You are on page 1of 15

PENGUATAN KELEMBAGAAN

DALAM PENGELOLAAN DAS SOLO

Oleh : Ismatul Hakim

RINGKASAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo merupakan sumber kehidupan bagi


masyarakat di Pulau Jawa baik yang berada di bagian hulunya, bagian
tengahnya maupun bagian hilirnya. DAS Solo memberikan manfaat bagi
pengairan lahan pertanian (sawah), pemenuhan hajat hidup masyarakat
sehari-hari (mandi, cuci, kakus) bagi masyarakat pedesaan, dan bagi
pemenuhan kebutuhan industri dan jasa (air) di perkotaan. Akan tetapi kondisi
DAS Solo saat ini sudah sangat kritis sejalan dengan kemampuan daya
dukungnya sebagai penampung saluran air di musim hujan dan kekeringan di
musim kemarau. Hal ini akibat kondisi land use (penggunaan lahan) yang
sudah over capacity, sehingga mengakibatkan tingginya tingkat sedimentasi
dan erosi tanah di bagian atasnya di sepanjang aliran DAS Solo. Sehingga
pengelolaan DAS Solo harus tetap memperhatikan kondisi fisik ekosistemnya
dari hulu sampai hilir. Oleh karena itu, penanganan DAS Solo mulai dari
tahap perencanaan, pengelolaan, penggunaan lahan sekitarnya dan
monitoring-evaluasinya harus terintegrasi. Pengelolaan DAS Solo dari sisi
teknologi, management dan kelembagaannya sudah relatif lebih intensif
dibandingkan dengan DAS-DAS lainnya di tanah air, dimana sudah besar
investasi dalam bentuk proyek dan Bantuan Luar Negeri yang dikeluarkan
sejak peristiwa banjir tahun 1966 yang melanda karesiden Surakarta.

Dengan adanya desentralisasi pembangunan, maka terdapat kecenderungan


adanya tarik menarik kepentingan antara berbagai instansi yang terlibat
dalam pengelolaan DAS Solo pada setiap sektor dan tingkatan pemerintahan
(pusat dan daerah). Setelah keluarnya UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999,
pengelolaan DAS tidak memiliki payung hukum dan peraturan yang
mengaturnya. Sehingga kecenderungannya setiap sektor dan instansi bekerja
sendiri-sendiri tergantung kepentingannya, meskipun saat ini sudah ada
pembagian kerja antara instansi seperti Departemen Kehutanan, Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri (di pusat). Akan tetapi banyak
muncul permasalahan di daerah dalam kaitannya dengan batasan wilayah
administratif (propinsi dan kabupaten), sehingga perlu dikembangan sistim
kolaborasi dalam pengelolaan DAS dan sistim koordinasi yang baik antara
berbagai instansi terkait (multi-stakeholder). Oleh karena itu, kunci utama
keberhasilan dalam pengelolaan DAS Solo adalah penguatan kelembagaannya
sehingga antara instansi terkait terjadi kesepahaman, sinergitas dan
kebersamaan dalam pengelolaan DAS Solo.

Dalam kaitannya dengan kondisi kekritisan yang meningkat di banyak DAS di


seluruh tanah air, dengan mengambil contoh pengelolaan DAS Solo sudah
saatnya di tingkat pusat dibentuk Badan Khusus yang bertanggung jawab

1
dalam pengelolaan DAS yang sifatnya lintas instansi dan pada setiap tingkat
dengan menggabungkan bagian/kegiatan yang ada kaitannya dengan
Pengelolaan DAS seperti Dep. Kehutanan, Dep. Pertanian, Dep. Pekerjaan
Umum, Dep. Dalam Negeri dan Kantor Meneg Lingkungan Hidup.

Jika setiap instansi berjalan sendiri-sendiri maka masyarakat akan terkotak-


kotak, sehingga menjadi tidak berdaya. Keberhasilan kita merehabilitasi lahan
dan hutan tergantung dari sampai dimana tingkat partisipasi masyarakat
didalamnya, terutama dalam kaitannya dengan kesinambungan kegiatannya
setelah proyek selesai. Untuk itu salah satunya adalah dengan
memberdayakan potensi SDM lembaga-lembaga yang mengakar di pedesaan
seperti pondok pesantren, kelompok tani, kelompok swadaya masyarakat
(KSM) dan lain-lain.

