You are on page 1of 25

W.

S Rendra
”DALAM kaitan introspeksi-retrospeksi, sepanjang 60 tahun ini, Anda pernah
menemukan seorang Rendra yang macam apa?”

Pertanyaan itu dijawab Rendra sambil merunduk tersipu: “Rendra yang dimanjakan
Allah, tapi kadang-kadang penuh kelengahan dalam dirinya. Banyak kesalahan saya
kepada keluarga, kerabat, handai-tolan. Mudah-mudahan sisa umur saya bisa dipakai
untuk memerbaiki kesalahan itu.”

Itu dikatakannya di padepokannya di Cipayung, Depok, 7 November 1995. Hari itu


merupakan hari jadinya yang ke-60, yang ditandai dengan acara tahlilan, makan
malam, dan aneka hiburan yang disajikan oleh keluarga besar Bengkel Teater.

Rendra adalah sebuah nama, dengan banyak julukan dan kepandaian: penyair,
pengarang cerpen dan esai, penulis lakon, aktor, sutradara teater, pemimpin kaum
urakan, budayawan, ayah 11 anak dari tiga istri, pembaca puisi yang memesona,
pelaku protes yang menggetarkan, pejuang demokrasi yang tak jera dicekal, si
”Burung Merak” yang manja dan kenes.

Rendra memang bukan hanya seorang seniman. Sejak kepulangannya dari New York,
setelah belajar teater selama empat tahun di sana, 1968, namanya menjadi gunjingan
khalayak ramai. Karya pentasnya yang pertama yang belakangan disebut sebagai
teater ”mini kata” mengundang gegap kontroversi. Sejak itu, pertunjukan drama-
dramanya selalu dibanjiri penonton. Tiga pementasannya, Menunggu Godot (1969),
Kasidah Barzanji, dan Oedipus Rex (1970), dinilai merupakan puncak-puncak

1
pencapaian artistiknya. Taman Ismail Marzuki (TIM) pun berkibar menjadi sebuah
pusat kesenian yang menarik perhatian.

Dan Rendra tak pernah berhenti menjadi pusat perhatian. Ia meninggalkan agama
Katolik yang dianut dengan taat oleh orangtuanya. Ia masuk Islam, dan mengawini
Sitoresmi sebagai istri kedua. Sitoresmi diajaknya hidup seatap dengan Sunarti,
istri pertama yang telah memberinya lima anak (1970). Ia pun menghebohkan dengan
Perkemahan Kaum Urakan-nya di Pantai Parangtritis, Yogyakarta, Oktober 1971.

Lalu, Desember 1973, di tengah maraknya gerakan-gerakan protes mahasiswa, Rendra


dengan Bengkel Teater-nya mementaskan Mastodon dan Burung Kondor yang
menggemparkan karena muatan kritik sosialnya yang tajam dan berani, menurut
ukuran masa itu. Sejak itulah, ia berkenalan dan menjadi akrab dengan pelarangan
dan pencekalan, dimulai dari kota tempatnya dibesarkan, Yogyakarta.

Rendra memang berubah, menjadi dramawan yang menggelora dengan semangat


antikemapanan, dan menjadi penyair protes yang galak. Drama-drama dan sajak-
sajaknya dianggap mewakili hati nurani kaum yang tertindas. Karena itu, selain
mendapatkan pemberangusan, termasuk meringkuk di dalam bui (1978), ia juga
mendapatkan keplok yang riuh dari para pengagumnya.

Penyair yang memopulerkan acara pembacaan puisi itu telah menjadi simbol kekuatan
moral. Simbol perjuangan demokrasi, yang menuntut terselenggaranya daulat rakyat
dan bukan daulat tuanku yang feodalistik dan otoriter.

Dan ia, hingga usianya mencapai 60 tahun, tetap konsisten: mengritik dan dicekal.
Sekurang-kurangnya, sajak-sajak yang akan dibacakannya di muka umum harus diteliti
oleh pihak keamanan, dan konon harus disetujui oleh ”Pusat” terlebih dahulu: mana
yang boleh dibacakan, dan mana yang harus dilarang.

Menurut penyair yang mengaku ”berumah di angin” itu, usia 60 tahun adalah waktu
yang tepat untuk melakukan introspeksi. Itu antara lain dilakukannya dengan
memberikan ceramah budaya di TIM, Senin kemarin, dan pembacaan puisi bekerja
sama dengan Majalah Gatra di tempat yang sama, Rabu dan Kamis pekan ini.

Sambil mempertimbangkan bahwa pekan ini akan menjadi pekan Rendra, kami
mengangkatnya untuk Laporan Utama kali ini. Tiga bagian tulisan mencoba
menggambarkan kembali tiga wajah sang Burung Merak: sebagai seorang pejuang
demokrasi yang lantang, sebagai seniman yang tetap kreatif dan produktif, dan
sebagai sebuah pribadi yang penuh warna.
”Secara umum, kita menilai dia itu positif,” komentar Asisten Sosial Politik Kassospol
ABRI, Mayor Jenderal TNI Syarwan Hamid. Artinya meminjam jargon iklan yang kini
populer, Rendra memang oye.

Yudhistira ANM Massardi. (Sumber : GATRA,18 November 1995 ( No.1/II ) Rubrik : LAPORAN
UTAMA, MUKADIMAH)

2
GATRA: Laporan Utama 18 November 1995

KARMA SEORANG PENYAIR BERNAMA RENDRA


Memasuki usia 60 tahun, penyair dan dramawan Burung Merak tampak makin arif. Tapi
ia diakui sebagai pejuang demokrasi yang konsisten.

RENDRA naik pentas lagi pekan ini, ia membacakan pidato kebudayaannya di Gedung
Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pidato itu sekaligus
merupakan langkah introspeksinya. Saya ingin meninjau kembali. Kita semua ingin
perbaikan. Kita semua berjuang, katanya. Penyair dan dramawan Indonesia terkemuka
itu ingin mengajak seluruh masyarakat untuk mempertanyakan kembali sejumlah hal,
dalam konteks kebudayaan. Misalnya , tentang demokrasi, partisipasi rakyat, sikap
bernegara, jalannya pemerintahan, dan lain-lain. Kedewasaan bersama akan kita
lihat, katanya. Saya juga akan menekankan pentingnya pendewasaan tentara. Tentara
pun harus dewasa karena tentara kita itu lain dari tentara di negara lain. Tentara di
negara lain dibentuk oleh pemerintah atau partai. Tentara kita dibentuk oleh rakyat,
dengan konsensus Saptamarga.

Saya akan berbicara mengenai karma tentara, katanya lagi. Tentara itu, mulai dari
Saptamarga, mereka sudah menyatakan mau membela Pancasila. Jadi tidak mungkin
tentara itu menindak orang yang memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan yang
beradab. Dan mereka juga tidak mungkin menghalangi perjuangan untuk keadilan
sosial dan demokrasi.

Maka, menurut Rendra, jika menyebal dari karma itu, tak mustahil tentara akan
berlaku fasis, dan berperan secara tak jelas.

Sebagai budayawan, Rendra pun melihat rakyat juga perlu didewasakan. Di mata
Rendra, rakyat masih belum memiliki emansipasi individu. Tanpa adanya emansipasi
individu, bagaimana mungkin menciptakan daulat manusia sebagai jembatan menuju
kedaulatan rakyat. Pada gilirannya, rakyat gampang memuja birokrasi. Akibatnya,
pemerintah kedudukannya menjadi lebih tinggi dari rakyat. Mestinya rakyatlah yang
mempunyai negara, bukan sebaliknya, katanya.

Begitu pun, ia menolak gerakan massa yang bertujuan melancarkan revolusi. Kecuali
yang karismatik. Misalnya, seperti ikatan cinta kasih pada massa Gandhi di India dulu.
Jadi bukan ikatan program politik yang rinci. Karena gerakan massa politik selalu
membuat dikotomi antara kawan dan lawan. Massa boleh saja memihak, tapi tak
berarti yang berdiri di seberang sana itu adalah lawan, ujar Rendra.

