You are on page 1of 22

*)

TEKNOLOGI PENGELOLAAN KUALITAS AIR


**)
Oleh : Sugeng Abdullah, SST, M.Si.

Latar belakang

UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 16 (b) dan Pasal 23 (1)
menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten / Kota memiliki kewenangan dan tanggung
jawab dalam hal pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan kualitas air serta
pengendalian pencemaran air di wilayahnya. Untuk merealisasikannya maka pengelolaan
kualitas air harus dapat melibatkan semua komponen masyarakat, sehingga dapat
diperoleh hasil yang optimal. Dengan demikian kualitas air yang ada di Kabupaten /
Kota yang bersangkutan akan selalu sesuai dengan harapan penggunaanya.
Penggunaan air (badan air) sesuai peruntukannya menurut PP No.82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Pasal 8 adalah
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kelas satu, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
2. Kelas dua, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
3. Kelas tiga, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas empat, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.

*) Makalah ini disajikan dalam rangka Pelatihan Fasilitasi Teknologi Ramah Lingkungan,
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas, Tanggal 6 - 7 September 2006.
**) Lektor pada Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto, Politeknik Kesehatan Semarang.

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.1


Di dalam kenyataanya kerap terjadi bahwa kualitas air dari badan air dimaksud
sudah mengalami penurunan akibat kehadiran beragam polutan. Bahkan pada beberapa
kasus, kualitas air badan air dimaksud telah berada di bawah ambang bakumutu, yang
berarti telah terjadi pencemaran.
Apabila telah terjadi pencemaran badan air atau kualitas air menurun di bawah
ambang baku mutu, maka diperlukan upaya penanganan yang menyeluruh untuk
mengembalikan kualitas air sesuai kelas peruntukannya. Salah satu upaya untuk
menangani hal tersebut adalah melalui pendekatan teknik / teknologi.
Teknik pengelolaan kualitas air pada hakekatnya dapat diterapkan dalam
bentuk pencegahan terjadinya pencemaran pada sumber air (badan air) melalui
pengendalian pembuangan limbah. Dalam pengendalian pembuangan limbah lazim
dilakukan dengan pembatasan-pembatasan tentang jumlah limbah dan konsentrasi
polutan yang boleh dibuang ke alam.
Pengendalian pembuangan limbah ke alam (badan air) yang bersifat
menyeluruh dan dinamis adalah dengan penentuan daya tampung beban pencemaran
(sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang
Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Pada Sumber Air).
Penentuan daya tampung beban pencemaran badan air, memiliki konsekwensi
adanya pembatasan beban pencemaran dari suatu pabrik atau industri. Pembatasan beban
pencemaran dapat diartikan sebagai pembatasan jumlah limbah dan konsentrasi bahan
pencemar yang boleh dibuang ke badan air dimaksud.
Adanya pembatasan tersebut “memaksa” pabrik / industri untuk mengurangi
jumlah limbah dan konsentrasi polutan melalui mekanisme proses pengolahan limbah.
Idealnya, pabrik / industri itu tidak menghasilkan limbah atau sangat sedikit
menghasilkan limbah (clean production). Akan tetapi bila hal demikian tidak
memungkinkan, maka satu-satunya jalan adalah melakukan pengolahan limbah (end of
pipe treatment).

Teknologi pengolahan air limbah

Kebijakan pengelolaan kualitas air dengan menganjurkan pembangunan IPAL


(Instalasi Pengolahan Air Limbah) sering dikritik sebagai teknologi sunset, yakni
teknologi yang kuno dan hampir tenggelam. Namun demikian, hanya cara inilah yang bisa

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.2


dilakukan apabila belum dapat menerapkan teknologi yang bebas limbah. Melalui
pembangunan IPAL pada setiap pabrik / industri, diharapkan kualitas air limbah yang
dibuang ke alam akan menjadi lebih baik bahkan bisa lebih baik dari ambang bakumutu
yang ditetapkan oleh pemerintah. Efek berikutnya berupa kualitas air di lingkungan
(badan air) akan selalu terjaga dan bebas dari pencemaran.
Teknologi pengolahan limbah cair (air limbah) yang telah dikembangkan
dewasa ini secara garis besar dibagi menjadi 3 metode pengolahan, yaitu (a) pengolahan
secara fisika, (b) pengolahan secara kimia dan (c) pengolahan secara biologi . Dalam
prakteknya ketiga metode pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara sendiri-sendiri
atau secara kombinasi, tergantung dari karakteristik limbah yang diolah.

