You are on page 1of 107

17

BAB II
FEMINISME DALAM NOVEL
PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

Bab dua akan membahas tentang kajian pustaka dari teori yang sedang
dikaji dan kedudukan masalah penelitian dalam bidang ilmu yamg diteliti.
Fungsi lain dari kajian pustaka adalah sebagai landasan teoretik dalam analisis
temuan. Adapun dalam bab dua ini akan dibahas tentang feminisme (sejarah,
pengertian, aliran-aliran feminisme, feminisme dalam sastra, hak perempuan
dalam Islam, dan kondisi perempuan dalam masyarakat; Kritik sastra feminis
(pengertian, jenis-jenis, dan cara kerja kritik sastra feminis); sastra (pengertian,
ciri-ciri, jenis-jenis, fungsi, dan unsur-unsur pembentuk sastra); novel
(pengertian, ciri-ciri, jenis, fungsi, unsur-unsur yang membangun novel, dan teori
struktur novel); dan bahan pembelajaran apresiasi sastra (pengertian, kriteria,
fungsi, manfaat, unsur-unsur, kualitas, cakupan, dan bahan pembelajaran
apresiasi sastra dalam KTSP).
A. Feminisme
Feminisme merupakan ideologi yang sudah berkembang di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia. Feminisme juga telah memasuki ruang-
ruang kehidupan, termasuk dalam karya sastra. Pada dasarnya feminisme
merupakan suatu ideologi yang memberdayakan perempuan. Perempuan juga
bisa menjadi subjek dalam segala bidang dengan menggunakan pengalamannya
sebagai perempuan dan menggunakan perspektif perempuan yang lepas dari
mainstream kultur patriarki yang selalu beranjak dari sudut pandang laki-laki.
18

Pembahasan mengenai feminisme dalam penelitian ini akan diarahkan pada
pembahasan mengenai sejarah feminisme; pengertian dan teori feminisme; aliran-
aliran dalam feminisme yang terdiri atas feminisme liberal, feminisme marxis,
feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme poskolonial, dan feminisme
muslim; feminisme dalam sastra; dan kondisi perempuan dalam masyarakat.
1. Sejarah Feminisme
Gerakan feminisme secara umum merupakan suatu reaksi atas
ketimpangan dan ketidakadilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang
patriarkhi (Mustaqim, 2008:88). Secara historis, gerakan feminisme di Barat
terkait dengan lahirnya renaissance di Italia yang membawa fajar kebangkitan
kesadaran baru Eropa. Pada saat itu muncullah para humanis yang menghargai
manusia baik laki-laki maupun perempuan sebagai individu yang bebas
menggunakan akal budinya, bebas dari pemasungan intelektual gereja.
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan era pencerahan
di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de
Condorcet. Setelah Revolusi Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun
1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung
daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan dari kalangan
atas sampai kalangan bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk
mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, hak atas milik, dan hak pekerjaan.
Karena tidak memiliki hak-hak tersebut, kedudukan perempuan tidaklah sama di
hadapan hukum. Menurut mereka, ketertinggalan tersebut disebabkan oleh
kebanyakan perempuan masih buta huruf, miskin, dan tidak memiliki keahlian.
19

Karenanya gerakan perempuan awal ini lebih mengedepankan perubahan sistem
sosial di mana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu.
Pada tahun 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan
pertama kali di didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kemudian tahun 1837, kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis
sosialis utopis, Charles Fourier. Pada tahun yang sama, Grimke membuat sebuah
tulisan yang terkait dengan feminisme. Dalam tulisannya tersebut ia mengatakan
sebagai berikut.
Kami tidak meminta untuk diistimewakan atau berusaha merebut
kekuasaan tertentu. Yang sebenarnya kami inginkan adalah sederhana,
bahwa, mereka mengangkat kaki mereka dari tubuh kami dan
membiarkan kami berdiri tegap sama seperti manusia lainnya yang
diciptakan Tuhan (Sarah Grimke, 1837)

Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan
(feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomorduakan oleh kaum
laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik,
terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional
yang berorientasi agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar
rumah. Adapun kaum perempuan ditempatkan di dalam rumah. Situasi ini mulai
mengalami perubahan ketika datangnya era liberalisme di Eropa dan terjadinya
Revolusi Perancis pada abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan
ke seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum
perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktik-
praktik dan kotbah-kotbah yang menunjang hal tersebut ditilik dari banyaknya
20

gereja yang menolak adanya pendeta perempuan dan beberapa jabatan tua yang
hanya dijabat oleh laki-laki.
Gerakan feminisme berkembang pesat di Amerika setelah munculnya
publikasi John Stuart Mill (1869) yang berjudul The Subjection of Women (Broto
dalam Darma, 2009:145). Gerakan ini menandai kelahiran feminisme gelombang
pertama. Menjelang abad IX, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup
mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan-
perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka
sebut sebagai keterikatan universal (universal sisterhood). Gerakan ini
memunculkan lahirnya feminisme gelombang kedua. Pada tahun 1960 bersamaan
dengan munculnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa,
menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih. Pada saat itu untuk
pertama kali, perempuan diberi hak suara di parlemen, hak pilih, dan
diikutsertakan dalam ranah politik kenegaraan. Perjuangan gerakan feminisme
berkembang lebih luas dengan tuntutan untuk mencapai kesederajatan dan
kesetaraan harkat serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola
kehidupan dan tubuhnya baik di ruang domestik maupun di ruang publik (Darma,
2009:145). Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti
Helene Cixous dan Julia Kristeva.
Seratus tahun kemudian, perempuan-perempuan kelas menengah abad
industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka
mulai keluar rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan
korban para perempuan. Pada saat itu benih-benih feminisme mulai muncul,
meski dibutuhkan seratus tahun lagi untuk menghadirkan seorang feminis yang
21

dapat menulis secara teoritis tentang persoalan perempuan. Simone de Beauvoir,
seorang filsuf Perancis yang menghasilkan karya pertama berjudul The Second
Sex. Dua puluh tahun setelah kemunculan buku itu, pergerakan perempuan barat
mengalami kemajuan yang pesat. Persoalan ketidakadilan seperti upah yang tidak
adil, cuti haid, aborsi hingga kekerasan mulai didiskusikan secara terbuka
(Bafagih dalam http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-
perempuan.html).
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung
pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis
oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih
setelah Friedan membentuk organisasi perempuan bernama National
Organization for Woman (NOW) pada tahun 1966 yang gemanya merambah ke
segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundang-undangan, tulisan Betty
berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) dan Equal Right Act
(1964). Equal Pay Right merupakan peraturan tentang pembayaran kerja
sehingga kaum perempuan dapat menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan
memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Adapun
Equal Right Act merupakan peraturan tentang hak pilih, di mana perempuan
mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada tahun
1960-an menunjukkan bahwa sistem sosial masyarakat modern memiliki struktur
yang pincang akibat budaya patriarki yang kental. Marginalisasi peran
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik,
merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
22

Gerakan feminisme tersebut telah membawa dampak luar biasa dalam
kehidupan sehari-hari perempuan. Akan tetapi bukan berarti perjuangan
perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana baru terus bermunculan
hingga kini. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama,
berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau rasial. Musuh perempuan
seringkali tidak berbentuk dan bersembunyi dalam kamar-kamar pribadi.
Karenanya perjuangan kesetaraan perempuan tetap akan bergulir sampai
perempuan berdiri tegap seperti manusia lainnya yang diciptakan Tuhan.
Gerakan feminisme di Indonesia dimulai sejak masa prakemerdekaan.
Gerakan feminisme di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa tokoh
perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini, Dewi
Sartika, Cut Nya Dien dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi
perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan Dewi Sartika
dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan
mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil karena baru sebatas
itulah yang memungkinkan untuk dilakukan pada masa itu. Sementara Cut Nya
Dien yang hidup di lingkungan yang tidak sepatriarki Jawa, telah menunjukkan
kesetaraan dalam perjuangan fisik tanpa batasan gender. Apapun, mereka adalah
peletak dasar perjuangan perempuan masa kini di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan feminisme
terbilang cukup dinamis dan memiliki bargaining cukup tinggi. Akan tetapi,
kondisi semacam ini mulai tumbang sejak Orde Baru (orba) berkuasa. Bahkan
mungkin perlu dipertanyakan: adakah gerakan perempuan di masa rejim orde
baru? Bila menggunakan definisi tradisional di mana gerakan feminisme
23

diharuskan berbasis massa, maka sulit dikatakan ada gerakan feminisme ketika
itu. Apalagi bila definisi tradisional ini dikaitkan dengan batasan ala Alvarez
yang memandang gerakan feminisme sebagai sebagai sebuah gerakan sosial dan
politik dengan anggota sebagian besar perempuan yang memperjuangkan
keadilan gender. Alvarez tidak mengikutkan organisasi perempuan milik
pemerintah atau organisasi perempuan milik parpol serta organisasi perempuan di
bawah payung organisasi lain dalam definisinya tersebut.
Gerakan feminisme di masa rejim otoriter Orde baru muncul sebagai hasil
dari interaksi antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik
makro berhubungan dengan politik gender orba dan proses demokratisasi yang
semakin menguat di akhir tahun 80-an. Adapun faktor politik mikro terkait
dengan wacana tentang perempuan yang mengerangkakan perspektif gerakan
feminisme masa pemerintahan Orba. Wacana-wacana ini termasuk pendekatan
Women in Devolopment (WID) yang telah mendominasi politik gender Orba
sejak tahun 70-an, juga wacana feminisme yang dikenal oleh kalangan terbatas
(kampus/akademisi).
Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, pemerintahan Orba
diidentikkan dengan berbagai peraturan otoriter yang tersentralisasi dari militer
dan tidak dikutsertakannya partisipasi efektif partai-partai politik dalam proses
pembuatan keputusan. Anders Uhlin (Bafagih,
http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html) berpendapat
bahwa selain dominasi negara atas masyarakat sipil, struktur ekonomi dan politik
global, struktur kelas, pembelahan atas dasar etnis dan agama, hubungan gender
juga mendukung kelanggengan kekuasaan rejim Orba.
24

Untuk memahami politik gender ini sangat penting, menganalisis
bagaimana rejim Orba ini berhubungan dengan hubungan-hubungan gender sejak
ia berkuasa setelah peristiwa 1965. Rejim Orba dibangun di atas kemampuannya
untuk memulihkan ketakteraturan. Pembunuhan besar-besaran berskala luas yang
muncul digunakan untuk memperkuat kesan di masyarakat Indonesia bahwa Orla
adalah kacau balau dan tak beraturan. Rejim Orba secara terus-menerus dan
sistemis mempropagandakan komunis adalah amoral dan anti agama serta
penyebab kekacauan.
Selain itu, Gerwani (Gerakan wanita Indonesia) sebagai bagian dari PKI
juga menjadi alat untuk menciptakan pondasi politik gender yang secara
mendasar mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam kegiatan-kegiatan
politik. Kampanye ini ternyata tidak hanya menghancurkan komunis, tetapi juga
menghancurkan gerakan perempuan, dalam hal ini gerakan feminisme. Kodrat
menjadi kata kunci, khususnya dalam mensubordinasi perempuan. Orba
mengkonstruksikan sebuah ideologi gender yang mendasarkan diri pada ibusime,
sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari
peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan dalam politik sebagai tak
layak. Politik gender ini termasnifestasikan dalam dokumen-dokumen negara,
seperti GBHN, UU Perkawinana No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita.
Dalam usaha untuk memperkuat politik gender tersebut, pemerintah Orba
merevitalisasi dan mengelompokkan organisasi-organisasi perempuan yang
berafiliasi dengan departemen pemerintah pada tahun 1974. Organisasi-
organisasi ini (Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK) membantu pemerintah
menyebarluaskan ideologi gender ala Orba. Gender politik ini telah diwarnai
25

pendekatan WID (Women in Depelopment) sejak tahun 70-an. Ini dapat dilihat
pada Repelita kedua yang menekankan pada partisipasi populer dalam
pembanguan, dan mengkonsentrasikan pada membawa perempuan supaya lebih
terlibat pada proses pembangunan.
Di bawah rejim otorioter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh,
tidak sekedar mendomestikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi
perempuan, tetapi juga telah menggunakan tubuh perempuan sebagai instrumen-
instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Hal ini nampak pada program KB
(Keluarga Berencana) yang dipaksakan untuk hanya perempuan dengan ongkos
tinggi, yang khususnya dirasakan oleh perempuan kalangan bawah di pedesaan.
Ringkasnya politik gender Orba telah berhasil membawa perempuan Indonesia
sebagai kelompok yang homogen apolitis dan mendukung peraturan otoriterian.
Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif
bagi pemberdayaan perempuan, semestinya pada era reformasi pemberdayaan
perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Apabila ukuran telah
berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah
jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, pada era
reformasi justru ada penurunan di banding masa-masa akhir rejim orba.
Walaupun demikian secara kualitatif, peran perempuan semakin
diperhitungkan termasuk di pos-pos strategis, seperti yang tampak pada
komposisi kabinet sekarang. Hal ini dapat digunakan untuk menjustifikasi,
bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.
Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di
sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi
26

perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap
perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih
berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur
negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), saat ini diperlengkap dengan
basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.
2. Pengertian Feminisme
Sebagian masyarakat masih berasumsi feminisme adalah gerakan
pemberontakan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Feminisme dianggap
sebagai usaha pemberontakan kaum perempuan untuk mengingkari apa yang
disebut sebagai kodrat atau fitrah perempuan, melawan pranata sosial yang ada,
atau institusi rumah tangga, seperti perkawinan dan lain sebagainya (Fakih,
2007:81). Berdasarkan asumsi tersebut, gerakan feminisme tidak mudah diterima
oleh masyarakat. Oleh karena itu pemahaman terhadap konsep feminisme
tersebut perlu diluruskan.
Pemahaman terhadap konsep feminisme yang sesuai diharapkan akan
membuka cakrawala masyarakat tentang gerakan feminisme secara seimbang.
Feminisme berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme diwakili oleh
persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki yang
terjadi di masyarakat. Akibat dari persepsi itu, timbul berbagai upaya untuk
mengkaji penyebab ketimpangan tersebut serta menemukan cara untuk
menyejajarkan kaum perempuan dengan kaum laki-laki sesuai potensi yang
dimiliki mereka sebagai manusia.
Para feminis mengakui bahwa gerakan mereka merupakan gerakan yang
berakar pada kesadaran kaum perempuan. Mereka juga beranggapan bahwa kaum
27

perempuan sering berada dalam keadaan ditindas dan dieksploitasi, sehingga
penindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan harus diakhiri. Selain itu,
gerakan feminisme bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan kedudukan dan
martabat perempuan dengan laki-laki, serta kebebasan untuk mengontrol raga dan
kehidupan mereka sendiri baik di dalam maupun di luar rumah. Harsono (dalam
Mustaqim, 2008:84) mengatakan bahwa Feminisme sebenarnya merupakan
konsep yang timbul dalam kaitannya dengan perubahan sosial (social change),
teori-teori pembangunan, kesadaran politik perempuan dan gerakan pembebasan
kaum perempuan, termasuk pemikiran kembali institusi keluarga dalam konteks
masyarakat modern dewasa ini. Adapun Mustaqim (2008:85) mengatakan bahwa
feminisme merupakan paham yang ingin menghormati perempuan, sehingga hak-
hak dan peranan mereka lebih optimal dan setara, tidak ada diskriminasi,
marginalisasi, dan subordinasi. Sejalan dengan pendapat tersebut, Bashin dan
Khan (Mustaqim,2008:4) mengatakan bahwa feminisime didefinisikan sebagai
suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut sehingga terjadi
suatu kondisi kehidupan yang harmoni antara laki-laki dan perempuan, bebas dari
segala bentuk subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi.
Secara etimologis feminisme berasal dari kata femme (woman), berarti
perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Feminisme adalah faham perempuan
yang berupaya memperjuangkan hak-haknya sebagai kelas sosial. Adapun dalam
hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan
28

biologis dan hakikat alamiah), masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan
psikologis dan kultural). Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa male-female
mengacu pada seks, sedangkan masculine-feminine mengacu pada jenis kelamin
atau gender, sebagai he dan she ( Selden dalam Sugihastuti, 2000:32).
Goefe (Sugihastuti, 2005:23) mengartikan feminisme sebagai teori
tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi,
dan sosial, atau kegiatan berorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta
kepentingan perempuan.
Dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan
terhadap sistem patriarki yang ada pada masyarakat (Selden dalam Darma,
2009:140). Istilah patriarki digunakan untuk menguraikan sebab penindasan
terhadap perempuan. Konsep patriarki menempatkan bahwa laki-laki sebagai
superior dan menempatkan perempuan sebagai imferior.
Perhatian utama teori feminis adalah adanya keseimbangan citra kaum
perempuan dalam struktur sosial, termasuk dalam karya sastra. Dworkin (dalam
Ruthven,1990:6) menyatakan bahwa tujuan feminis adalah untuk mengakhiri
dominasi laki-laki dengan cara sebagai berikut,
dalam rangka melaksanakan hal ini, kita harus menghancurkan
struktur budaya sebagaimana kita mengenalnya, seninya, budayanya,
hukumnya; keluarga intinya yang berasal pada negara-bangsa; semua
gambaran, lembaga, adat istiadat dan kebiasaan yang mendefinisikan
perempuan sebagai korban tidak bernilai dan tidak dapat dilihat.