3
Untuk itu Rendra banyak berharap kepada pers. Dalam suasana kekinian, ia melihat
peranan pers lebih penting dibandingkan dengan partai. Apalagi partai-partai sekarang
perlu dikritik. Karena, dulu partailah yang memberikan pendidikan politik, tapi kini
peranan itu digantikan oleh pers. Pers, misalnya, dapat membangkitkan kesadaran
kolektif rakyat kepada hak dan kewajibannya sehingga timbul semacam civil society
agar mengharmoni dengan kekuatan birokrasi.

Mungkin, karena sudah menginjak usia 60, Rendra tampak kian arif. Seniman harus
menghindari keberpihakan, katanya. Seniman harus menjaga kebebasan, kejujuran,
dan keindahannya. Kalau berpihak, ia tak lagi bebas. Keindahan itu ditafsirkannya
sebagai harmoni. Juga tidak seragam, tapi beragam. Itulah yang harus dilatih seniman
dalam diri dan kreativitasnya.

Uniknya, meski Rendra sering menyentil tentara, dan sering mengalami hubungan
yang tegang dengan mereka, Rendra justru merasa lebih dimengerti oleh kalangan
tentara ketimbang oleh kaum sipil. Pihak militer bahkan kerap tampil membuka jalan
agar Rendra bisa naik panggung.

Salah satu contoh adalah ketika Rendra membaca puisi untuk mencari dana bagi Panti
Asuhan Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1979. Tiba-tiba siangnya ada radiogram
dari Jakarta yang melarang pentas tersebut. Ternyata Danrem 072 Pamungkas
Yogyakarta, Kolonel CZI Sarwono, malah menyilakan Rendra naik pentas. Mas, saya ini
bukan ahli sastra, tapi ini harus berhasil dipentaskan, katanya, sebagaimana ditirukan
Rendra.

Koridor kebebasan memang kerap diberikan oleh tentara kepada Rendra. Bahkan
Panglima Kopkamtib, Jenderal Soemitro, pun bersedia berdiskusi langsung dengannya
ketika drama Mastodon dan Burung Kondor dilarang dipentaskan di Universitas Gadjah
Mada (UGM), Yogyakarta, pada l973. Hasilnya, Soemitro membuka keran izin.
Anehnya, justru Rektor UGM, Prof. Sukaji, yang tak mau memberi izin.

Bekas Gubernur DKI, Jakarta, Ali Sadikin, mungkin terbilang pejabat yang oke-oke saja
pada pementasan Rendra. Suatu kali, di masa kegubernurannya, ketika Rendra hendak
dicekal, Ali Sadikin berdebat dengan aparat keamanan. Ini nggak apa-apa. Buktinya,
memang aman saja waktu itu, ujar anggota Petisi 50 itu kepada Andi Zulfikar Anwar
dari Gatra.

Namun, sewaktu Rendra membaca puisi di Semarang pada l986, adalah Kadit Sospol
Jawa Tengah yang heboh. Padahal Pangdam dan Kapolda Jawa Tengah

4
mengizinkannya. Yang juga ironis adalah ketika Rendra dilarang membaca puisi di
Universitas Indonesia, akhir l993, tetapi ia bisa membaca puisi di markas tentara
dalam rangka HUT Kodam DKI/Jaya.

Mungkin kemesraan hubungan tentara dengan penyair yang satu itu adalah antipoda
dari masa silamnya. Tiga hari setelah membaca 15 puisi yang ia sebut sebagai pamplet
di TIM yang dikacaukan oleh pelemparan gas air mata Rendra ditangkap pada 1 Mei
l978. Menurut Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, puisi-puisi Rendra itu menghasut.
Misalnya, ia membacakan: Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah- labah. Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk.

Rendra mendekam di Penjara CPM Guntur, Jakarta Selatan, sekitar enam bulan
lamanya. Sesudah itu, ia frustrasi. Maklum, ia lalu dilarang naik pentas selama hampir
tujuh tahun.

Hariman Siregar, bekas Ketua Dewan Mahasiswa UI yang dipenjarakan karena Peristiwa
Malari, sangat menyenangi antologi pamplet yang kemudian dibukukan dengan judul
Potret Pembangunan dalam Puisi itu. Itu, karya yang luar biasa, katanya kepada
Krisnadi Yuliawan dari Gatra. Soalnya, Rendra menampilkan kata-kata yang sederhana
sehingga jika orang membacanya, akan mengerti bagaimana seharusnya pembangunan
dilakukan.

Gelora pemberontakan Rendra sesungguhnya tumbuh sejak masa kanak-kanak.


Pertama, ia berani melawan ayahnya, Brotoatmodjo, yang dianggapnya sebagai
lambang kekuasaan.

Setelah memperdalam ilmu dramanya di New York, selama empat tahun,


pemberontakannya terhadap segala kemapanan makin nyaring. Ia melahirkan drama-
drama mini kata yang eksperimental dan bertentangan dengan kaidah-kaidah teater
konvensional. Lalu secara terbuka mengumumkan dirinya sebagai orang urakan,
setelah ia dan para pengikutnya menyelenggarakan Perkemahan Kaum Urakan di
Parangtritis, Yogyakarta, Oktober 1971.

Maka sosok Rendra memberi kesan, selain sebagai seniman yang manja dan kenes, ia
juga seorang oposan. Hal itu memang tercermin pada teks teater ataupun sajak-
sajaknya. Repertoarnya yang menggegerkan, Mastodon dan Burung Kondor (1973),
mencoba memberi solusi meskipun agak membingungkan kepada aksi-aksi mahasiswa
di negeri ini, yang marak pada l970-an. Ia juga menyengat dengan Kisah Perjuangan
Suku Naga (1975) dan Sekda (1977), yang tetap dibanjiri publik dan mendapatkan
keplok meriah. Hasilnya adalah pemenjaraan di Guntur tadi.

5
Setelah sekitar tujuh tahun dibetot frustrasi karena tak bisa manggung selama itu ia
sempat menjadi pegawai swasta dan mencoba berbisnis, baru pada November 1985
boleh tampil lagi di TIM, membacakan sajak. Dan ia tetap galak. Karena itu ia pun
menjadi langganan cekal.

Rudini, bekas Menteri Dalam Negeri, menduga hal itu terjadi karena setelah stabilitas
nasional dapat dikendalikan, Pemerintah khawatir terguncang lagi. Tapi, dibanding
dengan sebelumnya, dalam 10 tahun terakhir ini Rendra relatif bebas bergerak. Ia pun
bisa mementaskan Panembahan Reso, di Istora Senayan, Jakarta, Agustus l986.

Drama berdurasi sekitar tujuh jam itu berkisah tentang Panji Reso (dimainkan oleh
Rendra) yang hendak mengkudeta raja di saat kerajaan tengah mabuk dengan
kekuasaan.

Penjara tampaknya tidak bisa mengubah sikap dan komitmennya. Itulah sebabnya
budayawan Mochtar Lubis setuju menyebut Rendra sebagai seorang pejuang demokrasi
yang tidak punya pamrih politik. Tak seperti seniman Lekra /PKI yang menyentuh
politik untuk merebut kekuasaan, Rendra tidak begitu, kata Mochtar.

Meskipun pengaruh dari kritik-kritik Rendra tidak terlihat langsung pada level politik
praktis, pengaruhnya secara mental sangatlah besar. Karena yang disentuhnya adalah
hati nurani manusia. Orang yang mencekal Rendra pun pasti merasa tindakannya itu
salah, kata Ketua DPR/ MPR-RI, Drs. Soerjadi. Jika mereka tak lagi berkuasa, mereka
akan berbalik menyayangi Rendra.