Pengolahan secara fisika

Pengolahan limbah secara fisika pada dasarnya untuk memisahkan padatan


kasar yang terapung atau melayang. Cara fisika juga dimanfaatkan untuk untuk
memisahkan antara padatan dan cairan. Secara umum unit pengolah limbah secara fisika
meliputi fungsi untuk penapisan (screening), pengendapan (sedimentation / presipitation),
pengapungan (floatation), penyaringan (filtration), pemisahan sentrifugasi
(centrifugation) dan penguapan (evaporation).
Beberapa diantara unit pengolahan air limbah secara fisika yang banyak
dijumpai adalah sebagai berikut :
1. Screen atau bar screen & bar rack adalah merupakan saringan benda kasar
berbentuk pagar jeruji besi. Berguna untuk memisahkan padatan terapung dan
melayang seperti sampah-sampah padat yang ada dalam air limbah. Untuk
pengambilan sampah-sampah yang terkumpul dapat dilakukan dengan cara
konvensional oleh petugas atau dengan cara mekanis yang otomatis.
2. Sedimentation / presipitation berupa unit grit chamber (bak penangkap pasir) dan
clarifier / sedimentation tank (bak pemisah / pengendap) atau unit thickener
(pemekatan). Unit ini berfungsi untuk memisahkan partikel utuh (discreet) seperti
pasir dan juga untuk memisahkan padatan melayang (suspensi) yang sudah
menggumpal. Penggumpalan pertikel susupensi ini dapat disebabkan karena proses
alamiah atau proses penambahan bahan kimia atau proses biologis (lumpur aktif).
3. Flotasi atau pengapungan banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang
mengapung seperti minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.3


berikutnya. Unit pengolah air limbah dengan cara ini dikenala dengan oil sparator
atau greestrap. Flotasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan
tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening)
dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).
4. Filtrasi atau penyaringan. Ada 3 (tiga) macam proses penyaringan yaitu filtrasi
konvensional , fitrasi membran dan dewatering. Filtrasi konvesional dibedakan
berdasarkan tingkat kecepatan penyaringan yaiti filtrasi lambat, filtrasi cepat. Dalam
filtrasi cepat biasanya dipakai dengan sistem gravitasi atau sistem tekanan. Media
untuk filtrasi konvensional yang umum digunakan adalah pasir, kerikil, arang aktif ,
antrasit, zeolit. Penggunaan arang aktif, antrasit dan zeolit juga bermanfaat ganda
berupa penghilangan bau dan kesadahan air (hardness). Filtrasi membran meliputi
filter mikro, filter ultra, reverse osmosa dan dialisis elektris. Dewatering merupakan
unit pengolah air limbah yang berfungsi untuk mengurangi kadar air (dalam lumpur
limbah) berupa filter vacum rotasi, filter tekan / press dan belt press.
Proses filtrasi di dalam pengolahan air limbah, biasanya dilakukan untuk
mendahului proses adsorbsi atau proses reverse osmosis, akan dilaksanakan untuk
menyisihkan sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak
mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam
proses osmosa.
Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan
senyawa aromatik (misalnya: fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama
jika diinginkan untuk menggunakan kembali air buangan tersebut.
Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit
pengolahan kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali
air yang diolah. Sekarang, teknologi ini mengalami kemajuan yang pesat dan sudah
banyak dipakai oleh masyarakat untuk pengolahan air minum isi ulang. Harganya
juga sudah jauh lebih murah dibanding 5 – 10 tahun lampau.
5. Sentrifugasi merupakan teknik memisahkan padatan dengan air dengan cara
pemusingan. Dikenal ada 2 (dua) macam sentrifugasi yaitu dehidrasi dan presipitasi.
6. Penguapan (evaporasi) merupakan upaya memisahkan padatan dan air menggunakan
energi panas melalui proses distilasi. Cara ini tidak begitu populer untuk pengolahan
limbah pabrik / industri pada umumnya. Akan tetapi mulai diterapkan untuk
mengolah limbah nuklir / radiasi yang berupa cairan. Sesungguhnya pengolahan

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.4


limbah dengan cara evaporasi / distilasi ini memiliki potensi yang sangat besar bila
memanfaatkan energi panas dari sinar matahari.
Beberapa riset yang telah dilakukan, diketahui bahwa distilasi menggunakan
energi panas matahari mampu menyuling air dengan kuantitas yang beragam, seperti
diperlihatkan pada tabel berikut :

Tabel : Produksi air tawar distilator tenaga surya pada berbagai penelitian
NO PENELITIAN PRODUKSI AIR TAWAR

1. NN (1996) 4,66 liter/hari/m2


2. Kimpraswil (2005) 6-8 liter/hari
3. Marsum, dkk. (2004) 4,161 liter/hari/m2
4. Sugeng Abdullah (2005) 3,866 liter/hari/m2
Sumber : Abdullah, S. (2005)

