You are on page 1of 47

Makalah Filsafat Modern

Kata Pengantar :
Puji syukur kita panjatkan kehadirat allah swt yang telah memberikan rahmat serta karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Filsafat Modern. Makalah ini berisikan tentang pengetahuan filsafat modern serta para tokoh-tokoh dari filsafat modern itu serta kejadian-kejadian apa saja yang terjadi pada abad ke-19 . Kita menyadari bahwa pada makalah ini masih jauh dari kesempurnaan masih banyak terdapat kesalahan baik dalam kata-kata ataupun pengertian mengenai filsafat modern itu. Akhir kata kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan ikut serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Apabila banyak kesalahan dalam kata ataupun penulisan kami mohon maaf dan kepada allah kami mohon ampun. Semoga allah swt senantiasa meridhoi segala urusan kita. Amin.

Palembang,13 Oktober 2012

Penulis

Daftar Isi
Kata Pengantar. . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1 Daftar Isi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2 Pendahuluan latar belakang masalah. . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3 Pembahasan latar belakang filsafat. . .. . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .4

Karakteristik filsafat modern. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5-8 Aliran-aliran filsafat modern. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9 a. Rasionalisme. . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9-10 b. Empirisme. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11-12

c. Kritisme. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .13-14 Ciri pokok Filsafat Modern. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15 Penutup. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . 16

A. PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Filsafat modern, adalah wacana filsafat yang lahir sebagai respon terhadap Suasana filsafat sebelumnya. Kefilsafatan sebelum masa modern adalah kefilsafatan yang bercorak tradisional, yang bisa diartikan berfilsafat dengan cara-cara lama, sebagaimana arti kata tradisional berbanding terbalik dengan arti kata modern yang mermakna sebagai sesuatu yang baru. Makna modern (sesuatu yang baru), mencakup segenap sendi-sendi kehidupan social dan budaya manusia yang terkait dengan dimensi materil dan spiritualnya pada seputar bagaimana cara mengetahui yang benar, kevalidan sesuatu, struktur pengetahuan itu sendiri dan implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan manusia. Lahirnya filsafat dalam ruang sejarah manusia tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Demikianpun dengan wacana filsafat modern, selain dapat diartikan sebagai filsafat yang merespon (mengkritisi, membongkar, kadang-kadang menguatkan) tradisi dalam kurun waktu tertentu, modern juga mengandung nilai-nilai kesinambungan yang kontinyu, berdasarkan keadaanya. Kebebasan berfikir selalu dibatasi oleh kekuasaan gereja, hingga kondisi ini melahirkan sebuah kegelisahan intelektual oleh para ilmuan yang

bermuara pada lahirnya revolusi berfikir yang berontak terhadap keadaan tersebut. Suasana ini menjadi latar sejarah lahirnya filsafat modern yang kelak menjadi penentu bangkitnya Eropa modern dengan segala aspeknya (renaisance). Dengan demikian filsafat modern berarti filsafat yang mengandung kebaruan berdasarkan waktunya, corak epistemologinya dan dinamika yang terjadi pada seputar metodologi dan kerakteristiknya. Untuk memfokuskankan pembahsan makalah ini, maka kami merumuskan sub-sub masalah sebagai berikut: Bagaimana latar sejarah filsafat modern dan lahirnya renaissance ? Bagaimana karakteristik filsafat modern ? Aliran-aliran pokok dalam filsafat modern ?

B. PEMBAHASAN 1. Latar Sejarah Filsafat Modern,dan Lahirnya Reneisance Sejarah filsafat terdiri dari tiga periode. Periode pertama, adalah periode klasik, sebagai kelanjutan era kuno yang dimulai dari Athena, Alexsanderia, dan pusat-pusat pemikiran Helenistik dan Roma. Periode kedua, adalah periode pertengahan dan periode ketiga, adalah periode modern yang dilanjutkan dengan periode post-modernisme. Socrates masuk pada kategori era klasik bersama para filosof lainnya, semisal Plato yang menjadi muridnya dan kemunculan Aristoteles sebagai murid dari Plato menjadi puncak keemasan era filsafat klasik. Filsafat Plato menemukan sebuah realitas sejati yang disebutnya sebagai dunia ide yang merangkum segala bentuk Kebenaran berdasarkan ide atau sisi rasionalitas manusia. Baginya realitis fisik adalah refleksi terhadap dunia ide. Berbeda dengan muridnya, Aristoteles memperkenalkan paham realisme. Menurutnya realitas adalah benda-benda konkrit yang menciptakan kesatuan antara bentuk dan subtansi. Setelah masa Aristoteles, wacana kefilsafatan menjadi redup.Kerakteristik filsafat Barat abad pertengahan adalah pembenaran terhadap otoritas Kitab. Salah seorang yang

terkenal pada masa itu adalah Thomas Aquinas (1225-1274 M), K. St. Bona Venture (12211257M). Pemikiran mereka berusaha untuk merekonsiliasi antara akal dan wahyu. Mereka berusaha menjabarkan dogma-dogma Kristen dengan ajaran filsafat. Akal pada waktu itu bagaikan hamba perempuan untuk memuaskan nafsu kelakilakian teologi Kristen. Seorang tokoh lain yang muncul pada waktu itu adalah St. Agustinus (1354-1430M) bahkan tidak percaya dengan kekuatan akal dalam mencari kebenaran apapun. Baginya kebenaran sepenuhnya terbenam, berada dalam wahyu Tuhan (teks). Singkatnya, pada masa itu, persoalan epistemologi mengalami kepiluan dan penderitaan di bawah tafsir tunggal para agamawan yang sekaligus menjadi penguasa politik pada zaman tersebut . Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan di Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh rasionalisme, empirisme, idelisme, dan positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan nonmetafisika (bukan agama) dan lahirlah babakan baru yakni babak modern yang ditandai dengan gerakan renaissance yang merentang dari abad 14 M hingga abad 16. Reneisance dalam bahasa Prancis dan Inggris berarti kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Dalam bahasa latin, kata renaissance diidentikkan dengan arti kata, nascentia, nascor, yang bermakna kelahiran, lahir, dilahirkan. Istilah ini meliputi suatau zaman di mana setiap orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Zaman tersebut menekankan otonomi atau kedaulatan manusia dalam berfikir, bereksplorasi, bereksprimen dalam mengembangkan seni sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa. Manifestasi utama dari gerakan ini adalah; gerakan humanisme, eksistensialisme dan naturalisme dengan menerjemahkan kembali sumber-sumber Yunani dan Romawi yang mengantar terbukanya pemikiran manusia terhadap illmu-ilmu baru (modern). Dalam bidang agama istilah renaissance ditandai dengan terusiknya kemapanan agama Kristen yang mengarah pada reformasi protestan.

2. Karakteristik Filsafat Moderen

Reneisance Eropa yang mengantar babak modern, memicu berkembangnya filsafat yang bercorak empirik. Akibatnya metodologipun berkembang ke induksi-eksprimentasi. Tokohtokoh yang membuka jalan ke gerbang ini antara lain adalah, Copernicus, Kepler, Galileo, Isac Newton dll. Lahirnya metodologi baru pada era ini akibat terjadinya pergeseran paradigma filsafat. Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk menentukan kebenaran, tolak ukur dan validitasnya lewat metode penginderaan-observasi, eksprimen terhadap realitas fisik melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah. Efek metode ini melahirkan teori holosentris (Copernicus), Kepler mengganti teologi langit skolastisisme dengan fisika langit. Demikian juga dengan Galileo yang menurunkan derajat alam sebagai benda yang memiliki kualitas ketuhanan menjadi benda alam yang matematis-kuantitatif (profan). Newton, sang jenius, berhasil menumbangkan kosmologi gereja yang menganut paham teologis-skolastik dengan prinsip determinisme mekanika universal. Kebebasan dan kreativitas berpikir ini menimbulkan kemarahan pihak gereja yang merasa otoritasnya terancam sehingga kaum gerejawan memilih jalan suram dengan menghukum mereka bahkan membunuhnya. Keberhasilan ilmu-ilmu empirik yang diraih pada masa Reneisans menjadikan filsafat, terutama epistemologi rasional-intuitif, mengalami kemunduran. Gereja terjebak dalam reaksi ekstrim dengan memutuskan kemampuan akal dan ilmu serta membentengi ajarannya dengan perisai kalbu dan keimanan. Sesuatu yang sangat apologis. Di sisi lain kegemilangan ilmu-ilmu alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh utamanya telah membangkitkan semangat empirisme rasional-materialistik dibidang astronomi, biologi, psikologi, sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya, berani mengatakan bahwa teori astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan hipotesis tentang peran Tuhan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Begitu juga Darwin yang menafikan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan organis, yang berjalan sendiri melalui prinsip mekanika hukum evolusi yaitu seleksi alamiah. Demikian juga dengan Freud yang memandang konsep Tuhan bagi orang-orang beragama sebagai ide ilusif karena berasal dari imajinasi ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi fenomena yang ada diluar dirinya. Sedangkan bagi Durkheim, kekuatan supranatural atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari kekuatan-kekuatan listrik yang terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia tidak bercaya pada metafisika atau Tuhan.

