You are on page 1of 92

III.11.

TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (1/2)


oleh Masdar F. Mas'udi

Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal


ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw
sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau,
dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti
diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal
dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat
ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan
sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya
adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar"
landasannya adalah "realitas kehidupan."

Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam


sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan
pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama,
bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat
nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial,
adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya
yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam konteks
sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam
hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti,
amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh
realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada
suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab
akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab
akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau
dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang
demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai
berikut.

Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal
pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,
justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga
bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi
suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian
benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada
kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang
diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons
terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan
relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas
realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi
realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan
relevansi pemikiran yang diresponinya.

Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran,


dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitas
teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas
yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang
kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang
dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang
satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi.
Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran
benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada
realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu,
bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal
pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan
terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang
bersifat teoritis).

Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak


keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas
hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya
pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu
saja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan
pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan
sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit
yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.
Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung
bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis.

PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH

Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqh


atau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir
Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola
keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisa
dipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelas
berangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selalu
diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad
pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat
signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataan
bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh
jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana
satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain,
tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini
yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra,
"cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa
Parsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dan
keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam
benak masing-masing.

Dengan kedua perkembangan itulah muncul


pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang
Islam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesama
Muslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnya
bertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau
kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.
Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di
akhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka.
Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi,
faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan
Tuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amal
perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini
muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani
yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan
umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya
dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar
"rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus.

Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah


para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan
jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang
shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun
harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas
masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak
dan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masing
jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri
sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij,
Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah,
Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalah
bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman
pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai
satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah.

Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan


selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110
H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan
para muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru
pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya
seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah
termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang
luar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yang
terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu
adalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukan
dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok
(komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuai
dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini
diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.
Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa
besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan
dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat
nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat
Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya:
menangguhkan).

Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa
harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan
umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di
dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar
jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya
yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan
berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata
i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang
hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada
Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.

Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini


banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan
tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni
teologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah
benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri
diantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan
aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan
bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri
bertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah,
manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di
kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l
wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa
dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan
sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau
ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.
III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (2/2)
oleh Masdar F. Mas'udi

Mu'tazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mata


ditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnya
sendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhan
harus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk dan
harus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dan
sebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harus
bertindak yang terbaik bagi manusia.

Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggungjawab itu,


pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkan
dirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikan
Tuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio atau
nalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yang
mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalam
menentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa
'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa pun
juga, diluar diri manusia sendiri.

Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliran


pemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkan
otoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yang
oleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhan
doktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu?
Tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengan
tesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnya
Mu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesama
makhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yang
dapat mendikte manusia.

Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut erat


kaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan"
yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secara
harfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barang
baru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya.
Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi baru
karena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih)
Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisit
tersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an). Sifat-sifat
atau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatu
yang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memiliki
perbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan itu
qadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifat
yang dikenakan kepadaNya, adalah hadits. Dengan menarik
postulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salah
satu sifat-Nya (al-kalam) yang hadits dengan demikian juga
berkapasitas hadits, maka diciptakan (makhluq).

TIGA KRITIK

Adalah al-Asy'ari (w. 330 H/942 M), menurut catatan sejarah


yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsep
teologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu. Konon, pada suatu
ketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya,
al-Jubba'iy, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka pada
zamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yang
sama-sama masuk sorga karena imannya. Tapi, sesuai dengan
keadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang mati
dewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibanding
kedudukan si anak. Mengapa harus begitu? Tanya Asy'ari.
Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang si
anak belum, jawab Jubbaiy. Kenapa harus terjadi si anak
tidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikan
seperti temannya yang dewasa? Kejar Asy'ari. Tuhan tahu,
jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusia
durhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untuk
manusia, kilah Jubbaiy. Kalau begitu, kejar Asy'ari lebih
lanjut, bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalam
neraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketika
masih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka?

Yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiy


kehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy,
Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukung
argumentasinya. Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah)
dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhan
menurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga dengan
logika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada di
atas batas-batas manusia tadi.

Kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepada


Mu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnya
sebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harus
diterima semua pihak. Sesungguhnyalah kritik ini tidak saja
mengena pada Mu'tazilah, tapi juga pada semua aliran teologi
yang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanya
bedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenaran
tunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedang
lawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itu
melalui huruf-huruf naqal. Yang tersebut terakhir ini dengan
sangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yang
mengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855
M).

Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarah


pemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yang
benar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lain
sebagai kafir, syirk, murtad dan sejenisnya hanya lantaran
pendapat yang berbeda.

Untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindak


lanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yang
merisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya.
Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telah
melancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerima
doktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapa
saja yang mencoba menolaknya. Tragedi teologis ini dikenal
dengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan
dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahan
yang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya.

Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnya


Mu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritis
bahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yang
digelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagi
umat pada umumnya. (Kritik ini pun mengena pada aliran
teologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa).
Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip ajaran
yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan"
suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu,
terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yang
dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar
keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang
dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis)
yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian. Dan
dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan
umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan
dengan rejim yang berkuasa untuk melakukan tindak
sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.

TAWARAN ALTERNATIF

Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" seperti


tersebut di atas, maka bagi saya, sistem pemikiran teologis
atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah
yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah.
(Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya
"teologi populis," atau "teologi kerakyatan"). Sehingga
kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal
keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan
Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang
menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."

Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan (seperti


Mu'tazilah maupun lawan-lawannya) yang mengabdi kepada
kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan
yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu
kita kembangkan ini. Tapi kalau dialektika teologi yang
mengabdi doktrin itu berwatak retorik (dialektika yang
terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu
doktrin dengan doktrin yang lain), maka dialektika teologi
baru itu bersifat empiris (dialektika yang terjadi dari
proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan
pesan-pesan universal). Dilihat dari sudut muaranya, beda
antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan
dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut
pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian
realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang
yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara
realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.
Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk
dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak
substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat
terbuka. Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika
empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai
realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang
berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang
terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi
dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis,
sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang
selama ini seperti cenderung terpisah.
III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (1/3)
SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH
oleh Zainun Kamal

Paham teologi Asy'ari termasuk paham teologi tradisional,


yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang
menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang
leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu'tazilah
dan Salafiyah, tetapi "benang merah" sebagai jalan tengah
yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak
Mu'tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali
lagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang
bertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1]

Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy'ari lebih baik


memaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas.
Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakang
pemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksi
zaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy'ari juga
tidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri.

Sebenarnya, nama asli Imam Asy'ari adalah Ali Ibn Ismail [2]
-keluarga Abu Musa al-Asy'ari. [3] Panggilan akrabnya Abu
al-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M
[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafat
di Baghdad pada tahun 324 H./935 M.

Abu al-Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca,


menulis dan menghafal al-Qur'an dalam asuhan orang tuanya,
yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsir
dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah
al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, Abdur Rahman
Ibn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar Fiqih
Syafi'i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340
H./951 M.) -seorang tokoh Mu'tazilah di Bashrah. Sampai umur
empat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba'i, serta
ikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran
Mu'tazilah. [9]

Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasan


al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Untuk hal
ini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebab
meninggalkan atau keluar dari Mu'tazilah. Sebab klasik yang
biasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karena
terjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaran
pokok Mu'tazilah, yaitu masalah "keadilan Tuhan." Mu'tazilah
berpendapat, "semua perbuatan Tuhan tidak kosong dari
manfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu,
kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mesti
menghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatan
manusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa 'l-Ashlah. [10]

Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:


Al-Asy'ari (A) - Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tiga
orang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalam
bertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalam
keadaan masih kecil.

Aldubba'i (J) - yang taqwa mendapat terbaik; yang kafir


masuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka.

A - Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih


baik di Sorga, mungkinkah?

J - Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan


jalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecil
belum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya.

A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukan


salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan
mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang
taqwa itu.

J - Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu,


jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan
engkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah - Red) matikan
engkau adalah untuk kemaslahatanmu.

A - Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, "Ya Tuhanku


Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa
depannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku?

Al-Jubba'i menjawab, "Engkau gila, (dalam riwayat lain


dikatakan, bahwa Al-Jubba'i hanya terdiam dan tidak
menjawab). [11]

Dalam percakapan di atas, al-Jubba'i, jagoan Mu'tazilah itu,


tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan oleh
al-Asy'ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuah
ilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy'ari sendiri untuk
memperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orang
Mu'tazilah.

Bagi Mu'tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukan


protes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuai
dengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang di
sana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengan
tempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakan
bahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab,
tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat dengan
orang-orang yang taqwa.

Di alam akhirat, menurut Mu'tazilah, tidak ada lagi


perdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudah
mendapati al-Wa'ad wa al-Wa'id. Dia sudah menepati janji.
Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, dan
jika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaan
masih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, maka
bagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena Tuhan
Maha Suci dari penganiayaan. [12]
Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhan
lebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidak
menghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir sama
artinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendiri
sudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal dan
petunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkan
Tuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka ia
dianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidak
rasional.

Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkan


ajaran-ajaran Mu'tazilah karena pernah bermimpi melihat
Rasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi pada
bulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpi
kedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggal
tigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlan
itu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslah
yang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.
[15]

Diriwayatkan bahwa al-Asy'ari sebelum mengambil keputusan


untuk keluar dari Mu'tazilah, ia mengisolir diri di rumahnya
selama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalu
naik mimbar dan menyampaikan:

"Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur'an adalah makhluk; Allah


swt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmin
di akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan saya
sendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Saya
lemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana saya
lemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluar
dari kekejian dan skandal Mu'tazilah." [16]

Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atas


dengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kita
ungkapkan sebab yang mendorong al-Asy'ari meninggalkan faham
Mu'tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis dan
ketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal,
sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali di
kemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasi
kesamaan yang sangat mirip.

Al-Asy'ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajar


pada Mu'tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantas
menyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali,
sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliran
al-Asy'ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasa
tidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy'ari memakai
ungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerang
Mu'tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat,
penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazali
menyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golongan
bid'ah dan kufur. Al-Asy'ari melakukan sanggahan terhadap
Mu'tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliran
Mu'tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yang
bernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan
aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuah
buku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya dengan
al-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam,
kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalam
sebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu,
baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsuf
dengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafut
al-Falasifah (kesalahan para filsuf).

Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masa


al-Asy'ari adalah para tokoh Mu'tazilah, karena itu
sanggahannya tertuju langsung pada Mu'tazilah. Sementara
para filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasional
Mu'tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadap
aliran al-Asy'ari harus dengan tegas pula melakukan
sanggahan terhadap filsuf.

Pemikiran al-Asy'ari yang asli baru dapat diketahui setelah


ia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu'tazilah dan
pengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmad
bin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasari
penyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, ia
hanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk oleh
nash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulis
dalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalah
sebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur'an.
[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yang
tidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akan
mengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yang
sakral dianggap suatu bid'ah. Setiap dogma harus dipercayai
tanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa.

Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauh


al-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah dan
keikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahui
ajaran-ajaran al-Asy'ari, kita dapat melihat pada
kitab-kitab yang ditulisnya, terutama:

1.Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama


dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber
yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
Buku ini terdiri -dari tiga bagian:

a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam


b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan
c.Beberapa persoalan ilmu Kalam.

2.Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang


kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya
terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam
buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu'tazilah.

3.Kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala ahl al-Zaigh wa al-bida',


berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa
persoalan ilmu Kalam.

Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang


terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma'. Yang
pertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalam
arti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu'tazilah.
Sedangkan buku kedua (al-Luma'), peranan akal lebih tinggi
dalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjuran
kembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmu
kalam. [19]

Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy'ari pada kitabnya


al-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluar
dari Mu'tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalam
rangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi,
sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadap
Mu'tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedang
dihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, ini
dapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikan
teman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh,
maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuh
itu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnya
terhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanah
mencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya,
menampakkan sikap bencinya terhadap Mu'tazilah lebih nyata.
Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulis
langsung setelah al-Asy'ari meninggalkan faham Mu'tazilah.
III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (2/3)
SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH
oleh Zainun Kamal

Lain halnya dengan kitabnya al-Luma', yang ditulis setelah


kitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.
Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy'ari
dengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnya
sendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma',
argumentasi rasional al-Asy'ari menonjol kembali dalam
memahami nash-nash agama dan terlihat interpretasi
metaforisnya (ta'wil). Kecenderungannya pada metode kaum
Mu'tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolak
paham teologi al-Asy'ari.

Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikap


al-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapi
kenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalam
kajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yang
dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk ke
dalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, dan
berputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdaya
lagi untuk keluar.

Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah barang tentu al-Asy'ari


berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan
sendiri merupakan pengetahuan ('Ilm). Yang benar, Tuhan itu
mengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,
bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengan
sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar dan
melihat. [20]

Disini terlihat, al-Asy'ari menetapkan sifat kepada Tuhan


seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup
berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah,
sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.
Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa
sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu
hati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan
makhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, "Siapa yang
tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi
"Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku," lalu ia langsung
mengatakan, wajib dipotong tangannya." [21]

Lain halnya dengan al-Asy'ari, baginya arti sifat tidak jauh


berbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagi
al-Asy'ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat,
dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy'ari yang
seperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dari
paradoks. [22]

Bagi Mu'tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidak


mempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yang
mengetahui ('Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan
('Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nya
sendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untuk
memahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakan
yang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)
bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya,
menafsirkan kelemahan Allah. [23]

Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy'ari yang


lain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,
al-Asy'ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidak
dapat dilihat, kata al-Asy'ari, hanyalah yang tak punya
wujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, dan
oleh karena itu dapat dilihat. [24]

Argumen al-Qur'an yang dimajukannya antara lain,


"Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepada
Allah" (QS. al-Qiyamah: 22-23).