Pengolahan secara kimia

Pengolahan air limbah secara kimia bertujuan untuk menghilangkan partikel-


partikel yang tidak mudah mengendap (suspensi dan koloid), logam-logam berat,
senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan menambahkan bahan kimia tertentu,
sehingga terjadi perubahan sifat. Perubahan sifat dimaksud antara lain meliputi perubahan
keasaman (pH), perubahan dari tidak bisa mengendap menjadi bisa mengendap,
perubahan dari beracun menjadi tidak beracun, dll.
Bahan kimia yang biasa digunakan untuk pengolahan air limbah antara lain
kapur, tawas, ferichlorida, PAC, kaporit, PK (kalium permanganat), hidrogen peroksida,
asam sulfat, dll. Penggunaan bahan kimia tersebut dalam pengolahan air limbah secara
kimia, terutama untuk kepentingan sebagai berikut :
1. Netralisasi, upaya ini pada dasarnya adalah untuk mengatur keasaman (pH) menjadi
netral (pH mendekati nilai 7). Untuk pengaturan keasaman air limbah, bahan kimia
yang lazim digunakan adalah larutan kapur (CaCO3) dan asam klorida (HCl).
Netralisasi dibutuhkan sebagai persyaratan untuk pengolahan tahap berikutnya,
misalnya koagulasi & flokulasi atau untuk pengolahan cara biologi. Netralisasi dalam
pengolahan cara biologi dimaksudkan untuk mengatur keasaman dan menghilangkan
bahan beracun.
2. Koagulasi & flokulasi adalah proses pencampuran bahan kimia kedalam air limbah
melalui pengadukan dengan kecepatan tertentu, sehingga terjadi proses destabilisasi

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.5


pada partikel melayang (suspensi dan koloid). Selanjutnya akan terbentuk gumpalan
(flok) dan akhirnya dapat mengendap. Bahan kimia yang dipakai untuk proses ini
dikenal dengan sebutan koagulan, antara lain berupa tawas (Al2[SO4]3), Ferichlorida
(FeCl3), Ferosulfat (FeSO4) PAC (Poly Aluminium Chlorida).
Keberhasilan proses koagulasi & flokulasi ini sangat dipengaruhi oleh (a) jenis
konsentasi pencemar (partikel) pada air limbah, (b) dosis koagulan, (c) kecepatan dan
lama pengadukan, (d) keasaman (pH) air limbah dan (e) temperatur air limbah.
Gambaran tentang dosis koagulan yang dipandang optimum untuk pengolahan air
limbah adalah sebagai berikut:

Sumber : Novita ( Abdullah, S., 2006)

3. Oksidasi dan/ atau reduksi, misalnya diterapkan untuk krom heksavalen (Cr6+),
sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3 ], terlebih dahulu direduksi
menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5 ).
Penghilangan bahan organik beracun pada konsentrasi rendah dapat dilakukan dengan
mengoksidasinya dengan klor (Cl ), kalsium permanganat, aerasi, ozon, hidrogen
peroksida.
Oksidasi tidak hanya dilakukan dengan bahan oksidator kimia seperti klor (Cl),
kalsium permanganat, aerasi, hidrogen peroksida, tetapi bisa menggunakan udara
yang dikontakkan dengan air limbah (aerasi), atau menggunakan cara elektrolisis
(electro coagulation), ozonisasi, sinar ultra violet, teknologi plasma. Ozonisasi, ultra
violet dan teknologi plasma dewasa ini juga telah berkembang pesat, sehingga sangat
potensial untuk dimanfaatkan dalam upaya pengelolaan kualitas air.
4. Adsorbsi dimaksudkan untuk menjerap senyawa-senyawa tertentu. Misalnya
penggunaan karbon aktif, dilakukan untuk menghilangkan senyawa aromatik
(misalnya: fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk
menggunakan kembali air limbah tersebut. Disamping menggunakan karbon aktif,
adsorbsi bisa juga menggunakan alumina aktif.

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.6


5. Penukar ion (ion exchanger) bermanfaat untuk menghilangkan ion Ca atau Mg. Air
yang akan di olah dialirkan melalui kolom yang berisi resin penukar atau resin
penukar anion, atau resin penukar kation, atau zeolit.