Salah satu pencekalan yang dialami Rendra kemudian adalah saat ia dilarang
membaca sajak di TIM pada November l990. Kali ini disebabkan dua sajaknya tentang
Rangkasbitung, sebuah desa di Jawa Barat, dianggap berbau SARA karena
mempertentangkan golongan atas dan bawah suatu hal yang membuat Rendra tak
habis pikir. Tapi, setelah sejumlah seniman berdialog dengan DPR-RI, termasuk Menko
Polkam Sudomo, Rendra akhirnya bisa tampil di TIM Januari l991.

Rendra memang senantiasa bergelora menggapai keadilan dan demokrasi. Ketika


terjadi pencabutan SIUPP Majalah Tempo, Editor, dan Detik, Juni tahun lalu, Rendra
juga terlihat dalam barisan demonstrasi ke Gedung DPR-RI. Tapi waktu itu ia tak
bergabung dengan massa. Kami pakai seragam sendiri, dan tidak berteriak-teriak,
katanya.

6
Konsistensi sikap Rendra tampak juga dalam kasus Pramoedya Ananta Toer. Bahkan,
menurut sumber Gatra, sikap Rendra itu dianggap senada dengan sikap ABRI yang anti-
PKI. Asisten Sosial Politik Kassospol ABRI, Mayor Jenderal Syarwan Hamid, bahkan
memandang Rendra sebagai aset nasional. Makanya militer tak mau berlaku gegabah.
Soalnya, nama Rendra populer sampai ke luar negeri. Karena itu, meskipun sikap
Rendra sesekali naif, seperti suka turun ke jalan, Syarwan melihat hal itu masih
sebatas menyuarakan kesenimanannya. Kita tidak mau bersikap apriori karena kita
yakin, seniman itu ingin berbuat baik, kata Syarwan.

Bersihar Lubis, Genot Widjoseno, Hidayat Gunadi, Nur Hidayat

7
GATRA: Laporan Utama 18 November 1995

BERALIANSI DENGAN PERS


WAWANCARA GATRA DENGAN W.S. RENDRA

SEBAGAI seorang budayawan, Rendra menaruh perhatian terhadap banyak hal. Tidak
hanya pada sastra dan drama. Ia juga tidak hanya mengenal dengan sangat baik
tradisi Jawa, melainkan juga memahami sejarah dan kebudayaan Eropa secara
mendalam. Di hari ulang tahunnya ke-60, 7 November lalu, di rumahnya di Cipayung,
Depok, Rendra menerima Bersihar Lubis, Akmal Nasery Basral, Yunizar Djoenaid,
Yudhistira ANM Massardi, dan fotografer Astadi Priyanto untuk sebuah wawancara.
Petikannya:

Di mana sebenarnya posisi seorang pujangga seperti Anda dalam tradisi kita?
Apakah pujangga memiliki posisi sebagai pelaku kontrol?

Sebetulnya, kalau dalam tradisi, latihan kapujanggan itu adalah latihan kesatria.
Sama. Jadi nggrayang raga, nggrayang dunya, nyawang, dan sebagainya. Semuanya itu
sama, sampai pada suatu saat topo ing rame itu kesatria juga. Ini kanuragan,
olahraga. Kanuragan dan olah praja, olah negara.

Sedangkan pujangga itu, setelah nggrahita, mirasa, wicara, lalu nyusastra. Itu
urutannya. Waktu dia nggrahita, menyadari pikiran, penghayatan batin, aksi. Yang
dihayati itu astabrata, ini kesatria. Astabrata itu kesatria yang menjelma menjadi
Saptamarga.

Kalau pujangga sudah nggrahita (pikiran), nyurasa (buah kalbu), wicara atau nyusastra
(disastrakan) dalam bentuk ditarikan, ditembangkan. Tapi latihan dasarnya sama
dalam tradisi Jawa. Di situ ada tuntutan untuk independen. Maka itu untuk kesatria
dan pujangga ada latihan untuk independen. Tapi kok masyarakat yang diciptakan
adalah salinan dari alam. Mungkin itu karena filsafat alam diciptakannya terlambat.

Selain mengritik Pemerintah dan tentara, Anda juga mengkritik rakyat. Ada apa
dengan rakyat kita?

Rakyat masih terlalu dipengaruhi oleh pikiran wayang. Kecuali tentu saja orang-orang
yang Islam. Karena orang Islam mempunyai rujukan fikih. Atau orang-orang dari zaman
batu, seperti Toraja, karena rujukan mereka adalah hukum adat. Tapi orang- orang
Melayu Perunggu, Jawa dan sebagainya, Sunda, rujukannya kekuasaan. Dan mereka

8
berpikir subjektif, menggambar anatomi itu tidak penting. Lain dengan orang Toraja,
anatomi itu penting. Mereka mengenal yang objektif. Karena rujukan untuk salah-
benar dalam pertengkaran itu yang objektif.

Bukan karena latar belakang budaya masa silam kita?

Bukan. Itu karena alam. Karena periode pra-ilmiah, pengaruh alam itu besar sekali.
Waktu membuat tatanan masyarakat, masyarakat juga bercermin pada alam. Pada
alam tidak ada hak, yang ada kepastian. Tatanan masyarakat juga dibuat seperti itu:
yang kaya seperti raja, yang kuat juga seperti itu. Itu yang kemudian harus diubah
menjadi hak. Bahwa dalam kita hidup bersama itu ada yang namanya hak. Kita sudah
sampai ke situ, nyatanya sudah membuat konstitusi dan Pancasila. Cuma naluri
penghayatan, pendidikannya, belum.

Bagaimana dengan nasionalisme Indonesia?


Kalau saya ke Jerman, saya berdebat dengan orang sana. Saya katakan, maaf ya,
kamu itu sekarang punya konstitusi dengan human right dan demokrasi itu kan karena
NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara), tapi bangsa saya itu karena saya sendiri kok.
Terus, kamu itu menjadi bangsa Jerman itu karena lahir pertama dari Karel Akbar
yang menyatukan Achen sampai Praha: Jerman. Jadi yang membuat negara Jerman
adalah raja. Lalu dibuat lagi oleh Bismark, dibikin lagi oleh Hitler. Indonesia tidak
demikian. Belum-belum kita malah sudah satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Padahal pemerintahannya belum ada. Lalu, 17 tahun kemudian, sastra Indonesia lahir.
Gesang membuat lagu berbahasa Indonesia. Lalu ada drama-drama Indonesia, partai-
partai Indonesia. Padahal Indonesianya sendiri belum ada, belum sah. Tapi kita sudah
bersemangat mengklaim tentang keindonesiaan pada 1928.
Di Eropa, orang teriak satu Eropa. Dari dulu mereka itu sudah satu Eropa, disatukan
oleh gereja, oleh bahasa Latin, tapi mereka sendiri yang tidak betah karena ada
semangat etnik dalam diri mereka. Ada Slav, ada Jerman. Begitu Dante membuat syair
Divine Comedia, Petrarcha membuat Sonete, lantas muncul semua. Hanya didorong
oleh syair-syair saja, langsung muncul nasionalisme. Apalagi muncul juga Bible
terjemahan Jerman oleh Martin Luther. Dialog etnik antarmereka tidak selesai karena
dicampuri Gereja Roma, Gereja Bizantium. Lalu ketika orang Moravia sedang
berdialog dengan Slav, mau membentuk Ceko, ribut.

Jadi Eropa itu tidak bisa mengalami dialog etnik yang tuntas. Bingung mereka. Kafka
itu orang apa? Orang Ceko, mengaku orang Prancis, tapi mengarang dengan bahasa
Jerman. Mozart juga sama, dia itu tinggal dekat dengan Praha, tapi dia Austria. Itu
hanya karena perkara politik dinasti, bukan politik bangsa. Inggris juga sama, 23
tahun perang etnik, War of the Roses.

9
Dialog di kita itu selalu tuntas. Itu juga berkat arus laut. Ini karena alam. Orang Jawa
ke Sulawesi dan sebagainya. Orang Jawa kalau tidak ke Sulawesi, tidak bisa membuat
keris. Waktu saya ke Sulawesi, memang pamor (salah satu bahan campuran untuk
keris) itu suplainya dari sana. Ada bendera-bendera Jawa. Kemudian ketika saya
sampai di Lampung, juga banyak tapak-tapak orang Bugis.