Kata Kunci : Kelembagaan, multi-stakeholder, land use, partisipasi, Pondok


Pesantren, Kelompok Tani, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sungai (Bengawan) Solo di Pulau Jawa memiliki peranan dan
fungsi yang sangat strategis sebagai penyangga kehidupan
masyarakat di Pulau Jawa terutama bagi penduduk yang tinggal di
sekitar kawasan sepanjang aliran sungainya. Secara teknis (fisik)
Bengawan Solo berfungsi memberikan kesuburan dalam
menunjang pengairan areal sawah dan daerah pertanian di
sepanjang sungai dan memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan
sehari-hari penduduk bahkan masyarakat di perkotaan.

Semakin tinggi laju pembangunan sektoral (industri dan jasa) dan


perkotaan, semakin meningkatkan ketergantungan masyarakat
luas terhadap keberadaan Bengawan Solo. Ketergantungan
masyarakat dan tuntutan pembangunan yang demikian tinggi pada
saat ini telah menyebabkan semakin kritisnya kondisi Bengawan
Solo. Karenanya, ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo
harus semakin memperoleh perhatian khusus dari semua pihak.
Lebih-lebih setelah era Otonomi Daerah, pengelolaan DAS yang
sebelumnya hanya melibatkan beberapa instansi pemerintah saja,
saat ini harus melibatkan banyak pihak terutama Pemerintah
Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten.

Dengan adanya Otonomi Daerah, maka bentangan DAS Solo


yang hulunya ada di Kabupaten Pacitan dan bagian hilirnya ada di
Kabupaten Gresik secara administratif terbagi pada 2 (dua)

2
wilayah propinsi (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan terbagi pada
20 kabupaten, diantaranya adalah : Kabupaten-kabupaten Pacitan,
Klaten, Boyolali, Semarang, Sukoharjo, Karanganyar, Sragen,
Wonogiri, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Madiun, Blora, Tuban,
Bojonegoro, Lamongan dan Gresik. Yang menjadi masalah
utama dalam hal ini adalah seberapa jauh kepedulian dan
perhatian Pemerintah Daerah terhadap keberadaan kondisi,
peranan dan fungsi DAS bagi kehidupan masyarakat dan
kesinambungan pembangunan di daerahnya. Hal ini harus
mendapatkan perhatian semua pihak agar ekosistem DAS Solo
dapat terjaga dengan baik.

Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman para stakeholder


(pihak terkait) dalam pengelolaan DAS Solo harus ditingkatkan.
Tanpa adanya kesamaan pandangan, pengetahuan dan
pemahaman mengenai fungsi ekosistem DAS Solo, tidak
mungkin akan muncul kesadaran dari para pihak terhadap
tanggung jawab dan wewenangnya dalam pengelolaan DAS Solo.
Sementara ini masing-masing instansi masih sibuk dengan
kepentingan (proyek) sendiri-sendiri. Peran para stakeholder
terutama Balai Perencanaan dan Pengelolaan DAS (BP2DAS)
Solo di bawah Departemen Kehutanan, Balai Penyelidikan Sungai
Solo di bawah Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah
(sekarang Departemen Pekerjaan Umum), dan Badan Pengelolaan
Sumberdaya Air, Dinas Hutbun di bawah Pemerintah Propinsi
dan Pemerintah Kabupaten dalam membangun kebersamaan
sangat penting. Jika tidak ada semangat kolaborasi dan
kebersamaan dalam Pengelolaan DAS Solo maka penduduk dan
pembangunan yang sangat tergantung pada fungsi DAS solo akan
menjadi korban dari bahaya banjir, erosi dan longsor yang sering
terjadi bahkan menyebabkan biaya tinggi yang tak terduga
sebelumnya (external costs) termasuk korban jiwa yang tidak
ternilai harganya. Dalam menghadapi saat-saat musim hujan
dengan intensitas dan frekwensi yang sangat tinggi (Desember
dan Januari), maka tingkat kewaspadaan masyarakat dan para
pihak harus ditingkatkan (early warning system).

Penanganan masalah DAS semakin kurang terkoordinasi dengan


baik oleh semua pihak terkait terutama setelah ditetapkannya UU
No. 41 tahun 1999 dimana penanganan tentang DAS secara teknis

3
(sektoral) masih sentralistik (memusat), sementara secara
kewilayahan kewenangannya dibawah Pemerintah Daerah
(PEMDA). Setiap instansi memproyeksikan dan melakukan
program/kegiatan dan mengembangkan kelembagaan sendiri-
sendiri. Sehingga kecenderungannya akan membuat lahan di
sekitar DAS menjadi semakin kritis. Padahal dengan semakin
tinggi tekanan penduduk terhadap lahan serta dorongan
pembangunan industri dan jasa baik di pedesaan maupun di
perkotaan, DAS memiliki peran dan fungsi yang strategis.
Bahkan daya dukung DAS terhadap kemajuan pembangunan yang
terus berlangsung harus menjadi penentu pertimbangan lebih
lanjut atau tidaknya sebuah proyek.

