You are on page 1of 8

RAMADHAN SEPANJANG TAHUN

"Sekiranya umatku mengetahui keutamaan-keutamaan yang ada di bulan


Ramadhan, niscaya mereka menghendaki agar sepanjang tahun adalah
bulan Ramadhan" (HR Ibnu Majah)

Waktu terus berputar. Hari, minggu, bulan dan tahun datang dan
pergi silih berganti. Semuanya tetap berjalan seiring sunnatullah
yang telah ditetapkan-Nya, tanpa ada seorangpun yang dapat
menghentikan walau sesaat. Dan jika sudah tiba waktunya, bulan
Ramadhan pun pasti berlalu.

Ramadhan akan berlalu untuk kembali menyapa hamba yang masih


ditakdirkan Allah untuk berjumpa dengannya setahun kemudian.
Ramadhan akan berlalu untuk meninggalkan hamba yang telah
Allah tetapkan ajalnya sebelum menemui Ramadhan selanjutnya.

Momen perpisahan selalu menjadi saat-saat yang paling berarti,


apalagi jika perpisahan terjadi dengan sesuatu atau seseorang yang
dikasihi. Bagi sebagian besar hamba, berpisah dengan Ramadhan
amatlah memberatkan hati. Ketika harus berpisah dengan siangnya
yang begitu indah dengan beragam amal kebajikannya. Tatkala
harus berpisah dengan malamnya yang begitu harum semerbak
dengan hembusan-hembusan nafas ibadah demi mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta.

Bagi hamba-hamba seperti mereka, tidaklah mudah untuk berpisah


dengan momen dan saat-saat seperti itu. Di saat mayoritas muslim
berbahagia dan bersuka cita menjelang satu Syawal, ada sebagian
yang berlinang air mata. Bukan karena tidak ikut berbahagia
menyambut hari raya Idul Fitri, namun lebih karena kesedihan
tatkala harus berpisah dengan bulan suci.

Mereka itulah hamba yang dimaksud dalam hadits Nabi di atas.


Merekalah hamba-hamba yang berharap agar semua bulan dalam
tahun Hijriah adalah Ramadhan.

Cinderamata Ramadhan

Bulan suci Ramadhan adalah salah satu anugerah terbesar yang


diberikan Allah kepada para hamba-Nya. Pemanfaatan seorang
hamba atas setiap detik interaksinya dengan bulan Ramadhan
dalam bentuk ibadah kepada-Nya dan amal kebajikan terhadap
sesama akan membuahkan hasil. Jika dilakukan secara tulus ikhlas
dan dijalankan dalam batas-batas aturan tertentu, Ramadhan akan
menjelma menjadi ladang buah yang siap dipetik dan dipanen.

Lebih penting dari itu, Ramadhan adalah ajang dan momen


penggemblengan mental dan spiritual seorang muslim. Ramadhan
diproyeksikan untuk membekali seorang hamba dengan segudang
amunisi untuk persiapan menghadapi pertempuran yang baru akan
dimulai setelah Ramadhan berakhir. Musuh utama yang akan
dihadapi adalah hawa nafsu dan syaitan yang selama Ramadhan
tersisihkan.

Berbahagialah setiap hamba yang telah melatih lisannya pada bulan


suci ini untuk berpuasa dari bergunjing dan dari ucapan kotor.
Beruntunglah mereka yang telah melatih pandangannya untuk
berpuasa dari melihat yang diharamkan. Berbahagia para hamba
yang terlatih menahan pendengarannya dari ucapan-ucapan yang
dilarang, dari mendengar ghibah, namimah dan sejenisnya.
Beruntung mereka yang melatih perutnya untuk berpuasa dari
memakan riba dan yang diharamkan.

Berbahagialah hamba-hamba yang menahan laparnya dan dapat


menyadari serta ikut merasakan kelaparan saudara-saudaranya baik
di bulan Ramadhan maupun di bulan-bulan lainnya. Berbahagialah
setiap hamba yang dapat berbagi kebahagiaan dengan sesama
lewat uluran zakat dan sedekah. Beruntunglah mereka yang telah
membekali diri dengan sikap peduli dan empati yang dilatih
sepanjang Ramadhan.