Kalau insiden Bubat, itu karena masalah protokol, bukan karena konflik etnik. Tapi
tidak ada kelanjutannya. Orang Banten juga demikian, kebanyakan bupatinya
diangkat dari Sumedang. Orang Sumedang juga banyak hubungannya dengan orang
Mataram. Cirebon dalam tari topengnya, kok ceritanya tentang Jawa Timur.

Ada yang mengatakan bahwa bahasa kita dikuasai oleh negara. Benarkah?

Lho, tidak. Nyatanya ada pers. Pers selalu merebut kembali. Kekuatan pers Indonesia
itu luar biasa. Yang tidak bisa diubah dalam bahasa kita adalah grammar-nya.
Grammar kita, kita selalu bicara dengan present tense, tanpa past tense dan future
tense. Tidak ada he, tidak ada she. Lalu, kalau jamak, ya diulang saja. Kita mengubah
semua kata hanya dengan awalan, akhiran, dan sisipan. Dan awalan, akhiran, serta
sisipan itu luar biasa. Seperti kata sentosa, disentosakan, menyentosakan,
kesentosaan, itu kan luar biasa. Bagi saya, itu tidak sempurna, tapi aneh.

Tadi Anda mengatakan, semangat keIndonesiaan sebenarnya sudah selesai pada


tahun 1928. Indonesia ini sudah ada sebelum republik ini ada. Melihat keadaan
sekarang, berdirinya ormas- ormas baru yang berasaskan kebangsaan seakaan-akan
menunjukkan bahwa kita seperti sudah kehilangan rasa kebangsaan. Menurut
Anda?

Kehilangan tidak, tapi ada bahaya untuk kebangsaan. Itu ditimbulkan bukan oleh
rakyat, bukan oleh remaja yang makan donat, melainkan ini dibahayakan oleh sikap
Pemerintah yang memusat. Pemusatan ini. Pemusatan yang mengurangi otonomi.
Kekurangan otonomi kekuasaan dan otonomi ekonomi. Demokrasi ekonomi dan
politiknya kurang. Lalu mereka bisa merasa dibedakan. Dari situ bahaya perpecahan
itu ada. Dan tentu bukan dari rakyat perpecahannya, justru dari elite yang sangat
membutuhkan kekuasaan. Dari kolonel ini, kolonel itu, jenderal ini, dan jenderal itu.

Dalam konteks pencekalan Anda, alasan yang dipakai adalah karena rakyat belum
dewasa, maka jangan pentas. Dikhawatirkan akan timbul ini dan itu. Menurut
pandangan Anda?

10
Memang seperti itu. Dalam interogasi kepada saya, saya selalu mengatakan bahwa
saya memperjuangkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Saya memperjuangkan
keadilan sosial. Saya memperjuangkan apa yang Anda sebut dalam Saptamarga. Jadi
kok malah Anda melarang saya, bagaimana? Saya tidak melanggar semua itu. Saya
juga mengingatkan, saya membantu keamanan negara. Kok saya ditangkap, saya
dicekal?

Belakangan ini saya melihat ada paradigma baru, Anda sepertinya tidak seperti
yang dulu lagi, yang berseberangan.

Kan selalu ada perbedaan orang muncul dalam keadaan darurat. Saya bukan tidak
menyadari hal itu. Dalam kumpulan sajak saya, sebetulnya saya tidak banyak menulis
puisi politik-sosial. Kalau dihitung jumlahnya. Dan juga pada periode 1971 sampai
1979, yang terkumpul dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, yang judul awalnya
adalah Pamplet Penyair.

Saya sadar bahwa itu adalah pamplet. Tapi bukan berarti bahwa pamplet itu tidak bisa
menjadi puisi. Bisa saja. Tapi dorongannya adalah dorongan kebutuhan menulis
pamplet. Dan dalam pamplet itu saya tidak menulis agitasi. Saya menulis dengan
harapan mendorong orang jangan meninggalkan standar atas hak kolektif. Sasaran
saya jelas. Bukan ideologi politik, kecuali demokrasi, hak asasi, dan keadilan sosial.
Maka itu kalau saya diundang, ayolah membuat massa oposisi, saya tidak akan ikut.
Dalam sejarah saya, saya melakukan demonstrasi beberapa kali, ditahan beberapa
kali, tapi tidak pernah di dalam massa. Kalau dengan massa yang kehilangan
kontemplasi, saya tidak ikut. Padahal massa yang sampai sekarang dikenal oleh orang
politik itu selalu organisasi massa yang kurang kontemplasi. Jadi begitu masuk
organisasi massa, saya lalu akan mengalami dehumanisasi. Penyeragaman.

Dalam hal Pencabutan SIUPP pers, apa pandangan Anda?

Nyatanya, ya bisa diatasi dengan berbagai cara. Anda kan lalu bisa membuat Gatra.
Saya membayangkannya kan sulit. Mungkin untuk Anda itu sudah bidangnya. Tapi
untuk saya, orang awam, sulapannya di mana, mainnya bagaimana, kok nulis-nya
tetap saja nulis bebas? Banyak informasi yang tidak saya dapatkan dari yang lain, tapi
saya dapatkan dari Gatra, misalnya.

Apakah Anda bisa membayangkan terjadinya aliansi antara pers, pujangga,


jenderal?

Yang terbayangkan oleh saya adalah aliansi antara pers dan tentara. Sayangnya, pers

11
tidak punya kekuatan kelas menengah, dalam arti dana. Dari permulaan, yang kurang
diperjuangkan itu adalah demokrasi ekonomi. Dan pers juga kurang ikut
memperjuangkan demokrasi ekonomi. Yang diperjuangkan rakyat pada umumnya,
parpol apalagi, demokrasi politik saja. Tapi demokrasi politik seperti itu tidak
berbahaya untuk penindas. Tapi kalau ada demokrasi ekonomi, yang berarti monopoli
produksi, jalur distribusi produk itu betul-betul demokratis, kelas menengah timbul.
Dan pada saat itu, pers, kelas menengah, tentara, itu bisa mengubah keadaan.
Apalagi kalau parpolnya ikut.

Waktu Anda memutuskan untuk pembacaan puisi 15-16 November ini, bekerja
sama dengan Gatra, apa pertimbangannya?

Kalau dilihat dari pengalaman saya sendiri, pada saat-saat genting itu, pasti aliansinya
ya dengan pers. Kompas atau Tempo, misalnya. Hubungannya selalu dengan
penerbitan. Waktu saya di penjara, orang-orang pers yang menengok saya di sana.

GATRA: Laporan Utama 18 November 1995

SEBUAH PAMPLET JERITAN HEWAN


Pernah dituduh menjiplak Lorca. Mengolah kepenyairannya dengan metode kejawen.

Dan sepatu yang berat serta nakal


yang dulu biasa menempuh
jalan-jalan yang mengkhawatirkan
dalam hidup lelaki yang kasar dan sengsara
kini telah aku lepaskan
dan berganti dengan sandal rumah
yang tentram, jinak dan sederhana.

(Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantu).

RENDRA, penyair balada dan epik-lirik itu pernah menjadi gunjingan, dengan nada
agak mencibir. Di kalangan kritikus dan sastrawan dalam negeri, pernah
dipertanyakan: Rendra patut dihargai karena karyanya yang bermutu, atau karena
karismanya? Maksudnya, tentu, untuk mengusik dan mempertanyakan kualitas
kepenyairan Rendra. Tapi, benarkah penyair yang pernah bernama lengkap
Willibrordus Surendra Rendra itu dikatrol oleh kepopulerannya, bukan oleh kualitas
sajak-sajaknya?