Menurutnya, yang lebih pantas disebut sebagai Tuhan adalah masyarakat, karena masyarakat mampu mengakomodasi hal-hal diyakini sebagai sifat-sifat Tuhan. Kemudian tak ketinggalan pula Karl Marx mengatakan agama adalah candu, konsep surga dan kerajaan Tuhan di akhirat adalah refleksi penderitaan kaum proletar sebagai manuver kaum borjuis untuk menyembunyikan realitas sosial yang sebenarnya, agar kedudukan mereka sebagai tuan tanah tetap kukuh dan memonopoli alat-alat produksi hingga mereka tetap menguasai roda ekonomi sekaligus aman dari kemarahan kaum proletar. Agama tidak lain dari konstruk borjuis bukan berasal dari dunia gaib. Demikianlah dampak dari traumatisasi masyarakat Eropa terhadap agama yang kemudian mencari penenangnya pada ilmu pengetahuan yang berubah makna tidak lebih sebagai ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial dengan menjadikan eksprimen dan observasi sebagai pisau analisis metodologis. Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan filsafat modern yang menjadi multi-aplikatif telah menghasilkan krisis budaya. Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya berjalan dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang ditandai dengan lahirnya aliranaliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia. Peradaban Eropa modern terbentang mulai dari abad -15 hingga abad ke-19 dengan watak pemberontakannya terhadap periode pertengahan. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip oleh Rodliyah Khuzai, mengemukakan lima perbedaan antara periode modern dibanding periode pertengahan. 1. Pertama, berkurangnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu. 2. Kedua, kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja.

3. Ketiga, jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science), maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu (practical Science). 4. Keempat, jika pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan. 5. Kelima, kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme. Berman mengidentifikasi tiga fase perbedaan secara historis perkembangan modernitas dari abad ke-13 hingga abad ke-18. 1. Pertama, pengalaman kehidupan modern. 2. Kedua, revolusi Prancis dan munculnya pergolakan sosial, politik, serta kehidupan individu yang berkenaan dengan gelombang revolusi besar pada 1790. 3. Ketiga, kemudian terjadi peleburan proses modernisasi dan perkembangan budaya dunia modern yang lebih mempercepat perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik yang berdampak munculnya bentuk pengalaman baru. Berman menyoroti modernitas dari sisi gejolak sosial politik yang terjadi. Dia melihat struktur masyarakat Eropa modern di bangun dari beberapa momen perubahan sosial politik yang melanda Eropa dari rentang waktu abad 13 Masehi hingga abad 18 Masehi. Gejolak sosial politik diyakini sebagai bagian dari dampak dinamis prinsip-prinsip perkembangan ilmu pengetahuan. Modernisasi juga berhubungan dengan industrialisasi. Ia petunjuk jalan untuk memperlihatkan kunci bagi modernitasi dalam mengubah kesadaran masyarakat. Dalam artian luas, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah keberanian dan pengakuan kesadaran sebagai kekuatan dalam dirinya. Dengan demikian, era modern ditandai dengan usaha manusia untuk mengoptimalkan potensi diri dalam mengindera, berpikir, dan melakukan berbagai eksprimen mengelola alam. Ciri pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar pemikiran yang dikenal dengan rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran ini, menjadi kerakteristik epistemologi Barat yang

memancing lahirnya pemikiran-pemikiran lain, semisal kritisme, fenomenologi, positivisme, postpositivisme, strukturalisme, postrukturalisme, posmoderen hingga teori kritis mazhab Frankfurt. Ragam kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut sebagai bagian dari gejala renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami demam kontras-paradigmatik.

3. Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern a. Rasionalisme Usaha kritis dalam filsafat adalah untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan manusia. Hal ini di pandang sebagai usaha manusia untuk membedakan apa yang mantap dengan apa yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun kesulitannya adalah menemukan norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri hkas dari pengetahuan yang kokoh yang membedakannya dari pengetahuan yang palsu ? Salah satu usaha radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini ialah dengan metode yang dikenal nama metode rasional. Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis yang digelar sebagai bapak filsafat modern. Setelah lama merenung ia munculkan untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada idealisme Plato. Ia melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak menerima kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti. Dalam hal, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari skeptisme absolut dimana Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan metodis Universal. Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah dengan melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan. Menurut Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia, konsekwensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun jika manusia membuang semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi yang tersisa? Dia mengatakan; Kita harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman

dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar. Bagi Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan benar, seperti oase di tengan pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata kecuali keraguan itu sendiri. Ketika segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang melakukan tindakan meragu, yaitu aku yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi. Ide seperti ini ini, clara et distincta, adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan hanya yang tak terbatas yang menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia. Dan yang sempurna itulah tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Dia-lah yang menjamin keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam jaminan Tuhan. Maka konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua obyek yang bersifat materi pastilah benar. Pada posisi ini manusia mampu memahami kebenaran secara obyektif. Oleh karena itu rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif. Descartes mengajukan tiga jenis subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi. Tuhan adalah subtansi utama yang menciptakan dua subtansi yang lain. Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena tidak dapat dibagi. Sedangkan dunia luar atau badan adalah materi yang cenderung mengalami perluasan (ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang, karenanya dapat dipecah menjadi bagianbagian kecil. Alam atau materi adalah kumpulan dari bagian-bagian kecil yang bekerja menurut hukum mekanik. Dengan demikian tubuh manusia, sebagai alam materi, seperti mesin otomatis atau arloji yang dapat bekerja sendiri meskipun lepas dari pembuatnya. Secara demikian Descartes, sebagai tokoh sentral rasionalisme modern, memandang bahwa alam materi hanya dapat dipahami dengan metode analisis, yaitu mereduksi realitas material menjadi bagian-bagian kecil dan matematika adalah bahasannya. Tuhan berlaku sebagai penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan menciptakan alam seperti seorang

menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi hubungan dengan penciptanya. Hubungan pencipta dengan yang diciptakan hanyalah berlaku sebagai hubungan pertama.

Epistemologi rasionalitas-Cartesian jelas memisahkan antara pengetahuan alam materi dengan pengetahuan alam metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui analisis, eksprimentasi, sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat metafisik berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai pencipta, selain itu tidak ada tempat untuk Tuhan. Mengenai hal ini Kennet T Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang dilain sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia seperti hantu yang merasuki sebuah mesin yang bekerja dengan hukum mekanika mesin. Pada realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang akal budi manusia yang sangat rumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya. Selain Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza (1632-1677), Lebnis (1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis tertap mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal antara alam dengan Tuhan. b. Empirisme Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat, dan tidak memberikan hal-hal yang baru bagi kehidupan.Akan tetapi perkembangan pemikiran empirisme ini di desain secara lebih sistemik oleh John Locke yang kemudian dituangkan dalam buku- nya Essay Concerning Human Understanding (1690).John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.

