bank Dunia telah menerbitkan laporan yang menilai kemudahan bisnis di


Indonesia (Bank Dunia, 2008). Dalam laporan itu beberapa penyebab

4
Pertumbuhan konsumsi yang dominan dapat dilihat pada Tabel 4.3 (hal. 47). Dari tahun 2000-
2006 tabel menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi lebih dominan dibanding pertumbuhan
investasi.
75

pengembangan investasi adalah semakin sulitnya akses mendapat kredit, investor


merasa kurang terlindungi, aplikasi sistem perpajakan, dan lalu lintas perdagangan
yang kurang mendukung. Buruknya indikator-indikator tersebut telah
melemahkan fondasi sektor produksi untuk mampu bertahan dan ekspansi.

Yang juga perlu ditingkatkan ialah perlindungan terhadap investor yang


melakukan usaha di Indonesia relatif tidak banyak berubah. Indikator lain yang
melemahkan daya tarik berbisnis di Indonesia adalah sistem perpajakan yang
dianggap belum memudahkan investor.

Indikator lain yang masih harus diperbaiki adalah kendala bea cukai dan perizinan
usaha yang kurang business friendly akan meningkatkan opportunity cost dalam
berbisnis.

Gambar 5.15 Indikator Kemudahan Berinvestasi di Indonesia


Sumber: Laporan Bank Dunia – April 2008

Yang juga perlu diperhatikan dalam mengurangi jumlah pengangguran ialah


peningkatan kompetensi tenaga kerja. Menurut Suparno (2008) minimnya
kompetensi tenaga kerja Indonesia terlihat dari tidak terpenuhinya 30% lowongan
kerja yang ada di bursa kerja walaupun peminat kerja di bursa lowongan kerja
meningkat. Disini terlihat diperlukan kerjasama antara institusi pendidikan dan
dunia industri dalam memenuhi permintaan dunia kerja dengan menciptakan
76

tenaga kerja yang kompetensinya sesuai dengan kompetensi yang diinginkan oleh
dunia industri.

V.4 Fungsi Intermediasi Perbankan


Data perbankan di Indonesia, sesuai tabel 5.6, menunjukkan lemahnya fungsi
intermediasi perbankan. Dalam tabel terlihat bahwa rasio CAR (current asset
ratio) berada pada kisaran 20%, jauh lebih tinggi daripada CAR5 minimum yang
dipersyaratkan Bank Indonesia (8%). Ini menunjukkan bahwa perbankan di
Indonesia kelebihan likuiditas. Pengalaman krisis moneter (tahun 1997) yang
menghancurkan perbankan Indonesia kemungkinan masih membayangi peran
perbankan dalam penyediaan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Tabel 5.7 Data Perkembangan Perbankan Indonesia


Indikator 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
LDR (%) 44,9 45,8 45 49,1 53,7 61,8 64,7 64,7 69,2
CAR (%) -8,1 12,7 20,5 22,5 19,4 19,4 19,5 20,5 19,2
Sumber Bank Indonesia

V.5 Struktur Industri dan Kemampuan Iptek Indonesia


Menurut Buntoro (Buntoro, 2004) sebagian besar sifat industri di Indonesia
cenderung tidak inovatif karena mempunyai kategori sebagai berikut:
o Usaha turun-temurun;
o Peluang yang diciptakan (proyek pemerintah);
o Previlege (hak-hak istimewa);
o Kekuatan Permodalan.
Belajar dari industri yang berkembang di negara-negara seperti Jepang, Taiwan
dan Korea Selatan (yang juga kelompok Macan Asia), terlihat sekali bahwa
seberapapun skalanya, industri pada awalnya dibangun oleh orang-orang yang
memiliki kompetensi, terutama kompetensi dalam teknologi proses. Oleh karena
itu tidaklah mengherankan kalau ragam produk industrinya bisa sedemikian
banyaknya (Buntoro, 2004).

