Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Imam Kris Biantoro
03/1967/IV-SP/0286
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………................................ i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… ii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………… iii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………… iv
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 3
A. Infeksi Staphylococcus aureus ………………………………………… 3
1. Bakteri Staphylococcus aureus .................................................... 3
2. Epidemiologi dan Patogenesis Penyakit Staphylococcus ………… 5
B. Mekanisme Resistensi Antibiotik ………………………………………… 7
C. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus ………………………… 9
1. Definisi dan Epidemiologi MRSA ………………………………… 10
2. Deteksi Staphylococcus aureus dan MRSA ………………………… 14
3. Diagnosis MRSA ………………………………………………… 19
4. Manajemen pasien dengan infeksi MRSA ………………………… 21
BAB III RINGKASAN ………………………………………………………… 41
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 43
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur S. Aureus ………………………………………………………… 3
Gambar 2. Patogenesis invasi S.aureus pada jaringan ……………………….... 6
Gambar 3. Transfer gen resistensi secara horisontal ………………………………… 8
Gambar 4. Proses PVL menimbulkan nekrosis jaringan ………………………… 14
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kronologi infeksi S. aureus dan resistensinya ………………………… 10
Tabel 2. Karakteristik antara HA-MRSA dan CA-MRSA ………………………… 13
Tabel 3. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya MRSA ………………………… 20
Tabel 4. Area risiko klinis transmisi MRSA ………………………………………… 26
Tabel 5. Sistem klasifikasi Eron untuk pasien SSTI ………………………………… 30
Tabel 6. Panduan terapi pada keadaan yang berhubungan dengan infeksi MRSA … 33
Tabel 7. Dosis antibiotik yang diberikan pada infeksi serius MRSA ………………… 34
Tabel 8. Antibiotik yang digunakan pada infeksi MRSA ………………………… 35
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kurun waktu ±50 tahun ini telah terjadi peningkatan kejadian infeksi yang
disebabkan oleh mikoorganisme yang resisten terhadap berbagai agen antimikroba atau
antibiotik. Suatu mikroorganisme dianggap multi resisten jika banyak diantara antibiotik yang
resistensi multi-obat akan banyak menyebabkan banyak masalah dalam lingkungan perawatan
Beberapa faktor dapat menyebabkan terjadinya peningkatan ini, diantaranya adalah salah
pemilihan dan penggunaan dari agen antibiotik sehingga muncul adanya mikroorganisme yang
resisten. Hal ini akan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, serta peningkatan
resistensi diatas, yang paling banyak mendapat perhatian adalah MRSA (EPIC, 2006).
waktu memecahkan masalah infeksi Staphylococcus aureus (S. aureus). Namun pada 1945 ada
laporan tentang adanya jenis S. aureus yang resisten terhadap penicillin. Menjelang 1948 jenis
yang resisten meningkat sehingga sangat menurunkan nilai klinis penicillin G. Resistensi S.
aureus berkembang lebih lanjut dan menjelang akhir 1950-an mikroorganisme ini resisten
2
terhadap hampir semua antibiotik sistemik, termasuk erythromycin, streptomycin dan tetracyclin
(EPIC, 2006).
Methicillin diperkenalkan pertama kali pada tahun 1959 untuk mengobati infeksi yang
disebabkan oleh jenis-jenis S. aureus yang resisten penicillin. Hanya dua tahun kemudian ada
laporan dari para peneliti yang menyatakan bahwa S. aureus telah menjadi resistan terhadap
MRSA merupakan penyebab utama infeksi di rumah sakit dan telah meluas dengan cepat
di banyak bagian dunia. Makin lama makin sulit untuk melawan MRSA dan cara terbaik untuk
rumah sakit di dunia, MRSA juga makin banyak ditemukan kembali dari pasien di fasilitas
perawatan jangka panjang seperti wisma para usia lanjut, dan bahkan dari orang-orang di
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
pemeriksaan mikroskopis, organisme ini tampak sebagai kelompok kokus gram positif. Bentuk
sel S. aureus bulat dengan diameter ± 1 µm, berkelompok seperti anggur (Romawi staphyle)
yang memungkinkan dirinya dapat terbagi dalam beberapa bentuk (Brown et al., 2005). Gambar
4
pigmentasi keemasan koloninya (Latin aureum), dan hasil positif tes koagulase, fermentasi
manitol, dan deoksiribonuklease (Lowy, 1998; Anonim, 2005; Brown et al., 2005). Mereka dapat
hidup dalam lingkungan baik aerob maupun anaerob, dan sebagian besar strain fermentasi
Genom staphylococcus terdiri dari kromosom melingkar (± 2800 bp), dengan prophages,
plasmid, dan transposons (Holden et al., 2004). Gen-gen yang akan menentukan virulensi dan
resistensi terhadap antibiotik ditemukan pada kromosom ini. Lima puluh persen berat dinding sel
dari N-acetylglucosamine dan N-acetylmuramic acid. Rantai peptidoglikan ini akan terikat pada
bekerja seperti endotoksin, yaitu merangsang pelepasan sitokin oleh makrofag, aktivasi
komplemen, dan agregasi platelet. Perbedaan struktur peptidoglikan dari strain staphylococcus
11 serotipe polisakarida mikrokapsular yang sudah dapat diidentifikasi, dengan tipe 5 dan 8
merupakan 75% dari infeksi pada manusia. Sebagian besar isolat MRSA adalah tipe 5 (Lowy,
1998).
Beberapa permukaan protein akan berikatan dengan molekul matriks ekstraseluler dan
5
mekanisme kerjanya, antara lain sitotoksin, superantigen toksin pirogenik, enterotoksin, dan
formasi inti dan merangsang proinflamasi pada sel mamalia. Perubahan-perubahan ini akan
menimbulkan kerusakan sel dan berperan dalam manifestasi sindroma sepsis. Superantigen
toksin pirogenik secara struktur mirip dengan sitotoksin, terikat dengan protein major
histocompatibility complex (MHC) kelas II. Toksin ini menyebabkan proliferasi sel T dan
pelepasan sitokin. Molekul enterotoksin dapat menimbulkan penyakit akibat dari protein-
proteinnya, yaitu toxic shock syndrome dan keracunan makanan. Gen untuk toxic shock
syndrome ditemukan pada 20% isolat S. aureus. Toksin eksfoliatif, termasuk juga toksin
epidermolitik A dan B, menyebabkan eritema dan separasi kulit seperti yang terlihat pada
hialuronidase. Enzim-enzim ini membantu penyebaran infeksi pada berbagai jaringan, walaupun
peran dalam patogenesis penyakit belum dapat diterangkan dengan jelas (Lowy, 1998).
Manusia merupakan koloni alamiah dari S. aureus. Tigapuluh sampai dengan limapuluh
persen manusia dewasa sehat terkolonisasi bakteri ini, dengan 10–20% terkolonisasi secara
persisten. Seseorang yang terkolonisasi oleh S. aureus akan terjadi peningkatan risiko untuk
mendapat infeksi tumpangan lainnya. Rerata kolonisasi staphylococcus tinggi pada pasien-pasien
dengan diabetes melitus (DM) tipe 1, pengguna obat-obat intravena, menjalani hemodialisis
rutin, menjalani pembedahan, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), sirosis hati dan
6
defek pada kualitas atau kuantitas leukositnya (Noble et al., 1967; Casewell et al., 1986; Cheung
telah meningkat selama 20 tahun ini. Kejadian ini sejalan dengan makin banyaknya penggunaan
alat-alat intravaskuler (Banerjee, et al., 1991; Steinberg, et al., 1996). Selama periode tahun 1990
sampai dengan 1992 S. aureus merupakan penyebab tersering dari kasus-kasus pneumonia
nosokomial dan infeksi luka operasi, serta penyebab kedua tersering pada kejadian septikemia
bersirkulasi akan menempel pada endovaskuler yang rusak dimana sebelumnya telah terbentuk
7
platelet-fibrin thrombi (PFT). Ikatan ini melalui mekanisme MSCRAMM. Dilain pihak,
staphylococcus dapat juga menempel pada sel endotelial secara langsung melalui interaksi
adhesin-receptor atau melalui ligan-ligan yang termasuk di dalamnya adalah fibrinogen (Alston,
et al., 1997).