Menurut al-Asy'ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisa


berarti memikirkan seperti pendapat Mu'tazilah, karena
akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti
menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang
menunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak ada
penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat
kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti
berarti melihat dengan mata kepala. [25]

Sungguhpun al-Asy'ari berpendapat, bahwa orang-orang mukmin


nanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala,
namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi
menghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhan
itu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,
tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan
kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan
bagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapat
dilihat nanti di akhirat, maka al-Asy'ari memerlukan pula
untuk menafsirkan atau menta'wilkan ayat yang berikut ini:

Artinya: "Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi ia


dapat mengangkat penglihatannya." (al-An'am: 103) Ayat
tersebut di atas diartikan oleh al-Asy'ari, bahwa yang
dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan
bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihat
Tuhan di akhirat bagi orang kafir. [27]

Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakan


sebagian dari pemikiran al-Asy'ari tentang tauhid. Sekarang
kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengaja
dirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasan
tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,
sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq
dengan makhluknya.

Al-Asy'ari, seperti Mu'tazilah, meyakini bahwa Allah adalah


Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kita
mewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak faham
al-Shalah wa al-Ashlah Mu'tazilah, artinya, Tuhan wajib
mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan
manusia. Allah, kata al-Asy'ari, bebas memperbuat apa yang
kehendaki-Nya. [28]

Al-Asy'ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan


kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya "menempatkan
sesuatu pada tempat yang sebenarnya," yaitu seseorang
mempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya serta
mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]
Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy'ari, kalau Tuhan
memasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasuk
orang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhan
bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam
neraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut
pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan
karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum,
maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
[31]

Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,


dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap
makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari
kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, atau
memasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklah
berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.
[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan
hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.

Paham keadilan al-Asy'ari ini mirip dengan paham sebagian


umat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sang
raja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untuk
membunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan,
bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum,
dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada
undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum itu
adalah bikinannya sendiri.

Dari asumsi itu, kemudian al-Asy'ari menganalogikan bahwa


Allah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuat
sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun
yang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenai
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun di
akhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,
baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang
akan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti
seorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiaya
seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggup
menentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy'ari, selalu
digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya
dan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaan
absolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, maka
paham al-Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham
Jabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).
Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendak
dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakai
istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia
dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentang
faham kasb ini, al-Asy'ari memberi penjelasan yang sulit
ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia
dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap
bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,
dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif
dalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy'ari, adalah
sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan
perantaraan daya yang diciptakan. [36]

Melihat kepada pengertian, "sesuatu yang timbul dari yang


berbuat" mengandung atas perbuatannya. Tetapi keterangan
bahwa "kasb itu adalah ciptaan Tuhan" menghilangkan arti
keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif
dalam perbuatan-perbuatannya.

Argumen yang dimajukan oleh al-Asy'ari tentang diciptakannya


kasb oleh Tuhan adalah ayat:

"Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu." (QS.


al-Shaffat 37:96)

Jadi dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia


adalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent)
bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari,
sebenarnya adalah Tuhan sendiri.

Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,


dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak dan
daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'ari
menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin
dikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki
sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinya
niscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan:

"Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki" (QS.


al-Insan 76:30).

Ayat ini diartikan oleh al-Asy'ari bahwa manusia tak bisa


menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia
supaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung arti
bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan,
dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak
lain dari kehendak Tuhan.

Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalam


perbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan
Tuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki
dan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).
Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.
Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti dua
orang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampu
mengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidak
mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu
besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuat
tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu
tidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.
Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya daya
Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat
sebagai pembuat. [43]
III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (3/3)
SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH
oleh Zainun Kamal

Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam paham


al-Asy'ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya,
daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh
dan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialah
daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau
tidak disokong oleh daya Tuhan.

Karena manusia dalam teori kasb al-Asy'ari tidak mempunyai


pengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahli
menilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkan
Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai,
sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution juga
berpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy'ari
kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya
Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan
bukan perbuatan manusia. [46]

Ibn Taimiyyah menilai al-Asy'ari telah gagal dengan konsep


kasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah dengan
Jabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nya
al-Asy'ari itu telah membawa para pengikutnya berfaham
Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya
kemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yang
sudah kita uraikan di atas, al-Asy'ari menegaskan bahwa kasb
manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkan
perbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah
menilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy'ari itu tidak
masuk akal. [46]

PENGARUH KALAM AL-ASY'ARI

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologi


al-Asy'ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yang
lemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaat
berhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Allah.

Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dan


kultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakat
Islam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selalu
berkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untuk
menghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidak
perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebab
undang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri.

Karena teologi al-Asy'ari didirikan atas kerangka landasan


yang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yang
lemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu ia
dengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran.

Kunci keberhasilan teologi al-Asy'ari ialah karena sejak


awal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya - umat
Islam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni.
Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan
ajaran-ajaran Mu'tazilah.

Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy'ari telah berhasil


menarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campur
tangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir ini
membatalkan aliran Mu'tazilah sebagai paham resmi pada waktu
itu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy'ari pada tahun 935M.
Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain,
al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliran
itu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umat
Islam menganutnya sampai detik ini.

Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologi


al-Asy'ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnya
terhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logis
dari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengan
demikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi aliran
dari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, paham
al-Asy'ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruh
negatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiran
rasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiran
rasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umat
Islam selama berabad-abad.

Karena akal manusia, menurut al-Asy'ari, mempunyai daya yang


lemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai
ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma,
tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni,
yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti lain
dari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.
Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapat
mengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapat
merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat
kemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, Sayeed
Ameer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islam
sekarang ini salah satu sebabnya karena formalisme
al-Asy'ari. [49]

Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatan


manusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan makna
pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, dan
lebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak mau
bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwa
terowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari faham
Fatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendak
Tuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawab
atasnya.

Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, seperti


rezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikan
manusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri dan
merubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkan
takdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yang
terjadi.

Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambil


bahwa faham teologi al-Asy'ari mempunyai basis yang kuat
pada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam cara
hidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapi
teologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapan
perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru.

CATATAN

1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir,


tahun 1976, h. 46

2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail
Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa
al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an
Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir,
1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat
juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir,
1969, h. 3

3.Abu Musa al-Asy'ari adalah salah seorang sahabat


Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali
Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan
Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy'ari,
Mesir, 1973 h. 60
4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10

5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun


lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52
270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303
(dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung
menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari
Mu'tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu
itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali
Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam,
Iskandariyah, 1980, h. 310

6.Hamuddh, Al-Asy'ari, hal. 60

7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29

8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h.


36

9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain


al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93

10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu'tazilah. Bairut, 1974, h. 102

11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah,


h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm
al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy'ari, h.65

12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h.


159.

13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan


perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu'tazilah, dapat
dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah
al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165

14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31

15.Ibid., h. 34

16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II,


Iskandiyah, h. 41

17.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-Ibanah'an Ushul al-Dinayah,


Mesir,1397 H. H.8

18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35

19.Hasan Mahmud al-Asy'ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa


Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38

20.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Kitab al-Luma' Fi al-Rad'ala ahl


al-Zaigh wa al-Bida', Kairo, 1965, h. 30

21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz


M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104
22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50

23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51

24.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani,


Al-Mihal I, h. 100

25.Al-Asy'ari, Ibid, h. 13

26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour,

27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16

28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113

29.Ibid., h. 101

30.Ibid

31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71

32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167

33.Mahmud Kasim, h. 168

34.Ibid.

35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah,


Kairo, tt., h.205

36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76

37.Ibid., h. 70

38.Ibid., h. 72

39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51

40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57

41.Ibid, h. 41

42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut,


1971, h. 562

43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut,


1981, h. 133-134

44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205

45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h.


112

46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17

47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34


48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h.
472 473.
III.13. FILSAFAT ISLAM (1/3)
oleh Harun Nasution

Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang


Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.
Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar
Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di
daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran
antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk
setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah
pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama
Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta
Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.

Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke


daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan
Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta
Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,
dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai
dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama
dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan
ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat
untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula
terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.

Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang
tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin
menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka
peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu
golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis
kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk
itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.
Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam


teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri
dari teologi rasional ini ialah:

1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka


tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu
yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil
arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan
arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil
dalam memahami wahyu.

2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang


kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia
dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil,
mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam
kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara
mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham
qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah
free-will and free-act, yang membawa kepada konsep
manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
maupun pemikiran.

3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan


konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada
keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam
al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur
perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu
dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan


kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir
serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi
juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.

Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M)


satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas
mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada
pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang
yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga
menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.
Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan
agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai
argumen-argumen rasional.

Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada
"Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama
itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan
demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia
dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau
teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena
itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.

Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha


memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau
kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada
di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya
konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di
luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat
(kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah
benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting
adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).
Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah
jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,
(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk jenis.
Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan
filsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi
konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan,
Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya
yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan
terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti
banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi
esa, hanya berhubungan dengan yang esa.

Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi


(al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir
tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau
energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya
yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang
diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.

Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah
gambaran berikut:

Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.


Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.

Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan


Akal.

Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di


zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri
atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan
diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah
malaikat.

Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat


emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang
banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui
Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya
sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.

Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi


melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat
al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut
paham emanasi.

Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau


nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan
tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan
sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.
Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu
yang dipancarkan pemikiran Tuhan.

Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,


apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,
dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain
kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang
empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari
sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik
al-Ghazali.
III.13. FILSAFAT ISLAM (2/3)
oleh Harun Nasution

Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada


pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut
al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran
yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia
membagi jiwa kepada tiga bagian:

1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,


tumbuh dan berkembang biak.

2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah


dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan
pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra
dalam yang berada di otak dan terdiri dari:

i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang


diperoleh pancaindra.

ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar


dari materi.

iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.

iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang


terlindung dalam gambar-gambar tersebut.

v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.

3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu


berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:

a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal


dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam
jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang
tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan
malaikat.

Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang


akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia
terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting
diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu
Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan
arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa
binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal
teoritis akan berkembang dengan baik.

Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:

1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi


untuk menangkap arti-arti murni.

2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap


arti-arti murni.

3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak


menangkap arti-arti murni.

4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya


menangkap arti-arti murni.

Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki


filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti
murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.

Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga


yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh
terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam
hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang
mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di
dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk
membawa manusia kepada kesempurnaan.

Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi


perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa
tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya
tubuh kembali menjadi tanah.

Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan


setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat
kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di
atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap
arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya
makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau
akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi
pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam
menangkap arti-arti murni.

Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh


karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti
dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh
balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat.
Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya
tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang
bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan
diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa
tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah
kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah
dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi
kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia
akan mengalami kesengsaraan kelak.

Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi


perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan
jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.

Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam.


Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran
Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis
(al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorang
Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat
Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.

Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasi


yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula
dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena
Tuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung
dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang
Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui
juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan
mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II
dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II
dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan
yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa
berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani
tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang
sains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum
alam.

Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan


al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam.
Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka
kepada kekufuran, yaitu:

1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman

2. Pembangkitan jasmani tak ada

3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.

Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat


al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang
wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak
pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak
diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat
dalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada
yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah
pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham
syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut
tak dapat diampuni Tuhan.

Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta


yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan
ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam
tauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsuf
mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah
yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yang
percaya bahwa alam ini qadim.

Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan


teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya
pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin
"Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?.
Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya
pertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atas
berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani
dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.

Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui


perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan
falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an.
Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am:
Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.

Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian


timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi
falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali
mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai
hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu
sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang
menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa
oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu
tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu
jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan
sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang
kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.

Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari


bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari
hal-hal

1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah


sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti
lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti
tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan
pemikiran ilmiah dan filosofis.

2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini


merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang
belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi
masih banyak bergantung pada orang lain untuk
membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan
paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada
kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap
statis.

3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari


paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini
diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan
menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum
alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah
kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak
sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi
biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak
Tuhan.

Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada


berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana
halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali,
teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam
bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman
al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad
sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf
Islam.
III.13. FILSAFAT ISLAM (3/3)
oleh Harun Nasution

Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol


Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudah
serangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalam
bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang
berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat
sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.

Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan
menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada
Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu
datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di
suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai
kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari
Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi
dan Ibn Sina.

Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahafut


al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali
yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah.

Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai


permulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis,
alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd
mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada
sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika
itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari
tiada atau nihil.

Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan


kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa
sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di
sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan,

Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari
dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.

Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan


langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari
Ha Mim menyebut pula,

Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.

Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta
uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia'
mengatakan pula,

Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit


dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami
pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air.

Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya
berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda
yang berlainan.

Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat


al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat
hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan
kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an
sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf
lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata
Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada,"
seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti
yang dikatakan para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun,
menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah.
Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada"
tetapi dari sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti
disebut oleh ayat di atas. Filsafat memang tidak menerima
konsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada,"
kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadi
ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal
bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan
menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Dan
yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi
susunannya adalah baru (hadis).

Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa


kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran
filsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan,
tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan
terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau
sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan
qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta
dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus
menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan
demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi
adalah ciptaan Tuhan,
Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini
tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat
47/8 dari surat Ibrahim menyebut:

Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi


rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi
balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit.

Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari


kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan
demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang
lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi
dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi
asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini
Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi
dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan
diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah
seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai
sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai
dengan kandungan al-Qur'an.

Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk


mengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnya
alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan
pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing
tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang
bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi
pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali.

Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang


terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak
pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui
perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan
mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan
materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat
immateri dan tak mempunyai pancaindra.

Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam


Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut hal
itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam
ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah ia
menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat
adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia
mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah
pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.

Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat


untuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak
tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya
pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filsuf, dan
kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari
filsafat mereka.

Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,
menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada
pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan
kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian
akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka
dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah
meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan
kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti
tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada
kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.

Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan


dalam harmoni ini akal mempunyai kedudukan tinggi.
Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana
dikenal dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah
kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat filsafat
benar, sungguhpun menurut agama salah. Agama mempunyai
kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan
pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa.

Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol


mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya
hanya tinggal di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada
1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari
Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol,
hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam
bagian barat.

Di dunia Islam bagian timur, kecuali di kalangan Syi'ah,


teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa
jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan
dari pada jalan filsafat. Hilanglah pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang
abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam
bidang pemikiran, filsafat dan sains, sebagaimana disebut di
atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berpikir Ibn
Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional
mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti
al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R.


Jones, London, Luzac & Co., 1970.

Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t.

Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.

Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni,


1961.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta,


Bulan Bintang, 1983.

Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.

Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969.

Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.


O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs,
London, Routledge & Kegan Paul, 1964.

Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden,


1963.
III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (1/4)

Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin


dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati
bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang
menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan
bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri
dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah
Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya
adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas
masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui
penyucian rohnya.

ASAL KATA SUFI

Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan


dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.
Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:

1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang


disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan
diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama
salat dan puasa.

2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris


pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh
orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca
ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat
datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha
membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama


Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di
Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin,
tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan
memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah,
sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia
dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum
sufi.

4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam)


yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat.
Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos
telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan
ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang
terdapat dalam kata tasawuf.

5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang


ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah
yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang
ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini
melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan
dari dunia.
Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang
banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah
orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari
dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani.
Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim
al-Kufi di Irak (w.150 H).

ASAL-USUL TASAWUF

Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam


mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan
agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari


rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat
dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.
Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di
padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari
lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir.
Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong.
Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk
sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.

Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran


mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah
suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia
materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh
yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu
tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu
ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada
fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa
pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke
dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang
suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang
terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu
dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu
dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.

Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan


filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan
akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia
berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga
kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor,
ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri
melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat
mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu
dengan Dia di bumi ini.

Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam


ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran
al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali
ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh
pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan.
Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di
dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep
Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia,
memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran
menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat
dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan
datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui
kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf
terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia
dengan roh Tuhan.

Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani


dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang
kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu
adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini
memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul
pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak
ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam
sendiri?

Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.


Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan
manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan
Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika
hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."

Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi


berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat
Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya
kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan
oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka
kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS.
al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja
Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi
jauh, untuk menjumpainya.

Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya


Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami
tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih
dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di
lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada
bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia
sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui
dirinya mengetahui Tuhannya."

Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia


masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia
jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat
berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh
mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau
yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi
Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).

Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan.


Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat
bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain
sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku
adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal.
Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun
dikenal."

Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan


bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau
ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia
dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat
al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.

Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi


menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga
kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak
memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat
merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak
beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat
Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan
rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.

JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat


melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan
Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang
harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya
sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf.
Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah
berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.

Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum


sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut
maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha
keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan
perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut
diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang
calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat
dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian
diri calon sufi secara berangsur.

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama


yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari
dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf
adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat
dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah
berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil,
kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari
perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha,
yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya
yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau
sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu
panjang.
III.14. TASAWUF (hal. 42)
oleh Harun Nasution (2/4)
Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu
zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi
dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil
untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan
dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah,
dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum
hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit
tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia
menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi
digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang
dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya
dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir.

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa


menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk
kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga
akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di
stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi
menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr
al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang
berisi syubhat.

Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion


ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya
sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak
meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi
tidak menolak pemberian Tuhan.

Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion


sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan
perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi
larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar
dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan
Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan
dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan. Ia sabar menderita.

Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan


diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak
memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari
ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa
tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena
ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia
bersikap seperti telah mati.

Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari


stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan
ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga
dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada
perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika
malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya
bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat
sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat
Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan
Tuhan.

Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan


tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan
tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru
menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah
sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh
pengalaman-pengalaman tasawuf.

PENGALAMAN SUFI

Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya


dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang
dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa
waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat
meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia
rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat
yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang
dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada
stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam
hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta
Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut,
pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada
Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari
segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.

Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam


al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan
kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari
surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat
30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu
cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan
mencintai kamu."

Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut,


"Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui
ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai,
Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."

Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman


cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah
(713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan
memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam
doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula
tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah
dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada
Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena
ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku
kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau
karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau,
janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari
pandanganku."

Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di


langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah
berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di
hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas
mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera
akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku
sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku
merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan
kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya
Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."

Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang


kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke
hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh
hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika
orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia
menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang
kosong di dalam hatiku untuk benci setan."

Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya


dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:

Kucintai Engkau dengan dua cinta,


Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.

Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah


mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati
nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman
kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah
benar-benar menjadi sufi.

Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860


M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan
ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta
ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari
pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun
dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun
melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya,
bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat
dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena
Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."

Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah


karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak
membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat
melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf,
sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan
menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa
ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan
dari atas.

Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal


yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang
berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya
untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua,
daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya
untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.

Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar
setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya.
Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya
tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia
disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin
besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap
daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat
rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan
ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."

Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka,


ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh
langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut
ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini
diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali,
pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah,
lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal,
yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali
diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah
mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran
ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.

Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf


dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat
di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua,
ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu
yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat
orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun
hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk
materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang
memandangnya akan mati karena tak tahan melihat
kecemerlangan dan keindahannya.

Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata


hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang
mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa
tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada
lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan
dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.

III.14. TASAWUF (hal. 42)


oleh Harun Nasution (3/4)

Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al


Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya
menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha
yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya
kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai
ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu
telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan
bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke
stasion ittihad.

Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih


dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'
adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu
didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang
lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf
disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa
(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat
akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian,
yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu
hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul
sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang
sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan
timbul takwa.

Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu


mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran
jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,
tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap
diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs
wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri
sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini
terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan


melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku
mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan
mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat
aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat
aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun
berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada
diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."

Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis,


"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain
terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula
makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan
pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk
lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah
ittihad."

Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar


ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut
syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu
Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari
dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada
Tuhan selain Allah."
Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena
lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan
berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat
Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan
kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.

Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku


pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku
heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja
Maha Kuasa."

Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid


telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak
meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."

Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan


dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang
dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan
Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?"

Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya


Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa'
dan ittihad.

Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata


berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat
Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat
engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat
mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya
menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami
lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."

Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa


ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan
perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia
tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari
kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan
Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,
sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu
Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun
berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah
Engkau."

Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang


satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).
Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam
ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi
satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai
Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku
menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau
adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."

Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah


kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu
bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan
bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur
dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah
Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu
Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.

Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang


diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu
kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi
seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang
subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci
Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain
Aku, maka sembahlah Aku."

Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan


lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui
dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,
dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar
dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari
dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar
tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan
tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi,
kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan
kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui
lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di
dalam jubah ini tidak ada selain Allah."

Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid,


tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia
adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.

Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah


Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan
nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi
hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke
sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq"
(Akulah Yang Maha Benar).

Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,


tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk
bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya
dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul
diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya,
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dihancurkan.

Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid


dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj,
manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan
lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan
bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil
dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam
sesuai dengan bentuk-Nya.

Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada


bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia.
Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan
itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada
syair al-Hallaj sebagai berikut:

Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya


Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak


dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan
ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi
dan terjadilah hulul.

Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku


Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.

III.14. TASAWUF (hal. 42)


oleh Harun Nasution (4/4)

Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:

Aku adalah Dia yang kucintai


Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,

Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,


Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.

Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah


al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha
Benar).

Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak


mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.
Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui
lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,

"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,


Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."

Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat


kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran
Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum
syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak
menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan
tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada
Tuhan.

Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan


keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang
diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah
al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah
yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan.
Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah,
sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan
ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi
mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.

Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya


Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam
Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh
syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah
pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa
al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy
al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud
makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.

Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang
berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya,
tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan
esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan
aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya
berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.
Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.

Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip


pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi,
kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan
melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk,
adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai
cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata
lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud
alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung
pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu
dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.

Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada


hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang
melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di
dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada
hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak
adalah bayangannya.

Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat


al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang
disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi
tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi,
sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah
transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan
bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri
atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya
membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan
terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam
pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan
mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan
Aniyah.

Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar


dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada
tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih
dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan
diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya.
Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia
menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri


Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya,
tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan
yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai
tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi
(pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.

Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan,


dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan
diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan
sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi
disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat
dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan
sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat
Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan
dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia
menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan
dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah
bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi
perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat
dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya,
Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi
Muhammad.

Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan


Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang
mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan
dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan
diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan
Kamil.

Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil


bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk
oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk
melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar
yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada
abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul
Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad
ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M),
Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan
Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan
Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah
Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di
Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di
Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.

Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang


diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan
sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat
dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar
sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan
antara kaum syari'at dan kaum tarekat.

Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya


kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan
disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga
mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan
tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.

Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat


mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena
pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan
dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani,
tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam
perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan
sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat
Bekhtasyi dan para ulama Turki.

Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat


dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang
bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk
itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan
dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat
sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran
umat Islam.

Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme


yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak
orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang
melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali
spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan
akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi
untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para
pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak
mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan
kehidupan keduniaan.

Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di


Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup
kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam
agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak
sedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam agama Islam,
umpamanya aliran Subud di Jakarta.

Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry


dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim
adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah
tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari
ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar
dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang
Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat
memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian
dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti
sekarang.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd.,


1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah
al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris,
Gallimard, 1964.
III.15. SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA'RIFAH (hal. 181)
oleh KH Ali Yafie

Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim.


Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai
antara lain pada Surah al-Jatsiyah: 18. Pemakaian kata
tersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu
sendiri. Dalam perkembangan Islam munculnya tiga kata
thariqah, haqiqah dan ma'rifah, telah mengakibatkan
terbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyak
mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya
menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf. Karena itu ada
baiknya kita lebih dahulu berbicara tentang tasawuf itu
sendiri.

Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka


adalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada di
tengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok
formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini
terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi),
sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits
dan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu
kecenderungan spiritual yang membentuk etika moral dan
lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan
seorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitu
pula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah.

Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari


prinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya
merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup
bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran
agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun
mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan
beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk
mendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dari
keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak
diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi
lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada
kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan
berikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secara
berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah
angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup
sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.

Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak


perkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abad
itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga
di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah,
seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribu
satu malam" dimasa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada
masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang
tidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapi
mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara
penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu
yang disebut ilmu Tasawuf.

Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang


dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya
penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkan
prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan
pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga
abad -dengan munculnya disiplin ilmu Tasawuf- terjadilah
pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran
ulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produk
penalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnya
para fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf
disebut ahli haqiqah.

Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur pola


pikir dan pola hubungan antara ahli syari'ah dan ahli
haqiqah makin berbeda. Dan ini menimbulkan banyak
pertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan
tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:

1. Ahli syari'ah menonjolkan -kadang-kadang secara


berlebih-lebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang
formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak,
para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran
Islam.

2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para


ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan
diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan
teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah
al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal
dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri. Semua itu
dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.

3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan


syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata,
kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas
dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka
sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.

4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai


perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur
dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan
alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).

Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahli


syari'ah dan ahli haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitar
akhir abad kelima Hijrah, dan Imam Ghazali berupaya
memulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan
karya besarnya Ihya 'Ulum al-Din. Dalam buku ini beliau
mempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teori
haqiqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu dalam
merukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahli
haqiqah.

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat


lembaga keagamaan non-formal yang namanya "tarekat" asal
kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Tarekat
Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat
Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam
satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah
lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut
dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu
lewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahl
al-Thariqah al-Mu'tabarah. Pada tahun lima puluhan,
pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasi
tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan
Nasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannya
ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu
merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak
mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan
suatu negara.

Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita


mempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruq
al-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawuf
Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan
tasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang
memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul
Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran
tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang
mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa.
Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat
Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i. Dan tempat
ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal
al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi
baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana
dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.
Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang
mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan
dunia Islam bagian Timur pada umumnya.

Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat


Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin
militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad
al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan
perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia,
Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya
membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim
yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai
Mu'ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa
sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistem


hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat
yang berbeda-beda itu. Semua pengikutnya dididik dalam
disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut
walaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapa
ciri yang menyamakan:

1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi


penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan
diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu
menjalani masa persiapan yang berat.
2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)

3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi


dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa
hari (kadang-kadang sampai 40 hari).

4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam


waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan
alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat
membina konsentrasi ingatan.