Kalau kita cermati, industri-industri yang selama ini tumbuh di Indonesia,


kebanyakan hanya mengandalkan keunggulan komparatif, baik komparatif

5
CAR=current asset ratio adalah perbandingan antara aset lancar (current asset) dengan utang
lancar (current liabilities).
77

(permodalan, penguasaan berbagai resources) dengan industri-industri sejenis di


dalam negeri maupun komparatif (upah buruh yang murah, proteksi pemerintah)
terhadap pesaing di manca negara.

Pertumbuhan industri semacam itu secara alamiah akan terhenti karena


keunggulan komparatif tidak bisa secara terus-menerus dieksploitasi (ada
batasnya) dan cenderung menimbulkan kontroversi dan distorsi ekonomi. Karena
itu kita harus membangun suatu industri yang berdasarkan proses pengembangan
ilmu pengetahuan (Buntoro, 2004).

Dalam kaitan dengan pengembangan industri padat modal amatlah penting kita
mengembangkan konsep sistem industri yang berkelanjutan bahkan Saswinadi
Sasmodjo (2004) menekankan pentingya untuk membangun suatu kerangka
institusi industri teknologi sebagai wadah pengembangan teknologi yang sesuai
dengan kebutuhan industri.

Keberhasilan Jepang dalam memajukan teknologi telah dikaji oleh Christopher


Freeman dalam penelitiannya yang berjudul “Technology and Economics
Performance: Lessons from Japan” (Freeman, 1987 dalam LIPI (2006)).
Penelitian tersebut mengungkap bahwa pesatnya kemajuan iptek Jepang hingga
menjadi adidaya di bidang teknologi tidak lain disebabkan adanya interaksi dan
sinergi antara pemerintah dalam hal ini Ministry for International Trade and
Industry (MITI) dengan pelaku (aktor) iptek lainnya seperti industri (Keiretsu),
institusi litbang, dan pendidikan.Pemerintah Jepang (MITI) memainkan peran
penting sebagai regulator sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang
mendukung interaksi yang kondusif antar aktor di dalam memperkuat Sistem
Inovasi Nasional (SIN)6.

Di Indonesia sendiri, penerapan SIN tidaklah jauh berbeda dengan negara-negara


berkembang lainnya. Beberapa studi menyimpulkan bahwa SIN di Indonesia
belum berjalan dengan baik (Aiman, Hakim, & Simamora 2004 dalam LIPI
(2006)). Selain karena secara konseptual SIN masih merupakan hal yang baru

6
SIN adalah sebuah konsep tentang penataan jejaring yang kondusif di antara para pelaku (aktor
lembaga) lembaga iptek dalam suatu sistem yang kolektif dalam penciptaan (creation), penyebaran
(diffussion), dan penggunaan (utilization) ilmu pengetahuan (knowledge) untuk pencapai inovasi
(Nelson, 1993, dalam LIPI (2006)).
78

(infancy stage), institusi yang bertanggung untuk mengembangkan dan


mengkoordinasikan SIN juga belum teridentifikasi dengan baik. Ditambah lagi,
kondisi dari iptek nasional sendiri yang masih dilingkupi permasalahan yang
sangat kompleks, diantaranya adalah sebagai berikut: pertama, kurangnya
komitmen pemerintah di dalam membangun/ memperkuat ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) nasional. Dalam konteks pembangunan nasional, iptek masih
belum dianggap sebagai sektor prioritas dalam proses pembangunan negara.
Menurut Amir (2003 dalam LIPI (2006)) masih terdapat discrepancies antara
kebijakan ekonomi (economic policy) dengan kebijakan teknologi (technology
policy) sebagai dampak adanya perbedaan paradigma dalam orientasi kebijakan
publik. kedua, masih dominannya pemerintah dalam pendanaan dan kegiatan
litbang iptek. Hampir 70 persen pembiayaan litbang di negara kita masih
dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga litbang. Di negara lain seperti
Singapura, Taiwan, dan Amerika Serikat kontribusi pemerintah untuk kegiatan
litbang sekitar 40 persen. Bahkan beberapa negara seperti Korea dan Jepang tidak
lebih dari 20 persen. ketiga, tidak adanya koordinasi dan sinergi di antara pelaku
iptek yaitu perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri.

