You are on page 1of 11

MEMBANGUN PEMIKIRAN ILMIAH (SCIENTIFIC IDEA)

DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG 1

oleh
Iwan Nugroho

INTISARI
Kemajuan yang dicapai sains diakui telah memberikan kemudahan dan kemakmuran.
Tetapi di lain pihak, sains belum berhasil mengangkat kehidupan orang-orang miskin di
banyak negara berkembang. Sains yang kebanyakan produk negara maju, nampaknya
menemui banyak kendala dalam transfernya ke negara sedang berkembang. Negara-negara
sedang berkembang ternyata mempunyai nilai-nilai lokal khusus yang khas, mengandung
kebenaran di dalamnya, yang merupakan resultan evolusi sosial budaya dan lingkungannya.
Tulisan ini bermaksud menelaah pengembangan sains di negara-negara sedang berkembang
sekaligus berkeinginan membangkitkannya sebagai pemikiran-pemikiran ilmiah yang
bermanfaat bagi pembangunan.

PENDAHULUAN
Ketika perang dunia kedua berakhir, di bawah kepeloporan Amerika Serikat,
dilakukanlah pembangunan besar-besaran di dalam Marshall Plan bagi negara-negara Eropa
dan Colombo Plan bagi negara-negara Asia Selatan. Dua puluh tahun sesudah itu hasil-hasil
pembangunan dievaluasi. Nampak bahwa Eropa secara umum mencapai kemakmuran dan
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan seperti halnya di Amerika Serikat sendiri.
Sementara itu, hasil yang kurang memuaskan ditemui di negara-negara Asia Selatan.
Kemakmuran hanya dinikmati sekelompok orang dan sebagian besar penduduknya masih
dalam kungkungan kemiskinan.
Gambaran India, Pakistan Barat dan Timur (sekarang Bangladesh), Burma (sekarang
Myanmar) adalah cermin pola pembangunan di Negara Sedang Berkembang (NSB) hingga
saat ini. Ternyata ada perbedaan yang sangat menyolok dalam tanggapan terhadap ide
perubahan antara NSB dibanding negara-negara maju. Hal yang mendasari adalah
kenyataan beragam dan belum matangnya kondisi sosial masyarakat NSB sehingga akan

1
Naskah dipublikasi pada Jurnal JIUWG (tahun 1996) 2(4):181-189. ISSN 0854-3437
menghambat (baca: bertahan kuat-kuat) terhadap sesuatu yang baru dan mengubah
kondisinya. Sebaliknya, masyarakat negara maju umumnya telah matang dan cenderung
menginginkan perubahan untuk memperbaiki kehidupannya pada tingkat yang lebih baik.
Namun demikian, ada contoh yang sangat baik, yaitu keberhasilan pembangunan
Jepang. Sebagai negara Timur, kondisi sosial dan budayanya sebenarnya lebih dekat dengan
NSB dibanding negara maju lainnya, namun kemajuan dan kemakmuran yang dicapai sangat
luar biasa bahkan lebih baik dibanding bangsa kulit putih manapun. Kenyataan inilah yang
muncul sebagai mode pembangunan bagi NSB, sekalipun tidak pas benar ciri dan kondisi
masing-masing negaranya. Keberhasilan Jepang disebabkan jauh-jauh hari telah
mempersiapkan strategi penataan organisasi sosialnya sehingga kondusif bagi
pengembangan sains maupun ide perubahan lainnya (Moravscik, 1976; Latif, 1996).
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah kondisi sains di NSB dan berupaya menggalinya
sebagai pemikiran yang bermanfaat dan optimis dalam rangka memajukan dan mendukung
pembangunan di NSB.

SAINS DI NEGARA SEDANG BERKEMBANG


Pengembangan dan penerapan sains dalam proses pembangunan tidak terlepas dari
aspek utilitarian dan non-utilitarian (Moravcsik, 1976). Yang pertama lebih dimotivasi oleh
orientasi manfaat, praktis, dan hubungannya dengan kebutuhan pembangunan saat itu (baca:
sesaat). Sedang yang kedua, lebih bersifat pengembangan liar, berpetualang tanpa batas
(baca: bebas nilai), untuk mencari dan menemukan kebenaran yang hakiki (non-sectarian)
dalam bidang ilmu apapun.