5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka


yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang
berlaku di luar kebiasaan.

6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau


pembantunya yang tidak bisa dibantah

Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulkan,


bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang
terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan
solidaritas sosial. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi
dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja,
tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah
yang diridlai Allah, dengan jalan pengamalan syari'ah dan
penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untuk
mencapai ma'rifah.

Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma mereka


ialah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam
wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik
pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tawhid,
yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan
melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu
selain Allah.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu 'l-Hasan al-Nadawi, Rijal al-fikri wa


'l-Da'wah fi 'l-lslam.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam dan Zhuhur al-Islam
Imam al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din
Irnam Ibn Khaldun, al-Muqaddimah.
Kamil Mushthafa al-Syibli,
al-Shilah bain al-Tashawwuf wa 'l-Tasyayyu'.
III.16. MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRI
oleh Komaruddin Hidayat

Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak


ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang
prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allah
juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum
selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang
untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses
penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya
manusia itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi
seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi
dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai
petunjuk hidupnya (QS. 4:174).

Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi:


Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah
mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi,
pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang
untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka
mengenal Tuhan.

Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui


kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini
manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati
diri dan hakikat kemanusiaannya

Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan


berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka
protret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah
meniadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok
manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin
ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran,
politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya
menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi
masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda.
Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek
materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang
berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu.
Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang
melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah
misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah
mengundang kegelisahan intelektual pare ahli pikir untuk
mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir
mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula
ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti
semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit
dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:

Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the


sexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each
theory becomes a Procrustean bed in which the empirical facts
are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this
development our modern theory of man lost its intellectual
center. We acquired instead a complete anarchy of thought.
(Ernst Cassier, 1978, p.21)

Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan


kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan
Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama,
secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi
yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan
Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung
ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha
Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung
membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan
Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya
akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan
dekrit-Nya.

Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan


sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi
gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf
memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.

Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada


dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu
lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya.
Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah
mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka
langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana
mengenal diri kita secara benar.

Meskipun Cassirer secara gamblang menunjukkan krisis


pengenalan diri, secara sederhana kita bisa membedakan dua
paradigma pemahaman terhadap manusia, yaitu paradigma
materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yang
pertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi
(downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa
dunia materi ini hakikatnya berasal dari realitas yang
bersifat imateri (upward causation).

Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode


berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk
menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana
yang lazim diyakini di kalangan pare sufi. Kritik terhadap
aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan
mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat
kontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telah
mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai
moral and religious being.

Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhana


tetapi gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalam
memahami kehidupan yang penuh nuansa ini.

Progressive reductionism works as follows. An art object is


only mass and light waves; an act of love only chemiphysical,
only electrical charges; therefore, the art object or act of
love is only a flow of electricity. (Ralph ross, 1962, hal.
8).

Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas


dikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia
adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan
'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS.
2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinan
yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan
karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan
menampakkan kebesaran diri-Nya.

Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu


al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk
maka melalui Aku mereka kenal Aku.

Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya


orang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa
penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung
sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki
sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial
mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29,
misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang
terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min
ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang
dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya
ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.

Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkau


manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia
materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang
saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilah
yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia
materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin
berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran
realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu
mengenal dirinya secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexis
bahwa man has gained the mistery of the material world before
knowing himself.

Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai


definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti
tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran
nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya
melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia
bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaran
spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam
melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran
filsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini maka
tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa
sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia
ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal.
Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci
yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena
dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah
muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan
sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah
hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur
manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering
terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani
yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang
bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan
"jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan
otonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi maka
terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi
difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi
dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan
memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan
sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai,
senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan
Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah,
yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.

Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang


bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan
kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan
juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS.
89:27).

Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan


kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau
ta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan
kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapun
seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan
berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini
meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar
meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki
sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga
disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri
manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan
Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."

Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk


mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai
seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat
Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan
mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang
digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang
mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan
intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan
hamba-Nya.

Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa


yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang
metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa
hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya
bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan
kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.

Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara


fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia,
namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi
luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima 'arsy
Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibn
'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub
yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati
sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya
Tuhan. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam
makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian
makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling
mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku
kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138).
Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan
dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan
mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau
jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan
bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha
Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang
Dhahir, bukannya Yang Bathin.

KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA

Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu


dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan,
maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan
karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi
sufi.

Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit


diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup
tegas isyarat al-Qur'an maupun Hadits yang menyatakan bahwa
kewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehingga
kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?

Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka


seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan
kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan
damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah
sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga
di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek
untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang
saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara
karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak
asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel
mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York,


1980.

Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul


'Arabi, Lahore, 1938

Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978.

Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in


Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977.

Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan


III, Princeton, 1982.
Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam
Islam, 1973

Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962.

Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta,


1976.

Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.


III.17. PANDANGAN KESUFIAN TENTANG DIRI MANUSIA
oleh M. Bambang Pranowo

Elingana yen ana timbalan


Yen wis budal ora kena wakilan,
Ora kena wakilan
Timbalane kang Maha Kuasa
Gelem ora gelem bakale lunga

(Ingatlah jika telah datang panggilan


Kau harus pergi dan tak bisa kau wakilkan,
tak bisa kau wakilkan Panggilan dari Yang Maha Kuasa
Mau tak mau kau harus pergi jua)

Nyanyian puitis di atas adalah penggalan dari sebuah nyanyian


keagamaan yang cukup panjang. Di Jawa, nyanyian itu disebut
pujian atau erang-erangan. Pujian tersebut biasanya
didendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar atau
mesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembari
menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut
mendirikan salat berjamaah. Mungkin berkat susunannya yang
ritmis dan mudah dihapal maka pujian tersebut seringkali
menjadi "nyanyian" populer yang dilakukan bukan hanya di
mesjid dan langgar, tapi juga di sawah dan ladang ketika
seseorang menggembalakan ternaknya, atau di rumah-rumah ketika
ibu-ibu berusaha menidurkan anaknya.

Tidak jelas siapa pengarang pujian yang cukup populer


tersebut, terutama di desa-desa bagian Jawa Tengah Selatan.
Namun, orang mengenal bahwa pujian semacam itu disebarkan oleh
kalangan pesantren. Perlu dicatat, para kyai pemimpin
pesantren kebanyakan juga pemimpin tarekat, sehingga tidak
mengherankan kalau pujian yang diciptakan sarat dengan
pesan-pesan kesufian. Dan, dari pujian tersebut tercermin
sebuah permintaan agar manusia menyadari bahwa suka atau
tidak, ia harus memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk
kembali ke haribaannya. Panggilan Tuhan tersebut tidak dapat
didelegasikan kepada siapapun juga.

Memang, di antara pesan kesufian yang terpenting adalah ajakan


agar manusia menyadari sepenuhnya sifat kefanaan dari
kehidupan dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana dan yang
kekal hanyalah Tuhan, maka dunia ini dipandang benar-benar
bermakna hanya apabila ia senantiasa diorientasikan kepada
Tuhan. Lalai dari kesadaran berketuhanan berarti manusia telah
terjerat oleh perangkat serba kefanaan. Dalam "perangkap"
seperti itu manusia cenderung berorientasi hanya kepada usaha
mewujudkan kesenangan sementara yang segera dapat dinikmati
kini dan di sini, di dunia yang fana ini. Ia lupa bahwa
manusia disebut manusia tidak lain karena roh sukma yang
ditiupkan Tuhan masih melekat di jasad atau raganya. Begitu
sukma meninggalkan raga, ia dianggap sudah tiada.

TEORI CERMIN AL-GHAZALI


Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalam
kenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepada
Tuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebih
banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi atau
lahiriah belaka? Imam Ghazali menjawab masalah ini dengan
Teori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenal
itu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusia
ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur atau
cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih
niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan
memantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya (lihat Ghazali,
t.t., vol.I: h. 119-125).

Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal


spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga
kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya
Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin
rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor
dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat
penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin
tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang
menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi
hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber
cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh
cahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategori
ini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaan
Tuhan.

Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, ia


harus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalan
menguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hidup
para nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah).
Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan di
kalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihan
kerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah,
puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usaha
senantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikir
merupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-hari
mereka.

Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebut


tak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsi
sebagai berikut:

Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang.


Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayang
kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Aku
berikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinya
kepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai.
Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi
telinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untuk
melihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinya
untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri,
dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. (Riwayat
Bukhari dan Abi Hurairah)
Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secara
intensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secara
otomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampai
pada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungan
konstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainya
menjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakan
tanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapan
memperoleh ridha Allah.

Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalam


bentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariat
dan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombongan
spiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalam
kaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yang
terkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpa
mengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqh
tanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral).

Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh ke


nilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufi
ibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului oleh
penggeledahan dan interogasi diri: apakah ibadah yang kita
lakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karena
yang lain?

Dalam kaitannya dengan upaya rohani seperti itulah kisah


sufistik yang dicatat dari pesantren --Tarekat
Qadariah-Naqshabandiyah di Jawa Timur-- merupakan ilustrasi
relatif menarik.

Di sebuah desa hidup seorang yang dikenal oleh kalangan luas


sebagai orang yang sangat alim. Segala pujian dilimpahkan
orang kepada si Alim atas kesalehan dan kealimannya. Mendengar
berbagai pujian tersebut si Alim jadi gelisah. Jangan-jangan
dirinya rajin beribadah itu bukan karena Allah melainkan
justru karena orang memujinya sebagai orang alim. Pada suatu
pagi ia pun pergi menuju pasar di seberang desa. Sesampainya
di pasar secara demonstratif ia sengaja mencuri ayam yang
sedang diperjualbelikan. Karena tertangkap basah maka iapun
dipukuli banyak orang. Ayam dikembalikannya dan ia pun pulang
dalam keadaan babak belur. Orang sepasar akhirnya bergumam:
"Oh, ternyata ia hanya pura-pura alim, padahal sebenarnya ia
tak lebih dari seorang maling!" Mendengar omongan seperti itu
ia bukannya sedih melainkan bersyukur kepada Allah. Setibanya
di rumah ia langsung sujud syukur "Alkhamdulillah, ya Allah,
kini aku beribadah bukan karena manusia, tetapi insya Allah
benar-benar karena Engkau semata."

Demikianlah, dari sudut pandang kesufian, hidup ini merupakan


pergulatan terus-menerus dengan diri sendiri. Dengan demikian,
keberanian untuk melakukan penggeledahan dan interogasi diri
merupakan inti keberagamaan dan sekaligus bagaikan tangga naik
yang akan mengantarkan diri seseorang kepada derajat yang
terus meningkat dari suatu tingkat (maqam) tertentu ke tingkat
rohani berikutnya yang lebih tinggi. Maqam-maqam tersebut dari
yang terendah hingga yang tertinggi dikenal di kalangan kaum
sufi dengan istilah-istilah sebagai berikut:
(1) Maqam Tawbat, yakni meninggalkan dan tidak mengulangi lagi
perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya
demi menjunjung tinggi ajaran Allah dan mengingkari murka-Nya.

(2) Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan


sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya.

(3) Maqam Zuhud, yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha


memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk
memperolehnya.

(4) Maqam Shabar, ialah ketabahan dalam menghadapi dan


mendorong hawa nafsu.

(5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan
mengutamakan orang lain di kala berada.

(6) Maqam Syukur, yaitu menyadari bahwa segala kenikmatan itu


datangnya dari Allah semata.

(7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah
atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah.

(8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena
mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan
harapannya.

(9) Maqam Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung hanya


kepada Allah dalam menghadapi segala sesuatu baik yang
disukai, dibenci, diharapkan, maupun ditakuti.

(10)Maqam Ridla, ialah rasa puas di hati sekalipun menerima


nasib pahit.

Mengenal selintas maqam-maqam tersebut seolah-olah mustahil


nilai-nilai kesufian tersebut dapat diwujudkan dalan kehidupan
yang sudah serba modern ini. Namun, jika maqam-maqam tersebut
dipandang sebagai tidak lain dari upaya pendakian rohani
menuju ridla Allah, maka maqam-maqam tersebut adalah acuan
yang memang harus dimiliki mereka yan benar-benar merindukan
leburnya diri kembali kepada Yan Maha Hakiki.

Menengok pada luka menganga yang menjangkiti dunia modern


seperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas,
hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, serta
materialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual;
semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola
kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan
ketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dan
dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Dan, melalui
sudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan marnpu
mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang seperti itu.

Akhirnya, semua itu terpulang kepada manusia sendri apakah ia


akan menundukkan sukmanya kepada kehidupan yang berorientasi
pada kebutuhan jasadi yang bersifat kini dan di sini (sukma
dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan), ataukah ia akan
mengarahkan sukmanya sehingga sang sukmalah yang memimpin
kebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam terpaan cahaya
Ilahi.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Firdaus A.N., "Jalan ke Surga" (Kumpulan 772 Hadist Qudsi),


Yayasan Kesejahteraan Bersama, tanpa tahun.

Al-Ghazali, Imam, "Ihya' 'Ulum al-Din", vol.I, (dengan


terjemahan Jiwa oleh Misbah Zaini Mustofa), Raja Murah,
Pekalongan, 1981.

Johns, A.H., "Sufism As a Category in Indonesian Literature


And History," dalam Journal of Southeast Asian History, vol. 2
(1961), hal. 10-23.