Disisi sistem pengetahuan walaupun beberapa universitas kita, termasuk ITB dan
UGM, telah mencanangkan diri sebagai “universitas berbasis riset”, tingkat
penelitian yang mahasiswa dan dosen masih relatif jarang. Sementara itu, lembaga
litbang, meskipun telah banyak menghasilkan penemuan dan inovasi, namun
hasil-hasil tersebut masih bersifat ilmiah penelitian semata dan kurang
berorientasi kepada penelitian yang dapat memenuhi kebutuhan industri. Padahal
faktor utama pemicu ambruknya industri nasional di Indonesia pada saat krisis
ekonomi pada tahun 1997 lampau karena ketergantungan yang tinggi terhadap
teknologi dari luar dan sangat sedikitnya kegiatan inovasi baik yang teknik
maupun manajerial dilakukan oleh industri (Buntoro, 2004). Lemahnya kegiatan
litbang di Indonesia menyebabkan rendahnya kemampuan iptek kita yang
tercermin dari rendahnya tingkat paten yang terdaftar (lihat tabel 5.8).

Ditinjau dari dana pengembangan iptek, Indonesia tergolong negara yang rendah
kesediaan dana untuk melakukan riset. Pengembangan dana riset sangat penting,
karena kemajuan atau kemakmuran suatu negara tidaklah mungkin tanpa ditopang
79

oleh aktivitas litbang Iptek (Zahar, 2007). Data dari LIPI (2006) menyatakan
bahwa terjadi penurunan persentase dana riset terhadap PDB dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1980-an persentase dana riset berkisar 0,3 %-0,5% dari PDB, dan
setelah era reformasi persentase dana riset turun dibawah 0.2% dari PDB (dana
riset yang memadai menurut UNESCO ialah 2% dari PDB –
www.uis.unesco.org). Lebih lanjut mengenai daya saing iptek lihat lampiran 5.
Tabel 5.8 Jumlah Paten Indonesia dan Negara Tetangga

Dalam kerangka Sistem Inovasi Nasional pemerintah bisa merangsang para


pengusaha untuk mau melakukan investasi dibidang riset dengan memberikan
berbagai kemudahan insentif, seperti: insentif fiskal atau insentif perpajakan.

Singkatnya untuk membangun suatu kerangka industri yang kokoh diperlukan


sinergi diantara pemerintah (sistem otoritas), sistem pasar (penyedia jasa dan
material) dan sistem pengetahuan (sumber-sumber ilmu pengetahuan) --- inilah
sistem inovasi ideal.

V.6 Modal Sosial Pembangunan


Menurut Bank Dunia (Partowidagdo, 2003) modal pembangunan yang juga tidak
kalah penting adalah modal sosial. Nilai-nilai nasionalisme (dalam arti luas) dan
80

semboyan membangun seperti yang ditunjukkan oleh rakyat Jepang (semangat


bushido) atau semboyan membangun yang ditunjukkan rakyat Korea (Beat
Japanese Everywhere) juga penting dalam pembangunan suatu negara.

Dengan kata lain, masalah pembangunan bukan sekedar input kapital dan tenaga
kerja (ataupun penguasaan teknologi) tapi juga merupakan budaya membangun.
Yaitu timbulnya kesadaran bahwa membangun adalah untuk kepentingan bersama
bangsa kita, kini dan masa datang.