Menurut pendapat tersebut, perempuan mengalami berbagai macam
ketidakadilan, baik dalam keluarga maupun masyarakat yang merupakan
implementasi dari konstruksi sosial budaya yang terpatri dalam institusi
kemasyarakatan. Feminisme tidak hanya membahas masalah emansipasi yang
29

cenderung pada persamaan hak. Akan tetapi juga adanya gerakan pembaharuan
yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam upaya mengharapkan
perubahan status sosial, kebudayaan, dan cara pandang sehingga dapat tercapai
suatu keadilan dan persamaan hak. Teori feminis muncul seiring dengan
bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya
memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. Mill & Taylor mengatakan bahwa
untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan) adalah
dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama
mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian
tersebut. Mill & Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan
seksual atau keadilan gender maka masyarakat harus memberi perempuan hak
politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati laki-
laki (Tong, 2008:23).
Teori feminisme memfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini
berkembang sebagai reaksi atas fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya
konflik kelas, konflik ras, dan terutama karena adanya konflik gender. Feminisme
mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang
mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok
subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok
yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara
kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh
lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki,
30

menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki (Ratna,
2007:186).
Teori feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat
perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek
perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Adapun ungkapan
masculine -feminine merupakan aspek perbedaan psikologis dan kultural (Ratna,
2002:184). Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan
seks/gender mengalir bukan semata-mata dari faktor biologis, melainkan juga
dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat
yang patriarkal (Tong, 2008:71). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam
masyarakat patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan,
sebagai manusia kelas dua (deuxieme sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya
(Selden dalam Muslikhati, 2004:37). Kedudukan sebagai Liyan mempengaruhi
segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan (Cavallaro, 2001:202).
Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi
perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk perempuan membangun serangkaian
identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk
memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan di sisi lain. Masyarakat
patriarkal meyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah alamiah
dan karena itu normalitas seseorang tergantung pada kemampuannya untuk
menunjukkan identitas dan perilaku gender. Perilaku ini secara kultural
dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang. Masyarakat patriarkal
menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif
(penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria,
31

baik, ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu,
ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong,
2008:72-73). Adapun menurut Millet (Sofia, 2009:10), ideologi patriarkal dalam
akademi, institusi keagamaan, dan keluarga membenarkan dan menegaskan
subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan
perempuan untuk menginternalisasi diri terhadap laki-laki.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi perempuan disebabkan oleh nilai-
nilai kultural dan bukan oleh hakikatnya. Oleh karena itu, gerakan dan teori
feminisme berjuang agar nilai-nilai kultural yang menempatkan perempuan
sebagai Liyan, sebagai kelompok yang lain, yang termarginalkan dapat
digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara perempuan dan laki-laki.
Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender,
yaitu bagaimana perempuan tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti
akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan
persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.
Tujuan pokok dari teori feminisme adalah memahami penindasan
perempuan secara ras, gender, kelas, dan pilihan seksual, serta bagaimana
mengubahnya. Teori feminisme mengungkap nilai-nilai penting individu
perempuan beserta pengalaman-pengalaman yang dialami bersama dan
perjuangan yang mereka lakukan. Feminisme menganalisis bagaimana perbedaan
seksual dibangun dalam dunia sosial dan intelektual, serta bagaimana feminisme
membuat penjelasan mengenai pengalaman dari berbagai perbedaan tersebut.
Feminisme bukanlah upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya
melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, ataupun
32

upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan upaya untuk
mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan. Dalam hal ini, sasaran
feminisme bukan sekedar masalah gender, melainkan memperjuangkan hak-hak
kemanusiaan. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka
mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan
bagi kaum laki-laki dan perempuan (Fakih, 2007:78-79). Oleh karena itu,
feminisme menghendaki kemandirian perempuan, tidak hanya tergantung kepada
laki-laki.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa inti
dari gerakan feminisme adalah kesadaran akan diskriminasi, ketidakadilan, dan
subordinasi perempuan serta usaha untuk mengubah keadaan tersebut menuju
suatu sistem masyarakat yang adil dan seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat dan
kebebasan perempuan dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di ruang
domestik dalam rumah tangganya maupun di ruang publik dalam lingkungan
masyarakat. Kaum feminis juga menuntut terciptanya suatu masyarakat yang adil
serta persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, untuk
bisa menjadi feminis tidak harus berjenis kelamin perempuan. Laki-laki pun bisa
menjadi feminis asal mempunyai kesadaran dan kepedulian untuk mengubah
ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga maupun
masyarakat.
3. Aliran-Aliran Feminisme
Gerakan perempuan tidak pernah mengalami keseragaman di muka bumi
ini. Antara satu negara dan satu budaya dengan negara dan budaya lain, memiliki
33

pola yang kadang berbeda, bahkan ambivalen. Feminisme sebagai sebuah isme
dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami interpretasi dan
penekanan yang berbeda di beberapa tempat.
Ide atau gagasan para feminis yang berbeda di tiap negara ini misalnya
tampak pada para feminis Itali yang justru memutuskan diri untuk menjadi
oposan dari pendefinisian kata feminisme yang berkembang di barat pada
umumnya. Mereka tidak terlalu setuju dengan konsep yang mengatakan bahwa
dengan membuka akses seluas-luasnya bagi perempuan di ranah publik, akan
berdampak timbulnya kesetaraan. Para feminis Itali lebih banyak menyupayakan
pelayanan-pelayanan sosial dan hak-hak perempuan sebagai ibu, istri, dan
pekerja. Mereka memiliki UDI (Unione Donne Italiane) yang setara dan sebesar
NOW (National Organization for Women) di Amerika Serikat. Pola penekanan
perjuangan feminis Itali ini mengingatkan kita pada gaya perjuangan perempuan
di banom-banom NU di Indonesia.
Hal yang sedikit berbeda terjadi di Perancis. Umumnya feminis di sana
menolak dijuluki sebagai feminis. Para perempuan yang tergabung dalam
Mouvment de liberation des femmes ini lebih berbasis pada psikoanalisa dan
kritik sosial. Di Inggris pun tokoh-tokoh seperti Juliat Mitcell dan Ann Oakley
termasuk menentang klaim-klaim biologis yang dilontarkan para feminis radikal
dan liberal yang menjadi tren di tahun 60-an. Bagi mereka, yang bisa menjadi
pemersatu kaum perempuan adalah konstruksi sosial bukan semata kodrat
biologinya.
Di dunia Arab, istilah feminisme dan feminis tertolak lebih karena faktor
image barat yang melekat pada istilah tersebut. Pejuang feminis di sana
34

menyiasati masalah ini dengan menggunakan istilah yang lebih Arab atau Islam
seperti Nisai atau Nisaism.
Meskipun di kemudian hari definisi feminisme banyak mengalami
pergeseran, namun rata-rata feminis tetap melihat bahwa setiap konsep, entah itu
dari kubu liberal, radikal maupun, sosialis tetap beraliansi secara subordinat
terhadap ideologi politik tertentu. Dan konflik yang terjadi di antara feminis itu
sendiri sering disebabkan diksi politik konvensional melawan yang moderat.
Misalnya konsep otonomi dari kubu feminis radikal berkaitan dengan gerakan
antikolonial, sementara kubu feminis liberal menekankan pada pentingnya
memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan dalam kerangka bermasyarakat
dan berpolitik yang plural. Inilah mengapa feminis selalu bercampur dengan
tradisi politik yang dominan di suatu masa.
Apabila dipilah-pilah berdasarkan tradisi politik yang berkembang maka
aliran-aliran dalam femninisme dapat dibedakan ke dalam kubu-kubu sebagai
berikut.
a. Feminisme Radikal
Struktur dasar feminisme radikal adalah bahwa tidak ada perbedaan antara
tujuan personal dengan politik. Artinya unsur-unsur biologis dan seks sebagai
rangkaian kegiatan manusia yang alamiah yang sebenarnya bentuk dari sexual
politics. Ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan disebabkan
oleh masalah yang berakar pada kaum laki-laki itu sendiri beserta ideologi
patriarkinya. Keadaan biologis kaum laki-lakilah yang membuat mereka lebih
tinggi kedudukannya dibandingkan kaum perempuan. Gerakan mengadopsi sifat-
sifat maskulin dianggap sebagai cara kaum perempuan untuk sejajar dengan
35

kaum laki-laki (Fakih, 2007:83-86). Menurut feminisme radikal kekuatan laki-
laki memaksa melalui lembaga personal, seperti fungsi produksi, pekerjaan
rumah tangga, perkawinan, dan sebagainya, sebagai alat kekuasaan laki-laki
terhadap perempuan yang tidak pernah disadari dan hal itu dianggapnya sebagai
bentuk dasar penindasan terhadap perempuan. Dengan kata lain, penindasan
terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan
objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme
radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi,
seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-
publik, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan.
Informasi atau pandangan buruk banyak ditujukan kepada feminis radikal.
Padahal, karena keberaniannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah
Indonesia saat ini memiliki Undang-Undang RI no. 23 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Gerakan feminisme radikal dapat diartikan sebagai gerakan perempuan
yang bertujuan dalam realitas sosial. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempersoalkan bagaimana caranya menghancurkan patriarkhi sebagai sistem
nilai yang mengakar kuat dan melembaga dalam masyarakat. Adapun strategi
feminisme radikal dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut adalah
pembebasan perempuan yang dapat dicapai melalui organisasi perempuan yang
terpisah dan memiliki otonomi, serta melalui cultural feminism (Mustaqim,
2008:100).


36

b. Feminisme Liberal
Feminisme liberal berawal dari teori politik liberal, di mana manusia
secara individu dijunjung tinggi, termasuk didalamnya nilai otonomi, nilai
persamaan, dan nilai moral yang tidak boleh dipaksa, tidak diindoktrinasikan dan
bebas memiliki penilaian sendiri. Feminisme liberal sebagai turunan dari teori
politik liberal, pada mulanya menentang diskriminasi perempuan dalam
perundang-undangan. Mereka menuntut adanya persamaan dalam hak pilih,
perceraian, dan kepemilikan harta benda. Feminis liberal menekankan kesamaan
antara perempuan dan laki-laki. Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa
kebebasan dan keseimbangan berakar pada rasionalitas. Pada dasarnya tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dasar perjuangan
feminisme liberal adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap
individu termasuk perempuan atas dasar kesamaan keberadaannya sebagai
makhluk rasional (Muslikhati, 2004:32).
Tujuan feminisme liberal adalah reformasi di bidang pendidikan, hukum,
dan profesi pekerjaan dalam memperbaiki kualitas hidup perempuan. Tong
(2008:18) berpendapat bahwa tujuan umum feminisme liberal adalah
menciptakan masyarakat yang adil dan peduli serta mewujudkan kebebasan
perempuan. Dengan kehidupan masyarakat seperti itu, perempuan dan laki-laki
dapat mengembangkan diri. Feminisme liberal hanya mengakui perbedaan antara
perempuan dan laki-laki yang bersifat alami dan kodrati. Perbedaan hakiki hanya
berlaku antara manusia dengan hewan atau dengan ciptaan Tuhan yang lain. Jika
masyarakat menyadari dan tidak mencampuradukkan antara seks dan gender
37

maka penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak setiap individu dalam
masyarakat akan terlaksana dengan baik.
Kedua aliran feminis ini lebih mengedepankan klaim-klaim biologis dan
dikenal sebagai kelompok feminis ideologis.
c. Feminisme Marxis
Menurut perspektif feminisme marxis, sebelum kapitalisme berkembang,
keluarga adalah kesatuan produksi. Semua kebutuhan manusia untuk
mempertahankan hidupnya dilakukan oleh semua anggota keluarga termasuk
perempuan. Akan tetapi setelah berkembangnya kapitalisme, industri dan
keluarga tidak lagi menjadi kesatuan produksi. Kegiatan produksi dan barang-
barang kebutuhan manusia telah beralih dari rumah ke pabrik. Perempuan tidak
lagi ikut dalam kegiatan produksi.
Akibat dari hal itu adalah terjadi pembagian kerja secara seksual, di mana
laki-laki bekerja di sektor publik yang bersifat produktif dan bernilai ekonomis,
sedangkan perempuan bekerja di sektor domestik yang tidak produktif dan tidak
bernilai ekonomis. Karena kepemilikan materi menentukan nilai eksistensi
seseorang maka sebagai konsekwensinya perempuan yang berada di sektor
domestik dan tidak produktif dinilai lebih rendah daripada laki-laki. Dengan
demikian, salah satu cara untuk membebaskan perempuan dari ketidakadilan
keluarga adalah perempuan harus masuk ke sektor publik yang dapat
menghasilkan nilai ekonomi, sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan
tidak lagi ada.


38

d. Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis merupakan sintesis dari feminisme radikal dan
feminisme marxis. Asumsi dasar yang dipakai adalah bahwa hidup dalam
masyarakat yang kapitalistik bukan satu-satunya penyebab utama bagi
keterbelakangan perempuan. Feminisme sosialis memandang bahwa perempuan
mengalami penurunan (reducing process) dalam hubungan masyarakatnya, dan
bukan perubahan radikal atau perjuangan kelas (Mustaqim,2008:102).
Gerakan feminisme sosialis lebih difokuskan kepada penyadaran kaum
perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Karena banyak perempuan yang
tidak menyadari ketertindasan tersebut maka perlu adanya partisipasi laki-laki
untuk mengubah pandangan masyarakat tentang kesetaraan. Tujuan feminisme
sosialis adalah membentuk hubungan sosial menjadi lebih manusiawi.
e. Feminisme Ras atau Feminisme Etnis
Feminisme ras lebih mengedepankan persoalan pembedaan perlakuan
terhadap perempuan kulit berwarna.
f. Feminisme Poskolonial
Dasar pandangan feminisme poskolonial berakar dari penolakan
universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di
negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar
belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan
lebih berat karena selain mengalami penindasan berbasis gender, mereka juga
mengalami penindasan antarbangsa, suku, ras, dan agama
(http://etd.eprints.uns.oc.id/4472/1/4310050142.pdf). Dimensi kolonialisme
menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat
39

penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas
masyarakat.
Dari semua aliran yang telah disebutkan, masih berpotensi untuk
berkembang menjadi beberapa beberapa sempalan aliran lain, misalnya
feminisme muslim (Mustaqim, 2008:161). Seperti yang telah diungkapkan di
atas, wacana feminisme dan gerakan perempuan akan terus berkembang seiring
dengan ragam perkembangan kelas masyarakat yang memperjuangkannya,
kecenderungan kondisi sosial politik, serta kepentingan yang membingkai
perjuangan tersebut. Berikut ini merupakan tiga kategori kecenderungan besar
yang dapat disebutkan dan cukup dikenal dan berpengaruh dalam kajian
feminisme yakni: feminisme ortodoks, postfeminisme poskolonial, dan
feminisme muslim.
g. Feminisme Ortodoks
Feminisme ortodoks dikenal sebagai feminisme gelombang kedua. Ciri
dari feminisme ini adalah berkarakter sangat fanatik dan ortodoks dengan
penjelasan-penjelasan wacana patriarki. Kaum feminis garis keras ini begitu
yakin bahwa segala sesuatu yang menyusahkan dan menindas perempuan
berhubungan dengan patrarki, hingga segala argumen hanya bertumpu pada
penjelasan patrarki. Camille Paglia seorang profesor studi kemanusiaan dari
Universitas Philadelphia mengkritik sikap feminis ortodoks sebagai kelompok
yang selalu menganggap perempuan sebagai korban.
Bagi kalangan feminis ortodoks, feminisme diartikan sebagai identifikasi
dengan keinginan kesetaraan gender lewat perjuangan historis yang dicapai
dengan advokasi melalui kegiatan politik. Feminisme memperlihatkan adanya
40

perbedaan antara feminin dan maskulin yang dikonstruksikan secara sosial dan
budaya. Adapun jantan (male) dan betina (female) merupakan aspek biologis
yang menentukan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan linguistik ini
bagi feminis ortodoks dianggap sebagai sesuatu yang ideologis, sedangkan bagi
kalangan postfeminisme dianggap sebagai masalah.
Contoh dalam penanganan kasus pemerkosaan atau kekerasan terhadap
perempuan misalnya, mereka akan mengandalkan argumen-argumen kelemahan
perempuan, korban yang harus selalu dilindungi dan selalu mengalami
ketidakadilan dari masyarakat yang patriarkal. Argumen semacam ini terkesan
manipulatif dan tidak bertanggung jawab.
Kalangan feminis ortodoks banyak diwakili oleh feministes
revolusionnaires (FR) yang berdiri sejak tahun 1970 dan merupakan bagian dari
Movement de Libaration des Femmes (MLF) atau gerakan pembebasan
perempuan. Kelompok FR ini tidak menggunakan pendekatan psikoanalisa dan
sangat mengagungkan kesetaraan serta rata-rata didukung kalangan lesbian.
Teori dasar kelompok FR adalah menentang determinisme biologis, yaitu
perempuan tersubordinasi dengan norma-norma maskulin, karena haluan ini
(determinsime biologis) menurut mereka merujuk pada pandangan tradisional
esensialisme. Teori tradisonal esensial menekankan bahwa perbedaan biologis
antara laki-laki dan perempuan adalah fixed atau kodrat yang tidak dapat berubah.
Sementara menurut FR perbedaan terjadi karena masyarakat patriarkhi
menganggap perempuan sebagai the other dalam tataran biologis dan psikis.


41

h. Postfeminisme
Kecenderungan feminisme ortodoks yang selalu melihat perempuan
sebagai makhluk lemah tak berdaya dan korban laki-laki, tidak dapat diterima
oleh perempuan-perempuan muda tahun 1900-an dan 2000 di beberapa negara
maju. Retorika feminisme yang melekat pada ibu-ibu mereka terutama di tahun
70-an di daratan Amerika dan Inggris telah membuat generasi kedua bosan
dengan feminisme. Feminisme seakan menjadi ukuran moralistik dan politik
seseorang dan menjadi pergerakan kaum histeris, serta sangat mudah untuk
menuduh dan melabelkan seseorang dengan atribut tidak feminis. Kelompok
inilah yang kemudian memperjuangkan postfeminisme.
Bahkan embrio kelompok ini sudah mulai muncul di tahun 1968 di Paris,
tepatnya ketika mereka (kelompok anggota po et psych/ politique et
psychoanalyse) turun ke jalan pada Hari Perempuan tanggal 8 Maret 1968 dan
meneriakkan Down with feminism. Sejak tahun 1960 kelompok postfeminis ini
telah berusaha mendekonstruksi wacana pastriarkal terutama wacana yang
dikembangkan oleh feministes revolutionnaires (FR).
Bagi kelompok po et psych, posisi FR yang memakai semangat
humanisme, jatuh lagi pada esensialisme yang mempunyai kategori fixed. Oleh
karenanya po et psych mengadopsi teori psikoanalisa Freud yang mencoba
menggunakan metode dekonstruksi dalam melihat teks-teks ketertindasan
perempuan. Selain itu kelompok ini tidak menekankan pada kesetaraan (equality)
seperti kelompok FR, yaitu identitas dan gender, tetapi lebih menekankan pada
perbedaan (diffrence). Di sini dapat dipahami bila postfeminisme membawa
paradigma baru dalam feminisme, dari perdebatan seputar kesetaraan ke
42

perdebatan seputar perbedaan (http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-
gerakan-perempuan.html).
i. Feminisme Islam/Muslim
Tokoh-tokoh feminisme Islam antara lain Riffat Hassan, Kamla Bashin,
Nighat Said Khan (Mustaqim, 2008:161). Feminisme dalam konteks Islam yang
digagas Riffat adalah untuk pembebasan (liberation; taharrur) bagi perempuan
dan laki-laki dari struktur dan sistem relasi yang tidak adil, dengan cara merujuk
kitab suci (baca: Al-Quran) yang diyakini sebagai sumber nilai tertinggi
(Mustaqim, 2008:174-175). Aliran feminisme ini berkeyakinan bahwa karena
Allah Maha Adil, tentu Islam membawa misi keadilan, keadilan terhadap
siapapun, baik di antara sesama manusia yang berbeda agama maupun jenis
kelamin.
Menurut aliran ini Al-Quran hadir dengan mengedepankan wacana
keadilan dan kesetaraan gender. Islam sesungguhnya lahir dengan suatu konsepsi
hubungan manusia yang berlandaskan keadilan atas kedudukan laki-laki dan
perempuan (Fakih, 2007:52).
Berangkat dari keyakinan bahwa pada dasarnya Islam menganut faham
keadilan maka segenap ketidakadilan yang berkembang dalam masyarakat Islam
pada dasarnya adalah konstruksi sosial dan tafsiran yang seringkali muncul
sebagai jawaban terhadap problem sosial (asbabunnuzul) dari suatu ayat pada
saat itu. Adapun Hafidz (Mustaqim, 2008:185) mengatakan bahwa inti dari
gerakan feminisme adalah memperjuangkan keadilan gender sebagai salah satu
bagian dari keadilan sosial. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat An-
Nisaa (QS 4:1).
43