Walaupun gemblengan di bulan ini terasa berat pada tingkat


individu, namun pada tingkat kolektif justru membawa banyak hal
positif. Setiap muslim pada bulan Ramadhan sama-sama dapat
menyaksikan dan merasakan kebangkitan rohani. Suasana yang
sebelumnya "biasa-biasa" saja, berubah menjadi lebih religius dan
penuh dengan semangat ibadah.

Ibadah puasa dapat membawa pengaruh positif bagi kejiwaan


seorang hamba. Rasa lapar, haus serta usaha untuk mengekang
hawa nafsu yang dapat membatalkan puasa merupakan
pembelajaran yang efektif untuk dapat mengendalikan diri terutama
untuk sebelas bulan selanjutnya.

Dalam bulan Ramadhan juga seluruh potensi umat disatukan. Umat


Islam berlomba-lomba untuk berbuat sebanyak mungkin amal
kebajikan. Baik dengan cara memperbanyak ibadah dan sedekah,
maupun amalan positif lain. Semua potensi tenaga, waktu dan
pikiran umat Islam pada bulan ini terfokus pada amalan-amalan
positif. Pada bulan ini hampir tidak ada kesempatan sedikitpun
untuk pengalokasian seluruh potensi tersebut dalam hal-hal negatif
dan sia-sia.

Dan bukan hanya potensi umat saja yang bersatu dalam bulan ini.
Pada realitasnya dapat disaksikan bagaimana umat Islam berkumpul
diberbagai tempat untuk melaksanakan aktivitas keislamannya
secara serentak dan kolektif. Mulai dari berbuka puasa bersama,
usaha pelaksanaaan salat wajib dan salat tarawih berjamaah dan
puncaknya adalah saat umat Islam berbondong-bondong
menghadiri salat Idul Fitri baik di lapangan ataupun di masjid.
Semuanya dilakukan dengan semangat persatuan dan
kebersamaan.

Namun semua itu bukanlah tujuan akhir dari semua aktivitas ibadah
dan amal kebajikan di bulan Ramadhan. Akhir atau puncak
pencapaian seorang hamba dari segala gemblengan dan
pembekalan dalam bulan Ramadhan tadi tidak lain adalah takwa.
Muara akhir dari pengendalian diri dan hawa nafsu, olah spiritual,
penyucian diri serta peduli dan empati adalah ketakwaan kepada
Sang Rabbul ‘Izzati.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa. (Al-Baqarah: 183)

Ketakwaan seorang muslim inilah cinderamata yang ditinggalkan


Ramadhan baginya. Cinderamata ini dimaksudkan sebagai bekal
dan modal awal dalam menjalani hari-hari selama sebelas bulan
setelah Ramadhan.

Hamba yang bertakwa adalah orang yang senantiasa berhati-hati


dan memiliki kepekaan perasaan. Ia selalu merasakan adanya
pengawasan kapan dan dimanapun dirinya berada. Baik saat sendiri
maupun kala berada di keramaian. Baik di bulan Ramadhan maupun
dalam bulan-bulan lainnya.

Di saat ketakwaan telah menjadi pribadi seorang hamba, ia akan


merasa sendiri dalam keramaian dan merasa ramai dalam
kesendirian. Dengan kata lain saat ramai orang luput dari
mengingat Penciptanya, dirinya tetap ingat dan merasakan
pengawasan-Nya. Begitupun sebaliknya, dikala sedang sendiri
hatinya tetap merasakan keramaian sebab Sang Pencipta selalu
bersamanya.

Inilah hakikat takwa yang dapat diraih dari proses interaksi seorang
hamba dengan dirinya, dengan sesama dan khususnya dengan
Rabbnya selama bulan suci ini. Adakah cinderamata yang lebih baik
dari takwa yang dapat ditinggalkan Ramadhan kepada seorang
hamba?