Pencapaian cita-cita sebagai negara maju, harus pula ditambahkan dengan kalimat
atau semboyan yang menantang atau yang membangkitkan rasa nasionalisme.
Korea dalam membangun perekonomian-nya mempunyai semboyan “Beat
Japanese Everywhere” (kalahkan Jepang dimana saja). Sebaliknya Jepang, setelah
kekalahan yang menyakitkan dalam Perang Dunia II, membangun negerinya
dengan semboyan pengabdian yang (semangat bushido) tinggi kepada kaisar.
Bahwa Jepang boleh kalah perang, tapi jangan kalah dibidang lain dan bangsa
Jepang adalah bangsa yang bisa maju. Sebagai perbandingan modal sosial dan
peranan institusi penelitian diberbagai negara ditampilkan dalam tabel 5.9.
Tabel 5.9 Perbandingan modal sosial dan institusi penelitian
Indikator Korea Selatan Jepang (G8) India (BRICs)7 Indonesia
(Macan Asia
Timur)
Modal Sosial Beat Japanese Semangat bushido Cenderung Perlu membeli
Everywhere, cinta (pengabdian kpd membeli produk produk dlm
produk dlm kaisar) dalam negeri negeri untuk
negeri mendukung
industri nasional
Institusi Institusi Institusi penelitian yang Institusi Membangun
Penelitian penelitian yang dikembangkan sesuai penelitian yang institusi
dikembangkan kebutuhan industri menggabungkan penelitian yang
sesuai kebutuhan (gabungan sistem sistem pasar- menggabungkan
industri pasar-science-otoritas). science-otoritas. sistem pasar-
(gabungan sistem Dana riset yang Dana riset yang science-otoritas.
pasar-science- memadai. memadai. Peningkatan dana
otoritas). riset dan
Dana riset yang mendorong
memadai. peningkatan
swasta dalam
litbang

7
BRICs singkatan dari Brazil, Rusia, India dan China. BRICs adalah kelompok negara yang
pertumbuhan ekonominya akhir-akhir ini di kagumi oleh banyak pengamat ekonomi dunia.
81

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil simulasi dan analisisnya dapat kiranya penulis menarik
kesimpulan sebagai berikut:

Peranan tenaga kerja Indonesia dalam perekonomian masih relatif besar


(ditunjukkan oleh > ) dibanding peranan kapital terhadap
perekonomian Indonesia. Simulasi juga menunjukkan perubahan industri
ke arah padat modal justru mampu meningkatkan kemandirian dan
mengkombinasikan pertumbuhan ekonomi dengan penyediaan lapangan
kerja.

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak sejalan dengan penyediaan


kesempatan kerja. Penanganan masalah pengangguran memerlukan
kerjasama antara institusi pendidikan dan dunia industri agar tercipta
tenaga kerja yang kompetensinya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Pengurangan pengangguran juga memerlukan peningkatan peran investasi
dalam perekonomian Indonesia.

Perekonomian Indonesia sejauh ini masih tergantung pada produk impor


untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan bahwa sejumlah
sektor industri di Indonesia belum mempunyai kombinasi industri hulu dan
hilir yang padu.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak sejalan dengan daya saing


iptek Indonesia. Ini tercermin dari rendahnya dana riset yang bernilai
kurang dari 2% (dari nilai total PDB) dan jumlah paten peneliti Indonesia
yang relatif rendah dibandingkan negara-negara lain. Jika hal ini tidak
diatasi dapat menghambat arah kebijakan menuju industri padat modal.

Peran konsumsi lebih dominan dibandingkan peran investasi dalam


perekonomian Indonesia. Ini menunjukkan kecenderungan overheating
82

ekonomi. Keterbatasan pasokan energi listrik, transportasi dan akses kredit


seperti yang dilaporkan Bank Dunia (2008) membuat investasi belum
tumbuh, sehingga kegiatan produksi semata-mata hanya memanfaatkan
kapasitas terpasang yang ada.

Sesungguhnya Indonesia mempunyai peluang untuk maju ditinjau dari


aspek populasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik.
Namun pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap membutuhkan intervensi-
intervensi kebijakan untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih
bermanfaat. Intervensi kebijakan yang dapat membawa Indonesia untuk
mencapai visi 2030 adalah peningkatan peran investasi dalam
pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan peningkatan peran iptek
dalam proses pembangunan ekonomi di Indonesia. Peningkatan peran
investasi dan iptek (sesuai skenario 3) menunjukkan potensi Indonesia
untuk mencapai visi 2030 (pendapatan per kapita US$ 18.000 per tahun)
yang diimbangi oleh peningkatan kemandirian perekonomian.