Og^4C +EEL-
W-O4>- N7+4O Og-.-
7U }g)` ^^^ Eg4
4-U=4 Ogu+g` __ue
O+44 4gu+g` L}jO
-LOOg1 7.=O)e4 _
W-OE>-4 -.- Og-.-
4pO747.=O> gO)
44O-4 _ Ep) -.- 4p
7^OU4 4:1g4O ^
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.
.
Ayat tersebut menyatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan
adalah adil. Keduanya diciptakan dari satu nafs (living etentity), di mana yang
satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Prinsip Al-Quran terhadap
kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, di mana hak istri diakui secara adil
dengan hak suami. Laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas perempuan,
sebaliknya kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap kaum
laki-laki. Dalam hal ini, Al-Quran dianggap memiliki pandangan yang
revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak
antara laki-laki dan perempuan (Fakih, 2007:50). Kedudukan suami dan istri
adalah sejajar dalam Al-Quran. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan
perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Perempuan adalah partner kaum laki-laki.
Terkait dengan kesetaraan hak-hak kemanusiaan, dalam deklarasi Hak
Asasi Manusia (HAM) yang dicanangkan PBB pada tahun 1948 berisi pesan
44

bahwa setiap anak manusia dilahirkan dengan martabat yang sama dan punya hak
yang sama untuk dihormati kebebasannya. Hal ini berlaku tanpa membedakan
ras, etnis, agama, atau bangsa (Sadli, 2010:340). Inti dari pernyataan tersebut
adalah Semua manusia harus menghormati nilai-nilai kemanusiaan seseorang
dengan menjunjung tinggi prinsip nondiskriminasi. Universalitas hak asasi
manusia bermakna bahwa hak asasi manusia melekat pada setiap manusia dan
karenanya bersifat kodrati. Perempuan dan laki-laki mempunyai hak dasar yang
sama, seperti hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak pendidikan, dan hak budaya
yang sama.
Dalam ajaran Islam menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan
muslimat. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah untuk membaca atau
belajar. Laki-laki maupun perempuan diperintahkan untuk menuntut ilmu
sebanyak mungkin, mereka dituntut untuk belajar (Syihab, 2004:38). Adapun
banyaknya ketertinggalan perempuan muslim dalam bidang pendidikan
disebabkan oleh ketiadaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kaum
perempuan seperti yang diberikan kepada kaum laki-laki. Ketertinggalan kaum
perempuan bukan karena fitrahnya selaku makhluk yang tidak cerdas dan
emosional, melainkan diakibatkan oleh keterbelakangan kaum perempuan.
Berdasarkan uraian di atas, gerakan feminisme Islam memiliki beberapa
karakteristik. Adapun karakteristik feminisme Islam antara lain sebagai berikut.
1) feminisme Islam mendasarkan diri kepada agama. Artinya bahwa
feminisme Islam harus menyadari bahwa Agama Islam (Al-Quran dan
Hadits) merupakan sumber nilai dan pendukung terbaik dalam
perjuangannya dan yang menjamin akan hak-hak perempuan.
45

2) Feminisme Islam harus merujuk kepada prinsip-prinsip ajaran Al-Quran
sebagai sumber nilai tertinggi dan perilaku Rasulullah SAW sebagai
uswatun hasanah.
3) Feminisme Islam tidak bersikap chauvinistik. Artinya kaum feminis Islam
tidak menekankan kekuatannya kepada perempuan dengan mengabaikan
potensi kekuatan laki-laki, bahkan meruntuhkannya. Sebab perempuan dan
laki-laki sebenarnya diciptakan Tuhan sebagai mitra sehingga dapat saling
melengkapi satu sama lain serta hidup secara harmonis menegakkan nilai-
nilai keadilan dan kebenaran.
4) Feminisme Islam memandang ajaran Islam secara integral dan menyeluruh.
Artinya Al-Quran dan tradisi-tradisi Islam yang pernah muncul dalam
sejarah dapat dijadikan pisau analisis dalam memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya dengan mempertimbangkan konteks sosiokultural pada
waktu itu dan konteks kekinian untuk melakukan kontektualisasi ajaran
Islam (Mustaqim, 2008:108-109).
Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut, pada dasarnya feminisme
bukan merupakan pemberontakan kaum perempuan kepada laki-laki, upaya
melawan pranata sosial, seperti institusi rumah tangga dan perkawinan atau upaya
perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk
mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 2007:5). Feminisme
muncul sebagai akibat dari adanya prasangka gender yang menomorduakan
perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan
perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan. Perbedaan tersebut tidak
hanya pada kriteria biologis, melainkan juga pada kriteria sosial. Asumsi tersebut
46

membuat kaum perempuan semakin terpojok. Oleh karena itu, kaum feminis
memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek kehidupan, dengan tujuan
agar kaum perempuan mendapatkan kedudukan yang sederajat yang setidaknya
sejajar dengan kaum laki-laki.
Perkembangan aliran feminisme di Indonesia dapat dikatakan masih
mengalami euforia feminisme. Di Indonesia lebih berkembang politik gender
sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena politik gender telah diakui oleh dunia melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Adapun feminisme berkembang secara sendiri-sendiri di setiap
negara sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing negara tersebut.
4. Feminisme dalam Sastra
Sumbangan terpenting postrukturalisme terhadap kebudayaan adalah
pergeseran paradigma dari pusat ke pinggiran. Studi kultural kemudian diarahkan
pada kompetensi masyarakat tertentu, masyarakat yang terlupakan, masyarakat
yang terpinggirkan, masyarakat marginal. Teori sastra feminis yaitu teori yang
berhubungan dengan gerakan perempuan adalah salah satu aliran yang banyak
memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Sastra feminis
berakar dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminis
adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki.
Feminisme, selain merupakan gerakan kebudayaan, politik, sosial, dan
ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra. Teori sastra feminis melihat
bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu kebudayaan,
yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana
nilai-nilai tersebut memengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam
47

tingkatan psikologis dan budaya. Dalam hubungannya dengan studi sastra, Hill
(Fakih dalam Darma, 2009:157), berpendapat bahwa karya sastra merupakan
struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memakai karya sastra haruslah
karya sastra itu yang dianalisis.
Karya sastra akan dilihat sebagai teks yang merupakan objek dan data
yang selalu terbuka bagi pembacaan dan penafsiran yang beragam. Teks diterima
dan dipahami oleh pembacanya dan lingkungan budaya dimana teks tersebut
diproduksi dan dikonsumsi (Cavallaro, 2001:110-111). Terkait dengan karya
sastra dan gerakan feminis, Register (Stimpson dalam Darma, 2009:161) menilai
karya sastra sebagai sesuatu yang berguna bagi pengarahan kebebasan
perempuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Faruk (Darma, 2009:161)
mengemukakan bahwa hubungan sastra dengan struktur gender menjelaskan
masalah bahasa terlebih dahulu, bahasa merupakan proses terus-menerus
melakukan tindakan gender.
Sejak awal, sastra modern menempatkan diri sebagai suatu aktivitas, dan
hasil aktivitas yang dimaksudkan untuk menerobos segala kemungkinan yang
ditutupi oleh bahasa. Perempuan dalam karya sastra ditampilkan dalam kerangka
hubungan ekuivalensi dengan seperangkat tata nilai marginal dan yang
tersubordinasi lainnya, yaitu sentimentalis, perasaan, dan spiritual. Perempuan
hampir selalu menjadi tokoh yang dibela, korban yang selalu diimbau untuk
mendapat perhatian (Faruk dalam Darma, 2009: 161-162). Karya sastra hanya
menempatkan perempuan sebagai korban, makhluk yang hanya mempunyai
perasaan dan kepekaan spiritual. Di balik nada pembelaan terhadap perempuan,
48

ternyata dalam karya sastra pun tersembunyi kekuatan struktur gender yang
timpang, dominan, dan berkuasa menjadi kekuatan reproduktif yang terselubung.
Sugihastuti & Sofia (2003:35) menguak citra perempuan dalam novel
Layar Terkembang karya STA. Dalam pandangannya, makna kritik feminisme
sebagai kritik sastra disesuaikan dengan pandangan kodrat perempuan. Konsep
yang pantas dipakai untuk membongkar praduga dan ideologi patriarki sampai
sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra. Oleh karena
itu, Culler (Sugihastuti, 2005:26) menawarkan konsep membaca sebagai
perempuan (reading as woman). Konsep membaca sebagai perempuan
maksudnya adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis
kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra.
Novel Layar Terkembang, melalui tokoh Tuti menampilkan masalah
feminisme yang berjuang dalam gerakan Puteri Sedar. Perempuan dalam novel
ini digambarkan sebagai makhluk yang tidak mempunyai kehendak dan
keyakinan. Perempuan dianggap sebagai manusia yang terikat oleh ratusan ikatan
dan hanya menuruti kehendak kaum laki-laki. Keadaan perempuan yang amat
buruk tersebut diperjuangkan Tuti melalui gerakan Puteri Sedar. Uraian tentang
kedudukan perempuan terdapat dalam pidato Tuti dalam kapasitasnya sebagai
ketua gerakan Puteri Sedar. Sebagaimana kutipan berikut ini.
Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa
silam, lebih hitam, lebih kelam dari kelam malam yang gelap. Perempuan
bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan
pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya
hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan
melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-
tingginya ia menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimulia-
muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar apabila telah kabur
cahayanya, telah hilang sarinya.
49


dan untuk menjaga supaya perempuan itu jangan insaf
kedudukannya, akan nasibnya yang nista itu, maka diikat oranglah dengan
bermacam-macam ikatan: bermacam-macam adat, bermacam-macam
kebiasaan, bermacam-macam nasihat. Perempuan dikurung orang dalam
rumah sampai bersuami, perempuan tidak boleh berjalan ke mana
kehendaknya. Segalanya itu namanya melindungi perempuan dari
kejahatan dan aib, tetapi pada hakikatnya segala itu melemahkan
perempuan (Alisjahbana dalam Darma, 2009).

Uraian tentang perempuan di masa silam yang disampaikan Tuti tersebut,
merupakan penggambaran bagaimana seharusnya kedudukan dan peranan
perempuan pada masa yang akan datang. Kaum perempuan seharusnya
menyadari akan dirinya dan berjuang untuk mendapatkan penghargaan dan
kedudukan yang seharusnya. Menjadi perempuan baru yang menggambarkan
perjuangan feminisme disampaikan Tuti melalui kutipan berikut ini.
Perempuan tiada boleh menyerahkan nasibnya kepada golongan
laki-laki yang merasa akan kerugian, apabila ia harus melepaskan
kekuasaannya yang telah berabad-abad dipertahankannya. Kita harus
membanting tulang sendiri untuk mendapat hak kita sebagai manusia kita
harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru, yang bebas
berdiri menghadapi dunia, yang berani membentangkan matanya akan
tenaga dirinya dan dalam segala soal pandai berdiri sendiri dan berpikir
sendiri. Demikianlah perempuan yang dicita-citakan oleh Puteri Sedar
bukanlah perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai hamba dan
sahaya, tetapi sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang tidak
usah takut dan minta dikasihani. Yang tiada suka melakukan yang
berlawanan dengan hatinya, malahan yang tidak hendak kawin apabila
perkawinan itu baginya berarti melepaskan hak-hak sebagai manusia yang
mempunyai hidup sendiri dan berupa mencari perlindungan dan meminta
kasihan. Ya, pendeknya seratus persen manusia bebas dalam segala hal
(Alisjahbana dalam Darma, 2009).

Perempuan haruslah berperan dalam dunia pengetahuan, berperan dalam
menjalankan pemerintahan, menjelmakan jiwanya dalam dunia seni, turut
bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
dicita-citakan Tuti dalam novel Layar Terkembang, yaitu perempuan yang dapat
50

berperan sebagi pemimpin di kantor-kantor, sebagai hakim dan jurnalis, sebagai
ahli pengetahuan, dan juru terbang. Dalam kenyataannya di masyarakat masih
ditemui banyak ketimpangan. Banyak perempuan yang menerima kemodernan itu
hanya bagian kulitnya saja. Masih sulit untuk mengubah paradigma berpikir
kaum perempuan karena berbagai adat dan kebiasaan yang turun temurun dan
telah berakar dalam masyarakat patriarki.
Feminisme sebagai suatu ideologi berusaha untuk membela kaum
perempuan dari diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan represi yang
dilakukan oleh masyarakat dan negara yang masih menganut ideologi patriarki.
Kaum feminis menuntut demokratisasi dan kebebasan untuk berkiprah di ruang
publik untuk mencapai kesederajatan dan kesetaraan harkat serta kebebasan
perempuan untuk memilih dan mengelola kehidupan serta tubuhnya baik di ruang
domestik maupun di ruang publik.
B. Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia
dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang
dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of
USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27
ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1. Contoh hak
asasi manusia (HAM) antara lain hak untuk hidup, hak untuk memperoleh
pendidikan, hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain, dan lain-lain
(http://organisasi.org./pengertian, macam dan jenis ham-yang-berlaku). Adapun
pembagian, bidang, jenis, dan macam HAM adalah sebagai berikut.
51

1) Hak asasi pribadi (personal Right). Hak pribadi terdiri atas hak kebebasan
untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat; hak kebebasan
mengeluarkan atau menyatakan pendapat; hak kebebasan memilih dan
aktif di organisasi atau perkumpulan; dan hak kebebasan untuk memilih,
memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-
masing.
2) Hak asasi politik (Political Right), terdiri atas hak untuk memilih dan
dipilih dalam suatu pemilihan; hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan;
hak membuat dan mendirikan parpol/partai politik dan organisasi politik
lainnya; dan hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.
3) Hak azasi hukum (Legal Equality Right), terdiri atas hak mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan; hak untuk menjadi
pegawai negeri sipil/pns; dan hak mendapat layanan dan perlindungan
hukum.
4) Hak azasi Ekonomi (Property Rigths), terdiri atas hak kebebasan
melakukan kegiatan jual beli; hak kebebasan mengadakan perjanjian
kontrak; hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-
piutang, dan lain-lain; hak kebebasan untuk memiliki sesuatu; dan hak
memiliki serta mendapatkan pekerjaan yang layak.
5) Hak Asasi Peradilan (Procedural Rights), terdiri atas hak mendapat
pembelaan hukum di pengadilan dan hak persamaan atas perlakuan
penggeledahan, penangkapan, penahanan serta penyelidikan di mata
hukum.
52

6) Hak asasi sosial budaya (Social Culture Right), terdiri atas hak
menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan; hak mendapatkan
pengajaran; dan hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan
bakat dan minat.
1. Hak Perempuan dalam Islam
Islam menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi dan sejajar
dengan laki-laki. Akan tetapi dalam beberapa hal ada yang harus berbeda,
karena laki-laki dan perempuan hakikatnya adalah makhluk yang berbeda.
Kesalahan dalam memahami ajaran yang benar inilah yang menjadikan Islam
kerap dituding sebagai agama yang menempatkan perempuan sebagai warga
kelas dua. Islam sesungguhnya sangat memuliakan perempuan. Dari semula
makhluk yang tiada berharga di hadapan peradaban manusia, diinjak-injak
kehormatan dan harga dirinya, kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada
tempat yang semestinya dijaga, dihargai, dan dimuliakan. Berikut ini merupakan
gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum perempuan, sejak mereka
dilahirkan ke muka bumi sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami
(http://flawlessimagine.blogspot.com/hak-wanita-dalam-Islam-html).
a. Hak- Hak di Masa Kanak-Kanak
Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan
menguburkan anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka
memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan
tersebut dan menuntun manusia untuk berbuat baik kepada anak perempuan serta
menjaganya dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau
53

melaksanakannya. Nabi Muhammad SAW memberikan anjuran dalam hadits
berikut ini.

)
Siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga keduanya
mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat
dalam keadaan aku dan dia seperti dua jari ini. Beliau menggabungkan
jari-jemarinya. (HR. Muslim no. 6638 dari Anas bin Malik radhiyallahu
anhu).


Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya
lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi
penghalang/penutup baginya dari api neraka. (HR. Al-Bukhari no. 1418
dan Muslim no. 6636)

Menurut penjelasan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu tentang hadits
tersebut, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyebutnya dengan ujian
(ibtila`), karena manusia biasanya tidak menyukai anak perempuan (lebih
memilih anak lelaki). Sebagaimana firman Allah SWT tentang kebiasaan orang-
orang jahiliah berikut ini.


Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan
kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam
keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir)
apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (An-Nahl: 58-59)

Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan
berbuat baik kepada anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka dan
54

bersabar memelihara mereka (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/395). Islam
mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi
nafkah kepadanya sampai ia menikah, dan memberikan kepadanya bagian dari
harta warisan.
Perempuan diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan
diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya
bila tidak menyukainya. Beberapa hadits menjadi bukti bahwa perempuan
mempunyai hak untuk menentukan pendamping hidupnya (suami). Nabi
Muhammad SAW bersabda.


Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis
dinikahkan hingga diminta izinnya. Para sahabat berkata: Wahai
Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis? Izinnya adalah
dengan ia diam, jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan
Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Kemudian dalam riwayat lain menyatakan bahwa Aisyah radhiyallahu
anha berkata:


Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk
menjawab bila dimintai izinnya dalam masalah pernikahan). Beliau
menjelaskan, Tanda ridhanya gadis itu (untuk dinikahkan) adalah
diamnya. (HR. Al-Bukhari no. 5137).

Islam memberikan hak seperti ini kepada perempuan karena Allah SWT
menjadikan perempuan sebagai penenang bagi suaminya dan Allah SWT
menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah.
55

Maka bagaimana akan terwujud makna yang tinggi ini apabila seorang gadis
diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam keadaan tidak suka? Lalu
bila demikian keadaannya, sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dengan
tenang dan tenteram?
Ibnu Taimiyyah r.a. menyatakan bahwa tidak boleh seorang pun
menikahkan seorang perempuan kecuali terlebih dahulu meminta izinnya
sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi SAW Apabila perempuan tersebut
tidak suka, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat, sehingga Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ada
perbedaan pendapat tentang izin gadis yang akan dinikahkan, apakah izinnya itu
wajib hukumnya atau mustahab (sunnah). Yang benar dalam hal ini adalah izin
tersebut wajib. Dan wajib bagi wali perempuan untuk bertakwa kepada Allah
SWT dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengan anak perempuannya,
dan hendaknya si wali melihat apakah calon suami si anak perempuan tersebut
sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan anak perempuan,
bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali (Majmu Fatawa, 32/39-40).
Islam menetapkan kepada laki-laki yang ingin menikahi seorang
perempuan agar memberikan mahar pernikahan kepada si perempuan. Dan mahar
itu nantinya adalah hak si perempuan, tidak boleh diambil sedikitpun kecuali
dengan keridhaannya. Hal tersebut dijelaskan dalam QS. 2:4 berikut ini.
4g-.-4 4pONLg`uNC .Eg
4@O^q l^O) .4`4 4@O^q
56

}g` l)Ul jE4O=)4
N 4pONLgONC ^j
4. dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin
akan adanya (kehidupan) akhirat.