Melestarikan Spirit Ramadhan

Hari-hari Ramadhan boleh saja berlalu, namun hendaknya tidak


begitu dengan semangat yang ditinggalkannya. Sedapat mungkin
spirit dan segala nilai positif yang telah seorang hamba latih dan
praktekkan selama bulan suci itu tetap terbawa dan
terimplementasikan dalam aktivitas kesehariannya di luar
Ramadhan.

Kebanyakan orang setelah beberapa hari berlalunya Ramadhan


segera membereskan perkara duniawinya yang mungkin sempat
mengalami hambatan disebabkan faktor kondisi dan aktivitas di
bulan Ramadhan.

Sayangnya banyak di antara mereka yang ketika kembali


bercengkrama dengan urusan duniawinya segera mencurahkan
segenap potensinya untuk hal-hal tersebut. Potensi spiritual yang
telah diolah selama Ramadhan sedikit demi sedikit semakin pudar
dan meredup. Yang sangat menyedihkan tidak sedikit di antara
mereka yang kembali terjerumus ke lembah kemaksiatan.

Demi melestarikan spirit Ramadhan dan mempertahankannya,


seorang hamba hendaklah memiliki sikap istiqomah. Istiqomah
sendiri terdiri atas beberapa unsur yang membangunnya, antara
lain; sifat konsisten, komitmen, daya tahan uji serta fokus dalam
menjalankan sesuatu atau menggapai sebuah tujuan.

Dalam setiap hari sedikitnya 17 kali seorang hamba diharuskan


memohon doa kepada Allah agar diberikan sikap istiqomah ini. Baik
disadari atau tidak dalam setiap rakaat shalat fardlu terlantun
panjatan doa ini:
‫اهدنا الصراط الستقيم‬
Tunjukkan kami (Ya Allah) jalan yang lurus (Al-Fatihah: 6)

Kata ‘lurus’ dalam ayat di atas berarti istiqomah. Lurus dalam ayat
tersebut menggambarkan konsistensi, tanpa pernah melenceng
atau berbelok. Lurus pada ayat di atas berarti komitmen dan fokus
dalam menggapai tujuan dan maksud.

Istiqomah memang bukan sesuatu yang mudah diraih. Maka wajar


jika setiap hari minimal 17 kali seorang hamba memohon untuk
tetap diberikan sikap ini. Dalam suasana kondusif di bulan
Ramadhan setiap hambapun dilatih untuk beristiqomah dalam
menjalankan setiap ibadah dan amal kebajikan serta menjauhi
segala larangan dan mengendalikan hawa nafsunya.

Ada beberapa kiat yang bisa dilaksanakan seorang hamba agar


dapat tetap istiqomah melestarikan spirit Ramadhan, khususnya
kualitas ketakwaan yang telah diraih, dan mentransfernya dalam
hari-hari di bulan lainnya. Hal ini tidak lain agar seorang hamba
tidak kembali ke jalan kemaksiatan, kefasikan, kesesatan, kegelapan
dan melepaskan ketakwaannya kepada Allah setelah Ramadhan
berlalu.
Menjadikan Ramadhan sebagai titik tolak

Menjadikan bulan Ramadhan sebagai titik tolak perjuangan selama


setahun, dan bukan sebagai tujuan akhir, akan membantu
melestarikan spiritualitas Ramadhan tetap membara. Karena
Ramadhan adalah bulan perubahan menuju hal-hal positif.
Ramadhan adalah momen pembekalan mental dan spiritual.

Aspek-aspek yang dilatih dalam Ramadhan mulai dari keteraturan


dan ketepatan waktu, keseimbangan antara suplemen jasmani dan
rohani, kesabaran, muhasabah hingga kepekaan sosial, semuanya
adalah modal awal menghadapi perjalan panjang.