Peningkatan peran investasi dan daya saing iptek memerlukan kerjasama


erat antara pemerintah, swasta dan dunia pendidikan. Dengan kerjasama
antara ketiga unsur ini diharapkan dapat dicapai pertumbuhan ekonomi
yang searah dengan peningkatan daya saing iptek sehingga pertumbuhan
ekonomi di imbangi dengan peningkatan fungsi produksi yang makin
tinggi.

VI.2 Saran
Untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih bermanfaat, kita harus melakukan
hal-hal sebagai berikut:

Keberhasilan perekonomian yang telah dicapai, seperti: kestabilan nilai


tukar, pengendalian inflasi dan pengurangan rasio utang atas PDB tidak
cukup, tapi perlu ditindaklanjuti dengan mengarahkan pembangunan
Indonesia ke arah yang lebih produktif, yaitu dengan mengubah struktur
perekonomian yang mengarah pada peningkatan peran investasi dan daya
saing iptek.
83

Meningkatkan peran investasi sebagai leading sector bagi pertumbuhan


ekonomi, sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan yang lebih
bermanfaat. Investasi sebaiknya ditujukan untuk membangun struktur
industri hilir ke hulu yang padu, sehingga kebergantungan kita pada bahan
baku impor dapat berkurang. Keterpaduan industri hilir dan hulu dapat
meningkatkan kestabilan makroekonomi Indonesia.

Peningkatan sumber daya iptek nasional, meliputi peningkatan dana riset,


peningkatan integrasi antara litbang, dunia industri dan institusi
pendidikan. Peningkatan integrasi antara ketiga unsur di atas agar dapat
tercipta tenaga kerja yang kompetensinya diakui oleh dunia kerja.
Peningkatan dana riset diperlukan karena pembangunan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pembangunan iptek tidak saja penting sebagai
sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi, tetapi juga sumber
terbentuknya iklim inovasi dan menjadi landasan bagi tumbuhnya
kreativitas sumberdaya manusia. Selain itu iptek menentukan tingkat
efektivitas dan efisiensi proses transformasi sumberdaya menjadi
sumberdaya baru yang lebih bernilai. Dengan demikian peningkatan
kemampuan iptek sangat diperlukan untuk meningkatkan standar
kehidupan bangsa dan negara. Peningkatan dana riset dapat dilakukan
dengan mendorong peranan swasta dalam kegiatan riset (litbang).

Sesungguhnya pembangunan ekonomi tidak mencakup masalah kapital


dan tenaga kerja, tapi juga memerlukan kerjasama pemerintah, masyarakat
swasta dan institusi pendidikan dalam membangun suatu kerangka
kerjasama yang sedemikian rupa sehingga mampu menuntun kita untuk
membangun visi dan menjalankan misi pembangunan yang komprehensif
dan efektif. Kerjasama ini mencakup penciptaan iklim investasi yang
kondusif dan pembentukan institusi industri dan teknologi yang
merupakan kombinasi pasar, pemerintah dan institusi pendidikan. Dengan
penciptaan kondisi di atas, maka kita mampu meningkatkan Faktor
Produktivitas Total setinggi mungkin.
84

