Professional Documents
Culture Documents
Tesis
Untuk Memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat sarjana S-2
Diajukan Oleh :
JOKO KUNCORO
18070/IV-2/783/02
Kepada
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
JOGJAKARTA
2006
2
3
4
5
! " # # # !# # $ # #
%
6
PRAKATA
Puji syukur senantiasa terucap kepada Allah SWTatas segala bimbingan, petunjuk dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan baik.
Penelitian yang menjadi salah satu syarat mencapai derajat sarjana S-2 ini berjudul
Dengan selesainya penyusunan tuga ini maka penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini dari awal
1. Dr. Faturocman, MA selaku pembimbing utama yang telah dengan kesabaran yang luar
biasa, teliti dan penuh pengertian membantu dan mengarahkan jalannnya penelitian ini
serta memberikan semangat dan inspirasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya ini
2. Pror. Drs. Koentjoro, MB.Sc, Ph. D dan Dr. Tina Afiatin selaku penguji atas semua kritik
dan saran yang diberikan pada penulis sehingga penulis dapat menyempurnakan dan
3. Prof. Dr. Djamaludin Ancok, Ph.D, selaku ketua Program Pasca Sarjana Psikologi UGM
yang telah memberikan berbagai bantuan dan fasilitas baik pada masa perkulahan maupun
4. Kedua orang tuaku, anakku akmal dan avi serta istriku Agustin yang selalu memberikan
5. Dr. dr. Rofiq Anwar, Sp.PA selaku rektor Universitas Islam Sultan Agung yang telah
memberikan ijin studi lanjut dan ijin penelitian serta bantuan lainnya.
6. H. Hasan Toha Putra selaku ketua Yayasan Wakaf Sultan Agung Semarang atas dorongan
7. Dra. Hj. Fadhillah Taher, Drs. M. Mutho` M Rois, M.Si dan Drs. Chrisna Suhendi MBA
8. Drs. Amrizal Rustam, SU selaku dekan Fakultas Psikologi Unissula yang memberikan
9. Bapak Hadi Sofwan selaku kepala bagian sumber daya insani Unissula yang telah
10. Fahrudin Rudi Nugroho, SH yang dengan cekatan telah membantu menyebarkan angket
11. Seluruh staf akademik pada Program Pascasarjana Psikologi UGM yang selalu
12. Seluruh staf akademik di lingkngan Unissula yang telah memberikan waktu dan tenaganya
dalam mengisi dan melengkapi data yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.
13. Rekan diskusiku Achmad Chusairi, S.Psi dan Budi Santosa, S.Psi yang telah memberikan
dorongan, kritikan, semangat dan informasi yang sangat membantu penyelesaian tesis ini.
14. Rekan-rekan mahasiswa bagian psikometri; mas Unggul, mas Holin dan Maryana yang
15. Seluruh pihak-pihak yang telah memberikan bantuan tetapi tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Kepada seluruh pihak yang tersebut di atas penulis menyampaikan banyak terima
kasih.Penulis tidak dapat memberikan apapun sebagai balasan atas apa yang telah diberikan
kepada penulis. Penulis yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa memberikan balasan yang
berlipat. Penulis menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu
8
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak guna penyempurnaan tesis
ini. Dengan segenap kerendahan hati penulis berharap semoga karya ini dapat berguna bagi
Penulis
9
DAFTAR ISI
Bab I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
B. Perumusan Masalah.................................................................................. 11
C. Keaslian Penelitian................................................................................... 13
D. Tujuan Penelitian...................................................................................... 14
E. Manfaat Penelitian.................................................................................... 15
1. Manfaat Teoritis............................................................................ 15
2. Manfaat Praktis............................................................................. 15
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Variabel Penilaian Keadilan Prosedural dan Distributif dan Item-item
di dalamnya............................................................................................. 81
Tabel 3.2. Variabel Nilai dan Item-item di dalamnya.............................................. 82
Tabel 3.3. Hasil Uji Validitas Item Seluruh Alat Ukur............................................ 87
Tabel 3.4. Koefisien Validitas (rxy) pada Tiap Variabel........................................... 88
Tabel 3.5 Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur.............................................................. 89
Tabel 4.1 Jumlah Anggota Populasi Penelitian Berdasar Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan dan Golongan ...................................................................... 94
Tabel 4.2. Jumlah Sampel Penelitian Berdasar Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan dan Golongan ...................................................................... 96
Tabel 4.3. Rerata Empiris dan Rerata Hipotetis Variabel Penelitian....................... 97
Tabel 4.15. Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel X dalam Set 1 110
Tabel 4.16. Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel Y dalam Set 2 111
Tabel 4.17 Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel X dalam Set 1 dan
111
Variabel Y dalam Set 2...........................................................................
Tabel 4.17. Koefisien Korelasi Kanonik Antar Variabel X dalam Set 1 dan
111
Variabel Y dalam Set 2...........................................................................
Tabel 4.18. Hasil Uji Signifikansi dengan Uji Wilk`s Lambda................................. 113
Tabel 4.19. Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel X dalam Set 1............................. 118
Tabel 4.20. Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel Y dalam Set 2............................. 119
Tabel 4.21. Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel X dalam Set 1 dan 119
Tabel 4.22. Koefisien Korelasi Kanonik Antar Variabel X dalam Set 1 dan 120
Tabel 4.23. Hasil Uji Signifikansi dengan Uji Wilk`s Lambda................................. 121
14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji katerkaitan antara satu set variabel bebas dengan satu
set variabel tergantung. Variabel dalam set 1 atau variabel bebasnya adalah nilai prestasi(X1),
nilai kuasa (X2), nilai hedonisme (X3), nilai kebajikan (X4), nilai konformitas (X5) dan nilai
universalisme (X6). Variabel dalam set 2 atau variabel tergantungnya adalah penilaian
keadilan prosedural(Y1) dan distributif (Y2).
Uji keterkaitan antar dua set variabel tesebut dilakukan dua kali untuk membuktikan hipotesis
mayor yang diajukan . Keterkaitan pertama adalah antara variabel dalam set 1 yaitu nilai
prestasi (X1), kuasa (X2) dan hedonisme (X3) dengan variabel dalam set 2 yaitu penilaian
keadilan prosedural (Y1) dan penilaian keadilan distributif (Y2). Keterkaitan kedua adalah
antara variabel nilai kebajikan (X4), konformitas (X5) dan universalime (X6) dalam set 1
dengan variabel penilaiaian keadilan prosedural (Y1) dan distributif (Y2) dalam set 2.
Seluruh variabel penelitian diungkap dengan menggunakan skala yaitu Schwartz Values
Survey dari Schwartz (1994) untuk seluruh variabel bebas. Variabel tergantung yaitu penilaian
keadilan keadilan prosedural dan penilaian keadilan distributif diungkap dengan skala yang
yang disusun oleh Moorman (1999) dan Colquitt (2001).
Analisis hubungan antara masing-masing variabel dalam set 1 dengan variabel dalam set 2
dilakukan dengan teknik analisis korelasi parsial. Korelasi antara variabel dalam set 1 dan set
2 secara bersama-sama dianalisis dengan analisis korelasi kanonik.
Hasil analisis penelitian menunjukan : 1) ada keterkaitan yang signifikan antara variabel
dalam set 1 (X1, X2, X3) dengan variabel dalam set 2 (Y1, Y2) dengan besarnya koefisien
korelasi kanonik sebesar 0.390; 2) ada keterkaitan yang signifikan antara variabel dalam set 1
(X4, X5, X6) dengan variabel dalam set 2 (Y1, Y2) dengan koefisien korelasi kanonik sebesar
0.417.
Analisis untuk menguji hipotesis minor pertama (1a – 1f) yaitu antara variabel dalam set 1
(X1, X2, X3) dengan variabel dalam set 2 (Y1, Y2) yang dilakukan dengan analisis korelasi
parsial bahwa dari enam hipotesis yang diajukan sebanyak lima korelasinya tidak signifikan
dan hanya satu korelasi yang signifikan. Analisis hipotesis minor kedua (2a – 2f) sebanyak
enam kali ditemukan bahwa seluruh hipotesis minor yang diajukan tidak diterima.
Kata Kunci : Nilai prestasi, nilai kuasa, nilai hedonisme, nilai kebajikan, nilai konformitas dan
nilai universalisme, penilaian keadilan prosedural, penilaian keadilan distributif.
16
ABSTRACT
The purpose of this research is to examine the relationship between a set of independent variables in
the set 1 and a set of dependent variables in the set 2. Variables in the set 1 are achievement value,
power value, hedonism value, benevolence value, conformity value and universalism value. Variables
in the set 2 are procedural justice judgment and distributive justice judgment.
Test of relationship between two sets of variables has been done twice to proof the major
hypothesis. The first relationship is between variables in the set 1 (achievement value , power
value, hedonism value/ X1, X2, X3) and variables in the set 2 (procedural justice judgment
and distributive justice judgment / (Y1, Y2). The second relationship is between variables in
the set 1 (X4, X5, X6) and variables in the set 2 (procedural justice judgment and distributive
justice judgment/ Y1, Y2).
The data of all variables were collected using questionnaires, Schwartz Values Survey
designed by Schwartz (1994) for independent variables and the questionnairy designed by
Moorman (1999) and Colquitt (2001) for dependent variables. The data was analyzed using
partial correlation to measures the relationship between each independent variable and each
of dependent variable by controlling one or more other variables. Canonical analyze was
used to measure the correlation among one set of independent variable and one set of
dependent variable.
Result showed that : 1) there is significant relationship between variable in the set 1 (X1, X2,
X3) and the variable in the set 2 (Y1, Y2) with canonical coefficient = 0.390; 2) there
significant relationship between variable in the set 1 (X4, X5, X6) and the variable in the set 2
(Y1, Y2) with canonical coefficient = 0.417.
Analyze to examine the first minor hypothesis (1a – 1e) that is between each variable in set 1
and each variable in set 2 showed that only one of the six relationships was significant.
Analyze to examine the second minor hypothesis (2a – 2e) that is between each variable in
set 1 and each variable in set 2 showed that no significant correlation for all relationship.
Key words: achievement value, power value, hedonism value, benevolence value, conformity
value and universalism value, procedural justice judgment and distributive justice judgment
17
BAB I
PENDAHULUAN
Kajian tentang masalah keadilan dalam tiga dekade belakangan ini menunjukan
peningkatan dan perkembangan yang luar biasa (Cropanzano, 1999). Masalah keadilan
menjadi penting karena dalam kesehariannya masyarakat lebih banyak dihadapkan pada
persoalan ketidakadilan. Di pihak lain keadilan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan
suatu pembangunan di samping tolok ukur lainnya seperti kelestarian lingkungan, kualitas
mencolok antara orang-orang kaya dan miskin akan menyebabkan kerawanan sosial dan
politik. Orang-orang miskin akan berusaha merubah status quo dalam rangka mengubah
keadaan dan memperbaiki dirinya dan jika konfigurasi politik memungkinkan maka akan
Pendapat di atas selaras dengan apa yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid dan
Magnis Suseno (dalam Kompas, 21 Desember 2003), bahwa konflik yang selama ini terjadi di
Indonesia lebih sering disebabkan oleh terpeliharanya ketidakadilan antara pemerintah pusat
dan daerah di bandingkan sebab lain seperti perbedaan agama atau ideologi politik seperti
yang terjadi di Aceh maupun Papua. Dalam level global, radikalisme yang mewujud dalam
gerakan Islam progresif juga muncul karena mencoba mempersoalkan status quo,
18
ketidakadilan global dan relasi kuasa yang tidak adil di dunia, dalam hal ini pihak barat
Keadilan di Indonesia masih merupakan sebuah utopia dan yang terjadi adalah
ketidakadilan yang makin nyata. Ketidakadilan terjadi dari tingkat mikro atau dalam
organisasi sampai pada tingkatan makro. Pada suatu organsasi atau perusahaan masalah
ketidakadilan biasanya terkait dengan prosedur dan sistem pembagian sumber daya.
Perbandingan antara kontribusi karyawan kepada perusahaan dengan kompensasi (gaji dan
fasilitas lain) yang diterima oleh karyawan sering kali tidak sesuai yang diharapakan oleh
salah satu atau bahkan kedua belah pihak. Masalah inilah yang seringkali memicu munculnya
Organisasi pada umumnya dapat dianggap sebagai suatu system yang terbuka.
Hal ini berarti organisasi tersebut merupakan serangkaian kegiatan yang mempunyai tujuan
(Cushway dan Lodge, 1993). Dalam usaha untuk mencapai tujuannya maka organisasi akan
mengeluarkan kebijakan atau aturan yang mengatur berbagai kegiatan. Hal ini pula yang
dilakukan oleh Rektor Unissula dalam rangka mengatur sistem distribusi pendapatan di luar
gaji yaitu uang transport dan uang makan. Kebijakan tersebut tertuang dalam bentuk surat
Tunjangan Kompensasi Bagi Pegawai Tetap Admnistrasi Universitas Islam Sultan Agung
Semarang. Keputusan tersebut menganut sistem distribusi yang sama rata (equality) yaitu
memberikan tunjangan sebesar Rp. 125.000,- tiap bulan kepada seluruh karyawan tanpa
melihat variabel masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pangkat dan golongan serta
masa kerja.
19
rektor tersebut sangat bervariasi. Beberapa karyawan menganggap bahwa keputusan tersebut
cukup adil karena pembagian sama rata tersebut dimaksudkan agar tidak muncul
kecemburuan. Alasan lainnya adalah bahwa pertimbangan bahwa masa kerja, pangkat dan
golongan telah dimasukan dalam sistem penggajian sehingga tidak perlu dipertimbangkan lagi
Beberapa pihak lainnya menilai bahwa keputusan rektor tersebut tidak adil karena
bagaimanapun sistem pembagian sama rata tidak memicu karywan untuk lebih berprestasi dan
bahkan cenderung malas. Karyawan juga beralasan bahwa masa kerja, pangkat dan golongan
adanya beban tanggung jawab yang berbeda pula sehingga tunjangan kompensasi yang
Secara teoritis, perbedaan penilaian ini merupakan hal yang wajar dan mungkin sekali
terjadi. Hal ini dikarenakan bahwa konsep keadilan mempunyai dua dimensi yaitu dimensi
objektif dan subjektif (Johnson dalam Faturochman, 2002). Secara objektif, jika suatu sistem
distribusi tertentu telah ditetapkan dengan mengikuti standar tertentu maka ketetapan
pembagian tersebut dikatakan adil. Secara subjektif hal tersebut belum tentu dikatakan adil.
Banyak faktor psikologis yang mempengaruhi penilaian individu terhadap suatu ketetapan
distribusi tertentu. Penelitian ini akan mencoba mengkaji penilaian keadilan secara subjektif
ini dengan melibatkan faktor yang melekat pada individu yaitu variabel nilai (value).
Pada level makro atau level yang lebih luas, misal negara maka ketidakadilan juga
banyak terjadi. Pembangunan di era Orde Baru hanya menghasilkan segelintir orang dengan
20
jumlah kekayaan yang tidak masuk akal dan menyengsarakan sebagian besar masyarakat
lainnya. Kesenjangan ini disebabkan distribusi sumberdaya yang tidak adil (Faturochman,
2002).
Kondisi tersebut diperparah lagi dengan terjadinya krisis moneter sejak tahun 1996.
Sebelum krisis Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Bank Dunia
(2003), memberi gambaran bahwa antara tahun 1985 sampai 1995 rata-rata pertumbuhan
mencapai 7,1 persen, dengan pertumbuhan PDB sebesar 7,8 persen. Antara tahun 1970
sampai 1995 proporsi dari penduduk yang hidup di bawah ruang kemiskinan turun dari 60
persen menjadi 11 persen yaitu berkurang 28 juta orang dan tingkat pengangguran 4.9 persen
Setelah terjadi krisis moneter yaitu mulai tahun 1996 sampai 2003 rata pertumbuhan
ekonomi tidak pernah melampui 4 persen. Jusuf Kalla (2003) selaku Menko Kesra
melaporkan bahwa proporsi penduduk yang hidup di bawah ruang kemiskinan juga
meningkat mencapai 13 persen pada tahun 2001 menjadi 16 persen pada tahun 2002 dan pada
tahun 2003 menjadi 17 persen atau 35,87 juta penduduk. Jumlah ini akan semakin besar yaitu
mencapai 110 juta penduduk jika kita menggunakan standar UNDP yang menetapkan batas
Juni 2003).
Akibat lain dari terjadinya krisis adalah meningkatnya jumlah pengangguran. Bapenas
melaporkan bahwa tingkat pengangguran tahun 1996 adalah 4,9 persen dua tahun kemudian
naik menjadi 6,3 persen dan kemudian pada tahun 2001 menjadi 8,1 persen. Pada tahun 2002,
angka pengangguran sebesar 9,1 persen dan tahun 2003 jumlah pengangguran telah mencapai
21
9,9 persen atau lebih dari 10 juta orang dan jumlah ini akan tambah lagi dengan angkatan
kerja tahun 2004 yang diperkirakan berjumlah 2,5 juta orang. Dengan perkiraan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2004 berkisar antara 4,49 sampai 5,03 persen dan
asumsi bahwa setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan menyerap tenaga kerja sebesar
350.000, maka lapangan kerja yang tersedia pada tahun 2004 hanya sebesar 3,3 juta. Kondisi
ini menyebabkan Indonesia belum akan terbebas dari masalah pengangguran sampai sepuluh
Besarnya jumlah pengangguran disatu pihak dan kecilnya peluang kerja dipihak lain
secara tidak langsung mengakibatkan posisi tawar tenaga kerja dalam suatu perusahaan
menjadi lemah. Hal ini dikarenakan perusahaan cenderung untuk semena-mena terhadap
karyawannya dan karyawan tidak dapat melakukan perlawanan secara semestinya karena
dihantui oleh PHK. Perusahaan menganggap bahwa mereka tidak akan mengalami kesulitan
PT. Dosson, PT. Texmaco dan masih banyak lagi mencerminkan bahwa posisi tawar
karyawan sangatlah lemah. PHK sendiri, dengan mengabaikan alasan, merupakan perlakuan
yang tidak adil karena mengabaikan input yang telah diberikan oleh karyawan terhadap
perusahaan. Berbagai protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh karyawan terhadap
perusahaan di Indonesia sebagian besar karena kegagalan perusahaan dalam memenuhi hak
dilakukan beberapa tahun belakangan ini terutama dinegara-negara maju. Penelitian tentang
keadilan di Indonesia relative masih jarang. Hal ini terlihat dari masih langkanya kajian kajian
mengenai keadilan yang muncul dalam jurnal psikologi ataupun artikel ilmiah lainnya.
Keadaan ini cukup mengherankan mengingat pentingya persoalan keadilan bagi bangsa
Indonesia.
Penelitian menemukan bahwa individu akan menilai apa dan seberapa banyak yang
mereka terima dan bagaimana sistem pembagiannya (Cropanzano, Suckow & Weiss, 1999).
Evaluasi individu terhadap hasil disebut sebagai keadilan distributif sedangkan evaluasi
terhadap proses disebut keadilan prosedural. Penelitian-penelitian tersebut dan juga yang akan
dilakukan peneliti kali ini menekankan pada penilaian keadilan atau dengan kata lain pada
dimensi subjektif keadilan. Hal ini disebabkan bahwa variasi penilaian terhadap suatu
ketetapan mengenai distribusi selalu terjadi pada proses penilaian dan bukan pada ketetapan
yang berpengaruh besar dalam jalannya roda organisasi. Individu yang merasa diperlakukan
tidak adil akan cenderung mempunyai komitmen yang lemah terhadap organisasi, tingkat
konflik yang tinggi, melemahnya perilaku menolong sesama karyawan, dan kinerja yang
Penelitian lainnya yang dilakukan Scroth & Shah (2000) menemukan bahwa prosedur
yang adil akan meningkatkan harga diri (self esteem) dan sebaliknya prosedur yang dinilai
tidak adil akan menurunkan harga diri. Harga diri yang rendah ini berdampak pada kepuasan
23
dan produktivitas kerja. Individu dengan harga diri yang rendah akan mudah terpengaruh,
sering mengalami stres dan lebih sering mengurangi usaha atau kinerjanya dibanding individu
Penelitian lainnya yang terkait dengan keadilan prosedural dan distribusi dalam
orgnaisasi diantaranya yang dilakukan oleh Gillian (1994) tentang efek sistem seleksi yang
adil, hubungan keadilan dengan dendam dalam perusahaan (Skarlicki & Folger, 1997),
penilaian keadilan organisasi dan kontrol kerja serta keteganngan pekerjaan (Elovainio et. al,
2001), penilaian keadilan dan organizational citizenship (Moorman, 1991) dan lainnya.
Penelitian ini akan mengungkap pengaruh karakter individu dalam menentukan adil
tidaknya suatu ketetapan distribusi tertentu. Karakter penilai sangat terkait dengan nilai
(values) yang dianut oleh seseorang. Hal ini dikarenakan nilai merupakan energi yang akan
memandu seseorang dalam bersikap dan berperilaku (Ball-Rokeach & Loges, 1994). Nilai
akan menentukan cara mana yang lebih disukai dibanding cara lainnya dan juga tujuan apa
yang lebih disukai dibanding tujuan lainnya. Dengan kata lain, suatu aturan atau ketetapan
distribusi dan prosedur yang secara objektif sudah memenuhi standar keadilan dapat dinilai
tidak adil oleh pihak-pihak tertentu dikarenakan perbedaan nilai-nilai yang dianut ( Feather,
1990). Perbedaan nilai ini biasanya tercermin dari perbedaan budaya yang oleh Hofstede
(dalam Fischer & Smith, 2003) dan Triandis (dalam Lind & Earley, 1992) secara ruang besar
Hofstede (2002) membagi secara pilah ciri-ciri masyarakat yang berbudaya kolektif
dan individualistik berdasarkan pada beberapa kriteria. Pertama adalah power distance index
(PDI) yaitu menekankan pada tingkat persamaan atau perbedaan jarak kekuasaan diantara
24
anggota masyrakat. PDI yang tinggi menunjukan bahwa masyarakat tersebut terdiri dari
berbagai tingkatan yang berbeda-beda sangat nyata (berkasta) dan sebaliknya. Skor PDI untuk
Indonesia adalah 78 (rentang 0 – 100), rerata skor Asia 71 dan dunia 65. Makin tinggi skor
PDI menunjukan bahwa masyarakat pada negara tersebut mempunyai budaya yang makin
kolektif.
masyarakat memberikan ganjaran/hukuman pada prestasi dan hubungan sosial yang dicapai
oleh individu atau kelompok. IDV yang tinggi menunjukan penghargaan yang tinggi atas hak-
hak individu dan individualitas serta hubungan sosial yang lebih longgar. Skor IDV Indonesia
adalah 14, sedangkan rerata Asia adalah 23 dan dunia adalah 43. Hofstede mengkategorikan
Indonesia sebagai negara dengan tingkat individualistik terendah atau dengan kata lain
Indonesia adalah negara dengan budaya kolektif yang tinggi. Amerika merupakan negara
dengan budaya paling individualistik (skor IDV 91 atau tertinggi di dunia). Kedua indikator di
atas merupakan dasar yang kuat untuk memasukan masyarakat Indonesia ke dalam kelompok
PDI dan IDV tersebut akan berpengaruh pada karakter masyarakat dan individu. Pada
masyarakat kolektif (skor PDI tinggi) karakter yang menonjol adalah penghargaan pada
otoritas, menempatkan individu ke dalam posisi tertentu, kekuasan terpusat dan posisi
individu menekankan pada kekuasaan. Pada masyaraka individual (skor PDI rendah) maka
masyarakatnya cenderung untuk meminalkan kelas atau struktur sosial, penghargaan pada
Karakter masyarakat dengan skor IDV rendah diantaranya adalah loyalitas yang tinggi
pada kelompok, keputusan dibuat demi kebaikan kelompok dan mentalitas ”kami”.
Masyarakat dengan skor IDV tinggi mempunyai karakter individu mengurusi dirinya sendiri,
pada suatu sistem distribusi tertentu. James (dalamFischer & Smith, 2003) menyatakan bahwa
sistem yang adil, sebaliknya masyarakat yang berbudaya kolektif menilai sistem distribusi
Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh Berman & Berman (2002) yang
menemukan bahwa masyarakat Hongkong dan Indonesia yang oleh Triandis dan Hofstede
(need) lebih adil dibanding distribusi proporsional berdasar prestasi (equity). Sebaliknya,
masyarakat Amerika yang termasuk kelompok masyarakat yang individual, menilai sistem
Kedua pendapat di atas mengindikasikan bahwa suatu sistem distribusi tertentu dinilai
adil pada budaya tertentu pula. Distribusi proporsional dinilai adil pada budaya yang
individualistik sebaliknya distribusi berdasar kebutuhan dan distribusi sama rata dinilai adil
pada budaya kolektif. Penyebab perbedaan tersebut dapat ditelusuri pada adanya perbedaan
nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Pada masyarakat kolektif maka nilai-nilai yang
dianggap penting dan dianut adalah nilai hubungan interpersonal, pengakuan sosial, harmoni
sosial, menerima keadaan, kesederhanaan dan menjaga citra diri. Sebaliknya, pada
26
masyarakat individual nilai yang dianggap penting adalah nilai kebebasan, variasi hidup,
kenikamatan hidup, prestasi pribadi dan persamaan (Berman & Berman, 2002)
Leung (1988) menyatakan bahwa perbedaan nilai tidak hanya terjadi pada budaya
yang berbeda (across culture) tetapi juga pada individu yang berbeda (across
tetentu tidak selamnya menganut nilai yang sama, tetapi selalu ada variasi baik dalam jenis
bahwa penelitian tentang perbedaan penilaian keadilan berdasar pada perbedaan nilai tidak
hanya dilakukan secara lintas budaya tetapi juga dalam satu budaya tertentu (monocultural).