Setelah terjadi fagositosis oleh sel endotelial, staphylococcus akan menguraikan enzim
proteolitik yang akan membantu penyebaran ke jaringan dan melepasnya ke aliran darah. Tissue
factor yang terekspresi oleh sel endotelial terinfeksi akan merangsang deposisi fibrin dan formasi
dari vegetasi. Sel endotelial mengekspresikan reseptor Fc dan molekul-molekul adhesi [vascular-
cell adhesion molecules (VCAM) dan intercellular adhesion molecules (ICAM)] dan
melepaskan interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan IL-8. Sebagai hasilnya, leukosit akan melekat pada
sel endotelial kemudian menuju tempat infeksi dengan gerak diapedesisnya. Perubahan pada
formasi sel endotelial akan menimbulkan peningkatan permeabilitas vaskuler dengan transudasi
dari plasma protein. Makrofag dan monosit melepaskan IL-1, IL-6, IL-8, dan tumor necrosis
factor-α (TNF-α) setelah terpapar oleh staphylococcus. Aktivasi makrofag terjadi setelah
dilepaskannya interferon-γ (INF-γ) oleh sel T. Sitokin dilepaskan ke dalam aliran darah dari
monosit atau makrofag sama seperti pada sel endotelial, menimbulkan manifestasi dari sindroma
sepsis dan vaskulitis yang bergubungan dengan systemic stapylococcal disease (Drake & Pang,
suatu antibiotik. Resistensi antibiotik merupakan tipe spesifik dari resistensi obat. Keadaan ini
terjadi secara alamiah melalui seleksi alam lewat mutasi acak, namun dapat juga melalui
8
pemaksaan dengan evolusi stres pada suatu populasi. Ketika sebuah gen berubah, maka bakteri
dapat mengirimkan informasi genetik secara horisontal ke bakteri lainnya melalui pertukaran
plasmid. Bakteri yang membawa beberapa gen resistensi disebut multiresistant atau superbug
Sejarah resistensi bakteri terhadap antibiotika diawali dari ditemukannya S. aureus yang
resisten terhadap penicillin pada awal 1940-an, seperti tampak pada tabel 1. Sejak itu resistensi
tunggal maupun multipel (multidrug resistance) yang dimediasi oleh plasmid yang dapat
dipindahkan dari satu ke lain mikroorganisme di traktus gastrointestinal juga dilaporkan sekitar
tahun 1950-an. Pada pertengahan 1970-an gen-gen resisten ditemukan semakin menyebar di
komensal di traktus respiratorius dan genitourinarius penderita yang dirawat di rumah sakit.
9
Resistensi bakteri terhadap antimikroba terjadi melalui banyak mekanisme dan cenderung
semakin rumit pendeteksiannya. Berbagai mekanisme genetik ikut terlibat, termasuk di antaranya
mutasi kromosom, ekspresi gen-gen resisten kromosom laten, didapatnya resistensi genetik baru
melalui pertukaran langsung DNA, bakteriofag, atau plasmid DNA ekstrakromosom, ataupun
Lebih dari 80% strain S. aureus menghasilkan penicilinase, dan penicillinase-stable beta-
lactam seperti methicillin, cloxacillin, dan fluoxacillin yang telah digunakan sebagai terapi
utama dari infeksi S. aureus selama lebih dari 35 tahun. Strain yang resisten terhadap kelompok
penicillin dan beta-lactam ini muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini untuk pengobatan
diperkenalkan pada tahun 1959 (Kowalski et al., 2005). Methicillin digunakan untuk mengatasi
infeksi yang disebabkan oleh S. aureus resisten terhadap penicillin. Namun, di Inggris pada
tahun 1961 telah dilaporkan adanya isolat S. aureus yang resisten terhadap methicillin (Brown et
al., 2005). Kemudian infeksi MRSA secara cepat menyebar di seluruh negara-negara Eropa,
Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan seluruh dunia selama berpuluh-puluh tahun serta
10
Tahun Kejadian
1940 penicillin diperkenalkan
1942 muncul S. auerus resisten penicillin
1959 methicillin diperkenalkan; sebagian besar strain S. aureus di rumah
sakit dan masyarakat resisten penicillin
1961 muncul MRSA
1963 muncul wabah MRSA di rumah sakit yang pertama
1968 ditemukan strain MRSA yang pertama di rumah sakit Amerika
1970-an penyebaran klonal MRSA secara global, kejadian MRSA yang
sangat tinggi di Eropa Utara
1980-an, awal 1990-an penurunan kejadian MRSA yang dramatis dengan adanya program
“search & destroy” di Eropa Utara
1996 VRSA dilaporkan di Jepang
1997 kejadian MRSA di rumah sakit Amerika hampir 25%; penggunaan
vancomycin meningkat; muncul VISA; dilaporkan adanya infeksi
CA-MRSA yang serius
2002 terjadi infeksi VRSA yang pertama di Amerika
2003 kejadian MRSA kembali meningkat; hampir 60% terjadi di ICU;
wabah CA-MRSA (khususnya klon USA 300) dilaporkan terjadi di
banyak tempat dan berimplikasi pada wabah di rumah sakit
2006 >50% infeksi kulit staphylococcal muncul di bagian gawat darurat
yang disebabkan CA-MRSA; HA-MRSA terus meningkat;
membedakan antara HA-MRSA dan CA-MRSA secara
epidemiologi menjadi semakin sulit
2007 “The Year of MRSA?”
Sumber: Samathkumar, 2007.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang biasa terdapat pada jaringan lunak,
aksila, perineum, dan sering ditemukan di jaringan kulit normal pada 20-30% orang sehat
11
al., 2004).
Saat ini diperkirakan sekitar 2-3% populasi umum telah terkolonisasi oleh MRSA.
Jumlah ini akan meningkat lagi menjadi ±5% pada populasi yang berkelompok seperti militer
dan penjara. Orang yang terkolonisasi akan mudah untuk terjadi infeksi, walaupun sebagian
Antara tahun 1996-1999 dilaporkan bahwa 23 rumah sakit di Kanada terdapat 6% dari
seluruh isolat S. aureus yang resisten terhadap methicillin, dengan rerata 4,14 kasus MRSA per
1000 pasien yang dirawat dari 35% pasien dengan infeksi. Sebagian besar isolat diperoleh dari
MRSA yang berasal dari ruang perawatan akut (72,6%), 7,2% diperoleh dari bangsal perawatan,
4,6% diperoleh dari komunitas masyarakat, dan sisanya (15,6%) tidak diketahui asalnya (BC
berkembang. Pada tahun 2005 terdapat 368.600 kasus MRSA di rumah sakit seluruh AS.
Keadaan ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 30% dibandingkan pada tahun 2004
Di Inggris sampai dengan tahun 2004 didapatkan data prevalensi bahwa: 1) MRSA
menjadi masalah yang predominan pada usia lanjut (82% usia > 60 tahun; 2) strain MRSA yang
ada 92% resisten terhadap fluoroquinolone dan 72% resisten terhadap makrolid; 3) sebagian
besar isolat masih sensitif terhadap tetracyclin, fusidic acid, rifampicin, dan gentamycin; 4) strain
MRSA yang telah diuji 12% resisten terhadap mupirocin (Gemmell et al., 2006).
12
Selama tahun 2006 di Laboratorium Patologi Klinik RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat)
Dr. Sardjito Yogyakarta diperoleh 3729 isolat kuman, yaitu 1128 dari spesimen darah, 825 dari
spesimen urin, 957 dari spesimen sputum, dan 819 spesimen pus. Proporsi beberapa jenis kuman
Gram (+) ternyata cukup signifikan. Spesies yang menonjol adalah S. epidermidis, S. aureus, dan
Dari seluruh spesimen, diperoleh isolat S. epidermidis sebanyak 679 (18,2%), S. aureus
171 (4,6%), dan S. viridians 169 (4,5%). Sehingga ketiga kuman ini saja sudah mencapai 1019
isolat (27,3%). Untuk sediaan darah, S. epidermidis merupakan isolat yang terbanyak (34,5%).