DAFTAR PUSTAKA

1. Buntoro, (2008)., Masa Depan Industrialisasi Indonesia., Artikel Online.


2. Berman, Michael (2005). Properties of Production Function. University of
Copenhagen.
3. Coopers PriceWaterHouse, (2006)., The World in 2050, Price WaterHouse
Coopers.
4. Dunia, Bank (2008)., Indonesia: Economic and Social Update-April 2008,
Bank Dunia, Jakarta.
5. OECD (1999)., National Innovation System, OECD
6. Forum, Yayasan Indonesia (2007)., Visi Indonesia 2030. Yayasan Indonesia
Forum.
7. Hornstein and Krussel (1996)., Can Technology Improvement Cause
Productivity Slowdown ?, Macroeconomics Annual 1996,Cambridge MA:
MIT Press, pp. 209-259.
8. Indonesia, Bank (2008)., Laporan Tahunan Bank Indonesia: 2007, Bank
Indonesia, Jakarta, Indonesia
9. LIPI (2006)., Laporan Indikator Iptek Nasional 2006. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Bandung.
10. LIPI (2006)., Studi Jejaring Aktor Inovasi dalam mendukung Sistim Inovasi
Nasional. www.pappitek.lipi.go.id
11. Magne, Myrtveit (2005)., The World Model Controversy, Department
Geography University Bergen.
12. Mankiew, Gregory, (2003)., Teori Makroekonomi, Penerbit Airlangga,
Jakarta,
13. Nugroho, Baskoro Agung (2005), Total Faktor Produktivitas, Hasil
Bimbingan Teknis Pengukuran TPF untuk tingkat Makro, Sektor dan Mikro.
DPN Apindo, Jakarta.
14. Partowidagdo, Widjajono (2004)., Mengenal Pembangunan dan Analisis
Kebijakan, Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan-ITB, Bandung.
15. Perindustrian, Departemen (2007). Laporan Perkembangan Komoditi Industri
Terpilih. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Jakarta
16. Ramelan, Rahardi ( ) Pengembangan Teknologi Industri. Sebuah Artikel
Strategi Pengembangan Industri Nasional.
17. Roberts, Nancy, et al. (1983), Introduction to Coputer Simulation: The
System Dynamics Approach, Addison-Wesley Publishing Company,
London.
18. Richardson, George P., Alexander L. Pugh III (1981), Introduction to System
Dynamics Modeling with Dynamo, The MIT Press, Cambridge.
85

19. Sachs, Goldman Global Economic Group (2007)., BRICs and Beyond,
Goldman Sachs Inc.
20. Saeed, Khalid & Dennis L. Meadows; (1994), Development Planning and
Policy Design, A System Dynamics Approach, Avebury, England
21. Sasmojo, Saswinadi (2004), Sains, Teknologi, Masyarakat & Pembangunan,
Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, Bandung.
22. Sterman, John D. (2000), Business Dynamics; System Thinking and Modeling
for a Complex World, International Edition, McGraw-Hill, Singapore.
23. Sterman, John D. (1984), Apropriate Summary Statistics for Evaluating the
Historical Fit of System Dynamics Models, Dynamica Vol. 10 Part II,
Winer 1984.
24. Sterman, John D. (2002), All Models are Wrong: Reflections on Becoming a
System Scientist; System Dynamics Review, Vol. 18, No. 4 (Winter 2002),
John Wiley & Sons, Ltd.
25. Suparno, Erman (2008). Penganggur Terdidik 4,5 Juta. Artikel di Kompas
tanggal 22 Agustus 2008.
26. Tasrif, Muhammad (1995). Developing Countries Dilemma: Labor Intensive
or Capital Intensive Technology”. Center for Research on Energy ITB.
Bandung. Indonesia
27. Tasrif, Muhammad (2007), Analisis Kebijakan Menggunakan Model System
Dynamics (Buku 2; Modul Kuliah/Kursus), Program Magister Studi
Pembangunan-SAPPK ITB, Bandung.
28. Thomson, South Western (2007)., Production and Growth., Thomson South
Western Inc.
29. Eng, Peter Van der (2006). Accounting for Indonesia’s growth: Recent past
and near future. School of Management, Marketing and International
Business, The Australian National University, Canberra Australia.
30. Zahar, Malikus (2007). Melongok Iptek Indonesia.
31. Zen, Suparman dkk (2005)., Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (PDB) terhadap
penciptaan kesempatan Kerja, Kajian Ekonomi dan Keuangan-September
2005.
32. ------------- (2007), Indikator Makroekonomi Indonesia; Biro Pusat Statistik,
Jakarta.
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
This page will not be added after purchasing Win2PDF.

You might also like