Menurut John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman atau aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana didapatkan melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan ide kompleks ialah refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk persepsi. Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali pada penginderaan yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan yang keliru, karenanya harus ditolak. Bagi Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu kualitas primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada benda itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain-lain. ide yang timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda secara akurat, kualitas inilah yang merupakan bagian esensial dalam kerakteristik kebenaran pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat obyektif yang dikarenakan berdasarnya nilai pada indera yang merefleksikan kualitas primer pada benda. Selain kualitas primer ide juga merupakan kualitas lain ketika mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau, rasa, suara, yang bergantung pada kemampuan persepsi manusia, karena tidak menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja meleset sehingga tidak terjamin kebenarannya. Oleh karena itu ide yang muncul dari kualitas sekunder bersifat subyektif. Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia tentang Tuhan dengan sendirinya bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang Tuhan dapat dirasakan melalui eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada hanya tercipta dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia yang bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari eksistensi yang lebih luas atau eksistensi abadi dan inilah yang disebut Tuhan. Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai eksistensi tergolang dalam kualitas sekunder, dimana kualitas sekunder mungkin saja keliru. Karena itu meskipun metode Locke mengakui ide tentang Tuhan namun ide tersebut sangatlah samar dan meragukan. Hanya sains yang jelas dan terang serta pasti, karena berangkat dari kualitas primer yang mengambarkan dunia materi secara akurat meskipun dunia yang digambarkan adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin. Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (a bundle or collection of perception). Manusia hanya mampu menangkap kesankesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap

substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja. c. Kritisme Skeptisme yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran kritis asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804). Dalam sebuah pengakuannya Kant menyataklan bahwa Hume-lah yang membangunkannya dari ketidak sadaran dogmatis yang dialaminya. Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme datang mempegaruhinya. Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan tidak menerima metodenya dengan begitu saja, karena dia menganggap emperisme membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan apa sebabnya, dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut kritisme. Kant merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari sintesis antara keduanya. Dalam pandangan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia hanya dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami hakekat dunia, tetapi tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia. Pengakuan keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu; usaha-usaha untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas. Menurutnya realitas memiliki hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus diterima tanpa ada kritikan. Oleh karena itu ia berada diluar tapal batas pengetahuan manusia, yang oleh Khan disebut noumena. Akan tetapi yang transendental itu memililki refleksi empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra dari noumena dan dapat diketahui manusia sebagai fenomena. Pengetahuan adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari pengalaman yang disebut sebagai keputusan analitik. Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang

menghasilkan keputusan sintesis. Menurut Khan, pengetahuan analitik tidak memajukan ilmu pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan jalan untuk berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya pengetahuan sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena indera hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena itu Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik yang bersifat opriori. Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat fassif menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya kedata-data inderawi. Berpikir menurut Khan tidak hanya menerima kesan inderawi, tetapi juga membuat keputusan tentang apa yang kita alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak; pertama, fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman yang membuat keputusan pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama. Fakultas pencerapan menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang dan waktu, sedangkan fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang diterima pencerapan, melalui kategorikategori apriori untuk ditata higga menjadi keputusan. Kategori yang dimaksud ialah kuantitas, kualitas, rasio dan modalitas. Karena bentuk-bentuk intelektual ini adalah apriori, ia mempuanyai sifat universal dan pasti. Kategori-kategori tersebut merupakan syarat apriori yang memungkinkan suatu keputusan tentang obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui benda-benda sebagaimana ia nampak sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk intelektual, tetapi Ia tidak dapat sampai pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant berpendapat bahwa pengetahuan tidak perlu melampaui pengalaman, karena penampakan obyek indera menjadi wilayah obyektif yang akan menyatakan pengetahuan ilmiah. Dengan mengetahui keteraturan pada dunia eksternal melalui kategori-kategori, manusia akan mengetahui secara akurat mengenai obyek sebagaimana adanya hingga fakta dapat dipahami. Dengan demikian pengetahuan bersifat obyektif karena benak manusia mampu memahaminya secara benar melalui kategori-kategori yang bersifat pasti. Pemikiran yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena dan neomena antara dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia hanya akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya, tidak mungkin

memahami Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui moral berdasarkan perasaan. Ciri pokok filsafat modern adalah: 1. pertama, bebas nilai, subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap imparsial-netral. 2. Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti keberadaan Tuhan ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual dalam kacamata positivisme dianggap nonsense. 3. Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata. 4. Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi. 5. Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan penjelasan adikodrati. 6. Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala alam bekerja secara determinis-mekanis seperti mesin.

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Suasana kefilsafatan abad pertengahan yang bercorak teosentris, dan latar belakang masyarakat Eropa yang terkekang oleh otoritas geraja, menimbulkan pemberontakan terhadap nilai-nilai (tradisi) gerejawi, menjadi penyebab lahirnya renaissance dan filsafat modern.

Karakteristik filsafat modern adalah antroposentrisme, Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk menentukan kebenaran (eksistensialisme), tolak ukur dan validitasnya lewat metode penginderaan-observasi atau eksprimen terhadap realitas fisik yang melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah. Aliran-aliran pokok dalam filsafat modern adalah, rasionalisme, empirisme, kritisme dan derivasinya.

BAB I PENDAHULUAN
Tujuan kita mempelajari studi filsafat ini akan mengetahui dunia filsafat minimal mengetahui tentang pembahasan apa yang kita bahas hari ini. Kita tidak dapat memungkiri untuk memasuki masa filsafat modern. Maka dari itu kita harus mempelajari berbagai macam tentang filsafat modern yakni salah satunya yang kita bahas tentang Aliran Filsafat modern yang kami mengambil beberapa pembahasan tentang aliran filsafat modern, yakni Aliran Rasionalisme, Aliran Empirisme, Aliran Kritisme dan Aliran Idealisme. Dari beberapa pembahasan itu tentunya memliki ciri tersendiri, dalam pembahasan ini kita akan mengetahui pengertian, cirri, serta tokoh-tokoh yang mempelopori tentang Aliran yang ada pada bagian aliran filsafat modern ini. Dengan adanya pembahasan ini, harapan kita nantinya bisa membuka pikiran kita untuk mengenali filsafat ini dan kita termotivasi untuk mempelajari apa yang akan kita pelajari dalam ilmu filsafat umum ini. Demikian penyajian tentang beberapa aliran filsafat modern, ini kami sajikan belum begitu lengkap da masih banyak yang harus di perbaiki.

BAB II PEMBAHASAN
A. RASIONALISME

1. Pengertian Rasionalisme Rasionalisme adalah paham yang mendasarkan pada rasio sebagai sumber kebenaran tertinggi, materialisme yang meletakkan materi sebagai nilai tertinggi, empirisme yang mendasarkan atas kebenaran fakta empiris (yang dapat ditangkap oleh indra manusia) serta individualisme yang meletakkan nilai dari kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan Negara. Rasionalisme ini di pelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang juga sekaligus di sebut bapak Filsafat Modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum dan kedokteran. Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus di susun oleh satu orang sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Rene Descartes yang mendirikan aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat di percaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang di peroleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang di tuntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Latar belakang rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah di terima, tetapi ternyata tidak mampu menangani hasilhasil ilmu pengetahuan yang di hadapi.

B. EMPIRISME 1. Pengertian Empirisme Empirisme adalah pengetahuan yang mendasarkan kepada kepastian dan hanya di peroleh lewat indra (empiri), dan empirilah salah satu sumber pengetahuan. Melalui empiri ini dapat menghasilkan sebuah hasil yang pasti karena tidaka hanya di pikirkan namun empiri di sini butuh pembuktian secara nyata dan benar-benar telah ada pembuktian melalui percobaan. Ada beberapa tokoh yang mempelopori aliran Empiris ini di antaranya yaitu, Thomas Hobbes (1588-1679) seorang ahli pikir dari inggris dalam tulisannya ia menyusun suatu system pemikiran yang berpangkal pada dasar-dasar empiris, di samping itu juga meneriam metode dalam ilmu alam yang matematis. Pendapat ia Filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang akibat-akibat atau tentang gejala-gejala yang di peoleh sebabnya. Sasaran filsafat adalah fakta yaitu mencari sebab-sebabnya.

