You are on page 1of 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

LATAR BELAKANG Selama ini pemerintah dianggap belum menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai produk pangan di daerah. Bahkan, Ditjen Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) baru mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar mewajibkan pengawasan pangan.

Jadi, secara tidak langsung, pemerintah telah lalai mengawasi produk pangan bagi konsumen di Indonesia. Fungsi pengawasan oleh pemerintah bermasalah, kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, Rabu, 9 Februari.

Menurut dia, indikasi lain yang menguatkan soal itu adalah rutinitas razia makanan yang biasanya baru dilakukan menjelang Lebaran. Hal itu terjadi karena selama ini tidak ada pengawasan secara rutin oleh pemerintah daerah.

Di sisi lain, tidak semua daerah memiliki lembaga konsumen. Akibatnya, tidak banyak warga yang tahu akan mengadu ke mana terkait produk bermasalah yang mereka temukan. Kalau ada, mencari telepon lembaga dan alamatnya juga susah setengah mati, tutur Sudaryatmo.

Karena itu, YLKI menilai, kewajiban labelisasi halal untuk produk pangan akan memicu masalah. Dia mempertanyakan kesanggupan pemerintah

menegakkan hukum terhadap perusahaan besar yang melanggar ketentuan labelisasi halal tersebut. Jika diwajibkan, itu malah menjadi persoalan. Lebih baik sifatnya voluntary saja, kata dia.

Labelisasi halal, ujar Sudaryatmo, akan otomatis dilakukan pelaku usaha yang mendirikan perusahaan pangan di kawasan berpenduduk mayoritas muslim,

seperti Indonesia. Hal itu merupakan konsekuensi agar produk mereka laku. Tanpa diwajibkan pun, mereka sudah tahu itu, tutur Sudaryatmo.

DPR berpendapat, labelisasi produk halal penting dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum konsumsi atas kepentingan kelompok tertentu. Rencananya, DPR dan pemerintah merumuskan rancangan undang-undang (RUU) jaminan produk halal.

Menurut Sudaryatmo, labelisasi membutuhkan biaya yang tinggi. Misalnya, pengurusan di lembaga sertifikasi, akreditasi, pemeriksa, hingga komisi fatwa. Dia meminta proses labelisasi halal diterapkan berbeda antara industri pangan besar dan yang kecil. Industri kecil kerap mengeluh harus menanggung biaya tiket dan penginapan para auditor halal dari Jakarta, ujar Sudaryatmo.

Secara terpisah, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa ke depan semua produk pangan yang mengandung babi atau dalam prosesnya bersinggungan dengan babi wajib mencantumkan kotak merah bergambar babi. Menurut Kepala BPOM Kustantinah, gambar babi itu harus dicantumkan dalam setiap kemasan produk yang diedarkan.

Langkah itu ditempuh untuk memberikan informasi kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim. Itu mencegah peredaran produk makanan yang tak layak dikonsumsi masyarakat, terangnya.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Produk Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LP3OM MUI) Lukmanul Hakim menyatakan bahwa hingga kini produk pangan yang telah melakukan sertifikasi halal baru sekira 36,7 persen. Di antara jumlah itu, sekitar 31 persen berasal dari produk pangan impor. Lalu, 21 persen di antaranya dikuasai produk asal China. Sekarang kesadaran di kalangan produk impor untuk melakukan sertifikasi terus meningkat, tutur dia. Meski begitu, dia juga menyayangkan

masih banyak produk makanan yang beredar di masyarakat belum melakukan registrasi sertifikat halal.

1.2.