Hingga saat ini belum disadari bahwa dengan kondisi koordinasi


penanganan dan kelembagaan DAS seperti ini, DAS hanya akan
menjadi tempat pembuangan sampah pembangunan industri dan
perkotaan serta keberlanjutan pembangunan (suatainable
development) akan terancam. DAS sudah merupakan salah satu
elemen utama jati diri bangsa yang harus dipertahankan yang
posisinya sama dengan aspek kemanusiaan. Aspek kemanusiaan
dan lingkungan sangat terkait satu sama lain sebagai elemen
pokok dalam mempertahankan jati diri bangsa.

B. Maksud dan Tujuan

Tulisan ini bermaksud untuk mengemukakan berbagai


permasalahan yang menyelimuti DAS Solo baik dari sisi ekologi,
tehnik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Sedangkan tujuan
pertama adalah untuk menimbulkan sinergitas antara semua
stakeholder terkait dalam pengelolaan DAS Solo agar secara
bersama-sama mengaktualisasikan sistem, pola dan kelembagaan
pengelolaan DAS Solo sehingga memberikan manfaat positif
(langsung dan tidak langsung) kepada masyarakat luas. Tujuan
kedua untuk mengkondisikan masyarakat agar menjadi kekuatan
utama (subyek) dalam pengelolaan DAS Solo. Tujuan ketiga
adalah untuk memberikan masukan kebijakan kepada pemerintah
(eksekutif dan legislatif) di pusat dan daerah dalam menangani
pengelolaan DAS di berbagai daerah yang kondisinya semakin
kritis terutama dalam kaitannya dengan kelembagaan, kebijakan
multi-sektoral dan program/langkah yang tepat.

4
II. DESKRIPSI KERANGKA ANALISIS
PERMASALAHAN

Setelah dihapuskannya Undang Undang Pokok (UUPK)


Kehutanan No. 10 tahun 1967, Daerah Aliran Sungai (DAS)
sudah tidak lagi menjadi dasar dalam perencanaan dan
pengelolaan hutan di Indonesia. Hal ini berarti secara aturan
hukum dan wewenang, tugas pengelolaan DAS sudah berada di
luar konteks hamparan ekosistem lahan. Hanya saja karena sudah
ada dan sejak lama menjadi pekerjaan di sektor (Departemen)
Kehutanan, maka secara de fakto DAS masih saja menjadi
pekerjaan utama di Departemen Kehutanan.

Demikian pula di Departemen Pekerjaan Umum terdapat


Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Sumber Daya Air yang
memiliki lembaga khusus yang bertugas menyelediki
permasalahan Sungai seperti di DAS Solo. Belum lagi dengan
telah diundangkannya UU Sumber Daya Air Tahun 2004.
Pengelolaan hutan, tanah (lahan) dan air menjadi kurang
terkoordinir dengan baik. Bahkan dengan adanya tuntutan
demokrasi dan desentralisasi pembangunan maka secara fisik
DAS menjadi terbagi-bagi kedalam urusan-urusan administratif
dan birokrasi, sehingga integrasi dan sinkronisasi pekerjaan di
lapangan sulit dilaksanakan. Akhirnya program, kegiatan dan
kelembagaan dalam pengelolaan DAS di lapangan berjalan secara
sendiri-sendiri, dan masyarakat menjadi terfragmentasi kedalam
pekerjaan-pekerjaan dengan instansi dan orang yang berbeda.

Akhirnya terbangun pemahaman bahwa pelaksanaan program dan


kegiatan di lapangan hanya sekedar untuk menghabiskan proyek
saja. Hasilnya tidak pernah terasa dan tidak ada. Masyarakat
sekedar menjadi obyek, sehingga tidak meningkat
kesejahteraannya, dan tidak terjadi alih ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan reboisasi
dalam rangka pengelolaan DAS.

5
Kegiatan rehabilitasi lahan dan reboisasi seperti GERHAN harus
dapat membangkitkan kesadaran masyarakat dan penguatan
kelembagannya, sehingga terbentuk simpul-simpul kekuatan
kelembagaan yang menjadi penggerak kegiatan GERHAN.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui
tahapan-tahapan pengembangan kesadaran masyarakat,
pemberdayaan masyarakat, kajian pedesaan partisipatif dan
penguatan kelembagaannya. Tulisan ini merupakan bentuk kajian
(tinjauan) terhadap DAS Solo yang sudah dikelola secara intensif
oleh semua pihak, akan tetapi masih saja terdapat kekuarangan
dalam hal kolaborasi dan koordinasi antara stakeholder dan
penguatan kelembagan masyarakat. DAS Solo juga sangat
penting bagi masyarakat di pulau Jawa sebagai sumber
kehidupannya.