Tokoh empirisme yang selanjutnya ialah John Locke (1932-1704) ia di lahirkan di Wrington Inggris. Ia menyukai filsafat dan teologi. Dalam penelitiannya ia memakai istilah sensation dan Reflection. Sensation adalah suatu yang dapat berhubungan dengan dunia luar, tetapi manusia tidak dapat mengerti dan meraihnya. Dan Reflection adalah pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada manusia yang sifatnya lebih baik dari pada sensation. Walau bagaimanapun juga manusia harus mendahulukan sensation. Hal yang demikian di karenakan manusia saat di lahirkan dalam keadaan putih bersih (Tabula rasa) yaitu jiwa itu kosong bagaikan kertas putih yang belum tertulis. Pengalamanlah yang membentuk jiwa seseorang.

C. KRITISME A. Pengertian Kritisme Kritisme adalah mengadakan penyelidikan terhadap peran ilmu pengetahuan. Yang pada mulanya di abad ke 18 menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme semakin berlanjut. Dari kedua pendapat tersebut Immanual Kant (1724-1804) mencoba untuk menyelesaikan persoalan di atas. Pada mulanya menimbulkan masalah, yang mana yang sebenarnya dikatakan sumber pengetahuan? Rasio atau Empiri yang pada awalnya berebut otonomi. Pada saat itu Kant mengikuti rasionalisme, tapi ia kemudian terpengaruh oleh empirisme. Walau demikian Kant tidak mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa empiris terkandung skep-tisisme. Kant Mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian di cobanya melakukan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber dari akal (Rasionalisme), tapi adanya pengertian timbul dari benda (Empiris). Dengan begitu artinya Kant mengevaluasi tentang kedua pendapat tersebut untuk di jadikan bahan perbandingan yang menemukan pendapatnya yaitu aliran Kritisme, ia mengkritisi dari kedua pendapat tersebut dengan menggabungkan antara Rasio dan Empiri yang menjadi aliran Kritisme. Ia menawarkan pendapatnya melalui kritisi terhadap kedua pendapat tersebut. Metode berpikirnya di sebut kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang tertinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya.

D. IDEALISME 1. Pengertian Idealisme Idealisme adalah mencari suatu dasar yakni suatu metafisika yang di temukan lewat dasar tindakan sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Titik tolak tersebut dipakai sebagai dasar untuk membuat suatu kesimpulan tentang keseluruhan yang ada. Adapun pelopor Aliran Idealisme diantaranya yaitu : J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860). Dari sekian pelopor idealism ini ada satu yang mencapai puncak perkembangannya yaitu murid dari Immanual Kant turun kepada Hegel. Hegel lahir di Jerman, yang berpengaruh begitu besar sampai di luar jerman. Menjadi seorang Profesor Ilmu Filsafat sampai meninggal. Beljar dari Kant ia merasa belum puas tentang ilmu pengetahuan yang dibatasi secara kritis. Menurut pendapatnya, segala peristiw didunia ini hanya dapat di mengerti jika suatu syarat di penuhi, yaitu peristiwa-peristiwa itu secara otomatis mengandung penjelasanpenjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbnulkan gerak lain. Artinya, gerak yang menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis, kemudian timbul tesis yang menimbulkan gerak baru, yang nantinya menimbulakn antithesis dan seterusnya. Inilah yang di sebut dengan dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala peristiwa.

E. ANALISA Dari beberapa aliran filsafat modern ini membutuhkan pemikiran yang logis di utamakan. Karena setiap pedapat mengemukakan berdasarkan apa yang dapat di terima oleh akal. Namun dari sekian aliran yang menjadi dasar Filsafat Modern adalah aliran

Rasionalisme. Karena dari aliran rasionalisme ini melahirkan pemikiran baru untuk membandingkan dan meneruskan untuk mencari kebenaran yang pasti. Ketidakpuasan dengan aliran rasionalisme ini timbul sebuah pemikiran baru untuk membuktikan dari hasil rasio ini. Dari itu maka timbul pula aliran Empirisme yang mengedepankan fakta yang mencari sebab-sebabnya. Kedua aliran tersebut membuat timbulnya masalah baru, yang mana seharusnya menjadi sumber pengetahuan? Akhirnya lahir pendapat lain yakni alira Kritisme yang menyatukan antara pertentangan rasio dan empiri. Dengan mengkritisi kedua aliran tersebut maka timbul pemikiran baru yang menyumbangkan atau menawarkan sebuah pemikiran untuk di jadikan aliran baru. Mengetahui hal ini juag ada dari beberapa ahli pikir yang belum puas dengaqn pendapat kritisme ini. Dengan alasan bahwa belum puas dengan batas kemampuan akal, karena akal murni adalah tidak akan dapat mengenal hal yang berada di luar pengalaman. Maka timbul pula pemikiran baru dengan nama alirannya yaitu aliran Idealisme yang mengedepankan pencarian suatu dasar yaitu suatu system metafisika yang di temukan lewat dasar tindakan, sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Dari pejelasan di atas dapat kita ketahui bahwa Filsafat modern ini mengedepankan kemajuan dalam hal pemikiran yang bertititik tolak pada aliran yang pertama. Pemikiran yang berkembang yang menimbulkan pemikiran baru yang di tawarkan oleh para ahli pikir.

BAB III PENUTUP


1. KESIMPULAN Rasionalisme adalah paham yang mendasarkan pada rasio sebagai sumber kebenaran tertinggi. Rasionalisme ini di pelopori oleh Rene Descartes (1596-1650) yang juga sekaligus di sebut bapak Filsafat Modern. Dengan pendapatnya pengetahuan yang di peroleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang di tuntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Empirisme adalah pengetahuan yang mendasarkan kepada kepastian dan hanya di peroleh lewat indra (empiri). Ada beberapa tokoh yang mempelopori aliran Empiris ini di antaranya yaitu, Thomas Hobbes (1588-1679) seorang ahli pikir dari inggris dalam tulisannya ia menyusun suatu system pemikiran yang berpangkal pada dasar-dasar empiris. Tokoh empirisme yang selanjutnya ialah John Locke (1932-1704) ia di lahirkan di Wrington

Inggris. Ia menyukai filsafat dan teologi. Dalam penelitiannya ia memakai istilah sensation dan Reflection. Kritisme adalah mengadakan penyelidikan terhadap peran ilmu pengetahuan. Yang pada mulanya di abad ke 18 menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme semakin berlanjut. Dari kedua pendapat tersebut Immanual Kant (1724-1804) mencoba untuk menyelesaikan persoalan di atas. Idealisme adalah mencari suatu dasar yakni suatu metafisika yang di temukan lewat dasar tindakan sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Adapun pelopor Aliran Idealisme diantaranya yaitu : J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).