Madjid, Nurcholish., "Tasauf dan Pesantren", dalam M. Dawam


Rahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta,
1985.

Zarkasyi, Muhamad Nawawi Shidiq, "Soal-Jawab Thoriqiyah",


Pesantren Raudlatul Thulab, Berjan, Purwokerto, 1977.
III.8. ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANI
oleh Jalaluddin Rakhmat

Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling


sempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan
Ibnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allah
di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga
karena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan)
asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.

Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.


Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku


tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas


atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan


para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung
(al-qalb).

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.


Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah


ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang


organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau


al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani


(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan


memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat


tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat


yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan


ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

AKAL

Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).

Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan


tertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapat
mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang
demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan
(sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang
demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).

Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal


kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan
hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada
kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke
tingkat akal perolehan.

HATI SUKMA (QALB)

Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.


Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,


bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah


atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji


adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh


hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah


pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.

Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada


dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan


nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,


Kairo, 1983.

Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudin


al-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983.

Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906.

Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H.

------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,


1327 H.
------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,


Jakarta, 1978.

Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.


III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (1/3)
IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
oleh Nurcholish Madjid

Dalam masyarakat Islam di beberapa negara terdapat


kelompok-kelompok yang meragukan otoritas hadits sebagai
sumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita, ada suatu
golongan yang menanamkan dirinya kaum "Inkar al-Sunnah".
Karena sikap mereka menolak perlunya kaum muslim berpegang
pada sunnah, maka golongan ini menjadi sasaran kritik para
ulama dan tokoh Islam.

Pada banyak kasus mungkin terjadi semacam kekacauan akibat


kecenderungan masyarakat untuk menyamakan begitu saja antara
sunnah dan hadits. Sudah jelas, di antara keduanya terdapat
jalinan yang erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang
pertama (sunnah) mengandung pengertian yang lebih luas
daripada yang kedua (hadits). Bahkan dapat dikatakan bahwa
sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada hadits.
Sebab yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci
al-Qur'an ialah sunnah, bukan hadits, sebagaimana sering
dituturkan tentang adanya sabda Nabi saw. "Aku tinggalkan di
antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya."

Tapi sekarang ini sunnah memang tidak dapat dibedakan dari


hadits, demikian pula sebaliknya. Jika seseorang menyebut
"sunnah" maka dengan sendirinya akan terbayang padanya
sejumlah kitab koleksi sabda Nabi. Yang paling terkenal di
antaranya ialah dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim
(disebut al-Shahihayn, "Dua Yang Sahih"), dan yang lengkapnya
meliputi pula kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud,
al-Turmudzi dan al-Nasa'i. Tapi sebelum mereka sudah ada
seorang kolektor hadits yang amat kenamaan dan berpengaruh
besar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik Ibn Anas
(pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitab
hadits al-Muwaththa'.

Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas, pada


prinsipnya sikap ingkar pada sunnah tidak dapat dibenarkan.
Tapi ingkar kepada hadits, sekalipun jelas tidak dapat
dilakukan secara umum tanpa penelitian tentang hadits tertentu
mana yang dimaksud, telah terjadi dalam kurun waktu yang
panjang pada golongan-golongan tertentu Islam seperti kaum
Mu'tazilah. Oleh karena dampak masalah ini dalam usaha
penetapan hukum (tasyri') sangat besar dan penting, maka
kajian kesejarahan tentang evolusi pengertian sunnah --yang
diungkapkan Nabi meski secara tersirat-- diharapkan akan dapat
membantu memperjelas persoalan. Perjalanan sejarah
perkembangan dan perubahan itu sendiri cukup panjang dan
rumit. Tapi jika kita berhasil melepaskan diri dari dogmatisme
yang menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentang
apa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarah
itu kita akan dapat menarik "benang merah" yang memberikan
kejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.
PENGERTIAN SUNNAH

Sunnah lebih luas daripada hadits, termasuk yang sahih.


Berarti, sunnah tidak terbatas hanya pada hadits. Sekalipun
pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang
kekaburan. Memang, antara sunnah dan hadits terbentang garis
kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara
keduanya tidak dapat dibenarkan.,

Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua


setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka
sesungguhnya Nabi hanya menyatakan sesuatu yang amat logis.
Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya, orang Islam
tentu pertama-tama harus melihat apa yang ada dalam Kitab
Suci, kemudian, kedua, harus mencari contoh bagaimana Nabi
sendiri memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagai
utusan Tuhan, yang secara logis paling paham akan apa yang
dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling
tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi
hal itu mustahil dapat diterima.

Pemahaman Nabi terhadap pesan atau wahyu Allah itu teladan


beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah"
kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakan
bentuk reportase atau penuturan tentang apa yang disebabkan
Nabi atau yang dijalankan dalam praktek tindakan orang lain
yang "didiamkan" beliau (yang dapat dapat diartikan sebagai
"pembenaran"). Itulah makna asal kata hadits, yang sekarang
ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif. Namun
demikian, tidak berarti bahwa hadits dengan sendirinya
mencakup seluruh sunnah.

Jika sunnah merupakan keseluruhan perilaku Nabi, maka kita


dapat mengetahui dari sumber-sumber yang selama ini tidak
dimasukkan sebagai hadits, seperti kitab-kitab sirah atau
biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan
tingkah laku Nabi, harus dimasukkan pula corak dan ragam
tindakan beliau, baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam
kedudukan beliau sebagai pemimpin itulah Kitab-kitab sirah
banyak memberi gambaran.

Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis


ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn Hisyam
(berturut-turut wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipun
wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah (pada tahun 85
H), dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia
telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya beberapa lama
sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits.

Sebelum Ishaq, telah muncul berbagai karya tulis tentang


riwayat peperangan Nabi yang lazim disebut kitab-kitab
al-Maghazi. Kitab-kitab itu, bersama dengan kitab-kitab
biografi Nabi yang lain amat penting, karena memuat gambaran
tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau
sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan sumber
yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud
selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang bersifat
terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits. Dalam
sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagai
al-Maghazi tersebut, berhasil membangkitkan semangat
perjuangan Islam, karena ilham teladan baik dari beliau.
Inilah "eksperimen" Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi dalam
menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan
dengan "eksperimen" itu pemimpin Islam dari Mesir yang
kemudian terkenal dengan sebutan "Sultan Saladin" itu
mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu
upacara memperingati kelahiran Nabi dengan membaca riwayat
hidup beliau.

Sunnah Nabi harus pula dipahami sebagai keseluruhan


kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan
akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang
baik (uswah hasanah) bagi kita semua "yang benar-benar
berharap pada Allah pada Hari Kemudian, serta banyak ingat
kepada Allah" (Q.S. al-Ahzab 33:32). Dan beliau juga
dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai seorang yang berakhlak
amat mulia (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam
hal ini tingkah laku dan kepribadian beliau sebagai seorang
yang berakhlak mulia, menjadi pedoman hidup kedua setelah
Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman.

Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat
lepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Sebab sesungguhnya
akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat Kitab
Suci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyak
perkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalaman
Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannya
menampilkan sosok Nabi yang berkeprlbadian mulia. Dari
pengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilham
tentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaran
peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh,
dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang
dapat kita renungkan maknanya di sini:

Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam.
Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak
pula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimu
daripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu
yatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimu
bingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimu
miskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta,
janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmat
karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11)

Bukankah Kamu telah lapangkan dadamu?! Dan Kami bebaskan


bebanmu, yang memberati punggungmu?! Serta Kami muliakan
namamu?! Sebab sesunggahnya bersama kesulitan tentu ada
kemudahan! Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepada
Tuhanmu, senantiasa berharaplah! (QS. al-Syarh 94:1-8)
Para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat al-Dluha turun
kepada Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yang
relatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme kaum
musyrik Makkah bahwa Tuhan telah meninggalkan Nabi dan murka
kepadanya. Dari latar belakang turunnya, surat ini juga
menggambarkan tentang suatu dinamika pengalaman Nabi dalam
perjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan Sayyid Quthub,
Allah menghibur beliau dan memberinya dorongan moril, bahwa
Allah samasekali tidak meninggalkan beliau dan tidak pula
murka.

III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (2/3)


IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
oleh Nurcholish Madjid

IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITS


DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH

Allah juga mengingatkan Nabi bahwa masa mendatang lebih


penting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya,
Allah mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yang
strategis lebih penting daripada pengalaman jangka pendek,
yang taktis. Oleh karena itu hendaknya Nabi tidak putus asa
atau kecil hati oleh pengalaman kekecewaan jangka pendek.
Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapai
hasil dan semakin besar nilai suatu perjuangan maka semakin
panjang pula dimensi waktu yang diperlukannya. Dan dalam
jangka panjang itulah, selama perjuangan diteruskan dengan
penuh kesabaran dan harapan, Allah menjanjikan untuk memberi
kemenangan yang bakal membuat beliau puas dan lega. (Janji
Tuhan ini kelak ternyata terbukti dan terlaksana, berupa
kemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah ke
Madinah, dan beliau pun wafat memenuhi panggilan menghadap
Allah dalam keadaan menang dan sukses luar biasa).

Serentak dengan itu semua Allah juga mengingatkan akan masa


lampau Nabi yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yang
yatim-piatu, bingung tentang apa yang hendak dilakukan, dan
miskin, dan bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya pada
beliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua.
Dan berdasarkan latar belakang itu maka Allah berpesan agar
Nabi janganlah sampai menghardik anak-yatim, atau membentak
peminta-minta, dan selalu ingat dengan penuh syukur akan
nikmat karunia Tuhan.

Berkenaan dengan surat al-Syarh, para ahli mengatakan bahwa


wahyu itu turun kepada Nabi masih dalam kaitannya dengan surat
al-Dluha, bahkan merupakan kelanjutannya. Dalam surat ini
Allah menegaskan bagaimana Dia telah membuat Nabi sebagai
seorang yang lapang dada (munsyarih al-shadr), dan membuat
semua beban terasa ringan bagi beliau. Juga diingatkan bahwa
Allah telah membuat terhormat nama Nabi dan dijunjung tinggi,
berkat perjuangan beliau dan kebajikan yang ditegakkannya.
Lalu Allah menegaskan bahwa setiap kesulitan tentu akan
membawa kemudahan; bahwa amal usaha tentu mengandung
kesulitan, namun hasil perjuangan itu di kemudian hari tentu
akan membawa kebahagiaan. Maka dari itu setiap kesempatan
harus digunakan untuk kerja keras, sambil senantiasa
mengarahkan diri kepada Allah, dengan penuh harapan kepadaNya.

Jadi, seperti telah diutarakan, dari kedua surat pendek yang


banyak dibaca dalam shalat itu dapat disimpulkan gambaran
dinamika kepribadian Nabi berhubung dengan pengalaman hidup
perjuangan beliau. Jika kita renungkan lebih mendalam gambaran
itu, maka sesungguhnya dinamika pengalaman hidup Nabi tersebut
adalah universal, dalam arti dapat terjadi dan dialami oleh
siapa saja dari kalangan manusia yang mempunyai tekad atau
komitmen pada cita-cita luhur. Oleh karena itu sikap-sikap
yang telah ditunjukkan oleh Nabi sebagaimana tersimpul dari
kedua surat pendek itu akan melengkapi kaum beriman dengan
contoh nyata dalam menghadapi problema kehidupan. Dari situ
kita paham sebuah sunnah Nabi, dan dari situ pula kita
mengerti suatu aspek makna firman Allah bahwa pada diri
Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kaum beriman.
Akhlak serta kepribadian yang menjadi sunnah Nabi, yang dapat
disimpulkan dari kedua surat itu adalah kurang lebih demikian:

1.Sikap senantiasa berpengharapan kepada Allah

2.Sadar akan perjuangan jangka panjang,

3.Yakin akan kemenangan akhir

4.Ingat akan latar belakang diri di masa lalu dan bagaimana


semua kesulitan teratasi

5.Rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang kurang


beruntung

6.Senantiasa bersyukur pada Allah atas segala nikmat


karunia-Nya,

7.Bersikap lapang dada

8.Memikul beban tanggungjawab dengan penuh kerelaan

9.Tidak kecil hati karena kesulitan, sebab yakin akan masa


datang yang lebih baik

10.Menggunakan setiap waktu luang untuk kerja-kerja produktif

11.Tetap berorientasi kepada Allah, asal dan tuduan semua yang

Firman Allah yang memberi gambaran dinamika kepribadian Nabi


sebagai uswah hasanah dalam al-Qur'an cukup banyak. Pengkajian
terhadap firman-firman itu akan memberi gambaran yang utuh
tentang siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepak terjang
beliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun sebagai
Utusan Ilahi. Kita dapat mendekteksi dinamika kepribadian Nabi
itu dari firman-frman yang ditunjukkan khusus kepada Nabi,
seperti diindikasikan oleh penggunaan kata pengganti nama
"engkau" dalam suatu format dialog antara Tuhan dan
Utusan-Nya.
Jadi sunnah Nabi, khususnya segi-segi yang dinamik dan
mendasar, dapat lebih banyak diketahui dari Kitab Suci
daripada dari kumpulan kitab hadits. Meskipun banyak laporan
dalam kitab-kitab hadits yang juga memberi gambaran tentang
tingkah laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat ad
hoc terkait erat dengan tuntutan khusus ruang dan waktu.
Sedangkan yang ada dalam al-Qur'an, sekalipun dituturkan dalam
kaitan dengan ruang dan waktu atau pengalaman khusus Nabi,
namun ajaran moral di balik cerita selalu bersifat dinamik
sehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat generalitas
yang tinggi, dengan demikian bernilai universal. Karena itu
sunnah Nabi sebenarnya tidak terbatas hanya pada hadits,
meskipun hadits (yang sahih) memang termasuk sunnah.