Pendekatan monocultural dalam penilaian keadilan baik distribusi maupun prosedural yang
Penelitian tentang nilai selama ini selalu dikaitkan dengan prediksi terhadap perilaku
atau sikap tertentu secara langsung (Fischer & Smith, 2004). Beberapa penelitan yang
mencoba mengkaitkan antara nilai dengan sikap diantaranya adalah penelitian sikap terhadap
kaum kulit hitam dan kaum miskin di Amerika dikaitkan dengan nilai istrumental dan
terminal, nilai dengan sikap terhadap komunisme,nilai dengan sikap terhadap protes
mahasiswa, nilai dengan sikap terhadap perang Vietnam dan lainnya. (Rokeach, 1973).
Penelitian yang menghubungkan nilai dengan perilaku juga banyak dilakukan seperti
yang dilakukan oleh Braithwite (1994) yang mengkaitkan antara nilai dengan pilihan ideologi
politik. Mayton & Furnham (1994) mengkaji antara nilai dengan aktivitas atau perilaku politik
anti nuklir, Rokeach (1973) mengkaitkan antara nilai dengan partisipasi dalam demonstrasi
Penelitian yang mencoba mengkaji peran nilai sebagai prinsip yang menentukan
bentuk persepsi individu terhadap suatu peristiwa, perilaku dan situasi masih jarang
ditemukan (Fischer & Smith, 2004). Penelitian kali ini mencoba mengkaitkan antara nilai
dengan persepsi atau penilaian terhadap salah satu realitas sosial yaitu keadilan.
B. Perumusan Masalah
Penentuan suatu sistem distribusi yang dianggap adil merupakan suatu hal yang sulit.
ditetapkan tersebut dapat memuaskan semua pihak yang dikenai sistem tersebut. Penerapan
sistem distribusi yang dinilai tidak adil akan mengakibatkan munculnya ketidakpuasan,
baik distribusi proporsional (equity), sama rata (equality) maupun distribusi berdasar
kebutuhan (need) diantaranya adalah budaya (Berman & Berman, 2002), nilai-nilai yang
dianut masyarakat (Feather, 1990; Fischer & Smith, 2003; Fischer & Smith, 2004) tujuan
sosial yang hendak dicapai (Deutsch dalam Leung, 1988) dan lainnya.
adalah tujuan sosial yang hendak dicapai. Menurut Deutsch, distribusi proporsional lebih tepat
jika tujuan dari distribusi itu untuk meningkatkan produktivitas. Distribusi sama rata cocok
jika tujuan yang hendak dicapai adalah meningkatkan keharmonisan hubungan sosial,
sedangkan distribusi menurut kebutuhan lebih tapat diterapkan jika tujuannya adalah untuk
tujuan yang hendak dicapai akan menyebabkan munculnya penilaian yang tidak adil terhadap
Budaya dan nilai (value) sangat jelas pengaruhnya terhadap penilaian keadilan
distribusi tertentu. Hal ini tercermin dari hasil penelitian Berman & Berman (2002) dan
penelitian Fischer & Smith ( 2004) di mana budaya kolektif seperti di Indonesia lebih tepat
menggunakan sistem distribusi sama rata sedangkan pada budaya individualistik seperti di
Amerika dan negara-negara di Eropa Barat lebih tepat menggunakan sistem distribusi
proporsional.
Penelitian ini mencoba menganalisis salah satu kebijakan publik yang dikeluarkan
oleh pimpinan institusi yang tertuang dalam SK Rektor No. 715/G/SA/IX/2003 tentang
Islam Sultan Agung Semarang. Keputusan tersebut menganut sistem distribusi yang sama rata
(equality) yaitu memberikan tunjangan sebesar Rp. 125.000,- tiap bulan kepada seluruh
karyawan tanpa melihat variabel masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pangkat dan
golongan.
terhadap kebijakan ini. Satu pihak menilai bahwa kebijakan itu telah adil dengan alasan
pemerataan, satu pihak lainnya menilai tidak adil dengan alasan meritokrasi yaitu
dan bukan sama rata. Perbedaan penilaian ini terjadi hampir pada seluruh karyawan tanpa
mengacu pada sistem distribusi sama rata menunjukan bahwa meskipun menurut penelitian
terdahulu diketahui bahwa sistem distribusi sama rata cocok pada budaya kolektif seperti di
Indonesia, pada kenyataanya tidak semua individu menilai sistem tersebut adil. Hal itu
dikarenakan perbedaan orientasi nilai maka hal ini mengindikasikan kebenaran pendapat
Leung (1988) bahwa nilai bervariasi antara individu satu dengan lainnya (across individuals)
terjadinya perbedaan penilaian keadilan (baik secara distribustif maupun prosedural) diantara
subjek terhadap kebijakan tersebut, apakah ada kaitan antara nilai yang dianut subjek dengan
penilaian keadilan dalam kasus ini?. Kalau memang benar ada kaitannya, maka apakah nilai-
nilai tertentu mempunyai hubungan dengan model penilaian keadilan tertentu pula?
C. Keaslian Penelitian
Kajian tentang keadilan telah mempunyai sejarah yang panjang. Di mulai dari sudut
pandang filsafat oleh Aristoteles dan kemudian dilanjutkan dengan konsep keadilan distributif
oleh Homans (1961) dan Adams dengan Equity Theory pada tahun 1965 dan keadilan
prosedural oleh Thibaut & Walker tahun 1975 (dalam Colquitt, 2001; Scher, 1997).
perkembangan pesat yang ditandai dengan berbagai penelitian yang berkaitan dengan
keadilan, tetapi sangatlah jarang ditemukan kajian yang mengungkap kaitan antara keadilan
30
dengan nilai (values). Hal ini cukup mengherankan mengingat konsep nilai sendiri juga
Kluckhohn (1951), Maslow (1959), Charles Moris (1956) Williams (1968) dan lainnya
(dalam Rokeach, 1973). Beberapa penelitian tentang hubungan antara nilai dengan keadilan
memang telah dilakukan seperti penelitian tentang nilai dan keadilan (Feather,1994), reaksi
terhadap sistem alokasi yang sama (equal): pengaruh dari gender, nilai dan situasi (1990),
keadilan prosedural dan budaya (Lind & Earley, 1992), nilai, keadilan dan aksi afirmatif
(Peterson, 1994) dan lainnya. Hampir semua penelitian tentang nilai dan penilaian keadilan
yang telah dilakukan di atas hanya mengupas hubungan antara nilai dengan salah satu model
penilaian keadilan. Namun belum ada usaha untuk melihat keterkaitan antara nilai dengan
penilaian keadilan secara keseluruhan (distributif dan prosedural) dalam satu kajian.
Dari berbagai penelitian tentang nilai dan penilaian keadilan itu, satu hal yang menarik
disampaikan oleh Peterson (1994) mengenai perlunya mengintegrasikan antara nilai dengan
penilaian keadilan yaitu bahwa para peneliti tentang keadilan harus menaruh perhatian yang
lebih besar pada peran dari nilai-nilai (values) dalam menentukan standard subjektif keadilan.
Hal ini didasari oleh pendapat Rasinski (dalam Peterson, 1994) yang menyatakan
bahwa sangatlah sulit untuk menentukan keadilan secara objektif. Suatu kebijakan publik
yang adil bagi semua pihak sangat sulit untuk dibuat karena penilaian keadilan lebih banyak
dipengaruhi oleh subjektivitas penilai yang berbeda antara satu dengan lainnya.
31
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengintegrasikan konsep nilai dengan konsep penilaian
keadilan dengan cara mencari dan membuktikan hubungan antara nilai dengan penilaian
model penilaian keadilan tertentu seperti keadilan prosedural dan keadilan distributif.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang keadilan dalam perspektif psikologi belum terlalu banyak dilakukan
di Indonesia. Hal tersebut mungkin disebabkan perkembangan teori tentang keadilan dalam
bidang psikologi baru berlangsung sejak sekitar 25 tahun silam, sehingga sangatlah sedikit
ahli psikologi Indonesia yang mencoba melakukan penelitian tentang masalah ini. Untuk itu
maka hasil penelitian diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
Keadilan merupakan masalah yang penting baik dalam kehidupan sosial, organisasi
maupun kenegaraan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan perhatian para peneliti yang
sangat kurang terhadap masalah keadilan. Pemahaman tentang konsep keadilan dan nilai
(values) sangat bermanfaat terutama dalam hal penyusunan kebijakan publik yang berkaitan
dengan prosedur pendistribusian sumber daya. Pengetahuan tentang kedua konsep tersebut
akan membantu pihak otoritas dalam menetapkan suatu aturan distribusi yang sesuai dengan
nilai yang dianut oleh mereka yang dikenai aturan tersebut. Hal ini menjadi penting
mengingat pembuatan aturan atau kebijakan distribusi yang mengabaikan nilai-nilai yang
32
berkembang dalam masyarakat akan mengakibatkan munculnya penilaian yang tidak adil
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penilaian Keadilan
1. Pengertian Penilaian Keadilan
menyangkut masalah penggajian, kinerja yang dihasilkan individu dan juga yang berkaitan
mempunyai konsekuensi ekonomi maupun sosioemosional yang sering kali menjadi dasar
alasan mengapa individu menjadi anggota atau berkerja pada organisasi tersebut. Konsekuensi
dari suatu keputusan akan mendorong individu untuk melakukan penilaian. Pertanyaan yang
biasa pertama kali muncul dalam keputusan penggajian dan masalah lain dalam organisasi
Kajian pengenai keadilan telah mendapat perhatian secara filsafat sejak jaman Plato
dan Socrates (Colqquit dkk, 2001). Dalam bahasa sehari-hari keadilan sering dikonotasikan
sebagai yang seharusnya atau sebaiknya (oughtness) atau kebajikan (righteousness). Notz &
Starke (1987) mengatakan bahwa istilah keadilan (justice) memang tidak mempunyai makna
yang tunggal. Meski demikian istilah tersebut paling sering digunakan dalam konteks
aktivitas organisasi untuk menjelaskan cara pembagian atau distribusi sumber daya dan
imbalan. Keadilan sering kali dikaitkan dengan kejujuran (fairness), kebenaran (right),
kepantasan atau kelayakan sesuai hak (deserving) dan lainnya yang banyak digunakan baik
untuk memutuskan pambagian imbalan atau sumber daya. Konsep tentang keadilan yang
mempunyai banyak makna tersebut seringkali menimbulkan konflik terutama dalam proses
Cropanzano & Greenberg (dalam Colquuit, 2001) menyatakan bahwa dalam kajian
ilmu-ilmu organisasi, keadilan sering kali dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, yaitu suatu
tindakan didefinisikan adil jika banyak individu mempersepsikannya seperti itu (adil) atas
dasar riset empiris. Sehingga “apa yang adil” berasal dari keterkaitan antara sisi objektif dari
pengambilan keputusan dengan persepsi subjektif tentang keadilan. Dengan kata lain individu
menilai suatu keputusan itu adil atau tidak merupakan proses psikologis ditingkat individu.
Selanjutnya Fiske & Taylor (dalam Faturochman, 2002) menyatakan bahwa dalam psikologi,
Informasi atau stimulus berupa keputusan tertentu yang diterima individu pertama akan diberi
kode-kode tertentu kemudian diatur atau diorganisir dalam susunan tertentu untuk kemudian
Lind & Tyler (dalam Faturochman, 2002) menyatakan bahwa keadilan pada dasarnya
merupakan bagian dari moralitas, tetapi pada sisi lain keadilan telah dirumuskan dalam
aturan-aturan baku yang dilaksanakan secara ketat. Secara umum keadilan digambarkan
sebagai situasi sosial ketika norma-norma tentang hak dan kelayakan telah dipenuhi.
Gambaran tersebut lebih menunjukan keadilan pada distribusi (keadilan distributif) dan belum
menyentuh pada prosedur penentuan sistem distribusi (keadilan prosedural). Hal itulah yang
prosedural.
Penilain keadilan pada dasarnya merupakan bentuk khusus dari penilaian sosial
(Faturochman, 2002), sehingga sebelum memahami penilaian keadilan maka akan dibahas
dahulu masalah penilaian sosial. Eiser (dalm Faturochman, 2002) menyatakan bahwa
penilaian sosial dalam arti luas didefinisikan sebagai proses pembentukan penilaian tentang
35
objek, orang atau peristiwa dari konteks sosial hingga membuahkan hasil yang mempunyai
kualitas atau derajat tertentu. Dalam arti sempit penilaian sosial terbatas pada kajian tentang
Sherif & Sherif (1961) menyatakan dalam teori penilaian sosial, bahwa penilaian
sosial memungkinkan individu untuk menerima atau menolak pesan-pesan atau stimulus yang
diterimanya bardasar pada peta kognitif (cognitive map). Teori ini sangat berguna bagi
individu untuk memahami pesan-pesan dari dunia luar yang diterimanya sehingga individu
mampu mengambil keputusan untuk menolak atau menerima pesan tersebut. Ada lima prinsip
penting dalam teori penilaian sosial yaitu; Pertama, individu melakukan kategorisasi
penilaian dengan cara melakukan evaluasi terhadap posisi pesan atau persuasi. Individu yang
dihadapkan pada stimulus yang berupa bujukan atau ajakan (persuasion) akan
mengelompokkannya dalam tiga posisi yang tercermin dari ruang (latitude) yaitu ruang
penerimaan (latitude of acceptance), tidak menerima juga tidak menolak (non commitment)
ke dalam tempat yang semestinya. Misalnya, ketika inidvidu membaca surat kabar yang
memberitakan tentang usaha menaikan gaji dosen, maka individu akan segera menentukan
posisi latitude-nya. Para dosen yang membaca berita tersebut tentu saja langsung setuju dan
Ketiga, keterlibatan ego (ego involvement) individu akan mempengaruhi ukuran atau
besarnya ruang penerimaan (latitude) individu. Keterlibatan ego di sini adalah dalam
menentukan seberapa penting isu atau informasi tersebut terhadap identitas diri individu.
36
Misalnya, individu yang menganggap kualitas lingkungan merupakan isu penting. Segala hal
yang mempengaruhi kelestarian lingkungan merupakan hal yang penting bagi individu. Jika
ada berita atau informasi yang menyangkut perusakan lingkungan maka dengan cepat
(to fit) dengan kategori penilaiannya. Individu selalu mempunyai posisi patokkan (anchor
position) mengenai berbagai isu atau masalah. Ketika menerima informasi tentang suatu
masalah, maka individu cenderung untuk mendistorsinya sehingga informasi tersebut cocok
dengan posisi patokkannya atau paling tidak mendekatinya. Jika informasi persuasif yang
datang tersebut jatuh dalam ruang penerimaan dan dekat dengan posisi patokan, maka
individu akan melakukan asimilasi terhadap posisi baru. Sehingga individu akan menarik
posisi baru tersebut lebih dekat ke arah individu tersebut dan membuatnya lebih dapat
diterima. Sebaliknya, jika informasi persuasif yang datang tersebut jatuh di luar ruang
penerimaan, maka individu akan mengkontraskan posisi baru tersebut. Selanjutnya individu
akan mendorong posisi baru lebih jauh dari individu tersebut dan menolaknya.
posisi patokan individu dengan patokan orang lain akan menyebabkan perubahan pada
individu sedangkan kesenjangan yang besar tidak. Perubahan posisi patokan individu
sangatlah sulit. Hal itu dikarenakan pertama, persuasi tidak dapat terjadi jika informasi baru
jatuh dalam ruang penolakan, kedua keerlibatan ego individu pada masalah tertentu membuat
ruang penolakan menjadi lebih besar dari biasanya sehingga persuasi menjadi lebih sulit.
Ketiga, individu cenderung mendistorsi informasi baru melalui asimilasi dan kontras yang
akan menghapus potensi persuasif dari informasi baru. Ketiga hal tersebut menunjukan betapa
37
sulitnya merubah penilaian individu. Untuk terjadi perubahan maka diperlukan beberapa
persyaratan yaitu informasi yang baru harus jatuh pada ruang penerimaan, informasi yang
baru haruslah berbeda dari posisi patokan dan informasi baru jika berbeda dari posisi patokan
penilaian keadilan. Jadi meskipun penilaian merupakan proses yang terjadi pada level
individu tetapi faktor sosial memegang peranan yang penting. Penilaian merupakan kombinasi
antara fakta objektif realitas sosial dengan subjektivitas individu. Kebijakan atau aturan
mengenai sistem distribusi dalam suatu organisasi merupakan realitas sosial. Prosedur dan
distribusi yang secara objektif adil yaitu telah memenuhi norma yang berlaku, belum tentu
adil menurut individu. Hal ini dikarenakan penilaian selalu bersifat subjektif dan terhantung
Kaitannya dengan keadilan, makan penilaian keadilan adalah proses evaluasi terhadap
keputusan tentang sistem pembagian sumber daya dan prosedur yang dilalui dalam
pengambilan keputusan tersebut. Jadi individu tidak hanya menilai besarnya sumber daya
yang diterima tetapi juga prosedur penyusunan sistem distribusi yang diberlakukan.
Proses penilaian sosial merupakan proses yang yang terjadi pada diri individu
sehingga bersifat subjektif. Satu stimulus tertentu yang sama dapat saja dinilai secara berbeda
oleh individu yang berbeda pula. Hal itu dikarenakan perbedaan kondisi psikologis antar
individu tersebut dan juga faktor lainnya. Beberapa kondisi internal atau psikologis yang
mempengaruhi penilaian sosial seperti yang disampaikan oleh Faturochman (2002) adalah
sebagai berikut :
38
Dalam melakukan penilaian, individu selalu menggunakan dua sumber sebagai kriteria
yaitu subjektif dalam diri individu sendiri (ego) dan sumber luar individu sebagai
pembanding. Ketika sumber dari luar tidak ada maka individu akan menggunakan ego-nya
b. Memori.
Penilaian sebagai suatu proses kognitif sehingga sangat tergantung pada memori yang
dimiliki oleh individu. Pengalaman-pengalaman dimasa lalu baik yang dialaminya sendiri
maupun pengalaman orang lain yang diketahuinya akan menjadi bekal bagi individu dalam
c. Norma Internal.
Tiap individu mempunyai standar atau norma baku sendiri-sendiri dalam menilai
sesuatu. Penilaian sangat tergantung dari norma-norma tersebut. Misal dalam kasus penyanyi
dangdut Inul, penilaian apakah goyangan Inul itu termasuk pornoaksi atau bukan sangat
tergantung pada norma internal yang dimiliki individu. Individu yang mempunyai norma
susila longgar akan menilai bahwa objek itu bukan merupakan pornoaksi dan sebaliknya.
d. Harapan.
Tiap-tiap individu selalu mempunyai harapan untuk segala hal. Individu selalu
berusaha mencocokkan antara stimulus sosial dengan harapan yang dimilikinya. Jika stimulus
tersebut sama atau paling tidak mendekati harapannya maka individu cenderung lebih menilai
favorabel, sebaliknya jika stimulus sosial tersebut berbeda atau jauh dari harapannya maka
Faktor ini sangat temporer. Ketika suasana hati sedang enak atau senang maka
individu cenderung menilai sesuatu lebih positif dan sebaliknya ketika suasana hati sedang
negatif atau sedih maka individu cenderung menilai negatif stimulus yang diterimanya.
ketersediaan informasi yang diperlukan. Akses yang mudah terhadap informasi pembanding
akan membantu individu dalam membuat penilaian. Misal pengetahuan karyawan tentang gaji
yang diterima oleh karyawan diperusahaan lain yang sama bidang kerjanya akan membantu
karyawan tersebut dalam menilai apakah gaji yang diterimanya adil atau tidak.
Tetapi kenyataan bahwa penilaian keadilan merupakan bagian dari penilaian sosial maka teori
yang menjelaskan tentang penilaian sosial dapat juga digunakan dalam menjelaskan masalah
a. Komunikasi
Hanges & Kerman (2002) menyatakan bahwa kualitas informasi yang diterima oleh
karyawan pada setiap proses manajemen seperti peraturan penggajian, reorganisasi, PHK,
promosi dan lainnya akan mempengaruhi penilaian karyawan terhadap keputusan tersebut.
Informasi yang dikomunikasikan dengan baik dan transparan akan mengurangi kecemasan,
ketidakpastian dan pada akhirnya akan makin meningkatkan penilaian keadilan pada putusan
Proses komunikasi pasti berkaitan dengan pemberi dan penerima informasis serta isi
pesan itu sendiri. Pemberi pesan yang dapat dipercaya (tust) akan mempengaruhi penerimaan
karyawan terhadap keputusan tersebut. Komunikasi antara manajemen dan karyawan yang
baik mencerminkan penghargaan organisasi pada status karyawan dalam suatu organisasi. Hal
ini akan manguatkan harga diri dan identitas diri karyawan (Tyler, 1994). Harga diri dan
identas diri yang terjamin selanjutnya akan meningkatkan penilaian keadilan pada organisasi.
struktural dari proses alokasi sumber daya. Beberapa kriteria prosedur yang adil yang
diajukan Leventhal diantaranya konsistensi (keputusan konsisten bagi setiap orang dan setiap
waktu, tidak bias (pembuat keputusan tidak berpihak) dan akurat (prosedur disusun berdasar
Berdasar beberapa kriteria yang disampaikan Leventhal di atas maka input atau
masukan merupakan hal yang paling relevan dalam pembahasan mengenai keadilan
prosedural (Hanges & Kerman, 2002). Dalam konteks organisasi, karyawan yang
keputusan sesuai dengan aspirasinya. Hal ini oleh Tyler (1994) disebut sebagai kontrol
terhadap proses (process control). Kontrol terhadap proses pembutan suatu keputusan akan
c. Karakteristik individu
Termasuk dalam karakter individu adalah keterlibtan ego seperti yang telah
disampaikan sebelumnya dan juga nilai yang dianut subjek. Feather (1994) menyatakan
bahwa penilaian keadilan sangat dipengaruhi oleh karakeristik dari individu, termasuk di
41
dalamnya adalah nilai (value) yang dianut individu tersebut. Penelitian Feather (1994)
menemukan bahwa individu yang menganut nilai-nilai dengan orientasi pada pribadi seperti
nilai prestasi, kekuasaan, nilai arah diri menilai system pembagian sama rata kurang adil dan
system pembagian propoorsional lebih adil. Sebaliknya bahwa individu yang mempunyai
orientasi nilai social seperti universalisme, konformitas, kebajikan menilai sistem distribusi
keadilan maka penulis menggunakan variabel nilai sebagai prediktor penilaian keadilan
d. Karakteristik Situasi
Feather (1994) menyatakan subjek yang berada pada situasi kompetisi dengan pihak
lain akan cenderung menilai model distribusi proporsional lebih adil dibanding model sama
rata. Sebaliknya dalam situasi yang kooperatif, model distribusi sama rata dinilai lebih adil
Deutsch (Diekmann et. al, 1997) menyatakan bahwa model distribusi porporsional
akan sangat cocok pada situasi dimana produktivitas kerja menjadi tujuan dari suatu aktivitas
kerja. Model sama rata akan cocok pada kondisi kerja yang lebih mengutamakan kebersamaan
Keadilan merupakan kunci dari pemahaman akan perilaku sosial, meskipun demikian
perlu disadari bahwa baik keadilan distributif maupun keadilan prosedural hanya merupakan
sebagian dari keadilan sosial (Van den bos & Lind, 1997). Untuk itu individu dalam menilai
suatu keadaan tidak akan lepas dari konteks sosial, demikian pula dengan penilaian keadilan.
42
Hal tersebut terlihat dari hampir semua teori yang menjelaskan penilaian keadilan ini diadopsi
dari teori yang berkembang dalam psikologi sosial. Ada beberapa teori yang dapat digunakan
untuk menjelaskan masalah penilain keadilan yang lazim digunakan dalam berbagai
penelitian seperti yang telah dirangkum oleh Faturochman (2002) diantaranya dijelaskan
berikut ini;
Social Comparison Theory pertama kali diperkenalkan oleh Leon Festinger pada tahun
1954 (Plous, 1993). Menurut Festinger, individu mempunyai kebutuhan untuk mengevaluasi
kemampuan dan ketepatan pendapatnya, dan ketiadaan standar non sosial yang objektif, maka
individu akan membandingkannya dengan orang lain. Individu lebih cenderung untuk
membandingkan dirinya dengan orang lain yang mempunyai kesamaan dibanding dengan
meraka yang tidak sama. Sebagai contoh, mahasiswa cenderung membadingkan nilai atau
IPK-nya dengan mahasiswa lain dalam satu fakultas dibanding dengan mahasiswa fakultas
lain.
Penilaian keadilan dengan metode ini lebih banyak digunakan dalam menilai keadilan
Messick & Sentis (Van den bos & Lind, 1997) menyatakan bahwa perbandingan antara hasil
atau bagian yang dimiliki oleh seseorang dengan bagian milik orang lain akan mempengaruhi
kepercayaanya pada keadilan. Selanjutnya Adams (dalam Bartol, Durham & Poon, 2001)
menyatakan bahwa jika individu mempersepsikan rasio input dan output-nya tidak sama
dengan rasio input dan output orang lain yang menjadi referensinya maka akan menyebabkan
sosial yaitu tersedianya informasi tentang input dan output orang lain. Hal ini sejalan dengan
apa yang disampaikan oleh Van den bos et. al (1997) bahwa individual kurang
memperhatikan atau tidak bergantung pada informasi prosedural dalam penilaian keadilan
ketika mereka memiliki informasi tentang hasil atau bagian orang lain. Mereka akan
menggunakan informasi perbandingan sosial sebagai dasar untuk menilai seberapa adil dan
seberapa puas dengan hasil atau bagian yang diterimanya. Dengan kata lain, ketika seseorang
mempunyai informasi tentang hasil orang lain, informasi prosedural menjadi lebih sulit
Klein (dalam Bartol, Durham & Poon, 2001) mengindikasikan bahwa individu sangat
terpengaruh oleh infomasi perbandingan sosial yaitu informasi tentang bagaimana posisi
seseorang dalam suatu dimensi dibanding dengan orang lain, bahkan dalam situasi dimana
informasi yang objektif tersedia. Misal dalam organisasi atau perusahaan dimana karyawan
sangat terpengaruh pada informasi gaji atau pengahasilan karyawan lainnya. Selanjutnya Lind
(dalam Bartol, Durham & Poon, 2001) menyampaikan bahwa individu akan memperhatikan
posisinya dalam suatu kelompok dan menetapkan bukti bahwa informasi tentang status atau
posisi orang lain dalam suatu kelompok akan mempengaruhi persepsi keadilan.
aturan-aturan jalan sepintas dalam mencapai suatu penilaian. Heuristik dalam kognisi sosial
diartikan sebagai jalan pintas mental (mental shortcut) dan strategi yang digunakan oleh
individu dalam memahami dunia luar yang kompleks (Brigham, 1991). Sedangkan Baron &
memungkinkan seseorang untuk membuat penilaian sosial secara cepat dan dengan
pengurangan usaha. Heuristik dilakukan untuk mengatasi keterbatasan kognisi kita dalam
Teori heuristik penilaian keadilan sebenarnya hampir sama dengan heuristik kognisi
sosial, yaitu dalam hal mengambil keputusan penilaian secara cepat dalam situasi yang serba
terbatas. Pendekatan ini merupakan kritik terhadap teori perbandingan sosial yang sangat
tergantung pada tersedianya informasi tentang hasil atau posisi orang lain dalam
kelompoknya.