Pengolahan secara biologi

Air limbah yang mengandung pencemar organik biodegradable (bisa diurai oleh
jasad renik) sangat tepat apabila diolah dengan cara biologi. Pengolahan secara biologi
memiliki kelebihan yakni murah dan efisien. Kendatipun yang diolah oleh jasad renik
hanyalah bahan organik biodegradable, tetapi ternyata bahan-bahan non biodegradable
dan bahan non organik seperti logam berat juga bisa terkurangi bahkan hilang bila
konsentrasi tidak terlalu tinggi.
Berkurangnya konsentrasi bahan non organik dalam air limbah yang diproses
dengan cara biologi, adalah melalui mekanisme terjerap oleh flok (gumpalan) yang
terbentuk oleh pertumbuhan koloni bakteri. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa
proses pengolahan dengan cara biologi dapat berlangsung secara aerob dan anaerob.
Proses aerob berarti bahwa penguraian bahan organik dilakukan oleh bakteri yang dalam
aktivitasnya memerlukan kehadiran oksigen (O2). Sebaliknya, proses anaerob berarti
dilakukan oleh bakteri yang aktivitasnya tidak memerlukan oksigen.
Pertumbuhan bakteri dalam proses penguraian bahan pencemar organik dibedakan
dalam dua kelompok yakni (a) pertumbuhan tersuspensi (suspended growth) dan (b)
pertumbuhan lekat (attached growth). Atas dasar keberadaan oksigen dan pertumbuhan
bakteri dalam proses pengolahan air limbah, maka pengolahan secara biologi dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Pengolahan secara aerobik, meliputi proses lumpur aktif (pertumbuhan tersuspensi)
dan pengolahan film biologi (pertumbuhan lekat). Proses lumpur aktif memiliki
beragan tipe , yakni tipe konvensional /standar, aerasi diperluas (extended aeration),
proses bebas bulk (lumpur tak bisa mengendap), parit oksidasi (oxidation ditch),
proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Sedangkan yang termasuk tipe pengolahan film
biologi, antara lain saringan tetes (trickling filter), cakram biologi (RBC = Rotating
Biological Contactor), aerasi kontak (contact aeration), proses filter biologi
(biofilter) dan proses media unggun biologi.
Proses lumpur aktif pada prakteknya adalah mengalirkan air limbah kedalam
bak yang di aliri udara (bak aerasi). Selanjutnya dalam bak tersebut akan tumbuh

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.7


koloni bakteri berwarna kelabu hingga coklat-kehitaman. Koloni bakteri inilah yang
disebut sebagai lumpur aktif. Koloni bakteri akan terus tumbuh membesar sehingga
membentuk gumpalan (flok). Gumpalan – gumpalan ini kemudian di endapkan di bak
pengendap II, dengan cara mengalirkan air limbah dari bak aerasi. Endapan lumpur
yang terbentuk di bagian bawah bak pengendap sebagian dibuang dan sebagian yang
lain dikembalikan ke bak aerasi, dan cairan yang ada dibagian atas bak pengendap
akan tampak jernih. Cairan yang jernih ini adalah air limbah yang sudah bersih dari
bahan organik pencemar.
Reaktor pertumbuhan lekat seperti saringan tetes berupa tumpukan kerikil
dengan tinggi > 2m dan air limbah dialirkan menetes dari atas. Pada permukaan batu
kerikil akan tumbuh koloni bakteri, yang semakin lama semakin tebal sehingga akan
terkelupas. Koloni bakteri yang terkelupas ini ditampung dalam bak pengendap II.
Pengolahan air limbah dengan proses aerob cocok untuk pengolahan air limbah
yang memiliki BOD < 4000 mg/lt. Meskipun sebenarnya mampu untuk mengolah
air limbah dengan BOD hingga 10.000 mg/lt, tetapi memerlukan biaya energi untuk
aerasi yang tinggi, sehingga dipandang tidak efisien. Air limbah dengan BOD >4000
mg/lt lebih cocok diolah dengan proses anaerob.
2. Pengolahan secara anaerobik meliputi pencerna anaerob (anaerobic digestion) dan
UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket). Tangki pencerna enaerob adalah sebuah
tangki kedap udara yang dialiri air limbah. Di dalam tangki ini, air limbah mengalami
proses penguraian oleh bakteri anaerob. Proses ini menghasilkan gas, diantaranya
yang paling khas adalah gas H2S yang berbau busuk. Proses anaerob juga dapat
menghasilkan gas metan, sehingga apabila dikelola dengan baik akan diperoleh gas
bio yang sangat bermanfaat.
UASB pada dasarnya sama dengan pencerna anaerob, perbedaannya terletak
pada cara pengaliran air limbah. Pada UASB aliran air mengarah ke atas pada tangki
vertikal. Unit pengolah limbah anaerobik lainnya adalah ABR (Anaerobic Baffle
Reactor). ABR sangat rentan terhadap perubahan debit limbah dan perubahan
konsentrasi bahan organik secara mendadak (organic & hydrolic loading)
3. Lagoon merupakan kolam yang didalamnya terjadi proses aerob, fakultatip dan
anaerob, sesuai kedalaman air. Pasokan oksigen mengandalkan dari proses alam,
yakni oksigen dari udara yang melarut kedalam air dan oksigen yang berasal dari
fotosintesis tumbuhan air. Kadang lagoon disertai juga dengan aerator untuk
menambah oksigen terlarut pada air (aerated lagoon)

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.8


4. Pengolahan secara irigasi (land treatment) adalah mengolah air limbah dengan cara
untuk mengairi tanaman atau rumput. Air limbah yang mengandung bahan organik
biodegradable berpotensi sebagai penyubur tanaman. Air limbah yang mengandung
logam berat dapat digunakan untuk penyiraman hutan bambu yang berlokasi jauh dari
pemukiman dan sumber air. Logam berat akan terakumulasi pada batang bambu.
Selanjutnya air limbah akan mengalami proses pembersihan secara alami melalui
mekanisme penguraian oleh jasad renik dan filtrasi oleh tanah dan batuan lainnya.