PERGESERAN PENGERTIAN SUNNAH KE HADITS

Di atas telah dikemukakan adanya kelompok-kelompok kaum muslim


yang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan
hadits. Mereka sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena
ingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi seorang muslim.
Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan "Ingkar
Hadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr. Mushthafa
al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat dan
mantan dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, serta
seorang tokoh pembina gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria,
golongan Ingkar Hadits itu terdapat di mana-mana dalam dunia
Islam, dari dahulu sampai sekarang.

Sangat menarik jalan pikiran seorang tokoh yang ingkar hadits


itu di zaman modern, yang disebutkan oleh al-Siba'i sebagai
contoh, dan yang dinilainya banyak membuka pintu bagi orang
lain sesudahnya untuk juga bersikap ingkar pada hadits. Tanpa
menyebut namanya secara jelas, al-Siba'i mengutip tokoh itu
yang pandangannya pernah dimuat oleh majalah al-Manar
pimipinan Sayyid Muhammad Rashyid Ridla. Tokoh itu sendiri,
menurut Mushthafa al-Siba'i, adalah seorang muslim yang
bergairah, yang telah tampil membela Islam dengan cara yang
mengagumkan. Tapi pandangannya yang menolak otoritas hadits
telah menimbulkan heboh di kalangan para ulama al-Azhar.

Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yang


menolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan
bahwa Kitab Suci merupakan satu-satunya sumber penetapan
syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah
(yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam
keabsahannya sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi
penambahan-penambahan padanya, dan karena adanya banyak
kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya. Mereka
mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut:

1.Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun


yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am
6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup
seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi
ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum
dan membuat syari'ah.
2.Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan,
sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar
telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami
yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan tidak
menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk
ke dalamnya penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya
hadits termasuk sumber penetapan syari'ah, tentulah
Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya
dari kemungkinan penyelewengan dan perubahan
sebagaimana Dia telah memelihara Kitab Suci-Nya.

3.Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw.,


bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang
membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman
al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para
sahabat Nabi serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu
Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn Muhammad,
al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak
suka pada usaha membukukannya. Pembukuan hadits baru
dimulai pada akhir abad pertama, dan selesai
pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad
ketiga. Ini adalah jangka waktu yang cukup panjang
untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan teks-teks
hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan
sunnah pada tingkat dugaan (martabat al-dhann) belaka,
sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan hukum syar'i,
karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak
sedikit pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm
52:28).

4.Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau


bersabda "Sesungguhnya hadits akan memancarkan dari
diriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan
bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku;
dan apapun yang sampai kepadamu dan menyalahi
al-Qur'an, ia tidak berasal dariku." [1]

Dalam kutipan al-Siba'i tentang argumen orang yang ingkar pada


hadits itu disebutkan bahwa pembukaan hadits dimulai pada
akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada pertengahan abad
ketiga. Mungkin yang dimaksudkan ialah adanya dorongan
pembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102
H.) dari Bani Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutan
kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia
adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang
bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang
'Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun,
sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib.

'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din


al-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi
yang hidup di kalangan penduduk Madinah, Kota Nabi, karena
keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan kelanjutan
langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika
bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari
"tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri.
Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk
menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi
Jama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul
seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau
pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij
yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II
melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum
muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan
khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah,
di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn
'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah
Ibn Mas'ud. Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba
inklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau
"sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga
merupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah"
Nabi. Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi penduduk
Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukaan
"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akan
memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuan
seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup.
Berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak
disebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan para
pendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan
sunnah dan jama'ah).

Mushthafa al-Siba'i amat menghargai kebijakan 'Umar II


berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia
menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi
angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan
al-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi
diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka
akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan
pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i,
sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha
pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd
Allah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash. [2]

Tapi, sesungguhnya, pembukuan hadits secara sistematis dan


kritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhan
yang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengan
tampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benar
rampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnya
al-Nasa'i (w. 303 H). Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikir
peletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasi
hadits. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setia
oleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turut
oleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275
H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303
H). Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitab
yang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian
"sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksi
hadits dalam "Kitab yang Enam" itu.
III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (3/3)
IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
oleh Nurcholish Madjid
IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITS
DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH

Fakta historis tersebut di atas menunjukkan bahwa proses


pengumpulan hadits berlangsung selama satu abad atau lebih,
dimulai sejak sekitar dua abad setelah Nabi dan rampung
sekitar tiga abad setelah Nabi. Sesudah masa itu memang masih
terdapat usaha pengumpulan sisa-sisa hadits oleh beberapa
pribadi, namun sudah tidak lagi banyak berarti. Selain
dasar-dasar pertimbangan yang berasal dari al-Qur'an dan pesan
Nabi sendiri --menurut pengertian yang dipegang oleh mereka
yang ingkar hadits-- masa kodifikasi dan seleksi hadits yang
demikian lama sesudah masa Nabi dan yang memakan waktu
demikian panjang merupakan dasar sikap mereka yang meragukan
otoritas hadits.

Sebagaimana telah dikutip kembali dari keterangan (kutipan)


Mushthafa al-Siba'i, dasar-dasar argumen menolak otoritas
hadits secara ringkasnya adalah sebagai berikut:

1.Keseluruhan ajaran Islam cukup berdasarkan pada


al-Qur'an saja, karena telah menegaskan bahwa Kitab
Suci itu telah memuat segala sesuatu.

2.Allah menjamin terpeliharanya al-Qur'an, tapi tidak


menjamin hal serupa untuk Hadits.

3.Nabi melarang, sekurangnya menghalangi, penulisan


hadits di masa beliau, demikian pula para sahabat dan
para Tabi'un terkenal.

4.Nabi menegaskan agar orang menerima hadits hanya yang


benar-benar bersesuaian dengan al-Qur'an, dan menolak
yang lain.

Dr. Musthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang


tegar, dengan tandas menolak argumen-argumen itu. Dia
menyatakan:

1.Memang benar Kitab Suci memuat segala sesuatu, tapi


hanya dalam garis besar saja.

2.Yang disebut bakal dijamin terpelihara dari usaha


pengubahan tidak hanya pada al-Qur'an tapi juga
meliputi sunnah, dalam hal ini hadits. Sunnah dan
hadits tetap terpelihara, melalui sistem hafalan kaum
muslim Arab yang memang terkenal memiliki kemampuan
menghafal yang amat kuat (sebagai akibat pengembangan
bahasa Arab yang amat tinggi namun tidak banyak
bersandar pada penggunaan tulisan).

3.Pencegahan Nabi dan para pembesar sahabat dan Tabi'un


dari usaha membukukan hadits terjadi karena kekuatiran
akan tercampur dengan teks-teks al-Qur'an yang saat itu
kodifikasi resminya belum mapan di kalangan umat,
disebabkan sedikitnya mereka yang ahli baca-tulis.
Pencegahan itu hanya menyangkut usaha pembukuan resmi.
Sedangkan yang tidak resmi dan sebagai catatan pribadi,
beberapa sahabat telah melakukannya.

4.Keabsahan hadits yang menjadi landasan argumen


keempat di atas diragukan oleh para ahli. Dan jika
benar pun, maknanya adalah sangat wajar, yaitu bahwa
kita harus menerima hadits hanya yang sejalan dengan
al-Qur'an. Justru para ulama semuanya sepakat bahwa,

Hadits yang sahih, meskipun menetapkan ajaran secara


tersendiri, tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an.

Pembelaan al-Siba'i atas sunnah sebagai hadits itu mewakili


pandangan yang sangat umum di kalangan para ulama. Namun ia
tidak memberi kejelasan tentang bagaimana efek kenyataan
sejarah bahwa untuk sampai pada koleksi dan kodifikasi hadits
seperti sekarang ini proses-proses yang amat sulit harus
dilewati, khususnya proses pemisahan mana dari laporan-laporan
hadits itu otentik dan yang palsu. masih tetap diperlukan
adanya argumen yang kukuh dan mendasar untuk pandangan bahwa
klasifikasi yang ada sekarang adalah terpercaya, atau sudah
tidak lagi memerlukan peninjauan kembali. Batu penarung bagi
pandangan ini ialah kenyataan bahwa zaman sekarang ditandai
dengan mudahnya diperoleh bahan bacaan di semua bidang,
termasuk bidang-bidang yang dapat dijadikan landasan kajian
perbandingan ilmu kritik hadits, baik dari segi metodologinya
maupun dari segi hasil-hasil yang telah dicapai. Karena itu
pada zaman sekarang akan lebih mudah bagi mereka yang berminat
secara khusus untuk meneliti kembali hadits-hadits dan membuat
klasifikasi baru tentang sahih-tidaknya matan-matan dan
riwayat-riwayat yang ada. Sebenarnya hal ini dapat sekedar
merupakan pengulangan atau penerapan kembali metodologi Imam
al-Bukhari, tapi dengan dibantu oleh penggunaan
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh zaman modern, baik
dari segi perangkat kerasnya (material dan bahan bacaan yang
tersedia) maupun perangkat lunaknya (metodologi kritiknya).

Imam al-Bukhari sendiri sekedar meneruskan dan menerapkan


dengan setia teori dan prinsip-prinsip riset hadits yang
diletakkan oleh Imam al-Syafi'i. Dorongan untuk meletakkan
teori dan metodologinya itu ialah keprihatinan al-Syafi'i oleh
adanya kekacauan dan berkecamuknya usaha pemalsuan
laporan-laporan hadits di zamannya, yang laporan-laporan itu
sendiri semula dan kebanyakan bergaya anekdotal tentang
generasi Islam yang telah lewat, mencakup tentang Nabi sendiri
dan para sahabat. Karena itu hadits juga disebut Khabar,
Akhbar, Riwayah, Atsar, dan lain-lain, yang kesemuanya
menunjukkan sisa pengertiannya yang mula-mula, yaitu kabar,
berita, penuturan, peninggalan, dan lain-lain. Maka yang
dilakukan al-Syafi'i mempunyai nilai yang sungguh besar,
dengan pengaruh yang sampai sekarang dirasakan oleh seluruh
umat Islam.

Tapi yang telah dilakukan oleh imam al-Syafi'i jauh lebih


banyak daripada sekedar meletakkan dasar-dasar metodologi
penelitian hadits. Tokoh pendiri madzhab yang penganutnya
banyak di negeri kita ini juga diakui jasanya sebagai yang
meletakkan dasar-dasar metodologi penetapan syari'ah, yang
justru terasa semakin relevan dengan keadaan zaman sekarang
ini. Menurut Marshall Hodgson --yang dapat kita anggap sebagai
seorang peninjau netral dan cukup jujur-- al-Syafi'i berjasa
sebagai seorang sarjana yang dengan penuh kesadaran meletakkan
prinsip adanya pertimbangan historis bagi penetapan syari'ah.
Hal itu tercermin dalam konsepnya tentang nasikh-mansukh,
yaitu konsep yang memandang kemungkinan suatu hukum dihapuskan
oleh hukum yang lain dalam Islam, disebabkan adanya
pertimbangan baru berkenaan dengan lingkungan (dharf), baik
lingkungan ruang (dharf al-makan) maupun lingkungan waktu
(dharf al-zaman). [3]

Berdasarkan metodologid al-Syafi'i itu maka terkenal sekali


rumus hukum Islam yang mengatakan bahwa hukum berubah oleh
perubahan zaman dan tempat. Terutama perubahan zaman, semua
ulama sepakat bahwa hal itu tidak dapat dielakkan akan membawa
perubahan hukum. Prinsip ini tercermin dalam dua kalimat
rumusannya dalam bahasa Arab,

[Tulisan Arab]

yang artinya, "Perubahan hukum oleh perubahan zaman. Tidak


dapat diingkari perubahan hukum oleh perubahan zaman). [4]

Untuk dapat melaksanakan prinsip amat penting itu tidaklah


mudah. Salah satu yang mesti diperlukan ialah kemampuan
menangkap "pesan zaman", sehingga suatu hukum dapat diterapkan
secara efektif karena relevan dengan pesan zaman itu. Ini
berarti juga menuntut kemampuan membuat generalisasi atau
abstraksi dari hukum-hukum yang ada menjadi prinsip-prinsip
umum yang berlaku untuk setiap zaman dan tempat. Dan
berlakunya suatu prinsip untuk segala zaman dan tempat adalah
berarti kemestian memberi peluang pada prinsip itu untuk
dilaksanakan secara teknis dan kongkret menurut tuntutan ruang
dan waktu. Karena ruang dan waktu berubah, maka tuntutan
spesifiknya pun tentu berubah, dan ini membawa perubahan
hukum. Maka yang berubah bukanlah prinsipnya, melainkan
pelaksanaan teknis dan kongkret hukum itu dalam masyarakat
tertentu dan masa tertentu.