Munculnya dua aspek tersebut berkaitan dengan ciri sains, yang menurut pandangan
ekonomi sebagai barang yang dapat diperdagangkan. Ada dua sisi yang melekat (Callon,
1994): (1) sains sebagai public good yang tidak dapat diperdagangkan di pasar, dan (2) sains
sebagai exclusive good yang dapat sempurna diperdagangkan di pasar. Dalam kondisi
pertama, semua orang bebas menikmati sains, yang berakibat rendahnya insentif untuk
berinvestasi memproduksi sains. Hal ini akhirnya mendorong ke arah tidak adanya
penghargaan terhadap intelectual property right karena orang lebih suka membajak dan
menjiplak. Kondisi ini umum ditemukan di NSB yang lebih berorientasi ke aspek utilitarian.
Sementara itu pada kondisi kedua, terdapat dukungan yang baik terhadap penghargaan
produk-produk sains. Dengan demikian yang terjadi adalah kebebasan berkreasi untuk
mengapresiasi sains. Tidak ada batasan dalam orientasi utilitarian maupun non-utilitarian.
Bahkan ada kecenderungan non-utilitarian sangat dominan. Amerika Serikat telah
membuktikan selama empat puluh tahun terakhir (Smith III and Tsang, 1995) secara
konsisten memperhatikan pengembangan ilmu-ilmu dasar secara akademik melebihi
orientasi utilitarian. Kondisi yang sama ditemui di negara maju yang telah matang kondisi
sosial ekonominya.
Aspek utilitarian mempunyai implikasi yang sangat mendasar terhadap proses
pembangunan dan kehidupan bernegara di NSB. Berikut disajikan pokok-pokok kritis
pangkal permasalahan dan acuan untuk mengatasinya.
1. Dominasi Negara
NSB sangat berkeinginan mengejar ketertinggalannya dari negara maju. Strategi yang
digunakan biasanya adalah menempatkan kepentingan negara di atas segala-galanya.
Kebijaksanaan pembangunan, termasuk pengembangan sains, dengan demikian, mutlak
berada di tangan negara. Kebijaksanaan pembangunan disusun tanpa didasari strategi dan
konsepsi yang mendasar dan bersamaan dengan itu mengabaikannya potensi dan nilai-nilai
lokal. Partisipasi masyarakat didorong dan diijinkan tetapi secara substansi lebih disebabkan
untuk memenuhi keinginan pemerintah dan tujuan pembangunan. Upaya pembaharuan
dalam pengembangan sains biasanya tidak berjalan mulus.
Dominasi negara yang nyata terlihat adalah dalam penyediaan dana dan substansi sains
yang dikembangkannya. Kasus Cina merupakan contoh menarik. Cina dianggap
mengembangkan sains melalui cara-cara militer (Moravcsik, 1976). Dan belakangan
hasilnya memang sangat memuaskan meskipun masih ditemui hambatan-hambatan birokrasi
di dalam negerinya (Mervis and Kinoshita, 1995).
Gambaran di atas pada akhirnya hanya menghasilkan kondisi yang pesimis. Hal ini
sejalan pula dengan pesimisnya hasil-hasil pembangunan yang diraih, karena tidak didasari
konsep pembangunan dari produk sains yang benar. Sering terjadi pemerintah menstransfer
saja konsep-konsep barat, atau mendatangkan langsung expert karena keterbatasan
sumberdaya manusianya, untuk mengisi bidang-bidang pembangunan tertentu (Moravcsik,
1976).
2. Kelembagaan Lokal
Kelembagaan adalah suatu jenis atau bentuk kegiatan yang tercermin dalam kebiasaan-
kebiasaan yang berkembang di dalam sistem kemasyarakatan, dan melekat ke dalam tatanan
sosial, budaya, dan ekonomi maupun interaksinya.