Dari sediaan sputum, S. viridians juga merupakan isolat yang terbanyak (17,7%), sedangkan S.
aureus masuk dalam 5 besar isolat yang ditemukan di darah dan pus (Wijisaksono, 2007).
Prevention (CDC) didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah
dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat
bantu medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang,
HA-MRSA secara tipikal dihubungkan dengan seseorang yang memiliki faktor risiko
perawatan di rumah sakit atau panti, dialisis, mendapat terapi antibiotik, atau terpapar oleh alat
atau prosedur yang invasif. HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan
Faktor risiko independen untuk memprediksi infeksi HA-MRSA adalah pada pasien
dengan luka operasi, ulkus dekubitus, dan kateter intravena yang sebelumnya telah terkolonisasi.
Pasien yang dirawat di ICU (intesive care unit) memiliki risiko lebih tinggi untuk timbulnya
MRSA dibanding dengan pasien yang dirawat di ruangan biasa (Duckworth et al., 1998).
13
Pada awal 1990-an telah muncul MRSA yang didapatkan pada individu yang sebelumnya
tidak memiliki faktor risiko yang berhubungan dengan MRSA. Keadaan ini disebut sebagai
Secara genetik dan fenotipe strain HA-MRSA berbeda dengan strain CA-MRSA. CA-
MRSA memiliki komposisi yang lebih kecil, mengalami kejadian virulensi yang lebih tinggi, dan
jarang terjadi multidrug resistant pada antimikroba non β-laktam (misalnya terhadap tetracyclin,
Strain CA-MRSA secara tipikal mengandung eksotoksin yang dinamakan toksin Panton-
Valentine Leukodin (PVL). PVL sering terdapat pada pasien yang imunokompeten tanpa adanya
faktor risiko yang dapat diidentifikasi. Strain CA-MRSA yang mengandung PVL ini mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan kerusakan jaringan dan lekosit yang parah. PVL masuk melalui
lubang pada membran sel kemudian menghasilkan lesi pada permukaan kulit dan di dalam
14
Dua komponen dari PVL, yaitu LukS-PV dan LukF-PV disekresi dari S. aureus sebelum
leukocytes (PMN). Peningkatan konsentrasi PVL menyebabkan lisis dari PMN, sedangkan
rendahnya konsentrasi PVL akan mempengaruhi alur apoptosis PMN dengan langsung berikatan
pada membran mitokondrial. Nekrosis jaringan dapat merupakan hasil pelepasan reactive oxygen
spesies (ROS) dari PMN yang lisis. Kemungkinan lainnya adalah pelepasan granul dari PMN
yang lisis akan menimbulkan respon inflamasi yang pada akhirnya akan menimbulkan nekrosis
jaringan. PVL tidak dapat menimbulkan nekrotik jaringan secara langsung pada sel epitel (Vavra
Gambar 4. Proses PVL menimbulkan nekrosis jaringan (Sumber: Vavra & Daum, 2007).
15
nuclease, dan metode molekular. Perbandingan daya guna dari masing-masing uji ini sulit untuk
dinilai karena adanya perbedaan dari strain S. aureus dan spesies dari coagulase-negative
Uji ini merupakan uji standar rutin untuk mengidentifikasi S. aureus, berasal dari plasma
kelinci. Penilaiannya dilakukan setelah dilakukan inkubasi selama 4 dan 24 jam. Hasil negatif
setelah inkubasi selama 4 jam harus harus dinilai lagi setelah 24 jam karena beberapa porsi kecil
dari strain S. aureus membutuhkan lebih dari 4 jam untuk membentuk bekuan. Beberapa spesies
lain dari stafilokokus seperti S. schleiferi dan S. intermedius dapat juga memberi hasil positif
pada uji ini, namun spesies ini bukan merupakan isolat yang umum pada infeksi manusia (Brown
et al., 2005).
Uji ini sangat cepat namun hampir 15% menunjukkan hasil negatif dari strain S. aureus.
Sehingga hasil negatif dari uji ini harus dikonfirmasi dengan uji koagulasi tabung. Beberapa
spesies stafilokokus seperti S. schleiferi dan S. lugdunensis memberikan hasil positif pada uji ini.
Uji ini tidak cocok dipakai untuk isolat yang sulit diemulsikan dan faktor pengumpul (clumping
factor) dapat kabur oleh adanya kapsul yang banyak (Brown et al., 2005).
16
Versi awal dari uji ini hanya mendeteksi adanya protein A dan/atau faktor pengumpul,
sehingga tidak dapat digunakan pada beberapa MRSA yang memproduksi sedikit atau tidak ada
protein A dan faktor pengumpulnya. Versi terakhir dari uji ini disamping mendeteksi adanya
protein A dan/atau faktor pengumpul juga mendeteksi berbagai surface antigen, sehingga
meningkatkan sensitifitas uji ini namun menurunkan spesifitasnya karena adanya reaksi silang
dengan CoNS. Karena melibatkan faktor pengumpul maka uji akan memberikan positif palsu
dengan stafilokokus yang lain, seperti S. lugdunensis dan S. schleiferi. Uji ini juga termasuk uji
• Uji DNase dan nuklease tahan panas (DNase and heat-stable nuclease test)
karena banyak DNase dihasilkan juga oleh CoNS maka hasil yang positif harus dikonfirmasi
dengan uji tambahan lainnya. Uji nuklase tahan panas dapat digunakan untuk mengidentifikasi S.
aureus, walaupun beberapa spesies dengan negatif koagulasi dapat juga positif. Metode
metakromatik difusi agar (metachromatic agar diffusion method) untuk nuklease tahan panas
telah digunakan secara khusus untuk uji langsung pada kultur darah. Uji aglutinasi lateks
berdasar pada nuklease tahan panas juga telah mulai ada (Brown et al., 2005).
• Uji biokimia
Salah satu alat uji biokimia komersial dan otomatis adalah uji Staphychrom II yang
berdasar pada uji kromagenik pada inhibitor protrombin dan protease. Sensitifitas dan spesifitas
uji ini adalah 98,6% dan 100%, namun kelemahan alat uji ini adalah harganya yang masih mahal
17
polymerase chain reaction (PCR). Alat uji ini didesain untuk memperjelas target spesies secara
spesifik, termasuk diantaranya adalah nuklease (nuc), koagulase (coa), protein A (spa), femA,
femB, Sa442, 16S rRNA, dan gen-gen surface-assosiated fibrinogen-binding protein (Brown et
al., 2005).
b. Identifikasi MRSA
Uji ini menggunakan media Mueller-Hinton (MH) atau agar Columbia dengan 2% NaCl
dan inokulum 104 cfu/mL akan terlihat jelas perbedaan resistensi diantara strain-strain S. aureus
Menurut British Society for Antimicrobial Chemotherapy (BSAC), kedua media ini dapat
digunakan kemudian dilakukan inkubasi pada 30ºC selama 24 jam. Pada metode BSAC ini,
aureus ini masih rentan/sensitif terhadap methicillin, sedangkan MIC > 4 menunjukkan resisten
yang sekarang dikenal sebagai Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI), metode ini hanya
menggunakan MH sebagai medianya, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 33-35ºC.
Hasil MIC methicillin ≤2 mg/L mengindikasikan bahwa strain S. aureus ini masih rentan/sensitif
terhadap methicillin, sedangkan MIC > 2 menunjukkan resisten (Brown et al., 2005).
18
Metode NCCLS ini menggunakan kaldu MH dengan 2% NaCl sebagai media, sebuah
inoculums 5 x 105 cfu/mL dan diinkubasi pada suhu 33-35ºC selama 24 jam. Metode ini banyak
Metode ini direkomendasikan oleh NCCLS untuk penapisan isolasi koloni pada media
rutin dan untuk konfirmasi akan kecurigaan adanya resistensi pada uji difusi piringan (disc
diffusion tests). Pada metode ini densitas S. aureus dipertahankan pada 0,5 standar McFarland,
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35ºC atau kurang. Adanya pertumbuhan mengindikasikan
Sekarang ini uji piringan difusi sefoksitin lebih banyak direkomendasikan dibandingkan
dengan oksasilin. Hal ini dikarenakan pada sefoksitin tidak diperlukan media dan temperatur
inkubasi khusus, serta tidak terpengaruh adanya hiper-produksi dari penisilinase sehingga tidak
Metode ini mengekstraksi PBP2a (penicillin binding protein) dari suspensi koloni dan
deteksinya oleh aglutinasi dengan partikel lateks yang dilapisi oleh antibodi terhadap PBP2a.