Perempuan ditanggung nafkahnya oleh walinya bagi yang belum menikah
dan oleh suaminya bagi yang sudah menikah. Perempuan yang yatim piatu, tanpa
kerabat yang mau menafkahi, nafkahnya ditanggung negara. Janda yang dicerai
suaminya, berhak mendapatkan santunan selama masa iddah. Setelah itu ia
kembali dinafkahi walinya apabila wali dan kerabatnya masih mampu. Jika tidak,
negara yang mengambil alih memberikan santunan berupa pemenuhan kebutuhan
pokoknya. Intinya, perempuan tidak dibebani untuk memikirkan kebutuhan
ekonominya sendiri. Sehingga tidak menggangu fungsi dan tugas perempuan di
ranah publik, sebagai manajer rumah tangga dan pendidikan.Ayat tersebut
menunjukkan wajibnya pemberian mahar kepada perempuan yang dinikahi. Dan
betapa Islam sangat menghargai hak-hak seorang perempuan.
b. Hak-Hak Sebagai Seorang Ibu
Islam memuliakan perempuan mulai dari masa kanak-kanak, masa
remaja, dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah SWT mewajibkan seorang anak
untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah SWT
memerintahkan hal tersebut setelah mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya.
Sebagaimana tercantum dalam ayat berikut.
_/=/4 lG4O
W-+lu> ) ++C)
^4).4O^)4
57

L=O;O) _ E`) O}4Ul4C
4gN 4O:^-
.-4 u -g
> .+= l]q 4
-OOgu+> 4 _-
LO VC@O ^g@ ;*gu=-4
_ 4L_ ]e.- =}g`
gO;OO- 4 pO
_uOO-
O)+4O+4O -LOO= ^gj
23. dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

Begitu juga dalam firman Allah SWT berikut ini.

4L^1O44 =}=Oee"-
gOuCg4O) L=O;O) W
+OuU4O +OG`q 6-O7
+Ou-=44 6-O7 W
+OUuO4 +OU=g4
4pO1U -Og+ _ -/EO -O)
uU4 +O7- uU44
=}1g4O LO4Lc 4 p4O
/j_;N)eu up 4O7;-
l4ug^ /-- =e;u^
O>4N _O>4N4 OO4).4 up4
4 )U= +O=O>
;)U;4 Oj O) /+CjOO W
O)E+) e:> l^O) O)E+)4
=}g` 4-gjO^- ^)
15. Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada
dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku,
tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
58

amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang
berserah diri".


Hal tersebut kemudian dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW ketika
sahabat Abdullah bin Masud r.a. bertanya kepada beliau.
Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah? Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, Shalat pada waktunya.
Kemudian apa setelah itu? tanya Abdullah lagi. Kata beliau,
Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua).
(HR. Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 248).

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Abu Hurairah r.a., seorang sahabat
Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya berkata bahwa ada seseorang yang
bertanya kepada Rasulullah SAW sebagai berikut.
Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak
untuk aku berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab, Ibumu.
Kemudian siapa? tanyanya lagi. Ibumu, jawab beliau. Kembali orang
itu bertanya, Kemudian siapa? Ibumu. Kemudian siapa? tanya
orang itu lagi. Kemudian ayahmu, jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari
no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Hadits tersebut menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi
daripada hak ayah dalam menerima perbuatan dari anaknya. Hal itu disebabkan
seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan
menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga hal
tersebut. Adapun dalam hal mendidik barulah seorang ayah ikut andil di
dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana
dinukil oleh Al-Hafidz rahimahullahu. (Fathul Bari, 10/493).
Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibunya
sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini.
59


Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka
kepada para ibu (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)

Keterangan tentang hadits tersebut dijelaskan oleh Al-Hafizh, yang
menyatakan bahwa pengkhususan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena
perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka
kepada ayah untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang
ibu dengan memberikan kelembutan, kasih sayang dan semisalnya lebih
didahulukan daripada kepada ayah (Fathul Bari, 5/86).


c. Sebagai Istri
Allah SWT memerintahkan seorang suami agar bergaul dengan istrinya
dengan cara yang baik. Sebagaimana ayat berikut ini.


Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik. (An-
Nisa`: 19)

Menurut Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi bahwa ayat
meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Oleh karena itu,
seharusnya seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang maruf,
menemani, dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan
gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan
memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah,
pakaian, dan semisalnya. Dan tentunya pemenuhannya berbeda-beda sesuai
60

dengan perbedaan keadaan (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172). Ayat tersebut
juga diperkuat dengan hadits Nabi kepada para suami sebagai berikut.
Rasulullah SAW bersabda kepada para suami:


Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.
Beliau juga bersabda.
Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling
baik terhadap istri-istrinya. (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172.
Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul
Musnad, 2/336-337).


Banyak hak yang diberikan Islam kepada para istri. Hak tersebut misalnya
suami dituntut untuk bergaul dengan baik terhadap istrinya, istri berhak
memperoleh nafkah, istri berhak memperoleh pengajaran, istri berhak
memperoleh penjagaan dan perlindungan, dan sebagainya.
Sejalan dengan pandangan Al-Quran tersebut, Mulia (Sadli, 2010:55)
menguraikan tentang beberapa hak perempuan dalam Islam. Hak-hak tersebut
antara lain sebagai berikut.
a. Hak Memperoleh Nafkah
Perempuan ditanggung nafkahnya oleh walinya bagi yang belum menikah
dan oleh suaminya bagi yang sudah menikah. Perempuan yang yatim piatu, tanpa
kerabat yang mau menafkahi, nafkahnya ditanggung negara. Janda yang dicerai
suaminya, berhak mendapatkan santunan selama masa iddah. Setelah itu ia
kembali dinafkahi walinya apabila wali dan kerabatnya masih mampu. Jika tidak,
negara yang mengambil alih memberikan santunan berupa pemenuhan kebutuhan
61

pokoknya. Intinya, perempuan tidak dibebani untuk memikirkan kebutuhan
ekonominya sendiri. Sehingga tidak menggangu fungsi dan tugas perempuan di
ranah publik, sebagai manajer rumah tangga dan pendidik anak.
b. Hak Memperoleh Pendidikan
Perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan dari kedua orangtuanya,
terutama ibu. Di publik, ia berhak menuntut ilmu di lembaga pendidikan dengan
gratis atau biaya terjangkau karena pendidikan dijamin oleh negara. Itu karena
Islam mewajibkan perempuan sama seperti laki-laki dalam menuntut ilmu.


c. Hak untuk Dapat Mengaktualisasikan Diri
Perempuan dalam Islam boleh-boleh saja berkiprah di ranah publik,
selama tidak membahayakan eksistensinya. Tidak mengeksploitasi tubuh untuk
kepentingan apapun, tidak menjerumuskan diri dalam perbuatan yang merusak
kehormatannya, tidak melanggar susila dan yang penting membawa maslahat
bagi masyarakat. Negara pun wajib melindungi perempuan yang berkiprah di
ranah publik ini dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Misalnya
menjadikan pakaian takwa (jilbab) sebagai benteng agar tidak diganggu, memberi
sanksi berat bagi pelaku pelecehan terhadap perempuan, dan lain-lain. Dengan
begitu perempuan bebas dan merasa aman berkiprah di lingkungan domestik
maupun publik. Jilbab yang dinilai pengekang oleh kalangan sekuler, justru
merupakan bentuk kebebasan bagi muslimah. Dengan jilbab perempuan tidak
perlu repot memikirkan setiap penampilan dirinya. Apalagi harus mengikuti tren
yang berubah terus-menerus.
62

d. Hak Beragama
Perempuan dalam Islam berhak menjalankan Syariat Islam secara kaffah
tanpa kekangan. Berjilbab dan berkerudung tidak boleh dilarang. Perempuan
berhak mengkaji Islam, mendalami fikih, tafsir, dan lain-lain sesuai kehendak
dirinya. Perempuan berhak menjalankan syariat agamanya tanpa hambatan dari
siapapun. Perempuan tidak boleh murtad sebagaimana Muslim umumnya. Negara
wajib menjaga keimanan kaum perempuan agar tetap dalam suasana kondusif,
sehingga tidak terjerumus dalam kekufuran. Perempuan harus dipermudah dalam
menjalankan aturan Islam seutuhnya. Dengan begitu perempuan makin dekat
hubungannya dengan Allah SWT
e. Hak Seksual
Perempuan dijamin hak seksualnya melalui lembaga pernikahan bagi
yang sudah mampu. Lembaga ini menjadi benteng untuk menjaga kesucian kaum
perempuan, mencegah pelecehan seksual dan mencegah perdagangan perempuan.
Islam mengharamkan perempuan memenuhi hak seksualnya dengan perzinaan,
nikah mutah, kawin kontrak, jadi selir, gundik atau selingkuhan. Islam juga
mengharamkan perempuan memenuhi hak seksualnya dengan lesbianisme. Kaum
perempuan sangat dihormati dan dijaga harga dirinya.
Berdasarkan pandangan tersebut, penjagaan Islam terhadap hak
perempuan dan pemuliaan Islam terhadap kaum perempuan sangatlah tinggi.
Persoalannya adalah bagaimana menyosialisasikan dan mengimplementasikan
hal tersebut kepada laki-laki yang masih melakukan banyak ketidakadilan
terhadap perempuan karena pemahaman terhadap ayat-ayat Allah SWT dan
hadits-hadits Nabi SAW secara setengah-setengah. Untuk itulah sebenarnya
63

feminis Islam dapat berperan memberikan penyadaran terhadap kaum
perempuan dan juga kaum laki-laki.
2. Kondisi Perempuan Saat Ini
Kondisi perempuan Indonesia saat ini jauh lebih baik dari masa
sebelumnya. Kesempatan kerja dan berkarir, kesempatan pendidikan, kesempatan
dalam lembaga-lembaga publik dan politik yang dimiliki perempuan hampir
sama besar dengan kesempatan yang dimiliki oleh laki-laki (Irawati, Kompas,23
April 2010). Berbagai kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak
perempuan dan keadilan gender juga mulai berkembang. Misalnya Inpres No.
9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan sebagainya. Lembaga-
lembaga khusus yang memiliki program pemberdayaan dan penguatan hak-hak
perempuan, baik lembaga negara maupun nonnegara, tumbuh dan berkembang
pesat. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang memiliki komisi khusus
anti kekerasan terhadap perempuan, yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Pencapaian-pencapaian formal tersebut tentunya berpengaruh juga
terhadap level kesadaran publik. Di Indonesia saat ini, pandangan-pandangan
tabu tentang perempuan karir, perempuan berpendidikan tinggi, perempuan
politisi, perempuan pejabat, atau perempuan pemimpin sudah makin jarang
ditemui. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang sering dianggap sebagai
urusan pribadi, urusan internal keluarga, sudah menjadi konsumsi umum. Dengan
banyaknya lembaga layanan kasus kekerasan terhadap perempuan, kesadaran
64

masyarakat untuk melaporkan kasus dan memrosesnya secara hukum juga
tumbuh kuat.
Akan tetapi di antara pencapaian-pencapaian yang telah disebutkan itu,
masih banyak hal mendesak yang perlu diselesaikan. Menurut Sadli (2010:341),
pemerintah masih belum menunjukkan komitmen yang jelas terhadap
penghapusan berbagai kendala yang masih dihadapi perempuan dalam
memperoleh hak yang sama di bidang pendididkan, lapangan kerja, ataupun
kehidupan sosial pada umumnya. Dalam bidang politik misalnya, meskipun
persentase anggota legislatif perempuan di tingkat nasional mengalami kenaikan,
proses-proses politik masih sangat jauh dari perspektif perempuan dan perspektif
gender. Perpolitikan di Indonesia masih male dominance.
Dalam bidang pendidikan, walaupun telah dicanangkan UU No. 29/1989
yang ditindaklanjuti dengan adanya Program Wajib Belajar 9 Tahun sejak 1995,
yang memberikan kesempatan sama kepada setiap anak untuk mengikuti
pendidikan sampai tingkat SMP dan upaya pemerintah untuk memberantas buta
huruf, tetapi sampai saat ini angka buta huruf masih mencapai 8 persen, dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan 1:3 di kota dan 1:5 di desa (Sadli,
2010:341).Apabila ditinjau dari tingkat partisipasi perempuan di bidang
pendidikan tinggi, hanya mencapai 6 persen dibandingkan dengan laki-laki yang
mencapai 15 persen. Begitu pun dalam ketenagakerjaan profesional, meskipun
kesempatan dalam pendidikan seakan setara, tenaga-tenaga profesional dan ahli
masih didominasi laki-laki. Jadi, meski secara formal telah diberikan kesempatan
yang sama, akses perempuan terhadap peluang pendidikan masih terbatas pada
65

kelas-kelas sosial-ekonomi tertentu. Perempuan miskin dan tinggal di desa masih
mengalami kendala terbesar untuk dapat mengakses kesempatan.
Dalam bidang pekerjaan, meskipun kesempatan kerja seakan-akan sama,
tetapi eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan masih dialami pekerja perempuan,
para pekerja rumah tangga perempuan, dan buruh perempuan di pabrik-pabrik.
Dalam bidang hukum, diskriminasi terhadap perempuan dan anak
perempuan masih menjadi bagian dalam kehidupan perempuan di Indonesia
karena didukung secara struktural dan kultural. Secara struktural, misalnya,
masih adanya UU atau hukum nasional yang belum memberikan perlindungan
terhadap perempuan. Adapun secara kultural, melalui sikap atau perilaku yang
menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah kedudukannya
daripada laki-laki.
Sejak tahun 1990-an, isu diskriminasi terhadap perempuan diperparah
dengan isu kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan
Indonesia jelas menuntut perhatian serius. Masalah kekerasan berbasis gender
telah terungkap dari beberapa penelitian yang telah dilakukan. Penelitian
sejumlah LSM di daerah konflik dan nonkonflik telah menghasilkan data bahwa
baik dalam kondisi damai maupun konflik, perempuan sering menjadi sasaran
dari kekerasan fisik, mental, psikologis, dan seksual. Kekerasan ini terjadi di
lingkungan keluarga, tempat kerja, dan oleh aparat negara. Khusus dalam rumah
tangga, ditemukan pelakunya adalah cenderung orang yang dicintai, keluarga
dekat, ataupun orang lain yang sudah dikenal (Sadli, 2010:342). Saat ini,
meskipun telah ada UU PKDRT, angka kekerasan domestik masih tinggi dan
proses hukum terhadap kasus-kasus tersebut belum berjalan maksimal. Hal ini
66

disebabkan, antara lain karena pelanggaran terhadap hak perempuan, baik
diskriminasi maupun kekerasan, belum selalu dipahami sebagai pelanggaran
HAM, baik oleh anggota masyarakat maupun di tingkat penegak hukum. Juga
belum ada pengertian yang diterima secara luas bahwa diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan bersumber pada adanya kesenjangan kekuasaan
antara perempuan dan laki-laki yang berakar pada nilai budaya, agama, dan
diperkuat oleh sikap serta perilaku pejabat, orang tua, tokoh agama, guru, dan
orang lain yang signifikan dalam masyarakat (Sadli, 2010:343).
Di sisi lain, berkembangnya fenomena penerapan syariat Islam yang
mendomestikasi perempuan dan aturan-aturan yang mengeksploitasi tubuh dan
seksualitas perempuan menjadi ancaman baru bagi penegakkan hak-hak
perempuan di Indonesia saat ini. Feminisasi kemiskinan yang semakin kuat
akibat globalisasi ekonomi melalui free trade juga masih perlu advokasi khusus.
C. Kritik Sastra Feminis
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pengertian kritik sastra feminis;
jenis-jenis kritik sastra feminis yang terdiri atas KSF ideologis, KSF Ginokritik,
KSF marxis/sosialis, KSF psikoanalitik, KSF lesbian, dan KSF ras/etnik; serta
cara kerja kritik sastra feminis.
1. Pengertian Kritik Sastra Feminis
Dari berbagai pemikiran feminisme terlihat bahwa munculnya ide-ide
feminisme berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada
mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan
hak antara perempuan dan laki-laki. Kesadaran akan ketimpangan struktur,
67

sistem, dan tradisi masyarakat di berbagai bidang inilah yang kemudian
melahirkan kritik feminis.
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang
lahir sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme di berbagai penjuru
dunia. Djajanegara (2003:27) mengatakan bahwa kritik sastra feminis berasal dari
hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis s di masa silam dan
untuk mewujudkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang
menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan,
disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkat yang dominan.
Newton (Sofia, 2009:63) mengatakan bahwa kritik sastra feminis
mencerminkan tujuan politik dari feminisme berdasarkan ideologi feminis. Kritik
sastra feminis terhadap karya sastra digunakan sebagai materi pergerakan
kebebasan perempuan dan dalam menyosialisasikan ide feminis. Kritik feminis
terhadap karya sastra mengadopsi sudut pandang ini mengenai bagaimana
karakter perempuan digambarkan dalam sastra. Terkait dengan hal tersebut,
Culler (Sofia, 2009:20) berpendapat bahwa kritik sastra feminis
mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan paham tertentu
selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu
tertentu tentang perempuan. Selain itu, kritik ini berusaha mengidentifikasi suatu
pengalaman dan perspektif pemikiran laki-laki melalui cerita yang dikemas
sebagai pengalaman manusia dalam karya sastra. Hal ini dimaksudkan untuk
mengubah pemahaman terhadap karya sastra sekaligus terhadap signifikansi
berbagai kode gender yang ditampilkan teks berdasarkan hipotesis yang disusun.
68

Kritik sastra feminis melihat semua karya sebagai cermin anggapan-
anggapan estetika politik mengenai gender yang dikenal dengan istilah politik
seksual (Millett dalam Culler dalam Sofia, 2009:20). Sasaran kritik sastra feminis
adalah memberikan respons kritis terhadap pandangan-pandangan yang terwujud
dalam karya sastra yang diberikan oleh budayanya kemudian mempertanyakan
hubungan antara teks, kekuasaan, dan seksualitas yang terungkap dalam teks
(Millett dalam Culler dalam dalam Sofia, 2009:20).
Berdasarkan pemikiran tersebut Culler (Sofia, 2009:20), menawarkan
konsep reading as a woman (membaca sebagai perempuan) sebagai bentuk kritik
sastra feminis. Konsep ini dilakukan melalui sebuah pendekatan yang berusaha
membuat pembaca menjadi kritis hingga menghasilkan penilaian terhadap makna
teks, yaitu dengan menganalisis ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkal yang
diasumsikan terdapat dalam penulisan dan pembacaan sastra. Selanjutnya,
dengan membaca sebagai perempuan seorang penganalisis menghadapi suatu
karya dengan berpijak pada kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang berbeda
yang memengaruhi dan banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan
kehidupan.
Sejalan dengan tujuan feminisme yaitu untuk mengakhiri dominasi laki-
laki, kritik sastra feminis mengambil peran sebagai suatu bentuk kritik negosiasi,
bukan sebagai bentuk konfrontasi. Kritik ini dilakukan dengan tujuan untuk
menumbangkan wacana-wacana dominan, bukan untuk berkompromi dengan
wacana dominan tersebut. Kritik sastra feminis lebih dari sekadar perspektif. Ia
menampilkan kecanggihan dengan menggunakan aliansi strategi dengan teori-
teori kritis (Ruthven, 1990:6-7). Terkait dengan hal tersebut, Ruthven (1990:37)
69

mengatakan bahwa kritik sastra feminis merupakan kritik sastra yang berusaha
menjelaskan cara penggambaran perempuan dan menjelaskan potensi-potensi
yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan patriarki. Kritik sastra feminis
diharapkan mampu membuka pandangan-pandangan baru, terutama yang
berkaitan dengan cara-cara mewakilkan karakter-karakter perempuan dalam
karya sastra.
2. Jenis-Jenis Kritik Sastra Feminis
Ada beberapa jenis kritik sastra feminis yang berkembang dalam
masyarakat. Jenis kritik sastra feminis yang berkembang dalam masyarakat
antara lain sebagai berikut.
a. Kritik Ideologis
Kritik sastra feminis ini melibatkan perempuan, khususnya kaum kaum
feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra
serta stereotipe seorang perempuan dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti
kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab mengapa perempuan sering
tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan.
b. Ginokritik
Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra
perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur penulis perempuan dan
mencari perbedaan yang mendasar dengan penulis laki-laki. Di samping itu,
dikaji juga kreativitas penulis perempuan, profesi penulis perempuan sebagai
suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis perempuan.
c. Kritik Sastra Feminis Marxis/Sosialis
70

Kritik ini meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis,
yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengeritik feminis mencoba mengungkapkan
bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
d. Kritik Sastra Feminis Psikoanalitik
Kritik ini menempatkan tulisan perempuan sebagai cermin penulisnya.
Karena itu, penulisnya mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang dibuatnya
sebagai pengingkaran atau pernyataan diri terhadap teori Freud yang menyatakan
bahwa perempuan iri terhadap kekuasaan (zakar) laki-laki. Dalam kritik ini, para
feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasikan
dirinya atau menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan, sedangkan tokoh
perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.
e. Kritik Sastra Feminis Lesbian
Jenis ini hanya meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Ragamm
kritik ini masih sangat terbatas karena beberapa faktor, yaitu kaum feminis
kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual, kurangnya jurnal-jurnal
perempuan yang menulis lesbianisme, kaum lesbian sendiri belum mencapai
kesepakatan tentang defini lesbianisme, dan kaum lesbian banyak menggunakan
bahasa terselubung. Pada intinya tujuan kritik sastra feminis lesbian adalah untuk
mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian dan untuk
menentukan apakah definisi tersebut dapat diterapkan pada diri pengarang atau
pada teks karyanya.
f. Kritik Sastra Feminis Ras atau Etnik
Kritik feminis ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis etnik
dan karyanya., baik dalam kajian perempuan maupun dalam kanon sastra
71

tradisional dan sastra feminis. Kritik ini beranjak dari diskriminasi ras yang
dialami kaum perempuan yang berkulit selain putih di Amerika (Saraswati,
2003:156).
Pada penelitian ini, pisau analisis yang akan digunakan adalah kritik
sastra feminis ideologis, yang akan digunakan untuk menganalisis novel
Perempuan Berkalung Sorban dengan cara mengungkap penggambaran
perempuan di tengah kekuasaan patriarki. Dalam kritik ini yang menjadi pusat
perhatian adalah citra serta stereotipe seorang perempuan dalam karya sastra.
Kritik ini juga akan mengungkap kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-
sebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan bahkan nyaris diabaikan.
Adapun analisis gender sebagai model analisis yang mempertimbangkan keadilan
sosial dan aspek hubungan antarjenis kelamin menjadi alat bantunya.


