Professional Documents
Culture Documents
“Saya tidak nampak cara lain untuk kita menjadi masyarakat berilmu
selain mendampingi tabiat membaca.
Hadir sama Ketua Puteri Umno, Noraini Ahmad dan Pengerusi Kelab
Ahli Parlimen Barisan Nasional (BNBBC), Datuk Shahrir Abdul Samad.
Budaya Membaca dan Peningkatan Ilmu
itulah tajuk buku yang kubaca kini. pada permulaannya aku membaca
hasil karya Sharom ini hanyalah untuk membuat sinopsis kepada kerja
kursus yang perlu aku siapkan bagi mendapatkan markah. namun
dalam proses pembacaanku, buku ini memang menarik kerana
pengarangnya telah menghuraikan beberapa persoalan yang sering
kali menjadi isu apabila budaya membaca dibangkitkan.
”Bagus! Visual efeknya memukau, tetapi tetap jauh dari imajinasi yang
aku bayangkan, jalan ceritanya terlalu terburu-buru”, kata Ganes
sambil melihat buku di tangannya yang baru saja filmnya mereka
tonton.
”Aku setuju!”, sela Sari. ”Visual efek secanggih apapun tidak mungkin
bisa mengalahkan imajinasi kita saat membaca. Dan mungkin kalau
kita belum membaca bukunya, kita akan menganggap film itu bagus
hanya karena efek-efeknya tadi”.
”Iya, karena beberapa kali kita menonton film yang diambil dari buku
tidak pernah mengalahkan imajinasi yang kita bayangkan. Apa yang
ada di film adalah imajinasi instan, siap saji sehingga membuat otak
kita menjadi tumpul bila tidak diimbangi dengan membaca”. Ganes
menimpali, sambil bersiap-siap merapikan barang bawaannya untuk
kembali ke kiosnya karena ada acara temu akrab dengan mereka yang
suka membaca.
Ganes dan Sari pada sore hari seringkali mengajak anak-anak atau
bahkan orang dewasa berkumpul untuk melakukan segala aktivitas
entah itu diskusi buku, film, menyanyi, menari, drama atau
mengadakan aktivitas sosial lainnya. Karena pengetahuan yang kita
dapat bila tidak diimbangi dengan pengalaman akan membuat
seseorang menjadi sombong dan sangat kaku.
Ada seorang teman sekolah Sari, Jason, namanya cukup keren bergaya
kebarat-baratan. Ia sering membaca buku, tetapi yang cukup
menganggu teman-temannya, setiap memulai pembicaraan selalu
diawali dengan,”Menurut buku ini....”. Hampir semua omongannya
mengutip buku dan setiap ada orang lain yang berbeda pendapatnya,
ia kemudian mencari pembenaran lain lewat buku-buku lain. Memang
ia jarang sekali bersosialisasi karena selalu membedakan teman yang
satu dengan yang lain. Intinya ia tidak menerima perbedaan pendapat
bila pendapat tersebut berbeda dengan buku yang ia baca. Tetapi tidak
sedikit orang yang percaya dan kagum akan kata-kata Jason. Mereka
adalah orang yang tidak suka membaca sehingga mudah dibodoh-
bodohi. Ketidaktahuan dan kebodohan mereka menjadi makanan
empuk bagi Jason untuk melampiaskan kesombongannya karena
sudah membaca banyak buku.
”Anak apa yang paling keren di dunia?” Tanya Othyss, salah seorang
peserta temu akrab di kios Ganes kepada mereka yang kumpul di
sana.
”Salah!!!”
”Anak Bayi, pasti selalu keren, bener kan?” jawab Beti dengan penuh
keyakinan.
Budaya Membaca
2008 June 30
by Abu Umair
"Pelik apabila perbalahan itu terjadi kerana sesuatu punca yang baik.
Sepatutnya ia mendapat sokongan bukannya semakin menambahkan
konflik.
"Jurang yang pada mulanya kecil menjadi besar kerana masing- masing
cuba menegakkan pendapat sedangkan membaca satu keperluan
bukan paksaan.
"Bayangkan apa yang bakal berlaku jika generasi berkenaan terus leka,
tidak mahu menambah ilmu atau tiada ruang menambah
pengetahuan," katanya.