Tatanan kelembagaan dibutuhkan untuk menciptakan kondisi sosial yang matang yang
mampu membawa kepada keberlanjutan pembangunan (McNeely, 1992; Young, 1995). Di
dalam kelembagaan lokal (indigenous) sering ditemukan nilai-nilai yang khas, yang
mengandung kearifan dan kebenaran (intellectual raw materials). Karena telah teruji oleh
proses evolusi, maka tercermin efisiensi dan stabilitas dalam interaksi sistem lingkungan
biologi, sosial dan budayanya. Terhadap hal terakhir diberikan istilah 'biocultural diversity',
yang melukiskan unsur-unsur biologi dan budaya yang mendukung perilaku kehidupan
manusia untuk memanfaatkan sumberdaya dan upaya-upaya penyelamatannya.
Tantangannya adalah bahwa nilai-nilai di atas belum teridentifikasi secara baik. NSB
mungkin masih membutuhkan waktu untuk menginventarisasi kelembagaan dan nilai-nilai
lokalnya sebelum upaya transfer ke arah perumusan kebijaksanaan pembangunannya.
Amerika Serikat sudah punya perangkat peraturan untuk melindungi spesies tertentu sejak
tahun 1973 (Eisner et al., 1995). Padahal diperkirakan biodiversity di NSB lebih kaya dan
berpotensi lebih tinggi untuk memperbaharui dan menghasilkan produk-produk pertanian,
obat-obatan, dan bahan-bahan lain yang menguntungkan umat manusia.
Upaya untuk mengangkat kelembagaan dan nilai-nilai lokal, tidak bisa tidak, harus
didekati dari multidisiplin. Namun disinilah letak kelemahannya. Kenyataan yang sering
ditemukan, bahwa antara ilmu sosial dan bidang sains lainnya, khususnya yang terapan,
tidak berjalan seiring. Ada kecenderungan ilmu-ilmu sosial diabaikan (Moravscik, 1976;
Latif, 1996) sementara ilmu-ilmu ekonomi atau teknik lebih dikedepankan. Ilmu sosial
dianggap tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan terhadap perkembangan dan
kebutuhan pembangunan. Hal ini sangat kontradiktif mengingat tatanan kelembagaan
(baca:rekayasa sosial) merupakan syarat mutlak bagi berjalannya proses pembangunan.
3. Kepentingan Jangka Pendek
Pokok permasalahan di NSB adalah terkorbannya kepentingan-kepentingan jangka
panjang akibat kebijaksanaan pembangunan yang lebih berorientasi kepada kepentingan
jangka pendek. Konsep diversity secagai ciri NSB yang seharusnya dipertahankan menjadi
rusak akibat intervensi pemerintah yang berlebihan dan mengandalkan egoisme sektoral.
Lebih lanjut hal ini mengarah kepada hancurnya tatanan kelembagaan dan nilai-nilai lokal
(the tragedy of unmanaged commons) yang pada gilirannya menghasilkan degradasi sistem
produksi dan sumberdaya alamnya (Randhir and Lee, 1996).
Negara dihadapkan pada dilema untuk memanfaatkan sumberdayanya pada saat ini,
yang secara jelas bertentangan dengan kaidah-kaidah sains, atau membiarkan rakyatnya
dalam keterbelakangan. Demikianlah, yang terjadi adalah kebijaksanaan tambal sulam yang
mengakibatkan pemborosan atau kemubaziran sumberdaya.
Dilema tersebut teramati dalam kebijaksanaan energinya. Negara-negara maju secara
rasionil bersedia melakukan efisiensi sehingga konsumsi energinya hanya tumbuh satu
persen. Sebaliknya NSB memaksa pertumbuhan konsumsi energi sebesar 4 persen agar
pertumbuhan pembangunannya tetap tinggi meskipun disadari adanya kelangkaan
sumberdaya energi (Goldemberg, 1995). Amerika Serikat juga pernah berlaku sama seperti
NSB sebelum embargo minyak tahun 1973. Ketika harga minyak murah, pemerintah punya
akses yang kuat dan boros dalam kebijaksanaan energinya. Tetapi ini kemudian berubah ke
arah efisiensi dengan naiknya harga minyak internasional (Landsberg, 1990).