III. PENGELOLAAN DAS SOLO SECARA MULTI-PIHAK

Pedoman dalam pengelolaan DAS Solo hingga saat ini masih


menggunakan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
(Pola RLKT) dan Rencana Teknik Lapangan untuk Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT), dimana pedoman
tersebut menjadi pedoman perencanaan dalam pengelolaan DAS
Solo. Dengan adanya Otonomi Daerah maka seharusnya Pola dan
RTL tersebut sudah menjadi dasar pelaksanaan program RLKT
bagi Dinas-dinas terkait di sepanjang DAS Solo, meskipun data
dan informasi didalamnya harus disempurnakan disana sini (di-
update) terutama kaitannya dengan tata guna lahan (land use
change).

Setiap instansi seperti Dinas Kehutanan, Perhutani, Kimpraswil


(PU), Pengelola Sumber Daya Air dan lainnya di setiap
Kabupaten baik yang berada di bagian hulu, bagian tengah dan
bagian hilir DAS Solo harus memahami secara mendalam
mengenai Pola dan RTL. Dengan demikian dalam tahap
perencanaan, pengelolaan dan monitoring/evaluasinya antara
berbagai pihak terkait dalam pengelolaan DAS dapat terintegrasi.
Untuk merealisasikannya, masing-masing Dinas Kehutanan di
tingkat kabupaten sebaiknya mengajukan usulan/rencana kegiatan
rehabilitasi lahan dan konservasi tanah kepada BPDAS Solo.

6
Sebagai konsekwensinya, pembinaan dan bimbingan teknis dari
BPDAS harus semakin ditingkatkan mutu dan jumlahnya. Setiap
Dinas di tingkat kabupaten harus dapat menjalin kerjasama dan
koordinasi yang baik dengan pihak BPDAS sebagai unsur
perencana dalam pengelolaan DAS Solo

Hal ini telah dirintis sejak lama oleh Dinas Kehutanan Kabupaten
Wonogiri. Dimulai dengan adanya proyek WFP-FAO dalam
rangka mengatasi bahaya banjir besar yang melanda kota
Surakarta dan sekitarnya pada tahun 1966 yang merupakan banjir
yang terbesar di DAS Solo. Guna menekan bahaya tersebut, maka
pada tahun 1978 – 1981 dibangun Bendungan Serbaguna
Wonogiri yang dikenal dengan nama Waduk Gajah Mungkur.
Karena laju sedimentasi yang cukup besar serta berdampak pada
umur ekonomis bendungan, maka sejak tahun 1987 dilakukan
penanganan daerah tangkapan air waduk melalui kegiatan Proyek
Perlindungan DAS Solo Hulu (Wonogiri) yang mendapatkan
Bantuan Bank Dunia (Loan Agreement No. 2930 IND) dan
berakhir pada tahun 1992.

Naik turunnya Tinggi Muka Air (TMA) dan naik turunnya


endapan sedimen didalam waduk menjadi ukuran (indikator)
tingkat kekritisan ekosistem di sekitar waduk terutama daerah
anak sungai (Sub-DAS) yang menjadi sumber penangkapan
airnya. Luas wilayah Daerah Tangkapan air (DTA) Waduk Gajah
Mungkur adalah 134.650 ha, yang terdiri atas genangan waduk
seluas 13.636 ha dan selebihnya seluas 121.014 ha berupa lahan
sawah, tegal, hutan dan lain-lain. DTA Waduk Gajah Mungkur
meliputi 6 Sub-DAS yaitu : Sub-DAS Wuryantoro (7.333 ha),
Sub-DAS Alang Unggahan (23.728 ha), Sub DAS Solo Hulu
(19.976 ha), Sub DAS Temon (6.753 ha), Sub DAS Wiroko
(20.580 ha) dan Sub DAS Keduang (42.644 ha).