IDENTIFIKASI MASALAH Mengapa penyalahgunaan bahan kimia berbahaya dalam makanan termasuk ke dalam kasus pelanggaran rule of law? Faktor apa yang menyebabkan produsen makanan masih

menggunakan bahan kimia berbahaya ? Bagaimana landasan penerapan rule of law mengenai keamanan pangan di Indonesia? Bagaimana peredaran produk pangan yang tidak memenuhi syarat? Apa salah satu kasus keracunan makanan yang terjadi di masyarakat? Bagaimana tanggung jawab dan kesadaran produsen-distributor? Bagaimana pengetahuan dan kepedulian konsumen terhadap

permasalahan keamanan pangan? Apa dampak yang ditimbulkan akibat penyimpangan mutu dan masalah keamanan pangan? Apa tindakan pemerintah untuk mnanggulangi permasalahan ini?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rule Of Law merupakan suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke XIX, bersamaan dengan kelahiran Negara berdasarkan hukum (konstitusi) dan demokrasi. Kehadiran Rule Of Law boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap Negara absolut ( kekuasaan di tangan penguasa ) yang telah berkembang sebelumnya. Berdasarkan pengertian, friedman ( 1959 ) membedakan Rule Of Law menjadi 2 yaitu pengertian secara formal ( in the formal sense ) dan pengertian secara hakiki / materil ( ideological sense ). Secara formal , Rule Of Law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisir ( organized public power ) . Hal ini dapat diartikan bahwa setiap Negara mempunyai aparat penegak hukum yang menyangkut ukuran yang baik dan buruk ( just anf unjust law ). Rule Of Law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap rasa keadilan bagi rakyat Indonesia dan juga keadilan sosial . Inti dari Rule Of Law adalah adanya keadilan bagi masyarakat , teruatama keadilan sosial. Pelaksanaan Rule Of Law mengandung keinginan untuk terciptanya Negara hukum , yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan Rule Of Lawharus diartikan secara hakiki ( materil ) yaitu dalam arti pelaksanaan dari just law. Prinsip prinsip Rule Of Law secara hakiki sangat erat kaitannya dengan the enofercement of the rules of law dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip prinsip rule of law. Secara kuantatif, peraturan perundang undangan yang terkait dengan Rule of Law telah banyak dihasilkan di Negara kita, namun implementtasi / penegakannya belum mencapai hasil yang optimal. Sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan Rule of Law belum dirasakan sebagian masyarakat. Contoh peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan.

Beberapa isi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan yang berhubungan dengan rendahnya pengawasan hukum dalam kasus peredaran bahan kimia berbahaya dalam makanan adalah sebagai berikut :

1. Pasal 6 Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib: a. memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia; b. menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala; dan c. menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi. 2. Pasal 10 (1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan. (2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3. Pasal 11 Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah. 4. Pasal 13 (1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika

wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan. (2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian,

pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. 5. Pasal 20 (1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan system jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. (2) Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara laboratoris sebelum peredarannya. (3) Pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan atau telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah. (4) Sistem jaminan mutu serta persyaratan pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dan diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 6. Pasal 21 Setiap orang dilarang mengedarkan: a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia; b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan;

d. pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia; e. pangan yang sudah kedaluwarsa.

BAB III PEMBAHASAN Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan.

Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program keamanan pangan adalah: (1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap mutu dan keamanan pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan; dan (3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah langkah maju telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya penjabaran UU tersebut, telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang keamanan pangan serta label dan iklan pangan. Demikian juga PP tentang mutu dan gizi pangan serta ketahanan pangan. Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara umum adalah: (1) Masih dtiemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan; (2) Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan; (3) Masih rendahnya tanggung jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang diproduksi/diperdagangkannya; dan

(4) Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan konsumen terhadap keamanan pangan. A. Produk Pangan yang Tidak Memenuhi Persyaratan

Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% 10,23% pangan yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan. Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi persyaratan bahan pangan adalah sekitar 7,82% - 8,75%. Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan.

Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02% menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan lontong.

Pengujian pada minuman jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.

Pestisida, logam berat, hormon, antibiotika dan obat-obatan lainnya yang digunakan dalam kegiatan produksi pangan merupakan contoh cemaran kimia yang masih banyak ditemukan pada produk pangan, terutama sayur, buah-buahan dan beberapa produk pangan hewani. Sedangkan cemaran mikroba umumnya banyak ditemukan pada makanan jajanan, makanan yang dijual di warung-warung di pinggir jalan, makanan katering, bahan pangan hewani (daging, ayam dan ikan) yang dijual di pasar serta makanan tradisional lainnya. Hasil pengujian di 8 Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi menemukan 23,6% contoh makanan positif mengandung bakteri Escheresia coli, yaitu bakteri yang digunakan sebagai indikator sanitasi.