3. Cara Kerja Kritik Sastra Feminis
Cara kerja kritik sastra feminis begitu eksplisit, yaitu dalam memahami
makna suatu karya, peneliti bisa menggunakan cara yang sistematis sebagai
berikut.
a. Mencari kedudukan tokoh dalam masyarakatnya. Diterangkan apakah
peran tokoh dalam karya sastra di masyarakatnya itu; sebagai ibu, janda,
anak, pengusaha, dan sebagainya. Apakah tokoh perempuan modern
(bekerja) atau tradisional (domestian). Kemudian apa tujuan hidup tokoh,
bagaimana perilaku dan watak tokoh, dan diteliti bagaimana pendirian serta
ucapan tokoh;
72

b. Meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan
dengan tokoh perempuan yang sedang diamati;
c. Mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji dari biografinya atau
dari kritik/penghargaan yang diterimanya tentang karya-karya penulis
tersebut (Isnendes, 2010:115).
Sistematika cara kerja kritik sastra feminis ini akan digunakan untuk
menganalisis novel Perempuan Berkalung Sorban.
D. Sastra
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pengertian dan ciri-ciri sastra;
jenis-jenis sastra; dan unsur-unsur pembentuk sastra.
1. Pengertian dan Ciri- Ciri Sastra
Teeuw (2003) mengemukakan bahwa batasan atau pengertian sastra itu
sampai sekarang belum ada seorang pun yang berhasil memberi jawaban yang
jelas atas pertanyaan apakah sastra itu. Walaupun demikian, sudah banyak usaha
yang dilakukan untuk mendefinisikan sastra. Ada pengertian yang cukup longgar
atau cukup luas dan ada juga pengertian yang cukup sederhana.
Dalam bahasa-bahasa Barat, kata sastra itu dperikan sebagai literature
(Inggris), literatur (Jerman), atau litterature (Prancis). Semua kata tersebut
berasal dari bahasa Yunani (litteratura). Artinya huruf, tulisan. Kata tersebut
pertama kali digunakan untuk tata bahasa dan puisi.
Sebagai bahan perbandingan, kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal
dari bahasa Sanskerta. Akar katanya cas yang berarti memberi petunjuk,
mengarahkan, mengajar. Akhiran tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Oleh
karena itu, sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk,
73

buku instruksi atau pengajaran. Adapun kata susastra adalah kata ciptaan Jawa
dan Melayu. Kata itu mengandung arti pustaka, buku, atau naskah (Teeuw dalam
Siswantoro, 2008:2).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1001-1002), kata sastra
diartikan sebagai (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di dalam
kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan, karya tulis yang jika
dibandingkan dengan tulisan lainnya memiliki ciri keunggulan seperti keaslian,
keartistikan, keindahan di dalam isi dan ungkapannya; ragam sastra yang dikenal
umum ialah roman atau novel, cerita pendek, drama, epik dan lirik; (3) kitab suci
Hindu; kitab ilmu pengetahuan; (4) kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan,
hitungan, dsb; (5) tulisan; huruf. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudjiman
(1990:71), yang menuliskan bahwa sastra (literature, Inggris, litterature, Prancis)
adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti
keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
Cakupan sastra yang lebih luas dikemukakan oleh Wellek & Warren
(1989:3-14) yang menuliskan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah
cabang seni. Sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Sastra adalah
karya imajinatif. Rahmanto (1998:13) mengungkapkan bahwa sastra, tidak
seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidaklah menyuguhkan ilmu pengetahuan
dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam
dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu yang
kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin
menambah pengetahuan orang yang menghayati. Luxemburg (1992:1)
menuliskan ciri-ciri sastra adalah sebagai berikut.
74

a. sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah
imitasi. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.
b. sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada suatu yang lain. Sastra tidak
bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam
karyanya sendiri.
c. karya sastra yang otonom itu bercirikan koherensi.
d. sastra menghidangkan sebuah antitesis antara hal-hal yang bertentangan.
e. sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh puisi dan bentuk-
bentuk sastra lainnya ditimbulkan aneka macam asosiasi dan konotasi.
Filsuf Horatius (Witakania,2010:2) mengungkapkan bahwa sebuah karya
sastra haruslah dulce, utile, prodesse et delectare (indah, berguna, manfaat, dan
nikmat). Oleh karena itu sastra dikaitkan dengan estetika atau keindahan. Selain
pada isinya, lokus keindahan sastra terletak pada bahasa. dalam sebuah karya
sastra, bahasa yang dipakai terasa berbeda dengan bahasa sehari-hari, karena
telah disusun, dikombinasikan, mengalami deotomisasi dan defamiliarisasi;
karena adanya kata-kata yang aneh, berbeda, atau asing (ostranenie); juga karena
adanya kebebasan penyair untuk menggunakan atau bahkan mempermainkan
bahasa (licentia poetica). Bahasa dalam sastra dikenal penuh dengan ambiguitas
dan homonim, serta kategori-kategori yang tidak beraturan dan irrasional. Bahasa
sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang
diciptakan sebelumnya. Dalam bahasa sastra sangat dipentingkan tanda,
simbolisme, dan suara dari kata-kata. Bahasa sastra bersifat konotatif dan
refensial serta memiliki fungsi ekspresif untuk menunjukkan nada dan sikap
75

pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha memengaruhi, membujuk,
dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca (Welleck & Warren, 1989:15).
Karya sastra merupakan rekonstruksi hyang harus dipahami dengan
memanfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia melalui energi kata-kata.
Melalui kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda, dan sistem simbol, kata-
kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya. Bahasa mengikat keseluruhan
aspek kehidupan untuk kemudian disajikan dengan cara yang khas dan unik agar
peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih bermakna, lebih intens, dan
dengan sendinya lebih luas dan lebih mendalam (Ratna,2002:16).
Hakikat sastra adalah imajinasi dan kreativitas, sehingga sastra selalu
dikaitkan dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan dalam
sastra adalah dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan kenyataan ke
dalam teks. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia
sesungguhnya, namun dunia yang mungkin ada. Walaupun berbicara dengan
acuan dunia fiksi, namun menurut Eastman (Welleck & Warren, 1989:30-31),
kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu
pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama sastrawan adalah
membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam kehidupan, dan
membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah
diketahui.
Selain bercirikan keindahan, sebuah karya sastra haruslah memiliki
kegunaan. Dalam hal ini perlu dibahas fungsi sastra bagi manusia, yaitu sebagai
kesenangan dan manfaat. Kedua sifat tersebut saling mengisi. Kesenangan yang
diperoleh melalui pembacaan karya sastra bukanlah kesenangan ragawi,
76

melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kesenangan kontemplasi yang
tidak mencari keuntungan. Adapun manfaatnya adalah keseriusan yang
menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. Selain itu sastra juga
memiliki fungsi katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari
tekanan emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu,
sehingga terciptalah rasa lepas dan ketenangan pikiran (Welleck & Warren,
1989:34-35)
2. Jenis-Jenis Sastra
Ada tiga jenis karya sastra yaitu puisi, prosa cerita, dan drama. Hal itu
memang logis karena tiga jenis tersebutlah yang mengandung unsur-unsur
kesusastraan secara dominan (fiksi, imaji, dan rekaan). Akan tetapi seiring
dengan perkembangan dunia sastra akhir-akhir ini mulai terjadi pembatasan yang
tipis antara khayalan dan kenyataan. Oleh sebab itu mulai dibicarakan pembagian
sastra yanag lain.
Dalam perkembangan sastra akhir-akhir ini, karya sastra dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu sastra imajinatif dan sastra
nonimajinatif. Sastra imajinatif mempunyai ciri sebagai berikut. (1) isinya
bersifat khayali, (2) menggunakan bahasa yang konotatif, dan (3) memenuhi
syarat-syarat estetika seni. Adapun sastra nonimajinatif mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: (1) isinya menekankan unsur faktual/faktanya, (2) menggunakan
bahasa yang cenderung denotatif, dan (3) memenuhi unsur-unsur estetika seni.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesamaan antara sastra
imajinatif dan nonimajinatif adalah masalah estetika seni. Unsur estetika seni
meliputi keutuhan (unity), keselarasan (harmony), keseimbangan (balance),
77

fokus/pusat penekanan suatu unsur (right emphasis). Adapun perbedaannya
terletak pada isi dan bahasanya. Isi sastra imajinatif sepenuhnya bersifat
khayal/fiktif, sedangkan isi sastra nonimajinantif didominasi oleh fakta-fakta.
Bahasa sastra imajinatif cenderung konotatif, sedangkan bahasa sastra
nonimajinatif cenderung denotatif.
Bentuk karya sastra yang termasuk karya sastra imajinatif adalah: 1. Puisi,
terdiri atas: (1) Epik, (2) Lirik, dan (3) dramatik; 2.Prosa, terdiri atas: (1) Fiksi
(novel, cerpen, roman) dan (2) Drama (drama prosa, drama puisi). Adapun
bentuk karya sastra yang termasuk sastra nonimajinatif adalah sebagai berikut:
(1) esai yaitu karangan pendek tentang suatu fakta yang dikupas menurut
pandangan pribadi penulisnya; (2) kritik yaitu analisis untuk menilai suatu karya
seni atau karya sastra; (3)biografi yaitu cerita tentang hidup seseorang yang
ditulis oleh orang lain; (4) otobiografi adalah biografi yang ditulis oleh tokohnya
sendiri; (5)sejarah adalah cerita tentang zaman lampau suatu masyarakat
berdasarkan sumber tertulis maupun tidak tertulis; (6) memoar adalah otobiografi
tentang sebagian pengalaman hidup saja; dan (7) catatan harian adalah catataan
seseorang tentang dirinya atau lingkungannya yang ditulis secara teratur.
3. Unsur-Unsur Pembentuk Karya Sastra
Sebenarnya sangat sulit menjelaskan unsur-unsur yang membentuk suatu
karya sastra. Akan tetapi, setidak-tidaknya hal itu dapat didekati dari dua sisi.
Pertama kita lihat dari definisi-definisi yang telah diungkapkan. Berdasarkan
definisi-definisi yang sudah ada, ada unsur-unsur yang selalu disinggung. Unsur-
unsur tersebut dapat dipandang sebagai unsur-unsur yang dianggap sebagai
pembentuk karya sastra.
78

Menurut Luxemburg (1992:4-6) ada beberapa ciri yang selalu muncul
dari definisi-definisi yang pernah diungkapkan. Ciri-ciri tersebut antara lain
sebagai berikut.
a. sastra merupakan ciptaan atau kreasi, bukan pertama-tama imitasi;
b. sastra bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri), terlepas dari dunia
nyata;
c. sastra mempunyai ciri koherensi atau keselarasan antara bentuk dan isinya;
d. sastra menghidangkan sintesa (jalan tengah) antara hal-hal yang saling
bertentangan;
e. sastra berusaha mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan.
Sumardjo dan Saini KM (2000:5-8) mengajukan sepuluh syarat karya
sastra bermutu. Syarat tersebut adalah sebagai berikut.
a. karya sastra adalah usaha merekam isi jiwa sastrawannya;
b. sastra adalah komunikasi, artinya bisa dipahami oleh orang lain;
c. sastra adalah sebuah keteraturan, artinya tunduk pada kaidah-kaidah seni;
d. sastra adalah penghiburan, artinya mampu memberi rasa puas atau rasa
senang pada pembaca;
e. sastra adalah sebuah integrasi, artinya terdapat keserasian antara isi,
bentuk, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya;
f. sebuah karya sastra yang bermutu merupakan penemuan;
g. karya yang bermutu merupakan (totalitas) ekspresi sastrawannya;
h. karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat, artinya
padat isi dan bentuk, bahasa dan ekspresi;
i. karya sastra yang bermutu merupakan (hasil) penafsiran kehidupan;
79

j. karya sastra yang bermutu merupakan sebuah pembaharuan.
Adapun Luxemburg (1992:8-10) berpendapat bahwa karya sastra harus
memenuhi unsur-unsur berikut ini.
a. karya sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun untuk tujuan
komunikasi praktis dan sementara waktu;
b. karya sastra adalah teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas;
c. karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks
tersebut;
d. bahannya diolah secara istimewa;
e. karya sastra dapat kita baca menurut tahap-atahp arti yang berbeda-beda;
f. karena sifat rekaannya sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu
mengenai kenyataan dan juga tidak menggugak kita untuk langsung
bertindak;
g. sambil membaca karya sastra tersebut kita dapat mengadakan identifikasi
dengan seorang tokoh atau dengan orang-orang lain;
h. bahasa sastra dan pengolahan bahan lewaat sastra dapat membuka batin
kita bagi pengalaman-pengalaman baru;
i. bahasa dan sarana-sarana sastra lainnya mempunyai suatu nilai tersendiri;
j. sastra sering digunakan untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam
masyarakat.
E. Novel
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pengertian dan ciri-ciri novel;
jenis-jenis novel; fungsi novel; unsur-unsur novel; dan teori struktur novel.
1. Pengertian dan Ciri-Ciri Novel
80

Istilah novel dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah novel dalam
bahasa Inggris. Istilah ini semula berasal dari bahasa Itali, yaitu novella. Novella
diartikan sebuah barang baru yang kecil, kemudian diartikan sebagai cerita
pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Semi, 2003:62). Menurut
Nurgiyantoro (2010:9), istilah novella atau novelle mengandung pengertian yang
sama dengan istilah novelet (dalam bahasa Inggris novellette) yang berarti sebuah
karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun tidak
terlalu pendek. Novel merupakan sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia
yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun
melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan
penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja juga
bersifat imajinatif (Nurgiyantoro, 2010:4).
Jassin memberikan pengertian bahwa novel adalah cerita mengenai salah
satu episode dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam
kehidupan itu, sebuah krisis yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib
pada manusia (Faruk, 2005:265). Goldman (Faruk, 2005:29) mendeskripsikan
novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai
yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah
dunia yang juga terdegradasi. Adapun Sudjiman (1990:54) mendefinisikan bahwa
novel adalah prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan
menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.
Dalam The American College Dictionary (Tarigan 1993:164), novel
didefinisikan sebagai suatu cerita prosa yang fiktif dengan panjangnya tertentu,
yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang
81

representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.
Adapun Wolf (Lubis dalam Minderof, 2005:62) mendefinisikan roman atau novel
adalah sebuah eksplorasi atau suatu kronik kehidupan, merenungkan dan
melukiskannya dalam bentuk tertentu yang juga meliputi pengaruh, ikatan, hasil,
kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut penulis menyimpulkan bahwa
novel merupakan wujud cerita rekaan (prosa fiksi) yang mengisahkan salah satu
bagian nyata dari kehidupan tokoh-tokohnya dengan segala pergolakan jiwa dan
melahirkan suatu konflik dalam serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun
dan pada akhirnya dapat mengalihkan jalan kehidupan mereka.
Karya fiksi dapat dibedakan menjadi roman, novel, novellete, dan cerpen.
Perbedaan bentuk fiksi tersebut pada dasarnya dapat dilihat dari segi formalitas
bentuk, panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku
yang mendukung pada cerita tersebut. Abrams (Nurgiyantoro, 2010:11)
berpendapat bahwa novel mengemukakan suatu cerita secara bebas serta
menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih
banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.
Waluyo (2005:37) berpendapat bahwa ciri-ciri novel adalah (1) ada
perubahan nasib pada para tokoh cerita, (20 ada beberapa episode dalam
kehidupan tokoh utamanya, dan (3) biasanya tokoh utama tidak sampai mati.
2. Jenis-Jenis Novel
Ada enam jenis novel menurut Firdaus, dkk. (2000:106). Keenam jenis
novel tersebut adalah (1) novel petualangan atau novel avonturer, (2) novel
82

psikologi, (3) novel sosial, (4) novel politik, (5) novel bertendens, dan (6) novel
sejarah.
Novel petualangan atau novel avonturer merupakan novel yang
mengisahkan pengembaraan seorang tokoh yang memperlihatkan kecintaan
terhadap alam semesta. Novel psikologis adalah novel tentang masalah kejiwaan
yang dialami para tokohnya. Novel Sosial merupakan novel yang
mengungkapkan masalah kehidupan sosial masyarakat, adat istiadat, dan
kebudayaan. Novel politik adalah novel yang mengungkapkan unsur paham
politik tertentu dalam kehidupan bermasyarakat. Novel bertendens adalah novel
yang berisi tujuan, mendidik, atau menyampaikan pesan tertentu. Adapun novel
sejarah merupakan novel yang berkaitan dengan sejarah.
Goldman (Faruk, 2005:31) membedakan novel menjadi tiga jenis, yaitu
novel idealisme abstrak, novel psikologis, dan novel pendidikan. Dalam novel
idealisme abstrak sang hero penuh optimisme dalam petualangan tanpa
menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel psikologis sang hero digambarkan
cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia
konvensi. Adapun dalam novel pendidikan sang hero telah melepaskan
pencariannya akan nilai-nilai yang autentik, tetapi tidak menolak dunia.
3. Fungsi Novel
Fungsi novel pada dasarnya adalah untuk menghibur para pembaca.
Novel pada hakikatnya merupakan sebuah cerita rekaan dan karenanya
terkandung juga tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca. Hal ini
sejalan dengan pendapat Wellek & Warren (1989:27) bahwa membaca sebuah
83

karya fiksi adalah menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan
batin.
Sumardjo & Saini K.M. (2000:89) mengatakan bahwa fungsi novel adalah
sebagai berikut.
a. memberi kesadaran pada pembacanya tentang suatu kebenaran;
b. memberikan kepuasaan batin, hiburan ini adalah hiburan intelektual;
c. memberikan sebuah penghayatan yang mendalam tentang apa yang
diketahui, pengetahuan ini nantinya menjadi hidup dalam sastra;
Membaca novel adalah karya seni indah dan memenuhi kebutuhan
manusia terhadap naluri keindahan yang merupakan kodrat manusia. Novel di
dalamnya memiliki kebebasan untuk menyampaikan dialog yang dapat
menggerakkan hati masyarakat dengan kekayaan perasaan, kedalaman isi, dan
kekuasaan pandangan terhadap berbagai masalah. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan bahwa novel bukanlah media yang hanya menonjolkan suatu sisi
kehidupan manusia.
4. Unsur-Unsur Novel
Cerita rekaan dibangun oleh dua unsur pokok, yaitu apa yang diceritakan
dan teknik (metode) penceritaan. Isi atau materi yang diceritakan tentunya tidak
dapat dipisahkan dengan cara penceritaan. Bahasa yang digunakan untuk
bercerita harus disesuaikan dengan isi, sifat, perasaan, dan apa tujuan cerita
tersebut. Unsur-unsur yang yang terkait dengan isi lazim disebut struktur batin.
Adapun unsur yang yang berhubungan dengan metode disebut unsur fisik. Unsur-
unsur tersebut membangun suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau
membangun sebuah struktur dalam karya sastra. Unsur-unsur itu bersifat
84

fungsional, artinya diciptakan pengarang untuk mendukung maksud secara
keseluruhan cerita (Waluyo, 2005:136-137).
Nurgiyantoro (2010:22) mengemukakan bahwa sebuah novel merupakan
sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai totalitas
maka novel terdiri dari bagian-bagian unsur. Unsur-unsur yang saling berkaitan
satu dengan lainnya secara erat dan saling menggantungkan.
Novel dibangun dari sejumlah unsur dan setiap unsur akan saling
berhubungan secara saling menentukan, yang kesemuanya itu akan menyebabkan
novel tersebut menjadi sebuah karya sastra yang bermakna pada hidup. Unsur-
unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur tersebut
harus dipahami dalam upaya pengkajian karya sastra.