2. SARAN DAN PESAN Semoga dengan sedikit penjelasan tentang aliran filsafat ini kita bisa memahami bagaimana para ahli pemikir yang memikirkankan tentang sesuatu yang ditelitinya walaupun hanya sedikit. Kami juga sebagai pemakalah dari tema ini sangat mengharapkan masukan dari teman-teman ataupun bapak yang sekaligus sebagai dosen pengampu kami untuk memberikan sedikit motivasi terhadap makalah yang kami buat ini secara bersama. Demikianlah ynag dapat kami sampaikan, kami ucapkan terimakasi

BIBLIOGRAFI
Ahmadi, Asmoro, 2010. Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Bab IPENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai. Secara historis, zaman modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke15), yang ditandai dengan munculnya gerakan Renaissance. Renaissance berarti kelahiran kembali, yang mengacu pada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia (pertengahan abad ke-14). Tujuan utamanya adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama Kristen. Selain itu, juga dimaksudkan untuk mempersatukan kembali gereja yang terpecah-pecah. Di samping itu, para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang harmonis dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik. Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang konkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk member tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar karena adanya suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya. Hal ini dibuktikan adanya perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya. Asumsi yang digunakan, semakin besar kekuasaan akal akan dapat diharapkan lahir dunia baru yang penghuninya dapat merasa puas atas dasar kepemimpinan akal yang sehat. Aliran yang menjadi pendahuluan ajaran filsafat modern ini didasarkan pada suatu kesadaran atas yang individual dan yang konkret. Bermula dari William Ockham (1295-1349), yang mengetengahkan Via Moderna (jalan modern) dan Via Antiqua (jalan kuno). Akibatnya manusia didewa-dewakan, manusia tidak lagi memusatkan pikirannya kepada Tuhan dan Surga. Akibatnya, terjadi perkembangan ilmu pengetahuan secara pesat dan membuahkan sesuatu yang mengagumkan. Di sisi lain,

nilai filsafat merosot karena dianggap ketinggalan zaman. Dalam era filsafat modern, yang kemudian dilanjutkan dengan era filsafat abad ke-20, muncullah berbagai aliran pemikiran.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Aliran Filsafat Modern Filsafat modern (abad 15 sekarang) berkembang beberapa paham yang menguatkan kedudukan humanisme sebagai dasar dalam perkembangan hidup manusia dan pengetahuan. Paham rasionalisme me-nyatakan bahwa akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh dan menguji penge-tahuan. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan menyisihkan pengetahuan indra. Menurut Rene Descartes (paham rasionalisme dan skeptisme), pengetahuan yang benar harus berangkat dari kepastian. Untuk memastikan kebenaran sesuatu, segala sesuatu harus diragukan terlebih dahulu. Keragu-raguan membuat manusia bertanya/mencari ja-waban untuk memperoleh kebenaran yang pasti (manusia harus berpikir rasional untuk mencapai kebenaran).

Pada paham empirisme, segala sesuatu yang ada dalam pikiran didahului oleh pengalaman indrawi. Pengetahuan dikembangkan dari pengalaman indra secara konkrit dan bukan dari rasio. Menurut John Locke (empirisme dan naturalisme), pikiran awal-nya kosong. Isi pikiran (ide) berasal dari pengalaman indrawi (lahiriah dan batiniah) ter-hadap substansi (benda) di alam. David Hume (skeptisme dan empirisme) mengatakan ide atau konsep didalam pikiran berasal dari persepsi (kesan terhadap pengalaman indra-wi) dan gagasan (konsep makna dari kesan) terhadap suatu substansi, bukan dari substansinya. Sementara menurut Francis Bacon, pengetahuan merupakan kekuatan untuk menguasai alam. Pengetahuan diperoleh dengan metode induksi melalui eksperi-men dan observasi terhadap suatu fenomena yang ingin

dikaji. Paham lainnya adalah idealisme yang dianut Barkeley: ada disebabkan oleh adanya persepsi; dan paham idealisme kritisisme yang dikembangkan Imanuel Kant. Menurut Kant, hakikat fisik adalah jiwa (spirit) dan pengetahuan adalah hasil pemikiran yang dihubungkan dengan pengalaman indrawi. Paham ini menggabungkan konsep rasionalisme dengan empiris-me. Paham positive-empiris (Aguste Comte) menyatakan bahwa realita berjalan sesuai dengan hukum alam sehingga pernyataan pengetahuan harus bisa diamati, diulang, diu-kur, diuji dan diramalkan. Sementara paham pragmatisme William James menyatakan kebenaran suatu pernyataan diukur dari kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (bermanfaat) dalam kehidupan praktis. Pernyataan dianggap benar jika kon-sekuensi dari pernyataan tersebut memiliki kegunaan praktis bagi manusia. Filsafat kuno dan abad pertengahan. Di masa ini, pertanyaan tentang asal usul alam mulai dijawab dengan pendekat-an rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai mengambil jarak dari objek (alam) sehingga kerja logika (akalpikiran) mulai dominan. Sebelum era Socrates, kaji-an difokuskan pada alam yang berlandaskan spekulasi metafisik. Menurut Heraklitos (535-475 SM), realita di alam selalu berubah, tidak ada yang tetap (api sebagai simbol perubahan di alam) sementara Parmenides (515-440 SM) mengatakan bahwa realita di alam merupakan satu kesatuan yang tidak bergerak sehingga perubahan tidak mungkin terjadi.

Pada era Socrates, kajian filosofis mulai menjurus pada manusia dan mulai ada pemikiran bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Beberapa filosof populernya adalah Socrates (479-399 SM), Plato (427-437 SM) dan Aristotles (384-322 SM). Socrates mendefinisikan, menganalisis dan mensintesa kebenaran objektif yang universal melalui metode dialog (dialektika). Satu pertanyaan dijawab dengan satu jawaban. Plato mengembangkan konsep dualisme (adanya bentuk dan persepsi). Ide yang ditangkap oleh pikiran (persepsi) lebih nyata dari objek material (bentuk) yang dilihat indra. Sifat persepsi

tidak tetap dan bisa berubah, sementara bentuk adalah sesuatu yang tetap. Aristoteles menyatakan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Fil-suf ini juga memperkenalkan silogisme, yaitu penggunaan logika berdasarkan analisis bahasa guna menarik kesimpulan. Silogisme memiliki dua premis mayor dan satu ke-simpulan sehingga, suatu pernyataan benar harus sesuai dengan minimal dua pernyataan pendukung. Logika ini disebut juga dengan logika deduktif yang mengukur valid tidak-nya sebuah pemikiran.

Pada abad pertengahan (abad 1213 SM) mulai dilakukan analisis rasional terha-dap sifat-sifat alam dan Allah, analisis suatu kejadian/materi, bentuk, ketidaknampakan, logika dan bahasa. Salah satu filsufnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274).Di dalam masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat Eropa (kira-kira selama 5 abad) belum memunculkan ahli fikir (filosof), akan tetapi setelah abad ke-6 Masehi, barulah muncul para ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat. Jadi, filsafat Eropa yang mengawali kelahiran filsafat barat abad pertengahan.

Filsafat Barat Abad Pertengahan (476 1492) juga dapat dikatakan sebagai abad gelap. Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad pertengahan adalah: Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles Augustinus dan Berfilsafat dengan pertolongan lain-lain.

Masa abad pertengahan ini terbagi menjadi dua masa yaitu masa Patristik dan masa Skolastik. Masa Skolastik terbagi menjadi Skolastik Awal, Skolastik Puncak, dan Skolastik Akhir.

A. Masa Patristik 1. Gambaran Umum Patristik berasal dari kata Patres (bentuk jamak dari Pater) yang berarti

bapak-bapak. Yang dimaksudkan adalah para pujangga gereja dan tokoh-tokoh gereja yang sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual kekristenan. Mereka fokus pada pengembangan teologi tetapi tidak lepas dari wilayah kefilsafatan.

2. Tokoh-tokoh terpenting Bapak Gereja terpenting pada masa itu antara lain Tertullianus (160-222), Justinus, Clemens dari Alexandria (150-251), Origenes (185-254), Gregorius dari Nazianza (330-390), Basilus Agung (330-379), Gregorius dari Nyssa (335-394), Dionysius Areopagita, Johanes Damascenus, Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus (354-430). Tertullianus, Justinus, Clemens dari Alexandria, dan Origenes adalah pemikir-pemikir pada masa awal patristik. Gregorius dari Nazianza, Basilus Agung, Gregorius dari Nyssa, Dionysius Areopagita,dan Johanes Damascenus adalah tokoh-tokoh pada masa patristik Yunani. Sedangkan Ambrosius, Hyeronimus, dan Agustinus adalah pemikir-pemikir yang menandai masa keemasan patristic Latin. Masa keemasan patristik Yunani didorong oleh Edik Milan yang dikeluarkan Kaisar Constatinus Agung tahin 313 yang menjamin kebebasan beragama bagi umat Kristen. Agustinus adalah seorang pujangga gereja dan filsuf besar. Setelah melewati kehidupan masa muda yang hedonistis, Agustinus kemudian memeluk agama Kristen dan menciptakan sebuah tradisi filsafat Kristen yang berpengaruh besar pada abad pertengahan. Karyanya yang terpenting adalah Confessiones (pengakuan-pengakuan) dan De Civitate Dei (tentang kota Allah). Agustinus menentang aliran skeptisisme (aliran yang meragukan kebenaran). Menurut Agustinus skeptisisme itu sebetulnya merupakan bukti bahwa ada kebenaran. Orang raguragu itu sebenarnya bukti bahwa dia tidak ragu-ragu tehadap satu hal yaitu bahwa ia raguragu. Orang yang ragu-ragu itu sebetulnya berpikir, dan siapa yang harus berpikir harus ada. Aku ragu-ragu maka aku berpikir, aku berpikir maka aku berada. Menurut Agustinus, Allah