Dalam hal pelabelan produk pangan, dari sejumlah contoh label yang diperiksa sebanyak 27,30% - 26,76% tidak memenuhi persyaratan dalam hal kelengkapan dan kebenaran informasi yang tercantum dalam label. Sedangkan dari sejumlah contoh iklan yang diperiksa terutama karena memberikan informasi yang menyesatkan (mengarah ke pengobatan) dan menyimpang dari peraturan periklanan. Produk pangan kadaluarsa terutama diedarkan untuk bingkisan atau parcel Hari Raya/Tahun Baru. Dari sejumlah sarana penjual parcel yang diperiksa sekitar 33,22%-43,57% sarana menjual produk kadaluarsa.

Peredaran produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi masih banyak pula ditemukan. Dari sejumlah contoh garam beryodium yang diperiksa sekitar sebanyak 63,30%-48,73% contoh tidak memenuhi persyaratan kandungan KlO3.

Produk pangan impor yang tidak memenuhi persyaratan masih banyak yang beredar di pasaran. Survei tahun 1998 menemukan sejumlah 69,2% tidak mempunyai nomor ML (izin peredaran dari Departemen Kesehatan) dan 28,1%

tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Ditemukan pula sayuran dan buahbuahan impor yang mengandung residu pestisida yang cukup tinggi serta mikroba dalam jumlah dan jenis yang tidak memenuhi persyaratan pada produk pangan hewani.

B.

Kasus Keracunan Makanan

Sepanjang tahun 1994/1995 dilaporkan sejumlah 26 kasus keracunan makanan yang menyebabkan 1.552 orang menderita dan 25 orang meninggal, sedangkan tahun 1995/1996 dilaporkan sebanyak 30 kasus dengan 92 orang menderita dan 13 orang meninggal. Dari kasus tersebut hanya 2 5 kasus yang telah diidentifikasi dengan jelas penyebabnya. Diperkirakan jumlah kasus yang dilaporkan ini masih sangat rendah dibandingkan keadaan sebenarnya yang terjadi. WHO (1998) memperkirakan perbandingan antara kasus keracunan makanan yang dilaporkan dan yang sebenarnya terjadi adalah 1: 10 untuk negara maju dan 1 : 25 untuk negara yang sedang berkembang. Sebaran kasus keracunan di 10 propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kasus keracunan pangan di 10 Propinsi di Indonesia dalam tahun 1996-1997

PROPINSI

Jumlah Kasus Jumlah Korban

Sumber/asal TPM

Jumlah yang telah Diidentifikasi penyebabnya

Penderita

Mening gal

1. D. I. Aceh 2. Sumatera Barat

1 2

3 10

0 1

Makjan Rumah Tangga

1. Bengkulu 2. Jawa Barat 3. Jawa Tengah

1 1 6

37 163 431

0 0 0

(RT) Rumah Tangga Jasaboga Jasaboga

Zat Kimia -

4. Jawa Timur 12 505 6

Pasar Jasaboga, Industri RT, Makjan pasar

1 (nitrit) 1 (amaranth) 1 (pestisida) 1 (salmonella) 8 (?)

5. Kalimantan Barat 6. Kalimantan Selatan 7. Sulawesi Selatan 4 76 7 2 1 27 18 0 0

1 (jamur) 1 (nitrit) 2 (?)

Toko, RT Pasar, RT

8. Bali

111

Shigella S. aureus

Lokal Jumlah 31 1.381 14

16 (51,61%)

Sumber: Direktorat Penyehatan lingkungan Pemukiman, Ditjen PPMPLP, Depkes (1998)

C.

Tanggung Jawab dan Kesadaran Produsen dan Distributor

Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapan Good Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan berskala kecil dan rumah tangga.

Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% - 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.

Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% - 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan.