5. Teori Struktur Novel
Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2010:2) ada empat pendekatan terhadap
karya sastra, yaitu pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan
ekspresif, dan pendekatan objektif. Pendekatan strukturalisme merupakan
pendekatan yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang mengganggap karya
sastra sebagai makhluk yang berdiri sendiri. Karya sastra bersifat otonom,
terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan bahkan pengarangnya sendiri. Oleh
karena itu, untuk dapat memahami sebuah karya sastra (novel) maka karya sastra
(novel) itulah yang harus dianalisis struktuk intrinsiknya (Pradopo, 2002:141).
Karya sastra (novel) merupakan struktur yang bermakna. Novel tidak hanya
merupakan serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi
85

merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu. Untuk
mengetahui makna-makna atau pikiran tersebut, karya sastra (novel) harus
dianalisis. Kritik sastra pada dasarnya merupakan upaya untuk menangkap atau
memberi makna sebuah karya sastra. Adapun menurut Teeuw (1988:4), kritik
sastra merupakan usaha untuk merebut makna karya sastra.
Analisis strukturalisme merupakan prioritas pertama sebelum diterapkannya
analisis yang lain. Tanpa analisis struktural tersebut, kebulatan makna intrinsik
yang hanya dapat digali dari karya tersebut tidak dapat ditangkap. Makna karya
sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya, dan dinilai atas dasar
pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra
(Teeuw, 1988:61).
Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang
bersifat artistik (Nurgiyantoro,2010:22). Sebagai sebuah totalitas, novel
mempunyai bagian-bagian dan unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan
yang lain secara erat dan saling ketergantungan. Struktur dalam sebuah novel
sebagai sebuah cerita rekaan tentulah kompleks. Oleh karena itu, untuk
memahaminya perlu dinalisis. Analisis struktural tidak sekadar memilah-milah
struktur (novel) menjadi fragmen-fragmen yang tidak berhubungan, tetapi harus
dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan. Tiap unsur dalam situasi tertentu
tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan ditentukan berdasarkan
hubungannya dengan unsur-unsur lain yang terlibat dalam situasi itu. Makna
penuh suatu satuan atau pengalaman dapat dipahami hanya jika berintegrasi ke
dalam struktur yang merupakan keseluruhan dalam satuan itu Hawkes
(Sugihastuti, 2002:44). Di antara unsur-unsur itu ada koherensi atau pertautan
86

yang erat. Unsur-unsur tersebut tidak otonom, melainkan merupakan bagian dari
situasi yang rumit. Unsur itu mendapatkan artinya dari hubungan dengan bagian
yang lain (Culler dalam Sugihastuti, 2005:44). Jadi, untuk memahami sebuah
novel haruslah dianalisis terlebih dahulu unsur-unsur intrinsiknya.
Unsur-unsur dalam novel, menurut Stanton (Sugihastuti,2002:44) adalah
fakta, tema, dan sarana sastra. Fakta (facts) dalam sebuah cerita rekaan meliputi
alur, latar, tokoh dan penokohan. Fakta cerita merupakan unsur fiksi yang secara
faktual dapat dibayangkan peristiwanya dan eksistensinya dalam sebuah novel.
Oleh karena itu, fakta cerita sering juga disebut struktur faktual (factual
structure) atau derajat faktual (factual level). Sarana sastra (literary devices)
adalah teknik yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detail-
detail cerita menjadi pola yang bermakna (Sugihastuti, 2002:45).
Penelitian ini akan menganalisis citra perempuan dalam novel dengan
menggunakan kritik sastra feminis. Sehingga dengan demikian pembahasan
tentang struktur novel akan difokuskan pada struktur tema dan struktur
tokoh/penokohan. Akan tetapi untuk memperjelas tentang unsur-unsur novel,
semua unsur novel intrinsik novel akan diuraikan secara sepintas.
a. Tema
1) Hakikat Tema
Tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan
sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema bersinonim dengan
ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose) (Stanton dalam
Sugihastuti, 2005:45, Nurgiyantoro, 2010:70). Tema, dengan demikian, dapat
dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel.
87

Gagasan dasar umum inilah yang dipergunakan pengarang untuk
mengembangkan cerita. Dasar cerita sekaligus juga berarti tujuan (utama) cerita.
Jika pengembangan cerita senantiasa tunduk pada dasar cerita, hal itu bertujuan
agar dasar, gagasan dasar umum, atau sesuatu yang ingin dikemukakan itu dapat
diterima oleh pembaca (Nurgiyantoro,2010:70).
Tema menjadi salah satu unsur cerita rekaan yang memberikan kekuatan
dan sekaligus sebagai unsur pemersatu semua fakta dan sarana cerita yang
mengungkapkan permasalahan kehidupan. Tema dapat dirasakan pada semua
fakta dan sarana cerita pada sebuah novel. Tema tidak dapat dipisahkan dari
permasalahan kehidupan yang direkam oleh karya sastra. Dengan kata lain, tema
sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan
(Nurgiyantoro, 2010:71). Akan tetapi, tema tidak sama dengan masalah. Masalah
adalah persoalan kehidupan yang harus dipecahkan (Moeliono,dkk., 1993:562),
sedangkan tema adalah sikap atau pandangan hidup orang terhadap masalah
tersebut. Pembicaraan tema dan masalah tidak dapat dipisahkan karena masalah
dalam karya sastra merupakan sarana untuk membangun tema. Masalah terdapat
dalam peristiwa-peristiwa yang menyusun jalannya cerita. Tema dapat ditemukan
dengan cara menyimpulkan keseluruhan cerita. Tema tersembunyi di balik cerita
yang mendukungnya. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa tema itu sengaja
disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca
(Nurgiyantoro, 2010:68).
Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan secara
langsung atau khusus. Eksistensi dan atau kehadiran tema adalah terimplisit dan
merasuki keseluruhan cerita, hal inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan
88

pelukisan secara langsung tersebut (Nurgiyantoro, 2010:69). Hal itu pula yang
menyebabkan penafsiran tema tidak mudah. Agar bisa memahami tema harus
bisa memahami cerita secara keseluruhan. Akan tetapi, tema juga dapat
ditemukan pada kalimat-kalimat (atau alinea-alinea, percakapan) tertentu yang
dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang mengandung tema pokok.
2) Tema: Mengangkat masalah Kehidupan
Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia amat
luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada
(Nurgiyantoro, 2010:71). Akan tetapi walaupun permasalahan yang dialami
manusia berbeda-beda, ada masalah-masalah kehidupan yang bersifat universal.
Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang di manapun dan kapan pun walau
dengan intensitas yang berbeda. Misalnya, hal-hal yang terkait dengan masalah
cinta, rindu, takut, kematian, nafsu, religius, dan lain-lain. Novel, yang dapat
dipandang sebagai hasil dialog, mengangkat dan mengungkapkan kembali
berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati
penghayatan yang intens, selektif-subjektif, dan diolah dengan daya imajinatif-
kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan.
Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan
kehidupan itu menjadi tema dan subtema ke dalam karya fiksi berdasarkan
pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema
sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan.
Melalui karyanya pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak
pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman)
kehidupan dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia
89

memandangnya (Nurgiyantoro, 2010:71). Selesai membaca sebuah novel,
mungkin pembaca akan merasakan sesuatu yang belum dirasakan sebelumnya,
mungkin perasaan kecewa, haru, bahagia, atau berbagai reaksi emotif lain yang
dapat menyebabkan pembaca mengalami perubahan dalam menyikapi hidup dan
kehidupan ini.
Masalah-masalah dan pengalaman kehidupan yang banyak diangkat ke
dalam karya fiksi, baik yang bersifat individual maupun sosial antara lain adalah
masalah percintaan (sampai atau tak sampai, terhadap kekasih, orangtua, saudara,
tanah air, keluarga, dan lain-lain), kecemasan, dendam, kesombongan, ketakutan,
kematian, keagamaan, harga diri, pengkhianatan, kepahlawanan, keadilan, dan
kebenaran. Pemilihan tema-tema tertentu ke dalam sebuah karya bersifat
subjektif.
3) Hubungan Tema dengan Unsur Lain
Tema, hanya merupakan salah satu dari sejumlah unsur yang membangun
sebuah karya sastra yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan.
Bahkan, eksistensi tema sangat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu
karena tema hanyalah merupakan makna atau gagasan dasar umum suatu cerita,
ia tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya (Nurgiyantoro,
2010:72). Dengan kata lain, tema akan menjadi makna cerita apabila ada dalam
keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya, seperti unsur fakta cerita,
tokoh, plot, dan latar yang bertugas mendukung dan menyampaikan cerita.
Di pihak lain, unsur-unsur tokoh dan penokohan, plot dan pemplotan,
latar dan pelataran, serta cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna
apabila diikat oleh sebuah tema. Tema bersifat memberi koherensi dan makna
90

terhadap keempat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang laian. Tokoh-
tokoh cerita, terutama tokoh utama adalah pembawa dan pelaku cerita, pembuat,
dan penderita peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dengan demikian, sebenarnya
tokoh-tokoh (utama) cerita inilah yang diberi tugas untuk menyampaikan tema
yang dimaksudkan oleh pengarang. Penyampaian tema tidak bersifat langsung,
melainkan melalui tingkah laku (verbal dan nonverbal), pikiran dan perasaan,
serta berbagai peristiwa yang dialami tokoh tersebut.
4) Penggolongan Tema
Penggolongan tema yang akan dikemukakan berikut merupakan
penggolongan yang didasarkan pada tiga sudut pandang, yaitu dikhotomis yang
bersifat tradisional dan nontradisional dan tingkat pengalaman jiwa menurut
Shipley.
a) Tema Dikhotomis (Tradisional dan Nontradisional)
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang merujuk pada tema
yang hanya itu-itu saja, artinya tema yang telah lama dipergunakan dan dapat
ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama (Nurgiyantoro, 2010:77).
Pernyataan-pernyataan tema yang dapat digolongkan sebagai tema tradisional,
misalnya berbunyi; (i) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan, (ii)
kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga, (iii) tindak kebenaran dan
kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya, (iv) cinta sejati menuntut
pengorbanab, (v) kawan sejati adalah kawan di masa duka, (vi) setelah menderita,
orang baru teringat Tuhan, dan lain-lain. Tema-tema tradisional, walau bervariasi,
dapat dikatakan, selalu terkait dengan masalah kebenaran dan kejahatan
(Meredith&Fitzgerald dalam Nurgiyantoro, 2010:77).
91

Selain yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja
mengangkat sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang bersifat nontradisional.
Karena sifatnya yang nontradisional, tema demikian , mungkin tidak sesuai
dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan mungkin
mengecewakan pembacanya. Padaumumnya, pembaca berharap semua tokoh
baik (protagonis) pada akhirnya akan mengalami kebahagiaan/kemenangan.
Sebaliknya, tokoh jahat antagonis pada akhirnya akan memetik hasil dari
kejahatannya. Apabila terjadi hal yang sebaliknya, yaitu tokoh baik yang
dikalahkan, pembaca mungkin akan menggugat walau hanya secara afeksi.
Padahal, dalam realitas kehidupan sangat mungkin hal tersebut dapat terjadi.


b) Tingkatan Tema menurut Shipley
Shipley membedakan tema menjadi lima tingkatan. Kelima tingkatan
tema yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul.
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau
ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan (lebih
menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh-tokohnya).
(2) tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma.
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau
mempersoalkan masalah seksualitas (khususnya kehidupan yang bersifat
menyimpang, seperti penyelewengan, dan pengkhianatan suami-istri, atau
skandal-skandal seksual yang lain).
92

(3) tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial.
Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat berinteraksinya
manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam mengandung banyak
permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.
Masalah-masalah sosial tersebut antara lain berupa masalah ekonomi,
politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, dan berbagai
masalah kritik sosial lainnya.
(4) tema tingkat egoik, manusia sebagai individu.
Dalam kedudukannya sebagai individu, manusia pun meniliki banyak
permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia
terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas
itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan
sikap tertentu manusia yang pada umumnya lebih bersifat batin dan
dirasakan oleh yang bersangkutan. Masalah individualitas biasanya
menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang.
(5) tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi.
Pada tingkat ini belum tentu semua manusia dapat mencapainya. Masalah
pada tema tingkat ini adalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta,
masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya,
seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
b. Alur (Plot) dan Pengaluran
Di dalam sebuah cerita rekaan, peristiwa-peristiwa disajikan dengan urutan
tertentu, peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita, yaitu
alur (Panuti-Sudjiman, 1991:28). Stanton (Nurgiyantoro, 2010:113)
93

mengemukakan bahwa alur (plot) adalah cerita yang berisi urutan peristiwa,
tetapi setiap peristiwa itu dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu
disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Adanya hubungan
sebab akibat ini juga ditekankan oleh Kenny (1966) dan Forster (1970). Peristiwa
terjadi karena adanya aksi atau aktivitas yang dilakukan oleh tokoh cerita, baik
yang bersifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin.
Alur merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh
dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagi
masalah kehidupan. Akan tetapi, tidak dengan sendirinya semua tingakh laku
kehidupan manusia boleh disebut plot atau alur (Nurgiyantoro, 2010:114).
Pemilihan dan pengaturan peristiwa yang membentuk cerita disebut
pengaluran (Panuti-Sudjiman, 1991:31). Cerita diawali dengan peristiwa tertentu
dan diakhiri dengan peristiwa tertentu lainnya tanpa terikat pada urutan waktu.
Jika sebuah cerita diawali dengan peristiwa yang pertama di dalam urutan waktu
terjadinya, dikatakan bahwa cerita disusun ob ovo (dari telur). Sebaliknya, jika
cerita diawali dengan peristiwa lanjutan kemudian disusul peristiwa yang terjadi
sebelumnya, dikarakan bahwa cerita itu berawal in medias res (Panuti-Sudjiman,
1991:31). Peristiwa pertama yang memberikan informasi awal kepada pembaca
itu disebut paparan atau eksposisi (Panuti-Sudjiman, 1991:32). Di dalam awal
cerita, juga diselipkan butir-butir ketidakstabilan yang memancing rasa ingin tahu
pembaca akan kelanjutan cerita. Menurut Kenney (Panuti-Sudjiman, 1991:32),
ketidakstabilan itu berpotensi untuk mengembangkan cerita menuju rangsangan
(inciting moment), yaitu peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan (risting
94

action). Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru yang
berlaku sebagai katalisator.
Unsur-unsur yang mengarah kepada ketidakstabilan akan mewujudkan
suatu pola konflik atau tikaian., yaitu peristiwa yang timbul sebagai akibat dari
adanya dua kekuatan yang bertentangan. Satu di antaranya diwakili oleh tokoh
yang biasanya menjadi protagonis di dalam cerita (Panuti-Sudjiman, 1991:34).
Menurut Kenney (Sugihastuti, 2005:48), perkembangan ke arah klimaks secara
laten sudah terdapat di dalam tikaian. Perkembangan dari gejala mula tikaian
menuju ke klimaks disebut rumitan (complication). Klimaks terjadi apabila
rumitan mencapai puncak kehebatannya. Dari titik tertinggi ini penyelesaian
cerita biasanya sudah dapat dibayangkan (Panuti-Sudjiman,1991:35).
Bagian struktur alur sesudah klimaks meliputi leraian (falling action) yang
menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian bukan
penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh cerita. Selesaian (denouement) adalah
bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian dapat berupa penyelesaian masalah
yang menyedihkan (sad ending), atau masalah dibiarkan menggantung tanpa
pemecahan (Panuti-Sudjiman,1991:35-36). Panuti-Sudjiman (1991:30)
menggambarkan struktur dramatik alur sebagai berikut.
1. paparan (exposition)
awal 2. Rangsangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)
4. tikaian (conflict)
tengah 5. rumitan (complication)
6. klimaks
akhir 7. Leraian (falling action)
8. selesaian (denouecement)
Gambar 1.1. Struktur Dramatik Alur
95

Adapun Jones menggambarkan diagram alur secara runtut dan kronologis
sebagai berikut.
Klimaks

Inciting Forces +) **) Pemecahan
*)