Pemanfaatan sumberdaya manusia dalam sistem produksi umumnya sangat buruk.
Kondisi tenaga kerja tidak dilindungi dalam pendefinisian hak dan kewajiban yang benar.
Contoh kasus Pakistan, anak-anak dipekerjakan dalam industri permadani, yang merupakan
komoditi sumber devisa. Seorang anak, yaitu Iqbal Masih, harus mati tertembak pada
tanggal 16 April 1995 karena gigih menentang keadaan di negerinya. Mantan buruh itu
sebelumnya memperoleh Reebok Human Right Youth in Action Award di Boston,
Desember 1994 (Kompas, 18 April 1996).
Ringkasnya, kebijaksanaan dalam gambaran yang baru dikemukakan merupakan
langkah mundur. Modal yang telah ditanam dalam bentuk natural capital (upaya konservasi
sumberdaya alam), human capital (pengembangan sains), dan social capital (kelembagaan)
menjadi hilang percuma.
MEMBANGUN PEMIKIRAN ILMIAH
Sekalipun berada dalam keadaan yang kurang menguntungkan, NSB harus tetap
berusaha mengatasi permasalahannya sendiri. Rasa optimis itu diperoleh hanya melalui
pengembangan sains (Moravcsik, 1976). Sains merupakan sumber dari beragam (diversity
and flexibility) pilihan atau alternatif pemikiran dan kerangka berpikir (Callon, 1994) bagi
pemecahan masalah.
Pengaruh sisa-sisa penjajahan merupakan kendala yang nyata dalam pengembangan
sains. Masa penjajahan yang berlangsung beberapa generasi sangat membekas dalam
hampir semua aspek kehidupan dan bernegara, bahkan telah melembaga dalam bentuk
ketergantungan antar kelompok masyarakat ke arah feodal. Kenyataan ini sulit berubah
hingga tahun enampuluhan. Baru sejak tahun tujuh puluhan, rasa optimis itu muncul
didorong oleh bangkitnya kepercayaan diri bersamaan dengan oil boom yang meningkatkan
pendapatan nasional dan martabat NSB. Sejak itu pula pengembangan sains mendapatkan
perhatian secara sungguh-sungguh.
Pengembangan sains memerlukan strategi. Melalui strategi diidentifikasi segala faktor
pendukung dan penghambatnya agar dapat dipilih alternatif terbaik sehingga menghasilkan
output seperti yang dikehendaki. Strategi pengembangan sains hendaknya terkait dan
menyatu (incorporated) ke dalam pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional. Hal ini
dimotivasi oleh kaitan yang erat antara sains dan pembangunan. Sains harus menjadi spirit
di dalam pembangunan. Kaidah-kaidah sains yang menjunjung tinggi obyektifitas,
kebenaran, dan keadilan, harus senantiasa mendasari tiap kebijaksanaan pembangunan.
Berikut disajikan pokok-pokok pikiran yang dapat menggali dan mengembangkan
sains, dan mengantarkan NSB menuju kondisi yang lebih baik.
1. Komunikasi Ilmiah (scientific communication)
Komunikasi ilmiah , yang selanjutnya ditulis komunikasi saja, merupakan alat yang
membantu sains bekerja dan berkembang. Komunikasi selain berfungsi sebagai media
transfer berbagai informasi, ia berfungsi pula menjembatani ketimpangan informasi dalam
kualitas maupun kuantitas. Ketimpangan seperti ini adalah kondisi umum di NSB dalam
kalangan birokrasi, ilmuwan, atau masyarakat umumnya.
Komunikasi harus dibangun melalui penyampaian aspirasi dari kelompok masyarakat
manapun. Makin lengkap dan beragam informasi yang ditangkap, pada hakekatnya, telah
memecahkan sebagian permasalahan. Akumulasi informasi dan permasalahan tersebut
adalah bagian dari masalah sains. Pada gilirannya ini akan mendorong kreatifitas yang
diwujudkan dalam penelitian ilmiah (Moravcsik, 1976). Pakar ilmu sosial sebagai ujung
tombak akademis, hendaknya mampu menangkap fenomena tersebut dan
mengkomunikasikannya ke dalam bahasa yang mudah diterima oleh birokrat maupun
masyarakat lokal.