Van den bos et. al (1997) menyatakan bahwa teori heuristik penilaian keadilan ini
penilaian keadilan. Teori ini beranggapan, bahwa menyerahkan otoritas pada orang lain
memungkinkan terjadinya eksploitasi dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak pasti
dan tidak nyaman dalam hubungannya dengan otoritas tersebut. Individu mungkin akan
bertanya apakah pemegang otoritas itu dapat dipercaya untuk tidak mengeksploitasi atau
mengancam identitas sosial mereka. Pendekatan yang umum dalam situasi semacam itu
adalah dengan menciptakan kesan atau impresi keadilan. Sekali individu telah menetapkan
suatu penilaian keadilan, hal itu akan menjadi suatu heuristik yang akan mempengaruhi
Teori atribusi disusun secara sistematis pertama kali oleh Harold Kelly tahun 1968
berdasar pada model atribusi klasik dari Fritz Heideger (Plous, 1993). Teori atribusi
merupakan teori penilaian yang normatif yaitu mengatur bagaimana individu berperilaku
45
secara baik dan menyediakan suatu model deskriptif dari perilaku sehari-hari. Menurut model
Heider tersebut, individu biasanya melihat penyebab suatu perilaku dalam tiga bentuk yaitu ;
(a) individunya, sesuatu dalam diri individu tersebut mungkin menjadi penyebab perilaku
tertentu; (b) entitas, faktor situasi sebagai penyebabnya dan; (c) waktu, peristiwa tertentu
hanya terjadi dalam waktu-waktu tertentu pula, sehingga kemungkinan penyebab perilaku
adalah waktu. Jadi perilaku seseorang disebabkan dari akumulasi dari tekanan lingkungan
Pittman (dalam Baron & Byrne, 1997) mendefinisikan atribusi sebagai usaha
seseorang untuk memahami penyebab perilaku orang lain, dalam suatu peristiwa tertentu, dan
juga penyebab perilaku dirinya. Di sini muncul kecenderungan untuk menilai suatu
kesuksesan sebagai akibat dari usahanya sendiri dan kegagalan sebagai akibat dari perilaku
orang lain sehingga terjadi penolakan pertanggungjawaban (Schroth & Shah, 2000).
Kaitannya dengan penilaian keadilan, maka hasil distribusi yang besar dinilai sebagai
kesuksesan sehingga cenderung dilakukan atribusi internal, sedangkan hasil yang sedikit
dinilai sebagai kegagalan sehingga dilakukan atribusi eksternal. Atribusi kegagalan tersebut
Kelly (dalam Plous, 1993) menunjukan tiga sumber informasi sebagai patokan dalam
melakukan suatu penilaian yaitu : (a) konsensus, yaitu apakah orang lain juga berperilaku
sama dalam situasi yang sama; (b) distinctiveness, sampai sejauh mana individu merespon
dengan cara yang sama terhadap stimulus dan situasi yang berbeda dan; (c) konsistensi,
sejauh mana individu merespon suatu stimulus atau situasi tertentu dengan cara yang sama
setiap waktu.
46
Atribusi dan penilaian keadilan menurut Faturochman (2003) saling berkaitan, karena
pemberian atribut atas kejadian atau individu didasarkan pada faktor-faktor yang
melatarbelakanginya yaitu internal individu dan eksternal yaitu orang lain atau lingkungan.
Sedangkan penilaian keadilan menyangkut penilaian atas prosedur dan distribusi dimana yang
Brockner & Wiesendfeld (dalam Faturochman, 2003) menyebutkan dua hal penting
dalam kajian tentang hubungan antara atribusi dengan penilaian keadilan yaitu atribusi hasil
dan atribusi prosedur. Menurutnya, individu cenderung untuk membuat atribusi berdasarkan
harapannya, terutama harapan akan hasil akhir. Jika hasil akhir sesuai dengan harapanya maka
atribusinya postif dan sebaliknya. Dengan kata lain, distribusi yang sesuai dengan harapanya
dinilai adil dan distribusi yang tidak sesuai dengan harapannya dinilai tidak adil.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model yang sering
digunakan oleh individu dalam menilai suatu sistem distribusi tertentu ada tiga yaitu model
perbandingan sosial (social comparison model), model heuristik (heuristic model) dan model
atribusi (atribution model). Kasus pada penelitian ini yang mencoba menganalisis SK Rektor
Tetap Admnistrasi Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Keputusan tersebut menganut
sistem distribusi yang sama rata (equality) yaitu memberikan tunjangan sebesar Rp. 125.000,-
tiap bulan kepada seluruh karyawan tanpa melihat variabel masa kerja, tingkat pendidikan,
jenis kelamin, pangkat dan golongan. Model penilaian keadilan yang digunakan oleh
karyawan dalam kasus ini adalah model perbandingan sosial. Artinya keputusan ini
memungkinkan setiap karyawan mengetahui dan dapat membandingkan output atau hasil
yang dimilikinya dengan output orang lain. Kemudian individu juga membandingkan input
47
diberikan pada organisasi dan input karyawan lainnya melalui pengamatan dan juga dokumen
yang dimilikinya misal informasi mengenai masa kerja, golongan dan juga jenis kelamin.
Selanjutnya individu akan membandingkan informasi input dan output dirinya dengan input
dan output orang lain sebagai dasar untuk memberikan penilaian adil tidaknya surat keputusan
tersebut.
B. Keadilan Prosedural
1. Pengertian
tentang keadilan distributif. Konsep ini pertama kali kemukakan oleh Thibaut dan Walker
pada tahun 1975 dalam buku Procedural Justice berdasarkan penelitiannya pada prosedur
praktek bidang peradilan. Thibaut dan Walker mendefinisikan keadilan prosedural sebagai
proses penilaian keadilan yang menekankan pada bagaimana prosedur suatu keputusan atau
ketetapan pembagian sumber daya itu dibuat (Tyler, 1994). Pendapat yang senada
disampaikan oleh Folger dan Greenberg (Moorman, 1991; Gilliand, 1994) yang menyatakan
bahwa keadilan prosedural adalah keadilan pada prosedur pembuatan dan implementasi
Selaras dengan pengertian di atas, Bartol, Poon dan Durham (2001) menyatakan
bahwa keadilan prosedural adalah keadilan dari proses yang digunakan dalam membuat dan
2003) selanjutnya menyatakan bahwa keadilan prosedural adalah keadilan proses yang dilalui
dalam membuat suatu keputusan atau kebijakan. Oleh individu dalam suatu organisasi, istilah
keadilan prosedural sering dikonotasikan dan diterjemahkan dalam bentuk banyaknya usulan
48
atau masukan dari karyawan, kelayakan dari kriteria evaluasi dan keakuratan dari informasi
Lind & Early (1992) menyebutkan tiga hal penting dalam keadilan prosedural,
pertama adalah adanya efek kontrol proses (voice) yaitu kesempatan bagi partisipan untuk
untuk memberikan informasi kepada pengambil keputusan sehingga keputusan tersebut tidak
akan merugikan mereka. Eksperimen yang dilakukan oleh Lind dkk (1998) menemukan
menilai suatu prosedur lebih adil dibanding partisipan yang tidak mempunyai kesempatan
berpartisipasi (no voice). Kelompok voice juga lebih positif dalam menilai keputusan atau
Kedua adalah efek proses yang bermartabat (dignitary process effect), yaitu pengaruh
yang dapat meningkatkan rasa keadilan melalui suatu prosedur yang memperlakukan individu
secara terhormat dan merasa dihargai. Penelitian Lind et. al (1989) tentang reaksi dari para
ligitants (mereka yang berperkara atau melakukan ligitasi di pengadilan) terhadap prosedur
peradilan sipil menemukan bahwa persepsi diri yang dihargai merupakan prediktor yang
lebih kuat dalam penilaian keadilan prosedural dibandingkan dengan pemahaman terhadap
prosedur atau jumlah kasus yang kalah dan menang (Lind & Early, 1992)
Ketiga adalah efek keadilan prosedural (fair effect), yaitu efek positif dari prosedur
yang adil memunculkan kerelaan yang lebih besar terhadap suatu prosedur yang dianggap
adil. Lind dkk (1990) dalam penelitiannya tentang penempatan tujuan/hasil (goal setting)
tidak hanya meningkatkan penilaian keadilan tetapi juga meningkatkan penerimaan hasil yang
diperoleh dari prosedur tersebut dan juga meningkatkan kinerja pelaksanaan tugas (Lind &
Early, 1992). Dalam kaitanya dengan hubungan antara kepatuhan warga terhadap pihak
berwenang, Tyler & Lind (Lind & Early, 1992) mengemukakan bahwa penilaian keadilan
prosedural memainkan peran penting dalam keputusan untuk mematuhi pihak berwenang
dalam segala bidang seperti dalam organisasi, pengadilan atau politik. Juga dikatakan bahwa
individu yang percaya bahwa pemerintah mereka telah menggunakan prosedur yang adil
dalam pembuatan keputusan akan cenderung mematuhi hukum. Keadilan prosedur juga akan
kelompok.
prosedur yang digunakan untuk menghasilkan keputusan tersebut tanpa melihat apakah
keputusan tersebut menguntungkan atau merugikan dirinya. Dalam kasus perselisihan yang
melibatkan pihak ketiga misal badan arbitrase, disputan (mereka yang berkonflik) merasa
bersedia melepas kontol atas keputusan (decision control) asal mereka diberikan hak dalam
proses (control process) pengambilan keputusan yang berlangsung dengan cara memberikan
usulan atau masukan. Mereka menilai suatu keputusan yang itu adil terjadi ketika mereka
menilai proses (voice) pengambilan keputuan itu adil, tanpa melihat apakah keputusan itu
Partisipan yang diberi kesempatan dalam proses pengambilan keputusan akan menilai
hasil atau keputusan tersebut lebih positif dibanding patisipan yang tidak mempunyai
kesempatan dalam proses (Lind et. el, 1998). Dengan kata lain, individu menilai sesuatu itu
50
adil tidak hanya dengan melihat hasil (outcome) tetapi juga prosedur yang digunakan dalam
dalam organisasi (perusahaan) oleh Leventhal (Colquitt et. al, 2001). Selanjutnya Leventhal
menciptakan daftar kriteria yang digunakan untuk menentukan suatu prosedur itu dinilai adil
atau tidak. Kriteria tersebut yaitu : (a) konsisten, artinya suatu prosedur yang adil harus
konsisten setiap waktu dan bagi setiap orang; (b) bebas dari bias, masing-masing pihak harus
terbebas dari kepentingan pribadi dalam membuat suatu keputusan; (c) informasi akurat,
pengambilan keputusan harus didasarkan pada informasi yang akurat dan berdasar pada fakta;
(d) dapat dikoreksi, prosedur harus memungkinkan dilakukannya perbaikan jika ditemukan
adanya kesalahan; (e) etis, prosedur yang adil harus memenuhi standar etika dan moral; (f)
representatif; prosedur yang adil haruslah melibatkan seluruh anggota kelompok yang dikenai
prosedur tersebut, sehingga semua pendapat anggota harus diperhatikan. Dalam pengukuran
keadilan prosedural, konsep ini kemudian dikembangkan lagi oleh Moorman (1991) dan
Qolquitt (2001).
Dari berbagai pendapat dan pandangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan keadilan prosedural adalah keadilan pada proses pembuatan dan
implementasi dari suatu kebijakan yang bertujuan untuk menentukan suatu sistem distribusi
tertentu. Suatu kebijakan disebut adil secara prosedural manakala prosedur tersebut konsisten,
bebas dari bias, berdasar pada informasi yang akurat, dapat dikoreksi, etis dan representatif.
51
Pada awalnya, penelitian tentang keadilan mengacu pada konsep keadilan distribusi
yang dikembangkan oleh Hommans dan oleh Adam Smith. Perkembangan selanjutnya,
psikologi juga mencoba menjelaskan mengapa keadilan itu penting dengan mengembangkan
model yang menjelaskan motif keadilan (Tyler, 1994). Beberapa model yang sering
Kajian awal tentang keadilan prosedural lebih memfokuskan pada kepentingan pribadi
individu sebagai basis penilaian keadilan (Heuer & Stroessner, 1996). Thibaut & Walker
(Heuer & Stroessner, 1996) mencontohkan individu akan merasa di perlakukan secara adil
oleh pihak berwenang jika mereka diberikan kontrol pada keputusan akhir. Kontrol pada
maka individu akan lebih suka melibatkan pihak ketiga (third party). Situasi tersebut
memaksa individu untuk menggunakan kontrol proses (process control) yaitu kesempatan
untuk memberikan masukan pada pengambil keputusan. Kontrol terhadap proses memberikan
keputusan sehingga keputusan yang dibuat akan menguntungkan dirinya. Menurut model ini,
ketertarikan individu pada kontrol proses dan kontrol keputusan dilatarbelakangi oleh tujuan
Tidak semua permasalahan, dalam situasi tertentu, dapat diselesaikan oleh dua belah
pihak secara baik sehingga dapat terjadi kebuntuan (Faturochman, 2003). Dalam kondisi yang
52
demikian maka individu akan mendistribusikan kontrol pengambilan keputusan kepada pihak
ketiga (arbiter), sehingga individu kemudian hanya memegang kontrol proses. Di Indonesia,
sengketa antara pekerja dan pemilik perusahaan dalam prosedur pemutusan hubungan kerja
(PHK) atau dalam pemberian hak normatif pekerja seringkali terjadi kebuntuan sehingga
penyelesaiannya harus melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini Depnaker atau pengadilan.
Pelibatan pihak ketiga ini dilakukan dengan harapan bahwa sengketa tersebut dapat
Lind & Tyler (Heuer & Stroessner, 1996) mengajukan pendapat bahwa kepentingan
pribadi bukan merupakan faktor yang kuat dalam menentukan penilaian keadilan.
Berdasarkan pada teori identitas sosial dari Tajfel, individu juga memperhatikan hubungan
tersendiri bagi individu. Individu akan selalu berusaha mempertahankan status keanggotaanya
dan mencoba menghindari perlakuan yang menyebabkan dirinya tidak lagi dihargai dalam
kelompok.
kelompok yang menjadi referensinya serta keinginan untuk menjadi, untuk dilihat, untuk
diakui dan dihargai dalam kelompok, organisasi atau komunitas (Lind & Earley, 1992).
Prosedur pengambilan keputusan sosial merupakan bagian penting dari kehidupan sosial
individu dan merupakan organisasi prinsip atau aturan dari keberadaan suatu kelompok. Nilai-
nilai yang dianut suatu kelompok merupakan faktor yang penting dalam menentukan
penilaian keadilan. Individu tidak semata menekankan kontrol proses untuk mendapatkan
53
keputusan yang menguntungkan dirinya, tetapi juga harus memperhatikan makna simbolik
dari kelompok. Keadilan prosedural menurut model ini pada prinsipnya adalah kesesuaian
Menurut model ini, prosedur yang adil akan membangkitkan perasaan positif terhadap
seseorang karena mereka merasa dihargai oleh kelompok atau otoritas yang membuat
prosedur tersebut. Sebaliknya, prosedur yang tidak adil akan membangkitkan perasaan negatif
terhadap seseorang karena menunjukan rendahnya penghargaan dari kelompok atau figur
otoritas.
penilaian keadilan prosedural yaitu model kepentingan individu (self interest model) dan
model nilai-nilai kelompok (group value model). Secara teoritis maka model yang digunakan
karyawan dalam menilai prosedur penetapan surat keputusan tentang tunjangan kompensasi
ini adalah model kepentingan kelompok (group value model). Indikasinya adalah bahwa
karyawan tidak mempunyai kontrol atau wewenang terhadap keputusan tersebut dan juga
kontrol terhadap proses penyusunan praturan ini. Sehingga karyawan tidak dapat
sama rata pada peraturan ini lebih didasari pada nilai-nilai yang berlaku dan ingin dicapai oleh
organisasi dalam memelihara harmoni, kebersamaan dan juga konformitas yang lazim berlaku
pada budaya kolektif. Asumsinya adalah bahwa individu yang berada dalam budaya kolektif
juga akan mendukung suatu keputusan yang mengakomodasi nilai-nilai yang berlaku dalam
Selanjutnya Lind & Tyler (Lind & Earley, 1992) memperluas analisisnya terhadap
model ini yang menekankan pada hubungan antara individu dengan otoritas. Menurutnya,
dalam hubungannya dengan figur otoritas maka individu akan memperhatikan tiga hal
berikut; (a) netralitas (neutrality), figur otoritas haruslah tidak berpihak pada salah satu
kelompok; (b) dapat dipercaya (trustwothiness), individu percaya bahwa pihak otoritas akan
memperlakukan anggotannya secara baik dan menguntungkan dan; (c) adanya pengahargaan
C. Keadilan Distributif
1. Pengertian
dengan distribusi berdasarkan peran dan fungsi masing-masing dalam masyarakat. Deustch
(Cropanzano dkk, 2000) mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan atas apa yang
telah diterima sebagai hasil dari suatu keputusan atau ketetapan pembagian.
Sedangkan Adam Smith (dalam Colquitt dkk 2001) lebih menekankan pada kerangka
teori pertukaran untuk mengevaluasi keadilan. Menurutnya, orang tidak melulu hanya melihat
besarnya hasil yang diterima tetapi lebih menekankan pada apakah yang diterima tersebut
sudah dirasakan adil. Cara untuk menentukannya adalah dengan membandingkan antara
kontribusi atau input yang telah diberikan dengan hasil atau output yang diterimanya dan
kemudian dibandingkan dengan kontribusi dan hasil yang diterima orang lain Pendapat ini
sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Messicck dan Sentis (1983), bahwa suatu hasil
55
dikatakan adil dan memuaskan ketika hasil tersebut sama dengan yang diterima oleh orang
Pentingnya perbandingan dengan orang lain dan proporsi input atau output dalam
keadilan distribusi tercermin pula dalam diefinisi yang disampaikan oleh Bartol dkk (2001).
Mereka menyatakan bahwa keadilan distribusi adalah penilaian keadilan pada proporsi antara
hasil (outcomes) yang diterima oleh individu dengan input yang diberikan dibandingkan
dengan proporsi input dan hasil yang diterima orang lain. Definisi tersebut mengindikasikan
pada sistem proporsional (equity) yang memang sangat populer di negara – negara barat dan
Selanjutnya Van den Boss dkk (1998) menyatakan bahwa penilaian keadilan distribusi
memang tidak dapat dipisahkan dari informasi perbandingan sosial. Misalnya dalam sistem
distribusi proporsional, hasil distribusi seringkali dinilai dalam besaran yang relatif dengan
hasil yang diterima orang lain. Menurutnya, hasil akan dinilai lebih adil dan lebih memuaskan
ketika hasil tersebut sama atau lebih dibanding yang diterima orang lain.
menyatakan bahwa keadilan distributif dalam psikologi meliputi segala bentuk distribusi di
antara anggota kelompok dan pertukaran antar pasangan. Sehingga keadilan distributif tidak
hanya berkaitan dengan pemberian, tetapi juga meliputi pembagian, penyaluran, penempatan
dan pertukaran.
Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa keadilan distribusi
adalah persepsi keadilan terhadap besarnya hasil pembagian, pemberian dan pertukaran
sumber daya yang diterima oleh individu dari orang lain atau kelompoknya.
56
mengalokasikan sejumlah sumber daya yang terbatas relatif terhadap permintaan atau
tuntutan. Prinsip ini bervariasi dalam berbagai hal diantaranya adalah tergantung barang apa
yang akan didistribusikan seperti pendapatan, kesejahteraan atau kesempatan. Juga berdasar
pada sifat dari subjek distribusi seperti individu atau kelompok serta yang terakhir berdasar
pada tata cara pendistribusian, misalnya dengan apakah menggunakan prinsip persamaan
dapat dilihat pada tingkatan, yaitu nilai-nilai, peraturan dan impelementasi peraturan.
2. Pola-pola Distribusi
Distribusi secara proporsional mengacu pada Equity Theory dari Adam Smith
(Durham, et. al, 2001) yang menyatakan bahwa keadilan distributif diperoleh dengan cara
membandingkan antara input yang diberikan dengan hasil atau output yang diterima. Persepsi
ketidakadilan terjadi ketika proporsi antara input dan output seseorang tidak sama atau bahkan
lebih kecil dengan proporsi input dan output orang lain yang menjadi referensi.
suatu aturan normatif tunggal yang mengatur imbalan dan sumber daya didistribusikan
berdasarkan kontribusi penerimanya. Selanjutnya Lind & Van den Bos (1997) menyatakan
bahwa dalam kondisi dimana individu tidak mengetahui proporsi yang diterima oleh orang
57
lain yang menjadi referensi, maka sulit untuk menentukan apakah distribusi tersebut adil atau
tidak dan memuaskan atau tidak memuaskan. Sehingga diperlukan persyaratan tertentu agar
sistem distribusi ini dapat memuaskan individu. Salah satunya adalah bahwa sumbangan atau
dengan individu lainnya karena dengan makin besar kontribusi yang diberikan maka hasil
yang akan diperoleh juga makin banyak. Dengan kata lain makin produktif seseorang makin
(Diekmann et. al, 1997) menyebutkan bahwa dalam prinsip distribusi ini setiap orang atau
anggota menerima hasil pembagian yang sama dengan anggota lain dalam kelompok atau
kelas tertentu. Prinsip ini paling tepat dalam menjaga relasi sosial yang selaras dan terhindar
dari konflik (Faturochman, 2003). Hubungan antar individu akan selaras ketika mereka saling
menghormati dan menghargai, dan itu terjadi jika mereka dalam posisi yang sejajar atau sama.
Kesulitan atau ketidakpuasan dalam sistem distribusi ini muncul ketika seseorang
yang mempunyai kontribusi besar harus menerima hasil yang sama dengan orang lain yang
Pertimbangan yang digunakan dalam prinsip ini adalah kebutuhan individu. Mereka
yang mempunyai kebutuhan banyak akan mendapatkan distribusi yang banyak pula dan
sebaliknya (Faturochman, 2003). Prinsip ini biasa digunakan dengan pertimbangan sosial,
58
misal diberikan kepada mereka yang kurang beruntung seperti orang jompo, anak terlantar
dan lainnya. Kesulitan dalam pelaksanaan prinsip ini adalah dalam menentukan besarnya
kebutuhan yang berbeda-beda dalam suatu kelompok tertentu, sehingga seringkali patokan
yang dibuat tidak dapat memuaskan seluruh anggota kelompok tersebut. Ketika kebutuhan-
kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka menurut model ini, individu akan mengalami
kemampuan dan potensi untuk bersusaha dan mendapatkan hasil (Faturochman, 2003),
sehingga perlu perlakukan khusus bagi mereka yang termasuk dalam kelompok kurang
beruntung ini. Kritik terhadap prinsip ini menurut Crosby & Clayton (Parker dkk, 1997)
adalah bahwa sering muncul stigma dan stereotip negatif terhadap mereka yang masuk
lainnya. Tetapi dalam banyak hal, hanya tiga prinsip yaitu proporsional, sama rata dan prinsip
sesuai kebutuhan yang paling banyak dipraktekkan di banding prinsip distribusi lainnya
bagian adiministrasi Unissula sendiri menganut prinsip sama rata (equality) yaitu seluruh
karyawan yang dikenai peraturan itu mendapatkan tunjangan kompensasi sebesar Rp. 125.000
tanpa melihat jenis kelamin, pangkat,golongan dan masa kerja serta tingkat pendidikannya.
Meskipun prinsip tersebut ditetapkan dengan maksud untuk menciptakan rasa adil
bagi individu, penilaian keadilan distributif dangat dipengaruhi oleh banyak faktor
59
diantaranya disampaikan oleh Faturochman (2003) berikut ini yaitu : (1) Gender, perempuan
cenderung dirugikan dalam distribusi, sebaliknya laki-laki seringkali diuntungkan. Hal ini
didukung oleh banyak penelitian yang menyebutkan bahwa perempuan lebih mudah merasa
adil dengan distribusi yang diterimanya; (2) Situasi, yaitu kondisi di sekeliling individu
misalnya tempat kerja; (3) Karakteristik penilai; (4) Harapan dan; (5) kesejahteraan.
D. Nilai (Value)
1. Pengertian
Kajian tentang nilai (value) telah mempunyai sejarah yang panjang sehingga definisi
atau pengertian nilai telah pulan mengalami berbagai perkembangan. Perkembangan teori atau
kajian tentang nilai dimulai dari Shand pada tahun 1896 (Rohan, 2000) yang menyatakan
bahwa tiap individu mempunyai organisasi konfigurasi sentimen-sentimen (suatu konsep yang
dalam beberapa hal konsisten dengan tipe-tipe nilai) yang berbeda. Perbedaan-perbedaan
Teori selanjutnya disampaikan oleh Spranger yang menyatakan bahwa tiap individu
mempunyai enam nilai dengan proporsi yang berbeda-beda dan ada salah satu nilai yang lebih
dominan dibanding nilai-nilai lainnya. Pendapat ini kemudian ditindak lanjuti oleh Allpor,
Vernon dan Lindzey dengan menyusun suatu instrumen yang mampu menunjukan letak
prioritas satu nilai diantara lima nilai lainnya (Rohan, 2000). Teori-teori nilai di atas
merupakan babak awal perkembangan kajian tentang nilai yang kemudian dilanjutkan dan
William (Rokeach, 1973) mendefinisikan nilai sebagai sebuah kriteria atau standar
penilaian. Pengertian itu mengimplikasikan bahwa nilai yang dimiliki seseorang itu relatif
Rokeach (1973) menyatakan bahwa nilai merupakan suatu keyakinan yang relatif
stabil bahwa suatu modus perilaku (nilai instrumental) dan wujud akhir dari eksistensi atau
tujuan (nilai terminal) tertentu secara sosial lebih disukai (preferable) dari pada modus
perilaku atau wujud akhir eksistensi yang sebaliknya. Sedangkan sistem nilai adalah
organisasi keyakinan yang abadi tentang modus suatu perilaku atau wujud akhir eksistensi.