Jika koordinasi antara para pihak di lingkup instansi Departemen


Kehutanan berjalan dengan baik, maka koordinasi dengan pihak
lain seperti Departemen (Pusat)/Dinas Kimpraswil di daerah
kabupaten (Balai Penyelidikan Sungai dan Badan Pengelolaan
Sumber Daya air) akan lebih mudah dilaksanakan. Oleh karena
itu, jalinan koordinasi antara para pihak dalam pengelolaan DAS
Solo merupakan prioritas utama. Meskipun telah ada pembagian

7
tugas dan fungsi antara pihak kehutanan dengan kimpraswil
terutama dalam kegiatan sipil teknis (kapasitas volume atau daya
tampung air prasarana penampungan air seperti embung, sumur
resapan atau waduk atau Stasiun Pengamat Arus Sungai/SPAS)
akan tetapi dibutuhkan koordinasi baik dalam perencanaan,
pengelolaan dan monitoring.

Dengan adanya koordinasi maka kebutuhan mengenai jumlah,


mutu kemampuan dan penyebaran sarana dan prasarana dalam
kegiatan rehabilitasi lahan akan terkendali dengan baik, terutama
jika daya tampung terhadap luapan air yang rendah akan
menyebabkan banjir. Saat ini sudah terdapat sekitar 30
bendungan/check dam di Satuan Wilayah Sungai (SWS)
Bengawan Solo yang dikelola PU Pengairan Cabang Dinas dan
Badan Pengelola Sumber Daya Air di kabupaten-kabupaten.

Bahkan saat ini Proyek Bengawan Solo (PBS) sedang menjajagi


kerjasama di bidang kajian dengan Japan International
Cooperation Agency (JICA) dalam rangka pengembangan
rehabilitasi lahan di SWS Bengawan Solo. Dalam kajian ini JICA
banyak memperoleh data teknis lapangan dari BPPDAS Solo.
Daya tampung bendungan, chekdam, embung dan sumur resapan
yang sudah ada tersebut harus dikaji kemampuan daya tampung
air dan kondisi fisiknya secara cermat agar dapat berfungsi
dengan baik.

Integrasi satuan sistem DAS dan pendekatan wilayah administrasi


(kabupaten/kota) merupakan paradigma baru yang akan
diintroduksikan dalam membangun sistem monitoring dan
evaluasi pengelolaan DAS. Gagasan ini muncul ketika PUSPICS
(Centre For Remote Sensing and Integrated Survey)-Universitas
Gajah Mada (UGM) membahas tentang metoda pengelolaan DAS
yang belum selesai dan adanya beberapa aktivitas dalam
pengelolaan DAS yang perlu dievaluasi secara benar antara Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo.

Pertimbangan utama dalam mendukung gagasan integrasi tersebut


adalah pemantapan sistem DAS dan satuan wilayah administrasi
kabupaten/kota sebagai satuan pengelolaan, sehingga masing-
masing memahami arti pentingnya DAS dan model

8
pengelolannya. Hal ini dianggap penting karena dalam
menghadapi program Otonomi Daerah, Pemerintah daerah
(PEMDA) perlu diberikan rambu-rambu dalam pengelolaan
sumber daya alam daerah. Pertimbangan lain disamping
bertujuan melestarikan fungsi lingkungan biofisik alami dan
binaan terhadap kerusakan lingkungan, juga agar sumber daya
alam daerah dapat berkelanjutan. Sebagai contoh adalah dalam
membangun Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) dalam rangka
monitoring kondisi fisik teknis (lahan) dan sosial ekonomi di
suatu daerah sepanjang aliran sungai diperlukan adanya
kesepahaman terhadap fungsi dan manfaatnya.

Konsep dasar yang digunakan dalam penentuan lokasi SPAS


adalah sistem kinerja DAS yang sangat dipengaruhi oleh unsur
biofisik dan unsur sosial ekonomi masyarakat. Kedua unsur
tersebut dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh karakteristik
ekosistem DAS. DAS membentuk tatanan kesatuan ekosistem
secara utuh dan didalamnya terjadi tumpang tindih antara
komponen biofisik dan komponen sosial ekonomi. Dinamika
aktivitas kegiatan manusia yang berlangsung didalam DAS perlu
dilakukan pemantauan dan evaluasi menggunakan model sistem
pemantauan dan evaluasi yang sederhana, namun mudah dalam
pelaksanaannya. Model sederhana yang digunakan untuk
memantau dan menilai kinerja DAS adalah model penelusuran
proses yang bekerja didalam DAS sesuai dengan karakteristik
biofisik sistem DAS nya. Asumsi yang digunakan bahwa setiap
satuan wilayah DAS mempunyai kemampuan atau potensi
biofisik tertentu yang justru menjadi ciri khasnya.