Isolat yang memproduksi sedikit PBP2a akan menimbulkan reaksi aglutinasi yang lemah atau
lambat. Uji ini sangat sensitif dan spesifik terhadap S. aureus, namun tidak cocok pada
pertumbuhan koloni yang mengandung NaCl. Disamping itu pula metode sangat cepat (hanya
±10 menit untuk 1 uji) dan tidak memerlukan alat khusus (Brown et al., 2005).
19
Sebagian besar laboratorium mikrobiologi klinik, identifikasi kultur darah yang positif
mengandung kokus gram positif (Gram-positive cocci in cluster [GPCC]) menggunakan sistem
otomatis di bawah mikroskop, dilanjutkan dengan kultur secara konvensional untuk mendeteksi
adanya MRSA. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai penggunaan metode
molekuler secara langsung mendeteksi MRSA dengan mikroskop pada GPCC yang positif.
Metode ini merupakan diagnosis cepat untuk MRSA dan dapat menentukan terapi yang tepat.
Beberapa metode ini menggunakan dasar gel dan real-time PCR, penyelidikan DNA, serta
penyelidikan asam nukleat peptida (peptide nucleic acid). Kelemahan metode ini adalah
memerlukan alat-alat khusus dan seorang yang sudah ahli. Salah satu alat yang menggunakan
metode ini adalah “EVIGENE kit” (Staten Serum Institut, Kopenhagen, Denmark). Alat ini
berdasarkan pada colorimetric gene probe hybridization assay untuk spesifik stafilokokus 16S
rRNA, mecA dan nuc gen dalam bentuk strip. Alat ini dapat mengidentifikasi MRSA pada kultur
darah positif dalam 7 jam, tanpa memerlukan kultur konvensional atau kemungkinan adanya
Alat yang dapat mendeteksi kolonisasi MRSA di saluran nafas bagian atas dan bawah
secara cepat dan spesifik sangat penting digunakan pada pasien-pasien sakit parah dengan
ventilator mekanik di ICU. Prosedur alat ini berdasar pada PCR multipleks dengan target di gen
femA dan mecA dari aspirasi endotrakhea. Disamping itu alat ini selain dapat mendeteksi
MRSA, juga dapat mendeteksi bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa yang
20
Pseudomonas aeruginosa ini secara potensial dapat tumbuh berlebihan (overgrowth) dan
menimbulkan negatif palsu pada metode kultur standar (Brown et al., 2005).
3. Diagnosis MRSA
Penularan utama MRSA adalah melalui kontak langsung antar orang per orang, biasanya
dari tangan orang yang terinfeksi atau terkolonisasi. MRSA juga dapat menyebar melalui
pemakaian handuk bersama-sama, alat-alat mandi, alat-alat olahraga, baju, alat-alat pengobatan,
olahraga dengan kontak langsung, atau ketika adanya wabah yang berasal dari makanan (Navy
Setiap dokter atau penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan infeksi MRSA
pada diagnosis bandingnya pada semua pasien dengan adanya gambaran infeksi kulit dan
jaringan lunak [skin and soft tissue infection (SSTI)] atau manifestasi gejala lainnya dari infeksi
staphylococcus disertai adanya faktor risiko untuk terjadinya MRSA. Gambaran klinik dari SSTI
itu biasanya digambarkan dan didiagnosis sebagai “gigitan serangga atau laba-laba” (Navy
Faktor risiko yang dihubungkan dengan penyebaran CA-MRSA adalah kulit yang
terbuka, kondisi tempat tinggal yang kumuh (misalnya tempat penampungan geladangan),
kontak dari kulit ke kulit yang frekuen (misalnya olahraga dengan kontak langsung), kegiatan
praktik dengan higiene yang rendah, dan pemakaian alat-alat secara bergantian termasuk alat-alat
olahraga, pisau cukur, alat-alat hiasan rambut, dan handuk (Anderson et al., 2007).
21
Tampilan klinis strain CA-MRSA yang mengandung PVL biasanya tampak sebagai
SSTI, seperti bisul, jerawat, furunkel, dan abses kulit. Namun saat ini telah dilaporkan adanya
infeksi yang invasif seperti necrotizing pneumonia dan fasciitis, osteomielitis, artritis septik,
toxic shock syndrome, bakteriemia, limfadenitis, dan miositis (Anderson et al., 2007).
(CAP) yang biasanya ditemukan setelah influenza-type illness. Salah satu cara untuk
membedakan pneumonia yang disebabkan oleh CA-MRSA adalah terjadinya hemoptisis setelah
Kultur bakteri aerobik harus didapatkan pada keadaan ketika, 1) SSTI yang disebabkan
oleh strain resisten methicillin atau sensitif methicillin tidak dapat dibedakan dengan gambaran
klinik, 2) dibutuhkan identifikasi dari spesies dan sensitifitas antibiotiknya yang akan membantu
pemilihan antibiotik. Kultur harus diperoleh dari luka yang telah kering, pus yang diaspirasi dari
infeksi jaringan lunak, dan aspirasi dari cairan yang diduga terinfeksi. Kultur darah harus
22
dilakukan pada pasien yang demam dengan kecurigaan infeksi MRSA, dan jika diperlukan pada
pasien pengguna obat injeksi atau endokarditis yang secara klinis juga dicurigai (Navy
Hasil kultur yang positif baik dari darah dan cairan tubuh yang steril (misalnya cairan
sendi, pleura, dan serbrospinal) merupakan diagnosis pasti dari infeksi MRSA. Kultur positif dari
sumber-sumber yang non-steril (misalnya dari drainase luka dan luka terbuka) merupakan
indikasi adanya infeksi bakteri atau kolonisasi dan harus diinterpetasikan dalam bentuk gejala
a. HA-MRSA
Agen antimikrobial yang dapat digunakan untuk penanganan infeksi MRSA, khususnya
yang bersifat bakterisidal, jumlahnya terbatas. Dengan adanya keterbatasan pemilihan obat dan
peningkatan munculnya isolat-isolat yang resisten multi obat, maka sangat penting untuk
membersihkan semua fokus infeksi yang ada. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah
menetapkan bahwa seorang pasien telah terinfeksi dibanding hanya terkolonisasi sebelum
Pemberitahuan adanya infeksi MRSA ini dapat dilakukan oleh pihak rumah sakit kepada unit-
unit yang ada di masyarakat ataupun sebaliknya (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).
Strategi “search and destroy” dilakukan di Belanda pada tahun 1989 berhasil
menurunkan kejadian infeksi MRSA dibandingkan pada pertengahan 1980-an. Australia barat
melakukan kebijakan penapisan dan kontrol infeksi yang agresif untuk menekan penyebaran
23
MRSA dari luar negaranya. Denmark melakukan kebijakan mengontrol secara ketat peresepan
antibiotik untuk infeksi, sehingga berhasil menurunkan kejadian MRSA dari 15% pada tahun
1971 menjadi hanya 0,2% pada tahun 1984. Pencarian dan pengobatan karier secara aktif dapat
menurunkan jumlah infeksi MRSA pada saat kejadian wabah di Spanyol (Duckworth et al.,
1998).
Isolasi
Walaupun tangan petugas kesehatan merupakan jalur utama penyebaran MRSA, infeksi
silang di bangsal masih sulit untuk dicegah. Kuman staphylococcal dapat sangat mencemari
lingkungan rumah sakit dan akan melepaskan partikel ke udara. Pasien yang terinfeksi dan jika
memungkinkan karier, harus diisolasi dalam satu ruangan atau jika ada di unit isolasi dengan
Ruang isolasi harus selalu tertutup dan memiliki sistem ekstraksi yang membuang udara
dari kamar ke ruang bebas. Hal ini akan mengurangi penyebaran antar ruang perawatan. Jika
tidak ada unit isolasi khusus dan terbatasnya kamar pasien, maka semua pasien yang terinfeksi
atau terkolonisasi MRSA dirawat dalam satu bangsal dengan petugas khusus untuk mengontrol
outbreak secara efektif. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam mengontrol infeksi jika
tidak ada unit khusus isolasi adalah melakukan cuci tangan dengan benar, penggunaan sarung
tangan, pakaian pelindung, dan pembuangan sampah (Duckworth et al., 1998; Carter et al.,
2002).