Tahap pengolahan air limbah

Seperti telah dikemukakan dimuka bahwa metode pengolahan air limbah baik
fisika, kimia dan biologi dapat diterapkan secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Apabila
diterapkan secara kombinasi perlu dibuat urutan tahap pengolahan sesuai fungsi dan
syarat masing-masing unit pengolah air limbah. Instalasi pengolahan air limbah yang
lengkap memiliki tahap pengolahan sebagai berikut :
1. Prelimanary treatment (pengolahan pendahuluan)
Unit pengolah limbah yang termasuk dalam tahap ini adalah Bar rack,
Screening, equalization, Grit Chamber, Floatation tank, pra sedimentation,
coagulation, lime feeder (pembubuh kapur). Pengolahan pendahuluan yang terdiri dari
screen dan grit chamber, ternyata mampu mengurangi BOD sebesar 0 –5% dan
mengurangi TSS (Total Suspended Solid = padatan tersuspensi) sebesar 5 – 100%.
2. Primary Treatment (pengolahan tahap kesatu)
Unit pengolah limbah yang termasuk dalam tahap ini adalah primary
sedimantation tank ( bak pengendap I). Penggunaan bak pengendap I sebagai unit
pengolah limbah , apabila dapat beroperasi secara optimal, akan diperoleh efisiensi
pengurangan BOD5 : 30 – 40%, COD : 30 – 40%, TSS : 50 – 65 TP (Total Phosphat):
10 – 20%, ON (organik nitrogen) : 10 – 20%.
3. Secondary treatment (pengolahan tahap kedua)
Unit pengolah limbah yang termasuk dalam tahap ini adalah pengolahan secara
biologis diantaranya lumpur aktif konvensional (activated sludge), saringan tetes
(trickling filter) dan bentuk modifikasi lainnya. Pengolahan air limbah menggunakan
activated sludge mampu menghilangkan BOD5 : 80 – 85%, COD : 80 – 85%, TSS : 80
– 90%, TP (Total Phosphat): 10 – 25%, ON (organik nitrogen) : 15 – 50%, dan
Ammonia Nitrogen : 8 – 15%. Apabila digunakan trickling filter maka akan mampu

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.9


menghilangkan BOD5 : 60 – 80%, COD : 60 – 80%, TSS : 60 - 85 TP (Total
Phosphat): 8 - 12%, ON (organik nitrogen) : 15 – 50%, dan Ammonia Nitrogen : 8 –
15%.
Pada tahap ini bisa juga ditambah unit pengolah limbah berupa koagulasi dan
sedimentasi. Unit pengolah limbah ini apabila diletakan setelah primary treatment dan
pengolahan biologis akan menghilangkan BOD5 : 40 – 70%, COD : 40 – 70%, TSS :
50 - 80%, TP (Total Phosphat) : 70 - 90%, ON (organik nitrogen) : 50 – 90%.
4. Tertiary treatment (pengolahan tahap ketiga)
Unit pengolah limbah yang termasuk dalam tahap ini antara lain nitrifikasi -
denitrifikasi, ion exchange, activated carbon, reverse osmosis, electrodialisis, filtrasi,
land irigation. (a) Unit nitrifikasi mampu menghilangkan BOD5 : 80 – 95%, COD : 80
– 90%, TSS : 70 – 90%, TP (Total Phosphat): 10 – 15%, ON (organik nitrogen) : 75 -
85%, dan Ammonia Nitrogen : 85– 95%. (b) Unit ion exchange mampu
menghilangkan Ammonia Nitrogen : 90– 95%. (c) unit activated carbon mampu
menghilangkan BOD5 : 50 – 85%, COD : 50 – 85%, TSS : 50 – 80%, TP (Total
Phosphat): 10 – 30%, ON (organik nitrogen) : 30 - 50%. (d) unit reverse osmosis
mampu menghilangkan BOD5 : 90 – 100%, COD : 90 – 100%, TP (Total
Phosphat): 90 – 100%, ON (organik nitrogen) : 90 – 100%, dan Ammonia
Nitrogen : 60 – 90%. (e) unit elektrodialisis mampu menghilangkan BOD5 : 20 - 60%,
COD : 20 – 60%, ON (organik nitrogen) : 80 - 95%, dan Ammonia Nitrogen : 30–
50%. (f) unit filtrasi mampu menghilangkan BOD5 : 20 – 50%, COD : 20 – 50%, TSS :
60 – 80%, TP (Total Phosphat): 20 – 50%, ON (organik nitrogen) : 50 - 70%. (g) unit
aerasi / ammonia stripping mampu menghilangkan Ammonia Nitrogen : 60 - 95%. (h)
Chlorinasi mampu menghilangkan ON (organik nitrogen) : 60 - 85% dan Ammonia
Nitrogen : 80– 90%
Dari masing-masing unit pengolah air limbah yang telah disebutkan diatas,
disamping secara spesifik mampu menghilangkan pencemar tertentu, juga memiliki
fungsi sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.10


