Professional Documents
Culture Documents
Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal
pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,
justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga
bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi
suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian
benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada
kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang
diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons
terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan
relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas
realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi
realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan
relevansi pemikiran yang diresponinya.
Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa
harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan
umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di
dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar
jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya
yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan
berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata
i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang
hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada
Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.
TIGA KRITIK
TAWARAN ALTERNATIF
Sebenarnya, nama asli Imam Asy'ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy'ari. [3] Panggilan akrabnya Abu
al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M
[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat
di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.
CATATAN
2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail
Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa
al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an
Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,
1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat
juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,
1969, h. 3
14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31
15.Ibid., h. 34
18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35
25.Al-Asy'ari, Ibid, h. 13
27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16
29.Ibid., h. 101
30.Ibid
31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71
34.Ibid.
36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76
37.Ibid., h. 70
38.Ibid., h. 72
39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51
40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57
41.Ibid, h. 41
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang
tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin
menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka
peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu
golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis
kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk
itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.
Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada
"Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama
itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan
demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia
dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau
teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena
itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah
gambaran berikut:
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan
menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada
Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu
datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di
suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai
kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari
Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi
dan Ibn Sina.
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari
dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta
uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia'
mengatakan pula,
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya
berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda
yang berlainan.
Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,
menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada
pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan
kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian
akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka
dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah
meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan
kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti
tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada
kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
ASAL-USUL TASAWUF
PENGALAMAN SUFI
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar
setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya.
Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya
tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia
disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin
besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap
daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat
rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan
ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang
berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya,
tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan
esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan
aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya
berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.
Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
(5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan
mengutamakan orang lain di kala berada.
(7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah
atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah.
(8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena
mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan
harapannya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat
lepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Sebab sesungguhnya
akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat Kitab
Suci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyak
perkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalaman
Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannya
menampilkan sosok Nabi yang berkeprlbadian mulia. Dari
pengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilham
tentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaran
peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh,
dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang
dapat kita renungkan maknanya di sini:
Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam.
Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak
pula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimu
daripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu
yatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimu
bingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimu
miskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta,
janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmat
karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11)
[Tulisan Arab]
[Tulisan Arab]
CATATAN
Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk
al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar
sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn
Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin
Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti ini
berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika
beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan
hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah.
Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar
di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.
Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar
merujuk selain al-Qur'an? Ketika mereka ingin mengetahui
cara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau
menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan
Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab,
mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu
mereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintu
ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat
perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membuka
pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada
kedua konsep itu.
Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam hitungan Ibnu Hajar
al-Asqalani (lihat Fath al-Bari 8:576). Yang menarik kita
bukanlah apa yang dibuang Bukhari, tetapi "perang hadits"
antara dua orang sahabat --Marwan ibn Hakam dan 'Aisyah. Yang
pertama menyebutkan, asbab al-nuzul ayat al-Ahqaf itu
berkenaan dengan 'Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang kedua
menegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu turun
berkenaan dengan orang lain. 'Aisyah malah menegaskan dengan
hadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknat
Allah dan Rasul-Nya.
III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (3/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat
PENUTUP.