Penutupan bangsal
Penutupan bangsal atau unit perawatan perlu dilakukan jika isolasi pasien dan perawatan
khusus lainnya gagal mengontrol penyebaran dan diperkirakan akan menimbulkan risiko serius
pada pasien baru yang masuk untuk perawatan di rumah sakit tersebut. Namun penutupan sebuah
24
bangsal akan menimbulkan implikasi yang serius pada pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
bersangkutan sehingga perlu adanya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penilaian
risiko jika harus melakukan penutupan (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).
Faktor-faktor tersebut adalah: 1) Jumlah kasus. Banyaknya pasien baru yang menjadi
terinfeksi MRSA merupakan faktor yang paling penting dalam penilaian perkembangan suatu
wabah. Pengumpulan data harus dilakukan secara cepat dan didiskusikan antara pihak
manajemen rumah sakit dan petugas bangsal yang bersangkutan untuk menentukan keputusan
yang rasional termasuk kemungkinan penutupan bangsal; 2) Strain MRSA. Strain yang resisten
terhadap antibiotik akan menimbulkan kesulitan dalam terapinya dan diantaranya akan mudah
menyebar. EMRSA-15 dapat mengolonisasi ulkus dekubitus dan urin melalui kateter sehingga
akan menyebabkan infeksi berat. EMRSA-16 dihubungkan dengan penyakit yang invasif seperti
pneumonia. Adanya strain yang menyebabkan infeksi yang invasif merupakan indikasi relatif
untuk penutupan suatu bangsal, khususnya pada bangsal yang berisi pasien dengan status imun
yang rendah; 3) Aktifitas klinis. Ruang perawatan akut yang digunakan untuk area kritis seperti
ICU, neonatologi, atau bedah kardiotorak merupakan area yang terakhir ditutup ketika terjadi
suatu wabah. Ruang perawatan non-akut, seperti bedah elektif merupakan indikasi relatif untuk
dilakukan penutupan lebih awal; dan 4) Jumlah petugas. Jumlah perawat dan petugas lainnya
yang sedikit, rendahnya kemampuan, rendahnya hubungan antar profesi, atau jarangnya petugas
senior yang terlibat dalam manajemen di bangsal akan membuat sia-sia pengananan infeksi.
Penutupan bangsal disarankan jika terjadi hal seperti ini (Duckworth et al., 1998; Carter et al.,
2002).
25
terpentingnya adalah metode yang digunakan dan banyaknya jumlah dan tempat sampel
Tempat pengambilan sampel untuk penapisan rutin biasanya adalah hidung, lesi atau
luka, tempat masuknya alat intravena, trakheostomi, perineum, genital, urin dari pasien dengan
kateter, dan sputum jika ada. Tempat lain untuk pengambilan sampel adalah umbilikus pada bayi
baru lahir, feses, dan swab vagina jika ada indikasi klinis. Jika terjadi suatu wabah tempat lain
yang bisa diambil sampelnya adalah aksila, vagina, dan kulit pantat pada lanjut usia (Duckworth
Sensitivitas dari berbagai tempat pengambilan sampel untuk mendeteksi MRSA adalah
hanya hidung 78,5%, hidung dan mulut 85,6%, hidung dan perineum 93,4%, hidung, mulut, dan
mempengaruhi sensitivitas. Menggabungkan swab dalam satu kaldu merupakan salah satu cara
agar proses pengolahan spesimen lebih murah, meski penggunaan garam dan antibiotik pada
kaldu harus dimodifikasi sesuai dengan strain MRSA pada saat wabah (Duckworth et al., 1998).
Pasien dan petugas kesehatan di rumah sakit yang menjadi karier MRSA merupakan
sumber dari penyebaran MRSA. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk mengeradikasi
kolonisasi pada pasien dan petugas kesehatan tersebut. Pengobatan pada karier diberikan pada
pasien yang berada di area dengan risiko klinik rendah, dimana situasinya mirip dengan situasi di
masyarakat dan tidak ada interaksi dengan unit keakutan. Eradikasi diperlukan juga pada pasien
26
yang akan dipindahkan ke unit khusus. Pasien usia lanjut dan lemah yang dalam masa perawatan
sesudah operasi atau keadaan sakit berat mungkin tidak dapat menerima obat kombinasi seperti
rifampisin dan asam fusidik untuk mengobati kolonisasi di mulut. Pemberian antiseptik topikal
dapat juga menimbulkan kondisi ekserbasi dan iritasi di kulit. Sehingga pemberiannya harus
Royal College of Nursing (RCN) membagi area risiko klinis menjadi 4 kategori. Kategori
Kategori risiko
Tinggi
• ICU
• Unit perawatan khusus bayi
• Unit luka bakar
• Unit transplantasi
• Kardio-torak
• Ortopedi
• Trauma
• Vaskular
• Pusat referal regional, nasional, internasional
Sedang
• Ruang operasi umum
• Urologi
• Neonatal
• Ginekologi
• Obstetrik
• Dermatologi
Rendah
• Ruang perawatan usia lanjut (akut)
• Ruang perawatan medis umum
• Ruang perawatan anak-anak (non neonatal)
Minimal
• Ruang perawatan usia lanjut (jangka lama)
• Psikiatrik
• Psiko-geriatrik
27
Pengobatan topikal yang paling efektif untuk eradikasi di hidung adalah mupirocin
dengan dasar parafin (Bactroban Nasal®) yang dioleskan pada nares anterior 3 x/hari selama 5
hari. Namun saat ini ditemukan adanya strain MRSA dengan level rendah (MIC 8-256 mg/1) dan
level tinggi (>256 mg/1) yang resisten terhadap mupirocin. Strain MRSA level rendah masih
dapat berespon terhadap mupirocin. Penggunaan mupirocin yang berulang-ulang dan lama dapat
menyebabkan munculnya resistensi ini (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).
0,5%) kurang efektif namun dapat mengurangi jumlah organisme di hidung. Agen topikal ini
merupakan alternatif untuk strain yang resisten mupirocin, khususnya pada strain yang diketahui
keuntungannya lebih besar daripada efek sampingnya. Rifampicin harus selalu dikombinasikan
dengan agen aktif lainnya untuk melawan MRSA seperti sodium fusidate, ciprofloxacin, atau
trimethroprim untuk mencegah timbulnya resistensi. Kejadian efek samping oleh karena
rifampicin sangat tinggi, sehingga pasien harus diberitahu efek samping yang sering terjadi dan
disarankan untuk menghentikan jika diperlukan (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).
Pemberian topikal pada hidung sering kali tidak dapat membersihkan mulut atau sputum.