Tabel : Unit pengolahan limbah cair dan kegunaannya
Unit pengolahan Kegunaan unit pengolahan
Saringan (Bar screen & racks) Menghilangkan padatan kasar
Pencacah (Comminutor) Memotong padatan tersaring
Penangkap pasir Menghilangkan tanah dan pasir
Penangkap lemak dan lengan pengambil (grease trap Mengapungkan cairan dan mengurangi padatan
& skimmer)
Tangki ekualisasi Menyeragamkan konsentrasi dan aliran influen
Netralisasi Menetralkan asam atau basa
Pengendapan Mengurangi padatan tersuspensi
Reaktor lumpur aktif, saringan tetes, kolam aerasi Menghilangkan bahan organik secara biologis
Media karbon aktif Menghilangkan bahan organik nonbiodegradable
yang terlarut
Koagulasi dengan bahan kimia Presipitasi senyawa fosfat
Nitrifikasi-Denitrifikasi Menghilangkan nitrat melalui proses biologis
Air stripping Menghilangkan senyawa amonia
Pertukaran ion Menghilangkan unsur tertentu
Media penyaring Menghilangkan padatan halus
Osmosis balik dan elektrodialisis Menghilangkan padatan terlarut
Klorinasi dan ozonisasi Menghilangkan organisme patogenik

Diadopsi dari : Sundstrom & Klei, 1979

Strategi memilih (membangun) IPAL

IPAL tersusun dari unit-unit pengolah limbah yang telah diuraikan diatas, yang
dirangkai berdasarkan kebutuhan sesuai kondisi setempat. Beberapa hal dapat dijadikan
pertimbangan bagi para pemilik pabrik / industri dalam memilih jenis IPAL yang kelak
akan dibangun dalam rangka merealisasi RKL / UKL (Rencana / Usaha Pengelolaan
Lingkungan), diantaranya adalah :
1. Karateristik air limbah yang kelak dihasilkan, meliputi debit limbah, sifat-sifat fisik,
kimia dan biologi limbah, serta konsentrasi bahan pencemar (polutan).
2. Kelayakan teknis dari masing-masing unit pengolah limbah, termasuk suku cadang
dan efisiensi dalam mengurangi kadar pencemar.
3. Ketersediaan lahan untuk lokasi dimana IPAL akan ditempatkan
4. Ketersediaan / kesiapan energi (listrik)
5. Ketersediaan / keberlangsungan suplay bahan kimia seperti Tawas, Ferry Chlorida,
PAC, Kaporit, Urea, TSP, dll.

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.11


6. Kesesuaian efluen dari IPAL dengan bakumutu efluen (effluent standard) dan
bakumutu badan air (stream standar). Dengan demikian harus memperhatikan
kualitas air (Kelas) badan air dimana efluen IPAL akan dibuang.
7. Kelayakan ekonomi atau ketersediaan dana untuk pembangunan IPAL beserta operasi
dan pemeliharaanya.
8. Kesiapan dan ketersediaan SDM yang kompeten.
9. Kelayakan sosial atau aspek penerimaan dari masyarakat sekitar.
10. Kelayakan lingkungan, yakni kemungkinan adanya bising atau bau yang
ditimbulkan oleh pengoperasian IPAL atau limbah yang berasal dari IPAL. Limbah
yang berasal dari IPAL pabrik / industri tertentu bahkan dikategorikan sebagai
limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya).
11. Ketersediaan fasilitas pembuangan akhir (ultimate dispossal)
12. Pemenuhan persyaratan peraturan dan perundang-undangan.
13. Lain-lain.

Disain dan Konstruksi IPAL


Idealnya disain dan konstruksi IPAL dibuat atas dasar data dan informasi atau
pertimbangan – pertimbangan seperti yang disebutkan pada strategi memilih IPAL.
Sehingga disain dan konstruksi IPAL antara satu pabrik / industri akan berbeda dengan
pabrik / industri yang lain. Akan tetapi cara seperti ini cenderung memerlukan dana yang
lebih besar. Oleh karena itu umumnya pabrik / industri (menengah dan rumah tangga)
lebih memilih disain dan konstruksi yang bersifat paket atau modul yang telah tersedia di
pasar atau buku-buku teks.
Dewasa ini telah banyak perusahaan yang menawarkan paket pembuatan IPAL
untuk pabrik / industri / rumah sakit / hotel dan sejenisnya. Sebagian besar paket yang
ditawarkan adalah IPAL dengan proses biologi baik aerobik (lumpur aktif) maupun
anaerobik (tangki pencerna anaerob). Berikut ini disajikan contoh disain atau diagram
alir proses pengolahan air limbah yang umum ada dipasaran atau buku teks.

