Professional Documents
Culture Documents
http://www.loker4uang.com
www.ilmuseksislam.com/?id=nunu
2004: 272), system symbol mendahului system berpikir, sebab pada dasarnya
pikiran pun mesti didekonstruksi, sehingga system symbol, termasuk symbol suku
primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di satu pihak, symbol tidak seragam,
dengan struktur dan istitusi soaial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada
ruang dan waktu tertentu, e) manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan
dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos,
sejarah, hokum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam
kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayan yang dihasilkan oleh manusia,
Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat negara-
hal ini antropologi sastra ada kaitannya dengan studi orientalis. Atas dasar
Dalam ruang lingkup regional dan nasional, jelas antropologi sastra perlu
dibina dan dikembangkan. Polemik kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh
imajinasi. Tetapi perlu diketahui justru dalam daya imajinasi itulah nilai-nilai
antropologis ‘dipermain-mainkan’. Selebihnya, disitulah letak lokus penelitian
antropologi sastra.
dalam ilmu sastra. Sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini pendekatan
antropologi sastra pertama kali muncul tahun 1977 (payatos, 1988: xi-xv) melalui
dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: a) baik sastra maupun antropologi
mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos. Aspek yang
memberikan intensitas pada sastra dan teori sastra. Perbedaannya, sosiologi sastra
sedangkan karya sastra dengan masyarakat kompleks menarik dari segi sosiologi
sastra.
penelitian yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam kaitannya dengan mitos. Levi-
Strauss juga memanfaatkan konsep oposisi biner, tabu, dan incest dalam rangka
antropologi yang didasarkan atas model linguistik jelas menandai hubungan yang
antropologi sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara histories,
cirri-ciri arketipe masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama,
seperti telah disinggung di atas, melalui psikologi analitik Jung, kedua melalui
seperti mitos, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra. Tradisi yang
kedua, menelusuri pola-pola elemental mitos dan ritual yang pada umumnya
terkandung dalam legenda dan seremoni. Dalam karya sastra, gejala ini tampak
Sebagai kualitas ketaksadaran, citra arketipe tidak mesti dianggap sebagai gejala
kreativitas.
lainnya, arketipe tampil sebagai salah satu kecenderungan dasar manusia untuk
jejak masa lampau, khususnya insting. Jelas citra arketipe juga memiliki kaitan
kata-kata dan kalimat ke dalam citra kata-kata dan kalimat sehingga secara terus
menerus tercipta dunia yang baru seolah-olah dilihat untuk pertama kali.
Sastrawan memiliki kebebasan sesuai dengan hokum-hukum imajinatif fiksional,
tertentu dalam karya sastra, seperti konsep Faust dan Arjuna yang mendasari
perbedaan antara jiwa Barat dan Timur sebagaimana diintroduksi oleh Sanusi
kongret Sutardji Calzoum Bachri, cerita-cerita pendek magis Danarto juga diduga
memiliki dimensi-dimensi antropologis yang kaya. Mitos Nyi Roro Kidul apabila
bahasa dalam bahasa Bali dibicarakan melalui studi antropologis dalam kaitannya
struktur karya sastra, antropologi sebagai karya seni sehingga karya sastra
dideteksi melalui latar, seperti latar masyarakat Dayak, Tengger, Irian Jaya, Sunda
dan sebagainya. Sama seperti sosiologi sastra dan psikologi sastra, antropologi
dipahami terpisah dari gejala yang lain. Sastra adalah bagian integral kebudayaa,
jelas telah menceritakan keberadaan berbagai suku, ras agama, dan adat-istiadat.
Dengan membaca karya sastra dapat dipahami kebudayaan Sunda, Jawa, Bali, dan
berbagai macam kebudayaan dengan ruang lingkup yang lebih kecil, demikian
seterusnya.
sastra yang dimaksudkan adalah karya sastra itu sendiri, dengan memanfaatkan
teori dan data antropologi. Sebuah puisi yang menggunakan kata-kata arkhais,
seperti ‘Cerita Buat Dien Tamaela” (Chairil Anwar), tidak secara langsung dilepas
dan dihubungkan dengan cirri-ciri kebudayaan tertentu, sebab cara ini semata-
mata menempatkan karya sastra sebagai unsure sekunder. Kata-kata arkhais telah
menjadi karya sastra, sebagai roh, sebagai antropologi, bukan sastra. Kata-kata
arkhais dibicarakan dalam sastra itu sendiri yang justru nantinya akan
antropologi sastra memiliki relevansi dengan sastra warna local, jenis karya yang
selama ini belum banyak menarik minat, khususnya sebagai sastra kreatif.
khasanah karya sastra regional. Pada saat mencipta, baik secara langsung maupun
tidak langsung, baik sebagai kualitas bentuk maupun isi, pengarang menampilkan
ketaksadaran antropologis.