D.

Pengetahuan dan Kepedulian Konsumen

Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan.

Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai program dan pembinaan baik terhadap pedagang, pengusaha dan pengolah/penjaja makanan maupun terhadap lokasi penjualan dan pengolahan pangan. Pembinaan dilakukan tidak hanya oleh Departemen Kesehatan, namun melibatkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1995/1996 menunjukkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1997/1998 menunjukkan bahwa telah lebih dari 60% kelompok makanan jajanan (lokasi dan pedagang) pengrajin makanan (lokasi desa dan pengrajin) dibina, namun baru sekitar 14,65% pengusaha dan 23,86 penjaja makanan yang telah dibina dalam hal pengelolaan makanan secara aman.

III.

Dampak Penyimpangan Mutu dan Masalah Keamanan Pangan

Ada empat masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional yang berpengaruh terhadap perdagangan pangan baik domestik maupun global (Fardiaz, 1996), yaitu:

Pertama, produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan pangan, yaitu: (1) Penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas dalam produk pangan; (2) Ditemukan cemaran kimia berbahaya (pestisida, logam berat, obat-obat pertanian) pada berbagai produk pangan; (3) Cemaran mikroba yang tinggi dan cemaran microba patogen pada berbagai produk pangan; (4) Pelabelan dan periklanan produk pangan yang tidak memenuhi syarat; (5) Masih beredarnya produk pangan kadaluwarsa, termasuk produk impor; (6) Pemalsuan produk pangan; (7) Cara peredaran dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi syarat; dan (8) Mutu dan keamanan produk pangan belum dapat bersaing di pasar Internasional.

Kedua, masih banyak terjadi kasus kercunan makanan yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga, masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan (produsen bahan baku, pengolah dan distributor) tentang mutu dan keamanan pangan, yang ditandai dengan ditemukannya sarana produk dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan (GAP, GHP, GMP, GDP, dan GRP), terutama pada industri kecil/rumah tangga. Dan keempat, rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan yang terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih membeli produk pangan dengan tingkat mutu dan keamanan yang rendah.

Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai dampak terhadap pemerintah, industri dan konsumen seperti tercantum dalam Tabel 2. Oleh karena itu diperlukan peran serta ketiga sektor tersebut untuk menjamin mutu dan keamanan pangan.

IV.

Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan yang harus ditempuh, serta disusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan domestik maupun global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang aman, serta mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk menghasilkan produk yang konsisten dan ISO 14000 (EMS) untuk menjamin produk pangan yang berwawasan lingkungan (Gambar 1). Gambar 2. Menyajikan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan nasional, yang menekankan pada penerapan sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam pengolahan pangan yaitu GAP/GFP (Good

Agriculture/Farming Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices), GRP (Good Retailing Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).

Tabel 2. Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap pemerintah, industri dan konsumen.

PENYIMPANGAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN PEMERINTAH Penyelidikan penyedikan kasus Biaya penyelidikan dan analisis Kehilangan Produktivitas Penurunan ekspor Biaya sosial sekuriti Penganguran dan INDUSTRI Penarikan produk Penutupan pabrik Kerugian Penelusuran penyebab Kehilangan pelanggan Kehilangan kepercayaan pasar dan KONSUMEN Biaya pengobatan dan

rehabilitasi Kehilangan pendapatan dan produktivitas Sakit, penderitaan dan

mungkin kematian Kehilangan waktu Biaya penuntutan/pelaporan

konsumen (domestik dan internasional) Administrasi asuransi Biaya legalitas Biaya dan waktu

rehabilitasi (pengambilan kepercayaan konsumen) Penuntutan konsumen

Dalam bulan Juni 1995, Codex Alimentarius Commision (CAC) telah mengadopsi dan merekomendasikan penerapan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan. Negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) melalui EC Directive 91/493/EEC juga

merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar pengembangan sistem manajemen mutu kepada negara-negara yang akan mengekspor produk pangan ke negara-negara MEE. HACCP juga direkomendasikan oleh US-FDA kepada negara-negara yang mengekspor produk makanan ke USA. Konsep HACCP terutama mengacu pada pengendalian keamanan pangan (food safety), meskipun dapat pula diterapkan pada komponen mutu lainnya seperti keutuhan yang menyangkut anfaat dan kesehatan (Wholesomeness), dan pencegahan tindakantindakan kecurangan dalam perekonomian (economic fraund) (Tim Inter Departemen Bappenas, 1996).