1. IPAL industri rumah tangga

Industri rumah tangga seperti industri tempe, tahu, rumah makan, dan lain-lain
perlu dikelola. Limbah dari industri rumah tangga tersebut menimbulkan bau yang
tidak enak dan mengganggu lingkungan sekitarnya. Salah satu cara mengelola limbah

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.12


rumah tangga adalah dengan membuat 3 bak. Ketiga bak tersebut digunakan sebagai
tempat pengendapan limbah secara bertahap. Dengan demikian air limbah yang keluar
dari bak terakhir sudah tidak membahayakan lagi.
Caranya adalah : Buatlah bak sebanyak 3 buah dari batu bata dengan campuran

pasir dan semen. Kemiringan saluran harus diperhitungkan. Usahakan jangan sampai

ada benda pada air limbah, sebab apabila ada akan menempel dan menyumbat saluran.

Antara bak satu dengan lainnya dihubungkan pipa pralon, antara satu dengan yang lain

letaknya lebih rendah. Susunan dan sifat air limbah yang berasal dari limbah industri

rumah tangga tergantung pada macam dan jenisnya, industri. Air limbah dapat berupa

limbah dari pabrik susu, rumah makan, pemotongan hewan, pabrik tahu, pabrik tempe,

dsb. Kotoran air limbah yang masuk ke bak I, akan mengapung. Pada bagian bawah

limbah melalui pipa akan terus mengalir ke bak II. Lemak akan tertinggal dan akan

menempel pad dinding. Untuk mengambil lemak perlu diserok. Dalam Bak II limbah

akan mengalami pengendapan, terus ke bak III begitu juga. Dari pipa pralon pada bak

III air limbah akan keluar dan sudah tidak membahayakan lagi. Untuk membawa

lumpur diperlukan kecepatan 0.1m/detik dan untuk membawa pasir kasar perlu

kecepatan 0,2m/detik. Cara pembuatannya dapat dilihat Gambar di bawah ini.

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.13


Gambar : Disain IPAL industri rumah tangga (Kementrian Ristek RI)

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.14


2. Reverse osmose (osmosa balik)

Alat ini bersifat kompak dan moveable. Penggunaanya sangat mudah, air limbah
masuk melalui pipa inlet, kemudian di tekan / dipaksa melewati membran RO (seperti
disaring). Selanjutnya air bersih keluar melalui pipa outlet. Menggunakan tenaga
listrik. Debit air hasil olahan bervariasi antara 3 – 19 liter/menit. Lama waktu
penggunaan membran sangat bergantung pada kualitas air baku (air limbah). Agar
membran tahan lama diperlukan petawatan / pencucian secara khusus. Juga air limbah
yang harus dilakukan pengolahan pendahuluan sehingga tingkat kekeruhannya rendah.

Gambar : Unit reverse osmosa (www.ipteknet.net)

3. Evaporasi (distilasi)

Distilasi dengan memanfaatkan energi sinar matahari sangat potensial dan


prospektif untuk dipergunakan mengolah air limbah. Kualitas air hasil olahan
menggunakan distilator setara dengan air suling. Alat seperti ini bebas biaya energi,
bebas penggunaan bahan pengolah, bebas biaya perawatan, bebas ketergantungan suku
cadang, disain dan konstruksi sederhana, ramah lingkungan dan tidak diperlukan
tenaga terampil berpendidikan khusus.

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.15


Sinar matahari

Butir embun
embunemb

Uap air

inlet

Air bersih yg
Air limbah tertampung

Gambar : disain dan konstruksi distilator tenaga matahari (Abdullah, S., 2005)

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.16


4. Biofilter (anaerobik dan aerobik)

Satu contoh adalah biofilter yang dikembangkan BPPT berupa modul terbuat
dari FRP (fiber glass). Terdiri 4 unit pengolah limbah yaitu bak pengendap awal,
tangki anaerobik, tangki aerobik dan bak pengendap akhir. Menggunakan sistem
pertumbuhan lekat, memakai media kerikil atau potongan pipa pvc. (lihat gambar
berikut).

Gambar : Disain dan konstruksi biofilter (BPPT, 1999)

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.17


4. RBC (Rotating Biological Contactor)
RBC termasuk reaktor pertumbuhan lekat, dimana bakteri melekat di cakram
yang berputar. Pengoperasian dan perawatan RBC sangat mudah. Konsumsi energi
lebih rendah dari lumpu aktif, dapat dipasang bertingkat, efisiensi penghilangan
amonia tinggi. Akan tetapi RBC rentan perubahan suhu, sulit mengintrol pertumbuhan
bakteri, timbul bau dan tumbuh cacaing rambut serta kadang BOD efluen masih
tinggi.