Terdapat 32 lokasi Sub-DAS dalam 16 wilayah kabupaten/kota


yang mendapatkan prioritas di sepanjang aliran DAS Solo. Dari
16 wilayah kabupaten/kota paling tidak pada tahun pertama dan
kedua harus memperioritaskan pada 16 Sub DAS di 16 wilayah
kabupaten tersebut.

Melihat sulitnya melakukan koordinasi antara para pihak dalam


pengelolaan DAS Solo, maka kondisi teknis-fisik lapangan dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di sepanjang DAS
Solo jauh lebih penting. Hal ini karena biaya koordinasi biasanya
jauh lebih mahal dan banyak memakan energi. Karena itu

9
membangun kesejahteraan dan kesiapan masyarakat harus
menjadi prioritas utama, terutama melalui pengembangan upaya-
upaya konservasi yang bersifat vegetatif melalui pengembangan
hutan rakyat, usahatani konservasi dan agroforestri yang lokal
spesifik.

IV. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN


PENGUATAN
KELEMBAGAAN

Jumlah penduduk yang bermukim di wilayah bengawan Solo


tidak termasuk Kota Surabaya diperkirakan sebesar 15,37 juta
jiwa pada tahun 1998, atau sebesar 7,5 % dari total penduduk
Indonesia atau 13 % dari jumlah penduduk Pulau Jawa. Selama
kurun waktu 20 tahun (1980 – 1998) jumlah penduduk meningkat
sebesar 1,92 juta jiwa (14,3%). Kepadatan penduduk paling
tinggi pada tahun 1998 adalah 1.037 orang/km2 di Sub DAS
Bengawan Solo Hulu. Hal ini disebabkan beberapa kabupaten
dan kota Surakarta mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi
yaitu di Kabupaten Sukoharjo 1.560 orang/km2, Kabupaten
Klaten 1.883 orang/km2 dan Kota Surakarta 11.955 orang/km2.

Mengacu pada data statistik tentang penggunaan lahan di wilayah


ini dapat diketahui bahwa 1.070.000 ha (54 % dari luas
keseluruhan) telah diolah untuk kegiatan usahatani, terdiri atas
650.000 ha (33 %) untuk sawah dan 42.000 ha (21 %) untuk
usaha pertanian lahan kering (tanaman palawija). Sejak awal
1970-an tidak terdapat perluasan areal lahan pertanian yang
drastis di DAS Solo. Di wilayah ini sawah yang mendapat
pelayanan irigasi mencapai 70 % dari luas total persawahan. Di
dalam Sub DAS Bengawan Solo Hulu dan Bengawan Madiun
pelayanan irigasi mencapai 85 % areal persawahan yang ada. Hal
ini tampak merupakan hasil pengembangan irigasi yang paling
maksimal. Sedangkan untuk Sub DAS Bengawan Solo Hilir dan
Daerah Pantai Utara pelayanan irigasinya masih rendah, yaitu
masing-masing kurang dari 60 % dan 45 % serta total luas areal
persawahan tadah hujan 124.000 ha. Walaupun di wilayah DAS
Solo menunjukkan kecenderungan sektor pertaniannya masih
tetap menduduki posisi yang tinggi (28,7 % pada tahun 1998),
sebaliknya sektor industri perkembangannya mengalami

10
hambatan (21,7 % pada tahun 1998) dibandingkan dengan
keseluruhan Indonesia maupun Propinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur sendiri.

Peranan sektor lain di luar kehutanan di tingkat masyarakat sangat


menentukan keberhasilan rehabilitasi lahan dan hutan. Di daerah
yang masyarakatnya sangat miskin dan banyak yang menganggur,
biasanya banyak menyebabkan lahan kritis. Keberhasilan di
Wonogiri yang masyarakatnya mampu menghijaukan lahannya
(hutan rakyat), karena anggota masyarakat usia kerja justru
bekerja di sektor lain seperti usaha menjual jamu, bakso,
membuat tahu tempe, menjual tongseng dan lain-lain. Menurut
Hakim (1995), Hutan Rakyat di Kabupaten Wonogiri terdiri dari
Hutan Rakyat hasil Proyek Inpres Penghijauan seluas 6.538 ha,
Hutan Rakyat hasil dari dana Loan IBRD (1989 – 1993) seluas
4.500 ha dan hutan Rakyat Swadaya (1976 – 1993) seluas 2.121
ha. Saat ini Hutan Rakyat Swadaya di Kabupaten sudah
berkembang lebih jauh seperti yang terjadi di kelurahan Selopuro
yang dimulai oleh masyarakat setempat pada tahun 1968 dan pada
tahun 1994 sudah mencapai luasan 161 ha (Anonim, 1994).
Hutan Rakyat Selopuro bahkan saat ini telah mendapatkan
sertifikat dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).