Pemberian mupirocin lebih efektif dibanding dengan naseptin. Pemberian terapi sistemik seperti
yang digambarkan diatas dipertimbangkan dapat diberikan. Dianjurkan untuk pemberian obat
semprot mulut bersama-sama dengan mupirocin hidung untuk eradikasinya (Duckworth et al.,
28
Perbatasan kulit pada tempat infeksi seringkali terkontaminasi oleh S. aureus yang dapat
menyebar ke tempat lainnya. Jumlah S. aureus dapat berkurang dengan mencuci kulit dan
rambut dengan sabun antiseptik. Reduksi yang progresif dari flora kulit dapat dilakukan dengan
mandi setiap hari selama 3 hari berturut-turut dengan sabun yang mengandung chlorhexidine,
dengan problem kulit atau pada usia lanjut. Konsentrat ini dapat membunuh S. aureus yang ada
di air mandi. Konsentrat ini kurang efektif dalam mereduksi kolonisasi kulit dibanding dengan
pemberian langsung sabun antiseptik. Sabun antiseptik penggunaannya harus hati-hati pada
pasien dengan dermatitis, dan harus dihentikan jika terjadi iritasi kulit. Bubuk hexachlorophane
(Ster-Zac 0,33%®) merupakan agen anti staphylococcal yang efektif digunakan pada neonatal
dan dapat digunakan pada aksila dan genital orang dewasa jika ada kolonisasi. Namun jangan
digunakan pada area kulit yang terluka (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).
antistafilokokal yang efektif untuk diberikan pada lesi kulit seperti eksim dan ulkus dekubitus
superfisial kecil. Agen ini tidak boleh digunakan pada luka bakar yang luas atau area luka yang
tidak beraturan dan banyak karena agen ini bersifat nefrotoksik. Penggunaan yang lama harus
dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap mupirocin. Eradikasi MRSA pada lesi
kulit harus dilakukan bersama-sama dengan eradikasi pada tempat lainnya (Duckworth et al.,
29
b. CA-MRSA
Kolonisasi S. aureus di hidung telah diketahui sebagai salah satu faktor risiko untuk
terjadinya infeksi MRSA. Kolonisasi MRSA terdapat juga di tempat lain, misalnya aksila,
rektum, dan perineum yang juga penting dalam perkembangan dan penyebaran infeksi. Regimen
yang digunakan untuk melakukan eradikasi kolonisasi yang ada di masyarakat sama seperti yang
MRSA harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding SSTI yang mungkin disebabkan
oleh infeksi S. aureus. Adanya keluhan utama seperti “gigitan laba-laba” dari pasien menguatkan
MRSA juga perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada gejala-gejala lain
yang disebabkan oleh infeksi S. aureus, termasuk sindroma sepsis, osteomielitis, artritis septik,
dan pneumonia yang berat, serta pada sindroma berat yang tidak selalu dihubungkan dengan S.
aureus, seperti necrotizing fasciitis dan purpura yang fulminan (Gorwitz et al., 2006).
Para klinisi diharapkan mengumpulkan spesimen untuk dilakukan kutur pada semua
pasien dengan abses atau lesi kulit yang purulen, khususnya pada keadaan infeksi lokal yang
Walaupun antibiotik beta-lactam merupakan obat pilihan utama untuk SSTI, harus
dipertimbangkan adanya faktor risiko untuk terjadinya CA-MRSA (misalnya gelandangan dan
angka kejadian setempat yang tinggi) selama proses terapi dilakukan. Dalam hal ini CA-MRSA
harus menjadi salah satu diagnosis banding pada pasien dengan SSTI yang datang ke fasilitas
30
Sebelum memulai terapi antibiotik jika ada indikasi harus dilakukan insisi dan drainase
atau debridemen pada lesi kulit yang purulen, abses, atau lesi nekrotik. Perlu dipertimbangkan
juga pemberian agen antibiotik yang melawan aktifitas streptococcus grup A dalam mengobati
SSTI dimana ketika CA-MRSA sudah menjadi endemi. Saat ini streptokokus grup A sering ikut
SSTI dapat dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan berat-ringannya tanda dan gejala infeksi
lokal dan sistemik, serta ada-tidaknya komorbid. Sistem klasifikasi ini berguna sebagai panduan
untuk menentukan manajemen perawatan pasien dengan SSTI (Eron et al., 2003).
Pengobatan pasien dengan infeksi MRSA tidak akan berpengaruh besar pada pencegahan
penyebaran karena agen antibiotik sistemik yang digunakan hanya berpengaruh kecil pada status
karier. Penggunaan antibiogram pada isolat pertama pada pasien sangat penting untuk memilih
terapi yang sesuai. Apalagi jika respon klinis dari pasien adalah jelek (Duckworth et al., 1998).
Diagnosis pasti dari infeksi yang invasif dapat ditegakkan jika kita dapat memperoleh
spesimen yang tepat, seperti pus, jaringan, atau lavase bronkoalveolar untuk mengkonfirmasi
diagnosis mikrobiologik dari infeksi. Ketika fokus infeksi MRSA yang menyebabkan sepsis
berat diketahui, maka bisa dilakukan pendekatan kombinasi antara obat dan pembedahan,
31
Pasien dengan bakteremia MRSA memiliki rerata mortalitas yang lebih tinggi dibanding
dengan MSSA. Peningkatan risiko ini sebagian berhubungan dengan pemberian antibiotik inisial
yang tidak sesuai dalam 24 jam pertama perawatan (Schramm et al., 2006).
Para klinisi harus memperhatikan pola sensitifitas dari antibiotik dari isolat S. aureus. Hal
ini bisa diperoleh dari antibiogram yang dikeluarkan oleh rumah sakit (Naimi et al., 2001).
Infeksi CA-MRSA biasanya disebabkan oleh isolat yang masih sensitif terhadap berbagai
macam antibiotik jika dibanding dengan HA-MRSA. Pemilihan antibiotik untuk mengobati SSTI
sebaiknya berdasarkan pada hasil kultur bakteri dan sensitivitas bakteri yang ada. Pasien dengan
gejala ringan, infeksi yang terlokalisir tanpa tanda-tanda infeksi sistemik dapat dilakukan
pembasuhan dengan air hangat dan/atau insisi dan drainase luka kemudian dilakukan evaluasi
selama beberapa hari sebelum pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik sendiri tidak akan
Biasanya kita masih sulit untuk membedakan antara kolonisasi dan infeksi pada SSTI.
Demam, peningkatan angka leukosit, dan peningkatan penanda inflamasi seperti C-reactive
protein (CRP) dapat merupakan indikasi adanya infeksi (Gemmell et al., 2006).
Durasi pemberian terapi antibiotik pada keadaan ini tergantung pada keparahan dan
tempat infeksinya, serta respon klinisnya. Pemberian antibiotik antara 7-10 hari biasanya pada
keadaan infeksi yang tidak terkomplikasi dan tidak berespon baik pada insisi dan drainase (BOP,
2005).
32
Infeksi kulit dan jaringan lunak yang tidak dapat dilakukan kultur atau diagnosis
mikrobiologinya tidak ada, penanganan dan evaluasinya didasarkan kasus per kasus. Antibiotik
empirik bisa diberikan pada infeksi yang dirurigai disebabkan oleh S. aureus, khususnya pada
infeksi selulitis, tampak adanya abses, adanya demam atau tanda infeksi sistemik lainnya, atau
adanya latar belakang penyakit komorbid atau keadaan imunosupresi (BOP, 2005).
antara lain: 1) Infeksi yang bisa sembuh sendiri (self-limited infection) tanpa tanda dan gejala
sistemik biasanya cukup efektif jika dilakukan pembasuhan dengan air hangat dan/atau insisi dan
drainase tanpa antibiotik; 2) Jika tidak ada faktor risiko MRSA, infeksi yang tidak berespon baik
pada insisi dan drainase maka dapat diberikan antibiotik empirik cephalosporin generasi pertama,
dan pada infeksi pneumonia, SSTI yang diikuti sepsis, atau keadaan klinis yang memburuk pada
pemberian antibiotik oral, maka diindikasikan pemberian antibiotik intravena yaitu vancomycin
33
Tabel 6. Panduan terapi pada keadaan yang berhubungan dengan infeksi MRSA
pneumonia, dan infeksi MRSA yang dalam membutuhkan pemberian antibiotik intravena.
Antibiotik yang diberikan adalah vancomycin intravena dan/atau kombinasi dengan agen
34
antibiotik lainnya selama 4-6 minggu atau lebih. Antibiotik generasi kedua atau ketiga dapat
35
• Vancomycin
Vancomycin merupakan obat pilihan pertama (drug of choice) untuk berbagai macam
infeksi khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh MRSA. Obat ini tidak boleh
digunakan pada infeksi MSSA (Gemmell et al., 2006; Gorwitz et al., 2006).