Definisi sistem nilai ini kemudian direvisi lagi yang meletakkan nilai sebagai pusat dari
kepribadian. Nilai merupakan komponen utama yang berperan dalam memelihara dan
Schwartz (1994) mengajukan teori tentang struktur sistem nilai dengan menekankan
pada masalah motivasi yang menyertai masing-masing nilai. Schwartz mendefinisikan nilai
secara lebih luas dimana nilai dianggap sebagai; (1) suatu keyakinan; (2) berkaitan dengan
wujud akhir atau modus perilaku yang diinginkan; (3) tidak tergantung situasi tertentu; (4)
membimbing proses seleksi dan evaluasi perilaku, individu dan peristiwa (events); (5) disusun
secara bertingkat menurut pentingnya untuk kemudian membentuk suatu sistem nilai yang
diprioritaskan.
Menurutnya, nilai merupakan suatu tujuan yang diinginkan, bervariasi dalam kepentingannya,
berperan sebagai panduan dalam kehidupan seseorang atau suatu entitas sosial. Secara
implisit, definsi nilai sebagai suatu tujuan mengandung makna; (1) mengabdi pada
61
kepentingan entitas sosial; (2) dapat memotivasi suatu tindakan dan memberi arah; (3)
berfungsi sebagai standard penilaian dan pembenaran suatu perilaku dan; (4) nilai didapatkan
melalui sosialisasi terhadap kelompok nilai yang dominan serta melalui pengalaman unik
Berkaitan dengan isi dari nilai, Schwartz (1994) berpendapat bahwa nilai
merepresentasikan suatu tujuan yang disadari sebagai respon dari tiga kebutuhan universal
manusia yaitu kebutuhan individu sebagai organisme biologis, untuk koordinasi dalam
interaksi sosial dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup secara baik. Dari tiga hal
Menindaklanjuti apa yang disampaikan oleh Rokeach dan Schwartz, Feather (1982)
penting yang dialami, yang bersifat normatif dan berfungsi sebagai kriteria atau kerangka
kerja atas pengalaman yang dihadapi saat ini. Nilai bukan merupakan struktur yang netral
secara afektif. Nilai terikat pada perasaan dan dapat berfungsi sebagai motif. Peran
motivasional dari nilai ini kemudian oleh Feather dibuktikan dengan menggunakan teori nilai
bahwa nilai akan melekat dalam suatu benda atau peristiwa sehingga benda atau peristiwa itu
Berdasar dari berbagai pendapat di atas maka yang dimaksud dengan nilai (value)
adalah suatu keyakinan-keyakinan (beliefs) tentang suatu modus atau tujuan perilaku tertentu
lebih penting (dominan) dibanding modus atau tujuan perilaku lainnya yang memandu
62
individu dalam menyeleksi dan mengevaluasi suatu peristiwa serta menjelaskan suatu
tindakan.
mengkalsifikasikan nilai menjadi dua yaitu nilai instrumental dan nilai terminal. Konsep nilai
instrumental berarti suatu modus atau cara berperilaku yang lebih disukai dibanding cara-cara
lain yang ada dalam mencapai suatu tujuan. Contoh dari nilai instrumental ini adalah
berperilaku jujur, menyayangi dan bertanggung jawab dan lainnya. Menurut Rokeach, ada 18
Ada dua kelompok besar nilai dalam nilai istrumental ini yaitu nilai moral dan nilai
kompetensi (kecakapan/kemampuan). Konsep nilai moral merupakan konsep nilai yang lebih
sempit atau lebih mendekati dibanding konsep nilai secara umum. Nilai ini bersifat
kesadaran atau rasa bersalah karena melakukan sesuatu dengan cara yang salah. Berlaku jujur
(honesty) dan bertanggung jawab (responsible) akan mendorong individu merasa telah
Nilai kompetensi atau juga disebut sebagai nilai aktualisasi diri ini lebih bersifat
personal dibanding interpersonal dan tidak menekankan pada moralitas. Pelanggaran nilai ini
akan membuat individu malu karena ketidakmampuannya melakukan sesuatu dengan cara
yang benar dan kurang menimbulkan rasa bersalah. Berperilaku secara rasional, logis, cerdas
dan imajinatif membangkitkan perasaan bahwa dia telah berperilaku secara kompeten.
63
Rokeach (1973) merangkum nilai instrumental dalam bentuk akhir (form G) kedalam
18 jenis yaitu : (1) Ambisius (pekerja keras, bercita-cita tinggi); (2) Berpikir luas (selalu
terbuka); (3) Cakap (kompeten dan efektif); (4) Riang (menyenangkan); (5) Bersih (rapi); (6)
Berani (berani mempertahankan keyakinan); (7) Pemaaf (mau memafkan orang lain); (8)
Penolong (bekerja untuk kebaikan orang lain); (9) Jujur (tulus, menjujung tinggi kebenaran);
(10) Imajinatif (kreatif); (11) Tidak tergantung (independen, percaya pada diri sendir,
mencukupi dirinya sendiri); (12) Intelektual (pandai, reflektif); (13) Berpikir logis (konsisten,
rasional); (14) Mencintai (lembut, penih kasih sayang) (15) Patuh (memenuhi tugas,
menghormati); (16) Sopan (ramah, bersikap baik); (17) Bertanggung jawab (dapat
Rokeach menyusun 18 nilai instrumental berdasar pada 555 ciri sifat pribadi manusia
yang bersifat negatif dan positif yang disusun oleh Anderson. Ke-555 ciri sifat tersebut
berasal dari 18.000 nama sifat yang merupakan hasil kompilasi ciri sifat dari Allport dan
Odbert. Karena nilai tidak mengenal istilah negatif maka dari 555 ciri sifat tersebut diambil
yang positif saja sejumlah 200. Dari jumlah itu kemudian diseleksi lagi menurut beberapa
kriteria yaitu: (1) mengambil satu dari beberapa ciri sifat yang mempunyai arti sama atau
mendekati sama misal penolong, baik, berhati baik, bersahabat dan lainnya; (2) menilai mana
yang berbeda secara maksimal atau yang mempunyai inter korelasi satu dengan lainnya paling
minimal; (3) yang paling penting dan merepresentasikan nilai yang dianut oleh masyarakat
Amerika; (4) nilai yang dipertimbangkan mempunyai diskriminasi maksimal menurut jenis
kelamin, status, ras, agama, politik dan lainnya; (5) nilai yang paling mempunyai arti pada
semua budaya; (6) memasukan nilai yang secara cepat dapat diakui oleh individu dan bukan
64
nilai yang tidak umum seperti tidak tahu adat, sombong, brilian, pandai, menawan dan
lainnya.
Konsep nilai kedua yang dikemukakan oleh Rokeach (1973) selain konsep nilai
intrumental adalah nilai terminal. Menurut Rokeach, nilai terminal adalah suatu keyakinan
bahwa suatu wujud akhir atau tujuan tertentu lebih disukai daripada wujud akhir atau tujuan
lainnya. Contoh dari nilai terminal antara lain adalah persamaan, kemerdekaan atau kebebasan
dan lainnya. Seperti halnya nilai instrumental, nilai terminal juga berjumlah 18 nilai.
Nilai terminal terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu pertama adalah personal
(pribadi), atau berorientasi pada diri atau intrapersonal. Kedua adalah sosial atau berorientasi
sosial atau intrapersonal. Nilai keselamatan dan pikiran yang damai adalah contoh kelompok
nilai personal atau interpersonal sedangkan nilai perdamaian dunia dan persaudaraan adalah
Prioritas untuk meletakan nilai personal atau sosial sangat bervariasi, sehingga sikap
dan perilakunya akan berbeda satu dengan yang lain tergantung pada prioritas nilainya.
Peningkatan prioritas pada satu nilai sosial akan meningkatkan pula nilai sosial yang lain dan
menurunkan prioritas nilai personal. Sebaliknya, peningkatan satu nilai personal akan
Nilai terminal juga mempunyai 18 jenis nilai yaitu : (1) Hidup nyaman (hidup makmur
dan sejahtera); (2) Hidup bergairah (aktif, menggairahkan); (3) Prestasi (kontibusi yang
besar); (4) Perdamaian dunia (bebas dari perang dan konflik); (5) Dunia yang indah (alam
yang indah, seni); (6) Persamaan (persaudaraan, persamaan kesempatan bagi semua orang);
(7) Jaminan keluarga (menyayangi dan merawat mereka yang dicintai); (8) Kebebasan
65
(independen, bebas memilih); (9) Kebahagiaan (kepuasan); (10) Harmoni diri (bebas dari
konflik batin); (11) Rasa cinta yang matang (intim seseksual dan spiritual); (12) Keamanan
nasional (bebas dari serangan musuh); (13) Kesenangan (hidup menyenangkan); (14)
Keselamatan (aman/terjamin, abadi); (15) Harga diri ( penghargaan diri); (16) Pengakuan
sosial (dihormati, dikagumi); (17) Persahabatan sejati (pertemanan dekat); (18) Bijaksana
Nilai terminal tersebut di atas dihasilkan melalui penyaringan dari berbagai sumber
diantaranya adalah pertama kajian terhadap literatur tentang nilai yang ditemukan di Amerika
dan negara lainnya, kedua adalah dari penulis sendiri (Rokeach), ketiga diperoleh dari
pendapat 30 sarjana psikologi dan keempat dari hasil wawancara terhadap 100 mahasiswa
tentang nilai terminal yang mereka miliki setelah sebelumnya dijelaskan dahulu apa yang
dimaksud dengan nilai terminal. Hasilnya terkumpul ratusan nilai terminal yang kemudian
direduksi lagi dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : (1) adanya persamaan arti
(sinomim) diantara nilai-nilai terminal misal antara freedom dan liberty; (2) nilai-nilai yang
terbukti secara empiris diketahui kurang lebih mempunyai arti yang sama. Misal korelasi
antara nilai keselamatan (salvation) dengan kesatuan dengan tuhan (unity with god) lebih dari
0.8 sehingga harus diambil salah satu; (3) terjadinya saling tumpang tindih (overlapping)
misal antara keselamatan (salvation) dengan keagamaan (religion); (4) terlalu spesifik ; (5)
tidak merepresentasikan suatu tujuan atau wujud akhir, misal kebijaksanaan adalah tujuan
Beberapa dekade setelah Rokeach, beberapa ahli mencoba menyusun klasifikasi nilai,
salah satunya adalah Shalom Schwartz (1994). Schwartz menyusun klasisfikasi nilai berdasar
pada motivasi individu untuk memenuhi tiga tuntutan universal seperti yang telah
66
disampaikan di atas. Menurutnya, ada sepuluh tipe nilai yang berbeda motivasinya yaitu; (1)
kekuasaan (power) yaitu status sosial dan prestige, mengendalikan dan mendominasi orang
lain dan sumber daya. Termasuk didalam tipe ini adalah nilai kesejahteraan dan kewenangan
kekuasaan sosial; (2) prestasi atau (achievement) yaitu keberhasilan pribadi yang ditunjukan
melalui kompetensinya menurut standar sosial, termasuk dalam tipe ini adalah nilai
kesuksesan, kemampuan dan ambisi; (3) hedonisme yaitu kesenangan dan kenikmatan bagi
dirinya, contohnya adalah nilai kesenangan dan menikmati hidup; (4) stimulasi / pendorong
(stimulation) yaitu kegairahan dan kesenangan terhadap sesuatu yang baru, menyukai
tantangan hidup. Contohnya adalah nilai keberanian, hidup bervariasi, kegairahan hidup; (5)
penentuan diri (self – direction) yaitu perilaku dan pemikirannya bebas, memilih,
menciptakan dan mencari. Contohnya adalah nilai kriativitas, ingin tahu, merdeka; (6)
seluruh manusia dan alam. Contohnya adalah nilai keterbukaan pikiran, keadilan sosial,
manusia yang sering melakukan kontak. Contohnya adalah nilai menolong, jujur dan pemaaf;
(8) tradisi (tradition) yaitu menghargai, berkomitmen dan menerima tradisi atau kebiasaan
dan ide-ide yang disediakan oleh agama maupun budaya. Contohnya adalah nilai rendah hati,
tulus menerima keadaan; (9) Konformitas (conformity) yaitu pengekangan atau pengendalian
perilaku, kehendak hati dan impuls untuk merugikan atau menyakiti orang lain dan melanggar
harapan dan norma sosial. Contohnya adalah nilai kesopanan, kepatuhan, menghormati orang
tua atau orang yang lebih tua; (10) keamanan (security) yaitu keamanan, harmoni, dan
stabilitas sosial, hubungan dan diri. Contohnya adalah nilai keamanan nasional dan tata tertib
sosial. Keseluruhan nilai yang terangkup dalam konsep ini berjumlah 52 nilai.
67
Segala tindakan manusia yang didasari oleh nilai-nilai tertentu yang berakibat baik
secara sosial maupun psikologis dapat saja menimbulkan konflik atau cocok (compatible)
dengan tipe nilai-nilai lainnya (Schwartz, 1994). Misalnya, penekanan pada nilai-nilai prestasi
akan bertentangan dengan nilai kebajikan yaitu pencapaian kesuksesan pribadi akan
orang lain. Penekanan pada nilai tradisi akan bertentangan dengan nilai stimulasi yaitu
menerima tradisi dan ide dari budaya dan agama masa lalu akan menghambat pencarian
sesuatu yang baru, kegairahan dan juga menghadapai tantangan yang baru.
Selain saling bertentangan, antara satu nilai dengan nilai yang lain dapat juga saling
komplemen atau cocok. Nilai kebijakan (benevolence) dan nilai konformitas adalah nilai-nilai
yang cocok satu dengan yang lainnya yaitu mendorong seseorang berperilaku sesuai dengan
tuntutan kelompoknya.
Pola saling cocok dan saling bertentangan diantara tipe-tipe nilai tersebut dapat
digambarkan dalam struktur lingkaran. Nilai yang saling bersaing atau bertentangan terletak
pada posisi yang saling berseberangan sedangkan nilai yang cocok berada pada posisi yang
berdekatan. Meskipun demikian, pada tingkat yang lebih mendasar nilai berada pada suatu
kontinum menurut keterkaitan motivasi. Masing-masing nilai yang berdekatan saling berbagi
bentuk motivasi. Pembagian penekanan motivasi antar nilai tersebut diantaranya adalah; (1)
kekuasaan dan berprestasi menekankan pada superioritas dan harga diri secara sosial; (2)
berprestasi dan hedonisme menekankan pada kepuasan pada diri sendiri; (3) hedonisme dan
stimulasi terkait dengan keinginan untuk membangkitkan kesenangan secara afektif; (4)
stimulasi dan arah diri (self direction) terkait dengan minat intrinsik dalam penguasaan dan
sesuatu yang baru; (5) arah diri dan universalisme merefleksikan ketergantungan pada
68
penilaian diri sendiri dan kesenangan pada keragaman; (6) universalisme dan kebajikan fokus
pada peningkatan kesejahteraan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri; (7) kebajikan
dan konformitas mendorong perilaku normatif yang meningkatkan hubungan yang erat; (8)
kebajikan dan tradisi menekankan pada ketaatan atau kesetiaan pada kelompok sendiri; (9)
konformitas dan tradisi terkait dengan kecenderungan untuk mengabaikan kepentingan diri
sendiri dan memenuhi tuntutan sosial; (10) tradisi dan keamanan terkait dengan memelihara
aturan-aturan sosial yang memberikan kepastian hidup; (11) komformitas dan keamanan
menekankan pada perlindungan terhadap aturan dan hubungan sosial yang harmonis dan ;
(12) keamanan dan kekuasaan terkait dengan menghindari ancaman ketidakpastian dengan
Perbedaan motivasi pada tiap-tiap nilai dalam konsep Schwartz bukan diskrit tetapi
berada pada ruang kontinum yang saling bersinggungan (overlap) terutama pada nilai-nilai
yang saling berdekatan letaknya dalam struktur nilai. Berdasar pada pandangan tersebut maka
dapat dikatakan bahwa secara ruang besar nilai terbagi menjadi empat keompok/wilayah
(region) yang berada dalam dua dimenasi yang saling bertentangan. Dimenasi pertama adalah
pertentangan antara nilai yang termasuk dalam kelompok nilai terbuka untuk perubahan
(openess to change) yaitu kemandirian dalam berpikir dan bertindak serta keinginan untuk
berubah dimana di dalamnya terdapat nilai hedonisme, stimulasi dan arah diri dengan
kelompok nilai konservasi (conservation) yaitu kecendurungan untuk patuh pada batasan diri,
memelihara tradisi dan stabilitas yang terdiri dari nilai keamanan, tradisi dan konformitas.
Dimensi kedua adalah kelompok nilai transendensi diri (self transcendence) yaitu
menekankan pada persamaan dan kesejahteraan orang lain, yang mencakup nilai
universalisme dan kebajikan dengan kelompok nilai peningkatan diri (self-enhancement) yaitu
69
mengejar kesuksesan pribadi dan dominasi terhadap orang lain yang meliputi nilai kekuasaan
dan berprestasi. Nilai hedonisme terkait dengan kelompok nilai keterbukaan untuk berubah
Feather (1990) mengajukan suatu kerangka kerja yang menjelaskan hubungan antara
nilai dengan perilaku tertentu dalam expectancy value-theory. Menurut teori ini
kecenderungan seseorang untuk berperilaku tergantung pada harapan akan suatu hasil tertentu
dan nilai yang melekat padan orang tersebut. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
membuktikan teori ini, misalanya nilai mempunyai kaitan dengan penjelasan tentang
kemiskinan, nilai berkaitan dengan pengangguran dan nilai juga mempunyai hubungan
Kaitanya dengan keadilan, Lind dkk (Peterson, 1994) menyatakan bahwa individu
pengambilan keputusan sosial dan organisasi. Penilaian keadilan yang subjektif itu adalah
Pada tahap awal penilaian individu akan terbiasa untuk melihat suatu keadilan
kebijakan atau aturan dalam dua hal yaitu; (1) penilaian pada seberapa jauh prosedur tersebut
memperlihatkan penghargaan dan pengakuan terhadap partisipan dan; (2) seberapa jauh
kecocokan dengan nilai pribadi yang dianutnya. Prosedur yang konsisten dengan nilai pribadi
dan menunjukan penghargaan bagi partisipan akan dianggap adil dan cenderung didukung,
sebaliknya kebijakan yang tidak konsisten dengan nilai pribadi dan mengabaikan harga diri
partisipan akan dinilai tidak adil dan cenderung ditentang (Peterson, 1994).
70
Dalam Group-Value Theory, Lind (dalam Lind & Early, 1992) mengajukan model
keadilan prosedural nilai kelompok (Group-Value Model of Procedural Justice). Model ini
menghubungkan antara penilaian keadilan prosedural dengan nilai dalam suatu kelompok
referensi individu dan keinginan untuk menjadi, untuk dilihat sebagai anggota dengan status
yang jelas dalam suatu kelompok, organisasi atau sistem sosial dimana prosedur tersebut
digunakan. Menurut teori ini, prosedur pengambilan keputusan sosial merupakan hal yang
penting dari kehidupan sosial karena hal itu merupakan kumpulan prinsip-prinsip yang ada
menyediakan informasi penting tentang nilai-nilai apa yang dianut. Menurut teori ini, standar
keadilan prosedural bersumber dari dua hal yaitu pertama adalah nilai kelompok secara
keseluruhan dan kedua adalah keinginan individu untuk diperlakukan sebagai anggota yang
berstatus penuh. Individu akan menyokong prosedur yang mendukung dan mewujudkan nilai-
nilai fundamental kelompok. Ini yang kemudian disebut sebagai standar keadilan prosedural
ekstrinsik. Pada budaya kolektif seperti di Indonesia (Hofstede, 2002) maka hubungan yang
harmonis, kerja sama dan konformitas merupakan sesuatu yang lazim berlaku dan melekat di
dalamnya. Secara hipotetik karakter budaya kolektif ini sangat cocok (compatible) dengan
individu yang menganut nilai-nilai dengan orientasi sosial seperti nilai kebajikan,
universalisme, konformitas dan tradisi. Individu akan menilai suatu prosedur pembuatan
ketetapan itu adil manakala proses pembuatan ketetapan tersebut mengakomodasi orientasi
nilainya. Artinya suatu prosedur itu dinilai adil karena prosedur tersebut mampu
Sebaliknya individu dengan orientasi nilai pada pribadi tidak akan cocok pada budaya
kolektif yang menekankan pada kebersamaan. Subjek akan menilai bahwa prosedur yang
digunakan oleh suatu organisasi dengan budaya kolektif tidak akan mengakomodasi nilai-nilai
yang dianutnya. Di pihak lain individu akan mendukung prosedur yang menjamin mereka
menjadi anggota dengan status penuh, atau disebut sebagai standar keadilan prosedural
instrinsik. Orientasi nilai pribadi akan bertentangan dengan karakter organisasi yang kolektif
sehingga individu merasa tidak mempunyai status yang penuh dan jelas, akibatnya individu
Standar keadilan prosedural ekstrinsik sangat tergantung pada nilai yang biasanya
berbeda untuk budaya satu dengan budaya lainnya. Beberapa penelitian lintas budaya telah
banyak dilakukan dengan hasil yang tidak konsisten. Penelitian Thibaut & Walker (dalam
Leung, 1988) yang membandingkan sistem peradilan di Amerika dan di Jerman dan Prancis
menemukan hasil yang konsisten, dimana sistem yang menjamin partisipan dalam kontrol
Penelitian dari Leung (dalam Lind & Earley, 1992) terhadap masyarakat Cina di
Hongkong dengan masyarakat Amerika menemukan bahwa pengaruh masukan (voice effect)
partisipan dalam pengambilan keputusan relatif sama untuk dua budaya tersebut. Pendapat
yang berbeda disampaikan para antropolog yaitu Todd & Nader (dalam Leung, 1988) yang
menyatakan bahwa pada masyarakat dimana lingkaran individu dalam berinteraksi sosial
terbatas dan hubungan sosialnya stabil dan lancar, metode penyelesaian konflik seperti
mediasi dan negosiasi yang memungkinkan untuk terjadinya kompromi hasil akhir lebih
disukai. Sebaliknya, masyarakat yang dengan atmosfir sosial lebih luas dan besar serta selalu
72
berubah, metode arbitrasi dan pengadilan yang biasanya berakhir dengan menang-kalah lebih
disukai.
Model penyelesaian melalui mediasi juga lebih disukai di Jepang, Mexico dan China
sedangkan model penyelesaian melalui pengadilan lebih disukai di Amerika, Prancis dan
Inggris. Berdasar hasil penelitian tersebut Leung dan Lind (dalam Leung, 1988)
menyukai model penyelesaian masalah melalui pengadilan dengan resiko menang atau kalah,
sedangkan masyarakat yang berbudaya kolektif lebih menyukai penyelesaian masalah melalui
perundingan atau mediasi. Leung (1988) juga menjelaskan kemungkinan penyebab perbedaan
tersebut, dimana budaya kolektif lebih menekankan pada hubungan yang harmonis, oleh
karena itu mediasi lebih dipilih karena mengurangi terjadinya dendam yang pada akhirnya
Nilai tidak hanya mempengaruhi penilaian keadilan prosedural tetapi juga dalam
penilaian keadilan distributif. Kajian tentang bagiamana metode distribusi sumber daya yang
adil telah banyak dikembangakan para ahli. Di awali dengan munculnya konsep proporsional
(equity), kemudian muncul konsep distribusi berdasar persamaan (equality) dan berdasar
kebutuhan (Feather, 1994). Nilai akan mempengaruhi kepercayaan atau keyakinan yang
dianut oleh seseorang tentang suatu situasi distribusi tertentu. Keyakinan tersebut kemudian
mempengaruhi model distribusi apa yang cocok dengan nilai yang dianutnya tersebut.
Pada budaya yang kolektif maka model yang sering digunakan dalam pembagian
sumber daya adalah model sama rata. Model ini sangat cocok dengan individu dengan
73
orientasi nilai sosial. Artinya individu ini akan menilai pembagian sama rata adalah lebih adil
dari pada model distribusi lainnya. Sebaliknya bagi individu yang menganut nilai dengan
orientasi pribadi seperti prestasi, kekuasaan dan hedonisme akan menilai model distribusi
sama kurang adil dibanding model distrubusi proporsional. Karena model distribusi ini tidak
tersebut dinilai tepat dan adil berdasar karateristik situasinya. Sistem proporisonal lebih cocok
pada situasi yang menuntut peningkatan produktivitas. Sistem distribusi sama rata lebih tepat
jika tujuan dari distribusi itu adalah untuk meningkatkan hubungan atau interaksi sosial,
sedangkan sistem distribusi berdasar kebutuhan lebih tepat jika tujuannya adalah untuk
menguatkan pendapat tersebut di atas, yang kemudian disimpulkan oleh Leung, bahwa jika
nilai dapat mempengaruhi tujuan dari tiga sistem distribusi, maka nilai juga akan
mempengaruhi sistem distribusi yang digunakan. Contohnya, jika suatu orientasi nilai tertentu
mendorong diletaknnya suatu nilai yang lebih tinggi pada satu sistem distribusi tertentu,
misalnya hubungan interpersonal yang harmonis, maka orang tersebut akan lebih senang
memilih sistem pembagian sama rata (equality) dibanding dua sistem lainnya.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Feather (1994) yang
menyatakan bahwa penilaian terhadap keadilan selain dipengaruhi oleh karekateristik situasi
tetapi juga oleh karakteristik pribadi dalam hal ini adalah nilai yang dianut. Misalnya,
penilaian keadilan terhadap sistem distribusi akan berbeda tergantung pada apakah seseorang
itu berada dalam situasi kompetitif atau kooperatif. Juga akan berbeda, tergantung pada
prioritas nilai yang dianut oleh orang yang menentukan sistem distribusi, yang menerima
74
pembagian atau yang menilai tata cara penentuan sistem pembagian tersebut. Feather (1990)
juga menyatakan bahwa pengaruh karateristik pribadi akan dominan dalam menentukan
penilaian keadilan manakala situasi tidak cukup kuat dalam mempengruhi penilaian individu.
stimulasi yang merupakan domain nilai yang mementingkan kepentingan pribadi tidak setuju
dengan sistem pembagian sama rata (equality) dan lebih senang dengan sistem proporsional.