Shutter Stock
Kuncinya adalah orangtua memberi teladan pada anaknya untuk
mengenalkan budaya membaca sejak dini. Orangtua juga mesti
senang membaca.
/
Artikel Terkait:
• Perpustakaan Layanan Anak Masih Minim
• Awas, Jangan Salah Langkah Tumbuhkan Minat Baca!
• Ibumu, Perpustakaan Pertamamu!
Jumat, 31 Juli 2009 | 11:35 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com – Anak zaman modern memiliki kecenderungan
jauh dari dunia aksara. Budaya membaca dan menulis terus tergencet
oleh banyaknya tawaran digital dan audio-visual yang jauh lebih
menarik.
Belum lagi, banyaknya tuntutan studi yang dibebankan kepada si anak.
”Mana sempet,” begitu mereka beralasan.
Namun, ketika ditelisik lebih jauh, alasan tersebut mungkin ada
benarnya. Anak-anak Indonesia saat ini kerap dibayangi ketakutan
akan ketidaklulusan, tak mencapai batas ketuntasan, ataupun jika
sudah lulus masih takut, akan diterima di sekolah lanjutan yang
diidamkan atau sebaliknya.
Menurut Rudi Putranto, Ahli Penyakit Dalam FKUI Devisi Psikosomatik,
hal tersebut bisa menimbulkan stres dan sakit psikosomatis. Namun
sebaliknya di pihak sekolah, demi menjaga reputasi dan nama baik
mereka menjejali anak didiknya dengan materi-materi ”bergengsi”.
Ya, sedini mungkin anak sudah diajari Bahasa Inggris dan Matematika.
Bahkan, orangtua pun tidak mau kalah. Selepas si anak sekolah, ada
bermacam jenis les yang mesti mereka hadapi.
”Tema-teman Nilam jadinya banyak yang enggak suka bahasa
Indonesia,” kata Nilam Zubir (13), penulis buku The Diary of Nilam
Zubir, saat peluncuran bukunya di Jakarta (30/7).
Nilam, mungkin satu dari sedikit anak Indonesia yang ”terselamatkan”.
Dia tidak terjebak oleh kehidupan formal anak-anak sekolah. Sejak TK,
orangtuanya membiarkan imajinasinya liar mengikuti tiap cerita yang
ia baca. Bahan bacaan yang telah dicerna lalu dituangkannya ke dalam
bentuk tulisan.
”Mulai TK, Nilam dibiasakan menulis lima paragraf, supaya mereka,
para orangtua tahu apa yang Nilam kerjakan. Soalnya mereka sering
bepergian,” ungkapnya.
Mulai dari situlah, gadis kecil kelahiran Cinere 8 Maret 1996 ini
menapaki dunia jurnalisme. Pengalamannya mewawancarai pejabat
tinggi negara dibukukan dengan judul Pengalamanku Mewawancarai
Pejabat Tinggi Negara. Ia mendapatkan kesempatan tersebut tatkala
menjadi presenter program Swara Anak, sejak kelas 1 SD.
Tidak hanya itu. Menjadi pembaca acara pun Nilam lakoni, bahkan
menjadi pemain sinetron dan film. Belum lagi les bimbel, les wushu, les
privat piano, les menari, serta olah vokal yang masuk ke dalam
jadwalnya. Namun yang menarik dari semua itu, Nilam tetap
memandang semua pelajaran sekolah sebagai yang utama.
“Nilam tidak tertekan dengan banyak kegiatan itu, yang jelas Nilam
tetap membaca dan menulis,” tutur penggemar pelajaran Bahasa
Indonesia ini.
Sulitnya Mencari Sosok Nilam
Menurut sastrawan K.Usman, komentator buku Nilam, sulit di zaman
sekarang menemukan anak-anak seperti Nilam. Kesempatan mereka
membaca dibajak oleh kesibukan berbasis pelajaran-pelajaran sekolah.
Selepas sekolah ada les dan tawaran televisi, dan game online.
”Oleh karena itu kuncinya adalah bagaimana orangtua memberi
teladan pada anaknya untuk mengenalkan budaya membaca sejak
dini. Orangtua juga mesti senang membaca,” tutur Usman.