Nama generik dari obat ini adalah vancomycin hydrochloride. Vancomycin tidak dapat
diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral, sehingga sediaan yang ada dalam bentuk injeksi
36
dan pemberiannya secara intravena. Pemberian secara intramuskular akan menimbulkan nyeri
Waktu paruh vancomycin dalam plasma adalah 4-6 jam pada orang dengan fungsi ginjal
normal. Vancomycin akan berikatan 55% dengan protein serum. Setelah pemberian intravena,
konsentrasi vancomycin akan masuk ke dalam pleura, perikardial, cairan asites dan sinovial,
urin, cairan dialisis peritoneal, serta jaringan atrial. Vancomycin tidak masuk secara difusi pada
meningen normal melalui cairan spinal, namun ketika ada inflamasi akan terjadi penetrasi ke
Pemberian vancomycin adalah 2 g/hari dalam dosis terbagi 500 mg/6 jam atau 1 g/12
jam. Penyesuaian dosis harus dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis inisial
yang harus diberikan tidak boleh <15 mg/kg berat badan, walaupun pada pasien dengan
insufisiensi ginjal ringan dan sedang. Pasien yang alergi atau tidak dapat menerima terapi
aureus [VISA]) dan kemudian menjadi vancomycin resistant S. aureus (VRSA) pada tahun
• Trimethoprim-sulfamethoxazole
trimoxazole/TMP-SMX) merupakan obat utama yang diberikan untuk SSTI yang disebabkan
oleh strain CA-MRSA dimana banyak diantaranya masih sensitif terhadap obat ini (Gemmell et
37
Obat ini diabsorbsi secara cepat setelah pemberian secara oral. Waktu paruh TMP adalah
8-10 jam dan SMX adalah 10 jam. TMP akan berikatan 44% dengan protein serum dan SMX
70%. TMP-SMX akan terdistribusi pada sputum, cairan vagina, dan cairan telinga tengah, serta
akan ikut terekskresi pada air susu ibu. Obat ini akan dieliminasi oleh ginjal melalui fitrasi
glomerulus dan sekresi tubulus. Konsentrasi pada urin lebih tinggi dibanding darah. Dosis yang
diberikan pada pasien yang dicurigai terinfeksi MRSA di kulit dan jaringan lunak adalah TMP
160 mg + SMX 800 mg dalam sediaan 1 tablet tiap 12 jam selama 7-10 hari (Drugs, 2007).
streptococcus grup A. Pada infeksi ini obat yang digunakan adalah clindamycin, erythromycin,
• Clindamycin
Clindamycin efektif digunakan untuk terapai SSTI dan beberapa infeksi invasif lainnya,
seperti osteomielitis, piomiositis, atau empiema pleura yang disebabkan oleh isolat CA-MRSA
pada anak-anak. Obat ini memiliki kelebihan tambahan yaitu kemampuannya pada
dalam tulang yang lebih baik jika dibandingkan dengan co-trimoxazole. Dosis clindamycin pada
kasus infeksi MRSA adalah 150-450 mg tiap 6 jam diberikan peroral (Gemmell et al., 2006;
Pada pasien dengan isolat MRSA yang masih sensitif terhadap tetracycline, maka bisa
diberikan obat doxycycline atau minocycline (long-acting tetracycline) sebagai alternatif terapi
38
Dosis inisial minocyclin dan doxycycline adalah 200 mg pada hari I diikuti dengan 100
• Fluoroquinolone
kemampuan yang lebih baik sebagai anti stafilokokal. Kedua obat ini dapat digunakan pada
strain yang resisten terhadap ciprofloxacin. Namun penggunaan kedua agen ini harus hati-hati
dan terbatas karena kemungkinan untuk terjadinya resistensi (Gemmell et al., 2006; Gorwitz et
al., 2006).
Levofloxacin terdapat dalam sediaan pemberian oral dan injeksi. Kedua rute pemberian
ini memiliki kekuatan yang sama. Pada pemberian oral absorbsinya dipengaruhi adanya makanan
yang akan memperpanjang waktu paruh dan kadar maksimalnya, sehingga pemberiannya harus
dengan jarak 1-2 jam setelah atau sebelum makan. Obat ini akan berikatan dengan protein 24-
38%. Ekskresi terbanyak melalui urin. Dosis yang digunakan adalah 750 mg/24 jam
Moxifloxacin terdapat dalam sediaan pemberian oral dan injeksi, berikatan dengan
sebanyak 30-50%. Dosis pemberiannya 400 mg/24 jam peroral/intravena selama 7-21 hari
(Drugs, 2007).
• Quinupristin-dalfopristin
Amerika serikat untuk mengobati infeksi vancomycin resistant enterococcal (VRE), infeksi kulit
terkomplikasi yang disebabkan oleh S. aureus, MRSA, dan VISA (Gemmell et al., 2006;
39
Obat ini tersedia dalam bentuk injeksi terdiri dari quinupristin 150 mg dan dalfopristin
350 mg. Quinupristin bekerja menghambat fase akhir sintesis protein dan dalfopristin bekerja
menghambat fase awal sintesis protein. Pemberiannya dengan dosis 7,5 mg/kg berat badan tiap
12 jam dimasukkan dalam infus habis dalam 60 menit selama minimal 7 hari (Drugs, 2007).
• Linezolid
mengobati pneumonia nosokomial dan infeksi kulit terkomplikasi yang disebabkan oleh MRSA.
Obat ini mempunyai kemampuan distribusi jaringan yang sama baiknya antara pemberian oral
dan injeksi. Dosis obat ini adalah 600 mg/12 jam diberikan peroral atau intravena (Gemmell et
• Daptomycin
Obat ini akan berikatan dengan membran bakteri dan akan menyebabkan depolarisasi
cepat dari potensial membran, yang akan menghambat sintesis protein, DNA, dan RNA,
sehingga terjadi kematian sel bakteri. Dosis obat ini adalah 4 mg/kg berat badan tiap 24 jam
• Tigecycline
Obat bekerja dengan cara menghambat transportasi protein bakteri dengan berikatan pada
subunit ribosomal 30S dan menutup masuknya molekul tRNA amino-acyl. Dosis inisial obat ini
adalah 100 mg intravena pada hari I diikuti dengan 50 mg tiap 12 jam (Drugs, 2007).
40
BAB III
RINGKASAN
Infeksi MRSA telah menjadi problem dalam dunia kesehatan di seluruh dunia selama
beberapa dekade. Beberapa faktor dapat menyebabkan timbulnya resistensi ini, diantaranya
didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah dirawat di rumah
sakit atau menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat bantu medis
permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, atau individu
yang menjalani dialisis. Sedangkan infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang sebelumnya
tidak ada hubungan dengan infeksi rumah sakit dikenal sebagai CA-MRSA.
Berbagai institusi kesehatan di luar negeri telah banyak yang menerbitkan pedoman
dalam pencegahan, kontrol, dan penanganan MRSA yang disesuaikan dengan keadaan dan strain
Penularan utama MRSA adalah melalui kontak langsung antar orang per orang, biasanya
dari tangan orang yang terinfeksi atau terkolonisasi. MRSA juga dapat menyebar melalui
pemakaian handuk bersama-sama, alat-alat mandi, alat-alat olahraga, baju, alat-alat pengobatan,
olahraga dengan kontak langsung, atau ketika adanya wabah yang berasal dari makanan.
Setiap dokter atau penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan infeksi MRSA
pada diagnosis bandingnya pada semua pasien dengan adanya gambaran infeksi kulit dan
jaringan lunak atau manifestasi gejala lainnya dari infeksi staphylococcus disertai adanya faktor
41
Manajemen penanganan infeksi MRSA harus menyeluruh dan melibatkan pihak pasien
sebagai orang yang terinfeksi atau terkolonisasi, petugas kesehatan dan staf rumah sakit yang
bisa saja terkolonisasi, dokter yang merawat, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam
bidang kesehatan.
Prinsip pemberian antibiotik pada infeksi MRSA adalah sesuai dengan hasil kultur
bakteri dan pola sensitivitas antibiotik yang ada. Antibiotik empirik dapat diberikan pada
keadaan dimana hasil kultur dan sensitivitas tidak ada. Antibiotik yang digunakan bisa dalam
42
DAFTAR PUSTAKA
Alangaden, G.J. 1997 [cited: December 14, 2007]. Overview of Antimicrobial Resistance.
National Foundation for Infectious Diseases: [9 screens].
http://www.nfid.org/publications/id_archive/antimicrobial.html.