Sebaliknya mereka yang menganut nilai konformitas, prososial dan spiritual lebih cenderung
memilih sistem pembagian sama rata. Dari penelitian ini Feather (1990) menyimpulkan
bahwa reaksi subjek terhadap sistem pembagian tergantung pada berbagai hal seperti situasi,
cara menginterpretasikan informasi, identitas sosial dan keanggotaan dalam kelompok serta
membandingkan sistem distribusi yang dianut oleh masyarakat Amerika dan Eropa yang
pada nilai otonomi, kompetisi dan pentingnya prestasi akan cenderung memilih sistem
distribusi proporsional, sedangkan masyarakat dengan budaya kolektif yang menganut nilai
hubungan sosial yang harmonis dan solidaritas kelompok yang tinggi akan lebih memilih
(Protestan Ethic) yang tinggi lebih memilih model distribusi proporsional dibanding model
distribusi sama rata. Meskipun sama-sama memilih model proporsional, Greenberg (dalam
Leung, 1988) mengungkapkan bahwa mereka yang mempunyai skor PE rendah menilai
75
kinerja karyawan hanya berdasar waktu atau durasi saja sedangkan mereka yang mempunyai
skor PE tinggi menilai kinerja karyawan berdasar kuantitas atau jumlah dan waktu. Subjek
dengan skor PE tinggi cenderung menggunakan faktor internal seperti kemampuan dan usaha
dalam menilai prinsip distribusi proporsional yang adil, dan menggunakan faktor eksternal
seperti keberuntungan dan kesukaran kerja dalam menilai model proporsional yang tidak adil.
Beberapa pendapat dan hasil penelitian di atas menunjukan budaya dalam hal ini
adalah nilai mempunyai kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
penilaian keadilan. Nilai tertentu mungkin saja cocok dengan model penilaian keadilan
tertentu pula dan sebaliknya. Penelitian Feather (1990) tentang penilaian keadilan, di mana
subjek diminta menilai apakan sistem distribusi yang dikenakan pada subjek yang sehat dan
sakit (healthy and sick scenario) itu adil atau tidak adil menemukan, subjek yang menganggap
penting nilai kekuasaan (power) dan stimulasi diri menilai bahwa sistem distribusi sama rata
adalah kurang adil. Subjek dengan nilai kekuasaan dan stimulasi diri memberikan bagian yang
lebih sedikit pada individu yang sakit dan tidak memberikan kontribusi yang sewajarnya pada
perusahaan dibanding subjek yang tidak menganggap penting nilai kekuasan dan stimulasi
diri.
menganggap nilai-nilai tersebut lebih penting dibanding nilai-nilai yang berorientasi pada
kepentingan kelompok (collectivistic values) menilai tidak adil sistem distribusi yang sama
F. Landasan Teori
Pada penelitian ini, kerangka teori yang mendasari hubungan antara nilai tertentu
dengan model penilaian keadilan tertentu adalah bahwa pada dasarnya perilaku sosial
seseorang selalui dipengaruhi oleh dua proses psikologis. Pertama adalah proses yang
berorientasi pribadi (self oriented) dan kedua adalah proses yang berorientasi kelompok
Skitka (2002) menyatakan bahwa dalam penilaian keadilan prosedural dikenal dua
model yaitu model kepentingan pribadi (self interest model) yang di kemukakan oleh Thibaut
& Walker (1975) dan model kepentingan kelompok (group value model) oleh Lind & Tyler
(1992). Menurut model kepentingan pribadi, individu peduli dengan keadilan prosedural
karena prosedur yang adil akan memberikan keuntungan jangka panjang bagi dirinya. Untuk
mendapatkan keuntungan tersebut maka individu akan berusaha terlibat dalam pengambilan
keputusan kebijakan (control decision control). Jika karena suatu hal terjadi kebuntuan dan
berakibat keputusan yang menguntungkan tidak dapat dicapai maka individu akan berusaha
mencari peluang untuk memberi masukan (input) dalam proses pembuatan keputusan
(process control). Semua itu dilakukan untuk mencari keuntungan bagi dirinya.
dan pihak-pihak yang menjadi simbol dari suatu kelompok. Model ini mengasumsikan bahwa
individu berusaha menjaga statusnya dalam kelompok tersebut ( Heuer dkk, 2002). Prosedur
yang adil akan membangkitkan perasaan positif pada diri individu karena individu merasa
77
Dalam keadilan distribusi maka penekanan kepentingan terlihat dari ketetapan sistem
distribusi yang digunakan. Distribusi proporsional memberikan kesempatan pada tiap individu
individu yang produktif dan berprestasi akan mendapatkan hasil yang besar. Sebaliknya
individu yang tidak cakap akan memperoleh hasil yang sedikit. Sistem distribusi sama rata
Kepuasan dan penilaian terhadap kedua sistem distribusi akan tergantung pada budaya
atau nilai yang dianut oleh masing-masing individu. Pada masyarakat yang individualistis
dimana orientasi nilai yang dianut adalah kekuasaan (power), prestasi (achievement) dan
hedonisme maka sistem distribusi proporsional dinilai lebih adil dan sistem sama rata dinilai
tidak adil. Sebaliknya pada masyarakat yang berbudaya kolektif dimana orientasi nilai yang
dianut adalah universalisme, kebajikan (benevolence) dan tradisi maka distribusi sama rata
Orientasi pada diri sendiri maupun pada orang lain juga tercermin dari nilai (values)
yang dianut oleh individu. Menurut Schwartz (dalam Rohan, 2000), nilai mempunyai
dimensi-dimensi yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Dimensi pertama adalah
pertentangan antara mengikuti minat dan intelektualitas yang dimiliknya kearah yang tidak
dapat diramalkan dengan mempertahankan status quo dan dan kepastian dalam hubungannya
78
dengan orang lain, institusi dan tradisi. Dimensi kedua adalah dimensi peningkatan diri (self-
enhancement) yang meliputi nilai kekuasaan dan prestasi dengan transenden diri (self-
transcendence) yang meliputi nilai universalisme dan kebajikan. Pertentangan pada dimensi
kedua adalah konflik antara mengutamakan kepentingan pribadi (nilai kekuasaan dan prestasi)
prosedural (Thibaut & Walker, 1975 dan Lind & Tyler, 1988) serta teori nilai dari Schwartz
(1994) akan digunakan sebagai dasar dan menjadi kerangka teoritis dalam menjelaskan
permasalahan penelitian ini. Secara skematik hubungan hipotetik antara teori-teori tersebut
Nilai Berprestasi
Nilai Hedonisme
Keadilan
Prosedural
Nilai Kekuasaan
Nilai Tradisi
Keadilan
Distributif
Nilai Kebajikan
Nilai Universalism
Enam nilai yang menjadi variabel bebas di atas merupakan representasi dari
kecenderungan individu dalam berperilaku dan juga dalam menilai sesuatu yang selalu
dipengaruhi oleh orientasinya yaitu orientasi pada diri sendiri atau berorientasi pada
79
kelompok. Nilai kekuasaan dan prestasi serta hedonism merupakan nilai-nilai yang
berorientasi pada pribadi, sedangkan nilai universalisme dan kebajikan serta konformitas
Fischer & Smith (2004) menyatakan bahwa nilai telah terbukti mampu
memprediksikan perilaku dan sikap secara langsung. Konsisten dengan hal itu maka nilai
merupakan prinsip yang mengarahkan pada pembentukan dan menentukan persepsi individu
terhadap peristiwa-peristiwa dan realitas sosial. Realitas sosial yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah keadilan. Dengan kata lain, nilai juga mampu meramalkan penilaian
keadilan individu.
pertimbangan bahwa antara satu dengan nilai yang lainnya berdiri sendiri atau independen.
Tiap nilai itu juga mempunyai variasi dan makna yang berbeda bahkan ada diantaranya yang
saling bertentangan.
sejauh mana kesesuaian (macth) antara teori tentang isi dan struktur nilai dengan isi dan
struktur nilai pada kenyataan di lapangan. Penelitian dilakukan terhadap 97 sampel dari 44
negara dan melibatkan 25.863 responden di seluruh benua antara tahun 1988 sampai 1993.
Salah satu hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa mayoritas sampel melakukan
diskriminasi (pembedaan) terhadap kesepuluh tipe nilai tersebut secara implisit ketika diminta
untuk melakukan evaluasi terhadap nilai yang dianggap penting. Hasil lainnya adalah bahwa
kesepuluh tipe nilai tersebut menempati wilayah (region) yang berbeda seperti tercermin
dalam lingkaran struktur nilai. Artinya meskipun terdapat dua atau lebih nilai yang didasari
80
oleh motivasi yang hampir sama, masing-masing nilai tersebut independen satu dengan yang
lainnya. Sehingga dalam penelitian ini tiap nilai tersebut diperlakukan sebagai variabel
G. Hipotesis
Model distribusi yang menjadi materi penelitian ini adalah model distribusi sama rata
(equality). Tujuan yang mendasari model distribusi sama rata adalah untuk memelihara
hubungan sosial dan keharmonisan kelompok. Distrubudi sama rata ini sesuai (compatible)
dengan budaya Indonesia yang oleh Triandis dan Hofstede (dalam Francesco & Chen, 2004)
suatu pola atau bentuk sosial yang meliputi individu-individu yang berhubungan dekat, yang
melihat diri mereka sebagai bagian dari satu atau lebih kelompok (keluarga, rekan kerja, suku,
bangsa) dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan dari kelompok adalah kemauan individu
untuk memberikan prioritas pada tujuan kelompok di atas tujuan pribadi serta menekankan
Pada masyarakat kolektif maka nilai-nilai yang dianut oleh inidvidu biasanya adalah
nilai-nilai yang berorintasi pada kelompok meskipun ini tidak mutlak karena nilai juga
bervariasi antar individu dalam satu budaya (monocultural). Nilai nilai yang berorientasi
kelompok menurut Schwartz (1994) adalah univesalisme dan kebajikan. Nilai-nilai yang
berorientasi pada kepentingan pribadi seperti kekuasaan dan prestasi secara teoritis mungkin
Artinya model distribusi sama rata akan dinilai sesuai dengan individu yang menganut
nilai-nilai yang berorientasi kelompok sebaliknya tidak sesuai dengan individu yang
81
menganut nilai-nilai pribadi. Hal ini sesuai dengan apa yang telah ditemukan oleh Feather
(1994) dimana individu yang mempunyai orientasi nilai pada kepentingan kelompok (nilai
konformitas) menilai distribusi sama rata dinilai lebih adil dibanding individu yang
mempunyai orientasi nilai pada kepentingan pribadi (nilai hedonisme, kekuasan dan prestasi).
Ada dua model penilaian keadilan prosedural. Pertama adalah model kepentingan
pribadi (self interest model) dan kedua adalah model nilai kelompok (group value model).
Model nilai-nilai kelompok lebih dapat menjelaskan masalah keadilan prosedural pada
masyarakat kolektif seperti Indonesia. Menurut model itu, prosedur pengambilan keputusan
kelompok adalah sesuatu yang penting karena hal itu merupakan kesatuan atau organisasi
individu tata cara berinteraksi dalam kelompok dengan menyediakan informasi penting yang
berisi nilai-nilai kelompok. Menurut model ini, standar keadilan prosedural muncul dari dua
sumber yaitu (a) seluruh nilai-nilai dalam kelompok dan (b) ketertarikan individu yang
individu menyokong prosedur yang mendukung nilai-nilai dasar dari kelompoknya. Individu
dirinya, sehingga individu akan memberikan respon yang positif pada prosedur yang
sebagai anggota kelompok tersebut. Dengan kata lain, individu akan menilai suatu prosedur
adil jika prosedur itu kongkruen dengan nilai-nilai penting kelompok atau jika prosedur
tersebut menunjukan penghargaan pada individu yang bersangkutan (Lind & Earley, 1992).
82
prosedur yang mencerminkan kesesuaian antara nilai kelompok atau organisasi dengan nilai
individu. Individu yang menganut nilai-nilai yang berorientasi kelompok diasumsikan akan
sesuai dengan nilai yang berkembang dalam masyarakat kolektif. Hal itu juga berlaku pada
Dari penjelasan di atas maka variabel nilai yang menjadi variabel bebas pada
trancendence) yaitu nilai universalisme, dan kebajikan dengan nilai-nilai yang berorientasi
pribadi (self-enhancement) yaitu nilai kekuasan dan prestasi dari Schwartz (1994) dengan
pendapat Feather (1994) bahwa nilai konfomitas terbukti berkorelasi positif dengan penilaian
keadilan pada distribusi sama rata dan nilai hedonisme yang berkorelasi negatif dengan
penilaian keadilan pada distribusi sama rata. Berdasar penjelasan tersebut di atas maka penulis
a. Dengan mengontrol variabel nilai kekuasaan, nilai hedonisme dan penilaian keadilan
keadilan prosedural.
b. Dengan mengontrol variabel nilai kekuasaan, nilai hedonisme dan penilaian keadilan
keadilan distributif
83
c. Dengan mengontrol variabel nilai prestasi, nilai hedonisme dan penilaian keadilan
keadilan prosedural.
d. Dengan mengontrol variabel nilai prestasi, nilai hedonisme dan penilaian keadilan
keadilan distributif
e. Dengan mengontrol variabel nilai prestasi, nilai kekuasaan dan penilaian keadilan
keadilan prosedural
f. Dengan mengontrol variabel nilai prestasi, nilai kekuasaan dan penilaian keadilan
keadilan distriburif.
e. Dengan mengontrol variabel nilai kebajikan, nilai konformitas dan penilaian keadilan
keadilan prosedural
f. Dengan mengontrol variabel nilai kebajikan, nilai konformitas dan penilaian keadilan
keadilan distributif
85
BAB III
METODE PENELTIAN
A. Identifikasi Variabel
2. Nilai Kekuasaan
3. Nilai Hedonsme
4. Nilai Kebajikan
5. Nilai Konformitas
6. Nilai Universalisme
B. Definisi Operasional
menekankan pada prosedur yang digunakan dalam membuat suatu ketetapan, dimana suatu
ketetapan dinilai adil oleh individu jika ketetapan yang dibuat tersebut telah memenuhi
beberapa kriteria keadilan. Prosedur yang adil haruslah memenuhi kriteria: (1) konsisten; (2)
bebas dari bias; (3) akurat; (4) dapat dikoreksi; (5) etis dan; (6) reperesentatif (Leventhal,
1980).
86
penilaian keadilan prosedural yang mencerminkan semua kriteria di atas. Dalam penelitian ini
skala yang digunakan adalah hasil adaptasi dari skala yang disusun oleh Colquitt (2001) yang
terdiri dari tujuh item, dimana dua item bersumber dari Thibaut & Walker (1975) dan lima
item dari Leventhal (1980). Skor tiap item bergerak dari satu (sangat tidak sesuai dengan
kriteria individu) sampai dengan lima (sangat sesuai dengan kriteria individu). Makin tinggi
skor skala ini berarti individu menilai prosedur yang digunakan dalam menetapkan suatu
Penilaian keadilan distributif adalah evaluasi terhadap suatu ketetapan model distribusi
yang menekankan pada hasil dari suatu sistem distribusi tertentu. Pada penelitian ini
menggunakan sistem distribusi yang menjadi bahan kajian adalah sistem distribusi persamaan
(equality) yaitu membagi sumber daya secara merata pada setiap individu yang dikenai
skala dari Colquitt (2001) yang bersumber dari Leventhal (1974) dengan pertimbangan bahwa
skala tersebut disusun dalam konteks lembaga pendidikan sama seperti konteks dalam
penelitian ini yaitu karyawan bidang pendidikan atau perguruan tinggi. Skala ini terdiri dari 7
(tujuh) item. Skor tiap item bergerak dari satu (sangat tidak sesuai) sampai dengan lima
(sangat sesuai dengan kondisi individu). Makin tinggi skor pada skala ini mengindikasikan
bahwa penilaian pada sistem distribusi sama-rata ini adalah adil dan sebaliknya.
Nilai prestasi merupakan suatu keyakinan dalam diri individu yang mengarahkan
seluruh proses dan tujuan perilakunya untuk pencapaian kesuksesan dan keberhasilan pribadi
dalam kehidupannya. Artinya, segenap usaha individu dalam kehidupan sehari-hari selalu
Variabel nilai diungkap dengan menggunakan SVS (Schwartz Values Survey) yang
disusun oleh Schwartz yang terdiri dari 5 (lima) item yaitu ambisi, pengaruh, kemampuan
atau kecakapan, kecerdasan dan kesuksesan. Subjek diminta untuk melakukan rating pada
masing-masing item nilai yang terbagi dalam sembilan point menurut tingkat kepentingan dari
nilai yang berfungsi sebagai suatu prinsip yang membimbing subjek dalam kehidupan sehari-
hari. Skor bergerak dari 7 (paling penting), ke skor 6 (sangat penting), kemudian ke skor 3
(penting) kemudian skor 0 (tidak penting) dan terakhir –1 (berlawanan dengan nilai yang
dianut subjek).
Untuk menghindari penilaian yang tidak favorabel dan kebingungan bentuk angka
negatif (-1) pada skala pengkuran nilai, maka angka-angka yang menunjukan urutan
kepentingan nilai tersebut diganti dengan menggunakan huruf mulai dari A sampai dengan
Nilai kekuasan adalah keyakinan dianut individu dimana motivasi dan tujuan dari
perilaku individu adalah diarahkan untuk mencapai kekuasan atau berkuasa atas orang lain.
Variabel nilai ini diungkap dengan menggunakan SVS (Schwartz Values Survey) yang
disusun oleh Schwartz yang terdiri dari 5 (lima) item yaitu kekuasan sosial, kemakmuran,
kewenangan, pengakuan sosial dan pemeliharaan citra diri. Subjek diminta untuk melakukan
88
rating pada masing-masing item nilai yang terbagi dalam sembilan point menurut tingkat
kepentingan dari nilai yang berfungsi sebagai suatu prinsip yang membimbing subjek dalam
kehidupan sehari-hari. Skor bergerak dari 7 (paling penting), ke skor 6 (sangat penting),
kemudian ke skor 3 (penting) kemudian skor 0 (tidak penting) dan terakhir –1 (berlawanan
Untuk menghindari penilaian yang tidak favorabel dan kebingungan bentuk angka
negatif (-1) pada skala pengkuran nilai, maka angka-angka yang menunjukan urutan
kepentingan nilai tersebut diganti dengan menggunakan huruf mulai dari A sampai dengan
5. Nilai Hedonisme
kepuasaan pada kenikmatan ragawi diri sendiri. Individu yang menganut nilai hedonisme
akan mengarahkan seluruh perilakunya dengan tujuan untuk mencapai kesenangan pribadi.
Variabel nilai ini diungkap dengan menggunakan SVS (Schwartz Values Survey) yang
disusun oleh Schwartz yang terdiri dari 3 (tiga) item yaitu kenikmatan, kesenangan dan
menikmati hidup (makanan, seks dan menikmati waktu luang) .Subjek diminta untuk
melakukan rating pada masing-masing item nilai yang terbagi dalam sembilan point menurut
tingkat kepentingan dari nilai yang berfungsi sebagai suatu prinsip yang membimbing subjek
dalam kehidupan sehari-hari. Skor bergerak dari 7 (paling penting), ke skor 6 (sangat
penting), kemudian ke skor 3 (penting) kemudian skor 0 (tidak penting) dan terakhir –1
Untuk menghindari penilaian yang tidak favorabel dan kebingungan bentuk angka
negatif (-1) pada skala pengkuran nilai, maka angka-angka yang menunjukan urutan
kepentingan nilai tersebut diganti dengan menggunakan huruf mulai dari A sampai dengan
Nilai kebajikan adalah keyakinan dalam diri individu yang menekankan pada
kontak secara pribadi. Variabel nilai diungkap dengan menggunakan SVS (Schwartz Values
Survey) yang disusun oleh Schwartz yang terdiri dari 9 (lima) item yaitu suka menolong,
kejujuran, memaafkan, setia atau loyal, bertanggung jawab, persahabatan sejati, kematangan
Subjek diminta untuk melakukan rating pada masing-masing item nilai yang terbagi
dalam sembilan poin menurut tingkat kepentingan dari nilai yang berfungsi sebagai suatu
prinsip yang membimbing subjek dalam kehidupan sehari-hari. Skor bergerak dari 7 (paling
penting), ke skor 6 (sangat penting), kemudian ke skor 3 (penting) kemudian skor 0 (tidak
Untuk menghindari penilaian yang tidak favorabel dan kebingungan bentuk angka
negatif (-1) pada skala pengkuran nilai, maka angka-angka yang menunjukan urutan
kepentingan nilai tersebut diganti dengan menggunakan huruf mulai dari A sampai dengan
tindakan, kecenderungan dan impuls atau dorongan yang bertujuan untuk mengganggu atau
melukai orang lain serta melanggar norma dan harapan sosial. Individu yang menganut nilai
konformitas selalu berusaha agar tindakannya selaras dengan norma sosial yang berlaku
dengan menggunakan SVS (Schwartz Values Survey) yang disusun oleh Schwartz yang terdiri
dari 4 (empat) item yaitu kepatuhan, kesopanan (sopan santun), disiplin diri (tahan godaan
Subjek diminta untuk melakukan rating pada masing-masing item nilai yang terbagi
dalam sembilan poin menurut tingkat kepentingan dari nilai yang berfungsi sebagai suatu
prinsip yang membimbing subjek dalam kehidupan sehari-hari. Skor bergerak dari 7 (paling
penting), ke skor 6 (sangat penting), kemudian ke skor 3 (penting) kemudian skor 0 (tidak
Untuk menghindari penilaian yang tidak favorabel dan kebingungan bentuk angka
negatif (-1) pada skala pengkuran nilai, maka angka-angka yang menunjukan urutan
kepentingan nilai tersebut diganti dengan menggunakan huruf mulai dari A sampai dengan
pengahargaan, toleransi dan perlindungan pada kesejahteraan seluruh manusia dan bagi alam
semesta. Variabel nilai diungkap dengan menggunakan SVS (Schwartz Values Survey) yang
91
disusun oleh Schwartz yang terdiri dari 8 (delapan) item yaitu pikiran yang luas (terbuka),
bijaksana, adil, persamaan, perdamaian dunia, keindahan dunia, perlindungan lingkungan dan
Subjek diminta untuk melakukan rating pada masing-masing item nilai yang terbagi
dalam sembilan poin menurut tingkat kepentingan dari nilai yang berfungsi sebagai suatu
prinsip yang membimbing subjek dalam kehidupan sehari-hari. Skor bergerak dari 7 (paling
penting), ke skor 6 (sangat penting), kemudian ke skor 3 (penting) kemudian skor 0 (tidak
Untuk menghindari penilaian yang tidak favorabel dan kebingungan bentuk angka
negatif (-1) pada skala pengkuran nilai, maka angka-angka yang menunjukan urutan
kepentingan nilai tersebut diganti dengan menggunakan huruf mulai dari A sampai dengan
mengungkap variabel penilain keadilan prosedural dan distributif digunakan skala yang
disusun oleh Moorman (1991) dan Collquit (2001) yang dikombinasikan. Skala untuk
mengungkap penilaian keadilan prosedural terdiri dari 7 (tujuh) item sedangkan skala
penilaian keadilan distributif juga terdiri dari 7 (tujuh) item. Penjabaran Variabel penilaian
keadilan prosedural dan distributif dan item-itemnya dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut ini :
92
Tabel 3.1. Variabel Penilaian Keadilan Prosedural dan Distributif dan Item-item
di dalamnya
Variabel Tergantung Jumlah Item Nomor Item
Keadilan Prosedural 7 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
Keadilan Distributif 7 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14
Seluruh variabel nilai diungkap dengan menggunakan skala dari Schwartz (1991)
yaitu Schwartz Values Survey (SVS). SVS tidak digunakan selurunya (10 nilai) tetapi hanya
untuk enam nilai saja. Item-item untuk ke-enam variabel nilai tersebut disajikan dalam satu
skala dengan nomor yang berurutan. Penjabaran Variabel nilai dan item-itemnya dapat dilihat
Subjek diminta untuk melakukan rating pada masing-masing item nilai yang terbagi
dalam sembilan poin menurut tingkat kepentingan dari nilai yang berfungsi sebagai suatu
prinsip yang membimbing subjek dalam kehidupan sehari-hari. Skor bergerak dari 7 (paling
penting), ke skor 6 (sangat penting), kemudian ke skor 3 (penting) kemudian skor 0 (tidak
Untuk menghindari penilaian yang tidak favorabel dan kebingungan bentuk angka
negatif (-1) pada skala pengkuran nilai, maka angka-angka yang menunjukan urutan
93
kepentingan nilai tersebut diganti dengan menggunakan huruf mulai dari A sampai dengan
huruh I. Huruf A = -1, B = 0, C = 1 dan seterusnya sampai I = 7 (Skala utuh lihat pada
1. Populasi
Pegawai Tetap Admnistrasi Universitas Islam Sultan Agung. Berdasar surat keputusan
tersebut kompensasi diberikan dengan menganut distribusi yang sama (equality) untuk
seluruh karyawan tanpa melihat jenis kelamin, masa kerja, golongan, pangkat dan tingkat
pendidikan. Sehingga populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai tetap administrasi
Teknik pengambilan sample aau teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah proportional random sampling yaitu sistem pengambilan sample secara random
atau acak terhdap sub-sub populasi yang ada. Alas an digunakannya teknik ini adalah
bahwa populasi dalam hal ini pegawai akademik Unissula tersebar dalam unit-unit
terpisah dengan jumlah yang tidak merata. Misal unit biro rektor, perpustakaan pusat,
Masing-masing unit mempunyai pegawai akademik yang tidak sama jumlahnya sehingga
supaya sample yang digunakan dalam penelitian ini representatif maka dilakukan random
94
pada tiap unit tersebut, Jumlah anggota sample tiap unit berbeda-beda sesuai dengan
banyak sedikitnya pegawai akadmik yang ada ditiap unit tersebut kata dengan kata lain
sample penelitian ini yaitu perwakilan dari seluruh pegawai akademik Unissula.