Konsep Implementasi Quality System dan Safety

SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN KEKUATAN Perkembangan industri yang pesat pangan semakin KELEMAHAN Produk PELUANG Globalisasi produk agroindustri ANCAMAN Persaingan internasional semakin ketat Peraturan kesepakatan SDM internasional (WTO/TBT, dll) SPS, dan yang

pangan

didominasi oleh industri kecil/rumah tangga

Tersedianya UU Pangan Peraturan dan

Kualitas

belum memadai Kelembagaan koordinasi belum terpadu Penguasaan Iptek yang lemah Keterbatasan dan sumber dana Kepedulian produsen dan masih

Tersedianya sistem manajemen mutu dan keamanan

(GAP/GFP, GHP, GMP,

GDP, GRP, ISO 9000, ISO 14000 ,dll)

konsumen masih rendah Keterbatasan infrastruktur (laboratorium, peraturan, pedoman,

standar) KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN PROGRAM PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN (Mengacu pada konsep HACCP, ISO 9000 dan ISO 14000) IMPLEMENTASI PROGRAM DAN PENGAWASAN
JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

Gambar 1. Analisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam implementasi sistem mutu dan keamanan pangan.

HACCP, ISO 9000, ISO 140000

Produksi Bahan Baku/ Penolong

Penanganan

Pengolahan

Distribusi

Pasar

Konsumen

GAP/GEP

GHP

GMP

GDP

GRP

GCP

KEKUATAN

KELEMAHAN

Gambar 2. Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional

V.

Tanggung Jawab Bersama dalam Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan. Gambar 3 menyajikan keterlibatan dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen dalam pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.

IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN INDUSTRI (Industri Pengolahan, Pengecer) Penyusunan kebijaksanaan strategi, bahan baku, KONSUMEN MASYARAKA T

PEMERINTAH

Distributor,

Penerapan sistem jaminan Pengembanga mutu dan keamanan n SDM

program dan peraturan Pelakasanaan program Pemasyarakatan Pangan dan peraturan Pengawasan enforcement Pengumpulan informasi Pengembangan Iptek dan penelitian Pengembangan (pengawas penyuluh industri) Penyuluhan penyebaran Penyelidikan penyedikan dan informasi SDM pangan, pangan, dan low UU

pangan (GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GR, HACCP, ISO 9000, ISO 14000 dll) Pengawasan mutu dan

(pelatihan, penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen) tentang

keamanan produk Penerapan teknologi yang tepat (aman, ramah

lingkungan, dll) Pengembangan (manager, SDM supervisor,

keamanan pangan Praktek penanganan dan pengolahan pangan yang

pekerja pengolah pangan)

kepada konsumen dan kasus

baik (GCP) Partisipasi dan kepedulian masyarakat tentang mutu dan keamanan pangan

penyimpangan mutu dan keamanan pangan

TANGGUNG JAWAB BERSAMA


JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

Gambar 3. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam implementasi sistem dan keamanan pangan

VI.

Kebijakan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Kebijakan Nasional tentang Mutu dan Keamanan Pangan telah disusun secara lintas sektoral dengan melibatkan berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan. Kebijakan Mutu dan keamanan Pangan nasional tersebut adalah sebagai berikut (Kantor Menteri Negara Pangan: 1997):