Setiap pihak yang terlibat di dalam pembangunan, dimulai dari perencanaan hingga
pelaksanaan, hendaknya berkomunikasi secara baik. Harus dapat dijelaskan titik awal,
tujuan dan sasaran, manfaat, dan dampak apa saja yang diakibatkan oleh proses
pembangunan yang tentu didasari oleh kajian sains. Dengan demikian, tidak akan terjadi
lagi bertemunya kepentingan yang dapat merugikan kelompok masyarakat tertentu.
adalah bahwa pembangunan harus mempertimbangkan kepentingan generasi
mendatang. Karena itu mendesak kiranya untuk menelaah kembali kebijaksaan ekonomi,
kelembagaan, dan keputusan-keputusan yang telah di ambil hingga saat ini (Young, 1995).
Pemikiran ekonomi klasik nampaknya patut diterapkan (Daly, 1994), yaitu dengan cara
menanamkan investasi kembali dalam bentuk natural capital (konservasi sumberdaya alam),
social capital (kelembagaan) maupun human capital (sains). Semakin besar investasi
tersebut makin besar peluang kesejahteraan (generosity) yang dinikmati anak cucu. Dengan
demikian, kebijaksanaan ekonomi nantinya adalah berciri (1) beragamnya sumberdaya, (2)
sistem produksi yang efisien, (3) memberikan kesejahteraan yang tinggi, dan (4)
menghasilkan limbah seminim mungkin. Kondisi ini sangat mendukung terciptanya
keberlanjutan kesejahteraan (inter-generational equity).
2. Penelitian Ilmiah (scientific research)
Penelitian ilmiah, yang selanjutnya ditulis penelitian saja, adalah awal dan akhir dari
kreatifitas yang mengantarkan kepada pemahaman dan ketrampilan. Penelitian harus
mampu menangkap isyu dan permasalahan yang berkembang, yang melalui kajian berulang-
ulang akan dicapai hasil yang lebih mendalam.
Masyarakat merupakan komponen penting dalam penelitian. Sayer (1995)
mengemukakan, kerjasama diantara birokrasi, ilmuwan, dan masyarakat umum mutlak perlu
terutama berkaitan dengan pembangunan keberlanjutan yang di dalamnya menerapkan
kaidah-kaidah konservasi. Pakar biologi dan ekologi bisa saja bekerja sendiri seperti halnya
yang terjadi hingga dekade enam puluhan, namun dalam perumusan kebijaksanaan, mereka
harus terlibat bersama ekonom, birokrat, dan pakar lainnya. Meskipun demikian, upaya-
upaya penelitian individu harus tetap didorong, khususnya dalam mengangkat kelembagaan
lokal seperti yang banyak dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Disinilah ciri
khas pembangunan yang berkelanjutan. Meskipun isyunya meng-global dan terkait dengan
birokrasi, namun titik perhatiannya pada dasarnya di tingkat lokal.
Penelitian sosial yang diarahkan untuk mengangkat kelembagaan lokal nampaknya
sangat mendesak. Penelitian tidak saja bersifat inventory, tetapi hendaknya menyangkut
persepsi masyarakat secara dinamis. Persepsi tentang pembangunan harus dikondisikan
terlebih dahulu sebelum produk-produk sains diperkenalkan. Monitoring persepsi
diperlukan untuk mengetahui kondisi paling aktual dan kecenderungan perubahan dalam
masyarakat. Upaya ini, menurut Randhir and Lee (1996) memerlukan kesabaran, ketelitian,
kerelaan dan secara ekonomi tidak mahal bila dikaitkan dengan keuntungannya dalam
jangka panjang. Dan peran yang dijalankan LSM lebih efektif dan tepat sasaran dibanding
yang dijalankan oleh pemerintah (Sayer, 1995).