Layaknya ahli hukum atau politikus yang harus mengenyam


pendidikan dan pembekalan sebelum terjun ke bidangnya masing-
masing. Menjadi sangat tidak logis ketika semua pendidikan dan
bekal yang telah diterimanya tidak dipergunakan saat menjalani
profesinya tersebut.

Begitupun dengan kehidupan seorang muslim setelah Ramadhan.


Semua bekal, nilai dan takwa yang telah didapat selama Ramadhan
selayaknya diaplikasikan dan dipraktekkan secara
berkesinambungan dalam kehidupan kesehariannya, bukan untuk
dilupakan dan ditinggalkan begitu saja.

Memerangi syaitan

Seseorang pergi dan terkucilkan dengan datangnya Ramadhan.


Dialah syaitan. Namun segera setelah Ramadhan berlalu syaitan
akan kembali untuk mendekati setiap insan dan menjerumuskannya
ke lembah kenistaan.

Syaitan adalah musuh yang seringkali luput dari perhatian atau


bahkan tidak diperhitungkan sama sekali. Padahal jelas sudah
sejauh mana permusuhan syaitan terhadap manusia dan apa yang
ia inginkan darinya.

Satu hal yang manusia bisa pelajari dari syaitan adalah betapa
telitinya ia merencanakan setiap strategi untuk membuat manusia
berbuat dosa dan lalai akan Tuhannya. Betapa konsisten dan
istiqomahnya syaitan dalam mencapai tujuannya, yaitu
menjerumuskan sebanyak mungkin manusia ke dalam neraka.

Sungguh sebuah aib jika manusia, apalagi yang baru saja berpisah
dengan Ramadhan, tidak mengetahui akan hal ini. Sudah
seharusnya syaitan diperangi dan bukan malah dijadikan kawan
sejati. Sudah seharusnya manusia belajar untuk merencanakan
strategi yang matang untuk mengenyahkan syaitan dan bisikan-
bisikannya dari hati mereka masing-masing.

Terdapat dua momen di mana syaitan menggandakan upayanya


untuk menjerumuskan manusia. Pertama di bulan Sya’ban sebelum
Ramadhan, dan kedua di bulan Syawwal setelah Ramadhan berlalu.
Pada bulan Sya’ban syaitan berusaha sekuat tenaga agar manusia
melakukan sebanyak mungkin dosa. Hal ini agar manusia
terpengaruh dengan kebiasaan berbuat dosa ketika ia telah
memasuki Ramadhan. Hingga ketika manusia tersebut gagal meraih
nilai-nilai Ramadhan, syaitan kembali dengan mudah
menjerumuskannya ke dosa yang lain di bulan Syawwal. Banyak
manusia yang luput dari strategi syaitan ini.

Untuk itu Rasulullah SAW telah menyarankan umatnya untuk


berpuasa sunnah di bulan-bulan Sya’ban dan Syawwal. Hal ini tidak
lain merupakan strategi tandingan atas langkah-langkah syaitan.

Pada bulan Sya’ban setiap muslim disarankan untuk berpuasa


beberapa hari demi membiasakan jiwa sebelum memasuki
Ramadhan dan memerangi syaitan di bulan tersebut. Pada bulan
Syawwal Rasul juga memerintahkan untuk berpuasa pada beberapa
harinya. Bahkan beliau menjanjikan ganjaran puasa satu tahun bagi
yang berpuasa enam hari bulan Syawwal. Di samping itu, puasa
enam hari Syawwal juga merupakan salah satu langkah memerangi
syaitan di bulan tersebut.

Langkah lain untuk memerangi syaitan adalah melestarikan


ketaatan terhadap Allah minimal dalam seminggu setelah
Ramadhan. Dengan begitu syaitan akan menyadari bahwa keadaan
hamba tersebut lebih baik dari sebelum Ramadhan.

Mempertahankan tekad dan menjaga kualitas takwa

Suatu hal yang menggembirakan hati di bulan Ramadhan adalah


saat melihat mushalla dan masjid penuh dengan hamba yang
bersujud. Di sana-sini terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an atau
panjatan do’a. Semuanya penuh dengan energi spiritualitas yang
menyejukkan hati.