1. Meningkatkan mutu dan keamanan pangan melalui pengembangan, kelembagaan. pengembangan peraturan

penelitian dan serta

perundang-undangan

2. Meningkatkan mutu gizi pangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat.

3. Memberikan jaminan bahwa pangan sebagai bahan baku industri maupun konsumsi, bebas dari kontaminasi bahan kimia, biologi dan toksin, serta tidak bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat. 4. Menerapkan secara terpadu sistem jaminan mutu dan keamanan pangan sejak pra produksi, selama proses produksi sampai konsumen baik dalam pembinaan maupun pengawasan melalui Program Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional. 5. Meningkatkan pengawasan melekat/mandiri (self regulatory control) pada produsen, konsumen, pengolah, pedagang, serta pembina dan pengawas mutu dalam melaksanakan jaminan mutu dan keamanan pangan. 6. Melarang memperadagangkan (ekspor dan impor) pangan yang melanggar ketentuan yang secara internasional telah disepakati bersama. 7. Melaksanakan sertifikasi dan menerebitkan sertifikat mutu produk pangan yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produsen, eksportir dan eksportir produsen yang telah mampu menerapkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan. 8. Menjaga standar mutu yang tinggi dalam setiap aspek kinerja pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan secara terpadu. 9. Melaksanakan pemasyarakatan Program Mutu dan keamanan Pangan Nasional. 10. Pengembangkan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu pangan melalui pendidikan dan latihan.

VII.

Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Hasil diskusi dari berbagai instansi terkait tentang implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional telah menyepakati berbagai kegiatan/sub program yang perlu dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan secara

nasional yang dibedakan atas program utama dan penunjang (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1997), sebagai berikut:

Program utama: (1) Pengembangan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (2) Pengembangan sarana dan prasarana pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan mutu dan gizi pangan, standarisasi mutu dan keamanan pangan; (4) Pengembangan sistem keamanan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (5)

Penyelenggaraan pelayanan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (6) Pemasyarakatan sistem mutu dan keamanan pangan; (7) Penelitian dan pengembangan mutu dan keamanan pangan; (8) Pengembangan harmonisasi internasional sistem pembinaan dan sistem pengawasan mutu dan keamanan pangan; (9) Pengembangan sistem analisis resiko; dan (10) Pengembangan sistem jaringan informasi pembinaan mutu pangan.

Program Penunjang: (1) Kegiatan pengembangan pengendalian lingkungan; (2) Pengembangan penyuluhan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan peraturan perundang-undangan mutu dan keamanan pangan; dan (4)

Pengembangan kelembagaan dan kemitraan dalam bisnis pangan.

Pangan atau makanan adalah kebutuhan pokok manusia. Dewasa ini kebuthan pangan tidak tebatas pada jumlah atau kuantitas, tetapi lebih dipertimbangkan dari segi mutu atau kualitasnya. Masyarakat di berbagai negara menuntut bahan pangan yang mempunyai kulaitas baik, bernilai gizi tinggi dan aman. Bahkan organisasi perdagangan dunia WTO (world trade organization) membuat persyaratan khusus tentang mutu dan kemananan produk pangan yang diperdagangkan. Di Indonesia, penyediaan produk olahan pangan yang berkualitas baik, bergizi dan aman perlu mendapat perhatian secara seksama baik oleh pemerintah, produsen maupun konsumen. Produk pangan yang berkualitas baik akan mempunyai nila jual yang tinggi disamping akan mampu berkompetisi didalam perdagangan secara luas. Produk pangan yang aman menunjukkan bahwa produk tersebut benar-benar aman bila dikonsumsi. Produk pangan dikatakan tidak aman bial produk tersebut tercemar dengan sesuatu yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Sekarang ini banyak sekali bahan kimia dan berbagai campuran-campuran lain dibuat dan diciptakan untuk membuat pekerjaan manusia dalam membuat makanan lebih efektif dan efisien. Tetapi di samping untuk makanan dibuat juga bahan kimia untuk pembuatan kebutuhan lain. Di mana bahan kimia tersebut tidak boleh dipergunakan dalam pembuatan makanan dan dapat berakibat fatal. Hal ini sangat penting dan juga memprihatinkan. Fenomena ini merupakan salah satu masalah dan kebobrokan bangsa yang harus diperbaiki. Janganlah sampai membiarkan hal ini terus berlarut dan akhirnya akibat menumpuk di masa depan. Oleh karena itu, kami berusaha merangkum sedemikian rupa dan mencoba membedah apa saja yang seharusnya dilakukan dan mengapa hal ini menjadi hal yang sangat penting.