3. Strategi dan Kebijaksanaan Pendukung (providing for science)
Sains harus memberikan sumbangan yang nyata bagi pembangunan. Untuk ini, perlu
dukungan konsepsi perencanaan dan pengelolaan ke dalam strategi dan kebijaksanaan yang
terarah dan efektif. Kebijaksanaan pengembangan sains harus mempunyai visi yang luas
mencakup dimensi ruang, waktu, dan segala perubahannya, sehingga sains dalam keadaan
apapun berfungsi sebagai ide untuk memecahkan segala permasalahan bebas dari
kepentingan lain yang berusaha mengikatnya.
Kerangka kerja kebijaksanaan didasarkan atas kajian-kajian penelitian dan
mengkomunikasikannya ke dalam kebijaksanaan pembangunan. Melalui pendekatan
analisis ekonomi, harus dapat dihitung input dan output dalam pengembangan sains.
Perhatian kepada input selama ini lebih ditujukan kepada anggaran, yang disarankan sebesar
satu persen dari pendapatan nasional (GNP), sepuluh persen di antaranya dialokasikan ke
penelitian dasar (Moravcsik, 1976). Persentase anggaran ini hendaknya secara berangsur-
angsur naik hingga tiga persen mengikuti kenaikan pendapatan nasional.
Output pengembangan sains, mungkin agak rumit pengukurannya. Tetapi yang lebih
rumit adalah mengendalikan agar manfaat sains dan pembangunan secara meluas tidak
dipengaruhi faktor eksternal. Kaitannya disini adalah dengan kondisi politik atau
kepentingan penguasa. Moravcsik (1976) meperkenalkan konsep policy within science,
yang artinya kebijaksanaan pembangunan hendaknya mampu memisahkan antara sains dan
politik. Jadi, meskipun ada persoalan politik dalam negara, kegiatan pengembangan sains
tidak akan terganggu. Sebaliknya yaitu policy with science, kondisi dimana pengembangan
sains sangat tergantung dan tidak bebas terhadap kepentingan politik. Sehingga ketika
terjadi kegoncangan politik, biasanya ikut menghancurnya sains dan produk-produk sains.
Kelembagaan lokal hendaknya dipelihara dan dimotivasi untuk meningkatkan
produktifitasnya. Mcneely (1992) menyarankan enam cara dalam rangka mengembangkan
kelembagaan lokal terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan:(1)
memberikan perhatian dan penghargaan terhadap hak (kepemilikan), pengetahuan, dan
ketrampilan lokal, (2) menetapkan nilai atau ukuran yang spesifik untuk melindungi hak-hak
lokal, (3) memberikan informasi tentang sistem lingkungan lokal, (4) mendisain dan
mengimplementasikan program-program yang bertujuan mengangkat pengetahuan lokal ke
dalam sistem pengelolaan modern, (5) mendisain proyek-proyek yang menguntungkan
masyarakat lokal, dan (6) mendisain proyek-proyek yang menguntungkan yang berasal dari
pengetahuan lokal.
Kebijaksanaan pengembangan sains hendaknya secara konsisten memberikan insentif
kepada pengembangan sains. Bentuk-bentuk penghargaan perlu diberikan kepada
masyarakat baik birokrat, pakar, maupun masyarakat yang berjasa kepada pengembangan
sains terutama yang terkait dengan pengembangan kelembagaan lokal (Eisner et al., 1995).
Sungguh bersyukur ada penghargaan di bidang lingkungan, kalpataru dan upakarti, yang
diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada masyarakat atau perorangan yang berjasa dalam
menyelamatkan sumberdaya alam.
Sementara itu, berkurangnya minat generasi pemuda kepada bidang penelitian
sangatlah disayangkan. Mereka nampaknya lebih tertarik profesi lain yang menawarkan
penghasilan yang tinggi. Hal ini sangat disadari Pemerintah Cina (Mervis and Kinoshita,
1995) untuk selalu berupaya memperbaiki kesejahteraan para penelitinya. Upaya yang
bersifat lintas sektoral perlu untuk merubah kondisi seperti ini.