Alat ukur atau instrumuen dalam penelitian ini sebelum digunakan untuk mengambil
1. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang berarti cermat atau tepat. Validitas alat ukur akan
mengindikasikan sejauhmana suatu alat tes menjalankan fungsi ukurnya atau mengukur
apa yang seharusnya diukur (Azwar, 2000). Secara umum ada beberapa bentuk validitas,
diantaranya adalah; (a) validitas tampang atau face validit, validitas tipe ini diketahui dan
ditentukan dengan melihat bentuk kasar atau wajah dari instrumen mulai dari sampul,
warna, bentuk dan lainnya; (b) validitas isi atau content validity yaitu sampai sejauh mana
cakupan atau kawasan yang diungkan oleh suatu instrumen. Penentuan validitas isi tidak
rasional atau logis. Langkah yang biasa dilakukan adalah dengan meminta pendapat dari
ahli atau expert dalam bidang yang sesuai dengan karateristik instrumen tersebut. Selain
itu juga dapat dilakukan dengan melihat sebaran item yang ada pada tiap dimensi atau
aspek dalam blue print-nya; (3) validitas konstruk atau construcy validity yaitu samapi
sejauhmana suatu instrumen mampu mengukur suatu trait tertentu sesuai dengan teorinya.
Pengujian validitas ini dilakukan dengan analisis faktor atau dapat juga dengan
95
menggunakan teknik multi method multi trait; (d) validias berdasar kriteria yaitu sampai
sejauhmana suatu instrumen tersebut sesuai dengan kriteria eksternal yang menjadi
patokan. Dalam penelitian ini, validitas dengan bukti empiris dilakukan dengan melihat
dengan membandingkan skor item dengan skor kriteriumnya. Kriterium yang digunakan
adalah berupa skor total. Teknik pengujian dengan menggunakan analisis statistik teknik
korelasi product moment dari Pearson. Butir atau item-item dikatakan valid jika
mempunyai korelasi yang positif dan signifikan dengan skor totalnya, biasanya dengan
peluang kesalahan sebesar 5% dan r hitung lebih besar dari r tabel nilai kritisnya. Pada
penelitian ini dengan cacah kasus sebanyak 81 dan ∝ = 5%, maka besarnya rxy tabel kritis
= 0.216. Dengan demikian korelasi antara skor item dengan skor total yang kurang dari
Reliabilitas berkaitan dengan sejauh mana suatu keandalan atau keajegan alat ukur dalam
menjalankan fungsinya. Atau dengan kata lain reliabilitas menunjukan sampai sejauh
mana alat ukur tersebut dapat dipercaya, (Suryabrata, 2000). Reliabilitas alat ukur
sebenarnya tidak dapat diketahui secara pasti malainkan hanya dapat diestimasi.
Pendekatan dalam mengestimasi reliabilitas tersebut diantaranya (a) pendekatan tes ulang,
reliabilitas diestimasi dengan mencarai korelasi (rtt) antara tes pertama dengan tes kedua
pada subjek yang sama; (b)pendekatan tes paralel, estimasi reliabilitas dilakuan dengan
cara menghitung korelasi (rtt) antara dua tes yang paralel, misal tes A dan tes B pada
subjek yang sama (c) pendekatan pengukuran satu kali, pendekatan ini dapat
menghindarkan dari kesulitan yang muncul pada pendekatan pertama dan keduan. Pada
96
pendekatan ini estimasi reliablitas ditentukan dengan cara mencari konsistensi internalnya.
Pendekatan estimasi relibilitas dengan mencari konsistensi internal inilah yang akan
Semua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari alat ukur
yang sudah ada sebelumnya. Adaptasi dilakukan dengan cara menterjemahkan alat ukur
asli dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian dicek ulang dengan
cara menterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris dan selanjutnya diuji validitas dan
reliabilitasnya.
Alat ukur untuk mengungkap variabel penilaian keadilan prosedural dan keadilan
distributif merupakan adaptasi dari alat ukur serupa yang dibuat oleh Moorman (1999)
dan Colquitt (2001). Alat ukur yang mengungkap variabel nilai prestasi, nilai kekuasaan,
nilai hedonisme, nilai kebajikan, nilai konformitas dan nilai universalisme nerupakan
adaptasi dari naskah asli yang dibuat oleh Schwartz (1991) yaitu Schwartz Values Survey
(SVS).
Seluruh alat ukur tersebut di atas disajikan sesuai dengan bentuk aslinya baik dalam cara
penyajian, sistem penilaianya bahkan instruksinya. Pada alat ukur tersebut tidak
ditemukan aspek atau indikator seperti yang umumnya terdapat pada suatu alat ukur,
sehingga jumlah item pada tiap-tiap variabel itu memang sangat sedikit.
Rangkuman hasil analisis validitas seluruh alat ukur dapat dilihat pada tabel 3.3 berikut ini
Nilai Prestasi 1, 2, 3, 4, 5 1, 2, 3, 4, 5 - 5
Nilai Kekuasan 6, 7, 8, 9, 10 6, 7, 8, 9, 10 - 5
Tabel 3.3 di atas menunjukan bahwa seluruh item dinyatakan valid dan tidak ada yang
gugur hal itu dikarenakan besarrnya koefisien korelasi atau koevisien validitas (rxy) hitung
lebih besar dari rxy tabel kritis. Rangkuman besarnya koefisien validitas pada masing-
Nomor Pernyataan
Variabel Range rxy
Awal Valid
Nilai Kebajikan 14, 15, 16, 17, 14, 15, 16, 17, 0.3587 –
18, 19, 20, 21, 18, 19, 20, 21, 0.7010
22 22
Nilai Universalisme 27, 28, 29, 30, 27, 28, 29, 30, 0.4179 –
31, 32, 33, 34 31, 32, 33, 34 0.7505
Jumlah 48 48
Selanjutnya, uji reliabilitas yang dilakukan untuk mengestimasi besarnya koefisien reliabilitas
menunjukan hasil yang bervariasi. Besarnya koefisien reliabilitas alat ukur seluruh variable
Uji hipotesis penelitian untuk dilakukan dengan menggunakan teknis statistik, yaitu
dengan menggunakan analisis korelasi kanonik untuk menguji hipotesis mayor dan analisis
korelasi parsial untuk menguji hipotesis minor. Shafto et. Al (2004) menyatakan bahwa
multivariat linear yang pertama kali dikenalkan oleh Hotteling pada tahun 1935, dimana
analisis ini digunakan secara meluas diberbagai disiplin untuk menganalisis korelasi antara
beberapa variabel bebas dengan beberapa variabel tergantung. Analisis ini merupakan alat
yang potensial dalam penelitian tentang manusia karena melibatkan ; (a) suatu perbedaan
yang nyata antara variabel-variabel bebas dan tergantung, (b) variabel tergantung yang
banyak; (c) potensial untuk hubungan multidimensinal antara dua set variabel.
100
Pendapat yang sama disampaikan oleh Fidel & Tabachnick (2001) dan Johnson &
Wichera (2002) yang menyatakan bahwa analisis korelasi kanonik digunakan untuk
mengidentifikasi dan menkuantifikasi hubungan antara dua set variabel. Hal inilah yang
Analisis korelasi kanonik akan menguji korelasi antara dua set variabel. Tiap set
variabel terdiri dari beberapa variabel. Inilah yang membedakannya dengan teknik analisis
korelasi regresi yang hanya mampu menganalisis beberapa variabel bebas dengan hanya satu
variabel tergantung. Karena kedua hipotesis mayor dalam penelitian ini melibatkan tiga bebas
dan dua variabel tergantung maka teknik analisis korelasi yang tepat adalah analisis korelasi
kanonik.
Analisis korelasi kanonik bekerja pada tipe data interval. Asumsi dalam analisis ini
hampir sama dengan asumsi dalam analisis regresi yaitu normalitas sebaran data variabel
Fidel & Tabachnick (2001) dan Heriyanto (2004) menjelaskan tahapan-tahapan dalam
matrik. Pertama adalah bentuk matrik R yang tersusun berdasar korelasi antar variabel
tergantung (Ryy), kedua korelasi antar variabel bebas (Rxx) dan ketiga adalah korelasi
antara variabel bebas dan variabel tergantung (Rxy). Persamaan matrik tersebut adalah
a. Menguji hipotesis
signifikan.
Koefisien korelasi pada analisis korelasi kanonik dapat diperlakukan sama seperti
koefisien korelasi produt moment dari Pearson, artinya proporsi atau koefisien
determinasi variabel dalam set satu terhadap variabel pada set dua dapat diketahui
Statistik uji yang digunakan adalah nilai Wilk`s Lambda yang disesuaikan dengan
disribusi chi-square. Menurut Fidel & Tabachnick (2001), jika pada uji Wilk`s
Lambda besarnya p<0.05, maka berarti korelasi antara dua set variabel tersebut
signifikan atau dengan kata lain terdapat overlapping antara variabel dalam set satu
dengan variabel dalam set dua. Besarnya overlapping tersebut adalah sama dengan
Daerah kritik untuk menolak atau menerima hipotesi tercermin dari besarnya tingkat
kesalahan atau peluang kesalahan yang ditetapkan oleh peneliti. Pada penelitian ini
besarnya peluang kesalahan (p) yang digunakan adalah 5% (0.05) seperti dalam
Pengujian hipotesis minor dilakukan dengan menggunakan teknik statistik analisis korelasi
parsial. Korelasi parsial memungkinkan peneliti untuk mencari korelasi antara dua variabel
ketika pengaruh variabel ketiga dikontrol ( Field, 1997). Korelasi parsial pada umumnya
hanya mengontrol satu vaiabel, tetapi dapat juga dilakukan dengan mengontrol dua atau tiga
variabel. Pada penelitian ini, korelasi parsial dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
satu variabel (X1) bebas dengan satu ariabel tergantung (Y1) dengan mengontrol dua variabel
bebas (X2 dan X3) dan satu variabel tegantung (Y2) lainnya. Korelasi parsial dilakukan
sebanyak dua belas kali untuk menguji seluruh hipotesis minor yang diajukan. Pada
penelitian ini analisis korelasi parsial dilakukan dengan mengguanakan seri program statistika
BAB IV
PERSIAPAN, PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian meliputi dua hal penting. Pertama adalah penyusunan alat ukur.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan hasil adaptasi dari alat
ukur yang telah ada sebelumnya. Kedua adalah meminta ijin dari kepala lembaga dimana
penelitian ini akan dilakukan. Setelah diperoleh ijin maka kemudian dilakukan studi
dokumentasi yaitu mengumpulkan data-data sekunder yang berkaitan dengan populasi dan
sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini. Data penting yang berkaitan dengan
penelitian ini adalah jumlah tenaga penunjang akademik yang tersebar di berbagai fakultas
dan unit kerja. Hal ini di karenakan tenaga penunjang akademik inilah yang akan menjadi
universitas swasta tertua di wilayah Jawa Tengah. Unissula berdiri tanggal 20 Mei 1962
berdasar akte notaris R.M. Soeprapto No. 65 tanggal 21 september 1962 oleh Yayasan Badan
Wakaf Sultan Agung (YBWSA). Yayasan ini menaungi lembaga pendidikan mulai dari taman
kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), Sekolah
Unissula sampai saat ini telah mempunyai tujuh fakultas untuk srata sarjan dan
(Kedokteran Umum, Keperawatan dan Kebidanan), Agama Islam (Syariah dan Tarbiyah),
Teknik (Teknik Sipil, Planologi dan Lingkungan), Teknologi Industri (Teknik Elektro, Teknik
Industri dan Komputer) dan Psikologi. Selain itu juga ada program pascasarjana di beberapa
104
fakultas yaitu Magister Manajemen, Magister Hukum dan Magister Teknik. Jumlah pengajar
atau dosen tetap dan kontrak secara keseluruhan sebanyak 305 orang dan jumlah tenaga
Subjek penelitian ini adalah karyawan bagian penunjang akademik, untuk itu
penjelasan lebih lanjut akan menekankan pada kelompok ini. Perincian jumlah tenaga
penunjang akademik di seluruh unik kerja maupun fakultas dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Jumlah Anggota Populasi Penelitian Berdasar Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan dan Golongan
Seks Golongan Tingkat Pendidikan Jml
Fakultas/Unit
L P I II III S1 D3 SM D2 SMU SMP SD
FK 13 4 2 10 5 1 4 - - 6 5 1 17
FT 9 2 0 9 2 1 2 - - 7 0 1 11
FH 7 3 2 4 4 1 - - - 7 1 1 10
FE 9 7 3 8 5 1 - - - 10 4 1 16
FAI 6 1 1 3 3 - - 1 - 4 1 1 7
FTI 9 2 - 11 - - 7 - - 4 - - 11
Fpsi 5 2 - 4 3 1 1 - - 5 - - 7
LPPI / Lemlit 2 - - 1 1 1 - - - 1 - - 2
LPM 1 - - - 1 - - - - 1 - - 1
LKPI 3 - - 2 1 - - - - 1 2 - 3
Perpustakaan 5 7 1 7 4 1 1 - 1 7 - 2 12
UPT Bahasa 1 - - 1 - - 1 - - - - - 1
Puskom 1 1 - 2 - - - - - 2 - - 2
UPT Promosi 1 1 - 1 1 - - - - 2 - - 2
Pemeliharaan 1 - - 1 - - - - - 1 - - 1
BAAKSI 11 4 - 6 9 7 2 - - 7 - - 15
BAU 27 9 3 27 6 5 1 - - 27 3 - 36
UHTP 33 2 13 17 5 3 1 - - 10 11 10 35
Jumlah 144 45 30 111 48 22 20 1 1 101 27 17 189
105
B. Pelaksanaan Penelitian
Data penelitian diambil dari subjek yang terpilih menjadi sampel penelitian. Penentuan
sampling yaitu proses pengambilan sampel secara acak pada tiap unit-unit atau kelompok (sub
populasi) yang menjadi bagian dari populasi. Tujuan teknik ini adalah mendapatkan anggota
diantaranya adalah jumlah karyawan tiap unit atau fakultas, tingkat pendidikan dan golongan
paling rendah. Unit atau fakultas dengan jumlah karyawan sedikit atau kurang dari 5 orang
tidak dimasukan menjadi anggota sampel. Jadi UPT bahasa, puskom, pemeliharaan gedung,
LKPI, LPPI, LPM dan UPT promosi dikeluarkan dari anggota populasi. Karyawan dengan
tingkat pendidikan SD dan yang mempunyai golongan kepegawaian I juga tidak dimasukan
menjadi anggota sampel. Alasannya adalah bahwa pengisian butir-butir dalam skala yang
digunakan pada penelitian ini memerlukan pemahaman dan kemampuan intelektual yang
baik. Batasan- batasan tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah anggota populasi
Besarnya sampel ditetapkan sebanyak 90 subjek atau sekitar 53% dari anggota
populasi dan dari 90 skala yang diberikan yang kembali sebanyak 81 buah. Karakter subjek
penelitian ini secara lengkap dapat dilihat dalam tabel 4.2 berikut ini.
106
Tabel 4.2. Jumlah Sampel Penelitian Berdasar Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan dan
Golongan
Seks Gol Tingkat Pendidikan
Fakultas/Unit Jml
L P II III S1 D3 SM D2 SMU SMP
FK 5 2 4 3 1 2 - - 4 - 7
FT 4 2 3 3 1 2 - - 3 - 6
FH 4 1 3 2 - - - - 4 1 5
FE 5 2 4 3 1 - - - 4 2 7
FAI 4 - 1 3 - - 1 - 2 1 4
FTI 4 2 5 1 - 4 - - 2 - 6
Fpsi 3 1 1 3 - 1 - - 3 - 4
Perpustakaan 3 2 1 4 1 1 - - 3 - 5
BAAKSI 5 2 4 3 2 2 - - 3 - 7
BAU 11 4 8 7 3 - - - 12 - 15
UHTP 14 1 7 8 2 1 - - 11 1 15
Jumlah 62 19 41 40 11 13 1 - 51 5 81
Tabel 4.2 di atas merupakan tabel keseluruhan subjek penelitian dari masing-masing
fakultas atau unit kerja yang menjadi subpopulasi dari penelitian ini. Dari sampel penelitian
yang berjumlah 81 orang tersebut terdapat 62 orang atau 77.5 % berjenis kelamin laki-laki
dan 19 orang atau 22. 5 % berjenis kelamin perempuan. Jumlah sampel penelitian yang
berjenis kelamin perempuan jauh lebih sedikit dibanding sampel laki-laki. Hal ini dikarenakan
secara keseluruhan jumlah pegawai tetap perempuan kurang lebih sepertiga dari total seluruh
Tingkat pendidikan subjek penelitian yang tertinggi adalah sarjana atau S1 yaitu
berjumlah 11 orang (13.56 %), diploma III sebanyak 13 orang (16.06 %), Sarjana Muda 1
orang (1.2%), SMU sebanyak 51 orang (62.96 %) dan SMP sebanyak 5 orang (6.1 %).
107
Golongan kepangkatan subjek hanya terdiri dari dua golongan yaitu golongan II yang
meliputi IIA sampai dengan IID dan golongan III yang meliputi IIIA sampai IIID. Golongan I
Deskripsi statistik data penelitian diperlukan untuk mengetahui beberapa hal penting
dari data yang telah dikumpulkan. Hal-hal penting tersebut diantaranya adalah rerata empiris,
rerata hipotetis, posisi respon subjek terhadap skala yang diberikan dan lainnya.
Rerata empiris dan rerata hipotetis diperoleh dari analisis data hasil pengukuran
variabel penilaian keadilan prosedural, penilaian keadilan distributif, nilai prestasi, kekuasaan,
hedonisme, kebajikan, konformitas dan nilai universalisme (lihat lampiran B). Tabel berikut
akan menjelaskan rerata empiris dan rerata hipotetis tiap-tiap variabel pengukuran.
Tabel rerata empiris dan hipotetis di atas menunjukan bahwa dari delapan variabel ada
tiga variabel yang rerata empirisnya lebih rendah dari rerata hipotetis yaitu variabel penilaian
distributif dan penilaian prosedural serta variabel nilai kekuasaan. Hal ini menunjukan bahwa
108
subjek menilai peraturan mengenai pembagian tunjangan kompensasi tersebut kurang adil
baik dalam hal prosedur penyususnannya maupun model atau sistem distribusinya.
Rerata empiris untuk variabel penilaian keadilan prosedural sebesar 19.25 sedangkan
rerata hipotetisnya sebesar 21. Hal ini menunjukan bahwa secara umum skor rerata subjek
penelitian lebih rendah dibanding rerata hipotetisnya. Data tentang rerata empiris dan
rerata hipotetis ini belum dapat untuk memberikan informasi secara kualitatif posisi skor
Azwar (2000) menyarankan bahwa untuk memberi makna kualitatif terhadap data
kategorisasi tentang tinggi rendah dan sedang skor subjek ditentukan dari posisinya dalam
distribusi normal. Model inilah yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Suatu distribusi normal terdiri dari enam area dalam satuan standar deviasi. Tiga di
sebelah kiri rerata yang bertanda negatif (-1SD, -2SD dan -3SD) dan tiga di sebelah kanan
yang bertanda positif (+1SD, +2SD, +3SD). Azwar (2000) membagi 5 kategorisasi yaitu
kurang dari -1.5SD berarti sangat rendah, lebih dari -1.5SD sampai dengan kurang dari -
0.5SD berarti rendah, lebih mulai dari -0.5SD sampai kurang dari +0.5SD termasuk
kelompok sedang, lebih dari 0.5SD sampai dengan 1.5SD termasuk kelompok tinggi dan
Skor subjek pada variabel penilaian keadilan prosedural secara teoritis bergerak dari 7 (7 x
maksimum dengan rerata empiris 19.25 dan rerata hipotetisnya 21 sedangkan standar
deviasi 6.1. Kategorisasi respon subjek dapat lihat dalam tabel berikut
109
Subjek
Deviasi Standard Skor (X) Kategorisasi
Jumlah %
X -1,5SD X 10.1 Sangat Rendah 7 8.6
-1.5SD X -0.5SD 10.1 X 16.2 Rendah 20 24.69
-0.5SD X 0.5SD 16.2 X 22.5 Sedang 31 38.27
0.5SD X 1.5SD 22.5 X 28.4 Tinggi 18 22.22
X 1.5SD X 28.4 Sangat Tinggi 5 6.17
Tabel kategori di atas menunjukan bahwa respon subjek hampir merata untk tiap kategori.
Jika pemaknaan kategorisasi di atas dikembalikan kepada konsep awal tentang penilaian
keadilan prosedural maka berarti kategori sangat rendah bermakna subjek menilai
prosedur pemberian kompensasi sangat tidak adil, rendah bermakna tidak adil, sedang
bermakna antara adil dan tidak adil, tinggi bermakna adil dan sangat tinggi bermakna
sangat adil. Berdasarkan tabel tersebut maka subjek yang menilai prosedur pemberian
kompensasi itu sangat tidak adil berjumlah 7 subjek (8.6%), prosedur tersebut tidak adil
sebanyak 20 subjek (24.69%), prosedur antara adil dan tidak adil sebanya 31 subjek
(38.27%), prosedur sudah adil sebanyak 18 subjek (22.22 %) dan prosedur sangat adil
Rerata empiris untuk variabel penilaian keadilan distributif sebesar 16.15 sedangkan
rerata hipotetisnya sebesar 21. Hal ini menunjukan bahwa secara umum skor rerata subjek
penelitian lebih rendah dibanding rerata hipotetisnya. Secara teoritis skor minimal subjek
pada variabel ini adalah 7 (1 x 7) dan skor maksimumnya adalah 35 (5 x 7). Secara
110
empiris ternyata skor minimum subjek adalah 7 dan maksimum 28 dengan standar deviasi
sebesar 6.51.
Kategorisasi dengan menggunakan model distribusi normal seperti yang disarankan oleh
Azwar (2000) maka posisi respon subjek dapat dilihat dalam tabel berikut.
Subjek
Deviasi Standard Skor (X) Kategorisasi
Jumlah %
X -1,5SD X 6.385 Sangat Rendah 0 0
-1.5SD X -0.5SD 6.385 X 12.895 Rendah 26 32.098
-0.5SD X 0.5SD 12.895 X 19.405 Sedang 26 32.098
0.5SD X 1.5SD 19.405 X 25.915 Tinggi 21 25.925
X 1.5SD X 25.915 Sangat Tinggi 8 9.87
Tabel kategori di atas menunjukan bahwa tidak ada subjek yang menilai sistem distribusi
tunjangan kompensasi di Unussila tersebut sangat tidak adil. Subjek yang menilai
distribusi itu tidak adil sebanyak 26 subjek (32.098%) jumlah yang sama juga terjadi pad
subjek yang menilai distribusi itu antara adil dan tidak. Subjek yang menilai distribusi itu
adil ada 21 subjek (25.925%) dan yang menilai sangat adil ada 8 subjek (9.875%).
Rerata empiris untuk variabel ini adalah 20.96 sedangkan rerata hipotetisnya adalah 15.
Hal ini menunjukan bahwa rerata empiris hasil pengukuran lebih tinggi dibanding rerata
hipotetisnya. Skor minimum subjek secara teoritis adalah -5 (minus lima yang merupakan
hasil perkalian antara skor pilihan jawaban paling rendah dengan jumlah itemnya
111
sebanyak lima item). Skor maksimumnya adalah 35 (7 x 5). Skor minimum empiris
variabel ini adalah 4 dan maksimumnya adalah 35 dengan standar deviasi sebesar 7.73.
Kategorisasi dengan menggunakan model distribusi normal seperti yang disarankan oleh
Subjek
Deviasi Standard Skor (X) Kategorisasi
Jumlah %
X -1,5SD X 9.365 Sangat Rendah 7 8.6
-1.5SD X -0.5SD 9.365 X 17.097 Rendah 19 23.45
-0.5SD X 0.5SD 17.097 X 24.825 Sedang 25 30.86
0.5SD X 1.5SD 24.825 X 32.555 Tinggi 26 32.09
X 1.5SD X 32.555 Sangat Tinggi 4 4.93
Tabel kategorisasi di atas menunjukan bahwa respon subjek ada pada tiap kategori. Subjek
dengan kategori nilai prestasi sangat rendah berjumlah 7 subjek (8.6%), subjek kategori
nilai prestasi rendah ada 19 subjek (23.45%), subjek memiliki nilai prestasi sedang
berjumlah 25 (30.86%). Untuk kategori nilai prestasi tinggi ada 26 subjek (32.09%) dan
subjek dengan kategori nilai prestasi sangat tinggi berjumlah 4 subjek (4.93%).
Rerata empiris untuk variabel ini adalah 14.43 sedangkan rerata hipotetisnya adalah 15.
Hal ini menunjukan bahwa rerata empiris hasil pengukuran lebih tinggi dibanding rerata
hipotetisnya. Skor minimum subjek secara teoritis adalah -5 (minus lima yang merupakan
hasil perkalian antara skor pilihan jawaban paling rendah dengan jumlah itemnya
sebanyak lima item). Skor maksimumnya adalah 35 (7 x 5). Skor minimum empiris
variabel ini adalah 0 dan maksimumnya adalah 28 dengan standar deviasi sebesar 7.25.