12
Kini, dalam perjalanan waktu, ketika usia Rendra telah genap 60 tahun, orang pun
boleh mafhum. Rendra adalah fenomena bermuatan ganda. Kualitas kepenyairan
Rendra sudah teruji. Kalaupun ia seorang yang berkarisma, kenapa mesti disangkal?
kata H.B. Jassin, yang dianggap sebagai penjaga kesusastraan Indonesia, kepada
Krisnadi Yuliawan dari Gatra.

Perjalanan kepenyairan Rendra dimulai dari sajak-sajaknya yang berbentuk balada,


sajak bercerita. Rendra muda berangkat dengan balada yang berisikan kisah cinta,
epik-lirik tentang perempuan, kejantanan dan petualangan, seperti yang
dituangkannya dalam kumpulan sajaknya yang pertama Ballada Orang-orang Tercinta
(1957). Orang-orang tercinta, menurut Rendra, adalah sosok-sosok wanita memelas
dan menyedihkan, ditinggal, disakiti, difitnah, atau tak dimengerti. Mereka juga bisa
berwujud pejuang-pejuang gerilya, korban-korban perang, atau tawanan musuh yang
kejam. Rendra mengguratkan kesaksiannya atas peristiwa kekerasan itu melalui
balada. Ia jatuh cinta pada balada karena mengandung peluang dramatik yang
memberikan keleluasaan bagi petualangan alam khayalnya.

Balada dan epik-lirik itulah yang berjasa mengasah ketajaman nalurinya pada pilihan
kata dan kekuatan makna kata. Melalui kedua bentuk sajak itu, Rendra kemudian
dikenal sebagai penyair yang paling kaya dan sangat produktif dalam menciptakan dan
memanfaatkan metafora-metafora untuk mendukung citraan dramatik dan visual
dalam sajak-sajaknya. Tengoklah metafora-metafora yang diciptakannya, seperti: Bila
bulan limau retak/ merataplah Patima perawan tua.../Bini Kasan ludahnya air
kelapa.../ lelaki-lelaki rebah di jalanan/ lambung terbuka dengan geram
srigala!.../O, bulu dada yang riap!/ Kebun anggur yang sedap!... (Balada Lelaki-lelaki
Tanah Kapur).

Atau: bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para.../ panas luka-


luka, terbuka daging kelopak angsoka (Balada Terbunuhnya Atmo Karpo). Di antara
penyair Indonesia, tak pelak Rendralah yang terbaik dalam genre balada. Ia sangat liat
dalam mempergunakan perangkat kata, metafora-metafora yang orisinal dan selalu
terasa baru.

Toh, pencapaian artistik Rendra itu sempat mengundang wasangka. Kecurigaan itu
dilontarkan oleh Subagio Sastrowardoyo (almarhum), seorang penyair yang juga
kritikus sastra. Subagio mendakwa Rendra terlalu kuyup terbenam dalam pengaruh
penyair Spanyol, Federico Garcia Lorca (1898-1936). Lantas Subagio pun
membeberkan bukti-bukti keterpengaruhan Rendra oleh Lorca melalui studi kritik
sastra komparatif. Bahkan telaah Subagio dalam bukunya, Sosok Pribadi dalam Sajak
(1980), nyaris merupakan sebuah kritik teks yang mencoba melacak arketip teks. Teks

13
babon yang menurunkan variannya. Subagio menganggap banyak citraan pada balada
Rendra yang memikat itu merupakan alih bahasa atau saduran dari citra-citra sajak
Lorca.

Apakah aku membaca sajak-sajak Lorca, jawabnya ya. Tapi, apakah aku menjiplaknya,
itu harus dibuktikan, kata Rendra kepada Gatra, menanggapi tuduhan Subagio itu.
Namun apa pun isi sebuah kritik harus didengar karena bermanfaat untuk introspeksi
diri, Rendra melanjutkan. Toh, Rendra tak mencoba memungkiri kemungkinan
pengaruh sajak-sajak Lorca pada proses kreatifnya. Subagio sendiri, seperti yang
dikatakannya dalam bukunya itu, secara pribadi tidak berniat mengurangi keotentikan
nilai artistik gubahan Rendra. Di luar itu, Subagio memuji stamina artistik Rendra.
Menghadapi balada Rendra, ibarat memelototi lukisan tradisional Bali yang seluruh
permukaannya dipenuhi detil dan ornamen dari sebuah rimba lanskap. Setiap sudut
hampir tidak ada ruang kosong. Rendra tidak pernah membiarkan benak pembacanya
luput dari serbuan khasanah metafora yang diciptakannya.

Itulah salah satu kekuatan Rendra. Kesanggupannya mencerna segala sesuatu dari luar
dirinya diendapkan dan diolah sedemikian rupa sehingga menjadi miliknya. Apa yang
dia keluarkan, walaupun kadangkala tidak orisinal tetapi tetap otentik miliknya, kata
Asrul Sani kepada Gatra. Asrul mengaku mengikuti perkembangan sajak Rendra sejak
ia muda. Asrul pernah menerjemahkan artikel tentang Garcia Lorca, dan Ramadhan
K.H. pernah menerjemahkan beberapa karya Lorca. Karya penyair Spanyol itu
memang sudah masuk ke Indonesia pada 1950-an, baik dalam versi bahasa Inggris
maupun terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Penyair memang selalu saling
mempengaruhi. Kadang- kadang mereka tidak sadar kalau terpengaruh, kata Asrul
lagi.

Toh, Rendra sendiri tidak berhenti pada romantisme Lorca. Ia terus bereksplorasi
dengan balada dan epik-liriknya. Menurut A. Teeuw, Rendra telah meningkat
kepekaannya. Ada semacam getaran mistis-kosmis yang mempengaruhinya dalam
mengidentifikasi manusia terhadap alam sekitarnya. Rendra berhasil memanipulasi
spekulasi panteis-mistik tradisional dalam kebudayaan Jawa. Ia memberikan sentuhan
pribadi, memberi sisi dan ekspresi baru dalam metafora-metafora yang diciptakannya.
Maka setelah periode Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), dan
Sajak-sajak Sepatu Tua (1972); Rendra menyublim menjadi nabi. Seorang pemimpin
bagi Rendra adalah seorang yang kesepian. Ia harus terus berpikir untuk berbuat
banyak, kata Budi Darma kepada Saiful Anam dari Gatra.

Kepekaan solidaritas kemanusiaannya pun makin meningkat. Ditambah dengan


pergaulannya dengan alam filsafat dan wacana politik, ia mulai menggebrak dengan

14
sajak-sajak pamplet-nya.

Aku mendengar suara/ jerit hewan yang terluka.//Ada orang memanah rembulan/
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.//Orang-orang harus dibangunkan./
Kesaksian harus diberikan.//Agar kehidupan bisa terjaga.

Demikian kredo pamplet Rendra yang ditulisnya pada 1974. Ia pun terus bergerak
dengan kesadaran politik baru. Dia punya alasan untuk tindakan-tindakannya yang
terkesan melawan penguasa itu. Menurut Rendra, pemerintah harus berterima kasih
kepada penyair-penyair semacam dia, yang menunjukkan kekurangan pemerintah
yang harus diperbaiki. Orang semacam Rendra akan selalu dan selalu berhadapan
dengan penguasa yang dianggapnya salah, kata H.B. Jassin.

Inilah sajakku./ Pamplet masa darurat./ Apakah artinya kesenian,/ bila terpisah dari
derita lingkungan./ Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.
(Pamplet Penyair).

Perlawanan Rendra tidak melulu melalui sajak. Ia melengkapinya dengan senjata


lakon-lakon panggungnya. Bagaimana ia berusaha menggebah kesadaran penguasa
lewat lakon-lakon adaptasinya seperti Antigone, atau Lysistrata, juga melalui
karyanya sendiri seperti Kisah Perjuangan Suku Naga dan Panembahan Reso.
Keunggulan Rendra juga tampak pada karya terjemahannya. Ia mampu membumikan
lakon-lakon sulit semacam Macbeth karya Shakespeare. Rendra bisa memilih kata-kata
dengan tepat, bisa menafsirkan ulang tanpa melenceng jauh, kata Teguh Karya .