Hutan rakyat bagi masyarakat sudah berfungsi sebagai tabungan


masa depan (deposito) keluarga. Tingginya tabungan masyarakat
yang dihimpun dari sektor lain tersebut mendorong
berkembangnya investasi dalam bentuk penanaman lahan dengan
jenis-jenis pohon bernilai ekonomi seperti jati, sengon, mahoni
dan lain-lain. Dengan demikian pendekatan rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah kepada masyarakat bisa dilakukan secara
langsung maupun secara tidak langsung yaitu melalui sektor
usaha lain yang bisa dikembangkan mengikuti kemampuan dan
potensi usaha masyarakat setempat. Dalam hal ini diperlukan
kajian lebih jauh.

Dari hasil tinjauan diatas, nampak bahwa peta permasalahan pada


pihak lembaga pemerintah dalam kaitannya dengan pengelolaan
DAS Solo masih cukup rumit sehingga membutuhkan waktu dan
biaya yang besar untuk sampai kepada pengintegrasian antara
pihak pemerintah dengan masyarakat di tingkat grassroot yang

11
seringkali menjadi korban dari bahaya meluapnya air pada saat
curah hujan yang sangat tinggi, berupa bahaya banjir dan tanah
longsor yang menyebabkan banyaknya sawah yang puso dan
kerugian lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya terobosan-
terobosan dari pihak-pihak terkait terutama dari PEMDA dan
BPDAS Solo, Dinas Kehutanan, Perhutani, Balai Teknologi
Pengelolaan DAS untuk membangun kelembagaan yang kuat.
Dengan demikian, kelemahan dalam pengembangan kegiatan
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah selama ini adalah tidak
atau belum adanya kelembagaan yang kuat di tingkat bawah yang
menjadi ujung tombak keberhasilan di lapangan.

Program GERHAN atau apapun namanya seperti penghijauan,


reboisasi ataupun sengonisasi sangat bergantung pada kondisi
kelembagaan yang dapat diandalkan untuk menanganinya.
Daripada membuat kelembagaan baru yang berarti ada ekstra
biaya,lebih baik memanfaatkan lembaga-lembaga lokal yang ada
seperti pondok pesantren dan kelompok tani. Lembaga-lembaga
tersebut kemudian diperkuat melalui program pemberdayaannya
dan memperkuat potensi Sumber Daya Manusia (SDM)nya.

Saat ini sudah ada sebuah forum yang melibatkan semua kekuatan
masyarakat di sepanjang DAS Bengawan Solo, yang bernama
Forum Peduli DAS Solo. Forum ini telah mempunyai cabang di
semua kabupaten di sepanjang DAS Solo yang dipimpin oleh Sri
Widodo (Ketua HKTI Kabupaten Sragen). Anggotanya adalah
para pimpinan Kelompok Usahatani Mandiri (KUNTUM)
dibawah binaan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)
yang saat ini sedang mencoba membangun kembali kekuatan
petani di tingkat akar rumput. Dan mungkin saja masih terdapat
lembaga masyarakat lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk
memperkuat dan memperlancar program-program RLKT.

Demikian pula program yang pernah dikembangkan oleh Menteri


Kehutanan Dr. Muslimin Nasution dapat dilanjutkan lagi dengan
memberdayakan lembaga-lembaga lokal seperti Pondok
Pesantren, bekerjasama dengan Robithoh Al-Maahidil Islamiyah
(Nahdlatul Ulama) dan Kelompok Tani yang ada. Semangat
membangan kelembagaan dalam rehabilitasi lahan pada saat ini
belum mampu melihat potensi dan kemampuan kelembagaan

12
yang ada. Pendekatan masih berorientasi struktural, target,
output, statis dan monologis yang membutuhkan waktu cepat
serta belum mampu membangun kelembagaan secara social
kultural dari bawah yang berorientasi proses, dinamika,
perubahan tata nilai dan norma, outcome, dinamis dan berjangka
panjang (Syahyuti, 2003). Akan tetapi pengembangan ini harus
dirancang dalam jangka panjang agar terjadi tranformasi iptek di
bidang konservasi dan lingkungan dari Pemerintah kepada
masyarakat. Lembaga-lembaga ini dapat diberdayakan melalui
program-program yang terarah dan terpadu.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Program Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah atau


penanganan lahan kritis di sepanjang (ekosistem) DAS
memerlukan gerakan spontan masyarakat untuk bersedia
menghijaukan kembali areal-areal yang rusak dengan jenis-jenis
pohon dan pola tanam yang sesuai dengan kondisi lahannya
(kemiringannya, jenis tanahnya, iklim, curah hujannya, dll)
dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa
masyarakat lebih memahami lingkungannya sendiri.