Namun fenomena tersebut perlahan menghilang ketika Ramadhan


berakhir. Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa syaitan
mulai bergerilya sejak fajar bulan Syawwal menyingsing.
Dan fenomena tersebut adalah dampak tidak langsung darinya.
Banyak orang yang mulai mengakhirkan sholat. Mushaf-mushaf Al-
Qur’an kembali menghiasi rak-rak buku, tak tersentuh bahkan
berdebu.

Lima hal sedikitnya yang bisa dilakukan setelah Ramadhan berlalu


untuk menghindari meluasnya fenomena di atas.

Hal pertama adalah memastikan untuk mendirikan sholat lima


waktu secara berjama’ah, khususnya di shubuh hari. Sedapat
mungkin sholat berjama’ah dilakukan di dalam masjid. Kalau hal itu
belum bisa dilakukan, setidaknya menjaga untuk mendirikan sholat
tepat di awal waktunya.

Hal kedua dengan tetap membaca Al-Qur’an al-Karim. Jika seorang


manusia termasuk orang yang penuh aktivitas dalam kehidupan
kesehariannya, membaca satu atau dua juz Al-Qur’an sebagaimana
dalam Ramadhan adalah hal yang sulit. Namun hendaknya seorang
muslim menjaga tadarus Al-Qur’an setiap harinya, sedikit apapun
itu walau hanya satu halaman. Sedikit namun konsisten, itulah yang
terbaik dari sesuatu.

Hal ketiga adalah dzikir dan mengingat Allah. Yaitu dengan tetap
membaca do’a dan dzikir-dzikir di pagi dan petang hari, mulai dari
do’a bangun tidur, sebelum makan, bercermin, keluar dari rumah
hingga kembali dan berdo’a lagi sebelum tidur.

Yang keempat berkawan dengan hamba yang sholih. Mencari dan


memilih sahabat atau kawan sholih dalam mendampingi kegiatan
keseharian akan membantu melestarikan ketaatan dan ketakwaan
seorang hamba. Seorang kawan yang sholih senantiasa mengajak
kepada kebaikan dan selalu mengingatkan di kala kawannya
melakukan kemaksiatan.

Yang kelima adalah senantiasa memanjatkan do’a kepada Sang


Pencipta. Banyak ayat dan hadits yang memberitahukan tentang
keutamaan do’a dan menyarankan manusia untuk
memperbanyaknya. Allah telah menjamin bahwa Ia akan menjawab
dan mengabulkan do’a hambanya, terlebih hamba-hamba yang
dekat kepada-Nya.

Bahkan Allah SWT murka kepada setiap hamba yang tidak pernah
memanjatkan do’a kepada-Nya, seakan ia sudah tidak memerlukan
Rahmat dari-Nya lagi. Setiap manusia pasti membutuhkan
pertolongan Tuhannya. Maka sudah selayaknya seorang manusia
mengalokasikan sedikit dari waktunya dalam sehari untuk berdo’a
kepada-Nya, walau sekedar dua atau tiga menit. Berdo’a untuk
ditetapkan atau ditambahkan kadar ketaatan dan ketakwaannya.
Demikian beberapa langkah dan kiat yang bisa dilaksanakan setelah
Ramadhan. Setelah sebulan berpuasa dengan segala aktivitas
ibadah yang penuh dengan spiritualitas dan penyucian diri, seorang
hamba akan lahir menjadi manusia baru, yakni manusia yang lebih
mengedepankan perilaku religi sekaligus merawat moralitas.
Manusia baru ini tidak membedakan antara sebelas bulan pasca
Ramadhan dan Ramadhan itu sendiri. Spirit Ramadhan terus
membimbingnya pada sebelas bulan lainnya. Baginya Ramadhan
tetap ada di sepanjang tahun.

Rabat, 21082009

[Mursalin]

You might also like