Iman al-Syafi'i khususnya, dan madzhab Syafi'i umumnya


meletakkan dasar metodologi generalisasi dan abstraksi
(ta'mim, istiqra, tajrid) tersebut dalam lima cara pendekatan
pada setiap ketentuan hukum, yaitu: 1) semua perkara harus
diperhatikan maksud dan tujuannya; 2) bahaya harus dihilangkan
atau dihindari; 3) adat kebiasaan adalah sumber penetapan
hukum; 4) hal mantap tidak boleh dihapus oleh hal yang
meragukan; 5) kesulitan pelaksanaan harus menghasilkan
kemudahan hukum. Dalam bahasa Arab, kelima prinsip itu diberi
patokan rumusan baku sebagai berikut, [5]

[Tulisan Arab]

Kemudian, sesuai dengan kebiasaan klasik dalam budaya literer


Islam, kelima prinsip itu oleh seorang penganut madzhab
Syafi'i didendangkan dalam bentuk syair, demikian:
[Tulisan Arab]

Jika diperhatikan benar-benar metodologi Imam al-Syafi'i itu


maka sesungguhnya terdapat dorongan yang cukup kuat untuk
mendekati suatu ketentuan tekstual, baik dalam Kitab Suci
maupun dalam hadits tidak secara harfiah, melainkan dengan
penarikan ide prinsipil atau fikrah mabda iyyah atau fikrah
ushuliyyah yang dikandungnya, dan yang menjadi inti hikmah
tasyri' dari ketentuan yang ada. Oleh karena tema-tema hadits
umumnya bersifat ad hoc dan lepas dari keseluruhan kepribadian
Nabi, maka abstraksi dan generalisasi dari hadits menghasilkan
problema dan kesulitan yang tidak kecil. Padahal hanya dari
abstraksi dan generalisasi itu kita dapat memahami sunnah
Nabi, dan bukannya sekedar menyamakan begitu saja makna dan
semangat sunnah dengan teks-teks laporan hadits.

CATATAN

1.Dr. Mushthafa al-Siba'i, "Al-A'ashir fi wajh al-Sunnah


Hadits-an" dalam majalah Al-Muslimin, Damaskus, No. 3
(Syawal 1374 H/Ayyar [Mei 1955]), hal. 24-26.

Meskipun Al-Siba'i tidak menyebutkan nama tokoh Ingkar


Hadits ini, namun dari bukunya. Al-Sunnah wa Makanatuha
fi al-Tasyri' al-Islami, nama itu dapat diperkirakan
sebagai Dr. Ahmad Amin, seorang penganut modernisme
Islam yang terkenal. (Al-Siba'i, Al-Sunnah, Nurcholish
Madjid (terj & ed) (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt).

2.Ibid, hal. 27.

3.Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid


(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jilid
33, hal.437.

Menurut Hodgson, sesungguhnya yang dikembangkan oleh


Imam al-Syafi'i adalah prinsip-prinsip yang tendensinya
sudah terlihat di zaman Nabi sendiri, jadi memiliki
tingkat otentisitas yang tinggi, dan Hodgson melihat
pada metodologi itu sebagai salah satu sumber ketentuan
dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman, khususnya
zaman modern sekarang ini. Maka berkenaan dengan ini
menarik sekali keputusan para ulama NU seluruh Indonesia
di Tambakberas, Jombang, beberapa waktu yang lalu, yang
menetapkan bahwa penganutan kepada madzhab Syafi'i
seyogyanya tidak terbatas hanya kepada pendapat-pendapat
spesifik (qawl) beliau saja, tetapi lebih penting lagi
ialah kepada metodologi (manhaj, minhaj) yang dirintis
dan dikembangkannya.

4.Mushthafa Ahmad al-Zarqa, "Taghayyur al-Ahkam bi


Taghayyur al-Azman," dalam majalah Al-Muslimun,
Damaskus, No. 8 (Syawal 1373 H/Juni 1954 M), hal. 34.

5."Tarikh al-Qawa'id al-Kulliyyah fi al-Syari'at


al-Islamiyyah," dalam majalah Al-Muslimun Damaskus, No.
12 (Syawal 1373 H/Mei 1955 M), hal. 17.
III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (1/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Pada waktu Nabi saw sakit keras, beliau bersabda, "Bawa


kepadaku Kitab agar kalian tidak akan sesat sesudahku." Umar
berkata. "Sakit keras menguasai diri. Pada kita ada kitab
Allah itu cukup buat kita." Orang-orang pun bertikai dan
ramailah pembicaraan. Nabi saw berkata, "Enyahlah kalian dari
sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku."

Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga Ibnu


Abbas yang meriwayatkan hadits di atas menyebutkannya sebagai
tragedi hari Kamis. "Alangkah tragisnya kejadian yang
menghalangi Nabi saw. untuk menuliskan wasiatnya," kata Ibnu
Abbas. Kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai
tragedi. Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapan
Nabi saw. yang sedang udzur, sehingga Nabi saw. murka kepada
mereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduh
perintah Nabi saw itu dilakukan tidak sadar (Dalam riwayat
lain, Umar mengatakan Nabi saw. mengigau!), sehingga tidak
perlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwa
al-Qur'an saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjuk
Rasulullah saw di luar itu?

Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwa


itu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memuji
kebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Kata
al-Qurthubi, "Memang yang diperintah harus segera menjalankan
perintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat
perintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yang
terbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi saw dengan sesuatu
yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi
ada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini
sedikit pun," dan al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu.
Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita."

Kata al-Khithabi, "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu,


karena sekiranya Nabi saw. menetapkan sesuatu yang
menghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu tak
ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi." Kata
Ibn al-Jawzi. "Umar kuatir sekiranya Nabi saw. menuliskan
dalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencari
jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu."

Apapun komentar para ulama, perkataan Umar, "Kitab Allah ...,"


telah memulai problematika sunnah atau hadits yang berada di
luar al-Qur'an. Betulkah al-Qur'an saja sudah cukup? Atau
bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah karya
ilahi, sedangkan sunnah atau hadits adalah produk pemikiran
manusia; dan karena itu tidak mengikat?

Sikap Umar terhadap hadist adalah sikap Abu Bakar juga.


Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan
satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak
setelah Nabi saw wafat. Abu Bakar berkata: "Kamu sekalian
meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, sehingga
kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih
keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadits
sedikit pun dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang meminta
kalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan Anda
ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan
apa yang diharamkannya."

Baik Abu Bakar maupun Umar, menegaskan sikap mereka dengan


tindakan. Mereka melarang periwayatan hadits dengan keras.
Aisyah bercerita, "Ayahku telah menghimpun 500 hadits dari
Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, "Bawa
hadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu." Ia
lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati,
meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu."

Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata,


"Hadits-hadits makin bertambah banyak pada zaman Umar.
Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelah
hadits-hadits itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara
api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnat
Ahli Kitab."

Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk
al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar
sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn
Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin
Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti ini
berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika
beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan
hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah.
Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar
di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah.

Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar
merujuk selain al-Qur'an? Ketika mereka ingin mengetahui
cara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau
menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan
Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab,
mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu
mereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintu
ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat
perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membuka
pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada
kedua konsep itu.

DARI SUNNAH KE HADITS

Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah praktek


kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal
dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam
Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum
Islam terhadap sunnah yang ada, di tambah unsur-unsur yang
berasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi, dan Persia. Ketika
gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah yang
ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut "Sunnah Nabi."
Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan
menegaskan:

Sekarang kami akan menunjukkan (1) Bahwa sementara kisah


perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan
kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya
yang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang
memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam
hingga masa kini, (2) Bahwa kandungan sunnah yang bersumber
dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan
bersifat spesifik secara mutlak; (3) Bahwa konsep sunnah
sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi juga
penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; (4) Bahwa
sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan
ijma' yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin
meluas secara terus-menerus; dan yang terakhir sekali (6)
Bahwa setelah gerakan pemurnian Hadits yang besar-besaran,
hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadi
rusak.

TELADAN NABI SAW


|
PRAKTEK PARA SAHABAT
|
PENAFSIRAN INDIVIDUAL
|
OPINIO GENERALIS
|
OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
|
FORMALISASI SUNNAH (HADITS)

Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw. sebagai


teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran
individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian
sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi
sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free
market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah,
Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama
di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah.
Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim,
berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr
al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada
opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang
ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi
sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah
ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan
menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (2/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

Mungkin banyak ulama akan tercengang membaca pandangan Fazlur


Rahman tentang hadits, seperti saya kutip di bawah ini:

Berulang kali telah kami katakan --mungkin sampai membosankan


sebagian pembaca-- bahwa walaupun landasannya yang utama
adalah teladan Nabi, hadits merupakan hasil karya dari
generasi-generasi muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme
yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi,
oleh kaum muslimin sendiri; walaupun secara historis tidak
terlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwa
hadits tersebut tidak bersifat historis. Secara lebih tepat
hadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat
muslim di masa lampau.

Walhasil, setelah kaum muslim awal secara berangsur-angsur


sepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu kepada
Nabi saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentuk
verbal. Inilah yang disebut hadits. Bila sunnah adalah proses
kreatif yang terus menerus, hadits adalah pembakuan yang kaku.
Ketika gerakan hadits unggul, ijma' (yang merupakan opinio
publica) dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat
terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan.

DARI HADITS KE SUNNAH

Sepakat dengan Fazlur Rahman, saya juga berpendapat bahwa


perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi
perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang
bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai
dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat
menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlah
kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia
berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw.
menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah
itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak
termasuk golonganku."

Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, saya berpendapat


bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah
hadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat
untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang
dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya.
Misalnya Ali, seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushaf
di luar al-Qur'an, yang menghimpun keputusan-keputusan hukum
yang pernah dibuat Rasulullah saw. Abdullah bin Amr bin Ash
juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi.

Dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam pengantar di


atas, kita melihat 'Aisyah juga menyimpan catatan-catatan
hadits (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri pernah
mengumpulkan catatan-catatan hadits yang berserakan dan
membakarnya.

Kita tidak akan mengupas mengapa dua khalifah pertama


mengadakan gerakan "penghilangan" hadits. Yang jelas, pengaruh
kedua sahabat besar ini terasa sampai lebih dari satu abad.
Keengganan mencatat hadits, menurut Rasm Ja'farian, telah
mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama,
hilangnya sejumlah besar hadits. Urwah bin Zubayr pernah
berkata, "Dulu aku menulis sejumlah besar hadits, kemudian aku
hapuskan semuanya. Sekarang aku berpikir, alangkah baiknya
kalau aku tidak menghancurkan hadits-hadist itu. Aku bersedia
memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya
kembali."

Kedua, terbukanya peluang pada pemalsuan hadits. Abu al-Abbas


al-Hanbaly menulis, "Salah satu penyebab timbulnya perbedaan
pendapat di antara para ulama adalah hadits-hadits dan
teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah
yang bertanggung jawab atas kejadian ini, karena para sahabat
meminta izin untuk menulis hadits tapi Umar mencegahnya.
Seandainya para sahabat menuliskan apa-apa yang pernah
didengarnya dari Rasulullah saw, sunnah akan tercatat tidak
lebih dari satu rantai saja (dalam penyampaian) antara Nabi
saw dan umat sesudahnya."

Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima


hadits secara lisan, ketika menyampaian hadits itu mereka
hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan,
redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah
persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadits berkembang
sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.

Keempat, terjadilah perbedaan pendapat. Bersamaan dengan


perbedaan pendapat ini, lahirlah akibat yang kelima, yang
mengandalkan ra'yu. Karena sejumlah hadits hilang, orang-orang
mencari petunjuk dari ra'yu-nya. Dalam pasar ra'yu yang
"bebas" (dalam kenyataannya, pasar gagasan umumnya tidak
bebas) sebagian ra'yu menjadi dominan. Ra'yu dominan inilah,
menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra'yu
menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya
demokrasi; boleh jadi juga karena dipaksakan penguasa. Tidak
mungkin kita memberi contoh-contohnya secara terperinci
disini.

Dalam semua kejadian ini, dominasi ra'yu sangat ditopang oleh


hilangnya catatan-catatan tertulis. Untuk memperparah keadaan,
tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara
bebas membuat hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atau
sosiologis. Abu Rayyah menulis, "Ketika hadits-hadits Nabi
saw. tidak dituliskan dan para sahabat tidak berupaya
mengumpulkannya, pintu periwayatan hadits palsu terbuka baik
untuk orang taat maupun orang sesat, yang meriwayatkan apa
saja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun."

Pendeknya, hilangnya catatan-catatan hadits telah menimbulkan


dominasi ra'yu, yang kemudian disebut sunnah. Panjangnya
rangkaian periwayatan hadits telah memungkinkan orang-orang
menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadits-hadits.
Tidak mengherankan, bila Fazlur Rahman sampai kepada
kesimpulan, hadits adalah produk pemikiran kaum muslim awal
untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan
sebagai produk para ahli hukum Islam: yang kemudian
dinisbahkan kepada Nabi saw. Jadi, mula-mula muncul hadits.
Kemudian, orang berusaha menghambat periwayatan hadits,
terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih
merujuk pada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah
masyarakat, daripada pada teks. Ketika hadits-hadits
dihidupkan kembali, melalui kegiatan para pengumpul hadits,
kesulitan menguji hadits menjadi sangat besar.

Ulum al-Hadits mungkin membantu kita mengatasi kesulitan ini


dengan menambah kesulitan baru. Kesulitan bahkan muncul ketika
kita mendefinisikan hadits dan sunnah. Bila saya mendaftar
kesulitan yang disebut terakhir, saya hanya ingin mengajak
pembaca merekonstruksi kembali pandangannya tentang hadits dan
sunnah.

MENCARI DEFINISI HADITS DAN SUNNAH

Pada suatu hari Marwan bin Hakam berkhotbah di Masjid Madinah.