Pendekatan yang dilakukan bisa secara langsung melalui sektor


pengelolaan lahan maupun secara tidak langsung melalui sektor
lainnya tergantung kondisi masyarakat setempat. Penguatan
kelembagaan masyarakat dalam penanganan lahan kritis akan
lebih memberikan makna unggul kepada mereka, dengan
memberikan ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang tehnik-
tehnik pembibitan, penanaman pohon-pohon (dan pola
tanamnya), konservasi tanah dan rehabilitasi lahan/hutan kepada
masyarakat.

2. Semua pihak mulai dari perencana, pengelola dan pemantau


(monitoring dan evaluasi) dalam pengelolaan DAS Solo mulai
dari hulu, tengah dan hilirnya harus semakin meningkatkan
kebersamaan dalam menangani DAS Solo bersama-sama dengan
masyarakat. Dengan pendekatan yang semakin transparan,
terbuka, profesional, terarah dan objektif kepada masyarakat

13
maka program GERHAN yang dicanangkan oleh Departemen
Kehutanan akan mampu meningkatkan kelestarian hutan dan
lahan di masa mendatang. Dengan pendekatan yang mengena
kepada masyarakat maka DAS Solo akan kembali menjadi
sumber kehidupan masyarakat, bukan sumber bencana di masa
mendatang.

A. Saran dan Tindak Lanjut

Dengan konsep pemikiran diatas diharapkan menjadi pemicu


semua pihak dalam upaya pengelolaan DAS di suatu tempat
bahwa DAS mempunyai peranan strategis dalam pembangunan
bangsa ke depan akan tetapi dapat membahayakan karena sejak
diundangkannya UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan DAS di
setiap tempat menjadi kurang focus dan termarginalkan oleh
kepentingan pembangunan, ekonomi, industri dan perkotaan
termasuk penebangan hutan (illegal) yang tetap semarak.
Demikian kompleksnya permasalahan DAS di setiap tempat
terutama DAS Solo sebagai sungai terpanjang di Pulau Jawa,
DAS Ciliwung (Jawa Barat), DAS Berantas (Jawa Timur), DAS
Kampar (Riau) dll, sehingga sudah saatnya untuk menyarankan
kepada Pemerintah Pusat atau Pimpinan Nasional agar
membentuk Badan Pengelolaan DAS Nasional yang melibatkan
Departemen terkait seperti Departemen Kehutanan, Departemen
Kimpraswil, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri
dan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai bentuk
kepeduliannya terhadap pentingnya air dan tanah bagi kehidupan
dan pentingnya lahan bagi pembangunan.

Tanpa perhatian dan kepedulian terhadap DAS, maka hanya


menambah besarnya kekuatan bom waktu bagi bencana
kemanusiaan di masa mendatang. Semoga sekelumit pemikiran
tentang penanganan DAS Solo yang telah memakan dana dan
energi begitu besar ini dapat menjadi pelajaran berharga agar
lebih serius dalam menangani DAS yang umumnya sudah rusak.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1994. Kegiatan Kelompok Tani Desa Selopuro


Kecamatan Batuwarno sebagai Penyelamat Lingkungan Hidup.
Dinas Kehutanan Kabupaten Wonogiri. Wonogiri.
Anonim, 2002. Laporan Akhir Kajian Keberhasilan
Penanganan Catchment Waduk Gajah Mungkur Eks Bantuan
Bank Dunia (Buku 1). Program Studi Ilmu Lingkungan. Program
Pasca Sarja Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Anonim, 2002. Pemantauan Dan Evaluasi Pengolahan
Daerah Alirang Sungai Solo (Laporan Akhir). BPDAS Solo,
Direktorat Jenderal RLPS bekerjasama dengan PUSPICS
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Anonim, 2004. Data-data Teknis Bendungan/Check Dam
Di SWS Bengawan Solo. Balai Penyelidikan Sungai Solo.
Departemen Kimpraswil. Surakarta.
Hakim, I, 1995. Laporan Studi Dinamisasi Kelompok
Tani Hutan Rakyat Selopuro DAS Solo Hulu Kabupaten
Wonogiri. Proyek Penelitian dan pengembangan Teknologi
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kawasan Barat Indonesia.
Surakarta.
Syahyuti, 2003. Bedak Konsep Kelembagaan : strategi
Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian.
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanin. Bogor. Bogor.

15

You might also like