112
Kategorisasi dengan menggunakan model distribusi normal seperti yang disarankan oleh
Subjek
Deviasi Standard Skor (X) Kategorisasi
Jumlah %
X -1,5SD X 3.555 Sangat Rendah 2 2.4
-1.5SD X -0.5SD 3.555 X 10.805 Rendah 26 32.09
-0.5SD X 0.5SD 10.805 X 17.925 Sedang 28 34.56
0.5SD X 1.5SD 17.925 X 25.305 Tinggi 17 20.98
X 1.5SD X 25.305 Sangat Tinggi 8 9.87
Tabel kategorisasi di atas menunjukan bahwa respon subjek ada pada tiap kategori. Subjek
dengan kategori nilai kekuasaan sangat rendah berjumlah 2 subjek (2.4%), subjek kategori
nilai kekuasaan rendah ada 26 subjek (32.09%), subjek memiliki nilai kekuasaan sedang
berjumlah 26 (34.56%). Untuk kategori nilai kekuasaan tinggi ada 17 subjek (20.98%) dan
subjek dengan kategori nilai kekuasaan sangat tinggi berjumlah 8 subjek (9.87%).
Rerata empiris untuk variabel ini adalah 9.2 sedangkan rerata hipotetisnya adalah 9. Hal
ini menunjukan bahwa rerata empiris hasil pengukuran lebih tinggi dibanding rerata
hipotetisnya. Skor minimum subjek secara teoritis adalah -3 (minus tiga yang merupakan
hasil perkalian antara skor pilihan jawaban paling rendah dengan jumlah itemnya
sebanyak tiga item). Skor maksimumnya adalah 21 (7 x 3). Skor minimum empiris
variabel ini adalah -3 dan maksimumnya adalah 21 dengan standar deviasi sebesar 4.9.
Kategorisasi dengan menggunakan model distribusi normal seperti yang disarankan oleh
Subjek
Deviasi Standard Skor (X) Kategorisasi
Jumlah %
X -1,5SD X 1.85 Sangat Rendah 4 4.93
-1.5SD X -0.5SD 1.85 X 6.75 Rendah 28 34.57
-0.5SD X 0.5SD 6.75 X 11.65 Sedang 22 27.16
0.5SD X 1.5SD 11.65 X 16.55 Tinggi 23 28.34
X 1.5SD X 16.55 Sangat Tinggi 4 4.94
Tabel kategorisasi di atas menunjukan bahwa respon subjek ada pada tiap kategori. Subjek
dengan kategori nilai hedonisme sangat rendah berjumlah 4 subjek (4.9%), subjek
kategori nilai hedonisme rendah ada 28 subjek (34.57%), subjek memiliki nilai hedonisme
sedang berjumlah 22 (27.16%). Untuk kategori nilai hedonisme tinggi ada 23 subjek
(28.34%) dan subjek dengan kategori nilai prestasi sangat tinggi berjumlah 4 subjek
(4.94%).
Rerata empiris untuk variabel ini adalah 47.05 sedangkan rerata hipotetisnya adalah 27.
Hal ini menunjukan bahwa rerata empiris hasil pengukuran variabel ini lebih tinggi
dibanding rerata hipotetisnya. Skor minimum subjek secara teoritis adalah -9 (minus
sembilan yang merupakan hasil perkalian antara skor pilihan jawaban paling rendah
dengan jumlah itemnya sebanyak sembilan item). Skor maksimumnya adalah 63 (7 x 9).
Skor minimum empiris variabel ini adalah 18 dan maksimum empiris adalah 63 dengan
Kategorisasi dengan menggunakan model distribusi normal seperti yang disarankan oleh
Subjek
Deviasi Standard Skor (X) Kategorisasi
Jumlah %
X -1,5SD X 30.73 Sangat Rendah 7 8.64
-1.5SD X -0.5SD 30.73 X 41.61 Rendah 18 22.22
-0.5SD X 0.5SD 41.61 X 52.49 Sedang 25 30.86
0.5SD X 1.5SD 52.49 X 63.37 Tinggi 31 38.27
X 1.5SD X 63.37 Sangat Tinggi 0 0
Tabel kategorisasi di atas menunjukan tidak ada subjek yang masuk dalam kategori nilai
kebajikan sangat tinggi. Subjek dengan kategori nilai kebajikan sangat rendah berjumlah 7
subjek (8.64%), subjek kategori nilai kebajikan rendah ada 18 subjek (22.22%), subjek
memiliki nilai kebajikan sedang berjumlah 25 (30.86 %). Untuk kategori nilai kebajikan
Rerata empiris untuk variabel ini adalah 21.67 sedangkan rerata hipotetisnya adalah 12.
Hal ini menunjukan bahwa rerata empiris hasil pengukuran variabel ini lebih tinggi
dibanding rerata hipotetisnya. Skor minimum subjek secara teoritis adalah -4 (minus
sembilan yang merupakan hasil perkalian antara skor pilihan jawaban paling rendah
dengan jumlah itemnya sebanyak empat item). Skor maksimumnya adalah 28 (7 x 4).
Skor minimum empiris variabel ini adalah 8 dan maksimum empiris adalah 28 dengan
Kategorisasi dengan menggunakan model distribusi normal seperti yang disarankan oleh
Subjek
Deviasi Standard Skor (X) Kategorisasi
Jumlah %
X -1,5SD X 14.1 Sangat Rendah 11 13.58
-1.5SD X -0.5SD 14.1 X 19.15 Rendah 8 9.87
-0.5SD X 0.5SD 19.15 X 24.19 Sedang 41 50.61
0.5SD X 1.5SD 24.19 X 29.22 Tinggi 21 25.92
X 1.5SD X 29.22 Sangat Tinggi 0 0
Tabel kategorisasi di atas menunjukan tidak ada subjek yang masuk dalam kategori nilai
konformitas sangat tinggi. Subjek dengan kategori nilai konformitas sangat rendah
berjumlah 11 subjek (13.58%), subjek kategori nilai konformitas rendah ada 8 subjek
(9.67%), subjek memiliki nilai konformitas sedang berjumlah 41 (50.61). Untuk kategori
Rerata empiris untuk variabel ini adalah 38.15 sedangkan rerata hipotetisnya adalah 24.
Hal ini menunjukan bahwa rerata empiris hasil pengukuran variabel ini lebih tinggi
dibanding rerata hipotetisnya. Skor minimum subjek secara teoritis adalah -8 (minus
sembilan yang merupakan hasil perkalian antara skor pilihan jawaban paling rendah
dengan jumlah itemnya sebanyak delapan item). Skor maksimumnya adalah 56 (7 x 8).
Skor minimum empiris variabel ini adalah 7 dan maksimum empiris adalah 56 dengan
Kategorisasi dengan menggunakan model distribusi normal seperti yang disarankan oleh
Subjek
Deviasi Standard Skor (X) Kategorisasi
Jumlah %
X -1,5SD X 20.84 Sangat Rendah 8 9.87
-1.5SD X -0.5SD 20.84 X 32.38 Rendah 15 18.52
-0.5SD X 0.5SD 32.38 X 43.92 Sedang 27 33.33
0.5SD X 1.5SD 43.92 X 49.69 Tinggi 16 19.75
X 1.5SD X 49.69 Sangat Tinggi 15 18.52
Tabel kategorisasi di atas menunjukan subjek tersebar pada seluruh kategori. Subjek
dengan kategori nilai universalisme sangat rendah berjumlah 8 subjek (9.87%), subjek
kategori nilai universalisme rendah ada 15 subjek (18.52%), subjek yang memiliki nilai
Analisis ini dilakukan untuk menguji ada tidaknya perbedaan rerata subjek pada seluruh
variabel penelitian jika dilihat dari jenis kelaminnya. Tujuannya adalah untuk memberikan
gambaran yang lebih lengkap mengenai kondisi subjek yang sebenarnya dan respon
subjek terhadap skala penelitian yang diberikan juga untuk mengetahui pengaruh variabel
jenis kelamin. Uji perbedaan ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis statistik
yaitu dengan uji t independen sample. Hasil dari uji perbedaan tersebut dapat dilihat
Tabel 4.12. Tabel Uji Perbedaan Seluruh Variabel Penelitian berdasar Jenis
Kelamin
No Variabel Koefisien
p Keterangan
Perbedaan (t)
1 Pen. Keadilan Prosedural -0.632 0.529 Tidak signifikan
2 Pen. Keadilan Distributif -0.668 0.506 Tidak signifikan
3 Nilai Prestasi -0.042 0.967 Tidak signifikan
4 Nilai Kekuasaan 1.701 0.093 Tidak signifikan
5 Nilai Hedonisme -0.118 0.096 Tidak signifikan
6 Nilai Kebajikan -0.952 0.344 Tidak signifikan
7 Nilai Konformitas -1.549 0.125 Tidak signifikan
8 Nilai Universalisme -1.227 0.244 Tidak signifikan
Tabel 4.12 di atas menunjukan bahwa hasil uji perbedaan rerata antara kelompok laki-laki
dan perempuan pada seluruh variabel penelitian tidak ditemukan adanya perbedaan yang
signifikan. Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa penilaian keadilan prosedural,
dan nilai universalisme antara pegawai yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
tidak berbeda atau relatif sama meskipun jumlah subjek antara dua kelompok tersebut
berbeda jauh.
Uji perbedaan kedua adalah untuk mengetahui perbedaan rerata kelompok golongan II
dengan kelompok subjek golongan III. Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran
yang jelas tentang respon subjek berdasar golongan kerja dan juga untuk mengetahui
Uji perbedaan ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis statistik yaitu dengan uji
t independen sample. Hasil dari uji perbedaan tersebut dapat dilihat secara lengkap pada
Tabel 4.13. Tabel Uji Perbedaan Rerata Seluruh Variabel Penelitian berdasar
Golongan Kerja (Gol. II dan III)
No Variabel Koefisien
p Keterangan
Perbedaan (t)
1 Pen. Keadilan Prosedural -0.206 0.837 Tidak signifikan
2 Pen. Keadilan Distributif -0.065 0.948 Tidak signifikan
3 Nilai Prestasi -0.301 0.764 Tidak signifikan
4 Nilai Kekuasaan -0.927 0.357 Tidak signifikan
5 Nilai Hedonisme -0.447 0.656 Tidak signifikan
6 Nilai Kebajikan -1.249 0.215 Tidak signifikan
7 Nilai Konformitas -1.002 0.320 Tidak signifikan
8 Nilai Universalisme -0.593 0.555 Tidak signifikan
Tabel 4.13 di atas menunjukan bahwa rerata kelompok subjek golongan II dan kelompok
subjek golongan III tidak berbeda secara signifikan. Hal ini berarti dapat disimpulkan
pegawai golongan II dan pegawai golongan III tidak berbeda atau relatif sama.
Analisis lanjutan untuk data masa kerja tidak dilakukan karena data tentang masa kerja
C. Analisis Data
Tahapan selanjutnya dalam penelitian ini adalah analisis data untuk menguji hipotesis
yang diajukan. Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik statistik korelasi kanonik.
Analisis korelasi kanonik ini akan menguji hubungan anatara beberapa variabel bebas dalam
satu set dengan beberapa variabel tergantung dalam satu set lainnya. Sebelum dilakukan uji
hipotesis dengan menggunakan teknik statistik analisis multivariat kanonik, maka perlu
1. Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan adalah uji normalitas sebaran data pada variabel tergantung
Uji normalitas yang dilakukan dengan menggunakan seri program SPSS ver. 11.0 for
windows terhadap data variabel tergantung yaitu penilaian keadilan prosedural (Y1) dan
Tabel di atas menunjukan bahwa baik variabel Y1 maupun Y2 mempunyai distribusi data
yang mengikuti kurve normal. Hal itu terlihat dari besarnya nilai p (probabilitas
2. Uji Hipotesis
Hipotesis mayor penelitian ini ada dua. Pertama adalah nilai kekuasaan, hedonisme
dan prestasi mempunyai hubungan dengan penilaian keadilan prosedural dan penilaian
keadilan distributif. Kedua adalah nilai kebajikan, konformitas dan universalisme mempunyai
hubungan dengan penilaian keadilan prosedural dan penilaian keadilan distributif. Kedua
hipotesis mayor tersebut akan diuji satu persatu dengan menggunakan teknik statistik analisis
korelasi kanonik. Analisis ini akan menguji dua set variabel yang masing-masing set terdiri
lebih dari dua variabel. Hipotesis minor akan diuji dengan menggunakan teknik korelasi
parsial.
a. Uji Hipotesis Mayor Pertama
Analisis korelasi kanonik melibatkan dua set variabel. Set 1 berisi variabel
nilai prestasi (X1), kekuasaan (X2) dan nilai hedonisme (X3). Set 2 berisi variabel
penilaian keadilan prosedural (Y1) dan distributif (Y2).
Prasyarat yang harus dipenuhi dalam analisis korelasi kanonik adalah adanya
korelasi parsial antara variabel-variabel bebas dalam set 1, korelasi parsial antar
variabel tergantung dalam set 2 serta korelasi parsial antara variabel dalam set 1 dan
variabel dalam set 2. Hasil perhitungan korelasi parsial dengan bantuan seri program
SPSS ver. 11 for windows untuk masing-masing pasangan dapat dilihat pada tabel-
tabel berikut.
Tabel 4.15. Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel X dalam Set 1
Variabel X1 X2 X3
X1 1.000 0.389 0.166
X2 0.389 1.000 0.449
X3 0.166 0.449 1.000
tidak signifikan yaitu antara variabel nilai prestasi dengan nilai hedonis. Kedua
pasangan variabel lainnya berkorelasi cukup kuat dan signifikan (p <0.00).
Variabel Y1 Y2
Y1 1.000 0.621
Y2 0.621 1.000
Tabel korelasi parsial antar variabel tergantung dalam set 2 menunjukan bahwa
korelasi antara penilaian keadilan distributif dengan penilaian keadilan prosedural
sebesar 0.658 (p<0.000) yang berarti korelasinya kuat dan signifikan.
Selanjutnya korelasi parsial antara variabel dalam set 1 dengan variabel dalam
set 2 ditunjukan pada tabel berikut.
Tabel 4.17. Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel X dalam Set 1 dan
Variabel Y dalam Set 2
Variabel Y1 Y2
X1 0.317 -0.057
X2 -0.237 -0.093
X3 -0.004 0.208
Tabel di atas menunjukan bahwa hanya ada satu korelasi yang signifikan yaitu
antara nilai prestasi (X1) dengan penilaian keadilan prosedural (Y1) dengan besarnya
rxy adalah 0.317 dan p= 0.005 (p<0.05). Kelima koralasi parsial lainnya tidak
menunjukan koefisien koralsi yang kuat dan tidak signifikan (p > 0.05).
Kesimpulan dari ketiga uji korelasi di atas adalah bahwa korelasi parsial antar
variabel bebas dalam set 1 cukup kuat dan signifikan. Korelasi parsial pada variabel
tergantung pada set 2 juga kuat dan signifikan. Sedangkan korelasi parsial antar
variabel bebas dalam set 1 dengan variabel tergantung pada set 2 tidak menunjukan
korelasi yang kuat dan nirsignifikan. Meskipun demikian dengan pertimbangan bahwa
122
masih ada salah satu dari pasangan korelasi antara variabel dalam set 1 dan variabel
dalam set 2 yang kuat dan signifikan, maka persyaratan untuk pengujan korelasi
kanonik dipenuhi.
Tabel uji signifikansi dengan uji Wilk`s Lambda di atas menunjukan bahwa besarnya
nilai peluang kesalahan adalah 0.0173 (p<0.05) yang berarti bahwa hipotesis nul yang
menyatakan bahwa dua set variabel tidak dapat dihubungkan dengan korelasi kanonik di
tolak. Sebaliknya hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa dua set variabel tersebut dapat
dihubungkan dengan korelasi kanonik diterima. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh
Fidel & Tabachnick (2001), bahwa jika pada uji Wilk`s Lambda besarnya p<0.05, maka
berarti korelasi antara dua set variabel tersebut signifikan atau dengan kata lain terdapat
overlapping antara variabel dalam set satu dengan variabel dalam set dua. Hipotesis mayor
pertama yang menyatakan bahwa Nilai Kekuasaan, Hedonisme dan Prestasi mempunyai
keterkaitan dengan Penilaian Keadilan Prosedural dan Penilaian Keadilan Distributif
diterima.
Besarnya overlapping tersebut adalah sama dengan kuadrat koefisien korelasi kanonik
2
(R ) atau sama dengan 15.21 persen atau dengan kata lain variabel dalam set 1 menyumbang
15.21 persen besarnya variabel dalam set 2. Rangkuman hasil analisis di atas dapat lihat
dalam gambar model berikut ini :
124
Gambar 1. Model Penelitian Hasil Analisis Kanonik Antara Set 1dan Set 2
0.390*
SET 1
SET 2
X1 0.317*
Y1
0.389 -0.036
-0.057
* -0.237* 0.626*
0.166 X2
Y2
0.449* -0.093
X3 0.207*
Hipotesis minor diuji dengan menggunakan teknik korelasi parsial yang pada
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan seri program statistik SPSS versi 11.0
for windows. Uji korelasi parsial ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antar antar
variabel dalam set, yaitu antara variabel dalam set 1 dan variabel dalam set 2 dengan
mengontrol salah satu atau beberapa variabel bebas dan atau tergantung. Variabel-
variabel bebas dalam set 1 adalah variabel nilai prestasi (X1), nilai kekuasaan (X2) dan
variabel nilai hedonisme (X3) sedangkan variabel tergantung dalam set 2 adalah
penilaian keadilan prosedural (Y1) penelian keadilan distributif (Y2). Hasil uji korelasi
parsialnya adalah sebagai berikut:
(1) Korelasi parsial antara X1 dan Y1 dengan mengontrol X2, X3dan Y2.
Korelasi parsial antar variabel nilai prestasi dan variabel penilaian keadilan
prosedural dengan mengontrol variabel nilai kuasa dan hedonisme serta variabel
125
Hal ini berarti bahwa korelasi antara nilai prestasi dengan penilaian keadilan
prosedural adalah positif signifikan, yang berarti bahwa individu yang memganut
pembagian tunjangan kompensai tersebut adil. Makin tinggi orientasi nilai prestasi
yang dianut individu makin adil pula penilaian individu terhadap prosedur yang
variabel nilai hedonisme, nilai prestasi dan penilaian keadilan distributif, nilai
prosedural ditolak.
(2) Korelasi parsial antara X1 dan Y2 dengan mengontrol X2, X3dan Y1.
Korelasi parsial antar variabel nilai prestasi dan variabel penilaian keadilan
distributif dengan mengontrol variabel nilai kuasa dan hedonisme serta variabel
Hasil itu mengindikasikan bahwa korelasi antara nilai prestasi dengan penilaian
keadilan distibutif adalah negatiif nirsignifikan. Arah dari korelasi ini sudah sesuai
(3) Korelasi parsial antara X2 dan Y1 dengan mengontrol X1, X3dan Y2.
126
Korelasi parsial antara variabel nilai kuasa dan variabel penilaian keadilan
prosedural dengan mengontrol variabel nilai prestasi dan hedonisme serta variabel
Hasil korelasi tersebut menunjukan bahwa hubungan antara variabel nilai kuasa
antar variabel ini sama dengan arah korelasi antara variabel niai prestasi dengan
penilaian keadilan distributif dan juga selaras dengan arah hipotesis pertama yang
diajukan tetapi besarnya korelasi tidak signifikan sehingga hipotesis minor 1c yang
menyatakan bahwa dengan mengontrol variabel nilai prestasi, nilai hedonisme dan
(4) Korelasi parsial antara X2 dan Y2 dengan mengontrol X1, X3 dan Y1.
Korelasi parsial antar variabel nilai kuasa dan variabel penilaian keadilan
distributif dengan mengontrol variabel nilai prestasi dan hedonisme serta variabel
Hasil ini relatif sama dengan hasil pada nomor 3 dan 4 di atas, yaitu bahwa
korelasi antara variabel nilai kuasa dengan variabel penilaian keadilan distributif
(5) Korelasi parsial antara X3 dan Y1 dengan mengontrol X1, X2 dan Y2.
Korelasi parsial antara variabel nilai hedonisme dan variabel penilaian keadilan
prosedural dengan mengontrol variabel nilai prestasi dan kuasa serta variabel
Hasil korelasi di atas menunjukan korelasi antara variabel nilai hedonisme dengan
penilaian keadilan prosedural adalah negatif signifikan. Hal ini sangat sesuai
bahwa dengan mengontrol variabel nilai prestasi, nilai kekuasaan dan penilaian
hedonis nilai yang dianut individu maka penilaian terhadap prosedur penyusunan
aturan pembagian sama rata tersebut makin tidak adil, dan sebaliknya makin
(6) Korelasi parsial antara X3 dan Y2 dengan mengontrol X1, X2 dan Y1.
Korelasi parsial antara variabel nilai hedonisme dan variabel penilaian keadilan
distributif dengan mengontrol variabel nilai prestasi dan kuasa serta variabel
Hasil tersebut menunjukan bahwa korelasi atau hubungan antara variabel nilai
ditolak.
Analisis korelasi kanonik melibatkan dua set variabel. Set pertama berisi
variabel nilai kebajikan (X1), konformitas (X2) dan nilai universalisme (X3). Set kedua
berisi variabel penilaian keadilan prosedural (Y1) dan distributif (Y2).
Prasyarat yang harus dipenuhi dalam analisis korelasi kanonik adalah adanya
korelasi parsial antara variabel-variabel bebas dalam set 1, korelasi parsial antar
variabel tergantung dalam set 2 serta korelasi parsial antara variabel dalam set 1 dan
variabel dalam set 2. Hasil perhitungan korelasi parsial dengan bantuan serio program
SPSS ver. 11 for windows untuk masing-masing pasangan dapat dilihat pada tabel-
tabel berikut.
Tabel 4.20. Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel X dalam Set 1
Variabel X1 X2 X3
X1 1.000 0.516 0.537
X2 0.516 1.000 0.022
X3 0.537 0.022 1.000
Variabel Y1 Y2
Y1 1.000 0.6588
Y2 0.6588 1.000
129
Tabel korelasi parsial antar variabel tergantung dalam set 2 menunjukan bahwa
korelasi antara penilaian keadilan distributif dengan penilaian keadilan prosedural
sebesar 0.6588 (p<0.000) yang berarti korelasinya signifikan.
Selanjutnya korelasi parsial antara variabel dalam set 1 dan variabel dalam set
2 ditunjukan pada tabel berikut.
Tabel 4.22. Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel X dalam Set 1 dan
Variabel Y dalam Set 2
Variabel Y1 Y2
X1 0.119 -0.243
X2 0.147 -0.128
X3 -0.067 0.059
Tabel di atas menunjukan bahwa terdapat dua koefisien korelasi yang kurang
kuat yaitu antara variabel nilai universalisme dengan penilaian keadilan prosedural
atau rx3y1 sebesar 0.091 dan korelasi antara nilai universalisme dangan penilaian
keadilan distributif atau rx3y2 sebesar 0.214 (p>0.05). Juga terdapat dua koefisien
korelasi yang bertanda negatif yaitu korelasi antara nilai kebajikan dengan penilaian
keadilan distributif atau rx1y2 sebesar -0.396 (p<0.00) dan korelasi antara nilai
konformitas dengan penilaian keadilan distributif atau rx2y2 sebesar -0.339 (p<0.00).
Sedangkan korelasi parsial lainnya yaitu antara nilai kebajikan dan penilaian keadilan
prosedural adalah sebesar 0.224 (p<0.05) dan korelasi antara nilai konformitas dengan
penilaian keadilan prosedural sebesar 0.247 (p<0.05) yang berarti korelasinya
signifikan.
Tabel 4.23. Koefisien Korelasi Kanonik Antar Variabel X dalam Set 1 dan
Variabel Y dalam Set 2
Tabel uji signifikansi dengan uji Wilk`s Lambda di atas menunjukan bahwa
besarnya nilai peluang kesalahan adalah 0.0052 (p<0.05) yang berarti bahwa hipotesis
nul yang menyatakan bahwa dua set variabel tidak dapat dihubungkan dengan korelasi
kanonik di tolak. Sebaliknya hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa dua set
131
variabel tersebut dapat dihubungkan dengan korelasi kanonik diterima. Dengan kata
lain hipotesis kedua penelitian yang mengatakan bahwa ada keterkaitan antara nilai
kebajikan, nilai konformitas dan nilai universalisme dengan penilaian keadilan
prosedural dan penilaian keadilan distributif diterima (analisis lengkap lihat lampiran
F ).
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Fidel & Tabachnick (2001),
bahwa jika pada uji Wilk`s Lambda besarnya p<0.05, maka berarti korelasi antara dua
set variabel tersebut signifikan atau dengan kata lain terdapat overlapping antara
variabel dalam set satu dengan variabel dalam set dua. Hal ini berarti hipotesis mayor
kedua yang menyatakan bahwa Nilai Kebajikan, Konformitas dan Universalisme
mempunyai keterkaitan dengan Penilaian Keadilan Prosedural dan Penilaian Keadilan
Distributif diterima.
Gambar 2. Model Penelitian Hasil Analisis Kanonik Antara Set 1dan Set 2
SET 1 0.417*
SET 2
X1 0.256*
Y1
0.247*
0.572* -0.396*
0.0909 0.659*
0.618* X2
Y2
0.375* -0.339*
X3 -0.2139*
Uji hipotesis minor dilakukan dengan analisis korelasi parsial antar variabel
dalam set, yaitu antara variabel dalam set 1 dan variabel dalam set 2 dengan
mengontrol salah satu atau beberapa variabel bebas dan atau tergantung. Variabel-
variabel bebas dalam set 1 adalah variabel nilai kebajikan (X1), nilai konformitas (X2)
dan variabel nilai universalisme (X3) sedangkan variabel tergantung dalam set 2
adalah penilaian keadilan prosedural (Y1) penelian keadilan distributif (Y2). Hasil uji
(1) Korelasi parsial antara X1 dan Y1 dengan mengontrol X2, X3dan Y2.
Korelasi parsial antar variabel nilai kebajikan dan variabel penilaian keadilan
(p=0.229). Hal ini berarti bahwa korelasi antara nilai kebajikan dengan penilaian
keadilan prosedural adalah positif nirsignifikan. Hal ini menunjukan memang ada
tetapi tidak signifikan. Arah dari korelasi ini searah dengan arah hipotesis kedua
yang diajukan pada penelitian ini meskipun besarnya koefisien korelasinya tidak
(2) Korelasi parsial antara X1 dan Y2 dengan mengontrol X2, X3dan Y1.