Alston, W.K., Elliott, D.A., Epstein, M.E., Hatcher, V.B., Tang, M., Lowy, F.D. 1997.
Extracellular matrix heparan sulfate modulates endothelial cell susceptibility to
Staphylococcus aureus. J Cell Physiol, 173:102-109.
Anderson, J., Mehlhorn, A., MacGregor, V. 2007. Community-Associated Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus. What's in Your Neighborhood? Jobson Medical Information
LLC. US Pharm, 32(8):HS3-HS12.
Anonim. 2005 [cited: December 15, 2007]. Staphylococcus. Kenneth Todar University of
Wisconsin-Madison Department of Bacteriology [19 screens].
http://www.visualunlimited.com/.
Banerjee, S.N., Emori, T.G., Culver, D.H. 1991. Secular trends in nosocomial primary
bloodstream infections in the United States, 1980-1989. Am J Med, 91:Suppl 3B:3B-86S
3B-89S.
BC Centre for Disease Control. 2001. British Columbia Guidelines for Control of Antibiotic
Resistant Organisms (AROs) [Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) and
Vancomycin-resistant Enterococci (VRE)].
Borlaug, G., Davis, J.P., Fox, B.C. 2005. Community Associated Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (CA-MRSA) Guidelines for Clinical Management and Control of
Transmission. http://www.unc.edu/depts/spice/WisconsinCAMRSAGuide.pdf/.
Brown, D.F.J., Edwards, D.I., Hawkey, P.M., Morrison, D., Ridgway, G.L., Towner, K.J., Wren,
M.W.D. 2005. Guidelines for the laboratory diagnosis and susceptibility testing of
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). J Antimicrob Chemother, 56:1000–
1018.
Carter, A., Heffernan, H., Holand, D., Ikram R., Morris A., et al. 2002. Guidelines for the
Control of Methicillin-resistant Staphylococcus aureus in New Zealand.
http://www.moh.govt.nz/cd/mrsa.
Casewell, M.W., Hill, R.L.R. 1986. The carrier state: Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus. J Antimicrob Chemother, 18:Suppl A:1-12.
Cheung, A.L., Eberhardt, K.J., Chung, E. 1994. Diminished virulence of a sar-agr- mutant of
Staphylococcus aureus in the rabbit model of endocarditis. J Clin Invest, 94:1815-22.
Dellit, T., Duchin, J., Hofmann, J., Olson, E.G. 2004. Interim Guidelines for Evaluation &
Management of Community Associated Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
Skin dand Soft Tissue Infection in Outpatient Settings.
http://www.metrokc.gov/health/providers/epidemiology/MRSA-guidelines.pdf.
Drake, T.A., Pang, M. 1988. Staphylococcus aureus induces tissue factor expression in cultured
human cardiac valve endothelium. J Infect Dis, 157:749-56.
Drugs. 2007 [cited December 17, 2007]. Drug Information Online [44 screens].
http://www.drugs.com/pro.
Duckworth, G., Cookson, B., Humphreys, H., Heathcock, R. 1998. Revised Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus Infection Control Guideline for Hospitals, Report of a combined
working party of the British Society for Antimicrobial Chemotherapy, the Hospital
43
Infection Society and the Infection Control Nurses Association. Brit Soc Antimicrob
Chemother.
Dwiprahasto, I. 2005. Kebijakan untuk Meminimalkan Risiko Terjadinya Resistensi Bakteri di
Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit. JMPK, 8(4):177-181.
Elixhauser, A., Steiner, C. 2007. Statistical Brief #35: Infection with Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) in U.S. Hospitals, 1993-2005. http://www.hcup-
us.ahrq.gov/reports/statbriefs/sb35.pdf.
Emori, T.G., Gaynes, R.P. 1993. An overview of nosocomial infections, including the role of the
microbiology laboratory. Clin Microbiol Rev, 6:428-442.
Enright, M.C., Robinson, D.A., Randle, G., Feil, E.J., Grundmann, H., Spratt, B.G. 2002. The
evolutionary history of methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). PNAS,
99(11):7687–7692.
EPIC. 2006. Apakah organisme multi-resistan itu dan bagaimana timbulnya? in Essential
Practices in Infection Control. Ansell Cares, 2:1-6.
Gemmell, C.G., Edwards, D.I., Fraise, A.P., Gould, F.K., Ridgway, G.L., Warren, R.E. 2006.
Guidelines for the Prophylaxis and Treatment of Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) infections in the UK. J Antimicrob Chemother, 57:589-608.
Gorwitz, R.J., Jernigan, D.B., Powers, J.H., Jernigan, J.A. 2006. Strategies for Clinical
Management of MRSA in the Community: Summary of an Experts’ Meeting Convened
by the Centers for Disease Control and Prevention.
http://www.cdc.gov/ncidod/dhqp/pdf/ar/CAMRSA_ExpMtgStrategies.pdf.
Grathwaite, T.L., Fielding, J.E. 2003 [cited December 17, 2007]. FACT SHEET FOR HEALTH
CARE PROVIDERS: Community-Associated Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus Skin Infections. [7 screens]. http://lapublichealth.org/acd/.
Holden, M.T.G., Feil, E.J., Lindsay, J.A., Peacock, S.J., Day, N.J.P., Enright, M.C. 2004.
Complete genomes of two clinical Staphylococcus aureus strains: Evidence for the rapid
evolution of virulence and drug resistance. PNAS, 101(26):9786-9791.
Kowalski, T.J., Berbari, E.F., Osmon D.R. 2005. Epidemiology, Treatment, and Prevention of
Community-Acquired Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Infections. Mayo Clin
Proc, 80(9):1201-1208.
Lowy, F.D. 1998. Staphylococcus Aureus Infections. NEJM, 339(8):520-532.
Naimi, T.S, LeDell, K.H, Boxrud, D.J. 2001. Epidemiology and clonality of community-
acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus in Minnesota, 1996-1998. Clin
Infect Dis, 33:990.
Navy Environmental Health Center. 2005. Guidelines for the Management of Community
Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) Infections in the US
Navy and Marine Corps.
http://www-nehc.med.navy.mil/Downloads/prevmed/CPG_MRSA_20050516_final.pdf.
Noble, W.C., Valkenburg, H.A., Wolters, C.H.L. 1967. Carriage of Staphylococcus aureus in
random samples of a normal population. J Hyg (Lond); 65:567-573.
Royal College of Nursing (RCN). 2005. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA),
Guidance for Nursing Staff. http:/www.rcn.org.uk/mrsa.
Sampathkumar, P. 2007. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus: The Latest Health Scare.
Mayo Clin Proc, 82(12):1463-1467.
44
Schramm, G.E, Johnson, J.A, Doherty, J.A. 2006. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
sterile-site infection: The importance of appropriate initial antimicrobial treatment. Crit
Care Med, 34:20-69.
Steinberg, J.P., Clark, C.C., Hackman, B.O. 1996. Nosocomial and community acquired
Staphylococcus aureus bacteremias from 1980 to 1993: impact of intravascular devices
and methicillin resistance. Clin Infect Dis, 23:255-259.
The Federal Bureau of Prisons (BOP). 2005 [cited: December 17, 2007]. Management of
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Infections. [43 screens].
http://www.bop.gov/news/PDFs/mrsa.pdf.
Vavra, S.B., Daum, R.S. 2007. Community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus
aureus: the role of Panton–Valentine leukocidin. Lab Investig; 87:3–9.
Wijisaksono, D.P. 2007. Terapi optional “baru” untuk infeksi gram (+): peran vancomycin.
Dalam: M. Sja’bani, S. Nurdjanah, K. Widayati, M.R. Ikhsan, A. Widiatmoko (eds.).
Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan IX Ilmu Penyakit Dalam FK UGM. Hal. 13-
24. Yogyakarta. PGTKI Press.
Wikipedia. 2007 [cited: December 17, 2007]. Antibiotic Resistance. Wikipedia Organization: [3
screens]. http://en.wikipedia.org/wiki/Antibiotic_resistance.
Yim, G. 2007 [cited: December 17, 2007]. Attack of the Superbug: Antibiotik Resistance. [8
screens]. http://www.scq.ubc.ca.