menciptakan dunia ex nihilo (konsep yang kemudian juga diikuti oleh Thomas Aquinos). Artinya, dalam menciptakan dunia dan isinya, Allah tidak menggunakan bahan. Jadi, berbeda dengan konsep yang diajarkan Plato bahwa me on merupakan dasar atau materi segala sesuatu. Filsafat patristik mengalami kemunduran sejak abad V hingga abad VIII. Di barat dan timur tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir baru dengan corak pemikiran yang berbeda dengan masa patristik.

B. Masa Skolastik ( skolastik barat ) Istilah Skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, Terdapat a. b. c. d. skolastik beberapa berati aliran dari atau corak yang khas corak teologi atau berkaitan skolastik, dengan sebagai sekolah. berikut :

pengertian yang

Filsafat Filsafat Suatu Filsafat yang sistem

mempunyai pada

semata-mata filsafat pengetahuan oleh yang alam ajaran

agama. rasional. kodrat. gereja.

mengabdi filsafat yang

termasuk banyak

jajaran

Nasrani

karena

dipengaruhi

Dalam perkembangannya, periode skolastik Kristen terbagi menjadi tiga masa. Yaitu, Skolastik Awal (abad 9 12 M), Skolastik Keemasan (abad 1314 M), dan Skolastik Akhir (abad 1415 M).

Setiap masa memiliki cirinya masing-masing. Skolastik awal ditandai dengan kebangkitan pemikiran dari kungkungan gerejawan yang telah membatasi filsafat. Atau, setidaknya mengarahkan filsafat agar sesuai dengan doktrin-doktrin agama. Walaupun filsafat belum sepenuhnya lepas dari pemikiran teologi kristiani. Masa skolastik keemasan, kajian pemikiran Aristoteles jadi ciri utama. Seiring dengan menjamurnya kajian pemikiran para filosof klasik (Yunani) di dunia Islam, filosof di Eropa juga ikut terpengaruh. Mereka turut serta memperdalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Tampak dari semakin banyaknya universitas

pendidikan

ilmu

pengetahuan

yang

dibuka.

Tokoh-tokoh terpenting pada masa skolastik adalah Boethius (480-524), Johanes Scotus Eurigena (810-877), Anselmus dari Canterbury (1033-1109), Petrus Abelardus (1079-1142), Albertus Agung (1205-1280), Thomas Aquinos (1225-1274), Johanes Duns Scotus (12261308), Guliemus dari Ockham (1285-1349), dan Nicholaus Cusanus (1401-1464). Johanes Scotus Eurigena mengajar di sekolah istana yang didirikan oleh Karel Agung. Anselmus adalah seorang uskup yang terkenal dengan semboyan Credo Ut Intelligam (saya percaya agar saya mengerti). Artinya, dengan percaya orang akan mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang Allah.

Thomas Aquinos dijuluki pangeran masa skolastik. Ia adalah seorang biarawan ordo dominikan, mengajar di Paris, Jerman, dan Italia. Thomas Aquinos berpendapat bahwa filsafat harus mengabdi teologi, waktu itu dikenal ungkapan Philosophia Est Ancilla Theologiae. Manusia dapat mengenal Allah dengan menggunakan rasio. Tetapi, pengenalan itu hanya melalui ciptaan-ciptaan. Thomas membuktikan adanya Allah melalui rangkaian argumentasi yang dikenal dengan Quinqae Viae (Lima Jalan) yaitu: Gejala adanya perubahan atau gerak Gejala sebab dan akibat Gejala kontingensiAdanya hierarki kesempurnaan Finalitas dunia Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa merupakan forma dan tubuh merupakan materinya. Keduannya tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu substansi.

Pada skolastik akhir, terjadi stagnansi pemikiran filsafat. Menurunnya minat berfilsafat dan nyaris tidak ada pemikiran original yang terlahir. Sebagian besar pemikiran filsafat pada masa ini hanya mengikuti pemikiran-pemikiran para filosof sebelumnya.

Keadaan ini akhirnya menjadi salah satu sebab dimulainya pemikiran filsafat pada fase berikutnya, yaitu filsafat modern. Ditandai dengan munculnya renaissance sekitar abad XV

dan XVI M. Yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi secara paripurna. Pengaruh Filsafat Abad Pertengahan terhadap Pemikiran Islam

Latar belakang dimulainya filsafat abad pertengahan adalah sikap ekstrem para pemuka agama Nasrani di dunia Barat (Eropa) pada 476-1492 M. Pada masa ini, para pemuka agama Nasrani (pihak gereja) membatasi aktivitas berpikir para filosof. Berdalih keimanan, segala potensi akal yang bertentangan dengan keyakinan para gerejawan, dibabat habis. Para filosof dianggap murtad, dihukum berat (dikucilkan) hingga hukuman mati.

Akibatnya, ilmu pengetahuan terhambat dan nyaris tidak berkembang. Semuanya diatur oleh doktrin-doktrin gereja yang berdasarkan keyakinan buta (fanatik). Sehingga, filsafat abad pertengahan disebut juga dengan nama abad kegelapan. Masa saat peradaban manusia dikungkung oleh banyak ketidaktahuan.

Namun, fakta sejarah ini tidak berlaku di dunia Islam (Timur Tengah). Islam mulai disiarkan oleh Nabi Muhammad SAW ( lahir pada 20 April tahun 571 M ) sekitar tahun 612 di Mekkah. Setelah ia mendapatkan wahyu ketika ia berusia 40 tahun ( 611 M ). Karena penyebaran agama baru ini mendapat tantangan dari lingkungannya, Muhammad kemudian pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh dunia. Sampai tahun 750, wilayah Islam telah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Afrika Utara, Irak, Suriah, Persia, Mesir, Sisilia, Spanyol, Asia Kecil, Rusia, Afganistan, dan daerah-daerah di Asia Tengah. Pada masa ini yang memerintah ialah Bani Umayyah dengan ibu kota Damaskus. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.

Berpusat di Bagdad, peradaban manusia tumbuh subur seiring dengan perkembangan filsafat yang pesat. Di sini, filsafat tidak dianggap sebagai ancaman. Bahkan, filsafat jadi sumbu utama maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan (science) dan teknologi. Bermitra

harmonis

dengan

nilai-nilai

agama.

Bagdad sebagai pusat peradaban Islam, dikenal sebagai negeri 1.001 malam karena tingginya perababan yang dimiliki. Bagdad pun dikenal memiliki perpustakaan terbesar di dunia pada saat itu. Lebih dari satu juta buku tersimpan.

Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dbahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya. Skolastik Islam ( Skolastik Timur ) Ciri utama dari skolastik Islam adalah dikajinya kembali pemikiran para filosof klasik, seperti Socrates, Plato, dan terutama Aristoteles. Telaah-telaah pemikiran mereka, kemudian dikembangkan dan disesuaikan untuk menjawab tantangan pada masa itu.

Para ahli fikir skolastik Islam di antaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ar-Razi, Ibnu Sina, AlGazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Di tangan para filosof skolastik Islam ini, sumbangan pemikiran dari para filosof sebelumnya (filosof klasik), dapat dipahami dan dikaji lebih mendalam. Termasuk jadi bahan utama perkembangan filsafat di Eropa, yaitu berkontribusi dalam periode skolastik Kristen. Dan, memberikan spirit kebebasan berpikir para filosof. Diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M. Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafat praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak hadirnya agama Islam dan

munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam. 1. Mashab Mu'tazila (725 - 850 - 1025 M) Meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia. Mashab Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan kacamata rasionalis.