Di sisi lain, dengan Bengkel Teater-nya, ia terus bergerak dan terus bereksperimen. Ia
juga menggali kemungkinan baru dalam seni akting. Ia mengawinkan teori akting
Barat dengan metode kanuragan dari khazanah kejawen. Ia ingin, seni aktingnya
benar-benar bukan sekadar manipulasi di kulit luar, melainkan juga melibatkan unsur
dalam secara total. Pribadi sang aktor lebur ke dalam perannya, dari tulang-belulang,
otot, hingga kulit arinya. Maka metode semadi kejawen menurut Rendra adalah
metode yang ampuh untuk menyeret seni peran hingga ke tataran intrinsik totalitas
penghayatan, seperti yang dipaparkannya dalam bukunya, Tentang Bermain Drama
(1976).

Dari situ Rendra tampak tidak pernah benar-benar berhenti. Ia terus berproses.
Rendra adalah salah satu contoh dari grafik yang terus meningkat. Terus naik. Tidak
pernah turun. Biasanya stamina kebanyakan penulis di Indonesia mudah kendur. Begitu
ia mencapai puncak, dia akan menurun baik dari segi jumlah maupun mutu, kata Putu
Wijaya, salah seorang bekas murid Rendra, kepada Saidah Abuhanifah dari Gatra.

15
Rendra konsisten dengan kepenyairannya. Sampai saat ini ia belum berhenti
menghasilkan puisi. Jeda yang dipergunakannya merupakan saat perenungan. Ia tetap
menjaga sikap pemberontakannya. Yang dimaksudkannya dengan pemberontakan
bukanlah pemberontakan untuk mencapai kekuasaan politik dalam pemerintahan atau
lembaga lainnya. Ia tidak punya pretensi seperti itu. Gugatannya ditujukan terhadap,
Keadaan sosial yang buruk, kemelaratan, dan kepicikan. Para pemberontak memang
harus memeranginya. Demikian pula, terhadap dogma agama dan doktrin politik yang
sok absolut, para pemberontak harus melawannya, kata Rendra.

J. Eko Setyo Utomo

GATRA: Laporan Utama 18 November 1995

SEGELAS AIR PUTIH DI CIPAYUNG


Menjadi pemburu perempuan sejak remaja. Lebih dari seperempat abad berkiprah di
dunia seni. Kini makin intens mendalami Islam.

JALAN pinggir kali yang menuju ke Desa Cipayung, Depok, Jawa Barat, itu tak bisa
dibilang mulus. Konturnya bergelombang dengan lubang menganga di sana-sini.
Apalagi gerimis yang jatuh menciptakan sejumlah kubangan lumpur yang
menjengkelkan. Tapi di sanalah Bengkel Teater berada. Itulah sebuah padepokan,
atelier, mungkin juga sebuah pesantren yang telah berkiprah lebih dari seperempat
abad dalam dunia kesenian, khususnya teater, di Tanah Air.

Selasa malam pekan silam, lebih dari 400 orang meringankan langkah, menyibak tirai
gerimis, untuk menghormati sang pendiri, Rendra, yang hari itu berulang tahun ke-60.
Mereka antara lain penata tari Gusmiati Suid, aktor Adi Kurdi, bekas aktivis mahasiswa
Bram Zakir, deklamator Jose Rizal Manua, pemusik Iwan Fals, Setiawan Djody, serta
sejumlah kerabat dekat. Mereka menyampaikan salam takzim dengan berbagai cara:
merangkul, mencium, mendendangkan sajak, lagu, komentar, sampai goyang dangdut
hingga dini hari.

Rendra, penyair dan dramawan yang karismatis, memang dicintai oleh kalangannya.
Sekaligus ia juga disegani atau malah dibenci dan ditakuti oleh pihak-pihak yang
selalu menjadi sasaran kritik-kritiknya.

16
Ia memang berapi-api sejak kecil. Perseteruannya yang berkepanjangan dengan sang
ayah, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, merupakan pemberontakannya yang
pertama. Rendra yang dididik dalam tradisi Katolik sejak di Taman Kanak-kanak
Susteran, dan terus berlanjut ke SD, SMP, dan SMA Bruderan, menganggap sang ayah
seorang guru sekolah Yayasan Kanisius dan penganut Katolik Roma yang saleh sebagai
simbol keotoriteran. Muasalnya karena kegairahan Rendra akan berbagai fantasi sejak
usia 4 tahun selalu dijegal sang ayah, yang menganggap cerita- ceritanya tidak
rasional. Baginya, segala hal harus mengikuti kaidah rasionalitas, dan ilmiah.
Sementara ibunya, Raden Ayu Catharina Ismadillah, di mata Rendra adalah lambang
kasih dan kebebasan karena pengertiannya yang besar. Bahkan ia mengajari saya cara
melakukan meditasi, supaya pengaruh fantasi-fantasi itu bisa diuapkan, katanya,
seperti dimuat dalam Jejak Langkah Rendra, berkala yang diterbitkan Depot Kreasi
Jurnalistik Jakarta Forum.

Tapi daya tualang imajinasinya kadung tak bisa dibendung. Tahun 1950, pada usia 15
tahun, ia menulis cerita pendek pertama berjudul Drama Pasar Pon. Sebuah cerita
detektif yang dimuat Majalah Pembimbing Putera. Pada 1952, naskah drama
Goncangan Pertama lahir dalam bentuk stensilan. Sejak itu, ia membulatkan hati
untuk menjalani hidup sebagai penyair dan melupakan cita- cita masa kecilnya
menjadi jenderal. Sebuah pilihan yang kembali meletupkan amarah sang ayah. Ia
diusir dari rumah. Bahkan, tak tanggung-tanggung, ayahnya meminta kepala sekolah
untuk menskors Rendra. Dua tahun kemudian, saat berusia 19 tahun, Rendra
membalas perlakuan itu dengan prestasi besar: hadiah dari Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI untuk naskah drama karangannya, Orang-orang di Tikungan Jalan.
Selepas SMA, Rendra memperdalam sastra Barat di Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada (UGM), Yogyakarta, dan menghasilkan dua antologi, Ballada Orang-orang
Tercinta (1957) dan Empat Kumpulan Sajak (1961).

Pada periode itu, sisi lain Rendra kian jelas terungkap. Kendati kekerasan dan
keteguhan sikapnya makin mengkristal, perilaku keseharian Rendra justru makin
lembut romantis. Saya memang tidak bisa bertingkah lain dari itu manja dan kenes,
tulisnya kepada kritikus sastra H.B. Jassin dalam sebuah surat bertanggal 19 April
1960.

Kemanjaan dan kekenesan itu, ditambah kepiawaian dalam bertutur kata dan
menulis, tak ubahnya candu bagi Rendra. Tapi semua itu membutuhkan tiga prasyarat:
adanya pengagum, keberanian yang meledak-ledak, serta nafsu membara. Semua hal
yang sudah dimiliki Rendra. Dalam suratnya kepada penyair Ajip Rosidi, April 1957, ia
mengakui semua kelebihan itu dimanfaatkannya untuk memburu-buru perempuan,

17
meremehkan cinta, berkhianat atas suatu ciuman dan cinta gadis yang paling murni,
melulu untuk meyakinkan pada diri saya betapa senangnya saya O, superman yang
hidup tanpa guna!.

Untuk urusan yang satu itu, boleh jadi ia memang superman. Kontak seksual pertama
dilakukannya saat kelas 1 SMP dengan sang pacar yang dua tahun lebih tua. Tapi
Rendra adalah kumbang yang tak lelah terbang, mencari hakikat dan makna cinta.
Sehingga baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti
Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima
anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan
Klara Sinta.

Selepas dari UGM, Rendra melanjutkan studi memperdalam drama di American


Academy of Dramatical Arts, New York, selama empat tahun (1964-1968). Kembali di
Tanah Air, ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta, sebuah padepokan teater
primus interpares yang diminati generasi muda pencinta seni. Satu di antara muridnya
adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton
Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel
Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan
memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua,
dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur
Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala
datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi
seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang
pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon
drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat
syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq
Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra
masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi
alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama.
Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum
pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam
bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan
individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan
pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya
sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat

18
leher seseorang.

Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding
sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan
saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang
Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua
betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!.
Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia
mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rakel
Saraswati.

Lima tahun pertama dekade 1970, karya-karya puisi dan naskah dramanya terus
bermunculan. Berbeda dengan Rendra sebelum tahun 1970-an yang romantis, Rendra
kini lebih galak, dan mengambil sikap frontal dengan Pemerintah. Karyanya langsung
pada inti kehidupan. Berani berkata putih adalah putih, dan hitam adalah hitam, ujar
Romo Dick Hartoko, salah seorang sahabat Rendra sejak dulu. Keberanian seperti itu
pula yang menyebabkan Adi Kurdi waktu itu pelukis dan pematung tersedot oleh
karisma Rendra sehingga pindah profesi mendalami akting dan teater.

Suasana ketika itu tidak mendukung orang bicara bebas. Tidak saya, tidak orang lain.
Tapi Rendra bisa, dan berani, ujar Adi, yang kemudian menjadi adik ipar Rendra.
Pendapat senada juga diutarakan Bakdi Soemanto, seorang sahabatnya yang lain. Juga
oleh Roekmini Koesoemo Astoeti, pensiunan brigadir jenderal polisi yang pernah
mencekal Rendra di Yogyakarta tatkala masih menjadi intel. Saat itu kan belum
banyak yang berani menyampaikan kritik. Masyarakat dan Pemerintah seringkali
dibuatnya terkaget-kaget, ujar bekas anggota DPR,yang kini anggota Komnas HAM.
Pada 1975, sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan
mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isais Sadewa dan
Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah
kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama
kemudian.

Tahun-tahun berikutnya keadaan tak menjadi lebih baik karena berbagai pelarangan
dan pencekalan terus menghadang. Setelah pementasan Lysistrata (1979), Rendra
mengalami depresi dan psikosomatik berat. Tubuhnya panas-dingin setiap malam.
Kadang bisa mencapai 41 derajat celsius. Mata merah, bibir, ketiak, dan gusi kerap
pecah berdarah tanpa alasan yang jelas. Derita itu dijalaninya setahun penuh sebelum
berangsur sembuh.

Dalam beberapa tahun terakhir, bekas murid Perguruan Silat Bangau Putih yang belum

19
lama ini menjalani operasi sinusitis itu terlihat lebih intens mendalami agama. Ia
terlibat dalam Kantata, forum seni yang dibentuknya bersama Setiawan Djody, Iwan
Fals, Sawung Djabo, dan Yockie Suryoprayogo. Ia pun membentuk Yayasan Hira
bersama Djody, KH Zainuddin Mz, dan Rhoma Irama. Mungkin itu sebabnya mengapa ia
tersipu hal yang tak mungkin dilakukannya di masa lalu saat berkata bahwa Allah
selama ini telah memanjakannya. Bahkan saat menunaikan ibadah haji tahun 1991,
Rendra yang mengaku tak bakal menangis bobol juga air matanya di depan Kabah,
ujar Djody.

Penyanyi Iwan Fals tampaknya bisa memberikan analogi yang lebih pas mengenai
Burung Merak itu. Rendra sekarang adalah segelas air putih. Sejuk, sederhana, dan
karena itu dibutuhkan oleh semua orang.

Akmal Nasery Basral

GATRA: Seni, 5 Agustus 1995

PUBER KETIGA, KEEMPAT, DAN RENDRA


RENDRA TAMPIL LAGI. MEMBACA SAJAK-SAJAK DAN PAMFLET CINTA. UNTUK
RETROSPEKSI DAN INTROSPEKSI. PENONTON MASIH BERJUBEL.

USIA 60 tahun bukan halangan bagi sebuah upaya retrospeksi atau introspeksi, "Untuk
menjamah kembali fitrah saya sebagai manusia," katanya. Maka 26-27 Juli lalu Rendra
tampil lagi di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Setelah ab- sen
sekitar setahun, kali ini ia naik panggung sendirian mem- bacakan sejumlah sajak
cinta.

Tentu saja karena bersifat retrospeksi, sajak-sajak yang dibacakannya "tak perlu" ada
yang baru. Sajak-sajaknya yang merupakan catatan perjalanan personelnya sebagai
penyair, dibacakannya secara "kronologis" dengan beberapa penjelasan mengenai latar
belakang dan latar sosialnya. Sejak masa remaja hingga ia dewasa, berpacar-pacaran,
kawin, mengembara ke New York, dan seterusnya.

Selama dua jam berturut-turut ia membacakan Balada Kasan dan Patimah, Balada
Sumilah, Bunga Gugur, Ranjang Bulan Ranjang Pengantin, Nyanyian Pengantin, Sajak
Joki Tobing untuk Widuri, Sajak Widuri untuk Joki Tobing, Kupanggili Namamu, Rick
dari Corona, Kepada M.G., Wanitaku, Wanitaku!, Kupanggili Kamu Kekasihku,
Pamflet Cinta, Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57, dan Nyanyian Adinda untuk Saijah.

20
Sajak-sajak itu antara lain diciptakan karena dan ditujukan kepada wanita-wanita
yang telah mengisi hidupnya, terutama istrinya yang pertama, Sunarti Suwandi, dan
istrinya yang ketiga -- setelah ia bercerai dengan Sunarti dan Sitoresmi -- Ken Zuraida,
yang kini menemaninya di Depok, "dan menjadi mitos di dalam kalbuku".

Dari kesemuanya, tiga di antaranya merupakan sajak-sajaknya yang terbaik. Bukan


karena sajak-sajak itu kaya dengan ungkapan-ungkapan khas Rendra yang nakal, liar,
dan orisinal, melainkan juga karena, ketika dibacakan, mampu memberikan pesona
teatrikal. Terutama, tentu saja, itu karena Rendra masih tetap seorang aktor dengan
tubuh yang luwes dan vokal penuh warna.

Simak saja beberapa baris dari Balada Kasan dan Patimah (tentang Kasan yang
mengkhianati cinta Patimah, kemudian dikutuk oleh perempuan penyihir itu sehingga
menjadi gentayangan bagaikan hantu di bukit-bukit kapur):

Bila bulan limau retak/ merataplah Patimah perawan tua/ lari ke makam tanah
mati./ Buyar rambutnya sulur rimba./ Di tangan bara dan kemenyan/. Patimah,
Patimah/ susu dan mata padat sihir./ Lelaki muda sepi dan hina/ dipanasi ketakutan
guna- guna/. Patimah, Patimah/ ditebahnya gerbang malam/ demi segala peri dan
kuntilanak/ diguncangnya segala tidur ke pokok kam- boja/ dibangunkan segala
arwah kubur-kubur rengkah/ dan dengan suara segaib angin padang belantara/
dilagukan mazmur dan layar tembaga/ membubung muka kalap tenaga ke pusat
kutuk....

Atau Balada Sumilah (tentang Sumilah yang digosipkan telah digagahi seorang serdadu
Belanda sehingga kekasihnya, Samijo, menolak dan menistakannya):

Tubuhnya lilin tersimpan di beranda/tapi halusnya putih seperti kembang/Datang


yang berkabar bau kamboja/dari sepotong bumi keramat di bukit/makan dari bau
kemenyan/ Sumilah/ rintih- nya tersebar di tujuh desa/ dan di ujung setiap rintih
dis- erunya: "Samijo, Samijo...!"/Bulan akan berkerut wajahnya/dan angin takut
duduk di atap jerami/Seluruh kandungan malam pada tahu/Sumilah merana di
punggung rindunya pada roh Samijo kekasihnya/ dengan belati pada matanya....