Waktu itu ia menjadi Gubernur Madinah yang ditunjuk oleh
Mu'awiyah. Ia berkata. "Sesungguhuya Allah ta'ala telah
memperlihatkan kepada Amir-u 'l-Mu'minin yakni Muawiyah
pandangan yang baik tentang Yazid, anaknya. Ia ingin menunjuk
orang sebagai khalifah. Jadi ia ingin melanjutkan sunnah
Abubakar dan Umar. Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar berkata, "Ini
sunnah Heraklius dan Kaisar. Demi Allah, Abubakar tidak pernah
menunjuk salah seorang anaknya atau salah seorang keluarganya
untuk menjadi khalifah. Tidak lain Muawiyah hanya ingin
memberikan kasih-sayang dan kehormatan kepada anaknya." Marwan
marah dan menyuruh agar Abd-u 'l-Rahman ditangkap. Abd-u
'l-Rahman lari ke kamar saudaranya, Aisyah Ummu 'l-Mukminin.
Marwan melanjutkan khotbahnya, "Tentang orang inilah turun
ayat yang berkata pada orang tuanya 'cis' bagimu berdua."
Ucapan itu sampai kepada Aisyah. Ia berkata, "Marwan berdusta.
Marwan berdusta. Demi Allah, bukanlah ayat itu turun untuk
dia. Bila aku mau, aku dapat menyebutkan kepada siapa ayat ini
turun. Tapi Rasulullah saw. telah melaknat ayahmu ketika kamu
masih berada di sulbinya. Sesungguhnya kamu adalah tetesan
dari laknat Allah."

Hadits ini diriwayatkan al-Nasa'i, Ibn Mundzir, al-Hakim dan


al-Hakim menshahihkannya (lihat Mustadrak al-Hakim 4:481;
Tafsir al-Qurthubi 16:197; Tafsir Ibn Katsir 4:159; Tafsir
Al-Fakhr al-Razi 7:491, Tafsir al-dur al-Mansur 6:41 dan
kitab-kitab tafsir lainnya). Bukhari meriwayatkan hadits ini
dengan singkat. Ia membuang laknat Rasulullah saw. kepada
Marwan dan menyamarkan ucapan Abd-u 'l Rahman. Inilah riwayat
Bukhari,

Marwan di Hijaz sebagai gubernur yang diangkat Muawiyah. Ia


berkhotbah dan menyebut Yazid ibn Muawiyah supaya ia dibaiat
sesudah bapakuya. Maka Abdurrahman mengatakan sesuatu. Ia
berkata, "Tangkaplah dia." Ia masuk ke rumah Aisyah dan mereka
tidak berhasil menangkapnya Kemudian Marwan berkata,
"Sesungguhnya dia inilah yang tentang dia Allah menurunkan
ayat-ayat dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya
'cis' bagimu berdua, apakah kalian menjanjikan padaku dan
seterusnya. Aisyah berkata dari balik hijab: Allah tidak
menurunkan ayat apapun tentang kami kecuali Allah menurunkan
ayat untuk membersihkanku.

Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam hitungan Ibnu Hajar
al-Asqalani (lihat Fath al-Bari 8:576). Yang menarik kita
bukanlah apa yang dibuang Bukhari, tetapi "perang hadits"
antara dua orang sahabat --Marwan ibn Hakam dan 'Aisyah. Yang
pertama menyebutkan, asbab al-nuzul ayat al-Ahqaf itu
berkenaan dengan 'Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang kedua
menegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu turun
berkenaan dengan orang lain. 'Aisyah malah menegaskan dengan
hadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknat
Allah dan Rasul-Nya.
III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (3/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat

KERANCUAN PENGERTIAN HADITS

Riwayat di atas disebut "hadits" padahal yang diceritakan


adalah perilaku para sahabat. Para ahli ilmu hadits
mendefinisikan hadits sebagai "apa saja yang disandarkan
(dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan,
taqrir, atau sifat-sifat atau akhlak (Lihat Dr. Nurrudin Atar,
Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, halaman 26). Riwayat di atas
tidak menceritakan hal ihwal Nabi saw. ia bercerita tentang
perilaku para sahabatnya.

Bila kita membuka kitab-kitab hadits, segera kita menemukan


banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan ucapan,
berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalan
di sini, dikutipkan beberapa saja diantaranya. Pada Shahih
Bukhari, hadits No. 117 menceritakan tangkisan Abu Hurairah
kepada orang-orang yang menyatakan Abu Hurairah terlalu banyak
meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak disibukkan
dengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar dan
Muhajirin. Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkan
perutnya, menghadiri majelis yang tidak dihadiri yang lain,
dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang lain.

Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitab


haditsnya, padahal riwayat ini tidak menyangkut ucapan,
perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits yang menceritakan
sahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnya
terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan
dengan Nabi saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh
al-Bukhari menyebutkan secara terperinci hadits-hadits mawquf
dalam Shahih Bukhari.

Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih


dapat dianggap hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah
"apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw.
berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak
dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat." Namun
jangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat,
para ulama di luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat
tentang para tabi'in yakni ulama yang berguru kepada para
sahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari,
misalnya, ada hadits yang berbunyi "Iman itu perkataan dan
perbuatan, bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw.
Menurut Bukhari, ini adalah ucapan para ulama di berbagai
negeri (lihat Fath-u 'l-Bari 1:47). Karena itu menurut Dr.
Atar, definisi hadits yang paling tepat ialah "apa saja yang
disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan,
perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja
yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabi'in."

Sampai di sini kita bertanya apakah kita sepakat dengan


definisi Dr. Atar. Bila ya, harus mengubah anggapan kita
selama ini. Ternyata hadits itu tidak semuanya berkenaan
dengan Nabi saw. Kembali kepada Rasulullah saw. Yang paling
menyusahkan kita ternyata tidak semua hadits walaupun shahih
meriwayatkan sunnah Rasulullah saw. Boleh jadi banyak amal
yang kita lakukan selama ini ternyata bersumber pada "hadits"
yang bukan hadits (menurut definisi yang pertama).

Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikan


kaum modernis untuk menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada
kematian. Hadits itu berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada
ahli mayit dan menyediakan makanan sesudah penguburannya
termasuk meratap." Hadits ini merupakan ucapan 'Abd-u l-Lah
al-Bajali, bukan ucapan Bani saw. (lihat Nayl al-Awthar
4:148). Demikian pula, kebiasaan melakukan adzan awal pada
shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional, didasarkan kepada
hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsman
ibn 'Affan. Ucapan "al-shalat-u khair-un min al-nawm" dalam
adzan Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar
ibn Khatab. Akhirnya, perhatikanlah hadits ini:

Dari Jabir ra: Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang muth'ah


tetapi Ibn Abbas memerintahkannya. Ia berkata: Padaku ada
hadits. Kami melakukan muth'ah pada zaman Rasulullah saw. Dan
pada zaman Abu Bakar ra. Ketika Umar berkuasa, ia berkhotbah
kepada orang banyak: Sesungguhnya Rasulullah saw. Adalah Rasul
ini, dan sesungguhnya al-Qur'an itu adalah al-Qur'an ini. Ada
dua muth'ah yang ada pada zaman Rasulullah saw. Tetapi aku
melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Yang pertama muth'ah
perempuan. Bila ada seorang laki-laki menikahi perempuan
sampai waktu tertentu, aku aakan melemparinya dengan batu.
Yang kedua muth'ah haji (haji tamattu').

Hadits ini diriwayatkan dalam Sunnah Baihaqi 7:206;


dikeluarkan juga oleh Muslim dalam shahihnya. Hadits ini
menceritakan khotbah sahabat Umar yang mengharamkan muth'ah
yang dilakukan para sahabat sejak zaman Rasulullah saw. Sampai
ke zaman Abu Bakar ra. Manakah yang harus kita pegang: hadits
taqrir Nabi saw. Yang membiarkan sahabatnya melakukan muth'ah
atau hadits larangan Umar? Umumnya kita memilih yang kedua.

Walhasil, dengan memperluas definisi hadits sehingga juga


memasukkan perilaku para sahabat dan tabi'in, kita mengamalkan
juga sunnah para sahabat, yang tidak jarang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah saw. Kerancuan definisi hadits ini
membawa kita kepada ikhtilaf mengenai apa yang disebut sunnah.

KERANCUAN PENGERTIAN SUNNAH

Para ahli hadits, dan banyak di antara kita, menyamakan hadits


dengan sunnah. Ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai
"apa saja yang keluar dari Nabi saw. Selain al-Qur'an berupa
ucapan, perbuatan, dan taqrir, yang tepat untuk dijadikan
dalil hukum syar'i" (Muhammad Ajjaj al Khathib, al-Sunnah Qabl
al-Tadwin, h.16)

Jadi menurut ulama ushul fiqh, tidak semua hadits mengandung


sunnah. Imam Ahmad pernah diriwayatkan berkata, "Dalam hadits
ini ada lima sunnah, fi hadza 'l-hadits khams-u sunnah." Tidak
semua ulama setuju dengan pernyataan Ahmad. Mungkin saja buat
sebagian di antara mereka, dalam hadits hanya ada tiga sunnah.
Masalahnya sekarang: kapan perkataan, perbuatan dan taqrir
Nabi saw. Itu tepat disebut sunnah?

Seandainya seorang sahabat berkata, "Aku mendengar Rasulullah


saw. Batuk tiga kali setelah takbirat-u 'l-ihram," dapatkah
kita menetapkan perilaku Nabi saw. Dalam hadits itu sebagai
sunnah? Anda berkata tidak, karena perbuatan Nabi saw. Itu
hanya kebetulan saja dan tidak mempunyai implikasi hukum.
Batuk tidak bernilai syar'i.

Tetapi bagaimana pendapat anda bila Wail bin Hajar melaporkan


apa yang disaksikannya ketika Nabi saw. duduk tasyahhud, "Aku
melihatnya menggerakkan telunjuknya sambil berdoa?" Tidakkah
anda menyimpulkan bahwa gerakan telunjuk itu sama dengan batuk
--yang hanya secara kebetulan tidak mempunyai implikasi hukum.
Bukankah Ibnu Zubair melihat "Nabi saw. memberi isyarat dengan
telunjuknya tapi tidak mengerakkannya?" (Nayl al-Awthar
2:318). Banyak orang, termasuk para ulama yang menyamakan
hadits dengan sunnah, menyebut sunnah pada semua perilaku Nabi
saw. yang dllaporkan dalam hadits. Abdullah bin Zaid bercerita
tentang istisqa Nabi saw. Pada waktu khotbah istisqa Nabi saw.
Membalikkan serbannya, sehingga bagian dalam serban itu di
luar dan sebalik. Dalam riwayat lain, Nabi saw. memindahkan
serbannya, sehingga ujung serban sebelah kanan disimpan pada
bahu sebelah kiri dan ujung serban sebelah kiri disimpan pada
bahu sebelah kanan. Jumhur ulama termasuk Imam Syafi'i dan
Malik menetapkan pembalikan atau pemindahan serban itu sebagai
sunnah. Kata Syafi' i, "Nabi saw. Tidak pernah memindahkan
serban kecuali kalau berat." Jadi pemindahan dalam khotbah
istisqa itu tentu mempunyai implikasi syar'i. Imam Hanafi dan
sebagian pengikut Maliki menetapkan bukan sunnah. Pemindahan
itu hanya kebetulan saja. Para ulama juga ikhtilaf untuk
menetapkan apakah pemindahan serban itu berlaku bagi imam atau
berlaku bagi jemaah juga, apakah yang sunnah itu pemindahan
atau pembalikkan. Anda melihat bagaimana para ulama berbeda
dalam mengambil sunnah hanya dari satu hadits saja.

Karena itu, Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihad


menegaskan adanya unsur penafsiran manusia dalam sunnah.
Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadits.
Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut sunnah
adalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama dengan
ijma'. Karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnah
tentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Qur'an.

Pernyataan Fazlur Rahman ini bagi kebanyakan orang sangat


mengejutkan. Bukanlah selama ini yang kita anggap benar secara
mutlak adalah al Qur'an dan sunnah? Patut dicatat bahwa
kesimpulan Fazlur Rahman itu didasarkan pada sunnah dalam
pengertian sunnah Rasulullah saw. Dengan latar belakang uraian
tentang hadits sebelumnya, kita menemukan juga adanya sunnah
para sahabat, bahkan sunnah para tabi'in. Definisi sunnah
seperti disebutkan di atas, pada kenyataannya tidak lagi
dipakai. Bila sunnah sudah mencakup juga perilaku sahabat,
kemusykilan tentang sunnah makin bertambah.

PENUTUP.

Ketika kita sedang giat melakukan islamisasi ilmu, budaya,


ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak bisa tidak harus
merujuk pada hadits dan sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an).
Bahkan ketika merujuk pada al-Qur'an pun, kita harus melihat
hadits. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran
Islam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan
ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadits dan sunnah
dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang sering kita lupakan
adalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis ini
seringkali dicurigai akan menghilangkan hadits atau sunnah.
Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankan
kepada kita oleh para ulama terdahulu.

Bila para pembaru Islam terdahulu memulai kiprahnya dari


kritik terhadap hadits dan sunnah (Ingat bagaimana
Muhammadiyah dan PERSIS "men-dha'if-kan" hadits-hadits yang
dipergunakan orang-orang NU), mengapa kita tidak mau
melanjutkannya. Konon Imam Bukhari bermimpi, ia duduk di
hadapan Rasulullah saw, dan di tangannya ada kipas untuk
mengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi saw. Ketika ia
bertanya kepada orang-orang pandai apa arti mimpi itu, mereka
berkata, "Anda akan membersihkan hadits Nabi saw. dari
kebohongan." Inilah yang mendorong Bukhari mengumpulkan
hadits-hadits yang sahih saja, dengan membuang ribuan hadits
yang dianggap dha'if (lemah). Siapa yang ingin melanjutkan
tradisi Imam Bukhari dewasa ini?

You might also like