2. Mashab falsafah pertama (830 - 1037 M) Berhaluan neoplatonis dan aristoteles. Kata "falsafah" dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), alRazi (865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M) dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli masalah klasik "perbedaan antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal sematamata". Ibn Sina (Avicenna) berusaha menggabungkan filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme. Dia menganut ajaran manansi plotinos, dan mengatakan Allah menyelenggarakan dunia

secara tidak langsung melalui intelek aktif yang berasl dari intelek pertama. 3. Mashab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ashari Berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash'ari (873935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M). Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq. Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. "Bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai keadilanNya". Dalam "Al-Tahafut al-filasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal tiada tempat dalam agama. 4. Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (11001138 M), Ibn Tufail (? - 1185), dan Ibn Rushd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 - 1195 M) ini. Ciri para filsuf ini pada

umumnya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.

Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah. Ibnu Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana. Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rushd melihat filsafat sebagai "sahabat al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini. Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama. Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang buku seberat sosok mayatnya". Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki "Sang Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh

Ibn Rushd yang oleh karena itu mendapat julukan "Sang Komentator". Sebagai akibatnya, obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.

Pengaruh Filsafat Abad Pertengahan terhadap Filsafat Modern. Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapiharus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama.

Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial. Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari

kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran. Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (16321704). Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna. Di tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M.

Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains. Meskipun demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, yaitu David Hume (1711-1776). Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau (17121778) berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.

Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme

Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme.

Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama. Sementara di Inggris, Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan Henry Sidgwick (1838-1900). Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara.

Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.

Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.

Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895) membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib. Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.

2.2 Pokok Ajaran Filsafat Modern Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Asal filsafat ada tiga, yakni keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. Sesungguhnya pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Perkembangan filsafat terdiri dari berbagai zaman yang

merupakan usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik (Yunani Romawi). Pada zaman modern ini manusia dianggap sebagai titik focus dari kenyataan.

2.2.1

Rasionalisme Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti. Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keiginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik tolak pemikiran yang pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, Cogito ergo sum (saya ragu-ragu berarti saya berpikir, dan oleh karena itu saya ada). Jelasnya, bertolak dari keragua untuk mendapat kepastian.

2.2.2

Empirisme Karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal ini terjadi karena filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan . pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar hanya diperoleh lewat indera, dan inderalah satu-satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama empirisme. Empirisme berasal dari kata empeira yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman. Jadi empirisme merupakan pandangan atau sikap yang menekankan pada peranan pengalaman dalam mencari pengetahuan.

2.2.3

Kritisme Filsafat kritisme disebut juga filsafat zaman pencerahan (Aufklarung), muncul abad ke-18 dimana lahirnya filsafat kritisme ini dilatarbelakangi pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Dan seorang ahli pikir dari Jerman mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan sebuah analisa. Akhirnya ia mengakui peranan akal dan keharusan empiri, kemudian dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri).

2.2.4

Idealisme Peristiwa di dunia ini hanya dapat dimengerti apabila suatu syarat dipenuhi, yaitu jika peristiwa-peristiwa itu sudah secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Artinya geraka yang menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang bertentangan), kemudian muncul sintesis yang merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan antithesis dan seterusnya. Inilah yang disebut dengan dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala peristiwa.

2.2.5

Positivisme Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalamanpengalaman objektif. Jadi setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut diatur agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.

2.2.6

Materialisme

Filsafat materialisme berpandangan bahwa hakikat materialisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Pandangan materialisme banyak persamaannya dengan naturalisme. Bahkan ada filsuf yang menyamaka keduanya, khususnya yang disebut dengan naturalisme materialistis. Hal ini didasarkan pada beberapa alas an. Pertama karena pandangan materialism banyak kaitan dan persamaannya dengan rumpun ilmu-ilmu alam. Kedua karena sama-sama menentang filsafat moral dan agama. Tidak ada kejadian yang tidak dapat diteliti secara alamiah. Apa yang disebut alamiah atau riil pastilah mempunyai sifat atau wujud material atau fisik, sekalipun mungkin tampaknya tidak demikian kepada kita. Dengan demikian, sintesis kedua paham ini beranggapan bahwa apapun yang ada, pada akhirnya dapat dikembalikan kepada materi. 2.2.7 Pragmatisme Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya tindakan atau perbuatan dimana pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka filsafat pragmatism berarti suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikn dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. 2.2.8 Ekstensialisme Ekstensialisme berasal dari kata ekstensi dimana ekstensi ini berasal dari kata eks yang berarti ke luar dan sistensi atau sisto yang berarti berdiri. Jadi ekstensialisme berarti berdiri dengan keluar dari diri sendiri yang berarti manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya. Ekstensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia. 2.2.9 Marxisme Marxisme adalah aliran filsafat yang ditunjukan kepada ajaran Karl Marx. Aliran marxisme lahir dari suatu pertemuan dari tempat-tempat Karl Marx dalam sejarah ide-ide dan

suatu detik sejarah perjuangan kelas-kelas yaitu kelahiran gerakan tubuh. Ajaran filsafat Karl Marx disebut juga materialism diakletik dan disebut juga materialism historis. 2.2.10 Antiteisme atau Ateisme Anti Teisme atau ateisme merupakan aliran filsafat yang ingin mewujudkan sejarah manusia tanpa Tuhan. Dalam aliran ini Tuhan dan agama dipandang sebagai formula jahat yang diterapkan dalam setiap fitnah melawan manusia di dunia. Pokok-pokok filsafatnya mengenai kehendak manusia, manusia sempurna, dan kritikan terhadap agama. 2.2.11 Filsafat Hidup Aliran filsafat ini lahir akibat dari reaksi dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan industrialisasi semakin pesat. Hal ini mempengaruhi pola pikir manusia. Peranan akal pikiran hanya digunakan untuk menganalisis sampai menyusun suatu sintesis baru. Bahkan alam semesta atau manusia dianggap sebagai mesin yang tersusun dari beberapa komponen dan bekerja sesuai dengan hukum-hukumnya.

2.3 Para Ahli Pendukung Filsafat Modern Dengan adanya aliran-aliran filsafat modern, barang tentu ada pula para ahli yang melatarbelakangi lahirnya aliran filsafat tersebut. Dan seiring berkembangnya aliran-aliran filsafat tersebut, bertambah pulalah pendukung teori-teori yang dikemukakan setiap aliran. Dan beberapa nama yang terkenal dalam lingkup filsafat modern antara lain Rene Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677), dan G. Leibniz (1646-1716). 2.3.1 Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650) Beliau disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran. Beliau adalah pendiri aliran filsafat rasionalisme dengan semboyan yang terkenal adalah Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada)

Spinoza (1632-1677) Filsuf ini mempunyai nama asli Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Spinoza ternyata mengikuti pemikiran Descartes. Tokoh ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok dalam metafisikanya dan juga mengikuti metode Descartes.

Leibniz (1646-1716) Memiliki nama lengkap Gottfried Eilhelm von Leibniz, ia adalah seorang filsuf yang berasal dari Jerman, juga seorang matematikawan,fisikawan, dan sejarawan. Baginya, pusat metafisika adalah ide tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monade. Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Menurut Leibniz, alam semesta ini adalah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, sesuatu harus mempunyai alasan.

2.3.2

Empirisme Thomas Hobbes (1588-1679) Beliau seorang ahli pikir Inggris yang dalam pendidikannya gagal dalam belajar logika Skolastik dan fisika, karena ia lebih tertarik mengikuti jejak gurunya yang beraliran Aristotelian. Sumbangan terbesar sebagai seorang ahli pikir adalah suatu system materialistis yang besar, termasuk juga perikehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang kenegaraan ia mengemukakan teori Kontrak Sosial.