Dan terutama Rick dari Corona:

Di Queens Plaza, di stasiun trem bawah tanah/ ada tulisan di satu temboknya/"Rick
dari Corona telah di sini, di mana engkau Betsy?"/ Yeah, yeah, akulah Rick dari
Corona/ aku telah di sini, di mana engkau Betsy?

21
Akulah Betsy/ ini aku di sini/ Betsy Wong dari Jamaica./ Kakek buyutku dari Hong
Kong, suamiku penjaga elevator/ Pedro Gonzales dari Puerto Rico/ suka mabuk dan
suka berdusta./ Kalau mau ketemu/ telepon saja aku./ Pagi hari, aku kerja di pabrik
roti/ Selasa dan Kamis sore, aku miliknya Micky Ragowlsky/ si kakek Polandia yang
membayar sewa kamarku./ Cobalah telepon hari Rabu./ Jangan kuatirkan suamiku./
Ia akan pura-pura tidak tahu./ Oya, sebelum lupa, 20 dolar ongkosnya.

Sayang, Rendra tak cukup banyak membacakan sajak-sajak dari kumpulan Ballada
Orang-Orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1960) atau Blues untuk Bonnie
(1970). Sebab sajak- sajaknya setelah Potret Pembangunan dalam Puisi (1980) _
kecuali sajak-sajak "teratai" yang ditulisnya tatkala ia mendalami ilmu silat Bangau
Putih -- sudah menjadi repetitif dan melelahkan. Itu terasa pada sajak-sajak yang
dibacakannya di babak kedua, kecuali Nyanyian Adinda untuk Saijah.

Di hadapan publiknya yang melimpah dan setia selama dua malam, penyair dan
dramawan yang mengaku telah mengalami puber ketiga, keempat, dan seterusnya itu,
selain tampak riang dan awet muda, juga tetap kenes. Ia seperti tengah memasuki
puber "dan seterusnya" babak kedua.

Yudhistira ANM Massardi

22
GATRA: Teater, 15 November 1997

Kereta Akting Kencana


Rendra dan Ken Zuraida membuktikan bahwa seni akting kaya dan indah. Regenerasi
seakan-akan tidak terjadi.
BILA bulan sudah luput dari pandangan, dan angin menderu, akan datang kereta
kencana, menjemput kita...." Tapi sang "kereta kencana" entah macet di mana. Henri
(dimainkan Rendra) dan istrinya -suatu kali disebut sebagai "Putri Zeba"- (Ken Zuraida)
pun berada dalam penantian sangat panjang.

Pasangan itu sudah mengembara ke seluruh penjuru bumi, menyak- sikan kehancuran
kota-kota pusat peradaban dunia, juga "hutan- hutan di Indonesia yang musnah
terbakar", namun yang dinantikan tak juga datang, hingga usia Henri merentang
berkepanjangan, sampai 700 tahun, dan istrinya 697 tahun. Mereka menjadi sangat
renta, sunyi, kekanak-kanakan, dan tak mati-mati. Namun mereka tetap percaya
-dinyatakan berulang-ulang- bahwa kereta kencana, sang maut agung, akan datang
"bila bulan sudah luput dari pandangan...."

Kereta Kencana adalah drama saduran Rendra atas karya Eugene Ionesco, Les Chaises
(1952). Ionesco -yang pernah menyebut dirinya sebagai "anarkis sayap kanan"- adalah
dramawan Prancis kelahiran Rumania (1912), dan pelopor teater absurd dengan
lakonnya, Biduanita Botak (1949). Adapun Rendra, kita tahu, adalah tokoh teater
Indonesia modern terpenting.

23
Drama yang ditulis Rendra di tahun 1962, dan pernah dipanggung- kan hampir semua
kelompok teater di Tanah Air itu, pada 2 No- vember lalu dimainkan Bengkel Teater
Rendra di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pentas dalam
rang- kaian Festival November menyambut hari ulang tahun ke-29 Pusat Kesenian
Jakarta-TIM itu -yang juga menampilkan Kala oleh Teater Koma, Tak dan Dar Der Dor
(Teater Mandiri), serta Kok Bisa-bisanya sih Kau Bakar Hutan itu? (Teater Ketjil)-
dipadati sekitar 800 penonton yang memenuhi seluruh tempat duduk.

Pementasan malam itu menjadi unik bukan semata-mata bagaikan suatu "kenduri"
karena Kereta Kencana "kembali kepada pemiliknya". Bukan juga karena menjadi
semacam "kado" bagi Rendra sendiri, yang lima hari kemudian (7 November) berulang
tahun ke-62. Melainkan juga karena Rendra ternyata setia untuk tetap memberikan
setting Prancis pada lakon itu. Suatu hal "baru" karena selama ini Rendra dikenal
sebagai dramawan yang cemerlang dalam "mengindonesiakan" semua lakon-lakon
asing yang dipentaskannya.

Keprancisan itu, yang dibasahi oleh lagu Plaisir d'Amour dari bibir sang gaek Henri,
dan La Vie en Rose yang dinyanyikan merdu oleh si Nenek, justru memberikan sebuah
jarak yang diper- lukan bagi permainan akting dan juga penikmatan penonton.
Sehingga, sebagaimana yang terjadi malam itu, applaus spontan yang diberikan
penonton terjadi bukan karena "relevansi kontekstual teks"-nya, yang bisa
menyesatkan emosi, melainkan oleh keindahan dan intensitas akting Rendra yang
teliti menggarap detail. Bahwa Rendra tak bisa menghindarkan diri untuk bicara
mengenai "hutan Indonesia yang musnah terbakar" dan "penggusuran," itu memang
sudah "cacat bawaan," dan tentu itu mendapatkan keplok yang riuh dari publiknya.

Sebagai lakon, Kereta Kencana memang memberikan ruang sangat lebar bagi
eksplorasi akting. Umur kedua tokohnya yang super- tua, yang berganti-ganti peran
sebagai profesor terbuang, badut, jenderal, suami yang manis, sementara si Nenek
suatu ketika harus menjadi layang-layang, adalah sederet tantangan. Lakon itu
memberanakkan sejumlah imajinasi, misalnya tentang "kehadiran" bayi dan Presiden
Prancis yang duduk di kursi goyang, di rumah tua yang bobrok itu.

Maka, publik TIM yang malam itu mendapat- kan kesempatan untuk bisa menyaksikan
kembali akting Rendra dalam pentas drama -setelah sekian lama ia absen- sungguh
beroleh sebuah "kesempatan kencana." Dalam usianya kini, Rendra seakan-akan
hendak memberi contoh, apa itu seni akting, dan bagaimana cara mengolahnya:
Bahwa kekuatan akting bisa memukau, lebih memukau ketimbang agitasi politik.
Bahwa kehalusan gerak jemari tangan dan tarikan bibir bisa lebih mempesona
ketimbang sadisme dan kekerasan yang disebarluaskan oleh televisi.

24
Dunia imajinasi, yang sunyi dan terasing, yang absurd dan "remeh-temeh", yang coba
dibangun dan dihidupkan oleh serang- kaian akting yang subtil, sungguh sangat lama
tak bisa ditemukan lagi di panggung-panggung teater di sini. Yang ada hanya banyolan
kasar, kritik yang banal, atau kegaduhan para anomali di panggung. Adalah hanya
Rendra, lagi-lagi, yang bisa melakukan hal itu.

Regenerasi para aktor seakan-akan tidak terjadi. Memang, pernah ada sejumlah
nama: Amak Baldjun, Chaerul Umam, Ikranagara, Slamet Rahardjo, Didi Petet,
Dorman Borisman, Deddy Mizwar. Namun, mereka kini telah berganti panggung.
Akhirnya, bagai lakon Kereta Kencana yang pulang kandang, bagaikan si gaek Henri
yang setia meniti waktu yang sangat panjang, Rendra belaka yang hadir menunaikan
mission sacree di atas panggung. Maka, bukan salah para Henri bila mereka harus
tetap di atas panggung, sampai berumur 700 tahun....

Yudhistira ANM Massardi

25

You might also like