Awal Tengah Akhir
Keterangan:
+ ) Konflik dimunnculkan dan semakin ditingkatkan
++ ) Konflik dan ketegangan dikendorkan
+ ) Inciting Forces menyarankan pada hal-hal yang semakin meningkatkan
konflik sehingga akhirnya semakin klimaks.
Gambar 1.2. Diagram Struktur Alur
(Sugihastuti, 2005:49)
c. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya fiksi.
Melalui tokohlah seorang pengarang menyampaikan pesan, amanat, moral, atau
sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pengarang.
1) Pengertian dan Hakikat
Cerita rekaan pada dasarnya mengisahkan seseorang atau beberapa orang
yang menjadi tokoh. Tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami
peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Dengan kata lain
tokoh cerita adalah orang yang menjadi subjek yang menggerakkan peristiwa-
peristiwa cerita. Tokoh dilengkapi dengan watak atau karakteristik tertentu.
Watak adalah kualitas tokoh yang meliputi kualitas nalar dan jiwa yang
96

membedakannya dengan tokoh cerita lain. Watak itulah yang menggerakkan
tokoh untuk melalukan perbuatan tertentu sehingga cerita menjadi hidup.
Penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang
seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita disebut penokohan (Jones dalam
Sugihastuti, 2005:50). Salah satu caranya adalah dengan penamaan. Nama, selain
berfungsi untuk mempermudah penyebutan tokoh-tokoh cerita, juga menyiratkan
kualitas dan latar belakang pemiliknya.
Abrams (Nurgiyantoro, 2010:165) mengemukakan bahwa tokoh cerita
(character) adalah orang (-orang) yang ditampilakan dalam suatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Menurut pengertian tersebut, antara seorang tokoh
dengan kualitas pribadinya berkaitan dengan penerimaan pembaca. Dalam hal ini,
pembacalah sebenarnya yang memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian
seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan
tingkah laku lain (nonverbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang
lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.
2) Hubungan Penokohan dan Unsur lain
Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun fiksi dapat dikaji dan
dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jika fiksi
tersebut merupakan sebuah karya yang berhasil, penokohan pastilah berjalin
secara harmonis dan saling melengkapi dengan berbagai unsur lainnya, misalnya
dengan unsur plot, tema, latar, sudut pandang, gaya, atau amanat.
97

Penokohan dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling
memengaruhi dan menggantungkan satu dengan lainnya. Plot adalah apa yang
dilakukan tokoh dan apa yang menimpanya. Adanya kejadian demi kejadian,
ketegangan, konflik, dan sampai pada klimaks hanya mungkin terjadi jika ada
pelakunya. Tokoh-tokoh cerita merupakan pelaku sekaligus penderita kejadian,
dan karenanya penentu perkembangan plot. Bahkan sebenarnya, plot tak lain dari
perjalanan cara kehidupan tokoh, baik dalam cara berpikir dan berperasaan,
bersikap, berperilaku, maupun bertindak, baik secara verbal maupun nonverbal
Hal ini sejalan dengan pendapat James (Nurgiyantoro, 2010:173),bahwa jati diri
seorang tokoh ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang menyertainya, dan
sebaliknya, peristiwa-peristiwa itu sendiri merupakan pelukisan tokoh..
Penokohan dan tema saling berhubungan erat, karena tokoh-tokoh cerita
berfungsi sebagai pelaku-penyampai tema baik implisit maupun eksplisit. Adanya
perbedaan tema akan menyebabkan perbedaan pemerlakuan tokoh cerita yang
ditugasi menyampaikannya. Pengarang akan memilih tokoh-tokoh tertentu
yang dirasa paling sesuai untuk mendukung temanya.
Dalam kebanyakan fiksi, tema umumnya tidak dinyatakan secara
eksplisit. Hal itu berarti pembacalah yang harus menafsirkannya. Usaha
penafsiran tema antara lain dapat dilakukan melalui detil kejadian dan atau
konflik yang menonjol. Artinya, usaha penafsiran tema haruslah dilacak dari apa
yang dilakukan, dipikirkan dan dirasakan, atau apa yang ditimpakan kepada
tokoh. Dengan demikian, penafsiran tema akan selalu mengacu pada tokoh.
3) Metode Penokohan
98

Ada beberapa metode penokohan yang masing-masing memiliki kelebihan
dan kekurangannya. Pertama, metode analitik atau metode langsung (telling).
Pengarang melalui narator memaparkan sifat-sifat, hasrat, pikiran, dan perasaan
tokoh, kadang-kadang disertai komentar tentang watak tersebut. Cara ini
sederhana dan hemat, tetapi tidak menggalakkan imajinasi pembaca. Pembaca
tidak dirangsang untuk membentuk gambarannya tentang si tokoh (Panuti-
Sudjiman, 1991:24). Biasanya metode ini digunakan oleh para penulis jaman
dahulu_ bukan fiksi modern. Melalui metode ini keikutsertaan atau turut
campurnya pengarang dalam menyajikan perwatakan tokoh sangat terasa,
sehingga para pembaca memahami dan menghayati perwatakan tokoh
berdasarkan paparan pengarang (Minderop, 2005:6).
Kedua, metode tidak langsung (showing) yang disebut juga metode ragaan
atau metode dramatik. Dalam metode ini, pengarang menempatkan diri di luar
kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan
perwatakan mereka melalui dialog dan action (Pickering dan Hoeper dalam
Minderop, 2005:6). Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran,
cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang melalui narator. Bahkan,
watak juga dapat disimpulkan dari penampilan fisik tokoh, dari gambaran
lingkungannya, serta dari pendapat dan cakapan tokoh-tokoh yang lain tentang
tokoh utama. Metode ini lebih hidup dan menggalakkan pembaca untuk
menyimpulkan watak tokoh (Panuti-Sudjiman, 1991:26). Para kritikus modern
pada umumnya beranggapan bahwa secara intrinsik metode dramatik bermutu
lebih tinggi daripada metode analitik (Panuti-Sudjiman, 1991:27).
99

Ketiga, metode kontekstual (Kenney dalam Sugihastuti, 2005:51). Dalam
metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan narator di
dalam mengacu kepada tokoh cerita. Ketiga metode tersebut dapat dipakai secara
bersama-sama dalam menulis sebuah novel.
4) Pembedaan Tokoh
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam
beberapa jenis penamaan berdasarkan sudut pandang dan tinjauan tertentu.
a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya, tokoh dalam cerita fiksi
dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama cerita
(main character, central character) adalah tokoh yang tergolong penting dan
ditampilkan terus-menerus sehingga terkesan mendominasi sebagian besar cerita.
Adapun tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh hanya dimunculkan
sesekali atau beberapa kali dalam cerita, dan dalam porsi penceritaan yang relatif
pendek.
Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritaka, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel
tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui
dalam tiap halaman novel yang bersangkuta. Misalnya, tokoh Aku (Sri) pada
novel Pada Sebuah Kapal bagian I, atau tokoh Aku (Michel) pada novel yang
sama bagian II. Ada juga novel yang tokoh utamanya tidak dimunculkan dalam
setiap kejadian atau tidak langsung ditunjuk dalam setiap bab, tetapi dalam
kejadian atau bab tersebut tetap erat berkaitan atau dapat dikaitkan dengan tokoh
utama.
100

Tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan
karena ia paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh
lain. Adapun pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih
sedikit dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama
secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam kegiatan membuat sinopsis,
tokoh utamalah yang dibuatkan sinopsisnya. Tokoh utama dalam sebuah novel
mungkin saja lebih dari satu orang, walaupun kadar keutamaannya tidak selalu
sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan
pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.
Pembedaan seorang tokoh dalam cerita fiksi bersifat gradasi. Artinya,
kadar keutamaan tokoh-tokoh tersebut bertingkat. Ada tokoh utama (yang)
utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tokoh tambahan (yang)
tambahan. Hal inilah yang menyebabkan pembaca swering berbeda pendapat
dalam menentukan tokoh-tokoh utama sebuah cerita fiksi (Nurgiyantoro,
2010:178).
b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan menjadi tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Altenbernd & Lewis (Nurgiyantoro,
2010:178), tokoh protagonis adalah tokoh yang merupakan pengejawantahan
norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan
sesuatu yang sesuai dengan pandangan-pandangan dan harapan-harapan
pembaca.
Sebuah cerita fiksi haruslah mengandung konflik dan ketegangan,
khususnya yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya
101

konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis merupakan tokoh yang
beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tidak
langsung, bersifat fisik maupun batin.
Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak hanya disebabkan oleh
tokoh antagonis. Konflik juga dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar
individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam
dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan dan kekuatan yang
lebih tinggi, dan sebagainya. Penyebab konflik yang tidak dilakukan oleh seorang
tokoh disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic force (Altenbernd
dalam Nurgiyantoro, 2010:179). Konflik juga dapat disebabkan oleh diri sendiri,
misalnya seorang tokoh akan memutuskan sesuatu yang penting dan masing-
masing memiliki konsekuensi sehingga terjadi pertentangan dalam diri sang
tokoh tersebut.
Menentukan tokoh-tokoh cerita ke dalam protagonis dan antagonis
kadang-kadang tidak mudah. Tokoh yang mencerminkan harapan dan atau norma
ideal kita, memang dapat dianggap sebagai tokoh protagonis. Akan tetapi tidak
jarang muncul tokoh yang tidak membawakan nilai-nilai moral pembaca atau
berada di pihak yang berlawanan, justru yang diberi simpati dan empati oleh
pembaca. Jika terdapat dua tokoh yang berlawanan, tokoh yang lebih banyak
diberi kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang kemungkinan besar
memperoleh simpati dan empati dari pembaca (Luxemburg dkk, 1992:145).
Pembedaan antara tokoh utama dan tambahan dengan tokoh protagonis
dan antagonis sering digabungkan, sehingga menjadi tokoh utama protagonis,
tokoh utama antagonis, tokoh tambahan protagonis, dan seterusnya. Pembedaan
102

secara pasti antara tokoh utama protagonis dengan tokoh utama antagonis juga
tidak mudah dilakukan. Pembedaan tersebut sebenarnya lebih bersifat
penggradasian. Apalagi tokoh cerita pun sering kali berubah, khususnya pada
tokoh yang berkembang, sehingga tokoh yang semula diberi rasa antipati
belakangan justru menjadi diberi simpati oleh pembaca, atau sebaliknya.
c) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh
sederhana (simple/flat character) dan tokoh kompleks (complex/round
character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas
pribadi tertentu, satu sifat/watak tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seorang
tokoh sederhana bersifat datar, monoton, dan hanya mencerminkan satu watak
tertentu. Watak yang telah pasti itu mendapat penekanan dan terus-menerus
terlihat dalam cerita. Perwatakan tokoh sederhana, dapat dirumuskan hanya
dengan sebuah kalimat atau sebuah frasa. Misalnya, Ia seorang lelaki yang kaya
tetapi kikir, Ia seorang yang miskin tetapi jujur, atau Ia seorang yang
senantiasa pasrah pada nasib.
Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, tetapi semua
tindakannya tersebut akan kembali pada perwatakan yang dimiliki dan telah
diformulakan sebelumnya. Dengan demikian, pembaca dengan mudah
memahami watak dan tingkah laku tokoh sederhana. Tokoh sederhana mudah
dipahami, lebih familiar, dan cenderung stereotipe.
Tokoh bulat/kompleks merupakan tokoh yang diungkapkan memiliki
berbagai kemungkinan sisi kehidupan, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh
bulat dapat saja memiliki watak tertentu yang diformulasikan, tetapi ia juga dapat
103

menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam bahkan mungkin watak
yang saling bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun
pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat. Menurut Abrams
(Nurgiyantoro, 2010:183), dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat
lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping
memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan
kejutan.
d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh
cerita dalam sebuah karya fiksi, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh statis
(static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis
adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau
perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang
terjadi (Altenbernd dalam Nurgiyantoro, 2010:188). Tokoh jenis ini tampak
seperti kurang terlibat dan tak terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan
lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh statis
memilikisikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang dari awal sampai
akhir cerita.
Adapun tokoh berkembang merupakan tokoh cerita yang mengalami
perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan
perubahan) peristiwa atau plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif
berinteraksi dengan lingkungannya, baik di lingkungan sosial ataupun lingkungan
alam yang kesemuanya itu akan memengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.
e) Tokoh Tipikal dan tokoh Netral
104

Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap
(sekelompok) manusia dalam realitas kehidupan yang sebenarnya, tokoh cerita
dapat dibedakan menjadi tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah
tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak
ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Altenbernd dalam
Nurgiyantoro, 2010:190). Tokoh tipikal merupakan penggambaran,
pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang
terikat dalam suatu lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu
lembaga yang ada di dunia nyata. Penggambaran tersebut bersifat tidak langsung
dan tidak menyeluruh. Pembacalah yang menafsirkannya berdasarkan
pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap tokoh di dunia nyata dan
pemahamannya terhadap tokoh cerita di dunia fiksi.

Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu
sendiri. Tokoh netral merupakan benar-benar tokoh imajiner yang hanya hidup
dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Kehadirannya semata-mata demi cerita atau
bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang
diceritakan.
Penokohan secara tipikal pada hakikatnya dapat dipandang sebagai reaksi,
tanggapan, penerimaan, dan tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia di dunia
nyata. Tanggapan tersebut mungkin bernada negatif, positif, ataupun netral.
Tanggapan yang bernada negatif misalnya terlihat dalam karya yang bersifat
menyindir, mengritik, bahkan mengecam, karikatural atau setengah karikatural.
Tanggapan yang bernada positif misalnya terlihat pada karya-karya yang beisi
105

pujian-pujian tertentu. Adapun tanggapan yang bernada netral artinya pengarang
melukiskan seperti apa adanya tanpa disertai sikap subjektivitas yang cenderung
memihak.
Penokohan yang tipikal maupun bukan berkaitan erat dengan makna,
makna intensional, makna yang tersirat yang ingin disampaikan oleh pengarang
kepada pembaca. Melalui toko tipikal, pengarang tidak sekadar memberikan
reaksi atau tanggapan, tetapi sekaligus memperlihatkan sikapnya terhadap tokoh,
permasalahan tokoh, atau sikap dan tindakan tokohnya itu sendiri.
5) Teknik Pelukisan Tokoh
Ada beberapa pendapat yang membedakan teknik pelukisan tokoh dalam
suatu karya. Abrams mengatakan bahwa teknik pelukisan tokoh dengan
menggunakan teknik uraian (telling) dan teknik ragaan (showing). Altenbernd
membedakan menjadi teknik penjelasan (ekspositori) dan teknik dramatik.
Adapun Kenny mengatakan teknik diskursif, dramatik, dan kontekstual. Akan
tetapi, walaupun berbeda istilah, secara esensial teknik tersebut tidak berbeda
(Nurgiyantoro, 2010:194). Akan tetapi, pada umumnya pengarang memilih cara
campuaran, baik teknik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah karya.
Berikut akan diuraikan teknik ekspositori dan teknik dramatik.
a) Teknik Ekspositori (Teknik analitis)
Dalam teknik ini pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan
deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan
dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak berbelit-belit,
melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin
106

berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya
(Nurgiyantoro, 2010:195).
b) Teknik Dramatik
Dalam teknik ini, pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan
secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan
para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai
aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal melalui ucapan maupun nonverbal
melalui tindakan atau tingkah laku, dan juga memalui peristiwa yang terjadi
(Nurgiyantoro, 2010:198).
Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan beberapa
teknik. Teknik-teknik tersebuat diuraikan sebagai berikut.
(1) Teknik cakapan
Teknik percakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang
berwujud kata-kata para tokoh. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
ceritabiasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang
bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi, umumnya banyak,
baik percakapan yang pendek maupun yang agak panjang. Tidak semua
percakapan mencerminkan kedirian tokoh, tetapi percakapan yang baik, efektif,
dan fungsional adalah yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus
mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya.
(2) Teknik tingkah laku
Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik.
Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak
107

hal dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap
yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
(3) Teknik pikiran dan perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang terlintas
dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang sering dipikir dan dirasakan oleh
tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Bahkan
pada hakikatnya, tingkah laku pikiran dan perasaanlah yang diejawantahkan
menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal. Perbuatan dan kata-kata merupakan
perwujudan konkret tingkah laku pikiran dan perasaan. Teknik pikiran dan
perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya
penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.
(4) Teknik arus kesadaran
Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan.
Keduanya tidak dapat dibedakan secara terpilah, bahkan dianggap sama karena
sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Arus kesadaran merupakan
sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses
mental tokoh, dimana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan
ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak
(Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010:206).
(5) Teknik reaksi tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu
kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan
sebagainya yang berupa rangsang dari luar diri tokoh yang bersangkutan.
108

Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu
bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
(6) Teknik reaksi tokoh lain
Reaksi tokoh lain yang dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh
tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang
berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Dengan kata lain,
penilaian kedirian tokoh utama cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam
sebuah karya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk
menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca. Tokoh-tokoh lain itu pada
halikatnya melakukan penilaian atas tokoh utama untuk pembaca.
(7) Teknik pelukisan latar
Pelukisan suasana latardapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh
seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar
tertentu dapat menimbulkan kesan di pihak pembaca. Misalnya, suasana rumah
yang bersih, teratur, rapi, akan menimbulkan kesan bahwa pemilik rumah itu
sebagai orang yang mencintai kebersihan dan lingkungan, mempunyai sifat teliti
dan teratur. Sebaliknya, suasana rumah yang kotor, berantakan dan semrawut,
akan memberikan kesan kepada pemiliknya yang kurang lebih sama dengan
keadaan itu. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu
mendukung teknik penokohan secara kuat.
(8) Teknik pelukisan fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau
paling tidak, pengarang sengaja mencari dan menghubungkan adanya keterkaitan
itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus
109

menyaran pada sifat tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak
mendongak, dan lain-lain menyaran pada sifat-sifat tertentu. Tentu saja hal itu
berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan.
d. Latar
Unsur penting lain dalam menganalisis sebuah novel adalah latar (setting).
Latar sering disebut sebagai atmosfer karya sastra (novel) yang turut mendukung
masalah, tema, alur, dan penokohan. Oleh karena itu, latar merupakan salah satu
fakta cerita yang harus diperhatikan, dianalisis, dan dinilai.
Latar atau setting adalah segala keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu
karya sastra (Panuti-Sudjiman, 1991:44). Menurut Kenny (Sugihastuti, 2005:54),
latar meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk tofografi, pemandangan,
sampai pada perincian perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan
sehari-hari para tokoh; waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim
terjadinya; lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional para
tokoh. Berdasarkan perincian tersebut, Hudson (Sugihastuti, 2005:54)
membedakan latar menjadi dua unsur, yaitu latar sosial dan latar fisik/material.
Yang termasuk latar fisik/material adalah tempat, waktu, dan alam fisik di sekitar
tokoh cerita, sedangkan yang termasuk latar sosial adalah penggambaran keadaan
masyarakat atau kelompok sosial tertentu, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku
pada suatu tempat dan waktu tertentu, pandangan hidup, sikap hidup, adat-
istiadat, dan sebagainya yang melatari sebuah peristiwa. Latar fisik yang
menimbulkan dugaan atau tautan pikiran tertentu disebut latar spiritual (Panuti-
Sudjiman, 1991:45). Unsur-unsur itu walau masing-masing menawarkan
110

permasalahan yang bebeda dan dapat dibicarakan secara tersendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan lainnya.
Fungsi latar adalah memberikan informasi tentang situasi sebagaimana
adanya. Selain itu, latar juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh
cerita (Panuti-Sudjiman, 1991:45). Latar yang baik dapat mendeskripsikan secara
jelas peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh
cerita sehingga cerita terasa hidup dan segar, seolah-olah sungguh-sungguh
terjadi dalam kehidupan nyata (Nurgiyantoro, 2010:217).
Analisis struktur novel tidak hanya memilah-milah novel ke dalam alur,
penokohan, latar, serta masalah atau tema, melainkan harus dapat merekonstruksi
hubungan antara unsur-unsur itu sebagai suatu keseluruhan yang bulat. Hubungan
antarunsur itu, antara lain hubungan antara alur dan penokohan, antara
penokohan dan latar, serta antara tema dengan masalah dan fakta cerita. Dalam
penelitian ini, tema/ masalah, dan penokohan diberi prioritas terbesar karena akan
menjadi dasar bagi analisis kritik satra feminis.

F. Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra
Pembahasan mengenai bahan pembelajaran, akan difokuskan pada
pengertian bahan pembelajaran; kriteria bahan pembelajaran; fungsi bahan
pembelajaran; manfaat bahan pembelajaran; unsur-unsur bahan pembelajaran;
kualitas bahan pembelajaran; cakupan bahan pembelajaran; dan bahan
pembelajaran apresiasi sastra dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
di madrasah aliyah (MA).
1. Pengertian Bahan Pembelajaran
111

Sebelum proses belajar mengajar dilaksanakan, guru harus menyiapkan
bahan pembelajaran yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Kelengkapan
bahan pembelajaran akan membantu guru dalam kegiatan mengajar, dan
membantu siswa dalam proses belajar. Bahan pembelajaran ikut menentukan
pencapaian tujuan pembelajaran. Bahan pembelajaran merupakan informasi, alat,
dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan
implementasi pembelajaran (Depdiknas, 2006:7).
Bahan pembelajaran adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk
membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di
kelas. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak
tertulis. Pengertian lain bahan pembelajaran adalah seperangkat materi yang
disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta
lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.
Bahan pembelajaran yang lengkap adalah bahan pembelajaran yang
disusun secara sistematis agar dapat menciptakan pembelajaran yang efektif dan
efisien. Pembelajaran yang efektif dan efisien diharapkan bisa mencapai tujuan
pembelajaran yang tercantum dalam indikator yang merupakan penjabaran dari
kompetensi dasar.
Bahan pembelajaran merupakan komponen terpenting yang harus
dipersiapkan guru sebelum melakukan proses kegiatan belajar mengajar di dalam
kelas selain komponen-komponen lain yang dapat menentukan keberhasilan
dalam pembelajaran. Karena merupakan hal terpenting dalam menentukan
keberhasilan pada suatu sistem pendidikan maka guru sebagai pelaksana
pendidikan dituntut untuk membuat bahan pembelajaran yang berkualitas.
112

Selama ini guru hanya menggunakan buku-buku teks yang banyak dijual oleh
para penerbit yang materinya belum tentu cocok dengan kondisi lingkungan dan
kebutuhan siswa, sehingga siswa kurang dapat memahami bahan pembelajaran
tersebut.
Bahan pembelajaran yang berkualitas adalah bahan pembelajaran yang
materinya dapat menjawab permasalahan siswa untuk mencapai suatu tujuan
pendidikan. Hal itu artinya dapat memberikan pengetahuan keterampilan dan
sikap yang harus dipelajari siswa untuk mencapai standar kompetensi yang telah
ditentukan.
Sudjana dan Ibrahim (2007 :95), berpendapat bahwa bahan pembelajaran
merupakan suatu pendekatan yang digunakan oleh seorang guru atau pendidik
dalam melaksanakan proses pembelajaran melalui tahapan-tahapan tertentu
sehingga siswa dapat mengikuti proses belajar mengajar. Secara garis besar,
bahan pembelajaran terdiri atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus
dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah di
tentukan. Bahan pembelajaran adalah bahan yang digunakan untuk belajar dan
mencapai tujuan intruksional, dimana siswa harus melakukan sesuatu terhadap
sesuatu menurut perilaku tertentu (KTSP, 2008:125).
Atas dasar pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa bahan
pembelajaran merupakan suatu unsur yang sangat penting yang harus mendapat
perhatian guru dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas,
sehingga tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat tercapai. Dengan bahan
pembelajaran tersebut, para siswa dapat mempelajari hal-hal yang diperlukan
dalam usaha mencapai tujuan belajar. Oleh karena itu penentuan bahan
113

pembelajaran haruslah berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini
adalah hasil-hasil yang diharapkan, misalnya berupa pengetahuan, keterampilan,
dan sikap. Bahan-bahan pembelajaran yang terkait dengan tujuan tersebut telah
digariskan dalam silabus.
Dalam silabus telah dirumuskan secara rinci materi belajar yang
ditentukan untuk dipelajari siswa, berupa topik bahan inti serta uraian deskripsi
dan bahan-bahan. Kajian rincian yang lebih terurai terdapat di dalam buku
sumber. Bahan pembelajaran bersinonim dengan buku teks. Menurut Tarigan
(1993 : 11), buku teks adalah buku yang dirancang buat penggunaan di kelas,
yang disusun dan disiapkan oleh para ahli dalam bidang itu dan dilengkapi
dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi.
Jadi dapat dikatakan bahwa bahan pembelajaran merupakan bagian dari
buku teks, buku paket, sebagai buku pegangan yang mengandung maksud dan
pengertian yang sama. Pengertian yang dimaksud adalah berisikan informasi
(keterangan) yang dipakai sebagai panduan dalam melaksanakan proses kegiatan
belajar mengajar. Bahan pembelajaran banyak jenisnya, antara lain bahan
pembelajaran cetak, noncetak, dan bahan pembelajaran display. Bahan
pembelajaran cetak adalah sejumlah bahan yang disiapkan dalam kertas, dapat
berfungsi untuk keperluan pembelajaran dan penyampaian informasi. Contoh
bahan pembelajaran cetak adalah buku teks, modul, dan lembar kerja siswa.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan
pembelajaran adalah materi pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa yang
memuat kompetensi dasar, indikator, teks atau materi pelajaran sebagai
implementasi pembelajaran. Terkait dengan penelitian ini maka novel
114

Perempuan Berkalung Sorban akan dijadikan sebagai alternatif bahan
pembelajaran apresiasi sastra khususnya novel bergenre feminis. Novel tersebut
akan digunakan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra di Madrasah Aliyah.
Bahan pembelajaran ini akan dirancang dalam Rancangan Program
Pembelajaran (RPP), didalamnya berisi materi pembelajaran yang disusun secara
sistematis dan kontekstual untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam
KTSP.
2. Kriteria Bahan Pembelajaran
Seorang guru, sebelum menetapkan bahan pembelajaran terlebih dahulu
harus memahami kriteria yang ada dalam pemilihan bahan pembelajaran. Bahan
pembelajaran itu berkaitan dengan kurikulum. Bahan pembelajaran yang baik
haruslah relevan dengan kurikulum (Mukidi, 2005:9). Dalam penyusunan bahan
pembelajaran juga perlu dimengerti oleh siswa dalam mempelajari sehingga
dapat tercapai secara optimal. Terdapat tiga kriteria yang perlu diperhatikan dan
dikembangkan oleh siswa dalam penyusunan bahan pembelajaran. Kiteria
tersebut adalah sebagai berikut.
a. relevan, materi pembelajaran memiliki keterkaitan dengan standar
kompetensi dan komptensi dasar;
b. konsisten, adanya keajegan antara bahan ajar dengan kompetensi dasar yang
harus di kuasai siswa; dan
c. cukup, materi yang diajarkan cukup memadai dalam membantu siswa
menguasai komptensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh lebih dan
tidak boleh kurang.
115

Sejalan dengan pendapat di atas, Haryati (2007:71) menetapkan kriteria
penerapan bahan pembelajaran, yaitu (1) bagian-bagian yang paling sering
digunakan; (2) yang paling berguna; (3) yang paling mudah mengajarkannya; dan
(4) berupa gabungan ketiganya. Dalam pengembangan bahan pembelajaran,
bahan pembelajaran harus memiliki beberapa kriteria sebagai berikut. (1) bahan
pembelajaran harus relevan dengan tujuan pembelajaran; (2) bahan pembelajaran
harus sesuai dengan taraf perkembangan anak; (3) bahan yang baik ialah bahan
yang berguna bagi siswa baik sebagai perkembangan pengetahuannya dan
keperluan bagi tugas kelak di lapangan; (4) bahan itu harus menarik dan
merangsang aktivitas siswa; (5) bahan itu harus disusun secara sistematis,
bertahap, dan berjenjang; dan (6) bahan yang disampaikan kepada siswa harus
menyeluruh, lengkap, dan utuh.
3. Fungsi Bahan Pembelajaran
Fungsi bahan pembelajaran adalah sebagai motivasi dalam proses
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dengan materi pembelajaran
yang kontekstual agar siswa dapat melaksanakan tugas belajar secara optimal.
Menurut Supriyadi (1997:1), ada tiga fungsi bahan pembelajaran yang terkait
dengan pembelajaran di sekolah. Ketiga fungsi yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
a. Bahan pembelajaran merupakan pedoman bagi guru yang akan
mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus
merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan/dilatihkan
kepada siswanya.
116

b. Bahan pembelajaran merupakan pedoman bagi siswa yang akan
mengarahkan aktifitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus
merupakan substansi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya.
c. Bahan pembelajaran merupakan alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil
pembelajaran.
Selain hal yang telah disebutkan, bahan pembelajaran memiliki fungsi
lain yaitu: (1) membantu guru dalam kegiatan belajar mengajar; (2) membantu
siswa dalam proses belajar; (3) sebagai perlengkapan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pelajaran; dan (4) untuk menciptakan lingkungan / suasana
balajar yang kondusif.
4. Manfaat Bahan Pembelajaran
Bahan pembelajaran merupakan sarana, alat atau instrumen yang baik dan
memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan tujuan pembelajaran. Manfaat
dari bahan pembelajaran itu adalah sebagai berikut.
a. memperoleh bahan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum
dan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa;
b. tidak bergantung pada buku teks yang terkadang sulit didapat;
c. memperkaya wawasan karena dikembangkan dengan digunakan berbagai
referensi;
d. menambah khasanah pengetahuan dan pengalaman guru dalam menyusun
bahan pembelajaran;
e. membangun komunikasi pembelajaran yang efektif antara guru dan siswa,
karena siswa akan merasa lebih percaya kepada gurunya maupun kepada
dirinya; dan
117

f. dapat dikumpulkan menjadi buku dan dapat diterbitkan (Depdiknas,
2006:1).
5. Unsur-Unsur Bahan Pembelajaran
Unsur-unsur bahan pembelajaran ini sebenarnya diambil dari pedoman
sistematika penulisan buku ajar bahasa dan sastra Indonesia yang dikeluarkan
oleh pusat perbukuan. Bahan pembelajaran setidak-tidaknya harus memiliki
unsur-unsur berikut, yaitu: tujuan, sasaran, uraian materi, sistematika sajian,
petunjuk belajar, dan evaluasi. Komponen-komponen yang terdapat dalam
susunan bahan pembelajaran adalah sebagai berikut.
a. Komponen kebahasaan mencakup:
1) keterbacaan;
2) kejelasan informasi;
3) kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar; dan
4) pemanfaatan bahasa secara efektif dan efisien.
b. Komponen penyajian mencakup:
1) kejelasan tujuan (indikator) yang ingin dicapai;
2) urutan sajian;
3) pemberian motivasi, daya tarik; dan
4) interaksi (pemberian stimulus dan respons).
c. Komponen kegrafikan mencakup:
1) penggunaan font, jenis, dan ukuran;
2) lay out atau tata letak;
3) ilustrasi, gambar, foto; dan
4) desain tampilan (KTSP, 2008:15)
118

Berdasarkan uraian tersebut, sebuah bahan pembelajaran yang dibuat
haruslah metodologis dan sistematis. Artinya, bahan pembelajaran itu harus bisa
dibaca dan dipahami siswa dan tersusun secara bertahap serta berjenjang. Hal
tersebut dimaksudkan agar ketercapaian kompetensi dasar yang telah ditetapkan
dapat dikuasai dengan maksimal. Oleh karena itu, tujuan bahan pembelajaran
harus dirumuskan secara jelas dan terukur yang mencakup siswa, guru, dan
sasarannya.
6. Kualitas Bahan Pembelajaran
Bahan pembelajaran yang diberikan kepada siswa haruslah bahan
pembelajaran yang berkualitas. Bahan pembelajaran yang berkualitas dapat
menghasilkan siswa yang berkualitas, karena siswa diberikan bahan pembelajaran
yang berkualitas. Adapun kriteria bahan pembelajaran yang berkualitas antara
lain: (1) menimbulkan minat baca; (2) ditulis dan dirancang untuk siswa; (3)
menjelaskan tujuan instruksional; (4) disusun berdasarkan pola belajar yang
fleksibel; (5) struktur berdasarkan kebutuhan siswa; (6) memberi kesempatan
pada siswa untuk berlatih; (7) mengakomodasi kesulitan siswa; (8) memberikan
rangkuman; (9) gaya penulisan komutatif dan semi formal; (10) kepadatan
berdasarkan kebutuhan siswa; (11) dikemas untuk proses instruksional; (12)
mempunyai mekanisme untuk mengumpulkan umpan balik dari siswa; dan (13)
menjelaskan cara mempelajari bahan pembelajaran.
Dengan berpedoman kepada butir-butir di atas, diharapkan kualitas
penyusunan bahan pembelajaran bisa dipertanggungjawabkan. Bahan
pembelajaran yang dihasilkan harus benar-benar berguna bagi siswa sehingga
119

kemampuan berbahasa dan bersastra khususnya memahami novel dapat
ditingkatkan.
7. Cakupan Bahan Pembelajaran
Dalam sosialisasi KTSP Depdiknas bahan pembelajaran mencakup:
judul, MP, SK, KD, indikator, tempat;
a. petunjuk belajar (petunjuk siswa / guru);
b. tujuan yang akan dicapai;
c. informasi pendukung;
d. latihan-latihan;
e. petunjuk kerja;
f. penilaian
8. Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra dalam KTSP di Madrasah Aliyah
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangat
diperlukan dan yang searah dengan jiwa perubahan yang mendasar dalam
pengelolaan pendidikan (Depdiknas,2006:1). Dalam hal ini, daerah/sekolah dapat
secara aktif menjabarkan standar kompetensi sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan setempat. Standar kompetensi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa, yaitu belajar sastra adalah belajar
menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Selain itu, siswa diharapkan
dapat menyaring hal-hal yang berguna, belajar menjadi diri sendiri, dan
menyadari akan eksistensi budayanya sehingga tidak tercerabut dari
lingkungannya (Depdiknas,2006:2).
Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia berisi seperangkat kompetensi
yang harus dimiliki dan dicapai oleh siswa pada setiap tingkatan. Kerangka ini
120

terdiri atas empat komponen utama. Komponen tersebut adalah (1) standar
kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) indikator, dan (4) materi pokok
(Depdiknas, 2006:5).
Dalam panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
terdapat kompetensi dasar yang mengamanatkan siswa untuk terampil dalam
memahami novel. Pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi novel
terdapat dalam kompetensi dasar di kelas XI (sebelas) semester ganjil pada
standar kompetensi 7 (memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel
terjemahan) kompetensi dasar 7.2 (menganalisis unsur-unsur ekstrinsik dan
intrinsik novel Indonesia/terjemahan). Di kelas XI (sebelas) semester genap pada
standar kompetensi 15 (memahami buku biografi, novel, dan hikayat) kompetensi
dasar 15.1 (mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh
. Di kelas XII (dua belas) semester ganjil standar kompetensi 5 (memahami
pembacaan novel) kompetensi 5.1 (menanggapi pembacaan penggalan novel dari
segi vokal, intonasi, dan penghayatan) dan kompetensi 5.2 (menjelaskan unsur-
unsur intrinsik dari penggalan novel yang dibacakan.
Standar kompetensi merupakan intisari atau rangkuman dari sejumlah
kompetensi dasar yang terdapat pada setiap keterampilan di kelas. Kompetensi
yang ingin dicapai dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia terdiri atas empat
kompetensi, yaitu (1) keterampilan mendengarkan, (2) keterampilan berbicara,
(3) keterampilan membaca, dan (4) keterampilan menulis. Adapun kmpetensi
dasar merupakan uraian yang memadai atas kemampuan yang harus dikuasai
siswa dalam berkomunikasi lisan (mendengarkan dan berbicara) dan tulisan
(membaca dan menulis) sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia serta
121

mengapresiasi karya sastra. Kompetensi ini harus dimiliki dan dikembangkan
secara maju dan berkelanjutan seiring perkembangan siswa untuk mahir
berkomunikasi dan memecahkan masalah. Kompetensi dasar ini dicapai melalui
proses pemahiran yang dilatih dan dialami. Indikator merupakan uraian spesifik
dari kompetensi yang harus dikuasai siswa pada jenjang tertentu yang dapat
dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran. Materi pokok
merupakan bahan yang yang ditujukan untuk mencapai kompetensi komunikatif
yang dapat berupa teks atau nonteks (misal: bagan atau tabel). Isi suatu kegiatan
tersebut dipakai sebagai titik tolak untuk mengembangkan kompetensi dasar
menjadi bahan pembelajaran dan indikator menjadi bahan ujian.
Ketercapaian berbagai standar kompetensi pembelajaran tersebut tidak
terlepas dari proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh
guru. Agar pelaksanaan kegiatan pembelajaran mencapai keberhasilan maksimal,
ada beberapa langkah pelaksanaan atau kegiatan belajar mengajar sastra seperti
yang dikemukakan oleh Rusyana (dalam Azis, 2009:81-82) berikut.
a. Mempelajari materi yang akan dibawakan (baik novel, cerpen, atau puisi);
Guru hendaknya terlebih dahulu mempelajari materi (misalnya novel)
yang akan dibawakan kepada siswa-siswanya. Dengan cara ini guru akan
dapat menentukan aspek manakah dari novel tersebut yang memerlukan
perhatian khusus.
b. Menentukan kegiatan yang akan dilakukan; Guru menentukan kegiatan
yang akan dilakukan di kelas, seperti guru membaca kutipan novel dan
siswa menyimak siswa membaca nyaring sendiri atau dalam panduan
membaca novel, siswa bertukar pengalaman tentang novel yang mereka
122

baca; siswa dan guru berdiskusi, siswa mengarang cerita, siswa menyusun
ilustrasi, dan sebagainya.
c. Memberikan pengantar pengajaran; Sebelum masuk ke dalam kegiatan
pengajaran novel, guru hendaknya memberikan pengantar yang
maksudnya untuk menarik perhatian siswa kepada pokok yang akan
dipelajari.
d. Menyajikan bahan pengajaran; Dalam pembelajaran novel, guru
hendaknya menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan.
Pengajaran novel harus menjadi sumber inspirasi dan kenikmatan bagi
siswa. Oleh karena itu penyajiannya pun harus menyenangkan.
e. Mendiskusikan materi yang telah dibaca; Diskusi dilakukan untuk
memecahkan masalah. Masalah yang layak didiskusikan adalah masalah
yang menarik minat siswa sesuai dengan taraf umurnya. Masalah tersebut
hendaknya mempunyai kemungkinan jawaban lebih dari satu. Dalam
diskusi tidak dicari mana jawaban yang benar, melainkan dilakukan
perbandingan dan pertimbangan. Diskusi tersebut juga memberi
kesempatan kepada guru untuk bertanya tentang unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik novel. Apabila siswa telah memahami gagasan umum dari
novel itu, dapat dilanjutkan untuk membahas hal yang lebih terperinci dan
spesifik yang masih berhubungan dengan isi keseluruhan novel tersebut.
f. Memperdalam pengalaman; Guru berusaha agar siswa memperdalam
pengalaman mereka tentang novel, melalui kegiatan pembacaan novel dan
kegiatan lain. Siswa hendaknya didorong untuk melakukan kegiatan lain
yang berhubungan dengan novel.
123

You might also like