Korelasi parsial antar variabel nilai kebajikan dan variabel penilaian keadilan
(p=0.032). Hasil itu mengindikasikan bahwa korelasi antara nilai kebajikan dengan
penilaian keadilan distibutif adalah negatiif signifikan. Hasil ini bertolak belakang
dengan hipotesis minor 2b pada penelitian ini yang menyatakan bahwa dengan
(3) Korelasi parsial antara X2 dan Y1 dengan mengontrol X1, X3dan Y2.
Korelasi parsial antara variabel nilai konformitas dan variabel penilaian keadilan
nirsiginifikan. Arah korelasi ini sudah sama dengan arah hipotesis mnior 2c tetapi
besarnya korelasi yang ada tidak signifikan sehingga hipotesis minor 2c yang
(4) Korelasi parsial antara X2 dan Y2 dengan mengontrol X1, X3 dan Y1.
Korelasi parsial antar variabel nilai konformitas dan variabel penilaian keadilan
(p=0.263). Hasil ini menunjukan adanya korelasi yang negatif nirsignifikan. Hasil
ini berlawanan dengan hipotesis minor 2d yang diajukan dalam penelitian ini yang
(5) Korelasi parsial antara X3 dan Y1 dengan mengontrol X1, X2 dan Y2.
Korelasi parsial antara variabel nilai universalisme dan variabel penilaian keadilan
Korelasi ini berlawanan dengan arah korelasi hipotesis minor 2e dalam penelitian
ini yang menyatakan bahwa dengan mengontrol variabel nilai kebajikan, nilai
(6) Korelasi parsial antara X3 dan Y2 dengan mengontrol X1, X2 dan Y1.
Korelasi parsial antara variabel nilai universaliisme dan variabel penilaian keadilan
D. Pembahasan
Penelitian ini mencoba untuk membuktikan dua hipotesis mayor dan dua belas
hipotesis minor. Hipotesis mayor pertama adalah nilai kekuasaan, hedonisme dan prestasi
mempunyai hubungan negatif signifikan dengan penilaian keadilan prosedural dan penilaian
keadilan distributif. Hipotesis mayor kedua adalah Nilai kebajikan, konformitas dan
keadilan distributif. Pembahasan akan dilakukan secara berurutan dimulai dari deskripsi data
penelitian, korelasi kanonik antara variabel bebas dalam set 1 dan variabel tergantung pada set
2 untuk kedua hipotesis mayor yang dilanjutkan dengan pembahasan menyeluruh untuk tiap
hipotesis minornya.
Data hasil penelitian yang telah diperoleh dengan menggunakan skala penelitian akan
bagaimana respon serta posisi subjek diantara seluruh anggota sampel penelitian ini.
Pada tabel 4.7 sampai dengan 4.14 di atas menunjukan bahwa secara respon subjek
yang terungkap melalui skala penelitian yang ada memperlihatkan sebaran yang merata untuk
tiap kategorisasi (sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah). Artinya adalah bahwa
dari 81 subjek yang menjadi anggota sampel penelitian, tidak terjadi pengelompokan pada
satu kategori. Posisi subjek terbanyak pada kategori rendah, sedang dan tinggi, sisanya
menyebar pada kategori sangat tinggi atau sangat rendah dengan jumlah yang sedikit bahkan
pada beberapa variabel, tidak ada subjek yang menempati kedua kategori tersebut.
Analisis deskripsi lanjutan dilakukan untuk mengatahui perbedaan rerata skor subjek
pada seluruh variabel penelitian menurut jenis kelamin dan golongan kerjanya. Hasilnya
137
adalah bahwa skor rerata subjek perempuan tidak berbeda dengan skor rerata kelompok laki-
Hal ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Faturochman (2002) yang
menemukkan bahwa perempuan cenderung untuk menilai lebih adil terhadap apa yang
Perbandingan subjek laki-laki dan perempuan dalam penelitian ini sangat tinggi yaitu hampir
tiga kali lipatnya. Hal ini mungkin yang menyebabkan respon subjek perempuan cenderung
Uji perbedaan rerata kelompok subjek golongan II dan III juga diperoleh hasil yang
sama yaitu tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada seluruh variabel penelitian. Ha ini
mungkin disebabkan bahwa perbedaan golongan kerja II dan III dalam praktek sehari-hari di
lapangan tidak begitu terasa karena status mereka relatif tetap sama yaitu pegawai akademik.
Berdasar hasil analisis korelasi kanonik yang dilakukan maka hipotesis pertama yang
menyatakan ada antara nilai prestasi, nilai kekuasaan dan nilai hedonisme dengan
keterkaitan antara penilaian keadilan prosedural dan penilaian keadilan distributif ditolak.
Hasil analisis menunjukan adanya hubungan yang positif antara variabel pada set 1dan
Model di atas menunjukan bahwa besarnya koefisien korelasi kanonik adalah 0.390 dan
uji signifikansi dengan Wilk`s Lamda diperoleh besarnya p < 0.05 yang berarti bahwa
hubungan antara dua set variabel tersebut adalah signifikan. Hipotesis mayor pertama
diterima.
138
Besarnya kontribusi set 1 terhadap set kedua adalah 15.21 persen. Hal ini berarti bahwa
variabel nilai prestasi, nilai kekuasaan dan nilai hedonisme menyumbang sebesar 15.21
persen variabel penilaian keadilan prosedural dan penilaian keadilan distributif. Koefisien
korelasi kanonik sebesar 0.390 ini lebih besar dari seluruh korelasi parsial antara variabel
sebaliknya. Hal ini menunjukan terjadinya penambahan atau sinergi antar variabel pada
masing-masing set.
Model tersebut juga menjelaskan bahwa untuk beberapa hal hasil penelitian sebenarnya
konsisten dengan teori yang ada. Korelasi parsial antara nilai kekuasaan (X2) dan
penilaian keadilan prosedural (Y1) adalah negatif tidak signifikan. Demikian pula korelasi
parsial antara variabel nilai kekuasaan (X2) dengan variabel penelian keadilan distributif
(Y2). Korelasi negatif juga terjadi antara variabel nilai kekuasaan (X2) dengan variabel
penilaian keadilan prosedural (Y1), serta pada korelasi antara nilai prestasi (X1) dengan
penilaian keadilan distributif (Y2). Korelasi parsial positif tetapi tidak signifikan terjadi
antara variabel nilai hedonisme (X3) dengan penilaian keadilan distributif (Y2). Satu-
satunya hasil korelasi parsial yang positif signifikan adalah korelasi antara variabel nilai
Hasil di atas menunjukan bahwa secara umum hubungan antara variabel bebas dalam set 1
dengan variabel tergantung dalam set 2 adalah negatif. Dari enam korelasi yang ada,
empat diantaranya adalah negatif, satu positif nirsignifikan dan satu positif signifikan.
Koefisien korelasi kanonik untuk kedua set tersebut adalah positif signifikan hal
139
dikarenakan pada analisis korelasi kanonik tidak mungkin ditemukan besarnya koefisien
korelasi yang bertanda negatif seperti korelasi biasa pada analisis korelasi product
moment. Arah hubungan dapat dijelaskan dengan melihat korelasi antar variabel pada set
Hasil analisis korelasi parsial antara variabel dalam set 1 dan variabel dalam set 2
sebenarnya konsisten dengan teori yang ada. Feather (1990) juga menyatakan bahwa
pengaruh karateristik pribadi akan dominan dalam menentukan penilaian keadilan manakala
stimulasi diri yang merupakan domain nilai yang mementingkan kepentingan pribadi tidak
setuju dengan sistem pembagian sama rata (equality) dan lebih senang dengan sistem
proporsional. Sebaliknya mereka yang menganut nilai konformitas, prososial dan spiritual
lebih cenderung memilih sistem pembagian sama rata. Feather (1990) menyimpulkan bahwa
reaksi subjek terhadap sistem pembagian tergantung pada berbagai hal seperti situasi, cara
penelitian ini menunjukan adanya pertentangan antara dorongan pribadi dengan tekanan
situasi atau lingkungan seperti yang disampaikan oleh Feather (1990) di atas. Individu yang
menganut nilai-nilai yang berorientasi pribadi seperti hedonisme, kekuasaan dan prestasi tidak
tersebut untuk menjaga harmonisasi hubungan dengan orang lain. Sehingga walaupun sistem
distribusi sama rata secara teoritis tidak sesuai dengan karakteristik pribadi (nilai yang dianut)
140
tetapi karena individu tersebut berada dalam lingkungan yang berkarakter kolektif yang kuat
maka karakter lingkungan tersebut akan berengaruh terhadap penilaiannya. Pada penelitian
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa pada masyarakat yang monocultural (satu
budaya) dapat juga muncul perbedaan nilai yang dianut. Hal ini seperti yang disampaikn oleh
Berman & Berman (20020 menyatakan bahwa pada masyarakat Hongkong dan Indonesia
yang oleh Triandis dan Hofstede dimasukan dalam kelompok masyarakat berbudaya kolektif
menilai sistem distribusi berdasarkan kebutuhan lebih adil dibanding sisten distribusi
proporsional. Meskipun demikian, hasil penelitian juga menunjukan adanya perbedaan dalam
orientasi nilai terutama nilai yang berkaitan dengan prestasi dan kekuasaan dimana
masyarakat Hongkong lebih tinggi dibanding masyarakat Indonesia. Hal itu menunjukan
bahwa pada masyarakat yang berbudaya kolektif juga dimungkinkan individu menganut nilai
yang berorientasi pribadi. Karena menurut Leung (1988) bahwa perbedaan nilai tidak hanya
terjadi pada budaya yang berbeda (across culture) tetapi juga pada individu pada budaya yang
Perbedaan nilai pada budaya yang sama inilah yang mungkin dapat menjelaskan
mengapa individu yang berada pada kelompok masyarakat berbudaya kolektif dapat saja
kolektif maka model distribusi yang cocok adalah sama rata dan prosedur yang cocok adalah
Hipotesis mayor kedua yang menyatakan ada keterkaitan antara nilai kebajikan, nilai
konformitas dan nilai universalisme dengan penilaian keadilan prosedural dan penilaian
keadilan distributif di terima. Hasil analisis korelasi kanonik antara variabel set 1 dan variabel
set 2 menunjukan adanya hubungan yang positif signifikan dengan koefisien korelasi kanonik
sebesar 0.417. Uji signifikansi hubungan dengan menggunakan uji Wilk`s Lamda diperoleh
besarnya p < 0.05 yang berarti bahwa hubungan antara variabe dalam set 1 dan variabel dalam
set 2 adalah signifikan. Besarnya kontribusi variabel-variabel dalam set 1 adalah 17.389
Model gambar 2 menunjukan bahwa besarnya koefisien korelasi kanonik antara set 1 dan
set 2 lebih besar dibandingkan korelasi parsial antar variabel dalam set 1 dengan variabel
dalam set 2. Hal ini menunjukan terjadinya penambahan atau sinergi. Ketika variabel pada
masing-masing set dikorelasikan secara sendiri-sendiri hasilnya relatif rendah bahkan ada
yang negatif, namun ketika dikorelasikan secara bersama-sama antara dua set tersebut
Model tersebut juga menunjukkan bahwa hasil korelasi parsial antara variabel dalam set 1
dengan variabel dalam set 2 relatif kecil bahkan beberapa diantaranya yang negatif.
Korelasi antara nilai kebajikan (X1) dengan penilaian keadilan distributif (Y2) adalah
sebesar -0.396, korelasi parsial antara nilai konformitas (X2) dengan penilaian keadilan
distributif (Y2) juga negatif yaitu sebesar -0.339. Korelasi parsial negatif juga terjadi
antara nilai universalisme (X3) dengan penilaian keadilan distributif (Y2). Korelasi parsial
positif terjadi pada hubungan antara nilai kebajikan (X1) dengan penilaian keadilan
prosedural (Y1) yaitu sebesar 0.256, dan korelasi antara nilai konformitas (X2) dengan
penilaian keadilan prosedural (Y1) sebesar 0.247 serta korelasi antara nilai universalisme
142
(X3) dengan penilaian keadilan prosedural (Y1) yaitu sebesar 0.090. Hasil korelasi parsial
antar variabel dalam set 1 dan set 2 tersebut memang sebagian besar tidak signifikan,
meskipun demikian korelasi kanonik antar dua set adalah positif signifikan. Hal ini
menunjukan adanya sinergi yang dibangun oleh variabel-variabel bebas dalam set 1
dengan variabel-variabel tergantung pada set kedua sehingga kedua set tersebut aling
berhubungan.
Hasil ini konsisten dengan apa yang disampaikan oleh Deutsch (dalam Leung,1988)
yang menyatakan bahwa masing-masing sistem distribusi tersebut dinilai tepat dan adil
berdasar karateristik situasinya. Sistem proporisonal lebih cocok pada situasi yang menuntut
peningkatan produktivitas. Sistem distribusi sama rata lebih tepat jika tujuan dari distribusi itu
adalah untuk meningkatkan hubungan atau interaksi sosial, sedangkan sistem distribusi
berdasar kebutuhan lebih tepat jika tujuannya adalah untuk membantu perkembangan pribadi
atas, yang kemudian disimpulkan oleh Leung, bahwa jika nilai dapat mempengaruhi tujuan
dari tiga sistem distribusi, maka nilai juga akan mempengaruhi sistem distribusi yang
digunakan. Contohnya, jika suatu orientasi nilai tertentu mendorong diletaknnya suatu nilai
yang lebih tinggi pada satu sistem distribusi tertentu, misalnya hubungan interpersonal yang
harmonis, maka orang tersebut akan lebih senang memilih sistem pembagian sama rata
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Feather (1994) yang
menyatakan bahwa penilaian terhadap keadilan selain dipengaruhi oleh karekateristik situasi
tetapi juga oleh karakteristik pribadi dalam hal ini adalah nilai yang dianut. Misalnya,
penilaian keadilan terhadap sistem distribusi akan berbeda tergantung pada apakah seseorang
143
itu berada dalam situasi kompetitif atau kooperatif. Juga akan berbeda, tergantung pada
prioritas nilai yang dianut oleh orang yang menentukan sistem distribusi, yang menerima
pembagian atau yang menilai tata cara penentuan sistem pembagian tersebut.
Hasil penelitian ini secara umum sejalan dengan yang dsampaikan oleh Leung (1988)
yang menyatakan bahwa hubungan antara nilai dengan penilaian keadilan secara lintas budaya
menunjukan hasil yang tidak konsisten. Penelitian Thibaut & Walker (Leung, 1988) yang
membaningkan sistem peradilan di Amerika dan Prancis serta Jerman (budaya individualistik)
menemukan hasil yang konsisten, dimana prosedur atau sistem yang menjamin partisipan
dalam kontrol proses dinilai adil. Penelitian Leung (dalam Lind & Early, 1992) pada
menemukan bahwa pengaruh masukan (voice effect) partisipan dalam pengambilan keputusan
Penelitian mengenai pengaruh budaya dan atau karakter pribadi (nilai) memang
idealnya dilakukan pada dua kelompok subjek yang mempunyai budaya atau nilai yang
berbeda pula. Hal ini akan memperjelas pengaruh nilai tersebut dalam mempengaruhi variabel
atau atribut-atribut lainnya. Penelitian tentang nilai pada masyarakat yang monocultural
sebenarnya juga dapat dilakukan, tetapi hasilnya memang tidak maksimal dan cenderung
kurang konsisten.
Penilaian keadilan individu terhadap suatu aturan atau sistem pembagian sumber daya
tertentu dipengaruhi oleh banyak hal. Pada penelitian kali ini, faktor-faktor masa kerja,
golongan, kepangkatan, jenis kelamin, pengalaman kerja dan lainnya memang kurang
mendapatkan perhatian secara khusus. Untuk penelitian serupa dimasa datang alangkah
144
variabel lain yang diduga berpegaruh pada variabel bebas ini akan makin memperjelas peran
dari variabel karakteristik pribadi dan budaya (nilai) dalam mempengaruhi penilaian keadilan
Penelitian masalah penilaian keadilan dimasa datang akan makin baik jika melibatkan
model penilaian keadilan lainnya seperti penilaian keadilan ineraksional dan model penilaian
makin melengkapi dan memperjelas kajian tentang penilaian keadilan secara keseluruhan
Perbandingan jumlah subjek perempan dan laki-laki yang sangat tidak porposional
yaitu 19 berbanding 61 sedikit banyak berpengaruh terhadap hasil penelitian ini. Implikasinya
adalah bahwa generalisasi hasil penelitian ini cenderung kepada populasi laki-laki dibanding
populasi perempuan. Di masa datang proporsi sampel penelitian berdasar jenis kelamin
sebaiknya berimbang sehingga hasil penelitian akan lebih mencerminkan kondisi yang
Seluruh variabel penelitian ini menggunakan skala dengan segala keterbatasan yang
melekat di dalamnya. Variasi subjek yang tinggi menyebabkan pemahaman terhadap item-
item dalam skala ini juga bervariasi sehingga mengakibatkan hasil penelitian tidak seperti
yang diharpakan. Penambahan atau kombinasi metode pengumpul data lain seperti
wawancara dan observasi yang cermat sangat diharpakan sehingga diperoleh data yang lebih
akurat dan hasil penelitian yang mendekati kondisi sebenarnya dari subjek.
145
Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini adalah masalah
kekabasan subjek dalam memberikan penilaian. Posisi subjek sebagai bawahan dari pimpinan
Kekhawatiran subjek bahwa atasan akan memberikan sanksi jika subjek memberikan
penilaian yang benar tetapi menyakiti atasannya tentu sedikit banyak akan berpengaruh pada
respon subjek terhadap skala yang diberikan. Sehingga kemungkinan terjadinya respon subjek
BABV
KESIMPULAN DAN SARAN
E. Kesimpulan
1. Nilai-nilai yang berorientasi pribadi yaitu nilai prestasi, nilai kekuasaan dan nilai
keadilan distributif sama rata. Hipotesis yang menyatakan adanya keterkaitan antara nilai
prestasi, nilai kekuasaan dan nilai hedonisme dengan penilaian keadilan distribusi dan
prosedural diterima.
2. Nilai-nilai yang berorientasi kolektif yaitu nilai kebajikan, nilai uniersalisme dan nilai
keadilan distribusi sama rata. Hipotesis mayor kedua yang menyatakan ada keterkaitan
antara nilai kebajikan, nilai universalisme dan nilai konformitas dengan penilaian keadilan
F. Saran
tersebut. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa karyawan yang menilai peraturan ini
secara prosedural adil lebih sedikit dibanding karyawan yang menilai prosedurnya adil.
147
Penelitian tentang nilai sebaiknya dilakukan dengan menyajikan seluruh item atau seluruh
nilai yang ada dan tidak mencupliknya sehingga gambaran tentang nilai yang anut oleh
individu dapat lebih jelas terlihat. Penelitian tentang penilaian keadilan akan lebih jelas
jika melibatkan beberapa model distribusi dan prosedur yang digunakan sehingga
variabel-variabel antesedennya akan lebih jelas efeknya. Perlu juga dilakukan penelitian
tentang penilaian keadilan yang dikaitkan dengan atribut-atribut psikologis lainnya dengan
DAFTAR PUSTAKA
Baron, A. Robert and Byrne, Donn. 1997. Social Psychology , Allyn and Bacon,
Massachusetts.
Brigham, C. John. 1991. Social Psychology 2nd edition. HarperCollins Publisher Inc, New
York.
Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ball, Sandra. Rokeach and Loges, E. Williams. 1994. Choosing Equality: The
Correspondence Between Attitude About Race and the Value of Equality. Journal of
Social Issues, 50 (4), 9 - 18.
Berman, M. Virginia & Berman J. John. 2002. Cros Cultural Differences in Perceptions of
Distributive Justice : A Comparison of Hong Kong and Indonesia. Journal of Cross
Cultural Psychology, Vol. 33 (2), 157 -170.
Colquitt A.Jason., Conlon, E. Donal., Ng, Yee K., Wesson, J. Michael and Porter,
Christoper.2001. Justice at the Millennium: A Meta-Analytic Review of 25 Years of
Organizational Justice Research. Journal of Applied Psychology, 86(3) 425 – 445.
Cropanzano, Russel., Suckow, Kathlenn and Weiss, M. Howard. 1999. Effects of Justice on
Discrete Emotions. Journal of Applied Psychology, 84(5), 786 - 794.
Cropanzano, R., Prehar, A.Cynthia., Chen, Y. Peter., 2003. Using Sosial Exchange Theory to
Distinguish Procedure From Interactional Justice. Group & Organization Management,
Vol. 28 (4), 502 -526.
Faturochman. 2002. Keadilan : Perpektif Psikologi. Pustaka Pelajar dan Unit Penerbitan
Fakultas Psikologi UGM, Jogjakarta.
Feather, N.T. 1990. Reactions to Equal Reward Allocations : Effects of Situation, Gender and
Values. British Journal of Social Psychology, 29, 386 - 400.
Feather, N.T. 1994. Human Values and Their Reaction to Justice. Journal of Social Issues,
50(4), 129 - 151.
Field, Andi. 2000. Discovering Statistics: Using SPSS for Windows. Sage Publication,
London.
Fidel, S. Linda & Tabchnick, J. Barbara. 2001. Using Multivariates Statistics. Allyn & Bacon,
Boston.
Fischer, Ronald & Smith, B. Peter. 2004. Values and Organizational Justice : Performance
and Seniorityi Based Allocation Criteria in United Kingdom and Germany. Journal of
Cross Cultural Psychology, Vol. 35 (6), 669 – 688.
Francesco, Anne Marie & Chen, Zhen Xiong. 2004. Collectivism individualis Actions : Its
Moderating Effects on The Relationship Between Organizational Commitmen and
Employee Performance individualis China. Group & Organization Management, Vol.
29 (4), 425 -441.
Folger, Robert and Skarlicki, P. Daniel. 1997. Retaliation in the Workplace: The Roles of
Distributive , Procedural and Interactional Justice. Journal of Applied Psychology,
82(3), 434 - 443.
Hair, F. Joseph., Anderson, E. Ralp., Tatham, L. Ronald and Black, C. William. 1988.
Multivariates Data Analysis with Readings. Prentice-Hall International Inc, New Jersey.
Hofstede, G. 2002. Cultural Dimension. www. Geert Hofstede.com (22 Maret 2006).
Johnson, A. Richard & Wichera W. Dean. 2002. Applied Multivariates Statistics Analysis.
Prentice Hall Upersadle River, New Jersey 97458.
Kompas (2003). Sektor Riil tidak secerah Kondisi Makro. 24 desember halaman 14.
Kompas (2003). Target Orang Miskin 2004 Tak Akan Berhasil Dicapai. 18 Juni halaman 14.
Kompas (2003). Perbaikan Kesejahteraan harus Terefleksikan di sektor Riil. 23 Juni Halaman
14.
Lind, A.Allan., Tyler R. Tom and Huo, J. Yuen. 1997. Procedural Context and Culture:
Variation in the Antecedents of Procedural Justice Judgements. Journal of Personality
and Social Psychology, 73(4) 767 - 780.
Lind, A.Allan and Early, P. Christopher. 1992. Procedural Justice and Culture. International
Journal of Psychology, 27(2) 227 - 242.
Lind, A.Allan., Van den bos, Kees., Vermunt, Riel and Wilke, A.M. Henk.1997. How Do I
Judge My Outcome When I Do Not Know the Outcome of Others? The Psychology of
the Fair Process Effect. Journal of Personality and Social Psychology, 72(5) 1034 -
1046.
Leung, Kwok. 1988. “The Cross-Cultural Chalenge to Social Psychology” (eds): Theoretical
Advances in Justice Behavior : Some Cross Cultural Inputs. Sage Publication Newbury
Park, California.
Plous,Scott. 1993. The Psychology of Judgement and Decision Making. McGraw-Hill Inc,
New York.
Ployhart, E. Robert and Ryan, Ann Marie. 1998. Aplicants` Reaction to the Fairness of
selection Procedures : The Effect of Positive Rule Violations and Time of Measurement.
Journal of Applied Psychology, 83(1) 3 – 16.
151
Rokeach, Milton. 1973. The Nature of Human Values. The Free Press, New York.
Rohan, J. Meg. 2000. A Rose By Any Name? The Values Construct. Personality and Social
Psychology Review. Vol. 4 (3) 255 – 277.
Santosa, Singgih. 2004. SPSS Versi 10 : Mengolah Data Secara Profesional. PT Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Sherif, C. & Sherif, M. 1961. Attitude & Attitude Change: he Social Judgement-Involvement
Approach. Philadelpia: Sounders
Shafto, M.G., Degani, Asaf & Kirlik, Alex. 2005. Canonical Correlation Analysis of Data on
Human-Automation Interaction. WWW. a. gov/IH Publication / Shafto / Canonical
Correlation. HTML.
Schroth, A. Holly., Shah, Pradhan Priti. 2000. Procedures : Do We Realy Want to Know
Them? An examination of the Effects of Procedural Justice on Self-Esteem. Journal of
Applied Psychology, 83(3), 462 - 471.
Stroessner, J. Steven and Heur, B. Larry. Cognitive Bisa in Procedural Justice: Formation and
Implikations of Illusory Corelations in Perceived Intergroup Fairness. Journal of
Personlity and Social Psychology, 71 (4), 717 - 728.
Schwartz,H. Shalom.1994. Are There Universal Aspects in the Stucture and Contents of
Humans Values. Journal of Social Issues, 50(4), 19 - 45.
Scher J. Stevens. 1997. Measuring the Consequences of Injustice. Journal of Personlity and
Social Psychology, 23 (5), 482 - 497.
Van den bos, Kees., Lind, A. Allan., Vermunt, Riel and Wilke, A.M. Henk.1998.Evaluating
Outcomes by Means of the Fair Process Effect: Evidence for Different Procesess in
Fairness and Satisfaction Judgements. Journal of Personality and Social Psychology,
74(6) 1493 - 1503.
WWW. Statsoft. Inc. com / Text Book St Canan. HTML. 2005. Canonical Analysis.
152