Berdasarkan UU RI No.7 tahung 1996 tentang Pangan telah dijelaskan pada pasal 10 tentang bahan tambahan pangan dan pasal 21 dan 22 tentang pangan tercemar bahwa semua bahan pangan dan cara pengolahannya harus dilakukan sesuai dengan prsedur yang ada. Keamanan pangan bisa dibedakan dalam dua hal besar; yaitu aman secara rohani dan aman secara teknis. Keamanan pangan secara rohani ini berhubungan dengan kepercayaan dan agama suatu masyarakat. Untuk sebagian besar konsumen Indonesia yang beragaman Islam, maka faktor kehalalan menjadi suatu prasayarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Adalah kewajiban produsen untuk memberikan jenis pangan yang halal bagi masyarakat konsumen muslim. Hal ini sesuai dengan definisi keamanan pangan dari UU No. 7; yang menyatakan bahwa konsumen berhak untuk terbebas dari jenis pangan yang tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat. Referensi dan edoman produksi pangan halal ini dikeluarkan oleh dan berkonsultasi dengan lembaga formal seperti LPPOM-MUI, Keamanan pangan secara jasmani dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Mengapa bahan kimia berbahaya mudah didapat oleh masyarakat ? Sesuai dengan UU RI pasal 10 dan 11 tentang bahan tambahan pangan yang isinya sebagai berikut : Bahan Tambahan Pangan Pasal 10 (1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan. (2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 11

Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah. Tetapi dewasa ini masih terdapat bahan kimia berbahaya yang digunakan didalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh produsen nakal, masalah ini biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendorong produsen nakal tersebut menggunakan bahan ilegal diantaranya, pertama secara teknis pengusaha

menggunakan bahan itu karena lebih praktis dan efisien dibandingkan menggunakan bahan penolong legal seperti es. Selain itu bahan ilegal seperti formalin harganya lebih murah dibandng obat pengawet legal. Kedua, kurangnya pengetahuan pelaku bisnis usaha tentang bahan kimia formalin khususnya skala kecil menengah (SKM). Masalah ekonomi juga menjadi faktor penyebab pelaku usaha. Praktik yang salah semacam ini dialkukan oleh produsen dan pengelolah pangan yang tidak bertanggung jawab dan tidak memperhatikan faktor yang ditimbulkan, atau dapat juga karena ketidaktahuan produsen pangan baik

mengenai sifat-sifat maupun keamanan bahan kimia tersebut (Briliantono, 2006).

Apa tindakan pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut ? Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan banyak cara dalam menanggulangi masalah ini didalam UU RI No.7 Tahun 1996 juga sudah terlihat jelas peran pemerintah dalam menanggulanginya salah satunya adalah mengeluarkan UU tersebut selain itu BPOM sebagai Institusi pemerintah yang bereperan dalam pengawasan pangan juga sudah mengadakan beberapa penelitian dan sidak di berbagai pasar-pasar tradisonal dan supermarket untuk mengetahui keberadaan pangan-pangan yang berbahaya tersebut. Walaupun penyebaran boraks dan formalin di Indonesia sudah luas sekali dan sudah menjadi umum, pemerintah masih tidak mengambil langkah yang tegas dalam menangani hal ini. Buktinya bisa didapat, bahwa ternyata penggunaan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet makanan masih merajalela. Sebenarnya, pemerintah sudah berusaha mengambil tindakan, yaitu dengan melalui Badan Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM). Beberapa langkah sudah diambil oleh BPOM, seperti : melarang panganan permen merek white rabbit creamy, kiamboy, classic cream,

DAFTAR PUSTAKA (http://www.fajar.co.id/read-20110210002737-pengawasan-produk-panganlemah) (http://pengujiankadarpengendalian.blogspot.com/2010/08/manajemen-mutupengawasan-dan-keamanan.html)

You might also like