John Locke (1632-1704) Seorang ahli hukum kelahiran Inggris yang menyukai filsafat dan teologi, juga mendalami ilmu kedokteran dan penelitian kimia. Dalam mencapai kebenaran, sampai seberapa jauh (bagaimana) manusia dapat memakai kemampuannya.

Beliau terkenal dengan istilah sensation dan reflection yang digunakan dalam penelitiannya. Beliau beranggapan bahwa tiap pengetahuan yang diperoleh manusia terdiri dari sensation dan reflection. 2.3.3 Kritisme Immanuel Kant (1724-1804) Kant adalah penyempurna filsafat zama pencerahan (Aufklarung). Ia berusaha mendamaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa Kant membagi filsafat menjadi empat bagian (cabang) yaitu : 2.3.4 Metafisika yang menjawab pertanyaan Apakah yang dapat saya harapkan dari hidup ini? Epistemologi yang menjawab pertanyaan Apa yang dapat saya ketahui? Antropologi yang menjawab pertanyaan Apakah yang boleh saya perbuat? Etika yang menjawab pertanyaan Apakah yang boleh saya perbuat? Idealisme George Berkeley (1685-1753) J. G Fichte (1762-1814) dan F.W.J Schelling (1775-1854) Mereka berpendapat bahwa seluruh realitas (kebenaran) adalah bersifat subjektif. Pengertian subjek disini tidak hanya mengacu pada persona tertentu, tetapi yang lebih pokok dan utama adalah mengacu pada Aku (ego) Absolut atau ditinjau dari sudut agama yang disebut Tuhan. Hanya dengan adanya dunia mejadikan Aku aktif dan mempunyai arti etis. Baik Aku maupun Bukan Aku, tidak merupakan dualism mutlak, sebab keduanya dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu Aku Mutlak (Ego Mutlak). Hegel (1770-1831) Hakikat roh adalah ide yang berpikir. Dan hakikat ide yang berpikir adalah gerak. Gerak yang terjadi (sebagai tesis) bukan merupakan gerak yang berjalan lurus, tetapi gerak yang

menimbulkan gerak lain yang berlawanan (anti tesis). Adanya tesis dan anti tesis ini menimbulkan gerak baru sebagai suatu sintesis. Susuai dengan dialektika roh, maka filsafat Hegel disususn menjadi tiga tahap yaitu : Tahap pertama ketika roh berada dalam dirinya sendiri yang disebut logika. Tahap kedua ketika roh keluar dari dirinya sendiri, sehingga roh berada dalam keadaan yang berbeda dengan dirinya sendiri dan disebut filsafat alam. 2.3.5 Tahap ketiga ketika roh kembali pada dirinya sendiri dan disebut filsafat roh. Positivisme August Comte (1798-1857) Seorang filsuf kenamaan dari Perancis yang terkenal sebagai Bapak Sosiologi. Menurut pendapat Beliau perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap, tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap ilmiah/positif. Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga di bidang ilmu pengetahuan. 2.3.6 Materialisme Tokoh dalam aliran ini adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872). Menurutnya hanya alamlah yang ada. Manusia adalah alamiah juga. 2.3.7 Pragmatisme William James (1842-1910) Menurut pandangan Beliau, tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman mengatakan apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. John Dewey (1859 M) Sebagai penganut filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan dalam tindakan hidup manusia. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis dan tidak ada faedahnya.

2.3.8

Ekstensialisme Soren Kierkegaard (1813-1855) Pemikirannya bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada dalam eksistensi yang individu, yang konkret. Karena eksistensi manusia penuh dengan dosa, hanya iman kepada Kristus sajalah yang dapat mengatasi perasaan bersalah karena dosa.

Martin Heidegger (1905 M) Menurutnya, keberadaannya hanya akan dapat dijawab melalui jalan antologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode ini disebut dengan metode fenemologis. Jadi dalam hal ini yang terpenting adalah menemukan arti kebenaran itu.

J.P Sartre (1905-1980) Eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini sanga janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya terlebih dahulu sebelum kebenarannnya. Filsafat ekstensialisme membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan kata lain filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya.

2.3.9

Marxisme Tokoh dalam aliran ini adalah Karl Marx, ia adalah seorang filsuf yang mencontoh beberapa metode dari Hegel dan Feuerbach. Dari Hegel ia mengambil metode dialektika dan dari Feuerbach ia mengambil metode materialism. Marx beranggapan bahwa dalam masyarakat komunis dengan sendirinya agama akan lenyap, karena agama merupakan ekspresi kepapaan manusia. Menurutnya, agama adalah candu rakyat.

2.3.10 Antiteisme atau Ateisme Tokoh filsafat dalam aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1890). Pokok-pokok filsafatnya diantaranya merupakan dasar dan sumber tingkah laku manusia. 2.3.11 Filsafat Hidup

Henri Bergson (1859-1941) Pemikirannya alam semesta ini merupakan suatu organisme yang kreatif, tetapi perkembangannya tidak sesuai dengan implikasi logis. Hanya beberapa yang berhasil membentuk suatu organisme kreatif dan mempunyai daya hidup (elan vital). Dengan adanya elan vital tersebut diharapkan manusia akan mampu melahirkan segala tindakannya.

2.4 Keterkaitan Filsafat Modern dengan Filsafat Dewasa Ini Filsafat modern dimulai pada zaman Descartes dimana ia berkiblat pada paham rasionalisme, hingga berkembang pada paham-paham dibawahnya. Sekarang ini terdapat dua aliran pemikiran filsafat yang mempunyai pengaruh besar, tetapi aliran-aliran ini belum dapat dikatakan sebagai aliran yang membuat sejarah. Hal ini terjadi karena aliran-aliran ini masih dianggap baru. Sesungguhnya filsafat modern jika dikaitkan dengan filsafat dewasa ini memiliki kedudukan yang sama, karena pada filsafat dewasa ini, juga terdapat atau terselip ajaranajaran dari aliran filsafat zaman modern. Hanya saja, ajaran-ajaran tersebut mengalami lebih banyak sintesis, sehingga kuantitas dari aliran filsafat dewasa ini cenderung lebih sedikit. Namun secara kualitas, lebih banyak memunculkan analisis-analisis baru yang mendukung ajaran-ajaran aliran filsafat zaman modern. Dan wajarlah jika filsafat dewasa ini dikatakan sebagai pelengkap atau bahkan penyempurna dari ajaran filsafat zaman modern.

BAB III

PENUTUP

Filsafat Modern, dimana Istilah modern berasal dari kata latin moderna yang artinya sekarang, baru atau saat kini. Dari pengertian dasar tersebut kita dapat mengasumsikan bahwa didalam kehidupan modern muncul kesadaran waktu akan era yang baru. Pada zaman modern filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak keseluruhan filsafat modern itu mengambil warna pemikiran filsafat sufisme Yunani, sedikit pengecualian pada Kant. Paham paham yang muncul pada garis besarnya adalah rasionalisme, idealisme, dan empirisme. Dan paham-paham yang merupakan pecahan dari aliran itu. Descartes, Spinoza, Leibniz, Kant, Hegel, August Comte dan John Dewey adalah beberapa nama dari ahli-ahli yang mempelopori dan mendukung teori-teori aliran filsafat modern. Selain nama-nama tersebut, masih banyak ahli yang turut berpartisipasi mendukung teori yang lahir di zaman filsafat modern. Filsafat yang lahir di zaman sekarang, sebenarnya tidak berbeda jauh dari filsafat zaman modern. Karena pada dasarnya, filsafat yang muncul di masa sekarang merupakan pengembangan dari ajaran filsafat yang telah ada di zaman filsafat modern, dan kini mengalami sintesis yang menjadikan jumlahnya menjadi relative lebih sedikit daripada aliran filsafat zaman modern.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 1994. Filsafat Umum. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta. Rineka Cipta. Poedjawijatna. 1986. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta. Bina Aksara

Rindjin, Ketut. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Jakarta. Ganeca Exact Bandung. http://munzaro.blogspot.com/2010/06/mengenali-prinsip-prinsip-dasar.html http://amma06.blogspot.com/2009/02/tokoh-tokoh-filsafat-modern.html

You might also like