Tanpa peran orangtua, ia melanjutkan, sulit bagi generasi muda kita
gemar membaca. Buku-buku yang diterbitkan banyak terpaku pada
kurikulum. Menurutnya, kurikulum mesti diperbaiki, karena kurang
mendorong kreatifitas.
Terkait peran orangtua, pada kesempatan yang sama, Cri Puspa Dewi
Motik Pramono memberi kesaksian. Demi membiasakan cucunya
membaca, Dewi tiap hari membaca dan membacakan cerita untuk
mereka.
”Ketika saya membacakan cerita, saya juga mengekspresikan apa
yang saya baca sehingga menarik. Harapannya, hal ini akan lebih
menarik daripada mereka menonton televisi,” ucap Dewi.
Televisi memang menjadi penghambat lain dalam membangun budaya
membaca dan berkreativitas. Dewi pun menegaskan, bahwa orangtua
mesti mengambil peran yang lebih besar untuk mengendalikan
pengaruh televisi dan terus membangun suasana membaca di rumah.
“Kita tidak bisa mengendalikan penyaringan, baik dari pemerintah
maupun dari stasiun televisi. Kita yang mesti pro aktif,” papar Dewi.
Dalam hal ini, Nilam, kelas VII SMPN 68 Jakarta, menjadi bukti konkret.
Bahwa, kemampuannya menulis tidak terlepas dari kegemarannya
membaca, walaupun di lingkungannya tidak banyak yang suka
membaca.
”Membaca dan menulis tidak pernah lepas, kalau mau mulai
membaca, baca yang kalian suka. Boleh baca komik, lalu nanti baca
buku sastra, itu akan memperkaya pengetahuan dan cinta bahasa kita
sendiri,” ajak Nilam.
Kehadiran Nilam, penggemar Pramoedya Ananta Toer ini, menambah
deret penulis cilik Indonesia. Sebelumnya ada Ramya Hayasrestha
Sukardi (10), penulis buku 'Dunia Es Krim' yang telah lima kali cetak
ulang.
Selain itu, ada juga Ahmad Ataka Awalul Rizki (17). Ahmad menulis
sejak SD. Salah satu karyanya adalah novel trilogi 'Misteri Pedang
Skinheld'.
Mereka tetap ada dan mampu berekpresi di tengah tekanan studi di
sekolah maupun di luar sekolah. Mereka tetap berkarya sekalipun
banyak tawaran menarik dari acara televisi, atau game online.
'The Diary of Nilam', yang berisi "curhat" kegiatan keseharian anak
pasangan Zubir Dahlan-Nina Triastuti sebanyak 102 halaman ini,
menjadi bukti kuatnya komitmen orangtua dalam mendidik anak-
anaknya. Dan tentu saja, tentang kejujuran anak dalam
mengembangkan dirinya.
”Ayo anak-anak muda menulislah, karena dengan menulis cinta kita
pada sastra dan Bahasa Indonesia akan membuat kita semakin
mencintai tanah air,” tandas si bungsu.
MENINGKATKAN BUDAYA MEMBACA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
KAMPUS
Membaca
Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata itu?
Sebagian ada yang berfikir membaca adalah kegiatan yang
membosankan. Ada juga yang mengatakan bahwa membaca hanya
menyita waktu, tenaga dan pikiran. Bahkan ada yang berasumsi
bahwa membaca bukanlah kegiatan yang bermanfaat karena tidak
menghasilkan materi. Padahal, kalau kita mau berpikir kritis, kita akan
menemukan begitu banyak manfaat dari kegiatan membaca. Dengan
membaca suatu bacaan, seseorang dapat menerima informasi,
memperdalam pengetahuan, dan meningkatkan kecerdasan.
Pemahaman terhadap kehidupan pun akan semakin tajam karena
membaca dapat membuka cakrawala untuk berpikir kritis dan
sistematis. Hanya dengan melihat dan memahami isi yang tertulis di
dalam buku pengetahuan maupun pelajaran, membaca bisa menjadi
kegiatan sederhana yang membutuhkan modal sedikit, tapi menuai
begitu banyak keuntungan.
Manfaat Perpustakaan