Gambar : Disain dan konstruksi RBC (BPPT, 1999, Metcalf & Eddy, 1981)

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.18


5. Lumpur aktif

Dibawah ini contoh disain IPAL lumpur aktif yang di dahului pengolahan secara
kimia yang berada di pabrik tekstil PT. UNITEX Bogor. Bahan kimia yang digunakan
meliputi FeSO4, Lime, Polimer ANP-10, AL2(SO4)3, Antifoam (silicone base).

Gambar : Disain IPAL Lumpur aktif (BPPT, 1999)

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.19


5. Irigasi (land treatment)

Pengolahan air limbah dengan sistem irigasi atau landtreatment dapat dilakukan
pada daerah yang memiliki lahan yang luas dan struktur batuannya tidak memung-
kinkan terjadi penerobosan air limbah kedalam air tanah. Dalam prakteknya bisa
diterapkan untuk pengairan rumput, jagung, bambu dan sejenisnya. Cara ini dipandang
sederhana dan murah biaya operasi dan perawatannya. Diperlukan pengawasan ketat,
agar tidak terjadi kontaminasi dengan manusia (pekerja) secara langsung. Investasi
penyediaan lahan memang amat besar.

Gambar : Konstruksi pengolahan limbah over landtreatment /irigasi.


(Metcalf & eddy, 1981)

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.20


Penutup

Teknologi pengelolaan kualitas air, bukan hanya dengan mencegah terjadinya


pencemaran air melalui penerapan pengolahan air limbah menggunakan IPAL pada pabrik
/ industri. Akan tetapi dapat dilakukan dengan beragam cara seperti pembuatan tebing
bronjong pada sungai atau parit, pembuatan biofilter kricak pada saluran limbah kota,
pembuatan sumur peresapan, aerasi polder, larangan penggunaan sungai untuk MCK atau
tempat pembuangan sampah dan sejenisnya.
Sangat disadari bahwa uraian tentang teknologi pengelolaan kualitas air yang lebih
menitik beratkan pada aspek pengolahan air limbah seperti diatas, hanyalah merupakan
gambaran yang masih sangat umum. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan teknis yang
lebih rinci untuk dapat membangun sarana pengolahan air limbah. Pengetahuan teknis
yang lebih rinci lazimnya telah dimiliki para alumni Teknik Lingkungan atau Teknik
Penyehatan Lingkungan. Sehingga apabila hendak membangun IPAL, disarankan untuk
konsultasi atau meminta bantuan kepada mereka.
Kendatipun uraian diatas masih bersifat umum, namun demikian diharapkan
sudah dapat dipakai sebagai gambaran tentang rencana yang kelak akan disusun untuk
merealisasi Usaha Pengelolaan Lingkungan (UKL), khususnya tentang metode
pengolahan air limbah yang paling tepat. Akhirnya, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Saran dan koreksi senantiasa dinanti melalui sugengzend@yahoo.com.

Pustaka acuan

Abdullah, S., 2006, Estimasi Daya Tampung Beban Pencemaran Organik Sungai Pelus,
Banyumas Jawa Tengah, UGM Yogyakarta.

Abdullah, S., 2006, Pengelolaan B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya), Politeknik


Kesehatan Semarang.

Abdullah, S., 2005, Pemanfaatan Distilator Tenaga Surya Untuk Memproduksi Air Tawar
Dari Air Laut, UGM Yogyakarta.

Abdullah, S., 1999, Evaluasi Kinerja Proses Lumpur Aktif IPAL RSUD Margono
Soekarjo Purwokerto, ITS Surabaya.

Anonim, 2004, Peraturan Perundang-Undangan : UU RI No.7 Tahun 2004 Tentang


Sumber Daya Air dan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air, Bandung, Fokusmedia.

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.21


Anonim, 2003, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun 2003
Tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Pada Sumber
Air, Kantor MenLH R.I.

Avieni, Nini, 1999, Pengendalian Kualitas Limbah Cair di PT. Sari Husada Dalam
Hubungannya Dengan ISO 14001, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
BPPT, 1999, Teknologi Pengolahan Air, Direktorat Trknologi Lingkungan, Deputi
Bidang TIEML, BPPT, Jakarta.

Linsley, RK dan Franzini, JB. 1995. Teknik Sumber Daya Air. Jilid 2 edisi III, terjemahan
Djoko Sasongko. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Marsono, BD, 1998, Teknik Pengolahan Air Limbah Secara Biologis, Media Informasi
Teknik Lingkungan (MINAT) ITS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya.

Metcalf & Eddy, 1981, Wastewater Engineering, Treatment, Disposal, Reuse. 3rd edition,
Mc Graw Hill Book co, New York.

Sundstrom & Klei, 1979, Waste Water Treatment, Prentice Hall Inc, Engelwood clifs,
New Jersey.

www.iptek.net.id\IND\WARINTEK\Pengelolaan_dan_Sanitasi_idx025e.html

Sugeng Abdullah, 2006, Teknologi Pengelolaan Kualitas Air. p.22

You might also like