KESIMPULAN
NSB harus mengejar ketertinggalannya dengan melakukan pembangunan di segala
bidang. Pengembangan sains akan mengantarkan kepada beragam pilihan-pilihan ke arah
mana kebijaksanaan pembangunan dirumuskan. Oleh karena itu, tepat kiranya untuk
menyatukan strategi pengembangan sains ke dalam pencapaian tujuan-tujuan pembangunan
nasional, dengan motivasi agar sains senantiasa menjiwai setiap pengambilan keputusan.
Objektifitas, kebenaran, dan keadilan harus dijunjung tinggi di dalam berbagai bidang
pembangunan.
Komunikasi ilmiah harus dibangun sebagai media tukar informasi bagi pelaku-pelaku
pembangunan agar saling mengisi dan melengkapi kekurangan yang ada. Komunikasi ini
didasari oleh kajian-kajian penelitian yang mampu menangkap kelembagaan lokal dan
persepsi-persepsi yang berkembang, sehingga dapat dirumuskan kebijaksanaan yang
komprehensif.
Kebijaksanaan pendukung pengembangan sains berperan sangat penting. Selain
terhadap input, perhatian hendaknya lebih ditekankan terhadap pengendalian outputnya.
Artinya pengembangan sains harus mempunyai visi yang jauh ke depan mencakup dimensi
ruang, waktu dan segala kemungkinan perubahannya. Sains harus bebas dari kepentingan
eksternal (pengaruh kekuasan dan politik) agar sains dapat mempertahankan fungsinya
sebagai ide pemecahan masalah selain bertujuan untuk menyelamatkan sains itu sendiri.
Selanjutnya, pengembangan sains harus mampu memelihara dan memotivasi kelembagaan
lokal agar produktifitasnya dapat ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Callon, M. 1994. Is science a public good? Fifth Mullins Lecture, Virginia Polytechnic
Institute, 23 March 1993. Science, Technology, & Human Value, 19(4)Autumn:395-
424.
Daly, H. 1994. Operationalizing sustainable development by investing in natural capital.
In: Goodland, R. and V. Edmunson (eds.). Environmental Assesment and
Development. World Bank, Washington, DC. 152-159.
Eisner, T., J. Lubchenco, E. O. Wilson, D. S. Wilcove and M. J. Bean. 1995. Building a
scientifically sound policy for protecting endangered species. Science, 268:1231-
1232.
Goldemberg, J. 1995. Energy needs in developing countries and sustainability. Science,
269:1058-1059.
Landsberg, H. H. 1990. Two decades of energy policy. Resources, 99(Spring):5-8.
Latif, Y. 1996. Mempersoalkan Politik Ilmu Pengetahuan. Kompas, 16 April 1996.
McNeely, J. 1992. Nature and culture: conservation needs them both. Nature & Resources,
28(3):37-43.
Mervis, J. and J. Kinoshita. 1995. Science in China, special section. Science, 270:1131-
1152.
Moravcsik, M. J. 1976. Science Development: The building of science in less developed
countries. Program for Advanced studies in institution building and technical
assistance methodology (PASITAM), MUCIA-USAID. 263p.
Randhir, T. O. and J. G. Lee. 1996. Managing local commons in developing economies: an
institutional approach. Ecological Economics, 16(1):25-34.
Sayer, J. A. 1995. Science and international nature conservation. Paper was submitted in
inaugural lecture for the Prince Bernhard Chair at the University of Utrecht, Dept.
Plant Ecology and Evolutionary Biology. March 16, 1995. PO Box 800.84, 3508 TB
Utrecht, The Netherlands. Scientific publication In: Center for International Forestry
Research (CIFOR) Occasional Paper No 4, March 1995, Bogor. 14p.
Smith III, T. P. and J. C. Tsang. 1995. Graduate education and research for economic
growth. Science, 270:48-49.
Young, M. D. 1995. Inter-generational equity, the precautionary principle and ecologically
sustainable development. Nature & Resources, 31(1):16-27.

You might also like